Anda di halaman 1dari 15

“AKULTURASI AJARAN ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL INDONESIA”

Azza Masluhatur Ramdini (2004026008)


UIN Walisongo Semarang
JL. Prof. Dr. Hamka, Tambakaji, Kec. Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah
Email: azzamasluhaturr@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas akulturasi Islam dan budaya lokal pada Indonesia yg difokuskan di 3
utama masalah, yaitu 1) bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal; dua) proses akulturasi Islam
serta budaya lokal; dan 3) akibat akulturasi Islam dan budaya lokal terhadap paham keislaman umat
di Indonesia. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pustaka yg datanya dikumpulkan melalui
dokumentasi serta dianalisis memakai metode analisis konten. hasil penelitian menunjukkan bahwa
akulturasi Islam dan budaya lokal terlihat pada program dan upacara istiadat, seni dan arsitektur,
serta sistem nilai warga . Akulturasi Islam dan budaya lokal terjadi sebab Islam memiliki sisi
universalitas bertemu dengan budaya lokal nusantara yg membutuhkan afiliasi serta mendapat
dukungan sosial buat berkembang. Akulturasi Islam serta budaya lokal pada Indonesia
menghasilkan praktik Islam lokal yang berimplikasi pada munculnya tiga paham keislaman, yaitu
Islam tradisionis, Islam modernis, serta Islam puritan. Penelitian ini berimplikasi pada ajaran Islam
mengandung peradaban yg lengkap, sebagai akibatnya perlu dilakukan Islamisasi budaya dalam
praktik Islam lokal demi menjaga kemurnian ajaran Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal.
Makna filosofis pada simbol ritual acara serta upacara istiadat harus dimaknai sinkron dengan
Islam. Ini ialah upaya pemurnian akidah dengan tetap mengakomodasi budaya lokal.
Pendahuluan
Islam menjadi agama tak tiba kepada komunitas insan yg hampa budaya. Islam hadir kepada suatu
rakyat yg telah sarat dengan keyakinan, tradisi, serta praktik-praktik kehidupan sinkron dengan
budaya yang membingkainya. Konteks sosiologis yang dihadapi Islam mengambarkan bahwa
kepercayaan yang beresensi wahyu Ilahiyah menggunakan berbagai ajarannya, tak dapat
dihindarkan asal kondisi sosial yang telah terdapat pada warga . Meskipun dalam perjalanannya, sisi
universalitas Islam selalu berdialog menggunakan kenyataan serta realitas budaya pada mana Islam
itu hadir.
Universalisme Islam adalah galat satu ciri Islam yg agung. Islam menjadi kepercayaan yg besar
berkarakteristikkan: (1) Rabbāniyyah, (dua) insāniyyah(humanistik), (tiga) syumūl (totalitas) yg
meliputi unsur keabadian, universalisme dan menyentuh seluruh aspek insan (ruh, akal, hati serta
badan), (4) wasaṭiyyah (moderat dan seimbang), (lima) waqi‘iyyah (empiris), (6) kentara dan
gamblang, (7) Integrasi antara al-ṣabat wa al-murūnah (tetap dan elastis )1.

1
Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 3.
Mengamati pemahaman Islam, perihal, dan praktik yang grup tadi kembangkan, maka mereka bisa
mengkategorikan menjadi gerombolan Salafi Radikal yg berorientasi kepada penegakan serta
pengamalan Islam yg murni sebagaimana yang dipraktikkan Muhammad saw serta para sahabatnya.
Mereka diklaim menjadi Salafi Radikal, sebab mereka cenderung menempuh pendekatan serta cara-
cara keras buat mencapai tujuan, daripada menggunakan pendekatan serta cara-cara hening dan
persuasif. Kemenonjolan rakyat keturunan Arab dalam kepemimpinan kelompok-kelompok seperti
ini pada segi tertentu tidak mengherankan. Hal ini sebab secara historis dan sosiologis, terdapat
keturunan Arab yg memandang bahwa diri mereka memiliki tugas suci buat memurnikan Islam
Indonesia dan membawanya menjadi Islam autentik sebagaimana dipahami serta dipraktikkan di
tanah Arab.
Pembahasan
Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses peleburan budaya (proses
peleburan dua atau lebih budaya dampak integrasi etnis serta efek timbal balik ), yang melahirkan
budaya baru, yaitu budaya Islam Indonesia. Masuknya Islam bukan berarti lenyapnya budaya Hindu
dan Budha.
Ke percayaan Islam artinya galat satu kepercayaan yang masuk serta berkembang di Indonesia.
Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, sebab pada media masa mungkin kita telah
seringkali mendengar atau membaca bahwa Indonesia merupakan negara yg mempunyai penganut
kepercayaan Islam terbesar di global.
Indonesia mempunyai banyak sekali ras, suku, bahasa, budaya, kepercayaan dan agama.
Semboyan "bhineka Tunggal Ika" ialah ungkapan yang sempurna untuk menyebutkan realitas serta
harapan negara ini. Meskipun Indonesia artinya salah satu negara Muslim terbesar pada dunia,
tetapi mempunyai impak Arabisasi paling sedikit dibandingkan menggunakan negara-negara
Muslim besar lainnya. Selain itu, pada proses Islamisasi Nusantara, penyebaran kepercayaan serta
budaya Islam tidak menghilangkan budaya lokal. Hal ini sebab proses Islamisasi dilakukan secara
hening melalui perdagangan, kesenian, perkawinan, dan pendidikan.realitas keragaman umat Islam
di Nusantara membagikan bahwa di setiap pelosok Nusantara ditentukan oleh budaya pra-Islam,
pemahaman ajaran Islam bervariasi.
Sebelum kedatangan Islam, aneka macam adat istiadat kuno dan agama lokal dipraktikkan
secara luas, sebagai akibatnya sangat terintegrasi k e pada struktur sosial. Sebagian besar daerah,
kedatangan Islam menggunakan jalan tenang bukan penaklukan dan secara awam dapat dikatakan
bahwa Islam tidak menggantikan atau menghancurkan tradisi budaya yang telah lama terdapat
terutama Hindu serta Budha tetapi memadukan dengan tradisi yg telah terdapat,keberadaan Islam
Indonesia yg dibawa oleh para muballigh memiliki fungsi ganda, karena selain mengemban misi
keislaman, mereka pula berperan sebagai saudagar Islam, memakai metode dakwah menggunakan
tradisi atau budaya Indonesia, yang menunjuk pada asimilasi dan budayaisasi. Penyebaran secara
tenang tradisi dan budaya Islam dan masyarakat lokal sudah berdampak di akselerasi proses
Islamisasi di Indonesia. 
Cara pengembangan Islam pada Nusantara ini adalah suatu keharusan yang tidak dapat dicapai
oleh para muballigh Islam, karena berasal segi sejarah, budaya Indonesia sudah bersinggungan
dengan budaya dan kepercayaan yg berlapis-lapis menggunakan konfigurasi yang mirip budaya
orisinil (segala sesuatunya mempunyai Spiritualisme serta vitalitas), budaya India (Hindu serta
Budha), masing-masing tingkat budaya ini membagikan gaya serta perubahan yg tidak selaras di
setiap wilayah tempat tingkat budaya berkembang.
Sistem atau cara yg digunakan oleh para muballigh Islam buat membuatkan agama Islam ke
seluruh penjuru global ini sama menggunakan sistem atau cara yg digunakan sang Nabi SAW dan
para sahabatnya ketika mendakwahkan kepercayaan Islam di Arab Saudi. Arabisme dan Islamisme
diperjuangkan sedemikian rupa di Timur Tengah, masyarakat sulit membhinekakan antara nilai-
nilai Islam dan simbol-simbol budaya Arab. 
Nabi Muhammad SAW, tentunya di bawah bimbingan Allah SWT, mengetahui sosiologi rakyat
Arab menggunakan baik waktu itu. Maka ia segera memakai tradisi Arab buat berbagi Islam.
menjadi model. ketika Nabi hijrah ke Madinah, penduduk Madinah menyanyikan thala'al
badru'alaina, serta lain-lain, dan menyapa mereka menggunakan gendang. oleh karena itu, Islam
tidak akan mentransfer simbol-simbol budaya yg terdapat di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya
Islam,dalam penyebaran Islam di Jawa, Walisongo menggunakan ilmu kebatinan. Perlahan, tanpa
penolakan keras terhadap budaya Jawa, Islam memperkenalkan toleransi dan kesetaraan,dalam
masyarakat Hindu-Jawa yang menekankan perbedaan derajat, ajaran Islam tentang kesetaraan
sangat menarik bagi orang Jawa. Selain para pedagang internasional, seruan Islam selanjutnya
menjadi motor penggerak perebutan kekuasaan politik asal penguasa India-Jawa.
Dakwah wali sangat memuaskan dengan memasukkan unsur pendidikan dan pedagogi Islam
pada semua cabang budaya, sehingga mengembangkan Islam ke semua pelosok Jawa,di masa
Mataram Islam, Sultan Agung jua mensosialisasikan kebijakan dakwah Islam berbasis budaya,
yaitu mengintegrasikan berbagai budaya Jawa kuno (zaman Hindu serta Budha) menggunakan
ajaran Islam. Wujud dakwah yg dilakukan secara kultural sang para wali (di zaman Demak) serta
zaman Mataram Islam, akhirnya dapat menanamkan nilai-nilai Islam ke pada masyarakat Jawa
tanpa wajib mencabutnya berasal landasan budaya.
Islam merupakan kepercayaan universal, tak khusus untuk orang serta negara tertentu seperti
kepercayaan suci sebelumnya. Misi primer Islam ialah rahmatan lil alamin, membawa kedamaian
bagi seluruh alam. dengan misi ini, Islam beredar ke semua dunia, termasuk Indonesia. Penyebaran
Islam ke semua daerah dunia membentuk corak dan varian Islam mempunyai ciri dan keunikan
tersendiri dibandingkan menggunakan Islam yang berkembang di Jazirah Arab. Begitu jua saat
Islam menyebar ke Indonesia, Islam tidak terlepas asal budaya lokal yang telah ada pada
masyarakat.
Islam secara dialektis dengan budaya lokal pada akhirnya membuat varian-varian Islam yg
spesial , seperti Islam Jawa, Islam Aceh, Islam Padang, Islam Sunda, Islam Sasak, Islam Bugis serta
sebagainya. budaya lokal. sang karena itu, buat seni manajemen Indonesia dalam mengembangkan
budaya Islam, kita perlu memiliki visi ke depan. Mengapa harus budaya? karena kebudayaan
menyangkut segala aspek dan dimensi cara pandang, sikap terhadap kehidupan dan perwujudannya
pada kehidupan insan.
Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Indonesia
Secara etimologi, dari Kamus besar Bahasa Indonesia, akulturasi adalah percampuran dua
kebudayaan atau lebih yg saling bertemu serta saling memengaruhi atau proses masuknya efek
kebudayaan asing dalam suatu rakyat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau poly unsur
kebudayaan asing itu.
Secara terminologi, pengertian akulturasi banyak dikemukakan oleh para ahli, di
antaranya:
berdasarkan Diaz dan Greiner dalam Nugroho serta Suryaningtyas, “akulturasi merupakan
suatu taraf dimana seseorang individu mengadopsi nilai, agama, budaya serta praktik-praktik
tertentu dalam budaya baru”2.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang akulturasi, dapat dipahami bahwa akulturasi artinya hasil
integrasi budaya asing ke dalam budaya gerombolan eksklusif (lokal) melalui interaksi, sebagai
akibatnya unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah pada kebudayaannya sendiri tanpa
menghilangkan ciri budaya lokal itu.
Melalui pengertian akulturasi ini, maka pada konteks masuknya Islam ke Nusantara (Indonesia) dan
pada perkembangan selanjutnya telah terjadi hubungan budaya yg saling memengaruhi. tetapi pada
proses hubungan itu, intinya kebudayaan setempat masih tetap kuat, sebagai akibatnya terdapat
deretan budaya orisinil (lokal) Indonesia menggunakan Islam. formasi inilah yang kemudian
dianggap akulturasi kebudayaan.
1. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Acara Adat
Masuknya nilai-nilai Islami pada acara adat, bisa ditinjau asal praktik ritual pada budaya
terkenal di Indonesia. keliru satunya digambarkan sang Kuntowijoyo dalam Upacara
Pangiwahan di Jawa Barat. Upacara ini dimaksudkan supaya insan bisa menjadi wiwoho (mulia).
Berangkat dari pemahaman ini, rakyat wajib memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, serta
sebagainya. seluruh ritual itu dimaksudkan buat menunjukkan bahwa kehidupan insan itu bersifat
mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini kentara-kentara diwarnai sang konsep
ajaran Islam yg memandang insan menjadi makhluk yg mulia 3. Makna filosofis pada program
serta upacara istiadat disisipi menggunakan nilai-nilai Islami. misalnya, persembahan sesajen
untuk memohon keselamatan asal yang Maha Kuasa di gerombolan warga tertentu diganti
sebagai program selamatan berupa doa dengan menyiapkan makanan yg disiapkan buat para
hadirin. warga bugis menyebutnya mabbaca doang salama.
2. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Seni dan Konstruksi Bangunan
 Seni, terdapat 3 bagian:
1) Kaligrafi menjadi kesenian arab yang menghiasi dinding mesjid pada Indonesia. Bahkan
pada perkembangannya kaligrafi telah menghiasi dinding rumah serta madrasah.
2) Wayang serta gamelang artinya satu paket yg lengkap, antara media bermain bersama
indera musiknya. Keduanya ialah kebudayaan orisinil asal Indonesia yg berfungsi
buat mempermudah penyebaran Islam.
2
Raden Arief Nugroho dan Valentina Widya Suryaningtyas, Akulturasi Antara Etnis Cina dan
Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa? (Yogyakarta: Andi Ofset, 2010), h. 2.
3
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001), h. 235.
3) Tari Seudati asal dari Aceh, nama lain tarian ini artinya tari Saman. berasal istilah
Seudati adalah Syaidati yg berarti permainan orang-orang akbar, diklaim tari Saman
karena mula-mula dimainkan delapan orang menggunakan lagu eksklusif berupa shalawat.
 Kontruksi Bangunan
Akulturasi dalam konstruksi bangunan bisa ditinjau asal contoh masjid pada
Indonesia yg beragam serta mempunyai bentuk spesial . contohnya masjid Demak,
contoh atau bentuk bangunannya menyerupai pendopo bujur sangkar. Selain itu atap
masjid berbentuk tumpang menggunakan jumlah ganjil tiga yg mirip pura kawasan
peribadatan Hindu menjadi kepercayaan warga lokal sebelum datangnya Islam. Pola
arsitektur masjid ini tak dikenal di tempat dunia muslim lainnya.
3. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Konsepsi Sosial
Akulturasi Islam serta budaya lokal pula tergambar dalam konsepsi sosial
masyarakat. Hal ini bisa dilihat di praktik muamalah dan masuknya syari’at sebagai
falsafah hayati rakyat lokal.
Sulawesi contohnya, Mattulada menyampaikan bahwa dalam aspek Pangadereng
(Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar), dikenal lima (lima) unsur utama yang
dikembangkan masyarakat Bugis-Makassar pada berinteraksi dan berdinamika, yaitu
(1) ade’
(2) bicara
(3) rapang
(4) wari’
(5) sara’4.
5 Kelima unsur tersebut merupakan tata nilai pergaulan bagi masyarakat Bugis-Makassar,
terutama unsur pokok kelima yg masuk terakhir, yaitu sara’. Hal ini menggambarkan dan
mengindikasikan masuknya Islam ke pada rapikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan.
berdasarkan lingkup yang lebih luas, syariat telah masuk pada regulasi nasional. Ini terbukti
dengan dilindunginya pelaksanaan syariat5. Bahkan terdapat syariat yang diundangkan,
seperti zakat dan nikah.
Proses Akulturasi Islam dan Budaya local di Indonesia
a. Universalitas Islam
Universalitas Islam menampakkan diri pada berbagai manifestasi krusial, serta yg terbaik
adalah pada ajaran-ajarannya6. Ajaran Islam yg mencakup aspek akidah, syari’ah serta
akhlak, tak jarang kali disempitkan oleh sebagian warga menjadi hanya kesusilaan serta
perilaku hayati, padahal lebih asal itu, yaitu menampakkan perhatian ajaran Islam yang
sangat akbar terhadap masalah utama kemanusiaan. Hal ini bisa dipandang dari enam tujuan
awam syari’ah yaitu; menjamin keselamatan kepercayaan , badan, logika, keturunan, harta
serta kehormatan7. Selain itu selebaran Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan
4
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis
(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1985), h. 344.
5
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1: “setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya”.
6
Abdurrahman Wahid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2004), h. 515.
7
Yūsuf al-Qarḍāwī, Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 61.
(social values) yg luhur, sehingga mampu dikatakan menjadi tujuan dasar syari’ah yaitu;
keadilan, ukhuwwah, tidakāful, kebebasan dan kehormatan.seluruh ini akhirnya bermuara di
keadilan sosial pada arti sebenarnya. Universalitas Islam bisa dipahami secara lebih jelas
melalui sifat al-waqi’iyyah (berpijak pada fenomena objektif insan). Ajaran universal Islam
tentang aspek kehidupan berbangsa serta bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa
menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah kepercayaan “baru”,
melainkan agama yg sudah dikenal dan dijalankan sang umat insan sepanjang zaman, sebab
semenjak semula telah terbit asal fitrahnya sendiri. Islam menjadi agama yg sahih,
kepercayaan yg sejati, mengutamakan perdamaian,serta rahmah li al-‘ālamīn, sebagai
akibatnya bisa mengakomodasi semua kebudayaan dan peradaban manusia di seluruh
global.
Sisi universalitas Islam ini, kemudian memunculkan kosmopolitanisme budaya Islam.
Hal
ini menerima ratifikasi langsung asal kitab suci, seperti suatu pengesahan berdasarkan konse
p-konsep kesatuan kemanusiaan yang merupakan pancaran konsep ke-Maha-Esaan tuhan.
Kesatuan asasi ummat manusia dan humanisme itu ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah/2:
213.
Artinya: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
Kitab yang benar,untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi
petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”8.
Ayat tersebut memberikan bahwa pengikut Muhammad saw diingatkan buat selalu
menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan. berdasarkan kesadaran itu mereka
menghasilkan pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yg konsepkonsep
dasarnya mencakup dan diambil berasal seluruh budaya umat insan. Refleksi dan
manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak pada etalase sejarah kebudayaan Islam
semenjak zaman Rasulullah, baik pada format non material seperti konsep-konsep
pemikiran, maupun yg material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya. pada masa
awal Islam, Rasulullah saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. kemudian,
tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah poly,dipanggillah seseorang tukang kayu
Romawi. dia berbagi untuk Nabi sebuah mimbar dengan 3 strata yang digunakan buat
khutbah Jumat serta munasabah-munasabah lainnya. lalu pada perang Ahzab, Rasul
menerima saran Salman al-Farisy untuk menghasilkan parit (khandaq) di sekitar Madinah.
Metode ini merupakan galat satu metode pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan
melaksanakan saran itu. dia tidak berkata: “Ini metode Majusi, kita tidak memakainya”. Para
teman juga meniru manajemen administrasi dan keuangan asal Persi, Romawi serta lainnya.
8
3Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010), h. 41.
Lihat juga QS. Yunus/10: 19.
Mereka tidak keberatan menggunakan hal itu selama membangun kemashlahatan serta tidak
bertentangan menggunakan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi berasal Persi sedang sistem
perkantoran diadopsi asal Romawi.
Dampak filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya pada sejarah
perkembangan pemikiran Islam telah bukan merupakan hal baru lagi. seperti halnya budaya
Yunani, budaya Persia jua amat akbar sahamnya pada perkembangan peradaban Islam. Bila
dinasti Umayyah pada Damaskus memakai sistem administratif serta birokratif Byzantium
pada menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di Bagdad (dekat Tesiphon, mak
kota dinasti Persi Sasan) memakai sistem Persia. dan pada pemikiran, tak sedikit impak-
pengaruh Persianisme atau Aryanisme (Iranisme) yang masuk ke pada sistem Islam. Hal ini
terpancar menggunakan jelas pada buku al-Ghazali (dia sendiri orang Parsi), seperti
Nashihat al-Mulk, siyasat namah (panduan pemerintahan), yang juga poly memakai bahan-
bahan pemikiran Persi9.
Sisi universalitas Islam yg lalu berkembang menjadi kosmopolitanisme budaya Islam yg
tiba ke nusantara, membuatnya diterima dengan baik sang masyarakat yang telah
mempunyai dasar kebudayaan bertenaga sebagai falsafah hayati. Akomodasi Islam terhadap
budaya yg mengakar membuatnya sebagai pelengkap dan penyempurna falsafah hayati
masyarakat lokal berasal segi prinsip maupun regulasi dalam berinteraksi.
b. Dukungan Sosial dan Kebutuhan Afiliasi Budaya Lokal
Dukungan Sosial
Dari Rook dalam Kumalasari serta Ahyani, bahwa dukungan sosial ialah salah satu
fungsi asal ikatan sosial, dan ikatan-ikatan tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum
dari korelasi interpersonal. Ikatan dan persahabatan dengan orang lain disebut menjadi
aspek yang menyampaikan kepuasan secara emosional pada kehidupan individu10.
Lebih rinci Sarafino menjelaskan empat jenis dukungan sosial, yaitu:
a) Dukung emosional, dukungan ini melibatkan ekspresi rasa ikut merasakan dan perhatian
terhadap individu, sehingga individu tadi merasa nyaman, dicintai serta diperhatikan.
Dukungan ini mencakup sikap mirip menyampaikan perhatian dan kasih sayang serta
bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.
b) Dukungan penghargaan, dukungan ini melibatkan ekspresi yg berupa pernyataan
putusan bulat serta evaluasi positif terhadap wangsit-wangsit, perasaan dan performa
orang lain.
c) Dukungan instrumental, bentuk dukung ini melibatkan bantuan eksklusif, contohnya yg
berupa donasi finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas eksklusif.
d) Dukungan berita, dukungan yg bersifat info ini dapat berupa saran, pengarahan serta
umpan kembali ihwal bagaimana cara memecahkan masalah11.
Berdasarkan jenis dukungan sosial tersebut, kemudian dikaitkan dengan penyebaran Islam di
nusantara, akulturasi Islam serta budaya lokal terjadi salah satunya sebab dukungan sosial
terhadap masyarakat lokal (pribumi). Baik dari para pedagang yg menyiarkan Islam, ulama yg

9
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 444
10
F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri
Remaja di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1 (Juni 2012): h. 25
11
F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, Hubungan Antara Dukungan Sosial, h. 25-26.
mendakwahkan Islam, terlebih dukungan pemerintah yang sudah memeluk Islam. tidak hanya
itu, pernikahan putri raja menggunakan ulama Islam semakin membuka lebar hubungan Islam
dengan budaya lokal. Para pedagang yg menyiarkan Islam menggunakan keteladanan akhlak
serta praktik muamalah yang mulia, kemudian dilanjutkan sang ulama sufi. Sebagaimana hasil
penelitian A. H. Johns, menemukan bahwa para sufi pengembaralah yang terutama melakukan
penyebaran kepercayaan Islam pada kawasan Nusantara, dengan mempertimbangkan
kemungkinan mungil bahwa para pedagang memainkan kiprah terpenting pada penyebaran Islam
di tempat ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara semenjak
abad ke-13. dalam “teori sufi” yang diajukan Johns ini, para sufi berhasil mengislamkan
sebagian akbar penduduk Nusantara sebab kemampuan mereka menyajikan Islam dalam
bungkus yg atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian menggunakan Islam atau
kontinuitas, ketimbang perubahan dalam agama serta praktik keagamaan lokal. buat memperkuat
argumentasi “teori sufi” yang diajukannya, Johns memakai tasawuf menjadi sebuah kategori
pada literatur serta sejarah MelayuIndonesia buat mempelajari sejumlah sejarah lokal12.
Akibat asal pemeriksaan sejarah lokal tadi, Johns berkata bahwa banyak asal-asal lokal
Melayu-Indonesia yang mengaitkan sosialisasi Islam ke kawasan ini melalui pengajar-guru
pengembara dengan ciri sufi yg kental. Selanjutnya, berkat otoritas karismatik serta kekuatan
magis mereka, sebagian pengajar sufi bisa mengawini putri-putri bangsawan. Hal itu kemudian
memberikan pada anakanak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau
karisma keagamaan. Ulama yg mendakwahkan Islam, memainkan peran krusial pada akulturasi
menggunakan melakukan dakwah melalui pendekatan budaya. Islam yang bercorak lokal yg
dibawa oleh para ulama, sebagai Islam yang bisa “tampil dengan wajah yang ramah”. Islam lokal
bisa menoleransi dengan baik dan menjaga kontinuitas budaya yang telah ada serta mengakar
pada warga pribumi. Bahkan, pada tahun 1476 M, di Bintoro (Demak) dikeluarkan kebijakan
penyebaran Islam menggunakan dibentuknya bayangkare islah (angkatan pelopor perbaikan),
menggunakan planning kerja yg diantaranya artinya pendidikan dan ajaran Islam harus diberikan
melalui jalan kebudayaan yg hidup dalam masyarakat Jawa, asal tidak menyalahi (secara
substantif) ajaran-ajaran Islam13. Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para wali
songo. contohnya, perkawinan putri Campa yg beragama Islam dengan putra mahkota raja
Majapahit melahirkan putra yang pada lalu hari menjadi pendiri kerajaan Islam Demak, yaitu
Raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M). Maulana Ishak mengawini putri Blambangan dan
melahirkan Sunan Giri (Gresik). Senada menggunakan pendapat A. H. Jhons, Musyrifah Sunanto
menyampaikan bahwa perkawinan sebagai galat satu modus dakwah para wali songo buat
memperkokoh legitimasi sosial serta politik Islam di lingkungan penguasa Majapahit, serta
memberikan gengsi darah para bangsawan Jawa dan aura keilahian pada keturunan mereka14.
Kebutuhan Afiliasi
Dari Murray kebutuhan berafiliasi terkait dengan kecenderungan buat membentuk
pertemanan serta bersosialisasi, dan berinteraksi secara dekat dengan orang lain. Kebutuhan
bekerja sama dan berkomunikasi menggunakan orang lain secara bersahabat.

12
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 13.
13
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 114.
14
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 23.
McClelland berkata bahwa kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan akan kehangatan dan
sokongan pada hubungannya dengan orang lain, kebutuhan ini mengarahkan tingkah laris buat
mengadakan hubungan secara akrab menggunakan orang lain. pada dalam kebutuhan afiliasi itu
sendiri terkandung harapan buat membuat dan mempertahankan beberapa hubungan
interpersonal yang memberikan ganjaran. Lebih lanjut McClelland memaparkan aspek-aspek
kebutuhan afiliasi, yaitu:
1) Lebih senang beserta orang lain asal pada sendirian
2) seringkali berinteraksi dengan orang lain
3) Ingin disukai serta diterima oleh orang lain
4) Menyenangkan hati orang lain
5) menunjukkan dan memelihara perilaku setia terhadap sahabat
6) Mencari persetujuan serta kesepakatan orang lain15.
berdasarkan aspek-aspek afiliasi tadi, Bila dikaitkan menggunakan histori penyebaran Islam
di nusantara melalui pedagang muslim, kebutuhan interaksi dengan orang asing, disukai serta
diterima sang orang asing, membutuhkan regulasi baru yang bisa disepakati sebagai akibatnya
rekanan dagang permanen terjaga. Prinsip ekonomi dalam Islam dianggap dapat menjadi regulasi
yang disepakati sebab memenuhi rasa keadilan dengan saling menguntungkan dan saling
meridai. Kebutuhan afiliasi ini lalu membuat masyarakat lokal lebih terbuka terhadap
kebudayaan yg dibawah oleh para pedagang penyiar Islam. tetapi apa yg menjadi prinsip dasar
berasal budayanya permanen dijaga.
c. Integrasi Islam ke dalam Budaya Lokal
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, Islam adalah agama yang berkarakteristik
universal, menggunakan etos tentang persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan
kehormatan dan mempunyai konsep teosentrisme yg humanistik menjadi nilai inti (core
value) berasal semua ajaran Islam16, serta karenanya menjadi tema peradaban Islam. pada
saat yg sama, pada menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam memiliki
karakter bergerak maju, kenyal serta akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak di adat dan
teknis pelaksanaan.
Upaya rekonsiliasi antara agama serta budaya pada Indonesia memang lumrah dan sudah
dilakukan semenjak usang serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak merupakan
model konkrit asal upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis
di masa tersebut diambil berasal konsep ‘Meru’ asal masa pra Islam (Hindu-Budha) yg
terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi 3 susun saja, hal ini
melambangkan 3 tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. pada
mulanya, orang baru beriman saja lalu dia melaksanakan Islam ketika telah menyadari
pentingnya syariat. Barulah ia memasuki taraf yg lebih tinggi lagi (ihsan) menggunakan
jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat17.

15
Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto, Kebutuhan Afiliasi, h. 79.
16
Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 229.
17
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia: Menatap Masa Depan (Jakarta:
P3M, 1989), h. 92.
Hal ini tidak selaras menggunakan Kristen yg membentuk gereja dengan arsitektur asing
(Barat). masalah ini memberikan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha
masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. namun Islam tidak
memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir
ini saja bentuk kubah diadaptasi. menggunakan kabar ini, terbukti bahwa Islam tidak anti
budaya. seluruh unsur budaya bisa diubahsuaikan dalam Islam. Budaya Islam memiliki
begitu poly varian18.
Patut diamati jua, kebudayaan populer pada Indonesia aneka macam menyerap konsep-
konsep dan simbol-simbol Islam, sebagai akibatnya sering tampak bahwa Islam muncul
sebagai sumber kebudayaan yang krusial dalam kebudayaan terkenal di Indonesia. Selain
itu, penyebaran Islam di nusantara memakai pendekatan tasawuf (gaib Islam) 19. Ini sangat
sinkron menggunakan pemikiran masyarakat lokal yg animisme serta dinamisme. Secara
perlahan dan sedikit demi sedikit, tanpa menolak menggunakan keras budaya rakyat, Islam
memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Persamaan derajat dalam Islam sangat
menarik bagi masyarakat lokal. sebab dalam rakyat Hindu-Jawa sangat menekankan
disparitas derajat. Kebutuhan afiliasi warga buat diakui, dihargai, serta melepaskan diri dari
penjajahan koloni. Panggilan Islam kemudian sebagai dorongan buat merogoh alih
kekuasaan politik asal tangan penguasa Hindu-Jawa (Majapahit)20, serta menjadi pemersatu
bangsa dalam melepaskan diri dari penjajah.
empiris keragaman umat Islam Indonesia mengindikasikan bahwa di segala penjuru
negeri kepulauan ini pemahaman wacana ajaran-ajaran Islam sangat bervariasi yang
terpengaruh oleh budaya pra Islam. Sebelum Islam datang, aneka macam macam tata cara
kuno dan agama lokal banyak dipraktikkan sehingga sangat menyatu dengan struktur sosial.
pada sebagian akbar daerah, kedatangan Islam menggunakan jalan damai bukan penaklukan,
maka secara awam bisa dikatakan bahwa Islam tidak menggantikan atau menghancurkan
tradisi budaya yg sudah usang ada, tetapi memadukan menggunakan tradisi yg sudah
terdapat21.
Tradisi berupa sandang istiadat lalu bertransformasi sebagai baju istiadat yg Islami.
terdapat upaya menutup aurat dengan model pakaian yg tidak menghilangkan unsur
budayanya. Selain itu, dalam hal penggunaan kata-istilah yg diadopsi asal Islam, tentunya
perlu membedakan mana yg “Arabisasi”, mana yang “Islamisasi”. Penggunaan term-term
Islam sebagai manifestasi simbolik asal Islam tetap krusial. Asalkan tidak kemudian sebagai
asal perpecahan sebagaimana dikatakan Gus Dur, “menyibukkan menggunakan masalah-
persoalan semu atau hanya bersifat pinggiran”22 Begitu juga penggunaan term shalat sebagai
ganti dari sembahyang (asal dari kata “nyembah sang Hyang”) artinya proses Islamisasi
bukannya Arabisasi. Makna substansial berasal shalat mencakup dimensi individual-
komunal serta dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam konkret.42 namun
penggunaan term sembahyang tetap saja boleh dilakukan oleh kelompok Islam lokal
(nusantara), sebab secara esensi shalat permanen terealisasi meskipun simbol/term/kata yang
18
Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 92
19
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2010), h. 316
20
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 22
21
Erni Budiwanti, Islam Sasak, h. 87
22
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, h. 92.
dipergunakan tidak sama. namun suatu kenaifan Jika membarui salam Islam “assalāmu
‘alaikum” dengan “selamat pagi, siang, sore ataupun malam”. sebab esensi doa serta
penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat pada ucapan “selamat pagi”
yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan sang Allah swt serta
Rasul-Nya.
Implikasi Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Terhadap Paham Keislaman Umat di
Indonesia
Kesediaan Islam berdialog menggunakan budaya lokal warga , selanjutnya mengantarkan
diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas berasal budaya rakyat beserta ciri yg mengiringi
nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan menggunakan semangat yg dikembangkan sang
Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis.
menggunakan demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan tradisi purifikasi
dipandang asal perspektif pola pengamalan serta penyebaran ajaran keagamaan pada antara
keduanya. Tradisi Islam lokal menjadi pengamalan keagamaan yang memberikan toleransi
sedemikian rupa terhadap praktik-praktik keyakinan setempat, sedangkan tradisi purifikasi
menekankan di pengamalan keagamaan yang diklaim harus bersumber dan sama dengan tradisi
besar Islam. kenyataan ini kemudian memunculkan 3 paham pada Indonesia dalam memahami
praktik Islam lokal, yaitu kaum tradisionis dengan konsep Islam nusantara, kaum medernis
menggunakan konsep gerakan tajdīd, serta kaum puritan yg cenderung radikal menggunakan
konsep Islam transnasional.
Konsep Islam Nusantara
Islam tradisional dari Deliar Noer merupakan gerakan Islam yg masih mempertahankan
tradisi menjadi bagian dari kegiatan keagamaannya23. Gerakan Islam tradisional ini
membangkitkan tradisi Islam menjadi suatu realitas spiritual pada tengah modernisme24. di
beberapa gerakan Islam tradisional, dampak kebudayaan lokal cukup bertenaga dalam
implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan bersifat sinkretik25.
Gerakan ini di Indonesia kemudian berubah menjadi menjadi konsep Islam Nusantara.
Konsep Islam nusantara diawali oleh Gus Dur menggunakan istilah “Islam Pribumi”. dari
Gus Dur pemikiran tersebut hanya menyambung upaya yang dilakukan wali songo pada
mengislamkan nusantara, khususnya pulau Jawa. Konsep ini mengembangkan 3 hal, yaitu:
Pertama, mempunyai sifat kontekstual, yakni Islam dipahami menjadi ajaran yang terkait
menggunakan konteks zaman serta daerah. Perubahan saat serta perbedaan wilayah sebagai
kunci buat menginterpretasikan ajaran. menggunakan demikian, Islam akan mengalami dinamika
pada merespons perubahan zaman kedua bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan
dipahami menjadi ancaman terhadap penyimpangan ajaran dasar agama (Islam), tetapi
dipandang sebagai pemicu buat melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, mempunyai
karakter liberatif, yaitu Islam menjadi ajaran yang bisa menjawab persoalan-duduk perkara
humanisme secara universal tanpa melihat disparitas agama serta etnik. menggunakan demikian,
Islam tak kaku pada menghadapi realitas sosial warga yang selalu berubah. 26 Melalui konteks
23
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 242
24
Sayed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Penerbit
Pustaka, 2004), h. 91.
25
Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 2002), h
26
7Khamami Zada dkk., Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia (Jakarta: Lakpesdam,
inilah, lalu berkembang menjadi “Islam Nusantara” yang ingin membebaskan puritanisme serta
segala bentuk purifikasi Islam sekaligus juga menjaga budaya lokal tanpa menghilangkan ciri-
ciri normatif Islam.
Dalam hal ini Nurcholish Madjid galat-satu tokoh intelektual muslim pada masa ini
menggunakan paham tradisionis mengatakan bahwasanya antara kepercayaan (Islam) dan
budaya artinya dua bidang yg dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. kepercayaan bernilai
mutlak, tidak berubah menurut perubahan saat dan daerah. namun tidak sinkron dengan budaya,
sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke saat dan berasal tempat ke kawasan.
Kebanyakan budaya sesuai agama, namun tidak pernah terjadi kebalikannya, kepercayaan
berdasarkan budaya. sang sebab itu, kepercayaan ialah primer, serta budaya ialah sekunder 27.
Budaya bisa berupa aktualisasi diri hidup keagamaan, sebab beliau sub-kordinat terhadap agama.
Islam bukan kepercayaan yg antibudaya. Islam malah berkontribusi terhadap budaya lokal
baru yang akulturatif. Yaitu budaya Islam Nusantara yang spesial dan unik serta sebagai
khazanah kebudayaan dan peradaban Islam dunia. Tradisi peringatan maulid Nabi, peringatan
isra’ mi’raj, salawatan, selamatan, syukuran di Indonesia adalah mozaik budaya Islam Nusantara
yang sulit dicari persepadanannya pada negara mana pun pada dunia. sesuai ideologi tersebut,
kaum tradisionis kemudian lebih akomodatif terhadap budaya lokal. umumnya ideologi ini
diperpegangi oleh masyarakat nahdiyyīn (Nahdatul Ulama).
Konsep Gerakan Tajdīd
Modernisasi atau gerakan pembaharu (tajdīd) berarti upaya yang benar-benar,sungguh buat
melakukan reinterpretasi terhadap pemahaman, pemikiran serta pendapat tentang duduk perkara
ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu buat diubahsuaikan dengan perkembangan
zaman. dengan demikian, yg diperbaharui ialah hasil pemikiran atau pendapat, bukan
memperbaharui atau membarui apa yang ada pada Al-Qur’an maupun Hadis, tetapi mengubah
atau memperbaharui yang akan terjadi pemahaman terhadap Al-Qur’an serta Hadis28.
Islam modernis sendiri merupakan paham ke-Islaman yang didukung sang perilaku yang
rasional, ilmiah serta sejalan dengan aturan-hukum dewa baik yg ada pada Al-Qur’an maupun
alam raya. Islam modernis memiliki pemikiran yang bergerak maju, progresif dan mengalami
penyesuaian menggunakan ilmu pengetahuan.
Gerakan Islam terkini pada Indonesia timbul pada awal abad ke 2 puluh. di tahun 1906 grup
belia pada daerah Sumatera Barat yang dipelopori oleh Haji Abdul Karim Amrullah (HAMKA),
Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi melakukan protes terhadap struktur kekuasaan
tata cara yg tidak menyampaikan ruang bagi mereka buat berkiprah. kelompok yg terdiri dari
ulama serta cendekiawan ini bermaksud buat mengganti beberapa hal di ketentuan norma yang
tidak sesuai menggunakan syariat Islam yg mereka pahami29.

2003), h. 12.
27
Yustion dkk., Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1993), h. 172.
28
9Lihat Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada: 2001), h. 154-155.
29
Abid Rohmanu, “Puritanisme dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia: Upaya Mewaspadai
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/21/alwiabdurrahman-
shihab-promoting-islam-with-compassion-1 (Diakses 14 April 2018)
Lalu Islam modernis semakin berkembang dengan tokohnya Ahmad Dahlan yg menduga
Islam telah jauh asal kemurniannya. Nilai-nilai dasar Islam sudah ternoda dengan aneka macam
tradisi serta keyakinan lokal warisan leluhur. Praktik ibadah yang dilakukan lebih berorientasi
pada tradisi dan keyakinan leluhur. Ditambah pemahaman Islam warga yang masih sangat
rendah maka sering kali terjadi distorsi. sebagai akibatnya sangat besar kemungkinan ritual
ibadah yg mengatasnamakan tradisi (budaya lokal) akan mengarahkan pada kemusyrikan30.
rakyat terkadang memaksakan diri buat melakukan ritual doa selamatan atau syukuran yang
membutuhkan biaya tinggi. Padahal Islam tidak menyulitkan insan. Islam justru mengatur segala
urusan manusia supaya mempunyai kehidupan yang praktis, terarah, serta senang . Hal ini lalu
menghasilkan program-acara tersebut tidak murni ibadah serta tidak optimal berasal segi pahala.
misalnya ritual do’a tolak bala menggunakan kondisi menyiapkan makanan eksklusif. Ideologi
ini lalu menghasilkan kaum modernis kurang akomodatif terhadap ritual budaya lokal. umumnya
ideologi ini diperpegangi sang warga Muhammadiyah.
Islam Transnasional
Islam transnasional artinya gerakan Islam yang bersifat mondial yg hendak memberlakukan
formalisasi Islam dalam aneka macam negara, termasuk Indonesia. Hasyim Muzadi menyebut
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir serta Al-Qaeda menjadi bagian dari gerakan politik global
serta karenanya tidak mempunyai pijakan kultural, visi kebangsaan dan visi keumatan di
Indonesia31. Islam transnasional merupakan nama lain asal Islam radikal, Islam kanan,
fundamentalisme Islam serta Islam puritan.

Konsep “puritan” dari Abou El Fadl adalah lawan konsep “terkini”. grup puritan adalah
mereka yang secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berpikir dikotomis, serta
idealistik. Mereka tidak kenal kompromi,cenderung puris pada artian tidak toleran terhadap
banyak sekali sudut pandang dan berkeyakinan bahwa realitas pluralistik artinya kontaminasi
terhadap autentisitas32.
Pada antara kelompok-gerombolan radikal tersebut, kelompok Wahabi dinilai relatif
berpengaruh sebab dukungan petro dolarnya serta bahkan bisa dikatakan bahwa secara
geneologis kelompok-kelompok puritan Islam bisa dirujukkan pada sirkulasi Wahabi.
gerombolan Wahabi dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada semenanjung Arabia
pada abad ke-18. Pendiri gerombolan Wahabi ini berkeyakinan bahwa solusi bagi kemunduran
umat Islam merupakan menggunakan pemahaman serta penerapan literal teks menjadi satu-
satunya sumber otoritas yg sah. karenanya setiap perjuangan menafsirkan teks secara historis dan
sosiologis bahkan filosofis dianggap menjadi bentuk defleksi. tidak ada multi-tafsir pada
kepercayaan , tidak ada pluralisme, dan autentik berarti melaksanakan bunyi teks secara literal.
buat menarik simpati warga muslim, grup Wahabi poly menggunakan simbol-simbol salafi. grup
ini pun lebih menyukai untuk disebut menjadi grup “Salafi” menggunakan jargon balik kepada
“al-salaf al-shalih”, pulang pada Islam autentik versi mereka.
30
Clifford Geertz, The Relegion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1996), h. 5.
31
Abid Rohmanu, “Puritanisme dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia: Upaya Mewaspadai
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, http://www.alwishihab.com/inspirasi/2014/9/21/alwiabdurrahman-
shihab-promoting-islam-with-compassion-1 (Diakses 14 April 2018)
32
Khaled Abou El Fadl, The Great theft: wrestling Islam from the extremists, terj. Helmi
Mustofa, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2007), h. 29-32.
Penutup
Berdasarkan pembahasan yg sudah diuraikan sebelumnya, bisa ditarik kesimpulan menjadi
berikut: Pertama, bentuk akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia bisa dipandang di acara
norma yang disisipi dengan pembacaan Al-Qur’an, shalawat, serta do’a menggunakan aneka
macam variannya. Selain itu dapat dilihat pada arsitektur mesjid, kaligrafi, serta tarian. Bahkan
syariat sudah menjadi falsafah hidup pada konsepsi sosial rakyat lokal. kedua, akulturasi Islam
dan budaya lokal pada Indonesia terjadi sebab Islam mempunyai sisi universalitas yg
akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga muncullah kosmopolitanisme budaya dalam Islam.
kemudian bertemu dengan budaya lokal nusantara yang membutuhkan afiliasi dan menerima
dukungan sosial buat berkembang. Ketiga, akulturasi Islam serta budaya lokal di Indonesia
membuat praktik Islam lokal yang berimplikasi di keluarnya tiga paham keislaman, yaitu Islam
tradisionis yg akomodatif terhadap budaya lokal, Islam modernis yg kurang akomodatif
terhadap praktik Islam lokal yg menghipnotis akidah, dan Islam puritan yg menduga praktik
Islam lokal menjadi bid’ah.
Sesuai kesimpulan tersebut, kajian ini berimplikasi pada: Pertama, analisis yang digunakan
pada menyikapi akulturasi budaya sebaiknya mengutamakan perspektif sejarah perkembangan
Islam pada Indonesia, sebab pada proses Islamisasi di Indonesia tak berjalan satu arah, namun
banyak arah atau melalui berbagai macam pintu. Pintu-pintu itu, misalnya melalui kesenian,
pewayangan, pernikahan, pendidikan, perdagangan,sirkulasi kebatinan, mistisisme dan tasawuf.
Ini semua menyebabkan terjadinya kontak budaya yg sulit dihindari sebagai akibatnya unsur-
unsur budaya lokal masuk dalam proses Islamisasi pada Indonesia. kedua, Islam bukan hanya
menyampaikan ketuhanan saja, namun yg tidak kalah pentingnya ialah mengandung ajaran
peradaban yang lengkap. oleh sebab itu, perlu dilakukan Islamisasi budaya pada praktik Islam
lokal demi menjaga kemurnian ajaran Islam tanpa menghilangkan unsur budaya lokal. Makna
filosofis dalam simbol ritual acara serta upacara istiadat harus dimaknai sesuai dengan Islam. Ini
ialah upaya pemurnian akidah dengan permanen mengakomodasi budaya lokal. Ketiga, terdapat
empat aspek yg perlu dikedepankan dalam memosisikan Islam (praktik ke-Islaman), yaitu
syariat, historis, kajian ilmu, serta budaya. umumnya muslim harus bertentangan karena keliru
dalam memosisikan suatu praktik ke-Islaman. misalnya, praktik kebudayaan Islam dibahas dan
dimasukkan ke ranah syariat. Selain itu, kultur serta struktur politik Islam masa lalu yg mestinya
berada di wilayah historis dimasukkan ke ranah syariat.

Daftar Pustaka

Yūsuf al-Qarḍāwī, Al-Khaṣāiṣ al-‘Āmiyah al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 3.


Raden Arief Nugroho dan Valentina Widya Suryaningtyas, Akulturasi Antara Etnis Cina dan
Jawa: Konvergensi atau Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa? (Yogyakarta: Andi
Ofset, 2010), h. 2.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2001), h. 235.
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang
Bugis(Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1985), h. 344.
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1: “setiap orang bebas memeluk agama
danberibadah menurut agamanya”.
Abdurrahman Wahid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan
Paramadina, 2004), h. 515.
Yūsuf al-Qarḍāwī, Madkhāl li al-Dirāsah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, 1993), h. 61.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Assalam, 2010), h. 41.
Lihat juga QS. Yunus/10: 19.
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 444
F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, “Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Penyesuaian Diri
Remaja di Panti Asuhan”, Jurnal Psikologi Pitutur 1, no.1 (Juni 2012): h. 25
F. Kumalasari, dan L. N. Ahyani, Hubungan Antara Dukungan Sosial, h. 25-26.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 13.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 114.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, h. 23.
Hefrina Rinjani dan Ari Firmanto, Kebutuhan Afiliasi, h. 79.
Kuntowijoyo, Paridigma Islam, h. 229.
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia: Menatap Masa Depan
(Jakarta:P3M, 1989), h. 92.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1992), h.242
Sayed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Bandung: Penerbit
Pustaka, 2004), h. 91.
Kacung Maridjan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 2002), h
Khamami Zada dkk., Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia (Jakarta:
Lakpesdam,2003), h. 12.
Yustion dkk., Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1993), h. 172.
Lihat Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada: 2001), h. 154-155.

Anda mungkin juga menyukai