Anda di halaman 1dari 4

ISLAM NUSANTARA

Oleh Ustzh Dewi Ani Endriyanti


Kedatangan Islam di Nusantara bukanlah untuk
mengubah doktrin Islam, melainkan hanya ingin mencari cara
bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya
masyarakat yang beragam.
Karenanya, Islam Nusantara bukanlah aliran baru yang
memadukan Islam dengan “agama Jawa”, melainkan
kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah
dilakukan walisongo.
Anggapan negatif Islam Nusantara bermula dari mereka
yang sangat fanatik Arab. Islam ya Islam, menurut mereka,
tidak ada Islam Nusantara. Nabi Muhammad asli mana? Arab
kan? Kalau Islam Nusantara, nanti ketika menunaikan ibadah
haji baju ihramnya ganti pakai kebaya atau batik. Itulah di
antara nyinyiran yang muncul.
Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul
budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan
tidak memberangus budaya.
“Islam di belahan bumi Indonesia itu punya karakteristik
sendiri yang unik,. Kalau saja walisongo itu tidak coba
beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan
Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak
bisa menyaksikan Islam yang tumbuh subur seperti sekarang
ini,” demikian uangkap Abah Luthfi bin Yahya.
Lalu Beliau menganalogkan seorang muslim yang baik
yang hidup di Indonesia :
“Laut itu punya jati diri, pendirian, dan harga diri.
Sehingga betapapun zat yang masuk ke dalam laut melalui
sungai-sungai yang mengalir kepadanya, keasinan air laut
tidak akan terkontaminasi. Karena laut itu bisa mengantisipasi
limbah-limbah yang masuk. Ikan yang berada di dalam laut
pun juga demikian. Ia tetap tawar dan tidak terkontaminasi
oleh asinnya air laut. Sementara air laut sendiri tidak
mengintervensi ikan yang ada di laut. Keduanya mempunyai
jati diri yang luar biasa dan bisa hidup bersama, serta saling
menghargai dalam “ideologinya” masing-masing.”
“Dalam hidup berbangsa dan bernegara”, lanjut Beliau
memperjelas, “laut adalah contoh konkret. Jati diri bangsa,
harga diri bangsa, kehormatan bangsa tetep punya
kepribadian yang luar biasa, dan kedua-duanya dapat hidup
bareng dengan harmoni. Kalau kita bisa meniru kehidupan
yang ada di laut, maka bangsa ini akan aman dan enggak
bakal ruwet.”
Jelaslah bahwa Islam nusantara bukanlah mazhab,
apalagi anti arab, karena bagaimanapun juga dasar-dasar
islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam adalah
berbahasa Arab.
“Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman,
pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih
mu‟amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari‟at, dan
„urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara,” tutur KH Afifuddin
Muhajir, Katib Syuriyah PBNU.
“Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen
benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi
negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam
dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur‟an. Ini persis sama
dengan nama FPI (Front Pembela Islam) misalnya; saya
benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa
selain mereka bukan pembela Islam,” imbuh Beliau.
Dengan demikian, penambahan kata deiksis (kata yg
mengacu kepada persona, waktu, dan tempat suatu tuturan)
pada ‘Islam’, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam
Mesir, dan seterusnya dalam pemahaman demikian adalah
sah saja. Ketika muncul istilah ‘Islam Abangan’ apakah lantas
Islam dikonotasikan sebagai abangan? Tentu tidak, sebab
yang dimaksud adalah golongan masyarakat yang menganut
agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara
keseluruhan.
Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menanggapi Islam
Nusantara dengan fokus pada substansi budaya. Akulturasi
antara budaya dan agama dapat dikategorikan menjadi tiga,
menolak, merevisi, atau membenarkan.
a. Islam menolak budaya yang yang bertentangan dan tidak
baik.
Dalam proses perkawinan, dahulu perempuan Makkah lebih
dulu berhubungan seks dengan 10 lelaki, lalu kalau hamil,
dia bisa memilih salah satunya menjadi suami. Namun ada
juga yang melalui proses lamaran, membayar mahar, dan
persetujuan dua keluarga. Islam menolak yang pertama dan
menerima yang ke dua.
b. Islam merevisi budaya yang sudah ada.
Sebelum Islam datang, orang Makkah sudah melakukan
ritual thawaf mengelilingi ka‟bah dengan telanjang, untuk
melambangkan kesucian. Lalu Islam merevisinya menjadi
berpakaian ihram.
c. Islam menerima sepenuhnya. Seperti budaya pakaian Arab,
lelaki berjubah dan perempuan berjilbab.
Di Indonesia pada masa penyebaran Islam, Walisongo
menanggapi budaya memberi sesajen, dengan merevisinya
menjadi tasyakuran. Media wayang, kisahnya diubah menjadi
kisah Islami.
Itulah contoh ulama masa lalu dalam menerapkan
dakwah dengan cara-cara yang damai sehingga Islam dianut
oleh mayortas masyarakat Indonesia. Tentu tidak bisa
dibayangkan jika Walisongo dulu menerapkan dakwah yang
seikit-sedikit kafir, bid‟ah, dan harus bersorban, berjubah
sunnah, serta berjilbab panjang, mungkin sampai sekarang
Islam tidak akan menjadi agama mayoritas di Nusantara.
Munculnya istilah Islam Nusantara yang digagas oleh
ormas Islam terbesar NU, ternyata telah disalahpahami,
padahal itu merupakan karakter penyebaran Islam di wilayah
Nusantara yang dilakukan dengan cara pendekatan budaya,
tidak dengan doktrin yang kaku dan keras.
Sebab, Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara
merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati
budaya, dan tidak memberangus budaya. Karena itulah, NU
bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu
Islam yang ramah, damai, terbuka, dan toleran.
NU menginginkan Indonesia tidak seperti yang terjadi di
beberapa negara yang menjadi sasaran konflik antar umat
Islam lantaran tidak adanya persatuan di antara mereka,
misalnya di Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, Yaman, Tunisia,
Mesir, Somalia, dan negara-negara Muslim lain.
Sangat tragis jutaan umat Islam yang meninggal secara
mengenaskan akibat konflik internal tersebut.
Apakah kita menginginkan hal itu juga terjadi di Indonesia
yang belakangan makin dirasakan betapa konflik internal umat
Islam di Indonesia kian gencar, bahkan di lingkungan internal
NU sendiri sudah kasat mata telah dibenturkan dengan
munculnya NU Garis Lurus, Mantan Kyai NU, atau NU Garis
apa lagi.
Mudah-mudahan para petinggi NU makin menyadarinya
dan tidak terbawa arus adu domba yang kian memperkeruh.
Jadi Islam Nusantara bukanlah merupakan ajaran atau
aliran sendiri, tetapi bagaimana mewarisi Islam yang telah
dikembangkan para wali dulu, jelas Abah Luthfi. “Islam yang
damai, guyub (rukun), ora petentengan (tidak mentang-
mentang), dan yang rahmatan lil „alamin,” tambah Gus Mus,
“Sebab, Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil
hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran
Islam,” tegas Gus Mus

Anda mungkin juga menyukai