Politik
Oleh: Mohammad Ashif Fuadi
Judul Buku : Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Penulis
Penerbit
Tebal
Keywords
Pendahuluan
Berangkat dari latar penulis yaang alumni Jurusan Ilmu Politik Universitas
Diponegoro, maka pada tugas review buku pada tugas Uas Genelogi dan
Etnografi Islam Nusantara kali ini, penulis menginginkan suatu tema yang
berkaitan dengan Islam dan politik yang berkaitan dengan Indonesia
Buku ini berasal dari disertasi yang ditulis untuk meraihgelar doktor pada
Departemen Ilmu Politik, Ohio State
Judul aslinya adalah Islam and the State: The Transformation of Islamic
Political Ideas and Practices in Indonesia, dan berhasil saya pertahankan
pada akhir musim gugur tahun 1994.
Secara historis, negara Indonesia sangat terkait dengan adanya peranan
agama Islam dalam memerdekakan dan membangun negara ini. Oleh
karena itu, sangatlah wajar kalau Islam mencoba lebih jauh masuk ke
dalam sistem kenegaraan Indonesia.
Akan tetapi, pergumulan politik antara Islam dan negara Indonesia
menjadi polemik yang berkepanjangan. Hal inilah yang sangat mewarnai
perjalan negara Indonesia, sampai akhirnya disepakati ideologi Pancasila
sebagai ideologi negara. Karena diyakini cukup mewakili seluruh ideologi
yang ada di Indonesia.
Telaah buku ini mencoba menguak hasil penelitian disertasi Bahtiar
Effendy mengenai Islam dan Negara, sebagai sebuah transformasi
pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN:
MASALAH HUBUNGAN POLITIK
ANTARA ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
Buku ini membahas hubungan politik antara Islam dan negara di
Indonesia.
Penulisannya
diilhami
terutama
oleh
fenomena
di
atas
keras
berupaya
untuk
melemahkan
dan
masa
depan
konstitusi
Indonesia),
tetapi
mereka
juga
ketidakpercayaan,
dicurigai
menentang
ideologi
negara
Pancasila.2 Karena alasan itu, sepanjang buku ini, saya akan mendekati
masalah hubungan Islam dan negara ini dalam kerangka watak Islam
sebagai agama yang multiinterpretatif seperti sudah disinggung di atas.
Yang menjadi fokus perhatian saya adalah tumbuhnya gelombang baru
intelektualisme Islam pada 1980-an, yang benih-benihnya sendiri sudah
mulai tumbuh satu dekade sebelumnya. Kepedulian pokok saya dalam
buku ini, saya ingin melihat potensi gerakan itu dalam mengatasi
kesalingcurigaan tradisional yang sudah mencemarkan hubungan politik
antara Islam dan negara. Sekalipun berbagai perbedaan bisa ditemukan
dalam gaya dan substansi, juga dalam taktik dan strategi, spektrum
umum intelektualisme baru ini sama-sama menjurus ke arah penciptaan
sebuah jenis Islam yang berbeda, sebuah Islam yang kurang ideologis
(dilihat dari ukuran 1950-an), tetapi yang secara intelektual dan praktis
lebih relevan dengan kebutuhan kaum Muslim di Indonesia.3
Beberapa Catatan Mengenai
Teoretisasi Politik Islam
1 Lihat Ruth McVey, Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics, James Piscatori
(ed.), Islam in the Political Process, hh. 199-225; W.F. Wertheim, Indonesian Moslems
Under Sukarno and Suharto: Majority with Minority Mentality, Studies on Indonesian
Islam, Townsville: Occasional Paper No. 19, Centre for Southeast Asian Studies, James
Cook University of North Queensland, 1986.
2 Diperkenalkan oleh Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945, terdiri dari lima sila: (1)
Ketuhanan yang Mahaesa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan
Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan; dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3 Lihat, sekadar contoh, M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan
Sosial Politik, Yogyakarta: PT Hanindita, 1985; Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah
Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986;
Howard M. Federspiel, Muslim Intellectuals and National Development, New York: Nova
Science Publishers Inc., 1991.
Salah satu cara untuk meletakkan subyek ini dalam perspektif komparatif
dan historisnya adalah dengan memahami watak pemikiran politik
Islam.Agama,
sebagaimana
dinyatakan
banyak
kalangan,
dapat
Syarah
harus
diterima
sebagai
konstitusi
negara;
bahwa
kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negarabangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas
Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan
bahwa, sementara mengakui prinsip syr (musyawarah), aplikasi prinsip
itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam diskursus
politik modern dewasa ini.4
Pada ujung spektrum yang lain, beberapa kalangan Muslim lainnya
berpendapat bahwa Islam tidak mengemukakan suatu pola baku tentang
teori negara [atau sistem politik] yang harus dijalankan oleh ummah.
Diletakkan dalam konteks Indonesia, dalam upaya menjawab masalahmasalah pokok studi ini seperti sudah dikemukakandi atas, maka
pertanyaan yang tepat diajukan adalah: jenis Islam yang manakah (dalam
pengertian interpretatif ), atau gagasan-gagasan dan praktik-praktik
politik Islam yang manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan
yang baik antara Islam dengan negara-bangsa di Indonesia? Selebihnya,
beberapa asumsi pokok akan melandasi respons terhadap pertanyaan di
atas: Pertama, masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul
dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan
para pendiri republik ini mengenai bagaimanakah Indonesia yang dicitacitakan itu. Ini masalah yang berakar pada sejarah. Kedua, hubungan
4 Di antara mereka yang termasuk ke dalam kategori pendukung alur pemikiran
semacam ini adalah pemikir Mesir Rasyd Ridh dan Sayyid Quthb, dan pemikir Pakistan
Ab al-Al al-Mawdd dan Al al-Nadv. Untuk uraian lebih lanjut, lihat James P. Piscatori,
Islam in a World of Nation States; dan Erwin I.J. Rosenthal, Islam in the Modern National
State.
politik antara Islam dan negara-bangsa yang tidak mesra tidak muncul
dari
doktrin
Islam
itu
sendiri,
melainkan
dari
bagaimana
Islam
menunjukkan
bahwa,
untuk
mencapai
tingkat
kebersamaan
yang
berbeda
itu
merelakan
diri
mereka
untuk
kepada
agama
mereka.
Situasi
sosial-keagamaan
Indonesia
domestikasi Islam Jawa tidak saja mensyaratkan dikalahkannya kerajaankerajaan pesisir yang ortodoks, melainkan juga pembunuhan para ulama
dan dai di Mataram sendiri. Dalam perebutan kekuasaan ini, kelompok
aristokrasi Jawa, yang mewakili negara Mataram yang sinkretis, menang
besar. Dengan berkembangnya suatu aliansi antara kelompok aristokrat
Jawa
dan
berkembang
kekuatan-kekuatan
dalam
kolonial
tingkatnya
yang
Belanda,
paling
proses
luas,
domestikasi
ditandai
oleh
tidak
ada
sama
sekali,
punya
kecenderungan
untuk
di
mana
pengaruh
peradaban
Hindu-Budha
kuat,
proses
pada
kenyataannya
adalah
semacam
upaya-upaya
sepanjang
garis
kontinuum
ortodoksi
(santri)
dan
modern.
perkembangan
Sebagaimana
gerakan-gerakan
Benda,
politik
ia
menyatakan
modern
ditandai
bahwa
oleh
dua
berkembang
pada
puncak
gerakan
nasionalis
di
kepulauan
Islam,
empat
partai
politik
Islam
hanya
memperoleh43,5% suara.10
Polarisasi kekuatan antara ortodoksi dan sinkretisme yang terus berlanjut
inilah, yang mengakibatkan terus bertahannya corak pengelompokan
sosio-kultural dan politis masyarakat Jawa, yang juga menginspirasikan
Clifford Geertz untuk mengembangkan konsep aliran. Dalam tulisannya
The Javanese Village, di mana ia pertama kali memperkenalkan konsep
9 Robert Jay, Religion and Politics in Rural Central Java, h. 101.
10 Laporan mengenai hasil-hasil pemilihan umum tahun 1955 dapat dibaca dalam
Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955, Ithaca: Modern IndonesianProject,
Southeast Asia Program, Cornell University, 1951.
tidak
formal
berkaitan
dengannya...
[aliran]
adalah
(juga
unsur-unsur
tertentu
dalam
kepetanian);
dan
priayi
di
atas
dirumuskan
Geertz.
Dengan
mengenyampingkan
sebagai
dikotomi
yang
sah
yang
didasarkan
kepada
sendiri,
dalam
pembahasannya
mengenai
transformasi
pembilahan-pembilahan keagamaan seperti itu ke dalam pengelompokanpengelompokan ideologis-politis, lebih menekankan pembilahan antara
santri dan abangan. Ini dilakukan denganmengorbankan agama priayi.
11 Clifford Geertz, The Javanese Village, h. 37.
sebagai
pola
pokok
orientasi
hidup
mereka,
satuan
Muslim
kontemporer?
Dengan
demikian,
validitas
dan
salah
jika
dikatakan
bahwa
itulah
satusatunya
ekspresi
atau
identifikasinya yang sah. Jika makna Islam politik dibatasi hanya kepada
partai-partai politik Islam, maka bagaimanakah hal-hal berikut ini harus
dijelaskan secara memadai: kampanye Islam Yes, Partai Islam No yang
disuarakan secara persisten oleh Nurcholish Madjid, signifikansi politik
komitmen organisasi Muhammadiyah untuk mempertahankan fungsi
sosialkeagamaan dan pendidikannya, pengaruh gerbong yang ditarik
para politisi Muslim yang bergabung dalam Golkar, dan keyakinan yang
terus tumbuh di kalangan masyarakat Muslim bahwa Golkar bisa
memperjuangkan dan meng-artikulasikan aspirasiaspirasi politik Islam?
Haruskah dikatakan bahwa semuanya ini bukan diskursus politik Islam?
Islam kontemporer di Indonesia harus dilihat dari perspektif lain. Pada
esensinya, meskipun tidak serta-merta menawarkan pendekatan yang
sepenuhnya baru, melainkan gabungan atau simbiose dari yang ada,
perspektif
itu
harus
mengombinasikan
beberapa
unsur
di
atas,
gagasan
mengenai
masyarakat
politik
tidak
(apa
parameter-parameternya
yang
tepat
dalam
konteks
formatnya
(dari
pola
legalistik/formalistik
ke
pola
dapat
formalistik,
mentransendensikan
legalistik
dan
diri
eksklusif,
dari
dan
kepentingan-kepentingan
lebih
berusaha
mencapai
kepentingan-kepentingan
yang lebih substantif, integratif, dan inklusif. Sejauh politikdemokratis
atau birokratismemberi ruang bagi artikulasi nilai-nilai individual dan
kelompok, Islam politik baru ini telah
memfokuskan perhatian pada substansi nilai-nilainya sendiri, dalam
kebijakan dan praktik; dan sementara tidak terang-terangan menolak
12
bentuk-bentuk Islam politik yang lebih legalistik, Islam baru ini mulai
memandangnya sebagai sesuatu yang makin tidak relevan.
BAB III
MENJELASKAN HUBUNGAN YANG TIDAK Serasi :
SEBUAH SKETSA TENTANG ANTAGONISME POLITIK
ANTARA ISLAM DAN NEGARA
Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian
besar babakan sejarahnya adalah kisah antagonisme dan kecurigaan satu
sama lain. Hubungan yang tidak mesra ini terutama, tetapi tidak
seluruhnya, disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri republik
iniyang sebagian besarnya Muslimmengenai hendak dibawa ke
manakah negara Indonesia yang baru merdeka. Salah satu butir
terpenting dalam perbedaan pendapat di atas itu adalah apakah negara
ini bercorak Islam atau nasionalis. Konstruk kenegaraan yang pertama
mengharuskan agar Islam, karena sifatnya yang holistik dan kenyataan
bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, harus diakui dan
diterima sebagai dasar ideologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa
Indonesia adalah sebuah negara yang secara sosial-keagamaan bersifat
heterogen, demi persatuan negara, maka bentuk kenegaraan yang kedua
mendesak agar negara ini didasarkan kepada Pancasila, sebuah ideologi
yang sudah di-dekonfessionalisasi.
Diskursus Islam Politik di IndonesiaModern: Tinjauan Um um
Kaum Muslim (juga non-Muslim) pada umumnya mempercayai watak
holistik Islam. Sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia, Islam
seringkali dipandang sebagai lebih dari sekadar sebuah agama. Beberapa
kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai
sebuah masyarakat sipil, peradaban yang lengkap, atau bahkan
agama dan negara. Yang melandasi rumusan-rumusan ini adalah
pandangan yang luas diterima bahwa Islam mencakup lebih dari sekadar
sistem teologi dan atau moral. Lebih jauh, pandangan itu menyatakan
bahwa Islam tidak mengakui tembok pemisah antara yang spiritual dan
yang temporal, melainkan mengatur semua aspek kehidupan. Sementara
besar
ajaran
Islam
yang
memungkinkan
terjadinya
itu,
kalangan
Muslim
lainnya
lebih
cenderung
untuk
Polemik-polemik
itu
menyentuh
masalah
yang
lebih
penting, yakni: hubungan politik antara Islam dan negara. Dalam periode
ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu
tentara-tentara
sekutu,
Belanda
bermaksud
untuk
kembali
sudah
memperkirakan
kembalinya
Islam
dalam
panggung
dari
itu,
PPP
mengalami
banyak
perpecahan
internal
gilirannya
mempengaruhi
kinerja
politisnya.
Kekecewaan
salah
satu
unsur
kebudayaan
Indonesia.
Karena
itu,
kasus
ini,
kaum
Muslim
di
daerah
tersebut
mengadakan
BAB IV
MUNCULNYA INTELEKTUALIS ME ISLA M BARU :
TIGA ALIRAN PEMIKIRAN
Berkembangnya intelektualisme Islam baru di Indonesia selama dua
dekade terakhir dapat dianggap berawal dari krisis. Nada umumnya
dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi yang memperlemah politik Islam
dan akibat-akibat tidak menguntungkan yang ditumbulkannya terhadap
para pemikir dan aktivisnya. Situasi yang tidak menguntungkan ini
muncul terutama, meski tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang
tidak mesra antara Islam dan negara serta sintesis sosio-kultural dan
politik Islam yang diakibatkannya dalam kerangka negara. Kiprah
intelektual tersebut dipelopori oleh sebuah generasi baru para pemikir
dan
aktivis
Islam
yang,
sejak
awal
dekade
1970-an,
berusaha
pembentukan
negara
kesatuan
nasional
Indonesia
aktivis politik Islam yang lebih awal, yang menuntut pembentukan sebuah
negara Islam atau negara yang berdasarkan ideologi Islam.22
mereka mengakui bahwa Islam memberi seperangkat prinsip sosial-politik.
Meskipun demikian, mereka memandang bahwa Islam bukanlah ideologi.
Karenanya, dalam pandangan
mereka, ideologi Islam itu tidak ada. Bahkan, menurut beberapa dari
mereka, ideologisasi Islam dapat dianggap sebagai reduksionisme Islam.
karena Islam dipahami sebagai agama yang kekal dan universal, maka
pemahaman kaum Muslim terhadapnya tidak boleh dibatasi hanya kepada
pengertian formal dan legalnya, khususnya yang dibangun berdasarkan
waktu dan ruang tertentu. Melainkan, pemahaman itu harus didasarkan
kepada penafsiran yang menyeluruh dan cermat, yang menerapkan
petunjuk tekstual dan doktrinalnya ke dalam situasi dan konteks
kontemporernya. Sudut pandang ini, pada gilirannya, paling tidak menurut
Ahmad Wahib, meniscayakan transformasi Islam ke dalam seperangkat
prinsip-prinsip dan praktik-praktik kontemporer.23
Meskipun demikian, titik paling menentukan dari gerakan pembaruan
teologis ini bermula dari kiprah Nurcholish Madjid, sarjana lulusan IAIN
Jakarta yang selama dua periode berturutturut menjabat sebagai Ketua
Umum PB HMI (1966-1969 dan 1969-1971). Oleh para pengamat Islam
kontemporer
di
Indonesia,
gagasan-gagasannya
dipandang
sebagai
23 Djohan Effendi dan Ismed Natsir (eds.), Pergolakan Pemikiran Islam, hh. 19-20, 69,
110-111, 121-126.
pesan-pesan
di
balik
retorika
modernisasi
sebagaimana
nilai-nilai
kebudayaan
Barat.
Melainkan,
dalam
Indonesia26
dan
(2)
pribumisasi
Islam.
Dimensi
pertama
menempatkan
dirinya
dalam
posisi
yang
bersaing
vis-a-vis
demikian,
itu
tidak
berarti
bahwa
Abdurrahman
Wahid
Kehidupan
Bernegara
dan
punya hak yang sama dalam mempengaruhi arah perjalanan bangsa ini
sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Dalam kata-katanya sendiri,
Reformasi Politik/Birokrasi: Menjembatani Jurang Ideologis antara Islam
Politik dan Negara Para intelektual Muslim yang mendukung posisi ini
berkeyakinan bahwa masalah tidak mesranya hubungan antara Islam
politik dan negara, juga implikasi-implikasinya yang dirasakan para politisi
Muslim, dapat perlahan-lahan diatasi dengan secara langsung melibatkan
diri dan berpartisipasi dalam arus utama proses-proses politik dan
birokrasi negara. Pertama-tama, dalam pandangan aliran intelektual ini,
Islam tidak boleh berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan
negara. Dalam hal ini, yang khususnya sangat penting adalah tidak
menempatkan Pancasila sebagai hal yang bertentangan dengan Islam.
Melainkan,
keduanya
harus
dipandang
sebagai
saling
melengkapi.
Pandangan khusus ini tumbuh dari pemahaman religio- politik bahwa tiap
sila
dalam
Pancasila
(kepercayaan
kepada
Tuhan,
kemanusiaan,
dari
perspektif
pernyataanpernyataan
rekonsiliasi
intelektual
aliran
gerakan
transformasi
pembaruan,
sosial
lebih
kepada
proses
rekonsiliasi
politik
antara
Islam
dan
negara.
Dengan nuansa politik semacam ini, sulit dibayangkan bahwa paradigmaparadigma intelektual dan aksi-aksi aliran ini akan dipandang tidak
membahayakan
oleh
negara.
Sejauh
tempatnya
dalam
diskursus
umum
intelektualisme
Islam
baru.
Untuk
memahami secara lebih baik corak gerakan intelektual ini, saya sudah
meletakkan perkembangan gerakan itu di bawah kerangka konteks sosialpolitiknya. Sejauh dianggap perlu, saya juga sudah membahasmeskipun
agak singkatasal-usul sosial aktor-aktor dan penyokong-penyokongnya
yang utama, khususnya menyangkut latar belakang intelektual mereka.
Dan akhirnya, saya juga sudah berupaya untuk menunjukkanmeskipun
tidak seluruhnya semacam pengaruh yang dibawa intelektualisme Islam
baru ini terhadap ekspresi gagasan-gagasan dan praktik-praktik politik
Islam kontemporer.
Perumusan Kembali Landasan Teologis Islam Politik
Posisi
teologis
ini,
seperti
diartikulasikan
dalam
tema-tema
gagasan dan praktik politik para pemikir dan aktivis Muslim yang baru
tumbuh dan menulis pandangan-pandangan mereka sejak 1970-an. Ini
terutama berkaitan dengan (1) pandangan mereka tentang negara dan
ideologinya (Pancasila), (2) aspirasi sosial-politik mereka, dan (3) strategi
dan taktik mereka. Ada dua proposisi religio-politis paradigmatis yang
secara langsung dapat diasosiasikan dengan pemikiran teologis mereka.
Pertama, sebagai akibat dari kepercayaan bahwa hanya Allah yang
memiliki transendensi (sakralitas) mutlak, mereka menganggap semua
aspek
persoalan
duniawi
bernilai
temporal
dan
relatif.
Akibatnya,
yang
secara
harfiah
berarti
penguasa)
Muslim
untuk
kalian
dalam
persoalan.
Masalah
seperti
itu
itu
dikeluarkan
berdasarkan
pertimbangan
bahwa
negara
terpusat
pada
pengembangan
sistem
sosial-politik
yang
secara
langsung
dengan
pengelompokkan
Islam
sebagai
politik
semacam
itu,
benar-benar
masih
perlu
otoritatif
yang
menyimbolkan
aspirasi
kolektif
umat
Islam
35 Tidak ada angka pasti yang menunjukkan berapa persisnya jumlah anggota baik
Muhammadiyah maupun NU. Angka-angka yang dikutip di sini semata-mata didasarkan
kepada klaim-klaim yang disampaikan kedua belah pihak. Untuk bukti-bukti mengenai
keterwakilan kedua organisasi ini, lihat laporan-laporan majalah Tempo, 2 Desember
1989 dan 15 Desember 1990. Lihat juga pernyataan Abdurrahman Wahid dalam Rapat
Akbar NU baru-baru ini di Jakarta sebagaimana dikutip dalam Tempo beberapa edisi
bulan Maret 1992 dan Panji Masyarakat, 1-10 Maret 1992.
dengan
masyarakat
Muslim
secara
keseluruhan.
Itu
36 Yang terutama amat dikritik Deliar Noer adalah gagasan bahwa Pancasila sejalan
dengan Piagam Madinah, dan gagasan bahwa Islam tidak punya konsep mengenai
negara. Untuk paparan lebih jauh mengenai kedua masalah ini, lihat kritik-kritiknya
atas Nurcholish Madjid dan M. Dawam Rahardjo dalam esainya Pancasiladan Aspirasi
Umat Islam Indonesia, dalam kumpulan tulisannya, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal,
Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1984, hh. 139-149. Lihat juga komentar kritisnya atas
Munawir Syadzali dalam Islam dan Pemikiran Politik: Bahasan Kitab Islam dan Tata
Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran oleh H. Munawir
Syadzali MA, Jakarta: LlPPM, 1990.
paham
otonomi
relatif
masyarakat
sipil
dalam
lainnya,
hambatan-hambatan
utama
yang
dihadapi
para
berorientasi
kepada
statisme
(misalnya
partisipasi
rakyat,
pendekatan
pembangunan
dari
atas
dan
pertumbuhan
ekonomi).37
Kesimpulan
Melihat corak diskursus yang berlangsung dewasa ini, pertukaran yang
berlangsung
di
antara
kedua
belah
pihak
benarbenar
tidak
apa
pun),
melainkan
untuk
menyediakan
kesempatan-
ini
penting
untuk
melihat
sejauh
mana
bukti-bukti
itu
Akomodasi Struktrual
Sedikitnya ada dua alasan utama di balik fenomena tersebut: yang
pertama bersifat sosiologis, yang kedua bersifat politis. Pertama, akses
kepada pendidikan modern dan perkembangan ekonomi pada masa
Indonesia
merdeka,
terutama
selama
era
Orde
Baru,
telah
terbentuknya
sebuah
negara
Islam,
dan
tidak
lagi
negara
yang
adil,
partisipatif
dan
egaliter,
yang
harus
akomodasi
infrastruktur
ini
yang
pada
penting
dasarnya
guna
dirancang
membantu
untuk
kaum
memberikan
Muslim
dalam
dan mengembangkan
semacam ini, yang ikut serta terutama dalam upaya statis guna
memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas Muslim akan tempat-tempat
ibadah.
Kekuatan-kekuatan ke Arah Akomodasi
Faktor-faktor apa sajakah yang terutama mendorong negara untuk
mengambil
langkah-langkah
akomodatif
terhadap
Islam?
Beberapa
tipe
kepribadian
pemimpinnya,
tidak
dalam
perspektif
sesama
Muslim.
Seperti
dikemukakannya
sendiri,
sesama
Muslim
yang
menyambut
gembira
tanggapan-
menyuarakan
kritik
keras
terhadap
tanggapan-tanggapan
41 Lihat, Abdurrahman Wahid, Islam dan Masyarakat Bangsa, Pelita, 6 Juni 1986.
BAB IX
KESIMPULAN:
MENUJU HUBUNGAN POLITIK YANG INTEGRATIF
ANTARA ISLAM DAN NEGARA
Tetapi yang masih mengusik ialah pertanyaan hendak ke mana Islam
politik itu, kalau pertaruhan ideologi tidak ada lagi. Ada berbagai
jawaban yang sudah dilontarkan orang. Dari kalangan cendikiawan sering
kita dengar perlunya Islam meningkat ke taraf ilmiah, filsafat, atau
pemikiran yang besar. Ada juga yang menginginkan Islam hijrah ke bidang
kebudayaan atau terjun ke dalam pembinaan masyarakat, tanpa harus
mempertaruhkan umat dalam politik. Sementara jawaban itu terdengar
tinggi dan mulia, dalam kenyataannya sulit membayangkan Islam yang
sama sekali absen dari percaturan politik. Akar Islam yang mendalam di
kalangan massa mau tidak mau akan menimbulkan semacam harga
politik. Cukup banyak perantara yang akan mencari titik temu yang layak
antara permintaan dan penawaran. Di samping itu, selalu ada kelompok
yang menginginkan tawaran yang dekat dan kongkrit. Buat mereka ini,
Islam politik memang perlu beralih dari pertaruhan ideologis ke
percaturan politik yang lebih praktis. Karena di depan mereka ini
terbentang peluang untuk membawa Islam ke dalam power politics. Di
sanalah Islam politik hendak mencari formatnya yang baru. Dalam
perspektif yang lebih luas, paparan penjang-lebar di halaman-halaman
sebelumnya, dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan apakah Islam
dapat berjalan seiring dengan sistem politik modern di mana gagasan
negara-bangsa adalah salah satu unsurnya yang penting. Mengingat
bahwa Islam adalah sebuah agama yang multiinterpretatif, sebagaimana
kolonialisme
mengibarkan
corak
Eropa,
holistik
mereka
Islam
melihat
dalam
ke
dalam
rangka
dan
menentang
Westernisme.
Epilog
ISLAM POLITIK di INDONESIA PASCA-SOEHARTO
Seiring dengan lahirnya partai-partai baru di kalangan umat Islam, muncul
keprihatinan menyangkut risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan
ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol keislaman untuk kepentingan
pemilu. Jika ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol keagamaan digunakan
untuk meningkatkan dukungan politik, agama akan menjadi sebuah isu
yang memecah-belah kaum Muslim, dan prinsip-prinsip dan keyakinankeyakinan yang sensitif dan mungkin tidak dapat dinegosiasikan akan
membebani politik pemilu.42
Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto melepaskan kekuasaan yang telah
digenggamnya selama 32 tahun. Langkah ini merupakan sebuah akhir
yang cukup tiba-tiba, meskipun pada kenyataannya tuntutan atas
pengunduran dirinyayang dipelopori terutama oleh mahasiswa, para
intelektual terkemuka, dan aktivis politiktelah bergema di seluruh
negeri. Mundurnya
pengertian
bahwa
sedemikian
berkuasanya
Soeharto,
militer, untuk mempertahankan kursi kepresidenannya. Sekalipun tandatanda itu ada, dan sangat jelas mengindikasikan bahwa ia telah
kehilangan kendali atas apa yang biasa menjadi sumber dukungannya
yaitu tiga pilar dukungan dari birokrasi, Golkar, dan militerbanyak yang
meyakini
bahwa
Soeharto
tidak
akan
menyerah
dengan
mudah.
Baru
dipandang
sebagai
institusi
yang
bersifat
represif-
lebih,
transformasi
dari
legalisme dan
gagasan dan praktik politik kaum Muslim telah berlangsung selama tiga
dasawarsa dalam periode Orde Baru, banyak aktivis politik Muslim yang
tetap menganut Islam politik yang formalistik dan legalistik pada era
demokrasi baru di Indonesia. Mereka berpandangan bahwa menjadikan
Islam sebagai asas partai sebagai bagian dari hak demokrasi mereka.
Sama halnya dengan upaya mereka untuk memasukkan Piagam Jakarta
ke dalam konstitusi serta syariah Islam ke dalam sistem hukum di negeri
ini. Selama kampanye pemilu 1999, mereka juga menyerukan kaum
Muslim agar memilih partai-partai Islam. Dengan demikian, sebanding
dengan dinamika politik selama era demokrasi liberal tahun 1950-an,
runtuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto dan eforia demokrasi di negeri
ini telah melahirkan Islam politik yang formalistik dan legalistikkurang
lebih, sejenis Islam politik yang hak-haknya telah dibungkam oleh rezim
otoritarian Orde Baru. Dalam sebuah negara demokrasi, Islam politik
terutama
terwujud
dalam
bentuk
partai-partai
politik
Islam
yang
menggunakan Islam sebagai asas ideologi dan simbol partai. Baik pemilu
1955 maupun pemilu 1999 membuktikan bahwa, meskipun Muslim
merupakan mayoritas penduduk di negeri ini, partaipartai Islam tidak
dapat mengumpulkan jumlah suara terbanyak. Berdasarkan pembahasan
panjang yang disajikan sebelumnya, maka cukup untuk dikatakan bahwa
kaum Muslim ditakdirkan untuk memiliki aspirasi politik yang berbedabedadan terkadang saling bertentangan. Sejauh mereka beranekaragam dan tidak mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan ide
tentang Islam politik dari sudut kepentingan publik, maka partai-partai
politik Islam akan sangat sulit untuk menjadi kekuatan dominan dalam
panggung politik Indonesia.
Islam Politik Non-Partai: Penerapan Sy ariah
dan Ide tentang Dunia Pan-Islam?
Bukan
hanya
kemunculan
partai-partai
politik
Islam
yang
telah
tersebut
memandang
dirinya
sebagai
instrumen
untuk
kali
mengangkat
masalah-masalah
yang
berkaitan
dengan
memberi
dorongan
Bahkan,
lantaran
lebih
lanjut
nuansa
bagi
pandangan
internasionalnya,
miring
terma-
suk
kampanye global melawan terorisme yang dipimpin oleh AS, Inggris dan
Australia, peristiwa tersebut telah melahirkan dampak tertentu tidak
hanya terhadap gerakan syariah, tetapi juga terhadap Islam politik secara
umum. Meskipun hal itu mungkin tidak akan berlangsung lama, peristiwa
yang mengerikan tersebut telah menempatkan Islam dalam posisi yang
sangat sulit dan serbasalah. Mengingat lemahnya posisi negara Indonesia,
dan selama kekuatan internasional tetap curiga terhadap Islam politik,
maka kemungkinan Islam politik akan berorientasi ke dalamatau paling
jauh melunakkan retorika dan tujuannya. Fakta bahwa tidak lama setelah
meledaknya bom Bali, Lasykar Jihad secara sukarela membubarkan
dirinya dan FPI membekukan kegiatan mereka,
merupakan indikasi bahwa Islam politik berada dalam posisi yang sangat
sulit.
Kesimpulan:
Menuju Akomodasi Parsial Islam
Berdasarkan apa yang telah disajikan dengan panjang-lebar, sulit untuk
tidak melihat perkembangan Islam politik pada masa pasca- Soeharto dari
sudut pandang legalisme dan formalisme. Transformasi intelektual yang
terjadi
antara
dasawarsa
1970-an
dan
1990-an
tampaknya
telah
Piagam
Jakarta,
tetap
bersikap
moderat
dan
lebih
dan
perceraian,
waris
dan
wakaf,
pengumpulan
dan
penyaluran zakat, ibadah haji dan sejenisnya. Fakta bahwa banyak kaum
Muslim yang merasa bahwa akomodasi negara