Oleh : Mohammad
Ashif Fuadi
PENDAHULUAN
Islam memiliki nilai yang universal dan absolut sepanjang zaman, namun demikian
Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu
memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang
dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Islam merespon
budaya lokal, adat/tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima
budaya lokal, adat/tradisi sepanjang budaya lokal, adat/tradisi tersebut tidak bertentangan
dengan nuansa islam.
Dari berbagai historiografi dimaknai bahwa Islam masuk secara sistematis dan
asimilatif dengan melalui nilai nilai tradisi, sinkretisasi tradisi keagamaan dan pengembangan
seni budaya lokal. Dalam sistem hukum lokal, Proses masuknya agama Islam ke Pulau Jawa
pada awal kehadirannya di abad ke-7 banyak mengalami kendala hingga pada pertengahan
abad ke-15. Pada pertengahan abad ke-15, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokohtokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Walisongo di pulau Jawa. 1 Ajaran Walisongo mudah
diterima oleh penduduk dikarenakan para pemegang kekuasaan di daerah-daerah penyebaran
agama Islam tersebut telah memeluk agama Islam. Selain itu ajaran Walisongo juga mudah
diserap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara.2
Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia
berlangsung secara bertahap dan dilakukan secara damai dengan dialogisasi atau pergumulan
ajaran islam dengan budaya nusantara yang khas, adaptif dan asimilatif sehingga tidak
menimbulkan ketegangan sosial. Adapun cara atau metode yang digunakan melalui berbagai
saluran berikut ini :
1) PERDAGANGAN
1 Prof. Dr. Hamka, Sejarah Ummat Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm.135.
2 Agus Sunyoto, Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan,(Jakarta:
Transpustaka, 2011), hlm. 37.
1
antar
pedagang
dan
saudagar
muslim
dengan
islam
di
Indonesia
baik
dalam
arti
pengislaman
maupun
islam seperti kisah dewa ruci yang disadur dengan nama Syech Magribi.7
Namun perlu ditegaskan bahwa tasawuf yang berkembang di
Indonesia adalah tasawuf yang berpadu dengan syariah secara seimbang.
Maka tarekat yang berkembang adalah tarekat yang sejalan dengan
pandangan
itu,
seperti
tarekat
Qadiriyah,
Naqshabandiyah,
dan
hingga
Nabi
Muhammad
SAW
dan
secara
isi
tidak
dinamai
pengikut
Syech
Siti
Jenar
yang
cenderung
melakukan
krucil
8 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo,( Jakarta: Pustaka IIMaN & LTN NU, 2012), hlm.
350.
9 Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja
sembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya yang bermakna hampa,
kosong, suwung, tau awing uwung. Taya yang bermakna absolute yang tidak
bias dipikirkan dan dibayangkan. Dan tidak bisa didekati dengan panca indera.
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 13
10 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 354.
4
yang menempatkan syech Siti Jenar dan Sunan Kalijaga sebagai tokoh dari
golongan abangan.11
Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama HinduBudha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada
tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi
kejawen adalah Manunggaling Kawulo Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep
penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam santri dianggap mengarah pada
persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam
merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang
lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai
aspek syariat dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.12
Mengenai sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu
percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada
saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk halus dan roh-roh
dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak
ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.13
Dalam tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia
sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan istilah
yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan
masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi
hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja.
Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur dalam
masyarakat Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat
dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.14
11 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 362.
12 M.B. Rohimsyah. AR, Siti Jenar Cikal Bakal Paham Kejawen Pergumulan Tasawuf Versi
Jawa, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006), hlm. 163. dalam Ridwan, Mistisisme
Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, P3M STAIN Purwokerto Ibda, Vol.6 No. 1 (Jan-Jun,
2008), hlm. 91-109.
4) PENDIDIKAN
Salah satu proses Islamisasi melalui dakwah Islam yang dilakukan
penyebar Islam melalui pengambil alihan sistem pendidikan lokal berciri
Hindu Budha dan kapitayan seperti dukuh, asrama, padepokan menjadi
lembaga pendidikan Islam yang kemudian disebut dengan pondok
pesantren, tercatat sebagai hasil dakwah yang menakjubkan. Dikatakan
demikian karena para penyebar Islam yang merupakan tokoh spiritual dan
tokoh sufi yang disebut dengan Walisongo itu mampu memformulasikan
nilai nilai sosio kultural-religius yang dianut masyarakat Hindu Budha
dengan nilai nilai Islam, terutama dalam memformulasikan nilai nilai
tauhid Syiwa
keberadaan
pesantren
sebagai
asimilasi
dari
komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan
keraton. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri, yang
merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi
terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.17
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian
dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep
Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai
agama Islam.18
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi JawaIslam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang
mendapat gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada
di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animismdinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di
Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa,
yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah rohroh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini
ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus
berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan
memberikan berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini
terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka
namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah
pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan
yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk
sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.19
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama
17 Mark R. Woordwark, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:
LKis, 2006), hlm.2
dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung
tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah,
masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat
tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
Sekaten
Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak. Meski
sebelumnya, ketika zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan
semacam Sekaten yang disebut Srada Agung itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi
kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan
mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Demak, oleh Raden
Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut
selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi sarana
pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan gamelan yang
bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut Sekaten dari kata Sekati. Pendapat
lainnya menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain, yang berarti
dua kalimat syahadat.22 Inti dari acara perayaan ini adalah berupa peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW sekaligus sebagai wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama
Yogyakarta.
Grebeg
Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali
dalam seahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal dari
bahasa Jawa Grebeg yang berarti diiringi para pengikut. Karena perjalanan Sultan keluar
dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut Grebeg. Pengertian
Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu diperebutkan warga masyarakat yang
berarti digrebeg.
Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti:
a) Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati
hari raya Idul Fitri.
b) Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar (Dzulhijjah) untuk
memperingati hari raya Idul Adha (Qurban).
c) Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Mulud (Rabiul Awal)
untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada setiap upacara grebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan
kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam,
buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng besar)
22 Fredy Heryanto, Nengenal Keraton Yogayakarta Hadiningrat, (Yogyakarta: Warna
Grafika, 2009), hlmn. 27.
sehingga desebut gunungan. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan
kerajaan Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid Agung
untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton. Setelah itu
gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan berkah dari
gunungan itu.23
Slametan
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia,
sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak
dikehendaki. Menurut Cliord Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa),
atau lebih tepat tidak akan terjadi apa-apa (pada siapa pun). Konsep tersebut
dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan
komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara
di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti
(upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk
memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan
penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan
kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan
bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang
diyakini sebagai makanan bertuah.24
Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat
tertentu, ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta
perkawinan, kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang
meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan untuk
memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk
memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan thoyyibah
tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan.25
23 Fredy Heryanto, Nengenal Keraton Yogayakarta Hadiningrat, (Yogyakarta: Warna
Grafika, 2009),hlm. 29.
10
Bagi kebanyakan umat islam yang kurang memahami sejarah, Tradisi kenduri dan
slametan memperingati kematian seseorang pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000 adalah
peninggalan hindu budha, padahal dalam tradisi mereka tidak mengenal adat kebiasaan
tersebut. Antonio cabaton dalam Les Chams Musulmans de IIndochine Franchaise (1907)
bahwa tradisi slametan mengenang kematian anggota pada hari ke 3, 7, 40, 100, dan 1000
adalah peninggalan muslim di champa yang dibawa oleh para penyebar islam yang disebut
dengan wali.26
Tetap lestarinya slametan ini memberikan makna bahwa hubungan sosial masyarakat
tetap kokoh. Masyarakat merasa diperlakukan sama satu dengan lainnya. Kalau mereka sudah
duduk bersama, tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak ada yang lebih rendah dan tidak
ada yang lebih tinggi. Slametan menimbulkan efek psikologi dalam bentuk keseimbangan
emosional dan mereka meyakini bakal selamat, tidak terkena musibah atau tertimpa
malapetaka setelah mereka melakukan kegiatan ini. 27
Ruwatan
Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan membebaskan seseorang,
komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti upacara ini sebenarnya adalah doa,
memohon perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, juga doa memohon
pengampunan, dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan
bencana. Upacara ini berasal dari ajaran budaya Jawa kuno yang bersifat sinkretis, namun
sekarang diadaptasikan dengan ajaran agama. Ruwatan bermakna mengembalikan ke keadaan
sebelumnya, maksudnya keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan
sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan orang atau barang atau
desa dari ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini
sebenarnya untuk tolak bala. Upacara ini berasal dari cerita Batara Kala, yaitu raksasa yang
suka makan manusia. Menurut kepustakaan Pakem Ruwatan Murwa Kala Javanologi
gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa
orang yang harus diruwat.28
Lebih lanjut menurut Baedhowi, dalam ruwatan harus dilengkapi dengan berbagai
sesajen yang dulunya masih sederhana dan hanya terdiri dari beberapa macam sesajen saja,
26 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, hlm. 370.
27 Marwan Salahudin, Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo dalam Agama dan
Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, hlm. 67.
11
namun sekarang sesajen itu sudah banyak macamnya. Sesajen-sesajen ini terdiri dari berbagai
macam makanan, lauk pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan
digantungkan sepanjang batang bamboo melintang di atas panggung bagian depan dan
dengan layar di sisi atas. Sesajen ini sebenarnya merupakan perlambang antara harapan dan
rasa syukur. Dari berbagai ragam ruwatan yang dilakukan orang Jawa tampak sekali pusaran
tradisi pada pembebasan sukerta dari mangsa Batara Kala.29
Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh
leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Syaban sesudah tanggal 15 hingga
menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap
slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik
berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan
sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.30
Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya,
telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur
juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk
menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam
kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati
Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. 31 Dengan demikian ada
kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah
dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).
Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga,
yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno
upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang
28 Anonim, Hakikat bukan Khurafat dalam
http://www.scribd.com/doc/58791414/Ensiklopedi-Syirik#archive , diakses 4 November
2015.
29 Baedhowi, Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalam Agama dan Kearifan Lokal dalam
Tantangan Global, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 28-29.
30 Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam,
(Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, 1995), hlm. 246-247.
12
modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah
atau Syaban.
Tirakat
Salah satu tradisi atau budaya yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah
Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena
dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga
melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari
ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan
keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang
menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual
ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.32
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel,
ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada
hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh.
Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel
artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan
selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu
dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan
patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus
cahaya.33
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga
ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata,
seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai
bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan
konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat
merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukarankesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.
Ziarah makam
Kebiasaan datang ke makam-makam tertentu adalah umum sekali di kalangan Islam
Santri. Kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme atau jawanisme. Dan
32 Konetjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 371.
33 Konetjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 371.
13
makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang
dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan
mampu memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha dan lain-lain. Di Jombang,
makam yang paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 KM sebelah
timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam Jumat beratus orang berziarah, dan pada
malam Jumat Legi jumlah itu dapat mencapai ribuan.34
Wayang
Wayang merupakan salah sastu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang
selama berabad-abad. Sementara pembuatan wayang dari kulit kerbau,dimulai oleh Sunan
Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan wayang yang menyerupai bentuk
manusia sebagaimana yang terdapat pada relief Candi Panataran di daerah Blitar. Lukisan
yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan syara. Para wali,
terutama Sunan Kalijaga kemudian menyiasatinya dengan mengubah lukisan yang
menghadap (Jawa: methok) menjadi miring. Selain itu, atas saran para wali yang lain, Sunan
Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan
yang lucu.35
Menurut Endraswara seperti yang dikutip oleh Purwadi, bahwa penamaan punakawan
tersebut memiliki makna filosofis. Semar dari kata bahasa Arab Simaar atau ismarun artinya
paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah. Semar
juga memiliki nama lain, yakni ismaya, yang memiliki makna kemantapan dan keteguhan.
Karena itu ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar.
Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar, Nala Gareng dari kata naala qorin yang artinya
memperoleh banyak teman. Seuai dengan tujuan dakwah yaitu memperbanyak teman dan
sahabat dalam beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan Petruk berasal dari kata fatruk yang
artinya tinggalkan yang jelek. Dan Bagong berasal dari kata bagho yang berarti pertimbangan
makna dan rasa, antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah.36
Lebih lanjut, sebagai sarana dakwah, dalam wayang terdapat lakon Jimat Kalimasada
34 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 1997),
hlm. 36.
14
yang merupakan lambang dari dua kalimah syahadat. Cerita Jimat Kalimasada tidak ada
dalam epos asli Mahabarata. Lakon tersebut yang paling sering dipentaskan oleh Sunan
Kalijaga. Harapannya untuk mengajak orang-orang Jawa di pedesaan maupun di kota untuk
mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk masuk agama Islam.37
Dengan kenyataan historis tentang keberadaan pakem pewayangan
yang menyimpang dari naskah induknya yang asli, semakin jelas
memperlihatkan adanya usaha usaha dari para penyebar islam untuk
melakukan perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada
di
masyarakat
salah
satu
contohnya
adalah
pakem
pewayangan
tersebut.38
Masih banyak lagi nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang tidak dicantumkan dalam
makalah ini, namun dari contoh di atas semoga dapat mewakili nilai-nilai budaya lokal yang
lain. Keragaman budaya tersebut merupakan bukti bahwa Jawa memiliki banyak budaya
lokal. Sebagian tetap bertahan keasliannya dan sebagian telah berintegrasi dengan nilai-nilai
keislaman.
KESIMPULAN
Masyarakat Jawa jauh sebelum datang agama yang berketuhanan seperti HinduBudha maupun Islam telah memiliki kepercayaan metafisik atau kekuatan di luar dirinya
yang termanifestasikan dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Setelah agama-agama
tersebut datang, masyarakat Jawa terlibat dalam proses akulturasi bahkan sinkretisasi agama
dan budaya, dengan dimensi dan muatan agama dan budaya Jawa sendiri.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya
sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem
budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya
produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu
yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai
fundamental dari ajaran agama melalui dialogisasi islam dengan budaya baik melalui
perdagangan, perkawinan, tasawwuf, pendidikan, dan kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
37 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga,Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural,
hlm. 182.
16