Kedatangan Islam di Nusantara bukanlah untuk mengubah doktrin Islam, melainkan hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Karenanya, Islam Nusantara bukanlah aliran baru yang memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan walisongo. Anggapan negatif Islam Nusantara bermula dari mereka yang sangat fanatik Arab. Islam ya Islam, menurut mereka, tidak ada Islam Nusantara. Nabi Muhammad asli mana? Arab kan? Kalau Islam Nusantara, nanti ketika menunaikan ibadah haji baju ihramnya ganti pakai kebaya atau batik. Itulah di antara nyinyiran yang muncul. Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. “Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik,. Kalau saja walisongo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang ini,” demikian uangkap Abah Luthfi bin Yahya. Lalu Beliau menganalogkan seorang muslim yang baik yang hidup di Indonesia : “Laut itu punya jati diri, pendirian, dan harga diri. Sehingga betapapun zat yang masuk ke dalam laut melalui sungai-sungai yang mengalir kepadanya, keasinan air laut tidak akan terkontaminasi. Karena laut itu bisa mengantisipasi limbah-limbah yang masuk. Ikan yang berada di dalam laut pun juga demikian. Ia tetap tawar dan tidak terkontaminasi oleh asinnya air laut. Sementara air laut sendiri tidak mengintervensi ikan yang ada di laut. Keduanya mempunyai jati diri yang luar biasa dan bisa hidup bersama, serta saling menghargai dalam “ideologinya” masing-masing.” “Dalam hidup berbangsa dan bernegara”, lanjut Beliau memperjelas, “laut adalah contoh konkret. Jati diri bangsa, harga diri bangsa, kehormatan bangsa tetep punya kepribadian yang luar biasa, dan kedua-duanya dapat hidup bareng dengan harmoni. Kalau kita bisa meniru kehidupan yang ada di laut, maka bangsa ini akan aman dan enggak bakal ruwet.” Jelaslah bahwa Islam nusantara bukanlah mazhab, apalagi anti arab, karena bagaimanapun juga dasar-dasar islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam adalah berbahasa Arab. “Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu‟amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari‟at, dan „urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara,” tutur KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriyah PBNU. “Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur‟an. Ini persis sama dengan nama FPI (Front Pembela Islam) misalnya; saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam,” imbuh Beliau. Dengan demikian, penambahan kata deiksis (kata yg mengacu kepada persona, waktu, dan tempat suatu tuturan) pada ‘Islam’, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya dalam pemahaman demikian adalah sah saja. Ketika muncul istilah ‘Islam Abangan’ apakah lantas Islam dikonotasikan sebagai abangan? Tentu tidak, sebab yang dimaksud adalah golongan masyarakat yang menganut agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan. Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menanggapi Islam Nusantara dengan fokus pada substansi budaya. Akulturasi antara budaya dan agama dapat dikategorikan menjadi tiga, menolak, merevisi, atau membenarkan. a. Islam menolak budaya yang yang bertentangan dan tidak baik. Dalam proses perkawinan, dahulu perempuan Makkah lebih dulu berhubungan seks dengan 10 lelaki, lalu kalau hamil, dia bisa memilih salah satunya menjadi suami. Namun ada juga yang melalui proses lamaran, membayar mahar, dan persetujuan dua keluarga. Islam menolak yang pertama dan menerima yang ke dua. b. Islam merevisi budaya yang sudah ada. Sebelum Islam datang, orang Makkah sudah melakukan ritual thawaf mengelilingi ka‟bah dengan telanjang, untuk melambangkan kesucian. Lalu Islam merevisinya menjadi berpakaian ihram. c. Islam menerima sepenuhnya. Seperti budaya pakaian Arab, lelaki berjubah dan perempuan berjilbab. Di Indonesia pada masa penyebaran Islam, Walisongo menanggapi budaya memberi sesajen, dengan merevisinya menjadi tasyakuran. Media wayang, kisahnya diubah menjadi kisah Islami. Itulah contoh ulama masa lalu dalam menerapkan dakwah dengan cara-cara yang damai sehingga Islam dianut oleh mayortas masyarakat Indonesia. Tentu tidak bisa dibayangkan jika Walisongo dulu menerapkan dakwah yang seikit-sedikit kafir, bid‟ah, dan harus bersorban, berjubah sunnah, serta berjilbab panjang, mungkin sampai sekarang Islam tidak akan menjadi agama mayoritas di Nusantara. Munculnya istilah Islam Nusantara yang digagas oleh ormas Islam terbesar NU, ternyata telah disalahpahami, padahal itu merupakan karakter penyebaran Islam di wilayah Nusantara yang dilakukan dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Sebab, Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Karena itulah, NU bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka, dan toleran. NU menginginkan Indonesia tidak seperti yang terjadi di beberapa negara yang menjadi sasaran konflik antar umat Islam lantaran tidak adanya persatuan di antara mereka, misalnya di Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, Yaman, Tunisia, Mesir, Somalia, dan negara-negara Muslim lain. Sangat tragis jutaan umat Islam yang meninggal secara mengenaskan akibat konflik internal tersebut. Apakah kita menginginkan hal itu juga terjadi di Indonesia yang belakangan makin dirasakan betapa konflik internal umat Islam di Indonesia kian gencar, bahkan di lingkungan internal NU sendiri sudah kasat mata telah dibenturkan dengan munculnya NU Garis Lurus, Mantan Kyai NU, atau NU Garis apa lagi. Mudah-mudahan para petinggi NU makin menyadarinya dan tidak terbawa arus adu domba yang kian memperkeruh. Jadi Islam Nusantara bukanlah merupakan ajaran atau aliran sendiri, tetapi bagaimana mewarisi Islam yang telah dikembangkan para wali dulu, jelas Abah Luthfi. “Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan (tidak mentang- mentang), dan yang rahmatan lil „alamin,” tambah Gus Mus, “Sebab, Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” tegas Gus Mus