Anda di halaman 1dari 18

Sabara

ISLAM DALAM TRADISI MASYARAKAT LOKAL DI SULAWESI SELATAN

Sabara
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar
Jalan A.1P. Pettarani No 72 Makassar
No HP: 085242110913
Email: barackfilsafat@yahoo.co.id

Abstrak
Tulisan ini adalah sebuah kajian tentang praktek Islam dalam lokalitas masyarakat Sulawesi
Selatan (Sulsel). Keislaman lokal masyarakat Sulsel merupakan bagian integral dari khasanah
Islam Nusantara. Kajian Islam dan lokalitas Sulsel pada tulisan ini dibahas secara sistemik, mulai
dari tradisi masyarakat Sulsel di masa pra Islam, proses Islamisasi pada masyarakat Sulsel, hingga
proses integrasi Islam dengan budaya lokal Sulsel. Jauh sebelum datangnya Islam, pranata
keagamaan atau sistem kepercayaan masyarakat Sulsel (Bugis-Makassar) telah cukup mapan.
Masyarakat Sulsel telah menganut kepercayaan yang ajarannya lebih menekankan pada aspek
keruhanian. Sistem religi Bugis-Makassar pra Islam sejatinya bersifat pribumi, meski memiliki
beberapa persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu maupun Buddha. Pola penyebaran
Islam di Sulsel menggunakan pendekatan politik sebagai saluran Islamisasi. Jalur birokrasi politik
dan Islamisasi adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam proses penyebaran Islam di Sulsel secara
umum. Proses Islamisasi melalui jalur politik, membuat kehadiran Islam pun tampil sebagai
pemersatu kerajaan-kerajaan untuk kemudian mengintegrasikan diri ke dalam persekutuan
masyarakat yang lebih luas. Penyebaran Islam melalui jalur politik dan birokratsi membawa
konsekuensi pada keharusan kompromi-kompromi, diantaranya adalah dengan sistem
pemerintahan yang berlaku dan kompromi dengan aspek-aspek pangngaddereng selaku pranata
dan sistem sosial budaya masyarakat Sulsel. Islam disebarkan di Sulasel dengan pendekatan
formal-birokratis atau bersifat top down. Namun, ajaran Islam tetap ditanamkan melalui
pendekatan kultural. Nyaris tidak ada pemaksaan secara formal tentang bagaimana aturan Islam
harus dijalankan melalui kekuatan negara Kedatangan Islam di wilayah Sulsel membawa
perubahan besar bagi kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Perubahan tersebut meliputi
perubahan pada cara pandang terhadap dunia dan kehidupan (world view) serta perubahan yang
berkaitan dengan kehidupan keagamaan. Orang-orang Bugis dan Makassar merupakan orang-
orang yang taat dan memegang kukuh adat-istiadat mereka. Kehadiran Islam, memberikan warna
pada pelaksanaan adat-istiadat dan berbagai tradisi dalam masyarakat Sulsel.

Kata Kunci: Islam Lokal, Islam dan Tradisi, Sulawesi Selatan

Islam dipahami tidak sekadar agama oleh setiap individu muslim. Seentara
yang mengandung sekumpulan doktrin sebagai peradaban dunia (world civilization),
kepercayaan, tetapi juga seperangkat niai Islam adalah way of life yang mengandung
dan kultur. Menurut Hammilton AR. Gibb ajaran publik dan mengatur semua dimensi
(dalam Ramli, 2009:1)., Islam adalah sistem kehidupan duniawi pemeluknya.
kebudayaan yang lengkap. Sebagai sebuah Islam di satu sisi memang kekuatan
doktrin, Islam merupakan seperangkat ajaran global yang mempunyai common fundamen
ruhani yang terrumuskan dalam kredo dan
doctrine yang mempersatukan berbagai
liturgi yang harus diimani dan diamalkan pemeluk Islam yang tersebar di berbagai

50
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

wilayah di belahan dunia. Tetapi pada sisi menghadirkan akomodasi Islam yang datang
lain, Islam masih memberikan kesempatan atas nilai-nilai lokal. Islam yang datang di
pada berbagai kekuatan budaya lokal untuk tengah masyaraat yang telah memiliki sistem
mengaktualkan dirinya dan berakulturasi, kepercayaan dan berbagai sistem nilai, juga
serta menyatu dengan doktrin Islam dan beusaha mengakomodasi nilai-nilai tersebut.
akhirnya menampilkan karakteristik Di Jawa misalnya, hubungan antara Islam
keislaman yang unik pada masing-masing dan budaya lokal, baik secara eksplisit
wilayah. Dengan kata lain, Sebagai agama maupun implisit terjadi upaya untuk saling
universal, Islam adalah agama yang tidak mengakomodasi antara nilai-nilai Islam dan
rigid atau selalu dapat menyesuaikan/ nilai-nilai Jawa pra Islam. Upaya tersebut
mengkontekstualisasikan dirinya dengan telah terjadi sejak muballigh-muballigh
situasi dan kondisi yag dihadapi sesuai Islam awal di tanah Jawa, seperti Wali
dengan locus dan tempusnya. Songo, yang kemudian dipraktekkan dalam
Marshal G. Hudgson (2002:7), kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa
membedakan kajian studi Islam pada tiga Islam (Alifuddin, 2007:2).
bentuk fenomena Islam sebagai sasaran Perjumpaan antara Islam dan tradisi
studi. Pertama, fenomena Islam sebagai lokal di Sulawesi Selatan tidak sepenuhnya
doktrin (Islamic). Kedua, fenomena ketika bercorak akulturatif, tapi pada banyak kasus
doktrin ini masuk dan berproses dalam terjadi proses negosiasi kebudayaan bahkan
sebuah masyarakat kultural dan akhirnya terjadi proses pergulatan (encountering)
menjadi kebudayaan (Islamicate). Ketiga, kebudayaan, di mana budaya lokal masih
ketika Islam menjadi sebuah fenomena begitu tampak dominan. Ketika kultur Islam
―dunia Islam‖ yang politis dalam lembaga- masuk, budaya lokal tidak kehilangan jati
lembaga kenegaraan (Islamdom). dirinya secara total. Budaya lokal dengan
Ketika Islam berinteraksi dengan berbagai bentuk dan sistem kepercayaannya
beragam budaya lokal, tentu terdapat dan tradisinya masih tetap bertahan dan
tidak serta merta berposisi inferior di
kemungkinan, Islam mewarnai, mengubah,
dan memperbaharui budaya lokal, tetapi hadapan budaya Islam yang datang.
mungkin pola Islam yang kemudian Sehingga budaya lokal tetap lestari, namun
diwarnai dengan berbagai budaya lokal mengalami transformasi kebudayaan dan
(Simuh, 2003:8). Hal inilah yang membuat melahirkan suatu model kebudayaan baru
Islam, kemudian mengalami proses yang merupakan hasil perpaduan antara
lokalisasi atau pribumisasi sesuai dengan Islam dan kebudayaan lokal yang telah ada
sebelumnya, inilah yang disebut dengan
konteks sosio-kultural yang dihadapi.
Kelengkapan visi Islam sebagai agama Islam Lokal..
universal, menurut Hudgson, benar-benar Berdasarkan hal tersebut di atas,
menjamin bahwa Islam tidak akan pernah tulisan ini bertujuan mendedah perjumpaan
benar-benar sama antara satu tempat dan Islam dalam lokalitas masyarakat Sulawesi
tempat lainnya dan antara satu waktu dan Selatan (selanjutnya disebut Sulsel).
waktu lainnya (Hudgson, 2002:111). Masalah utama tersebut diturunkan ke dalam
Perjumpaan Islam dan sosio-kultural tiga sub masalah sebagai pembahasan, yaitu:
masyarakat Nusantara secara umum Bagaimana tradisi masyarakat Sulsel pra-
Islam? Bagaimana proses Islamisasi di

51
Sabara

Sulsel? dan Bagaimana integrasi Islam dan dalam praksis laku hidup manusia. Agama,
budaya lokal Sulsel?. Metode yang dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah
digunakan adalah kajian literature atau studi sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah
pustaka (library research) yang terkait Islam konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang
dan lokalitas Sulsel yang dianalisis dengan berperan besar dalam menjelaskan struktur
pendekatan deskriptif-kritis. tata normatif dan tata sosial serta
memahamkan dan menafsirkan dunia
Teori Agama dan Kebudayaan sekitar. Sementara tradisi merupakan
Perbincangan tentang agama dan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia
budaya adalah perbincangan tentang suatu (dalam masyarakat tertentu) yang berisi
hal yang memiliki dua sisi. Agama di satu nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas,
sisi memberikan kontribusi terhadap nilai- wawasan filosofis dan kearifan lokal (local
nilai budaya, sehingga agama bisa wisdom). Agama ruang lingkupnya
berdampingan atau bahkan berasimilasi dan cenderung bersifat global, sedangkan
melakukan akomodasi dengan nilai-nilai kebudayaan atau tradisi ruang lingkupnya
budaya masyarakat. Menurut Anne Marie lebih lokal atau hanya menjadi milik
Malefijt (dalam Agus, 2006:5), bahwa komunitas tertentu yang hidup pada sutau
agama adalah the most important aspects of batasan wilayah tertentu.
culture. Aspek kehidupan beragama tidak Agama maupun budaya, berasal dari
hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, potensi bawaan (fitrah) manusia. Keduanya
tetapi juga berinteraksi dengan institusi tumbuh, berkembang, secara terpadu dalam
budaya yang lain dalam suatu struktur kehidupan manusia. Secara bersama pula
masyarakat. Dari pernyataan Malefijt dapat keduanya membentuk sistem budaya dan
disimpulkan bahwa agama mewarnai peradaban suatu masyarakat/bangsa. Di sisi
kebudayaan. lain, keduanya memiliki sifat yang berbeda.
Pada sisi yang lain, agama sebagai Jika agama memiliki sifat, ―kebergantungan‖
wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak dan ―kepasrahan‖, sedangkan budaya
(terutama agama-agama samawi) dan memiliki sifat ―kemandirian‖ dan
universal, maka agama tidak bisa ―keaktifan‖. Oleh karena itu dalam setiap
disejajarkan dengan nilai-nilai budaya yang tahapan perkembangan menunjukkan adanya
relatif dan lokal. Agama harus menjadi gejala, variasi, dan irama yang berbeda
sumber nilai bagi kelangsungan nilai-nilai antara lingkngan masyarakat/bangsa yang
budaya. Dengan demikian, terjadilah satu dengan yang lainnya (Marno, 2005:53-
hubungan timbal balik antara agama dan 54).
budaya. Hal yang kemudian menjadi Agama dan kebudayaan kemudian
problem adalah apakah nilai-nilai agama berjumpa dalam sebuah ruang sosial dan
ataukah nilai-nilai budaya lebih dominan satu sama lain menampilkan identitasnya
dalam kehidupan masyarakat tersebut masing-masing dengan segala kekhasannya.
(Wahyuni, 2013:114). Agama sebagai sebuah narasi universal dan
Agama dan kebudayaan mempunyai global serta dengan klaim absolut kemudian
dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem merespon kebudayaan sebagai narasi lokal.
nilai dan sistem simbol yang diresapi, Meski keduanya berbeda pada basis narasi,
dihayati, diyakini, serta diejawantahkan keduanya menempati posisi yang sama,

52
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

yaitu sama-sama menempati ruang sakral sebuah identitas, lokalitas pun tidak serta
dan profan dalam kehidupan manusia. Itulah merta hilang dengan kedatangan agama
sebabnya,menurut Clifford Geertz, Agama besar, meski konteks ke-lokal-an tentu saja
kerap tumpang tindih dengan kebudayaan telah mengalami perubahan besar seiring
(Agus,2005:9). dengan pengaruh agama besar yang datang.
Namun, ke-lokal-an tersebut berdialektika
Agama sebagai sebuah sistem religi
membutuhkan perwujudan budaya dalam dengan ke-global-an agama yang datang, di
bentuk simbol atau tindakan simbolis yang mana keduanya saling mengisi dan akhirnya
merupakan relasi komunikasi antara human- membentuk ―wajah‖ baru sebuah lokalitas,
kosmis dengan komunikasi religius yang dan tentu saja menambah satu wajah dari ke-
bersifat lahir maupun batin (Herusatoto, global-an sebuah agama. Akhirnya sebuah
2007:45). Richard Niebuhr dalam Said agama tampil dalam identitas kultural yang
jamak, sesuai dengan lokus-lokus lokal yang
(2009:98) mencatat lima macam respon yang
berkaitan dengan hubungan antara agama dimasukinya..
dengan kebudayaan. Yaitu, 1) agama Dihubungkan dengan Islam, lokalitas
menolak kebudayaan, 2) agama menyatu adalah sebuah atribusi yang dilekatkan pada
dengan kebudayaan, 3) agama mengatasi tradisi dan komunitas muslim yang berada di
kebudayaan, 4) agama dan kebudayaan luar pusat Islam, dalam hal ini Timur
bertolak belakang, dan 5) agama Tengah atau dunia Arab. Relasi kawasan
mentransformasi kebudayaan. Islam antara dunia Arab dan bukan dunia
Arab sering dimaknai sebagai relasi antara
Agama dan Lokalitas pusat dan pinggiran. Arab sebagai tempat
Berhadapan dengan agama global lahirnya Islam diasosiasikan sebagai wilayah
yang datang, lokalitas juga memainkan sentral, yang dari situlah hadir konsep
ketertutupan dan keterbukaannya. tentang ―Islam global‖. Sedangkan Islam
Keterbukaan, membuat lokalitas menerima yang berada di luar kawasan Arab dan tidak
agama yang datang, bahkan tak jarang bercirikan Arab dalam kulturnya sering
lokalitas yang mengafirmasinya sebagai diasosiasikan sebagai ―Islam lokal‖.
bagian dari identitas baru mereka. Sekalipun Relasi antara ―Islam global‖ yang
lokalitas menerima agama secara terbuka memiliki karakter Timur Tengah (Arab) dan
dan bahkan mengafirmasinya sebagai bagian ―Islam lokal‖ yang mengusung karakter
dari dientitas ke-lokal-an mereka, ruang lokal non Arab, selain dipahami sebagai
tertutup dari lokalitas tersebut juga tidak relasi antara pusat (central) dan pinggiran
serta merta hilang. Hal inilah yang membuat (peripheri), juga kerap dipahami sebagai
lokalitas dihadapan agama besar yang relasi antara ―Islam yang murni‖ dan ―Islam
mereka terima tetap tidak kehilangan yang tidak murni‖. Islam di Timur Tengah
identitas ke-lokal-annya. dipersepsikan sebagai Islam yang agung,
Identitas lokal dan agama terus karena lebih dekat dengan asalnya dan relatif
menerus mengalami pergulatan yang lebih bebas dari sinkretisme. Islam di Timur
panjang dan dinamis, meminjam istilah Peter Tengah dianggap sebagai tardisi Islam yang
Burke dan Jan S Steets (2009:195), terjadi tinggi (high tradition) yang harus menjadi
pergulatan yang terus menerus mengenai acuan bagi Islam di wilayah pinggiran
pemaknaan akan isi dan harapan. Sebagai (Afrika, Asia Selatan, dan Tenggara) yang

53
Sabara

dianggap low tradition. Dengan demikian, attorioloang digunakan sebagai agama masa
Islam di Timur Tengah (Arab) sebagai lampau atau agama yang sudah kuno dan
tradisi Islam yang sentral (global) dan dunia kemudian melegitimasi agama baru (Islam)
Islam yang lain sebagai tradisi periferal atau sebagai agama modern. (Latif, 2005:815)
local (Rahmat, 2003:77).
Sistem religi Bugis-Makassar pra
Pada dasarnya kehadiran ―Islam Islam sejatinya bersifat pribumi, meski
lokal‖ bukanlah sebagai anti tesa dari ―Islam memiliki beberapa persamaan dengan
global‖ yang mengusung paradigma Islam konsep religi India, baik Hindu maupun
yang monolitik. Pada ―Islam lokal‖ atau Buddha (Pelras, 2006:109). Namun, secara
Islam tradisional, sebenarnya unsur umum dapat dikatakan, bahwa sistem
globalisme dan lokalisme Islam dipadukan kepercayaan Sulsel kuno adalah sistem
dalam sebuah wajah kultur Islam yang khas, kepercayaan yang khas pribumi, baik secara
tanpa menggerus substansi globalisme Islam konseptual keyakinan teologis dan
yang universal. Sejatinya Islam tetap kosmologis hingga pada praktek ritual religi
akomodatif terhadap unsur kultur lokal yang dalam upacara keagamaan. Selain pemujaan
dapat dirangkul untuk menambah panorama terhadap Tuhan, pemujaan terhadap roh
khasanah budaya Islam yang universal, yang nenek moyang juga berkembang di sebagian
senantiasa cocok untuk semua tempat dan kalangan masyarakat. Hal ini ditandai
zaman. dengan adanya pemeliharaan tempat–tempat
keramat yang telah dikenal oleh masyarakat
Sekilas tentang Kepercayaan Pra-Islam Bugis-Makassar sejak lama. Sebelum
Jauh sebelum datangnya agama datangnya agama Islam, orang Bugis-
Islam, pranata keagamaan atau sistem Makassar mempercayai adanya tokoh-tokoh
kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan dewa, roh nenek moyang, serta makhluk
telah cukup mapan. Masyarakat Sulsel telah gaib lainnya. Kesemuanya itu dipercayai
menganut kepercayaan yang ajarannya lebih memberikan pengaruh bagi kehidupan
menekankan pada aspek keruhanian mereka. Keyakinan tersebut kemudian
(Mappangara dan Abbas, 2003:35), Sistem berkembang menjadi sistem ritual berkenaan
kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan dengan pemujaan kepada sosok-sosok suci
adalah kepercayaan tradisional yang yang diyakini bersifat adi-duniawi tersebut.
mempercayai akan adanya sosok dewa yang Pada intinya masyarakat Bugis-
tunggal (Dewata SewwaE). Sistem Makassar kuno percaya bahwa dunia terdiri
kepercayaan Sulsel kuno disebut dengan atas dua aspek, yaitu alam yang tampak
sistem kepercayaan attorioloang, yang (nyata) dan alam yang tidak tampak (gaib).
secara harfiah berarti ―anutan leluhur‖. Dunia yang tak tampak adalah dunia yang
Kepercayaan ini selama berabad-abad berada di luar jangkauan panca indera.
menjiwai dan dipegang teguh oleh Dalam keyakinan mereka bahwa di dalam
masyarakat sebagai pedoman hidup, dan dunia itu terdapat makhluk dan kekuatan
hingga kini masih terasa pengaruhnya. alam yang tidak dapat dikuasai oleh manusia
Pendiri agama asli Sulsel ini tidak dikenal, secara biasa, melainkan dengan cara yang
namun attorioloang berkembang menjadi luar biasa (Mappangara, 2003:35).
sistem kepercayaan yang inhern dengan Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk
budaya masyarakat Sulsel. Tidak jarang, halus timbul dari kesadaran masyarakat

54
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

animisme tentang jiwa atau soul yang semua tempat. Oleh karena itu,
menempati seluruh alam. Makhluk-makhluk penyembahan dapat dilakukan di kampung
halus ada yang bersahabat dengan manusia sendiri, walau masyarakat mempercayai
dan juga ada yang jahat. Makhluk halus bahwa pusat dewa terdapat di Gunung
yang jahat diistilahkan oleh Abu Hamid Bawakaraeng (Sewang,2005:49).
sebagai persona-persona jahat, terdiri atas
Masyarakat Sulawesi Selatan Pra
parakang,15 poppo,16 asupanting,17 dan
Islam juga percaya akan adanya kekuatan
tujua.18 Makhluk-makhluk halus tersebut
sakti pada benda-benda dan alam gaib.
sangat sangat ditakuti, karena bisa
Aspek kepercayaan terhadap kekuatan gaib
mendatangkan penyakit dan kematian.
dan arwah nenek moyang dinyatakan dengan
Pandangan nenek moyang orang Sulsel
pemujaan terhadap 1) tempat dan benda-
terhadap semesta alam, pada dasarnya
benda tertentu, 2) kuburan. Pemujaan
hampir sama di daerah lain. Fenomena
terhadap tempat dan benda-benda, misalnya
tersebut antara lain dapat dilihat dalam mitos
batu naparak (batu datar), pohon kayu besar,
mereka mengenai pandangan kosmologi
gunung sungai dan possi butta. Pemujaan
yang dapat dilihat dalam kepercayaan
terhadap kuburan-kuburan yang dipahami
mereka bahwa alam ini terdiri atas tiga
memiliki sejarah tertentu, yaitu kuburan
lapisan banua, yaitu boting langi‟ (dunia
orang yang berjasa membangun pemukiman
atas), kale lino (dunia tengah), dan paratiki
dan memberi keselamatan, kuburan orang-
atau pertiwi (dunia bawah) (Latif,2005:262-
orang suci (ulama) dan wali. Kuburan
274).
tersebut dianggap keramat, sedangkan
Untuk menghindari malapetaka tempat dan benda-benda yang dipuja itu
tertentu, seperti penyakit menular, hama dianggap sakral. Fungsi arwah nenek
tanaman, kekeringan, dan sebagainya, moyang dianggap selalu mengawasi,
mereka melakukan upacara pemujaan meliputi keturunannya dan memberi
terhadap dewa. Pemujaan dipimpin oleh keselamatan di dunia dan di hari kemudian.
seorang tokoh yang mereka namakan Oleh karena itu, perlu diberi sesajian guna
anrongguru (Makassar), anreguru (Bugis), memelihara kesinambungan hubungan
annangguru (Mandar). Mereka juga harmonis (Hamid,1994:47). Pemujaan
mempercayai dewa-dewa bawahan yang terhadap roh-roh halus juga dilakukan
disebut Puang Lohate. Tokoh tersebut dengan menggunakan kemenyan/dupa yang
bertugas untuk menggerakkan peristiwa dibakar, aroma dupa dipercaya sangat
alam. Dewa-dewa bawahan ini berada di disukai oleh roh-roh halus tersebut (Latif,
2005:39).
15
Sejenis manusia kesurupan yang dapat
Walaupun masyarakat Bugis-
menyebabkan kematian bagi manusia yang dihisap
darahnya. Makassar sudah sejak lama memeluk agama
16
Sejenis manusia terbang pada waktu malam Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari,
yang mencari mangsa ibu hamil atau anak bayi.
17
Sejenis makhluk jadia-jadian serupa anjing sebagian dari mereka masih
yang terbang di malam hari untuk mencari mangsa mempertahankan sisa-sisa keyakinan pra
berupa manusia atau orang sakit untuk selanjutnya ia Islam. Keyakinan lama itu masih nampak,
bunuh.
18
Kepercayaan pada masyarakat Makassar yakni dengan adanya pemeliharaan terhadap
tentang tujuh orang yang dikutuk dan kemudian tempat-tempat yang dianggap keramat. Di
arwahnya sampai hari ini bisa mengganggu orang
melalui kesurupan.
samping kepercayaan terhadap dewa-dewa,

55
Sabara

masyarakat Sulawesi Selatan, juga percaya mendatangkan keselamatan bagi anak cucu
terhadap makhluk-makhluk halus yang yang masih hidup serta isi negeri seluruhnya.
hidup di tempat–tempat yang dikeramatkan. Melalaikan pemujaan terhadap kalompoang
Karena itu, pemujaan terhadap roh nenek bagi mereka akan menimbulkan kutukan dari
moyang, juga pernah berkembang. Hal ini nenek moyang (Arif, 2008:63-64). Dengan
ditandai dengan adanya pemeliharaan demikian, posisi kalompoang tersebut
tempat–tempat keramat yang dikenal dengan sebagai mediator antara mereka dan nenek
nama saukang/gaukang. moyang, serta sebagai penyatu ikatan
Dalam kepercayaan masyarakat emosional dengan leluhur yang telah lama
Sulsel pra Islam, saukang dianggap sakti, meninggal.
keramat, dan memiliki kekuatan gaib. Pemujaan terhadap kalompoang atau
Saukang diletakkan di dekat batu, pohon, arajang tersebut ada kaitannya dengan
atau benda apa saja yang dianggap keramat kepercayaan terhadap arwah leluhur.
(Arif, 2008:65). Saukang juga biasa Pemujaan terhadap arajang maka akan
ditempatkan di dekat suatu tempat yang berkaitan dengan pemujaan terhadap
dianggap sebagai pusat bumi (possi‟ tana) gaukang, yaitu sebagai tempat sakral di
atau pun kuburan orang tertentu yang mana ditempat tersebut ditemukannya
diyakini memiliki kekeramatan. Selain itu, arajang. Menurut Thomas Gibson, gaukang
mereka juga percaya adanya kekuatan- menjadi fokus simbolik bagi kesatuan
kekuatan sakti pada benda-benda tertentu. kerajaan yang terpisah dari diri pribadi raja
Salah satu peninggalan prasejarah yang sendiri Pemujaan terhadap gaukang
dimaksud ialah menhir, yakni berupa memberikan sebuah identitas stabil bagi
bangunan yang melambangkan arwah nenek penguasa sekaligus memberikan vitalitas
moyang dan menjadi benda pujaan pada mistis bagi kekuasaan sang raja
masa lampau. (Gibson,2009:227). Itu sebabnya gaukang
Bentuk-bentuk ritual dalam menajdi sangat penting dalam sistem
kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar
kepercayaan masyarakat Sulsel pra Islam
diantaranya adalah penyembahan terhadap kuno.
sosok dewa matahari dan dewa bulan. Jejak-jejak kepercayaan masyarakat
Keduanya disembah pada saat matahari Sulsel pra Islam dapat ditemukan pada
terbit dan terbenam. Dalam hal pemujaan kepercayaan towani-tolotang di Sidrap,
terhadap dewa, masyarakat Sulsel tidak patuntung di Kajang-Bulukumba, dan aluk
memiliki tempat ibadah khusus. Upacara todolo di Toraja. Ketiga kepercayaan lokal
sembahyang atau upacara kurban dilakukan tersebut masih eksis hingga kini. Untuk
di tempat-tempat terbuka. Selain pemujaan kepercayaan towani-tolotang dan aluk
terhadap dewa, masyarakat Sulsel kuno juga todolo keduanya tidak berafilias pada gama
memberikan pemujaan pada kalompoang Islam maupun Kristen yang menjadi anutan
(Makassar) atau arajang (Bugis). Pemujaan mayoritas orang Bugis dan Toraja. Secara
terhadap arajang atau formal, kedua kepercayaan lokal tersebut
kalompoang.mengindikasikan bahwa mereka dikategorikan ke dalam agama Hindu.
masih percaya pada kekuatan arwah leluhur Sedangkan untuk kepercayaan patuntung di
(nenek moyang). Melalui kepercayaan pada tana toa Kajang, Bulukumba masih dianut
arajang tersebut, diyakini para leluhur akan dengan kuat oleh sebagian masyarakat,

56
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

khususnya yang berada di wilayah Kajang terlambatnya pengIslaman di Sulsel


Dalam. Namun, secara formal pengamal disebabkan kesetiaan dan ketaatan yang kuat
tradisi patuntung beridentitaskan Islam, dari rakyat kepada adat dan keyakinan
meski syariat Islam secara formal cenderung mereka.
tidak dijalankan oleh penganut adat
Dalam catatan sejarah mainstream,
patuntung. Pada prakteknya, pengamal
peristiwa masuknya Islam di Sulsel ditandai
patuntung telah melakukan sinkretisme
dengan kedatangan Syeikh Abdul Makmur
dengan Islam. Sisa-sisa tradisi praIslam
Khatib Tunggal atau Dato‘ ri Bandang
yang masih eksis namun kemudian
beserta dua kawannya yang lain, yaitu
diberikan legitimasi atau diadaptasikan
Khatib Bungsu Abdul Jawad atau Datu ri
dengan simbol-simbol Islam misalnya tradisi
Tiro dan Khatib Sulung Datu Sulaeman atau
―haji‖ di gunung Bawakaraeng dan di
Datu Patimang pada awal abad ke 17. Dato
Gantarang, Selayar.
ri Bandang kemudian mengIslamkan
Jejak kepercayaan masyarakat Sulsel kerajaan Gowa, Dato di Tiro bergerak lebih
pra Islam juga terlihat pada komunitas bissu ke Selatan dan melakukan penyebaran Islam
yang ada di pangkep, Soppeng, dan Bone. di wilayah Bulukumba. Sedangkan Dato
Bissu adalah seniman dan juga adalah Sulaeman atau Dato‘ Patimang berlayar
pendeta agama Bugis kuno. Mereka adalah menyisir teluk Bone ke arah Utara dan
pria yang bersifat kewanitaan (callabai) dan kemudian melakukan dakwah Islam di
dalam kehidupan keseharian mereka lebih wilayah kerajaan Luwu.
suka tampil sebagai wanita. Mereka
Sebenarnya, kedatangan Islam di
memiliki kesaktian dan peran vital dalam
wilayah Sulawesi Selatan telah jauh
upacara-upacara ritual. Mereka juga
sebelumnya, yaitu ketika seorang ulama
memiliki kedudukan dalam masyarakat
Persia yang bernama Jamaluddin al-Husein
sebagai penjaga pusaka (arajang) di istana
al-Akbar yang diyakini masih merupakan
yang dipercayai dihuni oleh roh-roh leluhur
keturunan dari Rasulullah datang ke
serta dewata. Bissu memiliki bahasa sendiri
Indonesia melalui Kamboja. Jamaluddin
untuk berkomunikasi dengan para dewata
sampai di Indonesia kemudian singgah di
dan untuk berkomunikasi dan berbahasa
Aceh dan Jawa untuk kemudian melanjutkan
dengans esama mereka yang disebut dengan
perjalanan ke Sulawesi Selatan. Jamaluddin
bahasa torilangi.
kemudian memilih Tosora (Wajo) sebagai
tempat tinggal dan menetap hingga
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
meninggal di sana. Di Jawa, Jamaluddin
Ada fakta menarik jika kita dikenal dengan nama Maulana Jumadil
membicarakan sejarah Islam di Sulawesi Kubra (Ramli, 2006:55).
Selatan, yaitu masuknya Islam di Sulsel
Kapan Jamaluddin masuk ke Sulsel
termasuk agak terlambat dibandingkan
tidak dieproleh keterangan yang jelas.
kawasan di sekitarnya, seperti Maluku,
Namun, jika diperhatikan silsilah wali songo
Kalimantan Selatan, dan Pesisir Utara Jawa.
yang pertama, Maulana Malik Ibrahim
Walaupun hubungan perdagagan dengan
merupakan cucu dari Jamaluddin al-Akbar.
negeri-negeri Islam di seberang telah terjalin
Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Islam
lama. Menurut D.G.E. Hall dalam
di Gresik dan wafat di sana pada tahun 1419
Mappangara dan Abbas (2003:9)

57
Sabara

M. Melalui informasi tersebut dapat secara damai, namun tiga kerajaan Bugis
diperkirakan bahwa Syeikh Jamaluddin al- menentang ajakan Gowa tersebut. Ajakan
Akbar al-Husain masuk ke Sulawesi Selatan raja Gowa untuk memeluk Islam kepada
(Wajo) pada pertengahan abad ke 14 (Ramli, kerajaan-kerajaan Bugis, akan tetapi
2006:55). Kedatangan Syeikh Jamaluddin sebagian raja-raja Bugis acuh tak acuh
tersebut sekitar hampir 3 abad sebelum terhadap ajakan raja Gowa tersebut.
Islam diterima secara massif sebagai agama Sehingga raja Gowa terpaksa mengangkat
resmi oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi senjata kepada kerajaan-kerajaan yang masih
Selatan. Syeikh Jamaluddin masuk di tetap mempertahankan keyakinan lamanya
Sulawesi Selatan dan mendarat di daerah tersebut (Patunru, 2004:99).
Bojo, Kabupaten Barru bersama 15 orang
Melihat pola penyebaran Islam di
pengawalnya, dari Bojo, kemudian
Sulsel menggunakan pendekatan politik
rombongan melakukan perjalanan darat dan
sebagai saluran islamisasi. Hal ini dapat
kemudian bergerak menyusuri danau Tempe
dimaklumi, katena meski telah satu abad
hingga akhirnya berlabuh dan menetap di
bahkan lebih Islam masuk di wilayah Sulsel,
salah satu tepian danau Tempe yang
namun belum dapat diterima secara massif
kemudian dikenal dengan nama Tosora
oleh masyarakat karena faktor raja mereka
(Ilyas, 2011:199).
belum Islam. Jalur perdagangan dan
Secara formal, Islam diterima pendekatan kultural belum terlihat
sebagai agama kerajaan pada tanggal 15 efektivitasnya dalam penyebaran Islam.
Ramadhan 1013 Hijriyah atau 4 Februari Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa
1603 Masehi (dua tahun sebelum Gowa pendekatan politik menjadi penentu utama
diIslamkan secara resmi dan massif), yaitu keberhasilan islamisasi di Sulsel. Karena
ketika Datu La Pattiware Daeng Para‘bung dengan pengislaman melalui institusi
selaku Datu Luwu diIslamkan oleh tiga kerajaan, dalam hal ini raja dan bangsawan,
datuk penyebar Islam. Proses penerimaaan maka dengan sendirinya seluruh rakyat pun
Islam oleh penguasa Luwu dimulai dari ikut masuk Islam. Kultur patriarkat yang
sebuah dialog teologis yang cukup panjang sangat kental membuat rakyat tak berani
antara ketiga datuk dengan penguasa dan menjatuhkan pilihan penting tentang anutan
bangsawan Luwu. Proses dialog terjadi hidup yang berbeda dengan raja mereka,
dengan sangat santun antara kedua belah dalam hal ini mengenai agama. Perang
pihak, hingga akhirnya mereka secara sadar pengislaman yang dilakukan oleh Gowa
menerima Islam. Datu Sulaiman dengan terhadap kerajaan-kerajaan Bugis pun adalah
Datu Luwu berdiskusi tentang ketuhanan, bagian dari proses Islamisasi yang
ternyata konsep Dewata Seuwae yang menggunakan saluran politik. Dengan
dipahami Datu Luwu dan rakyatnya demikian, jalur birokrasi politik dan
kemudian disebut Datu Sulaeman sebagai islamisasi adalah dua hal yang tak
Allah dan konsekuensinya adalah mengakui terpisahkan dalam proses penyebaran Islam
kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja di Sulsel secara umum.
Luwu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Meskipun awalnya menjadi
Proses penyebaran Islam di kerajaan- penentang keras dari dakwah Islam,
kerajaan di Sulsel bukanlah tanpa halangan. kemudian kerajaan-kerajaan Bugis
Beberapa kerajaan kecil menerima Islam berkembang menjadi kerajaan yang cukup

58
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

ketat menjalankan aturan Islam. Bahkan di Luwu, dan kerajaan-kerajaan lokal yang
Bone, rajanya yang bernama La sebelumnya terlibat konflik satu sama lain.
Ma‘daremmeng, anak dari La Tenripale (raja Lambat laun menemukan cara baru untuk
Bone yang ditaklukkan dan akhirnya bersatu di bawah naungan agama baru.
memeluk Islam) yang berkuasa antara tahun Penyebaran Islam melalui jalur politik dan
1630-1643. Beliau mengkampanyekan birokratis membawa konsekuensi pada
pelaksanaan ajaran Islam yang sangat ketat keharusan kompromi-kompromi. Kompromi
sesuai dengan aturan syariat Islam. Dia pertama adalah dengan sistem pemerintahan
mengeluarkan dekrit yang melarang semua yang berlaku, yang kedua adalah kompromi
orang di kerajaannya menyimpan dan dengan aspek-aspek pangngaddereng selaku
mempekerjakan budak yang terlahir sebagai pranata dan sistem sosial dan budaya
budak. Semua budak dibebaskan atau masyarakat Sulsel. (Ahmad, 2008:59-60).
diberikan gaji sesuai dengan pekerjaan
Islamisasi di Sulsel menurut
mereka. Dia memecat bissu, melarang
Mansyur Suryanegara (1999:34) adalah
perjudian dan minum arak, serta
penggabungan antara pola dialog dan
menghancurkan seluruh tempat pemujaan
integratif. Pola dialog adalah pola
kuno, tempat-tempat yang dilihatnya sebagai
penyebaran Islam dengan mengajak pada
lokasi pemujaan berhala (syirik). Dekrit
Islam melalui pendekatan kultural atau pun
yang dikeluarkan La Ma‘daremmeng
melalui dialog pemikiran dan teologis.
mendapatkan tentangan dari Gowa, bahkan
Metode ini berlaku dalam proses islamisasi
oleh para bangsawan Bone sendiri. Para
di Jawa. Sedangkan pola integratif
bangsawan Bone menentang dekrit tentang
menggunakan pendekatan kekuasaan secara
pembebasan budak yang tidak terlahir
top down sebagai saluran islamisasi dengan
sebagai budak. Para bangsawan tersebut
cara mengintegrasikan Islam dengan pusat-
dipimpin oleh ibu kandung La
pusat kekuasaan, pola ini seperti yang terjadi
Ma‘daremmeng sendiri (Gibson, 2012:72-
di sebagian wilayah Sumatera. Untuk
73).
Indonesia Timur secara umum
Apa yang dilakukan oleh raja La penggabungan kedua pola ini berlaku,
Ma‘daremmeng tersebut membuktikan termasuk di Sulsel. Penggunaan dua modul
komitmen penguasa Bone yang sebelumnya Islamisasi ini tampak dari serangkaian dialog
menjadi penentang keras dakwah Islam yang dibangun oleh para muballigh dengan
menjadi penyokong utama pemberlakuan penguasa-penguasa Sulsel (khususnya Luwu
syariat Islam di kerajaan. Perubahan dan Tallo) sebelum akhirnya mereka
penerimaan dan komitmen keislaman dari menerima Islam.
penguasa Bone tersebut hanya berselisih satu
Proses islamisasi dalam artian
generasi saja dari sebelumnya menentang
penerapan Islam dalam kehidupan
dakwah Islam melalui perang.
keseharian masyarakat Bugis-Makassar tidak
Proses islamisasi melalui jalur secepat penerimaan mereka kepada Islam
politik, membuat kehadiran Islam pun tampil sebagai anutan formal. Proses syahadat tidak
sebagai pemersatu kerajaan-kerajaan untuk serta merta mengubah kepercayaan dan
kemudian meng-integrasikan diri ke dalam struktur sosial masyarakat. Bahkan menurut
persekutuan masyarakat yang lebih luas. Anthony Reid, mengutip pendapat
Masyarakat Islam di kerajaan Gowa, Bone, Kooreman sampai abad ke 19 orang-orang

59
Sabara

Bugis-Makassar masih menyembah arajang Nyaris tidak ada pemaksaan secara formal
atau kalompoang lebih dari mereka tentang bagaimana aturan Islam harus
menyembah Allah dan Rasul-Nya (Ahmad, dijalankan melalui kekuatan negara. (Ramli,
2008:60). Dengan demikian proses panjang 2006:73). Jika pun ada upaya untuk
Islamisasi terus berlagsung bahkan ketika memaksakan penerapan Islam melalui jalur
Islam sebagai agama secara formal telah formal dan politik, maka secara sosio-
diterima secara massif oleh orang-orang kultural dan politis akan terjadi penolakan
Bugis-Makassar. yang massif. Misalnya pada kasus La‘
Ma;daremmeng raja Bone.
Integrasi Islam dalam Budaya Lokal
Sulsel sejak dahulu sampai sekarang
Sulawesi Selatan
terbangun dari pola tertentu yang disebut
Masuknya Islam di Sulsel tidak pola budaya atau budaya Sulsel. Berbagai
menjumpai ruang yang kosong dari studi menunjukkan bahwa budaya Sulawesi
kebudayaan. Masyarakat Sulsel sebelumnya Selatan dapat dapat ditemukan dan
sudah memiliki apa yang disebut terangkum dalam konsep panngaderreng
kebudayaan dan kepercayaan yang telah (Bugis) atau panngadakkang (Makassar).
diamalkan secara turun temurun dari zaman Dengan demikian, berarti sesuatu yang
nenek moyang. Budaya Sulsel bersifat unik menjadi tempat berpijak perilaku dan
dan khas, karena berbeda dengan budaya di kehidupan masyarakat Makassar dan Bugis.
daerah jawa dan Sumatera yang cukup Panngaderreng atau panngadakkang
kental dengan pengaruh Sansekerta (India) merupakan tumpuan tradisi yang sudah lama
maupun budaya Cina (untuk Sumatera) serta ada, yaitu sejak manusia Sulawesi Selatan
agama Hindu dan Buddha. Budaya Sulsel mulai ada dalam sejarah.
masih menampakkan keoriginalannya
Kedatangan Islam di wilayah Sulsel
sebagai budaya yang lahir dari masyarakat
membawa perubahan besar bagi kehidupan
pribumi yang tidak terlalu mendapatkan
sehari-hari masyarakatnya. Perubahan
pengaruh dari budaya luar. Diterimanya
tersebut meliputi perubahan pada cara
Islam pada masyarakat Sulsel, maka
pandang terhadap dunia dan kehidupan
beberapa sendi kehidupan masyarakat
(world view) serta perubahan yang berkaitan
mengalami warna baru. Hal ini dapat dilihat
dengan kehidupan keagamaan. Orang-orang
dalam pola-pola sosial, sistem budaya, dan
Bugis dan Makassar merupakan orang-orang
bahkan birokrasi kepemimpinan yang
yang taat dan memegang kukuh adat-istiadat
mengalami perubahan. Kedatangan Islam
mereka. Kehadiran Islam, memberikan
memunculkan pemahaman baru bahwa
warna pada pelaksanaan adat-istiadat dan
Islam datang untuk menguatkan adat yang
berbagai tradisi dalam masyarakat Sulsel.
baik dan merombak adat yang tercela.
Seluruh sendi kehidupan pribadi dan sosial Menurut Christian Pelras,
masyarakat, sedikit-banyaknya mengalami sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir
persentuhan dan pengaruh ajaran Islam. Ahmad (2008:62-63), bahwa akulturasi
Islam dan tradisi lokal Bugis mengakibatkan
Islam yang disebarkan di Sulsel
terjadinya sinkretisme Islam. Sinkretisme ini
dengan pendekatan formal-birokratis atau
tidak timbul secara spontan, tetapi sengaja
bersifat top down, namun ajaran Islam tetap
diciptakan untuk memungkinkan penerimaan
ditanamkan melalui pendekatan kultural.

60
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

Islam oleh para raja yang mengaku sebagai Sebelum Islam masuk, pangngadereng
keturunan langsung dari tomanurung dan atau pangngadakang merupakan sistem
kedaulatannya sangat terikat langsung pada kebudayaan masyarakat Bugis dan makassar.
arajang dan upacara bissu. Sedangkan Sistem adat tersebut mencakup 4 hal, yaitu
menurut Kadir Ahmad sendiri, Islam Bugis ade‟(adat) yang berati aturan atau keputusan
(dan Makassar) lebih tepat diidentikan yang permanen. Ade‟ merupakan konsep
sebagai Islam formalistik. Tetap kunci dari kebudayaan Bugis dan Makasaar
mengakomodasi budaya lokal, tetapi tidak yang mengatur keseluruhan dimensi
pernah mengakuinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Ade‟ mencakup
Islam. Bagaikan makanan, Islam dan budaya pengaturan kehidupan rumah tangga,
lokal dihidangkan bersama tetapi dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
wadah yang berbeda. Dalam pandangan Selanjutnya adalah bicara atau ketentuan-
penulis, corak Islam di satu sisi memang ketentuan menyangkut masalah peradilan.
sangat formalistik, di mana terjadi Aaaade‟ dan bicara merupakan dua bagian
pemisahan yang ketat antara Islam dan yang saling berkaitan. Pelanggaran terhadap
budaya lokal, meski keduanya tetap adat mengharuskan dilaksanakannya
dijalankan secara bersamaan. Namun, pada pengadilan yang berfungsi untuk menilai
hal yang lain, corak Islam dan budaya lokal kadar pelanggaran dan untuk kemudian
di Sulsel bersifat integratif. Misalnya pada menentukan sanksi apa yang tepat untuk
kasus masuknya sistem syara‟ menjadi dijatuhkan. Ketiga adalah rapang yang
bagian integral dari pangnga‟dereng (sistem berarti permisalan atau perumpamaan.
adat), baik pada masyarakat Bugis maupun Rapang merupakan salah satu sendi dari
Makassar. pangngadereng yang berfungsi untuk
Islam datang memperkaya budaya memberi petunjuk tentang apa yang
Sulsel dengan memasukkan unsur baru seharusnya dilakukan dan apa yang
kedalamnya. Sebagaimana diketahui sebuah seharusnya tidak dilakukan. Selanjutnya
budaya akan berkembang manakala budaya adalah wari‟, yaitu komponen
itu terbuka terhadap masuknya unsur budaya pangnga‟dereng yang berfungsi untuk
dari luar. Tanpa itu maka budaya dan menata masyarakat menurut hubungan
masyarakat itu sendiri akan vakum dan kekerabatan dan keturunan (lihat Said,
tertinggal, bahkan dapat mengalami 2009:50-57). Kedatangan Islam menambah
kepunahan. Islam distu sisi dan kebudayaan satu komponen pangnga‟dereng menjadi
lokal disisi lain telah terlibat dalam proses lima komponen penting yaitu dengan
dialog sepanjang sejarah awal datang dan memasukkan sara‟, yaitu komponen adat
masuknya Islam di Sulawesi Selatan hingga yang mengatur soal-soal keagamaan. Sara‟
akhirnya terjadi akulturasi dimana keduanya secara struktur dan pranata sosial diposisikan
berhasil mencapai tingkat kesepakatan setara dengan keempat pangngaddereng
kultural dengan masuknya saraq yang telah ada sebelumnya.
kedalam panngaderreng. ini adalah sebuah Institusi sara‟ hadir bersamaan
model kompromi dan akomodatif yang dengan proses awal islamisasi di Sulawesi
dilakukan kedua belah pihak yang Selatan. Pembentukan institusi sara‟
berlangsung pada tingkatan antara Islam merupakan konsekwensi logis dari
dengan aspek-aspek panngaderreng. diterimanya Islam sebagai agama resmi oleh

61
Sabara

kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. sebelah kiri raja duduk pemangku adat


Sesuai namanya, sara‟ yang artinya syariat lainnya. Pejabat sara‟ dan pemangku adat
Islam, dengan demikian institusi sara‟ duduk berhadap-hadapan di kedua sisi raja.
bertanggung jawab dalam urusan-urusan Sedangkan raja duduk berdampingan dengan
yang menyangkut ajaran (syariat) Islam. Ini kali. Posisi ini menunjukkan posisi strategis
berarti bahwa sara‟ mengurus hal-hal yang parewa sara‟ dalam struktur birokrasi
menyangkut sendi-sendi kehidupan kerajaan.
masyarakat yang penting yakni kehidupan
Dengan diterimanya sara‟ sebagai
beragama. Struktur organisasi sara‟
bagian integral dari pangngadereng, maka
mengikuti susunan organisasi pemerintahan
pranata-pranata kehidupan sosial masyarakat
kerajaan. Pada tingkat pusat terdapat kali
Bugis dan Makassar memperoleh warna
(kadhi) selaku pajabat sara‟ tertinggi dalam
baru. Karena sara‟ memberikan peranannya
suatu kerajaan. Jabatan yang lebih rendah
dalam berbagai tingkah laku kehidupan
dari kali ialah imang (imam) dengan
sosial budaya. Ketaatan orang Bugis dan
pembantu-pembantunya terdiri dari katte
Makassar kepada sara‟ sama dengan
(khatib), bilala/bidala (bilal) dan doja/doya.
ketaatan mereka kepada aspek-aspek
Struktur serupa beraku di beberapa kerajaan
pangnga‟dereng lainnya. Keadaan seperti ini
lainnya, seperti kerajaan Luwu, Wajo, Bone,
terjadi karena penerimaan mereka kepada
Gowa, Mandar dan di hampir semua daerah
Islam (sebagai agama) tidak terlalu banyak
di Sulawesi Selatan dan Barat.
mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah
Para pejabat sara‟ diisebut dengan kemasyarakat dan kebudayaan yang telah
istilah parewa sara‟. Pejabat sara‟ pada ada. Apa yang dibawa oleh Islam pada awal
tingkat pusat adalah Daeng Ta Kaliya yang datangnya hanyalah menyangkut hal-hal
menduduki jabatan tertinggi dalam bidang yang berkenaan dengan ubudiyah dan tidak
keagamaan. Datuk ri Bandang dikenal mengubah lembaga-lembaga dalam
sebagai penyebar Islam pertama di daerah kehidupan masyarakat yang telah ada.
kerajaan Gowa-Tallo, sekaligus menjabat Utamanya lembaga-lembaga sosial yang
sebagai Daeng Ta Kaliya yang pertama. menyangkut kehidupan politik sesuai dengan
Disamping itu, beliau juga menjadi pangngadereng Mappangara dan Abbas,
penasihat sombaya di bidang keagamaan. 2003:141).
Para pejabat sara‟ ini bertugas untuk
Masyarakat memperlakukan institusi
mengatur urusan-urusan keagamaan seperti
sara‟ dan segenap parewa sara‟nya sama
Maulid, Isra‘ Mi‘raj, Idul Fitri dan Idul
taatnya dalam melaksanakan adat-istiadat
Adha, mengatur urusan pernikahan,
pada semua aspek yang ada dalam
penyelenggaraan upacara kematian, dakwah
pangnga‟dereng. Hal ini disebabkan
Islam kepada masyarakat, serta memimpin
penerimaan agama Islam pada mulanya tidak
pelaksanaan shalat dan upacara keagamaan
terlalu banyak mengubah nilai-nilai dan
lainnya (Ahmad, 2009:64).
norma-norma kemasyarakatan yang telah
Kedudukan pejabat (parewa) sara‟ melembaga dalam kehidupan sehari-hari.
disamakan dengan pemangku adat lainnya. Pengajaran Islam yang dilakukan oleh para
Hal ini terbukti dari komposisi tepat duduk. penyebar Islam pada awalnya tidak
Pada bagian sebelah kanan raja duduk menitikberatkan pada perombakan pranata-
berdampingan para pejabat sara‟, dan pada pranata adat. Pengajaran Islam diusahakan

62
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

untuk mengisi batin dan mengubah arajang atau kalompoang dan saukang yang
perbuatan-perbuatan serta tingkah laku yang tetap dilakukan meski Islam telah dianut.
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Ketika ditemukan ada lembaga adat
Menurut Barbara Silliars Harvey yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tidak
dalam Mappangara dan Abbas (2003;142) serta merta dirombak atau diganti,
salah satu yang menyebabkan Islam mudah melainkan tetap dicari gantinya dan secara
berkembang di Sulawesi Selatan adalah berangsur-angsur diciptakan amsuk dalam
karena Islam memberikan alternatif terhadap lembaga atau pranata masyarakat. Seperti
cara-cara biasa untuk melakukan sesuatu. halnya budaya sikkirik juma‟ (dzikir Jumat)
Terkadang ajaran Islam menggantikan apa yang dilakukan pada setiap malam Jumat di
yang telah dilakukan sebelumnya, atau istana kerajaan. Sikkirik tersebut
terkadang peraturan baru (Islam) dimaksudkan untuk mengganti nyanyian
dikesampingkan, dan terkadang pula bissu yang ketika sebelum Islam selalu
dihadirkan sintesa baru dari keduanya. diadakan sekali sepekan di istana sebagai
Dengan jalan ini kebiasaan dan kepercayaan pemujaan terhadap simbol-simbol kerajaang
Islam bercampur dengan apa yang telah ada (arajang). Begitu pula dengan tradisi
dalam masyarakat setempat. Selain itu, barzanji, yang dimaksudkan untuk
bagian-bagian dari hukum Islam menjadi mengganti ritual dan tradisi masyarakat yang
satu dengan praktek yang sudah lazim telah ada sebelumnya. Sebelum Islam
berlaku dalam masyarakat. datang, terdapat upacara-upacara
Berdasarkan pendapat Barbara keagamaan, yaitu anggota masyarakat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam berkumpul mendengarkan bacaan sure‟
yang datang cukup lentur dan tidak terkesan selleyang yaitu suatu bacaan tentang
memaksakan ajaran. Proses perjumpaan pemujaan kepada Dewa Patotoe. Tradisi ini
berlangsung pun akhirnya menghadirkan kemudian digantikan dengan pembacaan
setidaknya tiga model, yaitu integrasi, kitab barzanji pada setiap upacara
keagamaan dan upacara yang berhubungan
negosiasi, bahkan negasi. Integrasi
kebudayaan berlaku ketika ajaran Islam dengan siklus hidup (life circle)
diterima masuk menjadi bagian yang integral (Mappangara dan Abbas, 2003:143).
dari sistem sosial dan kebudayaan Upacara life circle seperti kelahiran
masyarakat Sulsel, contohnya pada lembaga (Bugis, mappenre‟ tojang) (Makassar,
syara‟. Negosiasi kebudayaan terjadi pada maccera‟ ana‟), mabbaca doang (syukuran),
praktek-praktek ritual adat yang sebelumnya mappabotting (perkawinan), dan
telah berlangsung dengan kedatangan Islam mattampung (kematian) yang masih
kemudian bersintesa menjadi sebuah kultur mentradisi dalam masyarakat sulsel
baru yang Islami namun khas Sulsel, senantiasa dipengaruhi oleh ajaran Islam dan
misalnya tradisi barzanji pada setiap momen tradisi lokal. Termasuk pada tradisi yang
siklus hidup, tradisi malam paccing sebelum berkaitan dengan pekerjaan atau momentum
pernikahan, dan lainnya. Namun, pada kasus tertentu di mana sebagian besar masyarakat
tertentu pemberlakuan ajaran Islam Bugis dan Makassar mengadakan acara
mengalami penundaan atau mungkin mabbarazanji (membaca kitab Barzanji).
pengesampingan dan tetap mengedepankan
aturan adat, misalnya pada kasus pemujaan

63
Sabara

Pemujaan terhadap ruh nenek sentuhan Islam tanpa menghilangkan jejak-


moyang begitu kental dilaksanakan oleh jejak kelokalannya. Pemimpin-pemimpin
masyarakat Sulsel sebelum kedatangan upacar adat, seperti pinati, sanro, anrong
Islam. Tradisi tersebut tidak serta merta guru, panrita, bahkan bissu pada beberapa
dihilangkan melainkan dilakukan perubahan tempat tetap dipertahankan sebagai
bentuk dan substansi. Jika awalnya adalah pemimpin upacara adat. Persesuaian dan
pemujaan terhadap ruh nenek moyang, maka pengaruh ajaran Islam tetap terlihat dalam
perlahan diganti menjadi upacara setiap upacara adat di Sulsel. Contoh kecil
memepringati hari kematian pada waktu- misalnya, sebelum mengawali proses
waktu tertentu. Selain itu, tradisi ziarah upacara adat tetap dimulai dengan ucapan
kubur yang memang sudah ada dasarnya basmalah.
dalam syariat Islam juga menjadi medium
Meski Islam tetap mengakomodasi
pengalihan tradisi pemujaan ruh nenek
nilai dan adat lokal untuk tetap berkembang,
moyang tersebut menjadi tradisi menodakan
bukan berarti Islam yang datang adalah
ruh nenek moyang.
Islam yang ―bebas nilai‖, dalam artian
Dakwah Islam dilakukan secara membiarkan semua adat kebiasaan lokal
bertahap dalam banyak kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan Islam. Kecintaan
masyarakat. Kebiasaan yang lazim dilakukan pada makan daging babi dan minuman
oleh masyarakat dimodifikasi sedemikian alkohol dalam pesta, gaya busana wanita
rupa sehingga tidak menimbulkan kekacauan yang transparan, ditransformasi oleh Islam
dan akhirnya penolakan kepada Islam. pada pola kebiasaan dan adat yang sesuai
Misalnya dalam ritus-ritus yang sering dengan ajaran Islam.
dilakukan masyarakat pada masa pra Islam.
Dalam hal paradigma kebudayaan,
Pada upacara appasili‟ pada kehamilan,
orang Bugis-Makassar menganut konsep
caro‟-caro‟ dan tompolo‟ pada kelahiran,
siri‟. Konsep siri‟ ini mengintegrasikan
perkawinan, dan kematian telah banyak
secara organis semua unsur pokok dari
dilakukan perubahan. Sebelum Islam masuk
panngaderreng . dari hasil penelitian para
dalam kehidupan dan kebudayaan mereka,
ahli ilmu-ilmu sosial dapat diketahui bahwa
bacaan yang diucapkan pada saat upacara
konsep siri‟ itu meliputi banyak aspek dalam
atau ritual adat adalah bersumber dari jampi-
kehidupan masyarakat dan kebudayaan
jampi lokal. Namun karena pengaruh Islam,
orang Bugis-Makassar. Siri‟ secara harfiah
maka doa-doa yang dibacakan dan proses
berarti malu, dalam artian malu sebagai kata
upacara yang dilakukan telah terpengaruh
alat atau kata keadaan, perasaan malu,
oleh ajaran Islam.
menyesali diri, noda, atau aib, atau harga diri
Kedatangan Islam bukan berarti (Rahim, 2011:139). Siri‟ adalah harga diri
merubah total semua tata cara dan seluruh yang menjadi esensi identitas kemanusiaan
adat kebiasaan di Sulsel dengan menurut budaya Sulawesi Selatan. Siri‟
menghilangkan adat dan tata cara lama. merupakan nilai dasar manusia Bugis dan
Melainkan terjadi proses asimilasi Makassar. Orang yang telanjang dari
kebudayaan dan negosiasi kebudayaan, di perasaan siri‟ berarti telanjang dari
mana antara Islam dan tradisi lokal berpadu. moralitas. Maka siri‘ dalam pandangan
Tradisi lokal dalam bentuk upacara-upacara budaya Sulsel dapat disejajarkan dengan
adat tetap berlangsung namun diberi nilai dasar moralitas kemanusiaan yang

64
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

bersifat universal. Melalui masuknya nilai lokal. Bukan hanya Maulid Nabi, tapi semua
Islam dalam budaya orang Sulsel, maka hari besar Islam yang lain. Misalnya Isra‘
semakin memeprtegas makna siri‟ sebagai mi‘raj, tahun baru Hijriyah, Asyura, Nishfu
nilai moral dan harga diri yang harus Sya‘ban, Idul Fitri, maupun Idul Adha.
dipertahankan dan dijunjung tinggi. Islam Tradisi ziarah kubur juga selalu
memberikan justifikasi nilai teologis pada dirangkaikan dengan momentum puasa dan
hakikat siri‘ dan tentu saja unsur-unsur hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Hal
normatif yang sejalan dengan syariat Islam. ini menandakan bahwa Islam yang diterima
Konsep siri‟ mengalami penyesuaian dengan oleh masyarakat Sulsel telah benar-benar
konsep dan nilai terdalam kemanusiaan menyatu dalam adat keseharian mereka dan
menurut Islam. menjadikan semua peringatan hari besar
Islam yang semakin memberi warna Islam sebagai bagian integral dari rutinitas
upacara adat yang mereka lakukan.
dan semakin mengentalkan makna siri dalam
alam pikir kebudayaan orang Sulsel, bukan Bagaimana Islam dan nilai-nilai ke-
berarti makna siri‟ sebagai identitas yang Bugis-an dan ke-Makassar-an di Sulsel
khas lokal Sulsel, khususnya pada bersinggungan. Diantaranya dapat dilihat
prakteknya menjadi terabaikan. Siri‟ sebagai dalam semua ritus tahunan di daerah ini,
nilai dan segala konsekuensinya terintegrasi terlepas dari dominasi salah satunya (Islam
dalam sistem adat (ade‟) dan praktek- atau tradisi Bugis/Makassar). Interseksi
prakteknya masih tetap terjalankan sesuai antara kedua kultur itu misalnya dapat
dengan hukum adat, meski pada dilihat dalam upacara Maudu Lompoa
perkembangan selanjutnya telah mengalami (Maulid Besar) di Cikoang (Takalar), Maudu
penyesuaian-penyesuaian mengikuti Lompoa (Maulid Besar) di Maros, Accera
perkembangan zaman. Kalompoang (pencucian benda pusaka
Begitu kentalnya akulturasi Islam Kerajaan Gowa) di Sungguminasa (Gowa),
dan budaya sehingga ketika kita membahas Maggiri di Pangkep, Appalili di
Bontonompo (Gowa), Marumatang di
hal-hal metafisis maka akan sulit dibedakan
antara sufistik Islam dengan tradisi lokal. Duampanuae (Sinjai), Akkaraeng di Kelara
Pada tataran ritual, maka akulturasi itu akan (Jeneponto), Pa‟jukukang di Bantaeng. dan
nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah masih banyak lagi tentunya. Akhirnya dapat
baru pra Islam digantikan dengan disimpulkan bahwa, kehadiran Islam di
pembacaan Barzanji. Dalam tradisi lokal, wilayah Sulsel tidak serta menghabisi unsur-
telur memiliki makna yang filosofis sebagai unsur budaya lokal, melainkan Islam hadir
memberikan nuansa dan nilai-nilai baru pada
penanda kelahiran dan kehidupan. Akan
tetapi, untuk mengajak masyarakat agar budaya lokal tanpa menghilangkan identitas
lebih mengenal Nabinya melalui Maulid, kelokalannya.
maka ditengah Mesjid dipasang telur yang
PENUTUP
dihias yang kemudian diperebutkan dengan
harapan mendapatkan berkah dari Nabi. Sebelum datangnya agama Islam,
pranata keagamaan atau sistem kepercayaan
Hampir setiap hari-hari besar Islam
masyarakat Sulsel telah cukup mapan.
selalu diiringkan dengan tradisi lokal sebagai
Masyarakat Sulsel telah menganut
bentuk akulturasi antara Islam dan budaya
kepercayaan yang ajarannya lebih

65
Sabara

menekankan pada aspek keruhanian Sistem kepada Islam sebagai anutan formal. Proses
kepercayaan masyarakat Sulsel adalah syahadat tidak serta merta mengubah
kepercayaan tradisional yang mempercayai kepercayaan dan struktur sosial masyarakat.
akan adanya sosok dewa yang tunggal
Diterimanya Islam pada masyarakat
(Dewata SewwaE). Sistem kepercayaan
Sulawesi Selatan, maka beberapa sendi
Sulsel kuno disebut dengan sistem
kehidupan masyarakat mengalami warna
kepercayaan attorioloang, yang secara
baru. Hal ini dapat dilihat dalam pola-pola
harfiah berarti ―anutan leluhur‖.
sosial, sistem budaya, dan bahkan birokrasi
Kepercayaan ini selama berabad-abad
kepemimpinan yang mengalami perubahan.
menjiwai dan dipegang teguh oleh
Kedatangan Islam memunculkan
masyarakat sebagai pedoman hidup, dan
pemahaman baru bahwa Islam datang untuk
hingga kini masih terasa pengaruhnya.
menguatkan adat yang baik dan merombak
modern. kepercayaan yang ajarannya lebih
adat yang tercela. Seluruh sendi kehidupan
menekankan pada aspek keruhanian. Sistem
pribadi dan sosial masyarakat, sedikit-
religi Bugis-Makassar pra Islam sejatinya
banyaknya mengalami persentuhan dan
bersifat pribumi, meski memiliki beberapa
pengaruh ajaran Islam.Islam yang
persamaan dengan konsep religi India, baik
disebarkan di Sulsel dengan pendekatan
Hindu maupun Buddha.
formal-birokratis atau bersifat top down,
Pola penyebaran Islam di Sulsel namun ajaran Islam tetap ditanamkan
menggunakan pendekatan politik sebagai melalui pendekatan kultural. Nyaris tidak
saluran islamisasi. Jalur birokrasi politik dan ada pemaksaan secara formal tentang
islamisasi adalah dua hal yang tak bagaimana aturan Islam harus dijalankan
terpisahkan dalam proses penyebaran Islam melalui kekuatan negara. Kehadiran Islam di
di Sulsel secara umum. Proses islamisasi wilayah Sulsel tidak serta menghabisi unsur-
melalui jalur politik, membuat kehadiran unsur budaya lokal, melainkan Islam hadir
Islam pun tampil sebagai pemersatu memberikan nuansa dan nilai-nilai baru pada
kerajaan-kerajaan untuk kemudian budaya lokal tanpa menghilangkan identitas
mengintegrasikan diri ke dalam persekutuan kelokalannya.
masyarakat yang lebih luas. Penyebaran
Islam melalui jalur politik dan birokratis Daftar Pustaka
membawa konsekuensi pada keharusan Agus, Bustanuddin. Agama dalam
kompromi-kompromi, diantaranya adalah Kehidupan Manusia: Pengantar
dengan sistem pemerintahan yang berlaku Antropologi Agama. Jakarta:
dan kompromi dengan aspek-aspek Rajawali Press 2006.
pangngaddereng selaku pranata dan sistem Ahmad, Abdul Kadir. Ulama Bugis,
sosial dan budaya masyarakat Sulsel. Proses Makassar: Indobis. 2008.
panjang Islamisasi terus berlagsung bahkan Alifuddin, M. Islam Buton: Interaksi Islam
ketika Islam sebagai agama secara formal dan Budaya Lokal. Jakarta: Badan
telah diterima secara massif oleh orang- Litbang dan Diklat Departemen
orang Bugis-Makassar. Proses Islamisasi Agama RI. 2007.
dalam artian penerapan Islam dalam Arief, Syamsuddin. Jaringan Pesantren di
kehidupan keseharian masyarakat Bugis- Sulawesi Selatan (1928-2005).
Makassar tidak secepat penerimaan mereka Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2008.

66
MIMIKRI : Volume 4 Nomor 1 Tahun 2018

Gibson, Thomas. The Sun Pursued the Marno (ed). Kawasan dan Wawasan Studi
Moon:Symbolic Knowledge and Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Traditional Auhority among the Media Group. 2005.
Makassar. Diterjemahkan oleh Patunru, Abdurrazak Daeng. Bingkisan
Nurhady Sirimorok dengan Judul Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi
Kekuasaan, Raja, Syeikh, dan Selatan, Makassar: Pusat Kajian
Ambtenaar. Pengetahuan Simbolik
Indonesia Timur Bekerjasama
dan Kekuasaan Tradisional dengan Lembaga Penerbitan
Makassar 1300-2000. Makassar: Universitas Hasanuddin. 2004.
Ininnawa, 2009.
Rahim, Rahim. Nilai-nilai Utama
Hamid, Abu. Syeikh Yusuf Seorang Ulama, Kebudayaan Bugis. Yogyakarta:
Sufi, dan Pejuang. Jakarta: yayasan Ombak. 2011.
Obor Indonesia. 1994.
Rahmat, M. Imdadun et. al. Islam Pribumi:
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa.
Mendialogkan Agama Membaca
Yogyakarta: Ombak. 2007. Realitas.Jakarta: Erlangga. 2003.
Hudgson, Marshal G. The Venture of Islam: Ramli, Andi Muawiyah (ed). Demi Ayat
Conscience and History in a World Tuhan: Upaya KPPSI Menegakkan
Civilization, Diterjemahkan oleh Syariat islam, Jakarta: OPSI. 2006.
Mulyadi Kartanegara dengan Judul
Venture of Islam: Iman dan Sejarah Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan
dalam Peradaban Dunia (Buku Gowa (Abad XVI – XVII). Jakarta:
Pertama). Jakarta: Paramadina. 2002. Yayasan Obor Indonesia. 2005.
Ilyas. Husnul Fahimah. Lontaraq Suqkuna Simuh. Islam dan Pergumulan Budaya
Wajo: Telaah Ulang Awal Islamisasi Jawa. Bandung: Teraju. 2003.
di Wajo Ciputat: Sekolah Pasca Suryanegara, Mansyur. Islam dalam Sejarah
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. dan Kultur Nusantara. Yogyakarta:
2011. Pustaka Pelajar. 1999.
Latif, Halilintar Kepercayaan Orang Bugis Wahyuni. Perliaku Beragama (Studi
di Sulawesi Selatan: Sebuah Kajian Sosiologi terhadap Asimilasi Agama
Antropologi Budaya. Makassar, dan Budaya di Sulawesi Selatan.
Disertasi Universiats hasanuddin, Makassar: Alauddin University
2005. Press. 2013.
Mappangara, Suriadi dan Irwan Abbas.
Sejarah Islam di Sulawesi Selatan.
Makassar: Lamacca Press. 2003.

67

Anda mungkin juga menyukai