Anda di halaman 1dari 403

ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER

Ditulis oleh:
Lis Safitri, dkk.

Diterbitkan, dicetak, dan didistribusikan oleh


PT. Literasi Nusantara Abadi Grup
Perumahan Puncak Joyo Agung Residence Kav. B11 Merjosari
Kecamatan Lowokwaru Kota Malang 65144
Telp : +6285887254603, +6285841411519
Email: literasinusantaraofficial@gmail.com
Web: www.penerbitlitnus.co.id
Anggota IKAPI No. 340/JTI/2022

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau


memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan
cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan 1, Agustus 2023

Editor: Izzatul Mardhiah, Muhamad Ridwan Effendi


Penyunting: Muhamad Ridwan Effendi, Izzatul Mardhiah
Perancang sampul: Rosyiful Aqli
Penata letak: Rosyiful Aqli

ISBN : 978-623-8364-04-6

©Agustus 2023
vi+396 hlm. ; 15,5x23 cm.
Prakata

P uji syukur penulis sampaikan kepada Allah Swt., yang telah membe-
rikan nikmat dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan
Isu-isu Pendidikan Islam Kontemporer. Shalawat dan salam untuk baginda
Rasul Muhammad SAW.
Dengan tulus hati kami selaku editor mewakili menghaturkan banyak
terima kasih kepada segenap penulis buku “Isu-Isu Pendidikan Islam
Kontemporer” ini yang telah berperan serta dalam memberikan kontri-
busi gagasan dan pemikirannya. Juga rasa terima kasih kami sampaikan
kepada pimpinan Fakultas Ilmu Sosial dan rekan dosen program studi
Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Jakarta yang senantiasa
telah turut mendukung dan membantu sehingga terealisasinya buku ini
sampai terbit.
Buku yang ada dihadapan pembaca ini merupakan kumpulan
gagasan yang lahir dari buah pemikiran para akademisi mengenai
ragam isu atau persoalan pendidikan Islam dari berbagai aspeknya yang
dituangkan dalam empat bagian. Mulai dari mempersoalkan dinamika
perkembangan pendidikan Islam di era yang terus meneurs berubah,
seperti yang dituangkan pada bagian pertama buku ini. Kemudian pada
bagian kedua membahas tentang perkembangan pemikiran pendidikan
Islam dan prakteknya. Selanjutnya pada bagian ketiga dibahas mengenai
peran agama dalam resolusi konflik dan perdamaian. Dan pada bagian
akhir dikemukakan pembahasan tentang dinamika Masyarakat muslim
kontemporer.

iii
Dengan hadirnya buku ini, editor harapkan buku ini dapat mendorong
para pembaca lainnya untuk dapat terus mengkaji isu-isu pendidikan
Islam yang lebih aktual dengan balutan analisa yang lebih kritis, empirik,
dan rasional. Adapun saran dan koreksi kami harapkan, sebagai upaya
dalam penyempurnaan isi buku.

Jakarta, Agustus 2023

Editor

iv
Daftar Isi

Prakata......................................................................................................... iii
Daftar isi...................................................................................................... v

Bagian 1
MENYOAL DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI......... 1
A. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum:
Mau Dibawa ke Mana? ...................................................................... 2
B. Memberdayakan Budaya Inklusif dan Ramah Bagi
Mahasiswa Penyandang Disabilitas di Perguruan Tinggi........... 19
C. A Comparative Analysis of Character Education in Madrasas
and Common Schools in Indonesia................................................ 35
D. Pendidikan Islam Kontemporer “Tantangan dan inovasi”
Guru di Era Digital............................................................................. 57
E. Pendidikan Islam Industri 4.0 “Deskriptif Generasi Milenial”... 69

Bagian 2
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DAN
PRAKTEKNYA................................................................................... 77
A. Epistemologi Pendidikan Islam dan Tantangannya..................... 78
B. Konsep Multiple Intelligence & Penerapannya Dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam......................................... 89
C. Perkembangan Tafsir Tarbawi di Indonesia dan Perannya
dalam Pengembangan Pendidikan Islam....................................... 113

v
D. Model Manajemen Pengorganisasian Kurikulum
Ecopesantren untuk Meningkatkan Kesadaran dan
Kepedulian Terhadap Lingkungan.................................................. 136
E. Pemberdayaan Santri Pondok Pesantren Al-Ittifaq Melalui
Program Entrepreneurship .............................................................. 147

Bagian 3
PERAN AGAMA DALAM RESOLUSI KONFLIK DAN
PERDAMAIAN................................................................................... 181
A. Islam di Tengah Pusaran Konflik dan Perdamaian Dunia.......... 182
B. Agama dan Perdamaian: Kontribusi Pemikiran
KH. Ahmad Hasyim Muzadi............................................................ 201
C. Nahdlatul Ulama dan Perdamaian Global: Studi Awal
Mengenai Religion Twenty (R20)...................................................... 218
D. Peran Tokoh Agama dalam Penyelesaian Konflik Maluku......... 241
E. Keragaman Agama & Multikulturalisme di Indonesia:
Beberapa Tantangan........................................................................... 258
F. Memperkuat Benteng Pertahanan Tradisi dan Penguatan
Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Pesantren..................... 272

Bagian 4
DINAMIKA MASYARAKAT MUSLIM KONTEMPORER............ 287
A. Peta Studi Islam Kontemporer di Indonesia.................................. 288
B. Peran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam
Perlawanan Petani Banten 1888....................................................... 307
C. Hermeneutika Hadis tentang Mengkafirkan Saudara
Sesama Muslim ................................................................................... 330
D. Perkembangan pemikiran Islam dan Praktiknya
di era Digital: Pemanfaatan Cyberspace di Dalam
Proses Dakwah Islam......................................................................... 342
E. Analisis Strategi Dakwah di Channel Labolatorium
Sains Kristologi (LSK) Al-Hadid ..................................................... 355
F. Perkembangan Islam dan Praktiknya di Era Digital:
Podcast Dakwah Strategi dan Analisis............................................ 367
G. Tajdid Nalar Beragama Untuk Menghadapi Era Industri 4.0..... 381

vi
Bagian 1
MENYOAL DINAMIKA
PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI

1
Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum: Mau
Dibawa ke Mana?

Lis Safitri
Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia
Email: lis.safitri@unsoed.ac.id

Pendahuluan
Sejak tahun 2022, saya secara rutin melakukan evaluasi mata kuliah
Pendidikan Agama Islam (PAI) di beberapa fakultas tempat saya mengajar
di Universitas Jenderal Soedirman. Dari survei berupa angket daring
tersebut ditemukan fakta bahwa hanya sekitar 50% mahasiswa saja yang
mengaku bahwa mereka memahami Islam dengan “baik” dari lima skala
yang ditentukan (sangat buruk, buruk, cukup, baik, sangat baik), 30%
mengaku “cukup”, dan sisanya terbagi menjadi kategori-kategori lain.
Fakta lainnya, hampir 90% mahasiswa mengaku bahwa kuliah Pendidikan
Agama Islam di kampus merupakan sumber pengetahuan agama utama
bagi mereka. Baru di peringkat kedua dan selanjutnya mereka memilih
media sosial, seperti Instagram dan YouTube sebagai sumber pengetahuan
agama (Lis Safitri, 2022, 2023).
Fakta tersebut menunjukkan betapa pentingnya eksistensi mata
kuliah PAI di perguruan tinggi umum (PTU). Sebagai mata kuliah wajib
umum, sejatinya PAI harus memberikan dasar yang kuat bagi dasar
keagamaan mahasiswa, praktik ibadah keseharian, serta menekankan
pada pembentukan karakter dan akhlak mahasiswa (Lis Safitri et al., 2022;
Umar Al Faruq, 2020). Namun sayangnya, masih banyak problematika
PAI di PTU, baik terkait organisasi kurikulum (Muhammad Nurul
Mubin, 2021; Nurti Budiyanti et al., 2021; Yahya Aziz, 2011) sampai

2 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


pada masalah kualitas pengajar dan politik kampus (Erwin Muslimin &
Uus Ruswandi, 2022).
Artikel ini bertujuan untuk memberikan tawaran mengenai konsep
perkuliahan PAI di PTU berdasarkan pada hasil kajian literatur, survei
kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pendidikan Agama
Islam tahun 2022 dan 2023, serta pengalaman yang telah diterapkan
selama lima tahun di Universitas Jenderal Soedirman. Artikel ini akan
membahas tentang potret PAI di PTU yang ideal serta integrasi keilmuan
untuk menciptakan perkuliahan PAI yang solutif dan membumi.

Pembahasan
PAI Ideal untuk PTU
Keragaman Materi Sesuai Kebutuhan
Tahun 1999, Nurcholish Madjid atau yang biasa dikenal dengan nama
Cak Nur menjelaskan hakikat pembelajaran agama Islam di perguruan
tinggi umum yang ideal. Meski pendapat tersebut diungkapkan lebih
dari dua dekade lalu, namun masih relevan hingga saat ini. Menurutnya,
pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum harus benar-benar menyentuh
dasar filosofis keagamaan yang membuat mahasiswa memahami hakikat
dan tujuan agama secara filosofis. Pembelajaran PAI di PTU merupakan
mata kuliah keagamaan “terakhir” yang didapatkan seseorang di
pendidikan formal sehingga harus mengkhatamkan pondasi keagamaan
mahasiswa dan memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer
yang dihadapi mahasiswa. Dengan demikian, konten pembelajaran dan
kedalaman pembahasannya harus tepat sesuai kebutuhan mahasiswa,
bukan hanya mengulang-ulang hafalan yang sama dari SD sampai SMA
(Lis Safitri et al., 2022; Nurcholish Madjid, 1999).
Berdasarkan pengamatan eyebird pada rencana pembelajaran semester
dan buku ajar PAI di beberapa kampus, materi PAI yang ditawarkan
hampir seragam mencakup konsep agama, konsep ketuhanan, hakikat
manusia, sumber hukum Islam, iman takwa dan amal saleh, etika akhlak
dan moral, eskatologis, kebudayaan Islam, moderasi agama, Islam dan

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 3


pengembangan iptek, politik Negara dan masyarakat dalam Islam,
kerukunan umat beragama, serta masjid dan pembinaan umat. Materi
tersebut juga yang terdapat dalam buku ajar PAI yang diterbitkan oleh
SIMBELMAWA Kemendikbud yang memang menjadi rujukan utama
saat menyusun kurikulum PAI. Saat dosen akan berkreasi dengan dengan
menambahkan atau mengurangi materi baru, selalu ada dalih bahwa PAI
kelak menjadi tidak seragam lagi. Padahal PAI adalah mata kuliah wajib
umum. Pandangan tersebut sebenarnya salah kaprah apabila kembali
mempertimbangkan kritik Cak Nur terhadap PAI di PTU.
Materi PAI dapat disusun dengan mempertimbangkan tiga kelompok
topik. Pertama, topik dasar keagamaan dan akidah. Materi yang tergabung
dalam topik ini bisa berupa konsep agama, konsep ketuhanan, hakikat
manusia, sumber hukum Islam, dan fikih keseharian. Tentu saja penjelasan
materi tersebut harus melampau sekedar penjelasan jenis-jenis agama
atau jenis-jenis sumber hukum Islam yang sudah diketahui oleh siswa
SMA, tetapi harus penjelasan filosofis dan praktis. Pada topik konsep
ketuhanan misalnya, mahasiswa tidak hanya mempelajari nama Allah
melalui asmaul husna, tetapi mempelajari dan dilatih untuk berakhlak
dengan asmaul husna. Dengan demikian mereka memahami bahwa hal
sederhana seperti menggunakan helm dan menaati peraturan lalu lintas saat
berkendara adalah salah satu sikap meneladani asmaul husna al-rahman
dan al-rahim; atau kita tidak boleh mengatakan “Kamu kok gendutan,”
saat berusaha meneladani al-wadud. Barangkali buku Quraish Shihab
yang berjudul Menyikap Tabir Ilahi: Al-Asma al-Husna dalam Perspektif
al-Quran dapat menjadi rujukan dalam hal ini (Quraish Shihab, 1994).
Demikian juga dengan materi sumber-sumber hukum Islam.
Mayoritas mahasiswa tahu bahwa sumber hukum Islam terdiri dari
al-Quran, Hadis, ijma, dan ijtihad, namun hanya sedikit di antara mereka
yang memahami cara mendapatkan hukum dari sumber tersebut. Apabila
melihat hasil studi peningkatan intoleransi dan radikalisme di kalangan
mahasiswa PTU, tentu salah satu penyebab yang perlu dipertimbangkan
adalah cara mereka memahami al-Quran dan Hadis yang hanya sekedar

4 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


membaca terjemah. Mahasiswa perlu diberi pengertian bahwa terjemah
adalah bagian dari tafsir, dan tafsir atau pemahaman bersifat relatif. Selain
mengarahkan mahasiswa untuk mencari sumber dan ustadz yang tepat,
mereka perlu diberikan tugas sebagai pembiasaan membaca al-Quran dan
tafsirnya secara rutin. Pengalaman penulis selama tiga tahun menugaskan
mahasiswa membaca al-Quran dan tafsir dari aplikasi yang diterbitkan
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, lebih dari 90% mahasiswa memberi
testimoni positif karena dianggap membantu membiasakan diri dalam
mempelajari al-Quran dari sumber yang tepat.
Pun dengan fikih keseharian. Tata cara bertayamum atau salat
jamak qashr yang dianggap sebagai hal dasar belum tentu dikuasai oleh
mahasiswa. Padahal hal tersebut adalah bagian dari kehidupan sehari-
hari yang pasti akan ditemui. Membedakan darah haid dan istihadhah,
hukum keputihan, tata cara menyucikan najis, hukum berwudu dengan
kulit masih tertutupi make up waterproof, hukum membaca al-Quran
bagi orang yang haid dan junub, dan tata cara salat jenazah merupakan
pengetahuan dan praktik dasar yang akan ditemui dalam kehidupan
sehari-hari. Terdapat cerita yang cukup memalukan saat salah seorang
mahasiswa menceritakan bahwa seniornya pernah mengimami salat
jenazah rekannya yang meninggal dunia sebanyak dua rakaat. Tentu saja
kita berharap bahwa kisah-kisah yang membuat orang mengelus dada
tersebut tidak terulang kembali.
Kedua, topik isu kontemporer yang sedang hangat di kalangan
masyarakat dan dibutuhkan oleh remaja. Topik ini dapat berkisar antara
isu pelestarian lingkungan hidup, literasi digital, gaya hidup halalan
thayyiban, pendidikan pra-nikah, anti korupsi, keramahan terhadap
disabilitas dan kaum marginal, kerukunan antar-inter umat beragama,
serta kepatuhan terhadap konstitusi. Isu climate change telah menjadi isu
setiap belahan negara yang harus diatasi oleh seluruh penduduk dunia.
Memahamkan mahasiswa tentang manajemen sampah yang baik, melatih
diet plastik sekali pakai, membiasakan take away sisa makanan yang tidak
habis dikonsumsi saat makan di kafe, dan pentingnya gerakan satu orang

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 5


merawat satu pohon dengan pendekatan agama merupakan hal yang
baik. Demikian juga saat hoaks dan plagiarisme menjadi isu sosial dan
akademik, dosen perlu ikut andil dalam memberi pemahaman bahwa
menghargai hak cipta termasuk salah satu maqashid syariah (tujuan
hukum Islam) hifzul mal (menjaga harta) dan tabayyun merupakan
langkah pertama yang perlu dilakukan sebelum menyebarkan kembali
informasi yang didapat (QS. al-Hujurat/49: 6).
Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (Mia Amalia,
2020), aborsi pra nikah (Muhammad Azinar, 2013), dan penularan HIV
(Andriana Yoshinta Herindrawati et al., 2017) membuat pendidikan pra
nikah menjadi signifikan dalam PAI. Saat ini pendidikan pra nikah yang
komprehensif belum menjadi perhatian institusi keagamaan, sementara
hal tersebut sangat penting. Memang kantor urusan agama memberikan
pendidikan pra nikah bagi calon pengantin, namun sayangnya durasinya
terlalu singkat dan diberikan setelah pendaftaran pernikahan dilakukan.
Relasi hubungan laki-laki dan perempuan dengan pendekatan mubadalah
(kesalingan) (Faqihuddin Abdul Kodir, 2019) layak diperhitungkan
dalam topik ini.
Hampir setiap Muslim tahu bahwa prinsip konsumsi dalam Islam
adalah halalan thayyiban, namun tidak banyak yang dapat mengamalkan
prinsip tersebut secara konsisten. Barangkali kesadaran mengonsumsi
pangan halal telah tinggi (Unung Triana, 2022), namun kesadaran
mengonsumsi pangan thayyib—yang bermakna sehat, aman, dan
proporsional—masih rendah. Hasil-hasil penelitian mengenai tingkat
obesitas dan kasus diabetes mellitus yang tinggi di kalangan remaja akhir
cukup tinggi (Evan et al., 2017; Resti Arania et al., 2021) membuktikan
rendahnya penerapan prinsip thayyib dalam konsumsi. Bahkan penelitian
Yolanda Hani Putriani & Atina Shofawati (2015) menunjukkan bahwa
tingkat religiusitas mahasiswa tidak mempengaruhi pola konsumsi halalan
thayyiban. Untuk memberikan kesadaran pemeliharaan diri (hifzu nafs)
dan menjaga kesehatan sumberdaya muda Indonesia, topik ini penting
untuk dijadikan materi PAI.

6 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Ekstremisme agama merupakan salah satu pukulan besar bagi dunia
pendidikan Indonesia. Mirisnya, salah satu penyebabnya adalah konten
materi dalam pembelajaran PAI sendiri (Convey Report, 2018a, 2018b).
Dengan demikian, banyak dosen yang menghapus materi konsep negara
dalam pandangan Islam sebagai tindakan preventif kesalahpemahaman
atas konsep khilafah yang disalahpahami. Namun demikian, sebenarnya
hal tersebut bukan tindakan efektif. Daripada menutup akses mahasiswa
terhadap topik tersebut dari pendidikan formal, alangkah baiknya apabila
dosen PAI—yang dianggap sebagai sumber ilmu yang kompeten—justru
menjadi sumber pengetahuan mengenai topik sensitif tersebut. Daripada
mahasiswa mendapat pengetahuan dari sumber lain yang kredibilitasnya
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Topik ini bisa jadi berjudul “Konsep
khilafah dalam Islam” namun materinya bukan mempromosikan
pendirian negara Islam yang akan menggantikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, melainkan bantahan tentang konsep tersebut. Selain
itu, melalui topik ini juga dapat menekankan pada kewajiban mengikuti
pemerintah sebagai ulil amri (seperti kewajiban membayar pajak dan
menjaga fasilitas umum) serta kisah-kisah toleransi yang dilakukan
Rasulullah saw dan para sahabat.
Ketiga, topik kefakultasan. Pada bagian ini materi PAI dapat
disesuaikan dengan bidang ilmu yang ditekuni oleh mahasiswa. Selain
memberi pemahaman dan praktik dasar-dasar keIslaman, keberadaan PAI
di PTU juga diharapkan menjadi moral value bagi pengembangan bidang
ilmu lainnya. Misalnya di Fakultas Peternakan, topik mengenai pemotongan
hewan secara syariat Islam, hukum stunning (pemingsanan) sebelum
pemotongan, dan animal welfare menjadi sangat relevan. Sementara di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, prinsip ekonomi syariah, lembaga keuangan
Islam, zakat produktif, serta hukum investasi cryptocurrency sangat tepat.
Demikian juga dengan hukum operasi plastik, kloning, bank asi dan
sperma, serta hukum aborsi dan euthanasia cocok menjadi bagian topik
kefakultasan bagi mahasiswa ilmu kesehatan atau kedokteran.

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 7


Pemilihan topik kefakultasan tersebut menjadi tantangan sendiri bagi
dosen PAI karena bisa jadi bukan merupakan expertise yang dipelajari
sejak bangku kuliah. Namun demikian, solusi hal tersebut tidak lain adalah
melakukan riset kolaborasi dengan dosen atau peneliti yang ahli dalam
bidang tertentu. Kolaborasi tersebut akan menghasilkan pengetahuan
yang lebih komprehensif karena dipelajari dan dikonfirmasi oleh
berbagai sudut pandang keilmuan. Kemudian, hasil penelitian tersebut
dapat menjadi sumber materi pembelajaran mahasiswa dan bagian dari
roadmap kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Mengenai metode
integrasi Islam dan keilmuan lain akan dibahas di sub bab selanjutnya.
Aspek kebutuhan merupakan indikator utama dalam menentukan
topik-topik yang menjadi materi PAI. Sejatinya komposisi materi
tersebut akan berubah dan berbeda-beda sesuai dengan kondisi
keagamaan mahasiswa saat masuk perguruan tinggi, isu sosial yang
sedang berkembang, serta bidang ilmu kefakultasan. Dengan demikian,
dosen dapat melakukan survei singkat mengenai kondisi keagamaan
mahasiswanya pada saat perkuliahan pertama dimulai untuk menentukan
perlu atau tidaknya mengubah materi perkuliahan atau memberikan
penekanan pada materi dan evaluasi tertentu.

Pembelajaran Inklusif dan Penekanan Karakter


Pembelajaran inklusif tidak dapat dilakukan kecuali menggunakan
pendekatan multikultural. Pengenalanan terhadap kemajemukan dan
perbedaan menjadi kunci awal dari pembelajaran ini. Pemahaman
keagamaan yang ekslusif di kalangan mahasiswa di antaranya disebabkan
oleh sumber tunggal pengetahuan keagamaan dan tidak mengenal
pandangan kelompok lain. Bahayanya, eksklusivitas ini akan berakhir
pada truth claim, sikap intoleransi, bahkan radikalisme.
Pengenalan terhadap perbedaan perlu dikenalkan mulai dari
perbedaan pandangan atau penafsiran dalam Islam serta kemajemukan
kelompok pemahaman internal Islam. Mahasiswa perlu diberi pemahaman
penyebab dari perbedaan pemahaman terhadap al-Quran dan Hadis,
contoh perbedaan pemahaman tersebut, serta sumber rujukan yang

8 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


direkomendasikan apabila kelak mereka akan mempelajari lebih lanjut
mengenai perbedaan pandangan tersebut. Penyampaian perbedaan
pandangan ini hendaknya hadir di setiap topik pembahasan untuk
membiasakan mahasiswa menerima pendapat yang berbeda.
Namun demikian, dosen tetap harus menyampaikan pandangan
yang lebih kuat atau preferensi pribadi dari sekian perbedaan pandangan
tersebut. Hal tersebut akan dianggap sebagai ketegasan dan kepastian
bagi mahasiswa awam yang merasa sulit memilih salah satu pandangan.
Hal ini berbeda dengan iklim akademik di perguruan tinggi agama yang
terbiasa dengan wacana perbedaan pandangan dengan pemilihan hukum
yang diserahkan pada masing-masing mahasiswa. Selain kejelasan hukum,
mahasiswa di PTU juga menganggap bahwa penjelasan dalil dan sumber
rujukan sebagai hal yang efektif dan efisien dalam penyajian sebuah
materi (Lis Safitri, 2022, 2023).
Sebagai mata kuliah wajib umum, PAI menjadi penting yang
memberikan dasar afektif bagi mahasiswa. Dengan demikian, topik etika,
moral, dan akhlak serta iman, takwa, dan amal saleh tidak perlu menjadi
sebuah materi tersendiri, melainkan terintegrasi dalam setiap materi
pembahasan. Dalam topik konsep ketuhanan, mahasiswa dapat diberikan
materi tentang menjalin komunikasi sebagai salah satu akhlak terhadap
Allah. Sejak anak-anak, biasanya, mahasiswa didoktrin bahwa salat
adalah kewajiban sehingga tujuan melakukan salat adalah menggugurkan
kewajiban agar terhindar dari neraka. Nah, saat inilah yang tepat untuk
mengubah mindset mereka bahwa salat merupakan sarana komunikasi
untuk meminta dan memberikan “feedback” atas harapan-harapan yang
diinginkan dalam keseharian. Perubahan pandangan tentang salat ini
akan membuat mereka menjadi lebih rajin dalam menjalankan salah
satu tiang agama.
Demikian juga dengan pembiasaan menghabiskan porsi makanan
yang diambil atau membungkus makanan sisa dapat menjadi salah satu
etika yang terintegrasi dengan materi pelestarian lingkungan hidup.
Dengan argumentasi bahwa sampah domestik yang dihasilkan akan

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 9


menimbulkan mudarat berupa sarana penularan penyakit bagi manusia
serta argumentasi gaya menghargai rezeki yang didapatkan, pendidikan
karakter kepedulian terhadap lingkungan dan syukur telah terintegrasi
dalam materi tersebut.
Pendidikan karakter tidak dapat berdiri sendiri, namun harus
terintegrasi dalam setiap materi perkuliahan. Pun latihan secara berulang
merupakan metode efektif dalam internalisasi karakter. Saat mahasiswa
telah terbiasa berlatih menerapkan karakter selama perkuliahan PAI maka
MKWU ini dapat menjadi moral value saat mereka mengembangkan
bidang ilmu yang ditekuni.

Metode dan Media Pembelajaran yang Efektif


Salah satu karakteristik dari Generasi Z adalah kedekatan terhadap
dunia digital (Subhan Setowara, 2018), sehingga penggunaan media
pembelajaran seperti video, infografis, dan podcast dinilai lebih efektif.
Meskipun demikian, bahan ajar dalam bentuk ppt juga tetap menjadi
salah satu preferensi mereka dengan alasan kemudahan akses belajar
saat akan ujian. Kemudian porsi waktu yang luas untuk sesi tanya jawab
juga menjadi preferensi bagi mahasiswa karena dianggap sebagai waktu
yang tepat untuk mendapat jawaban atau legitimasi atas kegelisahan
dan persoalan keagamaan yang mereka hadapi (Lis Safitri, 2022, 2023).
Metode tanya jawab dan kuliah aktif dianggap paling efektif oleh
mahasiswa pada pembelajaran synchronous. Sementara media video
berdurasi pendek (maksimal 10 menit) dianggap lebih efektif untuk
pembelajaran asynchronous dibandingkan dengan media tertulis seperti
buku ajar (Lis Safitri, 2022, 2023). Keinginan untuk mendapatkan jawaban
secara cepat dan tepat menjadi kunci utama dalam hal ini, yang memang
menjadi salah satu karakteristik dari Gen Z (Subhan Setowara, 2018).
Dalam evaluasi pembelajaran pun, mahasiswa lebih antusias saat
mengerjakan kuis dengan media audio visual seperti Kahoot atau Quizizz
yang bersifat dua arah dibanding kuis dalam bentuk Google Form,
apalagi media kertas. Selain merasa tertantang dengan konten kuis,

10 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


motivasi berprestasi juga lebih tinggi karena ranking dari setiap jawaban
mahasiswa ditampilkan secara on time dan dapat dilihat bersama-sama
(Lis Safitri, 2022, 2023).
Sejak tahun 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi menggalakan penggunaan case-based learning (CBL,
pembelajaran berbasis kasus) dan project-based learning (PjBL,
pembelajaran berbasis kasus) untuk menunjang program Merdeka
Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kedua metode tersebut dianggap
sesuai bagi level 6 KKNI (Tiur Malasari Siregar & Suci Frisnoiry, 2019)
karena mencapai level analisis dan sintesis pada taksonomi Bloom (Igor
M. Arievitch, 2020). Dalam CBL mahasiswa dapat menganalisis sebuah
masalah dan melihatnya dengan sudut pandang teori yang telah dipelajari.
Sementara dalam PjBL mahasiswa juga mampu mengaplikasikan bahkan
membuat hal baru dengan menggabungkan berbagai teori yang telah
dipelajari.
Metode-metode tersebut sangat relevan untuk digunakan di mata
kuliah PAI pada PTU, sehingga pembelajaran bukan hanya terfokus pada
aspek kognitif tetapi mencakup psikomotorik dan afektif. Metode ini cocok
untuk diterapkan pada kelompok materi isu kekinian dan kefakultasan
yang sifatnya dinamis. Bagi mahasiswa Fakultas Peternakan, misalnya,
dosen dapat merangkum beberapa kasus seperti penjualan bakso tikus,
penggilingan day old chicken yang tidak lolos sortir untuk dijadikan
pakan ternak, sapi glonggong, penjualan ayam tiren, pengangkutan
hewan lintas kota yang tidak memenuhi animal welfare, dan pemusnahan
terinfeksi penyakit zoonosis dengan cara dibakar. Kasus-kasus tersebut
dapat dianalisis dari sudut pandang Islam dan ilmu peternakan sehingga
mendapat penjelasan yang komprehensif. Selain itu, output dari CBL
tersebut dapat disajikan dalam bentuk video atau infografis. Tentunya,
dosen akan kagum dengan keterampilan mahasiswa dalam menyelesaikan
kasus tersebut dan kreativitas mereka dalam menyajikan bahan ajar
audio visual.

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 11


Lebih jauh PjBL dapat menjadi wadah pelatihan bagi mahasiswa untuk
mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat. Beberapa proyek yang dapat
diangkat antara lain fundraising untuk korban bencana alam, bakti sosial
bagi anak yatim dan kaum dhuafa, mengajar santri taman pendidikan
al-Quran, pelatihan keterampilan bagi santri pondok pesantren dan kaum
marginal, dan penyuluhan pentingnya mengonsumsi pangan halalan
thayyiban bagi siswa sekolah dasar dan menengah. Sebagai sarana syiar,
mahasiswa dapat memanfaatkan masjid kampus sebagai sentra kegiatan.
Dalam pelaksanaannya, mahasiswa harus menyiapkan proyek tersebut
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi kegiatan. Karena
beratnya proyek tersebut, tentu dosen harus matang dalam menyusun
perangkat proyek dan bijak dalam menyusun komponen penilaian.

Metode Integrasi Ilmu sebagai Pendekatan Utama PAI


Terdapat beberapa gagasan yang dapat digunakan untuk mencoba
menghubungkan konsep agama dan keilmuan lain. Pertama, metode yang
digaungkan oleh Syed Hossein Nashr berupa integrasi ilmu berbasis filsafat
perenial. Melalui metode ini prinsip tauhid harus selalu diintegrasikan
dalam pengembangan keilmuan. Tauhid menjadi landasan dan tujuan
dari setiap teori yang dihasilkan (Muslih, 2016; Safitri et al., 2020; Syarif
Hidayatullah, 2018)
Kedua, gagasan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyatakan
bahwa Islamisasi ilmu dapat dicapai dengan memasukkan konsep-konsep
penting Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan yang relevan
saat ini. Usaha tersebut tidak dapat diraih kecuali dengan melakukan
pemisahan dan pelepasan konsep-konsep yang membentuk peradaban
dan budaya Barat dari ilmu (Novayani, 2017).
Ketiga, ide Kuntowijoyo dengan istilah saintifikasi Islam. Menurut
gagasan tersebut, umat Islam harus melakukan pengembangan eksperimen
ilmu pengetahuan yang berdasarkan paradigma al-Quran. Tindakan
tersebut akan mendorong munculnya premis-premis normatif al-Quran
yang dapat dibentuk menjadi teori-teori rasional dan empiris (Chaeruddin,
2016).

12 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Keempat, ide sains-teistik yang digagas oleh Mohammad Muslih
(2016). Konsep ini menyatakan bahwa terdapat pemisahan yang jelas
antara domain teologis, paradigma, dan teori. Namun demikian, tiga
domain tersebut saling berhubungan secara signifikan.
Kelima, gagasan Amin Abdullah (2014; n.d.) mengenai integrasi-
interkoneksi keilmuan. Terinspirasi dari Ian G Barbour dan Holmes Rolston,
Abdullah menyarankan tiga model integrasi-interkoneksi keilmuan dan
Islam yang bersifat dialogis dan integratif, yaitu semipermeable, inter-
subjective testability, dan creative imagination.
Pada model semipermeable, ilmu dan agama memiliki batasan yang
menunjukkan masing-masing identitas dirinya. Namun demikian batas
tersebut tidak bersifat rigid yang menghalangi antar ilmu dan agama
untuk saling berdialog. Dinding pemisah tersebut memiliki pori-pori
yang membuka kesempatan untuk saling dapat menembus satu sama
lain. Hubungan tersebut memungkinkan adanya komunikasi antara
berbagai bidang ilmu dengan agama, berupa klarifikatif, komplementatif,
alternatif, korektif, verifikatif, atau transformatif. Integrasi-interkoneksi
agama-ilmu dalam model ini dapat dilakukan oleh komunitas peneliti
lintas ilmu untuk mendialogkan setiap disiplin ilmu untuk berkomunikasi,
menerima masukan, kritik, dan bersinergi dengan agama dan ilmu lainnya.
Inter-subjective testability atau keterujian intersubjektif merupakan
pemahaman bahwa semua disiplin ilmu akan berkolaborasi untuk menguji
interpretasi dan pemahaman data yang dikumpulkan oleh seorang peneliti.
Titik kunci pada model ini adalah posisi mental keilmuan yang dapat
mendialogkan antara objektivitas dengan subjektivitas secara cerdas
dalam menghadapi keilmuan sains, agama, atau budaya. Agamawan
harus belajar tentang adanya elemen objektif dalam agama yang didapat
melalui penelitian empiris untuk menghindari pemahaman subjektif
yang berlebihan.
Creative imagination merupakan penggalian teori baru hasil dari
interaksi bidang ilmu agama dengan bidang keilmuan lain. Dalam hal
ini, sebuah teori baru untuk menyelesaikan permasalahan kontemporer

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 13


memang benar-benar dihasilkan dari dialektika antara ilmu dengan agama.
Tentu saja ide ini masih berpijak dari teori dan gagasan yang telah ada
sebelumnya (Abdullah, 2014)
Dari berbagai gagasan tersebut, ide integrasi-interkoneksi keilmuan
Amin Abdullah merupakan pendekatan yang mapan untuk dijadikan
landasan dosen PAI dalam menyusun bahan ajar yang berasal dari
bangunan roadmap penelitian berkesinambungan dengan bidang
pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Tentu saja untuk
melakukannya dibutuhkan kolaborasi dengan dengan dosen lain yang
memiliki keahlian dalam bidang tertentu. Dalam hal ini, posisi dosen
PAI di PTU memiliki kesempatan yang lebih luas untuk melakukan riset
kolaborasi dengan ahli dalam bidang keilmuan lain untuk mensintesis
sebuah hukum dari permasalahan kontemporer.
Oleh karena itu, pemahaman yang ditransfer kepada mahasiswa
bukan hanya sekedar legitimasi keilmuan oleh dalil naqli, vice versa,
melainkan pemahaman komprehensif yang menyentuh nilai filosofis dari
sebuah ilmu. Dengan demikian, PAI akan mendapatkan ruh dan posisi
yang kuat bagi keilmuan lain di PTU, sebagaimana PAI membutuhkan
dialog dengan keilmuan lain.

Simpulan
Keberadaan PAI di PTU bertujuan untuk memberikan pemahaman
filosofis terhadap dasar dan praktik keagamaan serta menjadi moral
value bagi pengembangan keilmuan yang digeluti oleh mahasiswa.
Dengan demikian, penyusunan komposisi materi harus berlandaskan
pada aspek kebutuhan dan relevansi bagi mahasiswa. Terdapat tiga topik
yang ditawarkan, yaitu dasar keagamaan, isu kontemporer, serta topik
kefakultasan. Aspek internalisasi karakter harus terintegrasi dengan
masing-masing materi. Demikian juga dengan penggunaan media dan
metode pembelajaran yang perlu disesuaikan dengan karakteristik Gen Z
berupa kedekatan dengan dunia digital dan kemudahan atau proses yang
instan. Integrasi-interkoneksi ilmu dan agama tidak dapat dihindarkan
lagi demi menghadirkan perkuliahan PAI yang ideal bagi PTU. Hal

14 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


tersebut harus dimulai dari roadmap penelitian dosen PAI sendiri yang
terintegrasi dengan bidang ilmu kefakultasan dan berkesinambungan
dengan pembelajaran serta pengabdian kepada masyarakat.

Daftar Pustaka
Andriana Yoshinta Herindrawati, I. Nyoman Latra, & Purhadi Purhadi.
(2017). Pemodelan Regresi Poisson Inverse Gaussian Studi Kasus:
Jumlah Kasus Baru HIV di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015. Jurnal
Sains Dan Seni ITS, 6(1), 137–143.
B. Chaeruddin. (2016). Ilmu-Ilmu Umum dan Ilmu-Ilmu KeIslaman
(Suatu Upaya Integrasi). Jurnal Inspiratif Pendidikan, 5(1), 209–222.
Convey Report. (2018a). Api dalam Sekam: Keberagamaan Generasi Z (1)
[1]. Convey Institut dan PPIM UIN Jakarta.
Convey Report. (2018b). Sikap dan Perilaku Keberagamaan Guru dan
Dosen Pendidikan Agama Islam (No. 1; 2). Convey Institut dan PPIM
UIN Jakarta.
Erwin Muslimin & Uus Ruswandi. (2022). Tantangan, Problematika
dan Peluang Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi. Tarbiatuna: Journal of Islamic Education Studies, 2(1), 57–71.
https://doi.org/10.47467/tarbiatuna.v2i1.652
Joko Wiyono Evan, & Erlisa Candrawati. (2017). Hubungan antara Pola
Makan dengan Kejadian Obesitas pada Mahasiswa di Universitas
Tribhuwana Tunggadewi Malang. Nursing News: Jurnal Ilmiah
Keperawatan, 2(3).
Faqihuddin Abdul Kodir. (2019). Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif
untuk Keadilan Gender dalam Islam. IRCiSoD.
Igor M. Arievitch. (2020). Reprint of: The vision of Developmental
Teaching and Learning and Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives. Learning, Culture and Social Interaction, 27, 100473.
I. Novayani. (2017). 4. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan
Syed M. Naquib Al-Attas Dan Implikasi Terhadap Lembaga

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 15


Pendidikan International Institute of Islamic Thought Civilization
(Istac). I(1), 74–89.
Lis Safitri, A. N. Syamsi, L. Setiana, & M. Nuskhi. (2020). Susu Ternak
dalam Bingkai Tafsir ‘Ilmi: Studi Integrasi Tafsir al-Quran dan Ilmu
Peternakan (Animal’s Milk in Tafsir ’Ilmu: An Integrated Study
between Islamic and Animal Science). Prosiding Seminar Teknologi
Agribisnis Peternakan (STAP) Fakultas Peternakan Universitas
Jenderal Soedirman, 184–201.
Lis Safitri. (2022). Survei Pembelajaran PAI Unsoed 2022. Universitas
Jenderal Soedirman.
Lis Safitri. (2023). Survei Pembelajaran PAI Unsoed 2023. Universitas
Jenderal Soedirman.
Lis Safitri, Fadlil Munawwar Mansur, & Husni Thoyyar. (2022). Nurcholish
Madjid on Indonesian Islamic Education: A Hermeneutical Study.
Jurnal Ilmiah Islam Futura, 22(2), 244–259.
M. Amin Abdullah. (2014). Praksis Paradigma Integrasi-Interkoneksi dan
Transformasi Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga. Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga.
M. Amin Abdullah. (n.d.). Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Pustaka Pelajar.
Mia Amalia. (2020). Analisis Sosiokultural terhadap Peningkatan Tindak
Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai Dampak
Pandemi Covid-19 di Wilayah Kabupaten Cianjur. Jurnal Abdimas
ADPI Sains Dan Teknologi, 1(2), 20–30. https://doi.org/10.47841/
saintek.v1i2.130
Muhammad Azinar. (2013). Perilaku Seksual Pranikah Berisiko terhadap
Kehamilan Tidak Diinginkan. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat,
8(2), 153–160. https://doi.org/10.15294/kemas.v8i2.2639
Muhammad Nurul Mubin. (2021). Problematika dan Solusi Pendidikan
Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU). Tarbawi:

16 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Jurnal Pendidikan Islam, 18(2), 9–24. https://doi.org/10.34001/
tarbawi.v18i2.1992
M. Muslih. (2016). Al-Qur’an dan Lahirnya Sains Teistik. Tsaqafah, 12(2).
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v12i2.756
Nurcholish Madjid. (1999). Masalah Pendidikan Agama di Perguruan
Tinggi Umum. In Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Logos Wacana Ilmu.
Nurti Budiyanti, Asep Bahria, Uus Ruswandi, & Bambang Samsul Arifin.
(2021). Problematika dan Tantangan Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Inovatif: Jurnal Penelitian
Pendidikan, Agama & Kebudayaan, 7(1), 46–63.
Quraish Shihab. (1994). Menyikap Tabir Ilahi: Al-Asma al-Husna dalam
Perspektif al-Quran. Lentera Hati.
Resti Arania, Tusy Triwahyuni, Firhat Esfandiari, & Fidel Rama
Nugraha. (2021). Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, dan Tingkat
Pendidikan dengan Kejadian Diabetes Mellitus di Klinik Mardi
Waluyo Lampung Tengah. Jurnal Medika Malahayati, 5(3), 146–153.
Subhan Setowara. (2018). Muslim Milenial: Catatan & Kisah Wow Muslim
Zaman Now. Mizan Pustaka.
Syarif Hidayatullah. (2018). Konsep Ilmu Pengetahuan Syed Hussein
Nashr: Suatu Telaah Relasi Sains dan Agama. Jurnal Filsafat, 28(1),
111–139.
Tiur Malasari Siregar & Suci Frisnoiry. (2019). The Applying of KKNI-
Based Textbooks as Productivity Facilities Student Creativity
Program. Journal of Physics: Conference Series, 1188, 012115.
Umar Al Faruq. (2020). Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum. Jurnal Contemplate: Jurnal Ilmiah Studi
KeIslaman, 1(2).
Unung Triana. (2022). Pengaruh Sertifikasi Halal, Kesadaran Halal, Bahan
Makanan, dan CItra Merek Produk terhadap Konsumsi Produk

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 17


Makanan Halal (Studi Kasus Mahasiswa Muslim di Malang). Jurnal
Ilmiah Mahasiswa FEB, 9(2).
Yahya Aziz. (2011). Penguatan Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum. Jurnal Sosial Humaniora, 4(2), 135–144.
http://dx.doi.org/10.12962/j24433527.v4i2.630
Yolanda Hani Putriani & Atina Shofawati. (2015). Pola Konsumsi Islami
Mahasiswa Muslim Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Airlangga Ditinjau dari Tingkat Religiusitas. Jurnal Ekonomi Syariah
Teori Dan Terapan, 2(7).

Biografi Singkat Penulis


Lis Safitri merupakan dosen yang bertugas di Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman dan Tengah menjabat sebagai sekretaris
bagian sosial ekonomi peternakan. Penulis termasuk dosen yang memiliki
kepakaran di bidang ilmu kajian sosial ekonomi dan pendidikan agama
Islam, serta aktif dalam menulis dan publikasi.

18 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Memberdayakan Budaya Inklusif
dan Ramah Bagi Mahasiswa
Penyandang Disabilitas di
Perguruan Tinggi

Abdul Fadhil1*, Ahmad Hakam2, Suci Nurpratiwi3, Amaliyah4,


Muhamad Ridwan Effendi5, Rudi Muhamad Barnansyah6
Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia123456
Email: abdul_fadhil@unj.ac.id

Pendahuluan
Pendidikan adalah milik semua manusia tanpa melihat kepada latar
belakang ekonomi, fisik seseorang dan lain-lain. Pendidikan juga menjadi
hak setiap orang sebagaiman terdapat dalam PASAL 31 ayat 1 UUD
1945 yakni” setiap warga berhak mendapat pendidikan. Kemendikbud
membuat kebijakan untuk menyelenggrakan pendidikan inklusif adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendiddikan atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. Kebijkan untuk meneyelenggarakan
pendidikan inklusif pada semua jenjang pendidikan mulai jenjang SD,
SMP dan SMP serta perguruan tinggi. Pembelajaran inklusif memfasilitasi
mahasiswa disabilitas untuk berinteraksi dengan mahasiswa bukan
penyandang disabilitas. Kewajiban untuk menghormati, menghargai
dan menolong kepada penyandang disabilitas memerlukan pendektan
yang berbeda. Pendekatan dengan social model adalah perbaikan cara
pandang masyarakat pada penyandang disabilitas dan pelayanan yang
ramah terhadap penyandang disabilitas. (Lembaga Bathsul Masail (LBM)

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 19


PBNU, 2018).Masyarakat Indonesia cenderung menginterpretasikan
penyandang disabilitas adalah orang cacat dan penuh penderitaan.
Penyandang disabilitas kurang mendaat fasilitas dan bahkan mendapat
perlakuan diskriminatif dan dianggap merepotkan. Dalam pendidikan
penyandang disabiitas juga mendapat perlakuan kurang adil misalnya
mendapat kesempatan mengungkapan ide atau gagasan dalam diskusi
di kelas. Hal ini menjadi alsan penelitian memberdayakan mahasiswa
untuk bersikap ramah terhadap penyandang disabilitas. Memberdayakan
mahasiswa untuk memiliki empaty pada penyandang disabiliatas adalah
upaya menerapakn nilai-nilai moderasi beragama antara lain bersikap
ramah pada penyandang disabilitas. Berdasar kondisi atau fakta yang terjadi
penyandang disabilitas kurang mendapat perhatian, maka penelitian fokus
pada indikator perilaku ramah pada penyandang disabilitas dan faktor
atau aspek apa saja yang dapat memotivasi mahasiswa ramah terhadap
penyandang disabilitas. Teori dasar untuk mengembangkan instrumen
diperoleh dari nilai-nilai moderasi beragama. Salah satu nilai moderasi
beragama adalah tasamuh “ ramah atau murah hati” pada penyandang
disabilitas. Teori dasar berikutnya adalah teori kebutuhan penyandang
disabiliatas yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran di kelas.

Pembahasan
Konsep Tasamuh (Ramah) dalam Islam
Merujuk kepada kamus bahasa arab, Kata “tasamuh” berarti sikap ramah
atau murah hati.25 Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari,
mengartikan kata “al-samhah” dengan kata “alsahlah” (mudah) dalam
memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, “Ahabbu al-dien ilallahi
al-hanafiyyah al-samhah”. Secara garis besar kata “tasamuh” berarti sikap
ramah dengan cara memudahkan, memberi kemurahan dan keluasaan.
(Sakdiah, 2020). Berdasar pada konsep tasamuh maka menolong,
menghormati dan peduli terhadap penyandang disabilitas sepatutnya
secara proporsional yakni sesuai kondisi dan kebutuhan penyandang
disabilitas. Etika meolong, menghargai dan peduli dalam pandangan islam
adalah” nilai pertolongan yang diberikan oleh seorang Muslim bukan

20 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


pada besar kecilnya pertolongan, akan tetapi keikhlasan kita memberikan
pertolongan. Pertolongan yang diberikan kepada seseorang senantiasa
harus dijaga agar orang yang ditolong tersebut tidak merasa dihina,
direndahkan, dan disakiti hatinya. (Sugesti, 2019). Berdasar pandangan
islam tentang standarisasi menolong pada sesama manusia adalah:1)
kesadaran diri, 2) kuantitas tidak menjadi tolak ukur, 3) memeberikan
pertolongan harus proporsional atau tidak berlebihan dalam artian
menganggap oarang yang diberikan pertolongan lemah dan tidak punya
potensi, dan 4) tidak menyakiti hati orang yang diberikan pertolongan.
Dengan demikian konsep tasamuh atau ramah dalam pandangan islam
adalah kewajiban dan memiliki standarisasi ramah.

Konsep Disabilitas Dalam Pandangan Islam


Islam mengajarkan bahwa manusia hanya dibekan oleh ketakwaan
pada Tuhan, islam memandang manusia pada aspek imamateri bukan
materi. Islam mendeklarasikan hak-hak manusia termasuk penyandang
disabilitas. Para ahli hukum Islam pada tahun 1981 mengemukakan
tentang “Universal Islamic Declaration of Human Right” yang diangkat
dari AlQur’an dan sunnah Nabi. Pernyataan deklarasi HAM ini terdiri
dari dua puluh tiga bab, enam puluh tiga pasal, yang meliputi segala
aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Beberapa hak pokok yang
disebutkan dalam deklarasi tersebut, antara lain, (a) hak untuk hidup, (b)
hak untuk mendapatkan kebebasan, (c) hak atas persamaan kedudukan,
(d) hak untuk mendapatkan keadilan, (e) hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, (f) hak untuk
mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, (g) hak untuk mendapatkan
atas kehormatan dan nama baik, (h) hak untuk bebas berpikir dan
berbicara, (i) hak untuk bebas memilih agama, (j) hak untuk bebas
berkumpul dan berorganisasi, (k) hak untuk mengatur tata kehidupan
ekonomi, (1) hak jaminan sosial, (m) hak untuk bebas mempunyai
keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, (n) hak bagi
wanita dalam kehidupan rumah tangga, (o) hak untuk mendapatkan
pendidikan. (Sholeh, 2015). Berdasar konsep islam tentang disabilitas

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 21


adalah sebuah keniscayaan dan mempunyai hak seperti pada umunya,
hal utama yang harus dilakukan adalah menghindari diskriminasi fisik
karena islam lebih mengutamakan aspek psikis. Disabilitas mempunyai
hak yang sama dalam pendidikan, politik dan ekonomi sosial dan islam
mengajarkan bahwa penilaian baik buruk seseorang bukan pada fisik
tetapi pada perilaku psikis.

Indikator Budaya Inklusif Terhadap Disabilitas Berbasis Nilai-


Nilai Moderasi Beragama
Inklusif adalah kegiatan membangun atau mengembangkan lingkungan
yang lebih terbuka terhadap setiap orang tanpa mendiskriminasikan
keadaan fisik, ekonomi serta status sosial lainnya. Membangun budaya
inklusif terhadap disabilitas di lingkungan kampus adalah memberdayakan
sikap ramah, peduli, dan lain-lain. Memberdayakan budaya inklusif
terhadap disabilitas memerlukan berbagai pendekatan, antara lain
mempertimbangkan aspek kebutuhan disabilitas dan cara memberikan
bantuan atau pertolongan terhadap disabilitas tanpa menghilamgkan rasa
percaya diri seorang disabilitas. Oleh karena itu teori yang relevan untuk
menjawab ragam kebutuhan disabilitas adalah teori kebutuhan Maslow
dan teori yang menjadi landasan untuk menetapkan cara memperlakukan
disabilitas dapat diambil dari teori nilai-nilai moderasi banyak memuat
unsur mengangungkan hak asasi manusia.
Menurut Maslow pada dasarnya manusia mempunyai lima kebutuhan
dasar yang membentuk tingkatan-tingkatan atau hirarki yang disusun
berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak penting dan
dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Kebutuhan
tersebut adalah: a)Kebutuhan fisiologis yaitu sandang, pangan, papan dan
kebutuhan biologis; b) Kebutuhan keamanan dan keselamatan yaitu bebas
dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas darirasa sakit, dan bebas dari
teror; c) Kebutuhan sosial yaitu memiliki teman, memiliki keluarga, dan
kebutuhan cinta dari lawan jenis; d) Kebutuhan penghargaan, berupa
pujian, piagam, tanda jasa, dan hadiah; dan e) Kebutuhan aktualisasi

22 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


diri yaitu kebutuhan dankeinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai
dengan bakat dan minatnya. (Hikmawati, 2011).
Kebutuhan aktualisasi diri menjadi faktor penting yang berkaitan
dengan pendidikan seorang disabilitas, oleh karena itu untuk membantu
mengembangkan kebutuhan aktualisasi diri penyandang disabilitas harus
mengetahui faktor yang mempengaruhi aktualisasi diri secara internal
dan ekternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktualisasi diri pada
faktor internal merupakan bentuk hambatan yang berasal dari dalam
diri seseorang meliputi : 1) Ketidaktahuan akan potensi diri. 2) Perasaan
ragu dan takut mengungkapkan potensi diri, sehingga potensinya tidak
dapat terus berkembang. Potensi diri merupakan modal yang perlu
diketahui, digali dan dimaksimalkan. Sesungguhnya perubahan hanya bisa
terjadi jika kita mengetahui potensi yang ada dalam diri kita kemudian
mengarahkannya kepada tindakan yang tepat dan teruji. Adapun faktor
eksternal merupakan hambatan yang berasal dari luar diri seseorang, seperti
: 1) Budaya masyarakat yang tidak mendukung upaya aktualisasi potensi
diri seseorang karena perbedaan karakter. Pada kenyataannya lingkungan
masyarakat tidak sepenuhnya menunjang upaya aktualisasi diri warganya.
Faktor lingkungan. Lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap
upaya mewujudkan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dapat dilakukan jika
lingkungan mengizinkannya. Lingkungan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku
individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis.19
3. Pola asuh. Pengaruh keluarga dalam pembentukan aktualisasi diri
anak sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut
berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam
keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pengaktualisasian diri
adalah praktik pengasuhan anak. (Yuliana, 2018).
Berdasar teori kebutuhan Maslow membangun dan memberdayakan
budaya inklusi di lingkungan kampus pada penyandang disabilitas dipe-
ngaruhi oleh faktor eksternal yakni lengkungan harus diberdayakan secara
optimal antaralain warga kampus harus terbuka tidak mendiskriminasi

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 23


dan memfasilitasi serta mendukung.Pemenuhan kebutuhan akatuali-
sasi diri penyandang disabilitas dalam pendidikan dan pembelajaran di
lingkungan kelas atau kampus tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri
tetapi memerlukan dukungan dari pihak lain anatara lain teman, dose,
kebijakan kampus dan tersedia ssarana prasarana untuk penyandang
disabilitas. Hal lain yang harus diperhatikan juga adalah metode memper-
lakukan penyandang disabilitas secara manusiawi dengan kata lain tanpa
mendeskridikatan kelemahan fisik sehingga bantuan yang diberikan
menimbulkan rasa optimis tidak menimbulkan pesimis yakni menjadi
manusia yang lemah dan harus selalau dibantu.
Metode memperlakukan disabilitas secara manusiawi dapat dilandasai
oleh nilai-nilai religi yang sudah terinternalisasi dalam teori nilai-nilai
moderasi beragama. Konsep nilai-nilai beragama telah diakui oleh
UNESCO lebih komprehensif dibandingkan 4 pilar pendidikan UNESCO.
Oleh karena itu konsep nilai-nilai moderasi beragama menjadi landasan
peneliti untuk mendeskripsikan cara atau metode memberdayakan
sikap terbuka atau ramah dengan meninternalisasi nilai-nilai moderasi
beragama. Adapun nilai-nilai moderasi beragama yakni” Menurut
Afrizal Nur dan Mukhlis, pemahaman dan praktik amaliah keagamaan
seorang muslim moderat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Tawazzun
(berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun
ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara
inhiraf (penyimpangan,) dan ikhtilaf (perbedaan); 2) I’tidal (lurus dan
tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan
hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional; 3) Tasamuh
(toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam
aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya; 4) Tawassuth
(mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang
tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi
ajaran agama); 5) Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan
dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip
menempatkan kemaslahatan di atas segalanya; 6) Ishlah (reformasi), yaitu

24 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang
mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada
kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada
prinsip al-muhafazhah ‘alaal-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi
al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan menerapkan
hal-halbaru yang lebih relevan); 7) Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu
menjunjung tinggi akhlak mulia, karakter, identitas, dan integritas sebagai
khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban. 8) Musawah
(egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan
perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang; 9) Aulawiyah
(mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal
ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan
dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah; 10. Tathawwur
wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan
perubahan-perubahan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat
manusia; (M. Luqmanul Hakim Habibie, 2021). Nilai-nilai moderasi
beragama sangat komprehensif khususnya pada bagian akhir menjelasakan
bagaimana cara beradaftasi dengan lingkungan masyarakat, hal ini menjadi
pelengkap pilar pendidikan yang ditetapkan oleh UNESCO yakni learning
to know, learning to do, learning to live together. Hal inilah yang menjadi
alasan teori atau konsep nilai-nila moderasi beragama menjadi landasan
dalam memeperlakukan dan memabntu memenuhi kebutuhan aktuaisasi
diri para penyandang disabilitas.
Indikator budaya inklusif ditetapkan berdasarkan landasan konsep
kebutuhan disabilitas dan nilai-nilai moderasi beragama, maka indikator
budaya inklusif terhadap disabilitas dalam pendidikan berlandaskan
nilai-nilai moderasi beragama adalah: 1) memberikan bantuan pada
kebutuhan keamanan dengan cara mengkonsultasikan terlebih dahulu
kepada disabilitas hal-hal yang membuat takut dan nyaman, nilai moderasi
yang harus diberdayakan adalah syura atau musyawarah jadi menanyakan
dahulu aspek kenayamanan dan tidak nyama setelah bermusyawarah
maka melaksanakan perlindungan kepada penyandang disabilitas.
2) Memberikan penghargaan kepada penyandang disabilitas tanpa

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 25


mendiskirimnasikan keadaan fisik dan lainnya. 3) Membuka diri untuk
beradaftasi dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas pada setiap
kegiatan pembelajaran dan diluar pembelajaran dengan mengutamakan
sikap ramah dan akhlak mulia lainnya. 4) Memberikan dukungan dan
fasilitas kepada penyandang disabilitas untuk mengembangkan bakat,
minat dan hoby sehinga memiliki prestasi dan berdayaguna di lingkungan
kampus dan masyarakat.

Tingkat Kepedulian Mahasiswa Terhadap Penyandang


Disabilitas
Data kepedulian mahasiswa diperoleh dengan memberikan kuesioner
tertutup kepada 53 orang mahasiswa UNJ dari berbagai fakultas dan prodi
yang ada di Universitas Negeri Jkaarta Indonesia. Data kepedulian adalah
data yang mendeskripsikan persentase mahasiswa dalam membantu
memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas, Kriteria sikap peduli jika
persetase selalu membantu skornya 80-100% adalah sangat peduli, jika
persetase selalu membantu skornya 79-60% adalah sikap peduli tinggi,
jika persetase selalu membantu skornya 59-40 % adalah cukup peduli,
dan jika persetase selalu membantu skornya 39-10% adalah tidak peduli.
Adapun penjelasan secara mendetail sebagai berikut:
Tabel tingkat Kepedulian Mahasiswa Terhadap Disabilitas
Persentase %
Kete-
No Jenis Bantuan Selalu Kadang- Tidak
Sering rangan
Membantu Kadng Pernah
1 Memberikan 47.2% 34% 9.4% 9.4% Cukup
informasi kepada Peduli
penyandang
disabilitas untuk
menjadi anggota
atau pengurus
organisasi
kemahasiswaan di
kampus

26 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Persentase %
Kete-
No Jenis Bantuan Selalu Kadang- Tidak
Sering rangan
Membantu Kadng Pernah
2 Memberikan 69.8% 24.5% 3.25 % 3.25 % Sikap
kesempatan kepada peduli
teman penyandang tinggi
disabilitas
untuk bertanya
atau menjawab
pertanyaan pada saat
diskusi di kelas
3 Memberikan 77.4% 18.9% 3.35 % 3.35 % Sikap
kesempatan kepada peduli
teman penyandang tinggi
disabilitas untuk
memberikan ide
atau gagasan pada
saat musyawarah
pemilihan ketua
kelas
4 Memberikan 66% 26.4% 3.8 % 3.8 % Sikap
kesempatan kepada peduli
teman penyandang tinggi
disabilitas untuk
menunjukkan bakat
dan kemampuannya
dibidang seni dan
lainnya pada acara
formal dan non
formal di kampus
5 Merespon dan 69.8% 24.5% 5.7 % 5.7 % Sikap
mengapresiasi peduli
masukan atau tinggi
ide dari teman
penyandang
disabilitas
6 Memberikan 79.2% 18.9% 0,95% 0,95% Sikap
dukungan atas peduli
usaha yang sudah tinggi
dilakukan teman Sangat
penyandang Tinggi
disabilitas.

Berdasar data tingkat kepedulian mahasiswa maka sikap peduli


kepada penyandang disabilitas umumnya pada pemberian bantuan untuk

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 27


memberikan penghargaan dan aktualisasi diri adalah tinggi, sedangkan
sikap peduli yang cukup atau masih perlu diberdayakan pada mahasiswa
adalah memberikan fasilitas dan dukungan kepada penyandang disabilitas
untuk melibatkan diri pada kegiatan organisasi mahasiswa, alasan mengapa
faktor ini cukup rendah ada banyak faktor pertama tidak ada kebijakan
secara resmi untuk melibatkan mahasiswa dalam organisasi kampus,
faktor kedua adalah mahasiswa pada umumnya cenderung kurang aktif
berorganisasi, dan faktor ketiga belum tersedia fasilitas seperti sarana
prasarana serta tata tertib untuk penyandang disabilitas terlibat dalam
organisasi kemahasiswaan. Sikap peduli yang sangat tinggi adalah pada
aspek memberikan motivasi untuk aktualisasi diri, hal ini menunjukan
bahwa mahasiswa UNJ menyadari teman penyandang disabilitas yang
sedang kuliah harus didukung dan difasilitasi untuk maju dan berkembang.
Dukungan mahasiswa kepada disabilitas tidak berarti tanpa dukungan
pihak kampus dan dosen seperti ditetapkannnya kebijakan tentang
melibatkan dan mendukung mahasiswa disablitas mengembangkan
bakat, minat dan lainnya .

Faktor-Faktor Memberdayakan Budaya Inklusif Di Lingkungan


Kampus
Membangun dan memberdayakan budaya inklusif terhadap penyandang
disabilitas dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek yang
menyebabakan mahasiswa selalu melakukan, dan apa yang menyebabkan
mahasiswa itu dengan sadar diri melakukan hal tersebut. Faktor atau
kondisi yang menyebabkan mahasiswa melakukan sikap peduli terhadap
disabilitas akan dijadikan aspek untuk memeberdayakan mahasiswa UNJ
dalam memenuhi kebutuhan disabilitas khususnya bidang pendidikan,
seperti kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri, penjelasan secara
mendetail sebagai berikut:
Tabel Faktor-faktor Memberdayakan Budaya Inklusif Pada Mahasiwa

28 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Persentase%
Jenis Bantuan Cukup/
No dan Alasan Selalu Tidak Keterangan
Mela- kadang-
Melakukan Melaku- Melaku-
kukan kadang
kan kan
Melakukan
1 Memberikan 66% 18.9% 7,6% 7.5% Faktor
pujian kepada melakukan
teman disabilitas disebabkan
jika dosen dosen
memerintahkan adalah
untuk tinggi
memberikan
pujian atas
keberhasilannya
2 Memberikan 67.9% 18.9% 11.3% 9% Faktor
pujian kepada melakukan
teman disabilitas disebabkan
jika ada teman teman
yang memberi adalah
pujian atau tinggi
perhatian pada
keberhasilannya
3 Memberikan 58.5% 30.2% 5.65% 5,65 % Faktor
pujian kepada melakukan
teman disabilitas disebabkan
jika kondisi hati kondisi
sedang tenang hati/
dan nyaman psikologis
adalah
cukup
tinggi
4 Mentaati aturan 47.2% 35.8% 0,6 % 9.4% Faktor
tidak membuat melakukan
kegaduhan disebabkan
pada saat dosen
pembelajaran adalah
karena takut cukup
pada dosen tinggi
5 Mentaati aturan 69.8% 30.2% 0,1% 0,1% Faktor
tidak membuat melakukan
kegaduhan disebabkan
pada saat dosen
pembelajaran adalah
karena tinggi
menghargai
dosen

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 29


Persentase%
Jenis Bantuan Cukup/
No dan Alasan Selalu Tidak Keterangan
Mela- kadang-
Melakukan Melaku- Melaku-
kukan kadang
kan kan
Melakukan
6 Menaati aturan 62.3% 35.8% 0,5% 0,4% Faktor
tidak akan melakukan
berisik pada saat disebabkan
pembelajaran teman
karena adalah
menghargai tinggi
teman yang
sedang
presentasi
7 Membuat 0,3% 0,5% 35.8% 60.4% Faktor
kegaduhan ( melakukan
seperti berbicara disebab-
dengan teman) kan media
pada saat pembel-
pembelajaran ajaran
di kelas adalah
karena media rendah
pembelajaran
yang digunakan
dosen kurang
menarik
Membuat 0,95 % 0,95 % 43.4% 54.7% Faktor
kegaduhan ( melakukan
seperti berbicara disebabkan
dengan teman) metode
pada saat pembel-
pembelajaran ajaran
di kelas adalah
karena metode rendah
pembelajaran
yang digunakan
dosen kurang
menarik
Membuat 0% 0% 58.8% 47.2% Faktor
kegaduhan ( melakukan
seperti berbicara disebab-
dengan teman) kan materi
pada saat pembel-
pembelajaran ajaran
di kelas adalah
karena materi rendah
perkuliahan
kurang menarik

30 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Ket: Skor Selalu 80-100% = Faktor penyebab sangat tinggi. Skor Sering
79-60% = faktor penyebabnya kategori tinggi. Skor Kadang-kadang 59-40%
= faktor penyebabnya kategori cukup tinggi, dan Skor Tidak Pernah 39-0
% = faktor penyebabnya kategori rendah

Berdasar pada data tabel di atas maka faktor-faktor eksternal sangat


tinggi dan tinggi yang menyebabkan mahasiswa melakukan perilaku
peduli atau budaya inklusif pada mahasiswa disabilitas dapat dijadikan
faktor untuk memeberdayakan budaya inklusif di lingkungan kelas
khususnya. Budaya inklusif tersebut antara lain memeberikan bantuan
pada kebutuhan penghargaan karena pengaruh aturan dosen dan pengaruh
teman menyebabakan mahasiswa memberikan pujian dan motivasi pada
temman disabilitas. Faktor lain yang menyebabakan mahasiswa selalu dan
sering memberikan kenyamanan dan rasa aman pada teman disabilitas
karena menghargai keberadaan dosen dan teman yang sedang bertugas
diskusi. Faktor eksternal yang cukup tinggi adalah faktor takut pada dosen,
sedanagkan faktor penyebab paling rendah atau jarang sekali mahasiswa
memberikan rasa aman dan nyaman karena metode, media dan materi
pembelajaran yang diberikan oleh dosen. Adapun faktor internal dalam
artian tidak mempertimbangan kondisi emosional psikologis yang sedih
atau senang tetap memberikan pujian atau laiinya pada keberhasilan
teman disabilitas cukup tinngi, hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa
lebih menghargai orang lain dibanding meskipun kondisi psikologis
sedang sedih atau senag.
Dengan demikian metode untuk memberdayakan budaya inklusif
pada teman disabilitas dapat dilakukan dengan mengoptimalkan
kinerja dosen melalui membuat aturan untuk tata tertib kelas terhadap
kenyamanan, keamanan kondisi kelas khususnya bagi teman disabilitas
seperti tunanetra dan tunawicara karena mereka butuh kondisi kelas
nyaman dan aman sehinnga kebutuhan mereka untuk merasakan
kenyamanan dalam pembelajaran terpenuhi, selain itu dosen juga dapat
memberikan punishment yang mendidik bagi mahasiswa membuat
kegaduhan di kelas. Metode lainnya adalah memberdayakan mahasiswa
untuk selalu bekerjasama sehingga terbangun chemistry satu dan lainnya

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 31


baik teman disabilitas maupun tidak, kerjasama antar teman diharapkan
membangun rasa saling membutuhkan dan saling mengasihi, sehingga
apa yang dilakukan oleh teman akan dihargai dan akan secara spontan
memberikan bantuan karena rasa saling memiliki dan membutuhkan
pertolongan.
Adapun faktor ketidak nyamanan media, materi dan metode yang
diberikan dosen bukanlah faktor utama yang menyebabkan mahasiswa
melakukan kegaduhan dikelas dan tentunya menggagu teman disabilitas
dan lainnya, hal ini menunjukkan penggunaan media, metode dan
materi kurang optimal oleh dosen hanya sebagai hanya berdampak pada
kemudahan dan kenyamanan memperoleh pengetahuan dan bukan alat
utama memberdayakan sikap inklusif seperti memberikan rasa aman,
nyaman dan pujian atau dukungan kepada teman disabilitas. Faktor
utama mahasiswa melakukan sikap inklusif pada teman disabilitas karena
adanya aturan dan keteladanan serta menghargai profesi dosen. Dengan
demikian faktor memberdayakan budaya inklusif adalah: 1) Tersedia tata
tertib memeberikan kenyamanan dan keamanan pada semua warga kelas
dan kampus tanpa terkeculai, 2) membiasakan mahasiswa memberikan
contoh teladan pada sesama teman, 3) Memberdayakan sikap kerjasama
dan saling berbagi kepada teman disabilitas dan lainnya.

Simpulan
Indikator budaya insklusif pada penyandang disabilitas adalah kegiatan
memberikan sikap peduli dan terbuka pada teman disabilitas dengan
mempertimbangkan kebutuhan disabilitas pada pendidikan serta
mempertimbangkan metode memberikan bantuan atau kepedulian yang
dilandasi aspek kemanusiaan dan religi, sehinnga penyandang disabiitas
merasa percaya diri dan tidak merasa rendah diri jika mendapat perlakuan
dari teman-temannya di kelas dan di luar kelas.
Tingkat kepedulian dan faktor yang menyebabkan mahasiswa
melakukan perilaku inklusif menunjukkan bahwa kesadaran mahasiswa
pada teman disabilitas yang mengikuti pembelajaran di kelas inklusi
pada umumnya mahasiswa sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk

32 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


peduli dan faktor membuat mahasiswa peduli kepada teman disabilitas
harus dijaga dan dipupuk terus supaya menjadi sebuah karakter peduli
an ramah pada teman disabilitas.
Memberikan bantuan dan pertolongan harus mengikuti standarisasi
pemberian bantuan yang dilandasi oleh aspek psikologis dan nilai-nilai
agama, sehingga tidak ada rasa kesenjangan sosial pada diri orang atau
teman disabilitas yang dibantu.

Daftar Pustaka

Biografi Singkat Penulis


Abdul Fadhil merupakan dosen program studi pendidikan agama Islam
Universitas Negeri Jakarta, Selanjutnya Ahmad Hakam sebagai penulis
kedua juga merupakan dosen program studi Pendidikan Agama Islam
Universitas Negeri Jakarta yang sednag menempuh studi doctoral di The
University of Edinburgh, United Kingdom. Penulis ketiga yaitu Merri
Hafni merupakan dosen yang berasal dari Universitas Medan Area,
sedang Irawaty merupakan dosen sekaligus penulis keempat yang berasa
dari Universitas Negeri Semarang.

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 33


34 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
A Comparative Analysis of
Character Education in Madrasas
and Common Schools in Indonesia

Husni,1 Dede Husni Mubarok,2 Selamet3


Institut Agama Islam Darussalam (IAID), Ciamis, Indonesia
Email: husni1962@iaid.ac.id,1 dedehusnimubarrok.esy@iaid.ac.id,2 selamet@iaid.ac.id3

Introduction
School character education Meanwhile, character education in madrasas
is based on the problems of Aqidah Akhlak, the History of Islamic Culture
or Civilization, Qur’an Hadith, Fiqh, Civic Education, and character values
integrated into another subject (Khamalah, 2017). Some researchers
have found differences in the orientation, goals, and content of character
education between schools and madrasas in their preliminary or initial
research on the curriculum documents of the two types of educational
institutions. It calls for more research to be conducted. Character education
in educational institutions is essential in shaping students’ personalities
following the expected moral values. The character values that are expected
to be embedded in students are noble values (al-karīmah) which in the
future can fortify students from bad deals (al-mazmūmah). The core goal
of character education at various levels of formal educational institutions
in Indonesia is to possess noble character values (Miller, 2022; Shields,
2011)what should be the goal(s.
Schools and madrasas are among the formal educational institutions
that emphasize character education as one of their materials or subjects.
These two institutions incorporate character education as a separate subject
and a component of other issues. From a psychological point of view, two
processes, growth and development, occur continuously in school-aged

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 35


children (O’Brien & Lomas, 2017; Shoss & Foster, 2022). These two
events depend on one another and cannot be considered independently.
“growth” refers to a rise in size and functional capacity. Height, weight,
and muscle mass are just a few dimensions that can change due to a boost
in cell number or size (Tyrovolas et al., 2016).
Meanwhile, progress demonstrates a unique process that is both
unique and irreversible. Some shifts in human development are more
or less irreversible once they have taken place. The term “development”
describes steady, forward-moving shifts (Scrivner, 2021).
In psychology, school-aged children are commonly referred to as the
childhood stage, a period where the age limit and function are frequently
ambiguous (Nastasi, 2017). Childhood is widely viewed as a period of
transition (Care & Department for Children, 2008; González-Moreira et
al., 2021), during which children no longer wish to be regarded as children
but cannot be considered adults based on their physical development
(Stevens et al., 2018). The period of childhood is also known as the age of
storm and tension (Gopnik, 2020). Childhood is a complicated time, often
called disruption and stress (Love & Hancock, 2022)licensure requirements,
and standardized assessments have aimed to support effective practice
and rectify the pay inequities experienced by early educators. However,
such initiatives can inadvertently reinforce hegemonic developmentalism
and have largely served to advance white, able-bodied norms and narrow
views of teaching and learning. Teacher educators endeavoring to combat
racism and ableism, therefore, can encounter several tensions that result
from trying to apply critical perspectives while preparing pre-service
teachers for graduation and certification in the current personnel
preparation landscape. In this article, the authors employ Disability
Critical Race Theory (DisCrit. Because childhood is a transitional period
between childhood and maturity, both terms emphasize that it is stressful
and complicated (Love & Hancock, 2022)licensure requirements, and
standardized assessments have aimed to support effective practice and
rectify the pay inequities experienced by early educators. However, such

36 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


initiatives can inadvertently reinforce hegemonic developmentalism and
have largely served to advance white, able-bodied norms and narrow views
of teaching and learning. Teacher educators endeavoring to combat racism
and ableism, therefore, can encounter several tensions that result from
trying to apply critical perspectives while preparing pre-service teachers
for graduation and certification in the current personnel preparation
landscape. In this article, the authors employ Disability Critical Race
Theory (DisCrit. During this transition period, physical changes, such
as the development of secondary sex characteristics, give rise to a sense
of being strange, odd, and distinct from others (Wierenga et al., 2018).
This peculiar, quirky, and unusual sensation will result in discontentment
with oneself. The child’s discontent with his physical condition indicates
that he rejects his body. This circumstance has a significant impact on the
child’s confidence and self-esteem. Therefore, the material changes that
occur during adolescence contribute to developing one’s self-confidence
and self-esteem. In addition, there is a change in role during childhood,
from dependence on parents to independence.
The environment very quickly influences children during this period.
As a result, there will be disappointment and suffering, increased conflict
and conflict, dreams and fantasies, courtship and romance, and alienation
from adult life and cultural norms. Childhood is a time for searching
for identity (Spencer, 2005). Individuals want to be recognized for what
they can produce for others. If the individual succeeds in this period, a
condition called identity reputation or identity will be obtained (Kwon et
al., 2012; Noor et al., 2016). If it fails, it will experience identity diffusion
or identity blur. Childhood is a very decisive period because, at this time,
children experience many changes psychologically and physically.
Children of school age range from 7 to 19, including late childhood
(Zhang et al., 2019)little is known about developmental changes in the
magnitude of these associations, from childhood to adolescence. Methods
Participants were 648 Chinese children (347 males. Physical development
is more rapid during childhood than adolescence and adulthood (Keefer,

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 37


2013). Children require a greater dietary intake during this developmental
stage to optimize growth. The child’s physical development is evident in
the legs and limbs, the bones of the feet and hands, and the expansion of
the body’s muscles. When a child enters puberty, significant biological
changes occur. The onset of puberty gives children the ability to propagate
(Rusek, 2021). Children of school age have begun to think critically, causing
them to fight when their parents, instructors, or environment continue to
view them as young children. They will not comply if their elders prohibit
them from doing something without a rational explanation. For instance,
when children consume at the front door, their parents refuse it by stating
“abstinence.” As a child, they would inquire why it shouldn’t be done, and
if their parents could not provide a satisfactory explanation, they would
do it anyway. Fights between students will result in child delinquency if
the teacher and parents do not comprehend how children reason.
Jean Piaget, an expert on cognitive development, stated that school-
aged children have a stage of cognitive development (Kohnstamm, 2017),
the final and peak period of the formal operations growth stage (Toner,
2016). Ideally, children have developed their method of solving complex
and abstract problems by this age. Children’s cognitive ability develops
to the point where they can readily imagine various alternative solutions
to problems and their potential outcomes (Carey, 2015). Their ability to
reason logically and abstractly improves, allowing them to conceive in
multiple dimensions like scientists (Vollmers, 1996). Children no longer
receive information as-is; instead, they process it and modify it to fit their
thinking. They can also integrate past and present experiences to form
conclusions, forecasts, and plans. These formal operational abilities allow
children to adapt to their environment.
Emotional instability in school-aged children is believed to be closely
related to hormonal conditions. They lack effective dynamic control.
For example, a child who has just broken up with a friend or whose
feelings have been offended will initially appear happy but become sad
or furious. Children’s emotions are more powerful and dominant than

38 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


their rational beliefs. When doing something, they obey their ego without
considering the potential hazards. When a child is in school, they begin
to acquire a sense of self-worth based on their curiosity about various
environmental phenomena. Children start to form opinions regarding
prevalent ecological issues, such as politics, humanity, conflict, and social
conditions. Children no longer embrace the results of rigid, simple, and
absolute thoughts without argument. Children begin to challenge the
integrity of prevailing notions and consider more alternatives. Children
will make more external observations and compare them to what they
have been taught and instilled. Most children begin to perceive alternative
“realities” beyond what they have previously known and believed. He
will observe numerous perspectives on life and diverse ways of thinking
(Hinde, 2007). If he is accustomed to being educated in a particular milieu
during childhood, the world expands and becomes more confusing.
The development of moral reasoning in school-aged children occurs
as they become aware of discrepancies and imbalances between their
prior beliefs and the surrounding world. Then, they must reconsider
and reconstruct their mentality in light of their new “reality.” This shift
frequently explains a child’s “rebellious” attitude toward rules or authority,
which is widely acknowledged. For instance, if a child has a moral value
that states lying is wrong since childhood. As a child, he questioned why
the world around him permitted lies to flourish, and it is conceivable that
lies were viewed as desirable under certain circumstances. It will result in
a clash of values for the infant. If the child does not find a means to resolve
this value conflict, it will eventually become a significant issue. Suppose
parents or educators cannot provide logical explanations, primarily if
the surrounding environment does not support the application of these
values. In that case, likely, children will no longer believe in the values
they have been taught since childhood.
Moral education is deemed crucial because school-aged children are
in a period of growth and development in multiple areas. This phase of
growth and development, primarily cognitive and moral development,

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 39


is regrettable if the effect of noble moral values does not accompany it.
The rapid growth and development of school-aged children should be
accompanied by an endeavour to develop good character or morality.
Consequently, one of the considerations is the necessity of character
education learning materials for school-aged children. In schools and
madrasas, character education curricula are presented in various portions,
including subject matter, competency standards, and core competencies.
Initial/preliminary research conducted by the researcher revealed its
existence.
This research is motivated, in part, by the disparities between schools
and madrasas in the proportions, substance, competency standards, and
fundamental competencies of moral education materials. This research is
essential because academic data on character education in institutions and
madrassas are still insufficient. Incorporating educational information in
the form of scientific research on core competencies, learning materials,
and character values into the school curriculum can aid in resolving
morality issues among school-aged children.

Discussion
Character Education in Madrasas
The results of a study of the character education curriculum in Madrasas
found character education content in all subjects contained in several
curriculum components, starting from core competencies, essential
competencies, indicators, objectives, and learning materials. Thus,
character education in madrasas is integrated into all subjects. However,
character values are more commonly found in Aqidah Akhlak subjects
(Kementerian Agama RI, 2019).
The content of character education in the class X curriculum
of Madrasah Aliyah includes two core competencies: (1) applying
praiseworthy morals to God; (2) avoiding despicable morals towards God.
The two core competencies are then broken down into several essential
competencies, namely: (1) explaining the meaning and importance of

40 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


sincerity, obedience, khauf (fear to Allah), and repentance; (2) identifying
forms and examples of sincere, obedient, khauf (fear to Allah), and
repentance; (3) showing positive values of sincere, obedient, khauf (fear
to Allah), and repentance in the phenomena of life; (4) getting used
to sincere, obedient, khauf (fear to Allah), and repentance in daily life;
(5) explaining the meaning of riyā (show off) and nifāq (hypocrite); (6)
identifying forms and examples of riyā (show off) and nifāq (hypocrite) acts;
(7) showing negative values due to riyā (show off) and nifāq (hypocrite)
acts in the phenomena of life; (8) get used to avoid doing riyā (show off)
and nifāq (hypocrite) in everyday life (Zurni et al., 2022).
The objectives of the character education content in the X-grade
Madrasah Aliyah curriculum are: (1) students can mention the meaning and
importance of sincerity, obedience, khauf (fear to Allah), and repentance;
(2) students can identify forms and examples of sincere, obedient, khauf
(fear to Allah), and repentance; (3) students can describe the impossible and
jaiz characteristics for Allah; (4) students can show positive values from
sincere, obedient, khauf (fear to Allah), and repentance in the phenomena
of life; (5) students can get used to behaving sincerely, obediently, khauf
(fear to Allah), and repentance; (6) students can explain the meaning of
riyā (show off) and nifāq (hypocrite); (7) students are able to identify forms
and examples of riyā (show off) and nifāq (hypocrite) acts; (8) students
can show negative values due to riyā (show off) and nifāq (hypocrite) acts
in the phenomena of life; (and (9) students can get used to avoiding riyā
(show off) and nifāq (hypocrite) acts in everyday life (Zurni et al., 2022).
Meanwhile, the content material for character education in the class
X curriculum of Madrasah Aliyah includes (1) the understanding and
importance of sincerity, obedience, khauf (fear to Allah), and repentance;
(2) forms of sincere, obedient, khauf (fear to Allah), and repentance; (3)
positive values of sincere, obedient, khauf (fear to Allah), and repentance
in the phenomena of life; (4) positive values of sincere, obedient, khauf
(fear to Allah), and repentance; (5) efforts to get used to behaving sincerely,
obediently, khauf (fear to Allah), and repentance; (6) meaning of riyā

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 41


(show off) and nifāq (hypocrite); (7) forms and examples of riyā and
nifāq (hypocrite) acts; (8) negative values due to riyā (show off) and nifāq
(hypocrite) acts in the phenomena of life; and (9) how to avoid riyā (show
off) and nifāq (hypocrite) in everyday life (Zurni et al., 2022).
The results of a study of the character education curriculum for class
XI Madrasah Aliyah found three basic competencies related to character
content, namely (1) applying commendable morals to oneself; (3) applying
commendable morals to fellow human beings; and (3) Avoiding disgraceful
morals towards fellow human beings. The three core competencies of
the character education curriculum for class XI Madrasah Aliyah, then
they are broken down into several basic competencies: (1) explaining the
meaning and importance of resignation, endeavor, patience, gratitude,
and qanā’ah; (2) identify the forms and examples of resignation, endeavor,
patience, gratitude, and qanā’ah (feeling of contentment); (3) showing
the positive values of trust, endeavor, patience, gratitude, and qanā’ah
(feeling of contentment); (4) displaying the of resignation, endeavor,
patience, gratitude, and qanā’ah (feeling of contentment); (5) explaining
the meaning of anāniah (selfish), despair, ghaḍab (angry), greed, and
takabbur (pompous); (6) identify forms and examples of anāniah
(selfish), despair, ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous) acts;
(7) showing negative values of anāniah (selfish), despair, ghaḍab (angry),
greed, and takabbur (pompous); (8) get used to avoiding anāniah (selfish),
hopeless, ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous); (9) explaining
the meaning and importance of husnu al-dzan (well thought), tawāḍu
(humble), tasāmuh (tolerance), and ta’āwun (mutual help); (10) identifying
forms and examples of husnu al-dzan (well thought), tawāḍu (humble),
tasāmuh, and ta’āwun (mutual help); (11) shows the positive values of
husnu al-dzan (well thought), tawāḍu (humble), tasāmuh (tolerance),
and ta’āwun (mutual help); (12) getting used to the of husnu al-dzan (well
thought), tawāḍu (humble), tasāmuh (tolerance), and ta’āwun (mutual
help); (13) explaining the meaning of hasad (envy), revenge, backbiting,
slander, and namīmah (bring into conflict); (14) identifying the forms of
acts of hasad (envy), revenge, backbiting, slander, and namīmah (bring

42 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


into conflict); (15) shows negative values due to acts of hasad (envy),
revenge, backbiting, slander, and namīmah (bring into conflict); (16) get
used to avoiding malicious, revenge, backbiting, slander, and namīmah
(bring into conflict) in everyday life (Zurni et al., 2022).
The objectives of the sixteen basic competencies in learning character
education for class XI Madrasah Aliyah are: (1) students can explain the
meaning and importance of resignation, endeavor, patience, gratitude,
and qanā’ah (feeling of contentment); (2) students can identify forms
and examples of resignation, endeavor, patience, gratitude, and qanā’ah
(feeling of contentment); (3) students can show positive values of trust,
endeavor, patience, gratitude, and qanā’ah (feeling of contentment); (4)
students can display the of resignation, endeavor, patience, gratitude, and
qanā’ah (feeling of contentment); (5) students can explain the meaning of
anāniah (selfish), despair, ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous);
(6) students can identify forms and examples of anāniah (selfish), despair,
ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous) actions; (7) students can
show negative values of anāniah (selfish), despair, ghaḍab (angry), greed,
and takabbur (pompous); (8) students can get used to avoiding anāniah
(selfish), hopeless, ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous); (9)
students can explain the meaning and importance of husnu al-dzan (well
thought), tawāḍu (humble), tasāmuh (tolerance), and ta’āwun (mutual
help); (10) students can identify forms and examples of husnu al-dzan (well
thought), tawāḍu (humble), tasāmuh (tolerance), and ta’āwun (mutual help);
(11) students can show positive values of husnu al-dzan (well thought),
tawāḍu (humble), tasāmuh (tolerance), and ta’āwun (mutual help); (12)
students can get used to behaving in husnu al-dzan (well thought), tawāḍu
(humble), tasāmuh (tolerance), and ta’āwun (mutual help); (13) students
can explain the meaning of hasad (envy), revenge, backbiting, slander, and
namīmah (bring into conflict); (14) students can identify forms of hasad
(envy), revenge, backbiting, slander, and namīmah (bring into conflict);
(15) students can show negative values due to acts of hasad (envy), revenge,
backbiting, slander, and namīmah (bring into conflict); (16) students can

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 43


get used to avoiding malicious, revenge, backbiting, slander, and namīmah
(bring into conflict) in everyday life (Zurni et al., 2022).
The character content learning materials in the XI Madrasah Aliyah
class curriculum are: (1) the meaning of resignation, endeavor, patience,
gratitude, and qanā’ah (feeling of contentment); (2) the importance
of resignation, endeavor, patience, gratitude, and qanā’ah (feeling of
contentment); (3) positive values of resignation, endeavor, patience,
gratitude, and qanā’ah (feeling of contentment); (4) forms of appearance
of resignation, endeavor, patience, gratitude, and qanā’ah (feeling of
contentment); (5) the meaning of anāniah (selfish), despair, ghaḍab
(angry), greed, and takabbur (pompous); identification of anāniah
(selfish), despair, ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous); (6)
negative values of anāniah (selfish), despair, ghaḍab (angry), greed, and
takabbur (pompous); (7) getting used to avoiding anāniah (selfish),
hopeless, ghaḍab (angry), greed, and takabbur (pompous); (8) husnu
al-dzan (well thought) and tawāḍu (humble); (9) tasāmuh (tolerance)
and ta’āwun (mutual help); (10) hatred, revenge, backbiting, slander, and
namīmah (bring into conflict).
The results of the analysis of the character education curriculum for
class XII Madrasah Aliyah found three essential competencies related to
character content, namely (1) applying commendable morals to oneself;
(2) applying commendable morals in children’s association. From the
several core competencies of the character education curriculum for class
XII Madrasah Aliyah, then they are broken down into several essential
competencies, namely: (1) explaining the meaning and importance
of being knowledgeable, hard work, creative, and productive in the
phenomena of life; (2) identify forms and examples of knowledgeable,
hard-working, creative, and productive; (3) showing the positive values
of being knowledgeable, hard working, creative, and productive in the
phenomena of life; (4) get used to knowledgeable, hard work, creative,
and productive in everyday life; (5) explain the meaning and importance
of commendable morals in children’s relationships; (6) identifying forms

44 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


and examples of commendable moral in children’s relationships; (7)
shows a negative value due to the association of children who are not
in accordance with Islamic morals in the phenomena of life; and (8)
display commendable moral in the association of children in everyday
life (Zurni et al., 2022).
Basic competence in learning character education for class XII
Madrasah Aliyah aims to: (1) students can explain the meaning and
importance of being knowledgeable, hard working, creative, and productive
in the phenomena of life; (2) students can identify forms and examples
of knowledgeable, hard-working, creative, and productive; (3) students
can show positive values of being knowledgeable, hard working, creative,
and productive in the phenomena of life; (4) students can familiarize
themselves with knowledge, hard work, creative and productive in
everyday life; (5) students can explain the meaning and importance of
commendable morals in children’s relationships; (6) students can identify
forms and examples of commendable moral in children’s relationships;
(7) students can show negative values due to the association of children
who are not in accordance with Islamic morals in the phenomena of life;
and (8) students can display commendable moral in the association of
children in everyday life (Zurni et al., 2022).
The character content learning materials in the XII class curriculum
at Madrasah Aliyah are: (1) the meaning and importance of knowledge,
orders to seek knowledge, and the benefits of knowledge; (2) naqli
arguments about knowledge; (3) understanding and importance of working
hard, instructions to work hard, forms/examples of problematic working
attitudes, and the benefits of working hard; (4) arguments about working
hard; (5) the definition of creative, productive and innovative; (6) the
need to have a creative, productive and innovative attitude; (7) arguments
about being creative, productive, and innovative; (8) forms/examples
of creative, productive and innovative attitudes; (8) positive values of
being knowledgeable, hard working, creative, productive and innovative;
(9) habit of being knowledgeable, hard working, creative, productive,

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 45


and innovative; (10) understanding of the morals of karimah; (11) the
importance of good morals in children’s relationships; (12) command to
have good morals; (13) naqli arguments about the morals of karimah;
(14) negative values (harmful consequences) of children’s association that
are not in accordance with Islamic morals; and (15) the appearance of
commendable morals in the association of children, including taaruf and
tafahum, ta’āwun (mutual help) and tasāmuh (tolerance), being honest and
fair, as well as being trustworthy and keeping promises (Zurni et al., 2022).
Character Education Curriculum in Common Schools
The character education curriculum in schools refers to the curriculum
set by the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia.
As well as character education in madrasas, character education in schools
is also integrated into all subjects, but some issues are “mainstays”, namely
the subject of Islamic Religious Education. The character values that are
integrated into all topics include all 18 character values, which are the
policies of the Ministry of Education and Culture. However, because
these character values are not written in specific subjects, the analysis
in this study will focus on character values that appear in the character
values contained in the school’s Islamic Religious Education curriculum
(Hendarman et al., 2019).
The values of character education can be seen in the core competence
for class X High School, namely “getting used to commendable”. This one
core competency is then broken down into several essential competencies,
namely: (1) explaining the meaning of tawāḍu (humble), obedience,
qanā’ah (feeling of contentment), and patience; (2) showing examples of
humble, obedient, qanā’ah (feeling of contentment), and patient; (3) getting
used to the of tawāḍu, obedience, qanā’ah (feeling of contentment), and
patience; (4) explain the meaning of hard work, diligent, tenacious, and
thorough; (5) showing examples of hard work, diligent, tenacious, and
thorough; and (6) getting used to the of hard work, diligent, tenacious,
and thorough (Winataputra & Setiono, 2017).

46 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


The values of character education can also be seen in the core
competencies of class XI senior high school, namely “getting used to
commendable “ and “avoiding disgraceful”. These two core competencies
are broken down into several essential competencies, namely: (1) explaining
the meaning of zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in God’s plan);
(2) showing examples of zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in
God’s plan); (3) getting used to zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting
in God’s plan) in daily life; (4) explaining the meaning of anāniah (selfish),
ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and namīmah (bring into
conflict); (5) mentioning examples of anāniah (selfish), ghaḍab (angry),
hasad (envy), backbiting and namīmah (bring into conflict); (6) avoiding
anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and namīmah
(bring into conflict) in daily life; (7) explaining the manners of eating
and drinking; (8) showing examples of eating and drinking manners; (9)
practicing eating and drinking manners in everyday life; (10) explain the
meaning of vengeful and hypocritical; (11) explaining the characteristics
of being vindictive and hypocritical; and (12) avoiding vindictive and
hypocritical in everyday life.
Meanwhile, the values of character education for Class XII of Senior
High School can be seen in the core competencies of the Islamic Religious
Education subject, “getting used to commendable “ and “avoiding
disgraceful”. With these two core competencies, the essential competencies
developed include: (1) explaining the meaning of tasāmuh (tolerance);
(2) showing examples of tasāmuh (tolerance); (3) getting used to tasāmuh
(tolerance) in everyday life; (4) mentioning the meaning of arrogance;
(5) mentioning examples of arrogance; and (6) avoiding arrogance in
everyday life (Winataputra & Setiono, 2017).
The value of character education for Class X Senior High School
contains several primary materials, namely: (1) tawāḍu (humble),
obedience, qanā’ah (feeling of contentment), and patience; (2) examples
of humble, obedient, qanā’ah (feeling of contentment), and patient; (3)
habituation of humble, obedient, qanā’ah (feeling of contentment), and

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 47


patient; (4) explain the meaning of hard work, diligent, tenacious, and
thorough; (5) examples of hard work, diligent, tenacious, and thorough; and
(6) the habit of working hard, diligently, tenaciously, and conscientiously.
The value of character education for class XI Senior High School
contains several primary materials: (1) zuhūd (asceticism) and tawakkal
(trusting in God’s plan); (2) examples of asceticism and resignation; (3)
habituation of zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in God’s plan)
in daily life; (4) the meaning of anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad
(envy), backbiting and namīmah (bring into conflict); (5) examples of
anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and namīmah
(bring into conflict); (6) stay away from anāniah (selfish), ghaḍab (angry),
hasad (envy), backbiting and namīmah (bring into conflict) in daily life;
(7) eating and drinking manners; (8) examples of eating and drinking
manners; (9) eating and drinking manners in everyday life; (10) vengeful
and hypocritical; (11) vengeful and hypocritical characteristics: and (12)
vengeful and hypocritical in everyday life (Winataputra & Setiono, 2017).
For class XII high school, the subject matter of character content are (1)
tasāmuh (tolerance); (2) examples of tasāmuh (tolerance); (3) habituation
of tasāmuh (tolerance) in everyday life; (4) arrogance; (5) examples of
arrogance; and (6) avoiding arrogance in everyday life. The indicators
of achieving the learning material of tawāḍu (humble), obedience,
qanā’ah (feeling of contentment), and patience include: (1) explaining the
meaning of tawāḍu (humble), obedience, qanā’ah (feeling of contentment)
and patience; (2) reading and interpreting the naqli arguments about
tawāḍu (humble), ta’at, qanā’ah (feeling of contentment) and patience; (3)
explaining the functions of tawāḍu (humble), obedience, qanā’ah (feeling
of contentment) and patience. Indicators of achieving learning material
examples of humble, obedient, qanā’ah (feeling of contentment), and
patient include: (1) mentioning examples of humble, obedient, qanā’ah
(feeling of contentment) and patient; and (2) showing a happy attitude to
behave tawāḍu, obedient, qanā’ah (feeling of contentment) and patient
(Winataputra & Setiono, 2017).

48 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


The indicators of achievement of learning the habituation of humble,
obedient, qanā’ah (feeling of contentment), and patient are: (1) getting
used to the humble, obedient, qanā’ah (feeling of contentment), and
patient; and (2) experiencing the benefits of acting in humility, obedience,
qanā’ah (feeling of contentment) and patience. The indicators of achieving
learning material explain the meaning of hard work, diligent, tenacious,
and thorough, including (1) explaining the meaning of hard work,
diligent, tenacious, and thorough; (2) reading and interpreting the naqli
arguments about hard work, perseverance, tenacity, and thoroughness;
and (3) explaining the function of hard work, perseverance, tenacity, and
conscientiousness (Winataputra & Setiono, 2017).
The indicators of achieving learning material examples of hard
work, perseverance, tenacity, and conscientious are: (1) mentioning
examples of hard work, diligent, tenacious, and conscientious; and (2)
showing a happy attitude towards hard work, perseverance, tenacity,
and conscientiousness. The indicators of achieving hard work, diligent,
tenacious, and conscientious habituation learning materials include:
(1) getting used to hard work, diligent, tenacious, and conscientious;
and (2) feeling the benefits of hard work, perseverance, tenacity, and
conscientiousness.
The success of students in mastering the material about zuhūd
(asceticism) and tawakkal (trusting in God’s plan) is shown by several
indicators: (1) explaining the meaning of zuhūd (asceticism) and tawakkal
(trusting in God’s plan); (2) reading and interpreting the naqli arguments
about zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in God’s plan); and (3)
explaining the function of zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in
God’s plan). The success of students in mastering material about examples
of zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in God’s plan) is shown by
several indicators: (1) mentioning examples of zuhūd (asceticism) and
tawakkal (trusting in God’s plan) ; and (2) showing a happy attitude
towards zuhūd (asceticism) and trust. The success of students in mastering
material about habituating zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 49


God’s plan) in everyday life is shown by several indicators: (1) getting
used to zuhūd (asceticism) and tawakkal (trusting in God’s plan); and (2)
experiencing the benefits of ascetic and tawakkal (trusting in God’s plan)
. The success of students in mastering material about anāniah (selfish),
ghaḍab (angry), hasad (envy), ghibah and namīmah (bring into conflict)
is shown by several indicators: (1) explaining the meaning of anāniah
(selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), ghibah and namīmah (bring into
conflict); (2) reading and interpreting the naqli arguments about anāniah
(selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and namīmah (bring
into conflict); and (3) explaining the harmful consequences of anāniah
(selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and namīmah (bring
into conflict). The success of students in mastering material about
examples of anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting
and namīmah (bring into conflict) is shown by several indicators: (1)
mentioning examples of anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy),
backbiting and namīmah (bring into conflict); and (2) showing displeasure
with anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and
namīmah (bring into conflict). The success of students in mastering material
about staying away from anāniah (selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy),
backbiting and namīmah (bringing into conflict) in everyday life is shown
by several indicators: (1) getting used to behaving away from anāniah
(selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), backbiting and namīmah (bring
into conflict); and (2) feel the benefits of behaving away from anāniah
(selfish), ghaḍab (angry), hasad (envy), ghibah and namīmah (bring into
conflict) (Winataputra & Setiono, 2017).
Several indicators show the success of students in mastering material
about eating and drinking manners: (1) explaining the meaning of eating
and drinking manners; (2) reading and interpreting the naqli arguments
about eating and drinking manners; (3) explaining eating and drinking
manners in various situations; (4) explaining the function of eating and
drinking manners. The success of students in mastering material on
examples of eating and drinking manners is shown by several indicators:

50 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


(1) distinguishing between good and bad eating and drinking habits, and
(2) simulating eating and drinking manners (adāb) in various situations.
The success of students in mastering material about eating and
drinking etiquette in everyday life is shown by several indicators: (1)
getting used to good manners when eating and drinking at home or in
the school canteen; and (2) getting used to good manners when eating
and drinking in restaurants, receptions, or in other situations. Several
indicators show the success of students in mastering material about
revenge and hypocrisy: (1) explaining the meaning of revenge and
hypocrisy; (2) reading and interpreting naqli arguments about revenge
and hypocrisy; and (3) explaining the destructive consequences of
revenge and hypocrisy. Students’ success in mastering material about the
characteristics of vengeful and hypocritical is shown by several indicators:
(1) mentioning the characteristics of vengeful, and (2) mentioning the
characteristics of hypocrisy.
Students’ success in mastering material about vengeful and hypocritical
in everyday life is shown by several indicators: (1) showing an attitude
of wanting to stay away from vengeful and hypocritical; and (2) getting
used to avoiding vengefulness and hypocritical. For class XII senior
high school, the indicators for achieving mastery of tasāmuh (tolerance)
material are: (1) explaining the meaning of tasāmuh (tolerance); (2)
reading and interpreting the naqli argument about tasāmuh (tolerance);
and (3) explaining the function of tasāmuh (tolerance).
The indicators of mastery of the material for examples of tasāmuh
(tolerance) include: (1) mentioning examples of tasāmuh (tolerance) and (2)
showing a happy attitude to behaving tasāmuh (tolerance). The indicators
of achieving mastery of tasāmuh (tolerance) habituation in everyday life
include: (1) getting used to tasāmuh (tolerance) and (2) experiencing the
benefits of tasāmuh (tolerance). The indicators of achieving mastery of
takabbur (pompous) material are: (1) explaining the meaning of takabbur
(pompous); (2) reading and interpreting the naqli argument about pride;
(3) explaining the harmful consequences of being arrogant. The indicators

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 51


of mastery of the material examples of arrogance include: (1) mentioning
examples of arrogance and (2) showing an attitude of displeasure with
arrogance. Indicators of achieving content mastery against arrogance in
everyday life are: (1) getting used to avoiding arrogance and (2) feeling
the benefits of going away from arrogance.

Conclusion
This research can draw several conclusions based on the results of the studies
and discussions conducted. First, according to the findings of examining
the character education curriculum in Madrasas, character education
content in all subjects is included in various curriculum components,
beginning with core competencies, fundamental competencies, indicators,
objectives, and learning materials. In madrasas, character education is
incorporated into all subjects. However, character values are more prevalent
among Aqidah Akhlak’s topics. Islamic moral values developed by classical
scholars are prioritized as the most essential character traits. Second,
the curriculum for character education in schools refers to the National
Curriculum, whose fundamental competencies are determined by the
Indonesian Ministry of Education and Culture. Character education is
incorporated into all subjects in schools, but Islamic Religious Education
is a “mainstay” subject. Character values that are integrated into all
issues include religious values, honesty, tolerance, discipline, hard work,
creativity, independence, democratic, curiosity, national spirit, love of
one’s motherland, respect for achievement, active communication, love
of peace, a passion for reading, environmental stewardship, and social
responsibility.

References
Aningsih, Zulela, M. S., Neolaka, A., Iasha, V., & Setiawan, B. (2022). How is
the Education Character Implemented? The Case Study in Indonesian
Elementary School. Journal of Educational and Social Research, 12(1),
371. https://doi.org/10.36941/jesr-2022-0029

52 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Care, D. of H. and S., & Department for Children, S. and F. (2008). Transition:
Moving on Well. A Good Practice Guide for Health Professionals and
their Partners on Transition Planning for Young People with Complex
Health Needs or a Disability. Department of Health and Social Care.
Carey, S. (2015). Theories of development: In dialogue with Jean Piaget. In
Developmental Review (Vol. 38, pp. 36–54). https://doi.org/10.1016/j.
dr.2015.07.003
González-Moreira, A., Ferreira, C., & Vidal, J. (2021). Comparative
Analysis of the Transition from Early Childhood Education to
Primary Education: Factors Affecting Continuity between Stages.
European Journal of Educational Research, 10(1), 441–454. https://doi.
org/10.12973/eu-jer.10.1.441
Gopnik, A. (2020). Childhood as a solution to explore–exploit tensions.
Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences,
375(1803), 20190502. https://doi.org/10.1098/rstb.2019.0502
Hendarman, Saryono, D., Kamdi, W., Sunaryo, Latipun, Winarsunu,
T., & Chamisijatin, L. (2019). Konsep dan Pedoman Penguatan
Pendidikan Karakter (L. Muliastuti (ed.)). Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Hinde, E. (2007). Elementary teachers’ application of Jean Piaget’s theories
of cognitive development during social studies curriculum debates
in Arizona. Elementary School Journal, 108(1), 63–79. https://doi.
org/10.1086/522386
Keefer, K. V. (2013). Longitudinal assessment of trait emotional intelligence:
Measurement invariance and construct continuity from late childhood
to adolescence. Psychological Assessment, 25(4), 1255–1272. https://doi.
org/10.1037/a0033903
Kementerian Agama RI. (2019). Pedoman Implementasi Kurikulum pada
Madrasah. Direktorat KSKK Madrasa.
Khamalah, N. (2017). Penguatan pendidikan karakter di madrasah. Jurnal
Kependidikan, 5(2), 200–215.

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 53


Kohnstamm, G. (2017). Jean Piaget: Children and the inclusion problem.
In Jean Piaget: Children and the Inclusion Problem. https://doi.
org/10.4324/9780203788042
Kwon, K., Lease, A. M., & Hoffman, L. (2012). The Impact of Clique
Membership on Children’s Social Behavior and Status Nominations.
Social Development, 21(1), 150–169. https://doi.org/https://doi.
org/10.1111/j.1467-9507.2011.00620.x
Love, H. R., & Hancock, C. L. (2022). Tensions as opportunities for
transformation: Applying DisCrit Resistance to early childhood
teacher education programs. Contemporary Issues in Early Childhood,
23(4), 483–499. https://doi.org/10.1177/14639491221128246
McGrath, R. E., Han, H., Brown, M., & Meindl, P. (2022). What does
character education mean to character education experts? A prototype
analysis of expert opinions. Journal of Moral Education, 51(2), 219–237.
https://doi.org/10.1080/03057240.2020.1862073
Miller, C. B. (2022). How Situationism Impacts the Goals of Character
Education. Ethical Theory and Moral Practice. https://doi.org/10.1007/
s10677-022-10345-1
Nastasi, B. K. (2017). Cultural competence for global research and
development: Implications for school and educational psychology.
International Journal of School & Educational Psychology, 5(3), 207–
210. https://doi.org/10.1080/21683603.2016.1276817
Noor, M. B., Bakar, F. B. M., & Hasbullah, S. S. B. (2016). The Social Media
Dialogue through Ubiquitous Interactivity to Children’s Cognitive
Development. Proceedings of the 10th International Conference on
Ubiquitous Information Management and Communication. https://
doi.org/10.1145/2857546.2857582
O’Brien, K., & Lomas, T. (2017). Developing a Growth Mindset through
outdoor personal development: can an intervention underpinned
by psychology increase the impact of an outdoor learning course for
young people? Journal of Adventure Education and Outdoor Learning,
17(2), 133–147. https://doi.org/10.1080/14729679.2016.1232199

54 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Rusek, W. (2021). Changes in children’s body composition and posture
during puberty growth. Children, 8(4). https://doi.org/10.3390/
children8040288
Scrivner, C. (2021). The psychology of morbid curiosity: Development
and initial validation of the morbid curiosity scale. Personality and
Individual Differences, 183, 111139. https://doi.org/https://doi.
org/10.1016/j.paid.2021.111139
Shields, D. L. (2011). Character as the Aim of Education. Phi Delta Kappan,
92(8), 48–53. https://doi.org/10.1177/003172171109200810
Shoss, M., & Foster, L. (2022). We should also aim higher: I-O psychology
applied to sustainable growth and development. Industrial and
Organizational Psychology, 15(3), 436–440. https://doi.org/DOI:
10.1017/IOP.2022.47
Spencer, C. (2005). Place Attachment, Place Identity and the Development of
the Child’s Self-identity: Searching the Literature to Develop a Hypothesis.
International Research in Geographical and Environmental Education,
14(4), 305–309. https://doi.org/10.1080/10382040508668363
Stevens, A. L., Herrenkohl, T. I., Mason, W. A., Smith, G. L., Klevens, J., &
Merrick, M. T. (2018). Developmental effects of childhood household
adversity, transitions, and relationship quality on adult socioeconomic
status outcomes: Effects of substantiated child maltreatment. Child
Abuse & Neglect, 79, 42–50. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.
chiabu.2018.01.031
Toner, J. (2016). Jean Piaget: Learning and the stages of athlete development.
In Learning in Sports Coaching: Theory and Application (pp. 89–100).
https://doi.org/10.4324/9781315746012
Tyrovolas, S., Koyanagi, A., Olaya, B., Ayuso-Mateos, J. L., Miret, M.,
Chatterji, S., Tobiasz-Adamczyk, B., Koskinen, S., Leonardi, M., &
Haro, J. M. (2016). Factors associated with skeletal muscle mass,
sarcopenia, and sarcopenic obesity in older adults: a multi-continent
study. Journal of Cachexia, Sarcopenia and Muscle, 7(3), 312–321.
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/jcsm.12076

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 55


Vollmers, B. (1996). Becoming a creative scientist: Jean Piaget’s
development. High Ability Studies, 7(1), 83–89. https://doi.
org/10.1080/0937445960070109
Wierenga, L. M., Sexton, J. A., Laake, P., Giedd, J. N., Tamnes, C. K., & the
Pediatric Imaging and Genetics Study, N. (2018). A Key Characteristic
of Sex Differences in the Developing Brain: Greater Variability in Brain
Structure of Boys than Girls. Cerebral Cortex, 28(8), 2741–2751. https://
doi.org/10.1093/cercor/bhx154
Winataputra, U. S., & Setiono, S. (2017). Pedoman Umum Penggalian dan
Perwujudan Nilai Akhlak Mulia Sebagai Bagian Penguatan Pendidikan
Karakter. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Zhang, W., Zhang, L., Chen, L., Ji, L., & Deater-Deckard, K. (2019).
Developmental changes in longitudinal associations between academic
achievement and psychopathological symptoms from late childhood
to middle adolescence. Journal of Child Psychology and Psychiatry,
60(2), 178–188. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/jcpp.12927
Zurni, Zamroni, A., Supriyono, Arief, B. F., Kaefahmi, A., Waluyo, H.,
& Sobari, J. (2022). Panduan Kurikulum Operasional Madrasah.
Direktorat KSKK Madrasa.

Biografi Singkat Penulis


Husni bersama penulis lainnya dalam artikel ini merupakan dosen di
Institut Agama Islam Darussalam (IAID), Ciamis-Jawa Barat. Beliau saat
ini tenagh menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Penelitian,
dan Pengabdian pada Masyarakat, Sistem Informasi, dan Kerjasama
(P3M-SIK).

56 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pendidikan Islam Kontemporer
“Tantangan dan inovasi” Guru di Era
Digital

Karmila Rianda
STAI Al-Hamidiyah Jakarta, Indonesia
Email: karmilaryndni@gmail.com

Pendahuluan
Di masa kini, dunia sedang mengalami era kemajuan yang saling terhubung
oleh perkembangan teknologi. (Menurut Randall dan Latulipe) Pendidikan
Islam di era digital menuntut adanya inovasi dalam metode pembelajaran
dan pengajaran. Pendidikan Islam dalam era digital telah mengubah cara
kita mempelajari, mempraktikkan, dan menyebarkan ajaran Islam. Akses
mudah terhadap informasi dan sumber belajar melalui internet telah
memperluas pengetahuan kita tentang Islam. Pembelajaran online dan
penggunaan media sosial juga telah memungkinkan penyebaran ajaran
Islam yang lebih luas. Namun, penting bagi kita untuk tetap selektif dalam
memilih sumber-sumber yang terpercaya dan mendapatkan bimbingan
dari cendekiawan yang kompeten. Dengan demikian, pendidikan Islam
pada era digital dapat memberikan manfaat besar dalam memperkuat
pemahaman dan praktik keagamaan umat Islam di seluruh dunia. Era
digital telah merasuki berbagai negara di seluruh dunia, menghubungkan
manusia secara global tanpa adanya batasan. Komunikasi dan pertukaran
informasi antar wilayah menjadi lancar, seolah tidak ada lagi pembatas
yang memisahkan mereka. Hal ini terjadi karena hadirnya era digital yang
telah menggeser dominasi era konvensional. (Rumata, Iqbal, & Asman,
2021)Era digital sendiri muncul sebagai hasil dari perkembangan pesat

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 57


dalam era globalisasi, di mana dunia semakin terhubung dan saling
bergantung satu sama lain. (Darmawan, 2019)
Saat ini pendidikan Islam kontemporer memiliki tantangan dan
inovasi guru di Era Digital. Pendidikan Islam kontemporer adalah sebuah
sistem pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Islami bersumber pada
Al-Qur’an. Pendidikan ini juga memperhatikan perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat saat ini. Konsep pendidikan Islam kontemporer
menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pendidikan yang
mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama,
tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis. Beberapa problematika
pendidikan Islam kontemporer antara lain adalah kurangnya pemahaman
terhadap konsep pendidikan Islam kontemporer, kurangnya kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang mengajar, dan kurangnya dukungan
dari pemerintah.
Dalam era kontemporer, masyarakat Muslim dihadapkan pada
berbagai perubahan yang signifikan, seperti globalisasi, perkembangan
teknologi informasi, dan kemajuan ilmiah. Perubahan-perubahan
ini mempengaruhi cara berpikir dan perilaku individu Muslim serta
membawa dampak pada pendidikan Islam yang ada. Oleh karena itu,
pendidikan Islam kontemporer mengusahakan untuk mengintegrasikan
nilai-nilai Islam dengan pemahaman dan kebutuhan kontemporer agar
relevan dan efektif dalam mendidik generasi Muslim masa kini. Salah
satu karakteristik pendidikan Islam kontemporer adalah adanya upaya
untuk mengaitkan pemahaman Islam dengan realitas kehidupan sehari-
hari. Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan Islam kontemporer
tidak hanya berkutat pada aspek teoretis dan ritual, tetapi juga berusaha
menerapkan nilai-nilai Islam dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti
ekonomi, politik, sosial, dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
pendidikan Islam kontemporer bertujuan untuk menciptakan individu
Muslim yang mampu menghadapi tantangan dunia modern dengan
berpegang pada nilai-nilai agama Islam.

58 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pendidikan Islam kontemporer dalam era digital memiliki tantangan
tersendiri. Beberapa tantangan tersebut antara lain adalah kurangnya
pemahaman terhadap konsep pendidikan Islam kontemporer dalam era
digital, kurangnya penggunaan metode pembelajaran yang menarik,adanya
perubahan paradigma pembelajaran, Fluktuasi perhatian siswa, dan
adanya informasi yang bermasalah. Selain itu Adapun inovasi dalam
Pendidikan kontemporer yaitu Integrasi teknologi dalam pembelajaran,
Pengembangan kurikulum yang relevan, Kemitraan dengan orang tua
dan masyarakat dan Pengembangan keterampilan literasi digital.
Dalam penyusunan ini penulis menggunakan Penelitian sistematis
literatur review. Penelitian sistematis literatur review yaitu istilah yang
digunakan untuk merujuk pada metode penelitian atau riset yang
dilakukan untuk mengumpulkan dan mengevaluasi penelitian yang
relevan terkait dengan fokus topik tertentu. (- & Suryani, 2018) Sumber
data yang digunakan yaitu menggunakan jurnal.

Pembahasan
Tantangan dalam Pendidikan kontemporer
Dalam pendidikan Islam kontemporer saat ini sedang menghadapi
tantangan yang signifikan di era digital. Perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi telah memengaruhi cara belajar dan mengajar di sekolah-
sekolah, termasuk pendidikan Islam. Dalam hal ini, peran guru sebagai
fasilitator pembelajaran sangat penting. Tulisan ini akan membahas
tantangan yang dihadapi oleh guru dalam pendidikan Islam kontemporer
serta inovasi yang dapat mereka terapkan untuk menghadapinya. Berikut
beberapa tantangan dalam Pendidikan Islam Kontemporer:
1. Kurangnya pemahaman terhadap konsep pendidikan Islam kontem-
porer dalam era digital. (Madekhan, 2020)
Dalam era digital yang terus berkembang pesat, terdapat beberapa
faktor yang dapat menjelaskan kurangnya pemahaman terhadap
konsep pendidikan Islam kontemporer yaitu minimnya sumber Belajar
yang Terpercaya. Dalam era digital, informasi dapat dengan mudah

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 59


diakses melalui internet. Namun, hal ini juga dapat menyebabkan
munculnya sumber-sumber informasi yang tidak terverifikasi dan
kurang terpercaya. Banyaknya konten yang tidak akurat atau tidak
kredibel dapat mempengaruhi pemahaman yang benar terkait konsep
pendidikan Islam kontemporer. Kemudian adanya keterbatasan
Literasi Digital, Meskipun akses ke teknologi informasi semakin
meluas, masih terdapat sebagian masyarakat yang memiliki keter-
batasan dalam literasi digital. Banyak individu yang tidak memiliki
kemampuan atau pengetahuan yang memadai dalam menggunakan
teknologi digital, termasuk dalam mencari dan memilah informasi
yang relevan dan berkualitas mengenai pendidikan Islam kontem-
porer.(Fadhilah & Hudaidah, 2021)
2. Kurangnya penggunaan metode pembelajaran yang menarik.
Kurangnya penggunaan metode pembelajaran yang menarik
terhadap konsep pendidikan Islam kontemporer dalam era digital
dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya keterbatasan
Pengetahuan dan Keterampilan Guru. Guru yang mengajar
pendidikan Islam mungkin tidak sepenuhnya menguasai teknologi
digital dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang metode
pembelajaran yang menarik dalam konteks digital. Hal ini dapat
menghambat mereka untuk menerapkan metode pembelajaran
yang inovatif dan menarik dalam pengajaran pendidikan Islam.
Kemudian adanya Perlawanan terhadap Perubahan,beberapa institusi
pendidikan mungkin masih enggan untuk mengadopsi metode
pembelajaran yang inovatif dalam konteks digital. Mereka mungkin
lebih memilih untuk tetap menggunakan metode tradisional yang
sudah ada dan merasa tidak perlu melakukan perubahan. Perlawanan
terhadap perubahan ini dapat menghambat penggunaan metode
pembelajaran yang lebih menarik dan interaktif dalam pendidikan
Islam kontemporer. Selain itu Adapun keterbatasan Infrastruktur
dan Aksesibilitas,di beberapa daerah terutama di wilayah pedesaan
atau kurang berkembang, infrastruktur digital mungkin masih
terbatas. Keterbatasan aksesibilitas internet yang stabil dan perangkat

60 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


teknologi yang memadai dapat menghambat penggunaan metode
pembelajaran yang menarik dalam pendidikan Islam kontemporer.
Untuk mengatasi kurangnya penggunaan metode pembelajaran yang
menarik dalam pendidikan Islam kontemporer dalam era digital,
penting untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru,
mendorong riset dan pengembangan dalam bidang ini, mengatasi
perlawanan terhadap perubahan, serta meningkatkan infrastruktur
digital dan aksesibilitas teknologi di semua daerah.
3. Adanya perubahan paradigma pembelajaran.
Pada era digital, pembelajaran tidak lagi terbatas pada kelas dan
buku teks. Guru perlu menghadapi tantangan untuk memperbarui
paradigma pembelajaran mereka agar sesuai dengan perkembangan
teknologi dan kebutuhan siswa. Menurut S. S. Kurniawan (2018),
perubahan paradigma pembelajaran terjadi dari paradigma tradisional
ke paradigma modern. Paradigma tradisional lebih menekankan
pada guru sebagai pusat pembelajaran sedangkan paradigma
modern lebih menekankan pada siswa sebagai pusat pembelajaran.
(Kurniawan, 2018)
4. Fluktuasi perhatian siswa
Fluktuasi perhatian siswa adalah perubahan dalam tingkat konsentrasi
siswa selama pembelajaran. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti lingkungan belajar, metode pengajaran, dan faktor
internal siswa. Teknologi digital memberikan akses luas ke berbagai
informasi dan hiburan, yang bisa membagi perhatian siswa. Guru perlu
menghadapi tantangan untuk mempertahankan minat dan konsentrasi
siswa dalam pembelajaran Islam. Penelitian lain yang dilakukan
oleh S. K. Sari (2019) menunjukkan bahwa fluktuasi perhatian siswa
dapat diatasi dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat
seperti metode pembelajaran berbasis masalah.(Kusumaningrini &
Sudibjo, 2021)

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 61


5. Informasi yang bermasalah
Akses mudah ke internet juga berarti siswa dapat dengan mudah
mendapatkan informasi yang tidak selalu akurat atau sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Guru perlu mengajarkan siswa tentang kecerdasan
informasi dan membantu mereka memilah informasi yang benar
dan sesuai dengan ajaran Islam

Inovasi dalam Pendidikan Islam Kontemporer


Inovasi dalam pendidikan Islam kontemporer mengacu pada upaya untuk
mengembangkan metode, kurikulum, dan pendekatan pembelajaran yang
relevan dengan tuntutan zaman modern, sambil tetap mempertahankan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Tujuannya adalah untuk menyediakan
pendidikan yang berkualitas tinggi yang mampu menjawab tantangan dan
kebutuhan masyarakat Muslim di era sekarang. Berikut adalah inovasi
guru dalam Pendidikan Islam kontemporer yaitu antara lain :
1. Integrasi teknologi dalam pembelajaran.
Guru perlu menggunakan teknologi seperti multimedia, presentasi
digital, dan sumber belajar online untuk meningkatkan daya tarik
pembelajaran. Ini dapat membantu siswa lebih terlibat dalam
pembelajaran Islam dan memahami konsep-konsep dengan cara
yang baru dan menarik.
2. Pengembangan kurikulum yang relevan.
Guru perlu mengembangkan kurikulum yang relevan dengan
kebutuhan dan realitas siswa saat ini. Ini dapat mencakup topik-topik
seperti etika digital, penggunaan media sosial dengan bijak, dan
pemahaman tentang dampak teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kemitraan dengan orang tua dan masyarakat.
Guru dapat melibatkan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan
Islam kontemporer. Ini dapat dilakukan melalui pertemuan orang tua,
kerjasama dengan organisasi keagamaan, atau penggunaan platform
online untuk berkomunikasi dengan orang tua dan masyarakat
secara efektif.

62 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


4. Pengembangan keterampilan literasi digital.
Guru dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan literasi
digital yang kuat. Ini mencakup kemampuan untuk mencari informasi
yang akurat, mengevaluasi sumber informasi, dan berpartisipasi
dalam diskusi yang produktif secara online. Menurut Paul Gilster
Keterampilan literasi digital yaitu kemampuan untuk memahami
dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai
sumber yang sangat luas.(Rahmadani, 2020)

Dalam era digital yang terus berkembang, peran guru mengalami


perubahan signifikan. Tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai
fasilitator pembelajaran yang memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu.
Dalam konteks ini, kompetensi guru menjadi sangat penting untuk
memberikan pengajaran yang efektif dan relevan bagi generasi digital.
Dalam artikel ini, akan dibahas beberapa kompetensi kunci yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam era digital.
Adapun implikasi dalam temuan terhadap pendidikan Islam
kontemporer dalam tantangan dan inovasi guru di era digital dapat
memiliki dampak yang signifikan. Berikut adalah beberapa implikasi
yang mungkin timbul:
1. Penggunaan Teknologi dalam Pendidikan Islam.
Temuan baru dalam teknologi informasi dan komunikasi dapat
mempengaruhi cara pendidikan Islam disampaikan dan diakses.
Misalnya, penggunaan platform daring dan aplikasi mobile dapat
memungkinkan akses yang lebih mudah dan fleksibel terhadap
materi-materi pendidikan Islam. Hal ini juga membuka peluang baru
untuk pembelajaran jarak jauh dan kelas virtual yang dapat mengatasi
kendala geografis dan memperluas jangkauan pendidikan Islam.
2. Pembelajaran Interaktif.
Temuan tentang metode pembelajaran yang lebih interaktif dan
partisipatif dapat memberikan pendekatan yang lebih efektif dalam
pendidikan Islam. Pendidik dapat mengadopsi pendekatan yang
lebih kolaboratif, di mana siswa secara aktif terlibat dalam proses

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 63


pembelajaran. Hal ini dapat mendorong partisipasi aktif siswa,
membangun pemahaman yang lebih mendalam, dan meningkatkan
keterlibatan mereka dalam memahami prinsip-prinsip agama Islam.
Menurut Seels & Glasgow Pembelajaran interaktif adalah suatu
sistem penyampaian pengajaran yang menyajikan materi video
rekaman dengan pengendalian komputer kepada penonton (siswa)
yang tidak hanya mendengar, melihat video, dan suara. Tetapi siswa
juga dapat memberikan respon yang aktif (Hofany, Andjarwirawan,
& Dewi, 2016)
3. Integrasi Pendidikan Nilai.
Temuan dalam bidang psikologi dan pendidikan dapat membantu
dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kurikulum yang
kontemporer. Pendidikan Islam dapat diarahkan untuk membangun
karakter, etika, dan moral siswa yang sejalan dengan prinsip-prinsip
agama Islam. Selain itu, implikasi ini juga dapat mengarah pada
pengembangan kurikulum yang lebih holistik, yang mencakup aspek
akademik, sosial, dan spiritual.
4. Tantangan Multikulturalisme
Dalam masyarakat yang semakin multikultural, pendidikan Islam
perlu menghadapi tantangan dalam mengelola keragaman dan
mempromosikan toleransi. Temuan dalam bidang studi antarbudaya
dan studi agama dapat membantu dalam mengembangkan
pendekatan yang inklusif dan saling pengertian dalam pendidikan
Islam. Pendidikan ini harus mendorong pemahaman dan dialog
antaragama, mempromosikan kerjasama, dan mengatasi sikap
prejudis dan diskriminasi.
5. Inovasi Kurikulum.
Temuan dalam riset pendidikan dan studi Islam dapat memicu inovasi
dalam kurikulum pendidikan Islam. Pendidikan harus responsif
terhadap perubahan sosial, teknologi, dan kebutuhan masyarakat yang
berkembang. Implikasi temuan dapat mempengaruhi penyusunan
kurikulum yang relevan, menekankan pada penerapan pengetahuan

64 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


dan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, serta menyesuaikan
dengan tantangan kontemporer yang dihadapi oleh umat Muslim.
(Ningsih, Anwar, Supiana, & Zakiah, 2022)

Dalam penulisan ini ada beberapa keterbatasan penelitian mengenai


“Tantangan dan Inovasi Guru di Era Digital dalam Pendidikan Islam
Kontemporer” dapat mencakup beberapa hal yaitu terbatasnya waktu
penelitian. Penelitian ini mungkin memiliki batasan waktu yang ketat,
yang dapat mempengaruhi keakuratan dan kedalaman analisis. Sebagai
contoh, penelitian jangka pendek mungkin tidak dapat mengidentifikasi
tren jangka panjang atau dampak inovasi guru dalam jangka waktu yang
lebih lama. Kemudian adapun perubahan teknologi yang cepat yaitu era
digital terus berkembang dengan cepat, dan teknologi pendidikan juga
mengalami perubahan yang signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini
mungkin memiliki keterbatasan dalam menjaga kebaruan temuannya,
karena inovasi dan tantangan baru mungkin muncul setelah penelitian
selesai.(Tafonao & Ristiono, 2020)
Adapun saran untuk peneliti masa depan dalam topik ini yaitu
melakukan pemantauan terus-menerus terhadap perkembangan teknologi:
Peneliti masa depan harus tetap up-to-date dengan perkembangan terbaru
dalam teknologi pendidikan. Dalam penelitian mereka, mereka harus
mempertimbangkan perubahan yang cepat dan potensi inovasi baru
yang muncul dalam era digital.
Memperluas cakupan penelitian: Selain mempertimbangkan faktor
teknologi, penelitian masa depan harus memperluas cakupan untuk
mempertimbangkan faktor non-teknologi yang relevan, seperti budaya,
sosial, atau kebijakan pendidikan. Ini akan memberikan pemahaman
yang lebih holistik tentang tantangan dan inovasi dalam pendidikan
Islam kontemporer.

Simpulan
Kesimpulan dari pembahasan Pendidikan Islam kontemporer dengan
fokus pada “Tantangan dan inovasi” guru di era digital adalah sebagai

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 65


berikut: Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan
besar dalam pendidikan Islam kontemporer. Guru harus siap menghadapi
tantangan dan memanfaatkan inovasi teknologi ini untuk meningkatkan
pembelajaran dan pengajaran.
Era digital menawarkan berbagai sumber daya pendidikan yang luas,
seperti akses internet, perangkat mobile, dan platform pembelajaran online.
Guru dapat menggunakan teknologi ini untuk menciptakan pengalaman
belajar yang lebih menarik dan interaktif bagi siswa.
Tantangan yang dihadapi guru dalam era digital termasuk
kecenderungan distraksi dan informasi yang berlebihan. Guru perlu
mengembangkan keterampilan dalam mengelola penggunaan teknologi
dalam kelas sehingga tetap fokus pada tujuan pembelajaran.
Inovasi teknologi dapat membantu guru memperluas jangkauan
pendidikan Islam, terutama dalam situasi di mana akses fisik terbatas.
Melalui platform online, guru dapat memberikan pembelajaran jarak
jauh dan memberikan materi kepada siswa di berbagai lokasi. Guru
juga harus mampu menghadapi tantangan dalam mendidik siswa dalam
lingkungan digital yang kompleks. Mereka perlu memberikan pendidikan
yang mencakup aspek etika, moral, dan spiritual, serta melindungi siswa
dari risiko yang mungkin timbul dalam penggunaan teknologi.
Pendidikan Islam kontemporer harus mencerminkan prinsip-prinsip
Islam dalam penggunaan teknologi. Guru harus memastikan bahwa
teknologi digunakan sesuai dengan nilai-nilai Islam, mempromosikan
pemahaman yang benar tentang agama, dan membantu siswa
mengembangkan hubungan yang sehat antara agama dan teknologi.
Penting bagi guru untuk terus mengikuti perkembangan teknologi
dan mengikuti pelatihan dan pembinaan yang diperlukan untuk
mengintegrasikan inovasi teknologi dalam pembelajaran. Mereka perlu
menjadi pembelajar seumur hidup dan terbuka terhadap perubahan untuk
terus meningkatkan kualitas pendidikan Islam yang mereka berikan.
Dalam rangka menghadapi tantangan dan memanfaatkan inovasi
dalam pendidikan Islam kontemporer di era digital, guru harus

66 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


menggabungkan keahlian tradisional dengan keterampilan teknologi
yang baru. Dengan cara ini, mereka dapat menciptakan pengalaman
pembelajaran yang bermakna, relevan, dan sesuai dengan nilai-nilai
Islam, sambil mempersiapkan siswa untuk menghadapi tuntutan dunia
digital yang terus berkembang

Daftar Pustaka
-, L., & Suryani, M. (2018). Metode SLR untuk Mengidentifikasi Isu-Isu
dalam Software Engineering. SATIN - Sains Dan Teknologi Informasi,
3(1). https://doi.org/10.33372/stn.v3i1.347
Darmawan, D. (2019). BIOLOGI KOMUNIKASI MELALUI
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INFORMASI MENUJU
AKSELERASI PEMBELAJARAN *. Jurnal Teknodik. https://doi.
org/10.32550/teknodik.v0i0.545
Fadhilah, Z. H., & Hudaidah, H. (2021). PARADIGMA BARU
PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA.
PARAMUROBI: JURNAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, 4(1).
https://doi.org/10.32699/paramurobi.v4i1.1787
Hofany, K., Andjarwirawan, J., & Dewi, L. P. (2016). Media Pembelajaran
Interaktif untuk Kelas 1 Sekolah Dasar Berdasarkan Kurikulum 2013
Berbasis Android. Jurnal Infra.
Kurniawan, J. (2018). Model-Model Pembaharuan Pendidikan Islam.
MUQADDIMAH: Jurnal Studi Islam, 14(3).
Kusumaningrini, D. L., & Sudibjo, N. (2021). The FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI BELAJAR SISWA DI ERA
PANDEMI COVID-19. Akademika, 10(01), 145–161. https://doi.
org/10.34005/akademika.v10i01.1271
Madekhan, M. (2020). FUNGSI PENDIDIKAN DALAM PERUBAHAN
SOSIAL KONTEMPORER. JURNAL REFORMA, 9(1). https://doi.
org/10.30736/rf.v9i1.252

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 67


Ningsih, I. W., Anwar, A. S., Supiana, S., & Zakiah, Q. Y. (2022). Penggunaan
Teknologi Informasi Sebagai Jembatan Reformasi Pendidikan Islam
di Indonesia. Islamic Management: Jurnal Manajemen Pendidikan
Islam, 5(02).
Rahmadani, H. (2020). Profil Keterampilan Literasi Digital: Penelitian
Survey di SMA IT Al Bayyinah Pekanbaru. Instructional Development
Journal, 3(2). https://doi.org/10.24014/idj.v3i2.11306
Rumata, F. ’Arif, Iqbal, M., & Asman, A. (2021). Dakwah digital sebagai
sarana peningkatan pemahaman moderasi beragama dikalangan
pemuda. Jurnal Ilmu Dakwah, 41(2). https://doi.org/10.21580/jid.
v41.2.9421
Tafonao, T., & Ristiono, Y. B. (2020). Peran Guru Agama dalam
Meningkatkan Mutu Pembelajaran dengan Bantuan Multimedia.
Jurnal Komunikasi Pendidikan, 4(1). https://doi.org/10.32585/jkp.
v4i1.459

Biografi Singkat Penulis


Karmila Rianda adalah seorang mahasiswa dan pengajar yang lahir di
Bogor. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di STAI Al-Hamidiyah
Jakarta dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

68 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pendidikan Islam Industri 4.0
“Deskriptif Generasi Milenial”

Rahmat Ramdhani,1 Siskha Putri Sayekti2


STAI Al Hamidiyah Jakarta, Indonesia
Email: rahmattramdhanii@gmail.com,1 siskhaputrisayekti@gmail.com2

Pendahuluan
Saat ini dunia telah memasuki era revolusi industri generasi 4.0 yang
ditandai dengan peningkatan interaksi, perkembangan digital dan
konektivitas serta kecerdasan artifisial dan virtual. Salah satu yang
terdampak dari teknologi dan informasi adalah sistem pendidikan.
Perubahan revolusi industri 4.0 tidak dapat dihindari mulai dari pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi. Maka diperlukan peningkatan sumber
daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan secara global dan
bersaing Internasional.
Salah satu faktor keberhasilan sebuah negara dalam upaya merespon
revolusi industri 4.0, adalah pendidik. Para pendidik diwajibkan untuk
memiliki keahlian dan kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi
terbaru, dan mampu menjawab tantangan-tantangan yang bersifat global.
Dalam kondisi seperti ini, setiap instansi pendidikan harus mempersiapkan
trobosan-trobosan baru dalam bidang pendidikan. Ide-ide lama yang
mengedepankan membaca, menulis dan berhitung harus ditopang dengan
ide-ide baru seperti penganalisaan data berbasis teknologi dan sumber
daya manusia yang mampu dalam mengoperasikan teknologi.
Memasuki era revolusi industri 4.0, dibutuhkan pendidikan yang
dapat membentuk karakter siswa yang kreatif dan inovatif. Hal ini dapat
tercapai dengan cara memaksimalkan pemanfaatan teknologi sebagai
media pendidikan dengan harapan hasil yang didapatkan mampu

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 69


mengikuti perkembangan zaman. Seperti halnya di Indonesia juga harus
meningkatkan kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja
dan perkembangan teknologi digital. Pendidikan 4.0 adalah jawaban atas
kebutuhan revolusi industri 4.0 yan mana manusia dengan teknologi
disejajarkan untuk menghasilkan peluang-peluang baru yang inovatif
dan kreatif.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Pengaruh Pendidikan Islam di
revolusi Industri 4.0 2). Analisis Pendidikan Islam dalam Industri 4.0
berfokus pada generasi Milenial. Selanjutnya tujuan penulisan penelitian
antara lain: 1). Pengaruh pendidikan Islam di era revolusi Industri 4.0,
2). Mengetahui analisis pendidikan Islam dalam Industri 4.0 dengan
berfokus pada generasi Milenial. Manfaat Penelitian dari segi Teoritis
yaitu: 1). Memahami pengaruh pendidikan Islam di era industri 4.0, 2).
Menganalisis pengaruh pendidikan Islam dalam industri 4.0 dan dari segi
praktisi yakni: 1). Guru memahami perkembangan pendidikan Islam di
era revolusi 4.0, 2). Generasi Milenial dapat memahami industri 4.0 dan
perkembangan pendidikan Islam.

Pembahasan
Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Saat ini Indonesia telah masuk ke era globalisasi, pendidikan agama
diharapkan memiliki kepekaan dan peduli terhadap gejala perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan agama Islam harus mampu
beradaptasi terhadap semua perubahan yang telah terjadi pada era revolusi
industri 4.0. Hal ini bertujuan untuk membentuk dan memperkokoh
keberadaan pendidikan agama Islam. Apabila pendidikan agama
Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan yang terjadi
di dunia pendidikan, maka pendidikan agama Islam akan semakin
tertinggal. Dibutuhkan perubahan dalam pendidikan Agama Islam agar
mampu mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya dengan cara
mengubah pemikiran-pemikiran lama menjadi pola pikir yang baru dan
mengutamakan kerja tim.(Nurhayati 2018)

70 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pendidikan agama Islam harus mampu mengembangkan diri agar
menghasilkan ide-ide baru untuk pendidikan agama Islam sehingga
dapat sesuai dengan perkembangan pendidikan era revolusi 4.0 ini.
Dunia pendidikan tidak hanya menjadikan seseorang pintar, tetapi juga
mempunyai sifat serta kepribadian yang sopan santun sesuai dengan
cita-cita para pahlawan agar generasi bangsa terus maju dan berkembang
sesuai dengan karakter yang tertanam dalam nilai budi luhur agama dan
bangsa. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
dapat menjadi pondasi atau sebagai pengontrol bagi generasi-generasi
di era revolusi industri 4.0. (Ifadah dan Utomo 2019)
Di era revolusi industri 4.0 sekarang, pendidikan karakter menjadi
pemeran utama untuk menjadikan generasi milenial yang siap untuk
menghadapi tantangan dalam arus globalisasi. Upaya pemerintah dalam
sektor pendidikan yakni menjadikan dunia pendidikan yang lebih baik
dan terorganisir sehingga hasil yang didapatkan bisa dimanfaatkan
dan dirasakan negara. Langkah awal yang diberikan kepada generasi
milenial untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 adalah dengan cara
memberikan program pendidikan karakter yang terencana dan tersusun.
Sudah banyak negara-negara maju yang telah melaksanakan program
tersebut dan berhasil menjadikan sumber daya manusia yang unggul
sehingga banyak menghasilkan ide-ide yang cemerlang. Tujuan dari
program tersebut adalah agar generasi-generasi Milenial dapat mempunyai
keahlian dan kemampuan yang unggul serta generasi-generasi milenial
tersebut memiliki daya saing yang tinggi untuk menghadapi era revolusi
industri 4.0.(Priyanto 2020)
Pendidikan agama Islam harus mampu mengembalikan kapasitas
dalam mengembangkan potensi yang dimiliki, kemudian mengajarkannya
dengan keahlian yang mudah dipahami sehingga mampu beradaptasi
dengan era revolusi industri 4.0 dan bisa ikut serta dalam mengembangkan
ide-ide yang kreatif sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Tujuan pendidikan agama Islam dalam mengembangkan ide-ide baru
adalah sebagai bukti bahwa pendidikan agama Islam bisa mengikuti zaman

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 71


serta menjadi bukti bahwa pendidikan agama Islam dapat mempertegas
keberadaannya di era revolusi industri 4.0. Pendidikan agama Islam juga
dapat merealisasikan keinginan yang ada pada masyarakat yang berorientasi
ke masa depan. Karakter pendidikan agama Islam ini mengandung
arti bahwa dalam keadaan apapun pendidikan agama Islam mampu
menyesuaikan dengan tantangan yang berkembang sesuai kebutuhan
pendidikan dunia.(Rohima 2020)
Pendidikan agama Islam dalam konteks akhlak yang terpuji sudah
seharusnya diajarkan sejak usia belia. Pendidik mempunyai tugas yang
sangat penting karena mereka memiliki tanggung jawab memberikan
contoh yang baik kepada peserta didik dalam hal menuntut ilmu dan
menjadi tauladan yang baik untuk para peserta didik berkaitan dengan
pendidikan agama Islam disebabkan pendidik adalah subjek utama dalam
sistem pendidikan.(Arip Febrianto 2021)

Simpulan
Saat ini dunia telah memasuki era revolusi industri generasi 4.0 yang
ditandai dengan peningkatan interaksi, perkembangan digital dan
konektivitas serta kecerdasan artifisial dan virtual. Salah satu yang
terdampak dari teknologi dan informasi adalah sistem pendidikan.
Perubahan revolusi industri 4.0 tidak dapat dihindari mulai dari
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Maka diperlukan peningkatan
sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan secara global
dan bersaing Internasional. Generasi Y atau generasi Milenial
yaitu generasi yang lahir di awal-awal teknologi belum pesat seperti
sekarang. Modernisasi digadang-gadang menjadi salah satu penyebab
atas penyebutan generasi Y atau generasi Milenial.
Saat ini Indonesia telah masuk ke era globalisasi, pendidikan
agama diharapkan memiliki kepekaan dan peduli terhadap gejala
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pendidikan agama Islam
harus mampu beradaptasi terhadap semua perubahan yang telah terjadi
pada era revolusi industri 4.0. Hal ini bertujuan untuk membentuk dan

72 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


memperkokoh keberadaan pendidikan agama Islam. Apabila pendidikan
agama Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan yang
terjadi di dunia pendidikan, maka pendidikan agama Islam akan semakin
tertinggal. Dibutuhkan perubahan dalam pendidikan Agama Islam agar
mampu mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya dengan cara
mengubah pemikiran-pemikiran lama menjadi pola pikir yang baru dan
mengutamakan kerja tim.
Pendidikan agama Islam harus mampu mengembangkan diri agar
menghasilkan ide-ide baru untuk pendidikan agama Islam sehingga
dapat sesuai dengan perkembangan pendidikan era revolusi 4.0 ini.
Dunia pendidikan tidak hanya menjadikan seseorang pintar, tetapi juga
mempunyai sifat serta kepribadian yang sopan santun sesuai dengan
cita-cita para pahlawan agar generasi bangsa terus maju dan berkembang
sesuai dengan karakter yang tertanam dalam nilai budi luhur agama dan
bangsa. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
dapat menjadi pondasi atau sebagai pengontrol bagi generasi-generasi
di era revolusi industri 4.0.
Di era revolusi industri 4.0 sekarang, pendidikan karakter menjadi
pemeran utama untuk menjadikan generasi milenial yang siap untuk
menghadapi tantangan dalam arus globalisasi. Upaya pemerintah dalam
sektor pendidikan yakni menjadikan dunia pendidikan yang lebih baik
dan terorganisir sehingga hasil yang didapatkan bisa dimanfaatkan
dan dirasakan negara. Langkah awal yang diberikan kepada generasi
milenial untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 adalah dengan cara
memberikan program pendidikan karakter yang terencana dan tersusun.
Sudah banyak negara-negara maju yang telah melaksanakan program
tersebut dan berhasil menjadikan sumber daya manusia yang unggul
sehingga banyak menghasilkan ide-ide yang cemerlang. Tujuan dari
program tersebut adalah agar generasi-generasi Milenial mempunyai
keahlian dan kemampuan yang unggul serta generasi-generasi milenial
memiliki daya saing yang tinggi untuk menghadapi era revolusi industri 4.0.

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 73


Daftar Pustaka
Arif, Khusnan, Teknologi PembelajaranPai (Pendidikan Agama Islam)
dalam Paradigma Konstruktivisme, Jurnal Fikroh, Vol.4, No. 2,
Januari 2011
Arifin, H.M, 2014, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, cet.
Ke-6Asnawan, Pendidikan Islam dan Teknologi Komunikasi, Jurnal
Falasifa, Vol. 1,No. 2, September 2010
Fajar, Malik, Holistik Pemikiran Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2005, hal.131
Hidayat, Nur, Peran dan Tantangan Pendidikan Agama Islam Di Era Global,
Jurnal el-Tarbawi, Volume XIII, No 2, 2015, hal.135-137https://www.
zenius.net/blog.revolusiindustrihttps://uin-malang.ac.id/r/181101/
jangan-tinggalkan-nilai-Islam-diera-industri 4.0https://www.viva.
co.id>vstory
Indianto, Dimas, Pendidikan Agama Islam Dalam Revolusi Industri 4.0,
digital.library.Ump.ac.id/254/4/9
Iswan dan Herwina, Penguatan Pendidikan Karakter Perspektif Islam
dalam Era Millenial IR 4.0, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Era Revolusi “Membangun Sinergitas dalam Penguatan Pendidikan
Karakter pada Era IR 4.0” Universitas Muhammadiyah Jakarta,
Indonesia, 24 Maret 2018.
Kenzia,Talitha,2019,kompasiana.com/talithakenzia0995/5dff2a670
Mulkhan, Abdul Munir S.U. (2002), Nalar Spiritual Pendidikan:
Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta, PT Tiara
Wacana
Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Milenial,Conciencia, Vol. 18, No.
1, tahun 2018.
Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
terj.A. BustamiGani,Jakarta: Bulan Bintang,1970.Alma, Buchari.,
Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum, Bandung:Alfabeta,
2011.

74 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Noory Okthariza, Generasi Milenial,Toleransi, dan Globalisasi, Kompas,
28 Desember 2017.
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif Interkonektif,Yogyakarta:PustakaPelajar,2006.
William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, penterj. Omi Intan Naomi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Biogtafi Singkat Penulis


Rahmat Ramdhani merupakan mahasiswa yang lahir di Depok. Saat ini
sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al
Hamidiyah Jakarta jurusan Pendidikan Agama Islam. Bersama dosennya,
Siskha Putri Sayekti, ia menulis mengembangkan gagasannya melalui
artikel ini.

Bagian 1 : Menyoal Dinamika Pendidikan Islam Masa Kini 75


76 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
Bagian 2
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM DAN
PRAKTEKNYA

77
Epistemologi Pendidikan Islam dan
Tantangannya

Ruma Mubarak,1 Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh2


UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia,1 Universitas Islam Raden
Rahmat Malang, Indonesia2
Email: ronauin@gmail.com,1 rosyunira@gmail.com2

Pendahuluan
Berbicara tentang pendidikan Islam lazimnya memunculkan gambaran
yang memilukan dalam pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran,
dan arah tujuan yang tidak jelas. Hal ini muncul manakala pendidikan
Islam dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi yang ditandai
dengan kemajuan sains Barat, di samping ketika dikaitkan dengan
kenangan masa kejayaan Islam dimasa lalu
Sebagai agen peradaban dan perubahan sosial, pendidikan Islam
berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dituntut untuk mampu
memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya
diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang
berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat islam, baik pada
dataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan
hanya sekedar proses transformasi nilai-nilai moral untuk membentengi
diri dari akses negatif globalisasi dan modernisasi. Tetapi yang paling
urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan lewat
pendidikan Islam tersebut mampu berperan aktif sebagai generator yang
memiliki pawer pembebas dari tekanan dan himpitan keterbelakangan
sosial budaya, kebodohan, ekonomi dan kemiskinan di tengah mobilitas
sosial yang begitu cepat.

78 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Noeng Muhadjir (1996, p. 34) menilai penyelenggaraan pendidikan
Islam pada tataran paradigmatik-operasional yang berlaku selama ini lebih
merupakan Islamic education for the Moslems (pendidikan agama Islam
yang pelaksanaannya disesuaikan dengan pendidikan modern), bukan
Islamic education for Islamic education (pendidikan Islam yang benar-
benar dilandasi, dijiwai, dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Islam).
Di kalangan para ahli filsafat pendidikan pada umumnya seperti
Broudy menyatakan bahwa filsafat pendidikan dipandang sebagai
pembahasan yang sistematis tentang masalah-masalah pendidikan pada
tingkatan filosofis, yaitu menyelidiki suatu persoalan pendidikan hingga
direduksi ke dalam pokok persoalan metafisika, epistemologi, etika,
logika, estetika maupun kombinasi. (Broudy, 1961, p. 14)
Kemudian, para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkem-
bang saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun
pendidikan pada umumnya bahwa pelaksanan pendidikan tersebut
kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang
kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah
dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman (1995, p. 239) mengemukakan bahwa pelaksanaan
pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara didaktis-
metodis seperti halnya pengajaran umum, dan lebih didasarkan pada
basis pedagogis umum yang berasal dari filsafat pendidikan model Barat,
sehingga lebih menekankan pada tranmisi pengetahuan agama. Untuk
menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat
pendidikan Islam yang kokoh.
Buchori (1994, p. 14) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan
dewasa ini nampaknya mulai kehilangan jati diri, yang antara lain
disebabkan karena penelitian-penelitian lebih concern pada persoalan-
persoalan praktis-operasional dan formal yang terdapat disekolah.
Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional,
termasuk di dalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian
pula riset-riset di dalamnya.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 79


Berbagai keprihatinan para pakar tersebut merupakan indikasi
mengenai pentingnya konstruksi filsafat pendidikan Islam, karena
bagaimanapun filsafat bukanlah penyelidikan yang terpisah dan eksklusif,
tetapi justru merupakan bagian dari kehidupan manusia dan pendidikan.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia,
dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses
pendidikan (Life is Education and Education is Life). (lodge, 1947, p.
23) Sebagai persoalan hidup, maka pendidikan dalam pengembangan
konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem pemikiran filsafat tersebut
di atas yang menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika,
karena problema yang ada dalam lapangan pendidikan juga berada
dalam lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan antara filsafat dan
pendidikan adalah sangat erat.

Pembahasan
Problematika Pendidikan Islam
Mengapa pendidikan Islam sampai saat ini masih jauh tertinggal dengan
Barat dan berada dalam keterpurukan, dan mengapa pola pendidikan Islam
yang digunakan selama ini terkesan lambat untuk membentuk manusia
cerdas, kritis, kreatif, dan bermoral? apa faktor-faktor penyebabnya?
Pertama: format kurikulum yang tidak jelas orientasinya. Orientasi
pendidikan Islam masih tidak terarah pada tujuan yang semestinya sesuai
dengan orientasi Islam. Kedua: implementasi pendidikan Islam masih
memelihara warisan lama, sehingga ilmu yang dipelajari adalah ilmu
klasik dan ilmu modern tidak tersentuh. Ketiga: umat Islam cenderung
terbuai dengan romantisme masa lalu, sehingga mereka sulit dan enggan
melakukan reformasi dan pembaharuan. Keempat: model pembelajaran
pendidikan Islam masih menekankan dan mempertahankan pada
pendekatan intelektual verbalistik dan menegasi interaksi edukatif dan
komunikasi humanistik antara guru dan murid. Kelima: sempitnya
pemahaman terhadap esensi ajaran Islam. Keenam: persoalan konseptual-
teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia

80 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal
serta dunia dan akhirat. Ketujuh: kurangnya respon pendidikan Islam
terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan
sosio-kultural mereka. Kedelapan: realitas pola pendidikan Islam yang
selama ini dipakai cenderung mematikan kreatifitas dan memenjarakan
peserta didik. Pendidikan hanya menuntut anak didik untuk selalu patuh
dan tidak memberikan ruang kebebasan sedikitpun untuk bersikap kritis
dan rasional. Kesembilan: interaksi guru dan murid seperti subjek dan
obyek. Sistem pendidikan Islam banyak tidak didukung oleh guru-guru
yang demokratis, yang memberikan kebebasan kepada anak didik untuk
mengemukakan pendapat secara bebas dan argumentatif. Kesepuluh:
materi dan bahan ajar sudah tidak layak lagi diajarkan, karena tidak
sesuai lagi dengan literatur perkembangan jaman. Kesebelas: metode
pembelajaran yang selama ini digunakan lebih menitik beratkan pada
sistem hafalan bukan proses berfikir logis. Keduabelas: adanya kesalahan
prespektif kebanyakan guru dan umat muslim terhadap anak yang baik.
Mereka berpendapat bahwa anak yang baik adalah anak yang memiliki
kategori anak yang manis, patuh, pandai menyesuaikan diri dan memiliki
disiplin yang kuat. Sementara anak dalam kategori nakal atau durhaka
adalah anak yang suka mengkritik, tidak patuh, dan bandel. Ketigabelas:
tidak harmonisnya akal dan wahyu. Umat Islam masih banyak yang hanya
memandang bahwa akhirat adalah segala-galanya. Belajar logika, filsafat,
matematika, kimia, biologi, dan sains lainnya hukumnya haram. (Ma’arif,
2007, p. 18) Keempatbelas: rendahnya kualitas intelektual dan penguasaan
terhadap teknologi serta profesionalitas tenaga pendidik. Kelimabelas:
bentuk kurikulum pendidikan Islam masih sekuler. Keenambelas:
terjadinya proses imperialisme epistemologi Barat terhadap pemikiran
Islam. (Qomar, 2007, p. 43) Ketujuhbelas: fenomena kurikulum pendidikan
Islam atau kajian keislaman saat ini masih banyak pada dataran rasional,
intelektual, etis, dan irfani, sedikit di wilayah ilmu terapan, skill atau
teknologi. (Assegaf, 2007, p. 34)

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 81


Epistemologi Modern dan Tantangannya
Dalam spektrum pemikiran Islam, pengaruh epistemologi modern
tercermin dari gerakan modernisasi intelektual yang masih berlangsung
hingga hari ini. Gerakan modernisasi ini berupaya mengaktualisasikan
potensi intelektual Islam secara intensif, dalam rangka menginterpretasikan
Islam secara substantif, dengan bercermin pada kemajuan-kemajuan
intelektual dunia Barat (modern) yang telah berlangsung secara efektif.
Namun upaya tersebut, di samping berdampak positif, juga menimbulkan
akses negatif terhadap paradigma pengembangan ilmu-ilmu keislaman
dalam berbagai aspeknya, termasuk aspek pendidikan.
Dalam aspek pendidikan Islam, akses negatif tersebut terlihat dari
dilema epistemologis menghadapi tantangan epistemologi modern ala
Barat dan tuntutan epistemologi tradisional Islam itu sendiri. Sebagai
konsekuensinya, pendidikan Islam secara eksplisit terperangkap ke dalam
beberapa persoalan:
1. Ambivalensi antara pendidikan Islam tradisional dan modern.
Sistem tradisional Islam diakui banyak kelemahan, dan mengalami
krisis kemampuan dalam mengatasi berbagai masalah pendidikan,
sementara sistem pendidikan modern ternyata sudah lebih maju
dan efektif, namun bercorak sekuler.
2. Kesenjangan antara pendidikan Islam dan ajaran Islam.
Kesenjangan ini dikarenakan dikotomi ilmu-ilmu agama (‘ulumul
syar’iy) dan ilmu-ilmu dunia (‘ulumul ‘aqliy). Ilmu-ilmu dunia
seharusnya dapat dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari ilmu-ilmu agama karena agama meliputi semua aspek kehidupan.
Ajaran Islam pada prinsipnya bahkan menekankan kesatuan antara
dunia dan akhirat, keseimbangan urusan dunia dan kepentingan
akhirat.
3. Disintegrasi pendidikan Islam
Disintegrasi ini diakibatkan ketidakjelasan hubungan antara
pendidikan umum dan pendidikan agama. Hubungan pendidikan

82 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


umum dengan pendidikan agama belum terjalin secara utuh, belum
saling menunjang, dan belum saling melengkapi satu sama lain.

Karena itu pendidikan Islam masa kini berhadapan dengan


dua alternatif epistemologi yang keduanya, secara esensial, bersifat
kontraproduktif. Di satu sisi, jika pendidikan Islam hanya bertumpu
pada epistemologi Islam tradisional, maka akan tercerabut dari konteks
kekinian yang bergelimang dengan berbagai tantangan kemajuan. Di sisi
lain, jika pendidikan Islam bersandar pada epistemologi modern semata-
mata, maka akan berbenturan dengan tuntutan nilai-nilai ajaran Islam
itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan Islam memerlukan alternatif
yang ketiga, yaitu suatu kerangka epistemologi yang mampu menjawab
berbagai tuntutan dan tantangan tersebut, sebagaimana yang berkembang
di dalam wacana rekonstruksi epistemologi Islam.

Reformulasi Epistemologi Pendidikan Islam


Pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan yang berkembang di
hampir semua negara ternyata sangat kuat. Pengaruh ini juga menembus
pendidikan Islam, sehingga sistem pendidikan Islam mengalamai banyak
kelemahan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, para pakar
pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam
harus mengadakan pembaruan-pembaruan secara komprehensif agar
terwujud pendidikan Islam yang ideal mencakup berbagai dimensi. Pada
dimensi pengembangan terdapat kesadaran bahwa cita-cita mewujudkan
pendidikan Islam ideal itu baru bisa dicapai bila ada upaya membangun
epistemologinya.
Epistemologi pendidikan Islam ini meliputi pembahasan yang
berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai dari
hakikat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan
Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam,
sasaran pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam, batas
pendidikan Islam dan sebagainya.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 83


Epistemologi pendidikan Islam ini perlu dirumuskan secara
konseptual untuk menemukan syarat-syarat dalam mengetahui pendidikan
berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Syarat-syarat itu merupakan kunci dalam
memasuki wilayah pendidikan Islam, tanpa menemukan syarat-syarat
itu kita merasa kesulitan mengungkapkan hakikat pendidikan Islam,
mengingat syarat merupakan tahapan yang harus dipenuhi sebelum
berusaha memahami dan mengetahui pendidikan Islam yang sebenarnya.
(Qomar, 2007, p. 249)
Dengan demikian epistemologi pendidikan Islam sangat berperan
dalam membuka jalan bagi temuan-temuan khazanah pendidikan Islam
yang dapat dirumuskan secara teoritis dan konseptual. Upaya-upaya
pengembangan pendidikan Islam hanya bisa berjalan secara kondusif,
apabila epistemologi pendidikan Islam telah benar-benar dikuasai oleh
para peneliti atau penggali.
Dewasa ini mungkin masing-masing unsur pendidikan Islam
sedang membutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan atau bahkan
perubahan sama sekali secara mendasar. Kebutuhan ini bisa dipenuhi
melalui penguasaan epistemologi pendidikan Islam. Dari sini mulai
tampak pengaruh epistemologi pendidikan Islam terhadap sistem
pendidikan Islam. Ketika sistem pendidikan Islam mengalami kelemahan
yang cukup fatal, sebenarnya yang perlu ditinjau kembali bukan unsur-
unsur pendidikan Islam sebagai sub sistem, melainkan epistemologinya
dan penguasaan terhadap epistemologi tersebut. Pemikiran ini timbul
berdasarkan hukum sebab akibat.
Oleh karena itu, epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi
sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Melalui
epistemologi pendidikan Islam ini, seseorang pemikir dapat melakukan,
pertama, teori-teori pendidikan pada umumnya maupun pendidikan yang
diklaim sebagai Islam dapat dikritisi dengan salah satu pendekatan yang
dimilikinya. Kedua, epistemologi tersebut bisa memberikan pemecahan
terhadap problem-problem pendidikan, baik secara teoritis maupun
praktis. Ketiga, dengan menggunakan epistemologi, para pemikir dan

84 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


penggali khazanah pendidikan Islam dapat menemukan teori-teori
atau konsep-konsep baru tentang pendidikan Islam. Keempat, dari hasil
temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan secara optimal.
(Qomar, 2007, p. 251)
Mengingat epistemologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang
begitu besar, dan terlebih lagi sebagai penentu atau penyebab timbulnya
akibat-akibat dalam pendidikan Islam, maka ada benarnya pendapat yang
mengatakan bahwa problem utama pendidikan Islam adalah problem
epistemologi. (Mulkhan, 1993, p. 28)
Kita mesti menyadari sepenuhnya epistemologi pendidikan Islam
itu harus menjadi perhatian utama meskipun terlambat. Kita harus
mentradisikan epistemologi itu menjadi bahasan utama dalam proses
pendidikan kita. Abdul Munir Mulkhan (1993, p. 191) mengusulkan,
bahwa jika sasaran utama pendidikan Islam adalah diperolehnya sejumlah
pengetahuan oleh peserta didik, maka proses belajar mengajar seharusnya
menempatkan epistemologi sebagai pendekatan utama. Bahkan mungkin
dapat disarankan proses terhadap mengetahui dapat dipergunakan sebagai
modal proses bertahap pendidikan Islam.

Simpulan
Reformasi epistemologi Islam dalam dunia pendidikan sangat penting
dilakukan demi menghasilkan pendidikan bermutu yang mencerdaskan,
terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut pengetahuan dan
pendidikan umat saat ini. Krisis yang terjadi dalam dunia pengetahuan
dan pendidikan umat saat ini didasari rendahnya motivasi belajar umat
serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan,
terutama dalam bingkai ketauhidan.
Perlu disadari bersama, bahwa ilmu pendidikan Islam selama ini
belum didasarkan pada epistemologi yang jelas dan ini yang membedakan
dengan ilmu hukum Islam. Jika pendidikan menjadi penentu terhadap
kemajuan serta kejayaan peradaban, maka pendidikan Islam harus
diperkokoh. Pendidikan Islam sebagai ilmu dapat eksis secara kokoh,

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 85


manakala didasari oleh epistemologi yang mapan. Oleh karena itu, kita
harus membangun epistemologi pendidikan Islam. Hal ini terasa makin
penting diwujudkan setelah menyadari sepenuhnya terhadap realitas,
bahwa pengaruh pendidikan Barat sangat besar terhadap pendidikan
Islam, sedangkan kondisi pendidikan Islam sendiri sangat lemah, sehingga
produk pendidikan Islam itu tidak mungkin menjadi alternatif yang
mampu mengantarkan kejayaan peradaban Islam.
Epistemologi pendidikan Islam seharusnya mencakup pembahasan
yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai
dari hakikat pendidikan Islam, asal-usul, sumber, metode membangun
pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam,
macam-macam pendidikan Islam, batas pendidikan Islam dan sebagainya.
Dengan adanya reformasi epistemologi pendidikan Islam ini
diharapkan kualitas belajar dan penelitian akan tercapai sehingga
dapat mendorong peserta didik dan pengajar untuk melakukan proses
KBM dalam bingkai tauhid. Di samping itu, rekonstruksi epistemologi
pendidikan Islam ini bertujuan untuk mewujudkan model pendidikan
Islam yang mencerdaskan.

Daftar Pustaka
Arifin, M. (1991). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Achmad, Amrullah. (1991). “Kerangka Dasar Masalah Paradigma
Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa. Pendidikan Islam di Indonesia
Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
A. M, Saefuddin. et.al. (1991). Desekulerisasi Pemikiran: Landasan
Islamisasi. Bandung: Mizan.
Achmad, Mudlor. (1994). Ilmu Dan Keinginan Tahu (Epistemologi Dalam
Filsafat). Bandung: Trigenda Karya.
Abdurrahman, Muslim. (1995). Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka
Firadaus.

86 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Azra, Azyumardi. (1999). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Barzun, J. (1964). Science: the glorious entertainment. New York: Harper
& Row Publishers.
Barnadib, Imam. (1987). Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode).
Yogyakarta: FIP IKIP.
Bagir, Haidar, dan Abidin, Zainal. (1991). Filsafat-Sains Islami: Kenyataan
Atau Khayalan, dalam Mahdi Ghulsyani. Filsafat-Sains menurut
Alquran. Cet. IV. Terj Agus Effendi. Bandung: Mizan.
Buchori, Mochtar. (1994). Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan
Dalam Renungan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
C. Lodge, Rupert. (1947). Philosophy of Education. New York: Harper &
Brothers.
Harold, Titus, et.al. (1984). Persoalan-persoalan Filasafat. terj. Rasyidi.
Jakarta: Bulan Bintang.
Hadiwijono, Harun. (1990). Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta:
Kanisius.
Hamdani, Ihsan. (1998). Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Louis, Kattsof. (1987). Element of Philosophy. terj. Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Maritain, Jacques. (1959). The Degrees Of Knowledge. New York: Scribner.
Ma’arif, A. Syafi’i. (1991). “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan
Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia
Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Ma’arif, Syamsul. (2007). Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Muntasir, M. Saleh. (1985). Mencari Evidensi Islam: Analisa Awal Sistem
Filsafat Strategi dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: CV.
Rajawali.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 87


Muhadjir, Noeng. (1996). Pendidikan Islam untuk masa depan
kemanusiaan. Cirebon: IAIN SGD.
Munir Mulkhan, (1993). Abdul. Paradigma Intelektual Muslim Pengantat
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress, 1993.
Qomar, Mujamil. (2007). Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode
Rasional Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Rahman Assegaf, Abdur. (2007). Pendidikan Islam Di Indonesia.
Yogyakarta: Suka Press.
S. Broudy, Harry. (1961). Building a Philosophy of Education. New Jersey:
Englewood Cliffs, Prentice Hall, Inc.
Wibisono, Koento. (1988). Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah
Sketsa Umum Sebagai Pengantar Untuk Memahami Hakekat Ilmu
dan Kemungkinan Pembangunannya. Yogyakarta: IKIP.
Biografi Singkat Penulis
Ruma Mubarak merupakan dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sedangkan Nurul Lail Rosyidatul
Mu’ammaroh merupakan dosen Fakultas PSikologi dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Raden Rahmat Malang. Keduanya merupakan dosen
yang produktif dalam menulis dan publikasi.

88 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Konsep Multiple Intelligence
& Penerapannya Dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam

Maria1, Siti Rohmah* 2, A.Zaky Mauludi3, Aqila AR4, Marsyah QR5,


M.Rifky6, Imam Jalalludin7, Mahmudin Sudin8
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Indonesia1-8
Email: siti.rohmah@umj.ac.id,2 mauludizaky@gmail.com,3 aqilaazizah2002@gmail.com,4
rizkymarsya04@gmail.com,5 mohrifki300@gmail.com,6 jalalludinimam26@gmail.com,7
mahmudinsudin@umj.ac.id8

Pendahuluan
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada
manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dan dengan kecerdasan Allah
SWT menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya yang mempunyai
bentuk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-Nya yang
lain. Allah menegaskan di dalam QS. at-Tin ayat 4:
َْ َ ْ َ َ ْ َ َْ َ ْ ََ
‫لقد خلقنا الإن َسان ِفي أحس ِن تق ِو ٍيم‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” (Departemen Agama RI, 2008)

Pendidikan di Indonesia selama ini menilai kecerdasan manusia terlalu


sempit, manusia dianggap hanya memiliki satu kecerdasan yang dapat
diukur yang disebut kecerdasan logika-matematika, sedangkan alat yang
digunakan untuk mengukur kecerdasan tersebut adalah tes IQ. Praktek-
praktek pembelajaran di Indonesia yang masih mengandalkan pada
cara-cara yang lama yang menganggap anak hanya perlu melaksanakan
kewajiban yang telah digarisbawahkan oleh guru dan orang tua harus

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 89


diubah. Pembelajaran satu arah, berorientasi pada keinginan guru dan
kurikulum, dan cenderung sangat mengutamakan prestasi akademik saja
perlu dikaji ulang, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat. (Suparlan, 2004).
Kecenderungan pembelajaran yang selalu menekankan pada prestasi
akademik ini akan menghasilkan generasi muda yang kurang berinisiatif
seperti menunggu instruksi, takut salah, malu mendahului yang lain,
hanya ikut-ikutan, salah tetapi masih berani bicara (tidak bertanggung
jawab), mudah bingung karena kurang memiliki percaya diri, serta tidak
peka terhadap lingkungannya. Di samping itu generasi demikian akan
memiliki sifat-sifat yang tidak sabar, ingin cepat berhasil walaupun melalui
jalan pintas, kurang menghargai proses, mudah marah sehingga banyak
menimbulkan kerusuhan dan tawuran.
Pendekatan di dalam pembelajaran yang sangat mementingkan aspek-
aspek akademik cenderung memberikan tekanan pada perkembangan
intelegensi hanya terbatas pada aspek kognitif, sehingga manusia telah
dipersempit menjadi sekedar memiliki kecerdasan kognitif atau yang
sering disebut IQ. Howard Gardner memperkenalkan penelitiannya yang
berkaitan dengan multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Teorinya
menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia.
Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan
dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian
besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spektrum kecerdasan,
tetapi setiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda. Individu
memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan itu bergabung manjadi
satu kesatuan dan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.
(Theory_of_Multiple_Intelligences.htm)
Setiap kecerdasan tampak memiliki urutan perkembangan sendiri,
tumbuh dan menjelma pada waktu yang berbeda dalam suatu kehidupan.
Setiap orang memiliki kecenderungan pada bidangnya masing-masing.
Penemuan Howard Gardner ini akan membuat sebuah sistem pendidikan
menjadi terbuka sesuai dengan polanya masing-masing. Howard Gardner

90 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


memberikan definisi tentang kecerdasan sebagai kecakapan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan, mengembangkan
masalah untuk dipecahkan, untuk membuat sesuatu atau melakukan
sesuatu yang bermanfaat di dalam kehidupan.
Dalam pendidikan, guru menginginkan siswanya berhasil. Seorang
guru ketika memilih karir menjadi pendidik dan sebagai pendidik
akan merasa puas jika dapat membuat perubahan dalam kehidupan
generasi muda. Oleh karena itu, sudah seharusnya para guru tidak hanya
menggunakan satu metode dalam pengajaran, guru dapat menggunakan
berbagai macam variasi model yang berlainan disesuaikan dengan
intelegensi peserta didik, sebab para peserta didik mempunyai intelegensi
yang berbeda dan siswa akan lebih mudah belajar bila materi disajikan
dengan cara yang sesuai dengan intelegensi mereka yang menonjol.
(Suparlan, 2004). Berdasarkan uraian tersebut, maka merasa penting
untuk melakukan kajian mendalam tentang Konsep Multiple Intelligence
& Penerapannya Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Pembahasan
Multiple Intellegence
Kecerdasan (inteligensi) merupakan salah satu dari beberapa gejala
kejiwaan yang sulit dipahami. Padahal sudah tidak diragukan lagi,
bagaimana peranannya dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya
dalam bidang pendidikan dan pengajaran. (Add.Rachman Abror, 1993)
Kecerdasan sebagai “kemampuan untuk memecahkan masalah atau
menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya
atau lebih “. Dengan kata lain, kecerdasan dapat bervariasi menurut
konteksnya. (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2006)
Gardner menyatakan bahwa ada delapan macam komponen kecer-
dasan, yang disebutnya dengan Multiple Intelegence (Intelegensi Ganda)
yaitu meliputi: (1) kecerdasan linguistic-verbal dan (2) kecerdasan
logiko-matematik yang sudah dikenal sebelumnya, ia menambahkan
dengan komponen kecerdasan lainnya yaitu (3) kecerdasan spasial-visual,

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 91


(4) kecerdasan ritmik-musik, (5) kecerdasan kinestetik, (6) kecerdasan
interpersonal, (7) kecerdasan intrapersonal, (8) kecerdasan naturalis.
(Howard Gardner, 1983).

Kecerdasan Linguistic-Verbal
Kecerdasan ini berupa kemampuan untuk menyusun pikirannya dengan
jelas juga mampu mengungkapkan pikiran dalam bentuk kata-kata
seperti berbicara, menulis, dan membaca. Orang dengan kecerdasan
verbal ini sangat cakap dalam berbahasa, menceriterakan kisah, berdebat,
berdiskusi, melakukan penafsiran, menyampaikan laporan dan berbagai
aktivitas lain yang terkait dengan berbicara dan menulis. Kecerdasan ini
sangat diperlukan pada profesi pengacara, penulis, penyiar radio/televisi,
editor, guru. Kecerdasan Linguistic-Verbal memiliki ciri-ciri kemampuan
sebagai berikut:
1. Mampu membaca, mengerti apa yang dibaca.
2. Mampu mendengar dengan baik dan memberikan respons dalam
suatu komunikasi verbal.
3. Mampu menirukan suara, mempelajari bahasa asing, mampu
membaca karya orang lain.
4. Mampu menulis dan berbicara secara efektif.
5. Tertarik pada karya jurnalism, berdebat, pandai menyampaikan
cerita atau melakukan perbaikan pada karya tulis.
6. Mampu belajar melalui pendengaran, bahan bacaan, tulisan dan
melalui diskusi, ataupun debat.
7. Peka terhadap arti kata, urutan, ritme dan intonasi kata yang
diucapkan.
8. Memiliki perbendaharaan kata yang luas, suka puisi, dan permainan
kata.
9. Profesi: pustakawan, editor, penerjemah, jurnalis, tenaga bantuan
hukum, pengacara, sekretaris, guru bahasa, orator, pembawa acara
di radio / TV, dan sebagainya. (Howard Gardner, 1983).

92 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Kecerdasan Logika-Matematika
Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi
dengan angka-angka dan bilangan, berpikir logis dan ilmiah, adanya
konsistensi dalam pemikiran. Seseorang yang cerdas secara logika-
matematika seringkali tertarik dengan pola dan bilangan/angka-angka.
Mereka belajar dengan cepat operasi bilangan dan cepat memahami
konsep waktu, menjelaskan konsep secara logis, atau menyimpulkan
informasi secara matematik. Kecerdasan ini amat penting karena akan
membantu mengembangkan keterampilan berpikir dan logika seseorang.
Dia menjadi mudah berpikir logis karena dilatih disiplin mental yang
keras dan belajar menemukan alur pikir yang benar atau tidak benar.
Di samping itu juga kecerdasan ini dapat membantu menemukan cara
kerja, pola, dan hubungan, mengembangkan keterampilan pemecahan
masalah, mengklasifikasikan dan mengelompokkan, meningkatkan
pengertian terhadap bilangan dan yang lebih penting lagi meningkatkan
daya ingat. Kecerdasan logika-matematika memiliki ciri-ciri kemampuan
sebagai berikut:
1. Mengenal dan mengerti konsep jumlah, waktu dan prinsip sebab-akibat.
2. Mampu mengamati objek dan mengerti fungsi dari objek tersebut.
3. Pandai dalam pemecahan masalah yang menuntut pemikiran logis.
4. Menikmati pekerjaan yang berhubungan dengan kalkulus,
pemograman komputer, metode riset.
5. Berpikir secara matematis dengan mengumpulkan bukti-bukti,
membuat hipotesis, merumuskan dan membangun argumentasi kuat.
6. Tertarik dengan karir di bidang teknologi, mesin, teknik, akuntansi,
dan hukum.
7. Menggunakan simbol-simbol abstrak untuk menjelaskan konsep
dan objek yang konkret.
8. Profesi: auditor, akuntan, ilmuwan, ahli statistik, analisis / programer
komputer, ahli ekonomi, teknisi, guru IPA / Fisika, dan sebagainya.
(Howard Gardner, 1983).

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 93


Kecerdasan Spasial-Visual
Kecerdasan ini ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk melihat
secara rinci gambaran visual yang terdapat di sekitarnya. Kecerdasan
Spasial-Visual memiliki ciri-ciri kemampuan sebagai berikut.
1. Senang mencoret-coret, menggambar, melukis dan membuat patung.
2. Senang belajar dengan grafik, peta, diagram, atau alat bantu visual
lainnya.
3. Kaya akan khayalan, imaginasi dan kreatif.
4. Menyukai poster, gambar, film dan presentasi visual lainnya.
5. Pandai main puzzle, mazes dan tugas-lugas lain yang berkaitan
dengan manipulasi.
6. Belajar dengan mengamati, melihat, mengenali wajah, objek, bentuk,
dan warna.
7. Menggunakan bantuan gambar untuk membantu proses mengingat.
8. Profesi: insinyur, surveyor, arsitek, perencana kota, seniman grafis,
desainer interior, fotografer, guru kesenian, pilot, pematung, dan
sebagainya. (Howard Gardner, 1983).
Kecerdasan Ritmik-Musikal
Kecerdasan ritmik-musikal adalah kemampuan seseorang untuk
menyimpan nada di dalam benaknya, untuk mengingat irama, dan secara
emosional terpengaruh oleh musik. Kecerdasan musikal merupakan
suatu alat yang potensial karena harmoni dapat merasuk ke dalam jiwa
seseorang melalui tempat-tempat yang tersembunyi di dalam jiwa (Plato).
Musik dapat membantu seseorang mengingat suatu gerakan tertentu,
perhatikan seseorang atau sekelompok orang yang sedang menari atau
berolahraga senam ritmik mesti selalu disertai dengan alunan musik.
Banyak pakar berpendapat bahwa kecerdasan musik merupakan
kecerdasan pertama yang harus dikembangkan dilihat dari sudut pandang
biologi/saraf kekuatan musik, suara dan irama dapat menggeser pikiran,
member ilham, meningkatkan ketakwaan, meningkatkan kebanggaan
nasional dan mengungkapkan kasih sayang untuk orang lain. Kecerdasan

94 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


musikal dapat memberi nilai positip bagi siswa karena: (a) meningkatkan
daya kemampuan mengingat; (c) meningkatkan prestasi/kecerdasan; (c)
meningkatkan kreativitas dan imajinasi.
Sekelompok siswa yang kepadanya diperdengarkan musik selama
delapan bulan mengalami peningkanan dalam IQ spatial sebesar 46%
sementara kelompok kontrol yang tidak diperdengarkan musik hanya
meningkat 6%.Mungkin sering kita melihat ada siswa atau orang yang
lebih suka belajar bila ada musik yang diperdengarkan (Gaya belajar
auditory). Pada orang ini informasi akan lebih mudah tersimpan di dalam
memorinya , karena mereka mampu mengoasiasikan irama musik dengan
informasi pengetahuan yang mereka baca meskipun kadang-kadang
mereka tidak menyadarinya. (May Lim, 2008)
Kecerdasan ritmik-musikal memiliki ciri-ciri kemampuan sebagai
berikut.
1. Menyukai banyak jenis alat musik dan selalu tertarik untuk
memainkan alat musik.
2. Mudah mengingat lirik lagu dan peka terhadap suara-suara.
3. Mengerti nuansa dan emosi yang terkandung dalam sebuah lagu.
4. Senang mengumpulkan lagu, baik CD, kaset, atau lirik lagu.
5. Mampu menciptakan komposisi musik.
6. Senang improvisasi dan bermain dengan suara.
7. Menyukai dan mampu bernyanyi.
8. Tertarik untuk terjun dan menekuni musik, baik sebagai penyanyi
atau pemusik.
9. Mampu menganalisis / mengkritik suatu musik.
10. Profesi: DJ, musikus, pembuat instrumen, tukang stem piano, ahli
terapi musik, penulis lagu, insinyur studio musik, dirigen orkestra,
penyanyi, guru musik, penulis lirik lagu, dan sebagainya. (Howard
Gardner, 1983).
Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan ini ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk membangun
hubungan yang penting antara pikiran dengan tubuh, yang memungkin

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 95


tubuh untuk memanipulasi objek atau menciptakan gerakan. Kecerdasan
ini amat penting karena bermanfaat untuk (a) meningkatkan kemampuan
psikomotorik, (b) meningkatkan kemampuan sosial dan sportivitas, (c)
membangun rasa percaya diri dan harga diri dan sudah barang tentu
(d) meningkatkan kesehatan. Kecerdasan Kinestetik memiliki ciri-ciri
kemampuan sebagai berikut:
1. Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan dalam
menggunakan tubuh kita secara trampil untuk mengungkapkan
ide, pemikiran, perasaan, dan mampu bekerja dengan baik dalam
menangani objek.
2. Memiliki kontrol pada gerakan keseimbangan, ketangkasan, dan
keanggunan dalam bergerak.
3. Menyukai pengalaman belajar yang nyata seperti field trip, role play,
permainan yang menggunakan fisik.
4. Senang menari, olahraga dan mengerti hidup sehat.
5. Suka menyentuh, memegang atau bermain dengan apa yang sedang
dipelajari.
6. Suka belajar dengan terlibat secara langsung, ingatannya kuat terhadap
apa yang dialami atau dilihat.
7. Profesi: ahli terapi fisik, ahli bedah, penari, aktor, model, ahli mekanik
/ montir, tukang bangunan, pengrajin, penjahit, penata tari, atlet
profesional, dan sebagainya. (Howard Gardner, 1983).
Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan ini berkait dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang
harus dapat memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud
dan keinginan teman interaksinya, kemudian memberikan respon yang
layak. Orang dengan kecerdasan Interpersonal memiliki kemampuan
sedemikian sehingga terlihat amat mudah bergaul, banyak teman dan
disenangi oleh orang lain. Di dalam pergaulan mereka menunjukkan
kehangatan, rasa persahabatan yang tulus, empati. Selain baik dalam
membina hubungan dengan orang lain, orang dengan kecerdasan ini

96 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


juga berusaha baik dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan perselihanan dengan orang lain. Kecerdasan ini
amat penting, karena pada dasarnya kita tidak dapat hidup sendiri (No
man is an Island). Orang yang memiliki jaringan sahabat yang luas tentu
akan lebih mudah menjalani hidup ini. Seorang yang memiliki kecerdasan
“bermasyarakat” akan (a) mudah menyesuaikan diri, (b) menjadi orang
dewasa yang sadar secara sosial, (b) berhasil dalam pekerjaan. Kecerdasan
Interpersonal memiliki ciri-ciri kemampuan sebagai berikut:
1. Memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pandai menjalin
hubungan sosial.
2. Mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku, dan harapan
orang lain.
3. Memiliki kemampuan untuk memahami orang lain dan berkomunikasi
dengan efektif, baik secara verbal maupun non-verbal.
4. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kelompok yang
berbeda, mampu menerima umpan balik yang disampaikan orang
lain, dan mampu bekerja sama dengan orang lain.
5. Mampu berempati dan mau mengerti orang lain.
6. Mau melihat sudut pandang orang lain.
7. Menciptakan dan mempertahankan sinergi.
8. Profesi: administrator, manager, kepala sekolah, pekerja bagian
personalia / humas, penengah, ahli sosiologi, ahli antropologi, ahli
psikologi, tenaga penjualan, direktur sosial, CEO, dan sebagainya.
(Howard Gardner, 1983).
Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan yang menyangkut kemampuan
seseorang untuk memahami diri sendiri dan bertanggungjawab atas
kehidupannya sendiri. Orang-orang dengan kecerdasan ini selalu berpikir
dan membuat penilaian tentang diri mereka sendiri, tentang gagasan, dan
impiannya. Mereka juga mampu mengendalikan emosis mereka untuk
membimbing dan memperkaya dan memperluas wawasan kehidupan

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 97


mereka sendiri. Kecerdasan ini memiliki ciri-ciri kemampuan sebagai
berikut.
1. Mengenal emosi diri sendiri dan orang lain, serta mampu menyalurkan
pikiran dan perasaan.
2. Termotivasi dalam mengejar tujuan hidup.
3. Mampu bekerja mandiri, mengembangkan kemampuan belajar yang
berkelanjutan dan mau meningkatkan diri.
4. Mengembangkan konsep diri dengan baik.
5. Tertarik sebagai konselor, pelatih, filsuf, psikolog atau di jalur spiritual.
6. Tertarik pada arti hidup, tujuan hidup dan relevansinya dengan
keadaaan saat ini.
7. Mampu menyelami / mengerti kerumitan dan kondisi manusia.
8. Profesi: ahli psikologi, ulama, ahli terapi, konselor, ahli teknologi,
perencana program, pengusaha, dan sebagainya. (Howard Gardner,
1983).
Kecerdasan Naturalis
Kemampuan untuk mengenali dan mengelompokkan serta menggambarkan
berbagai macam keistimewaan yang ada di lingkungannya. Kecerdasan
naturalis ini berkaitan dengan wilayah otak bagian kiri, yakni bagian yang
peka terhadap pengenalan bentuk atau pola kemampuan membedakan
dan mengklasifikasikan sesuatu. Jika anak dengan mudah dapat menandai
pola benda-benda alam, dan mengingat benda-benda alam yang ada di
sekitarnya, maka anak dapat dikatakan memiliki kecerdasan naturalis
tinggi. Kecerdasan naturalis memiliki ciri-ciri kemampuan sebagai berikut.
1. Suka mengamati, mengenali, berinteraksi, dan peduli dengan objek
alam, tanaman atau hewan.
2. Antusias akan lingkungan alam dan lingkungan manusia.
3. Mampu mengenali pola di antara spesies.
4. Senang berkarir di bidang biologi, ekologi, kimia, atau botani.
5. Senang memelihara tanaman, hewan.
6. Suka menggunakan teleskop, komputer, binocular, mikroskop untuk
mempelajari suatu organisme.

98 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


7. Senang mempelajari siklus kehidupan flora dan fauna.
8. Senang melakukan aktivitas outdoor, seperti: mendaki gunung,
scuba diving (menyelam).
9. Profesi: dokter hewan, ahli botani, ahli biologi, pendaki gunung,
pengurus organisasi lingkungan hidup, kolektor fauna/flora, penjaga
museum zoologi/botani dan kebun binatang, dan sebagainya. (Howard
Gardner, 1983).
Kecerdasan Eksistensial (kecerdasan makna)
Anak belajar sesuatu dengan melihat ‘gambaran besar’, “Mengapa kita
di sini?” “Untuk apa kita di sini?” “Bagaimana posisiku dalam keluarga,
sekolah dan kawan-kawan?”. Kecerdasan ini selalu mencari koneksi-
koneksi antar dunia dengan kebutuhan untuk belajar.

Penerapan Konsep Multiple Intelligences Dalam


Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Mengenal multiple intelligences siswa merupakan hal terpenting dalam
proses pembelajaran, salah satunya adalah bagaimana seorang guru mampu
menyampaikan informasi dengan baik selanjutnya disebut sebagai gaya
mengajar. Begitu juga, bagi siswa harus dapat menerima informasi yang
disampaikan oleh gurunya secara baik pula yang selanjutnya saya sebut
sebagai gaya belajar. Sedangkan gaya belajar adalah bagaimana sebuah
informasi dapat diterima dengan baik oleh siswa. Gaya belajar siswa
mengacu pada cara siswa memilih untuk menerima atau memproses
informasi baru. Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda.
Beberapa siswa mungkin menemukan bahwa mereka memiliki pilihan
gaya belajar atau cara menyelesaikan masalah dengan gaya belajar yang
lain. Siswa lain mungkin menemukan bahwa mereka menggunakan gaya
yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Sebagai guru, perlu untuk
mengetahui gaya belajar siswa. Guru harus mampu membantu mereka
untuk memaksimalkan dan menggunakan gaya belajar mereka, dan
mengembangkan kemampuan yang kurang dominan. Dengan demikian,

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 99


guru perlu menyampaikan informasi dengan menggunakan gaya mengajar
yang berbeda. (Conner, 2008)

Anak Visual (spatial)


Anak visual banyak belajar dan menyerap informasi dari apa-apa yang
dilihatnya. Mereka sangat menyukai gambar, warna, diagram, dan segala
yang terlihat, baik dalam bentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Anak visual
biasanya juga spasial, pandai membayangkan ruang 3 dimensi. Jika
bepergian ke suatu tempat, mereka tidak mengingat berdasarkan nama
jalan, tetapi bangunan atau simbol yang mereka lihat sebagai penanda
visual. Media dan cara belajar adalah sebagai berikut:
1. menggunakan gambar, diagram, grafik, warna-warni, besar-kecil,
2. belajar berkhayal secara visual, membayangkan sebuah
3. konsep/informasi dengan: tempat, bentuk, warna,
4. menggunakan layout, spasial, peta, maket, realitas
5. mainan: kamera, pensil/spidol warna, balok aneka warna,
6. ganti kata dengan gambar; bantu pemahaman kata dengan warna.
(Howard Gardner, 1983).
Anak Aural (auditory-musical)
Anak aural menyerap informasi dengan pendengaran; baik suara maupun
musik. Mereka sensitif dengan intonasi, irama, dinamika, tempo, keras-
pelan, suara jauh-dekat. Anak aural belajar sambil mendengarkan musik,
tidak menyukai “kesunyian”. Mereka senang bersenandung, membuat
nada/rima sendiri. Bagi anak aural, bunyi/nada/lagu membawa pada
sebuah emosi atau peristiwa tertentu. Walaupun sedang membaca buku,
mereka membutuhkan suara/musik untuk menemaninya. Media dan
cara belajar adalah sebagai berikut:
1. menggunakan metode ceramah/kuliah
2. menggunakan melodi untuk teks; bergumam
3. membaca dengan suara keras (read aloud)
4. membangun suasana musikal utk menciptakan suasana
5. menggunakan media audio visual CD/VCD

100 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


6. mendengarkan kuliah/pidato/radio di rumah dan jalan. (Howard
Gardner, 1983).
Anak Verbal (linguistic)
Anak verbal menyukai kata dan bahasa. Mereka pandai membuat distingsi
makna kata, baik secara lisan maupun tulisan. Anak-anak verbal memilih
kata, berkata-kata atau menulis secara terstruktur dengan pilihan kata/
kalimat yang baik. Mereka sensitif terhadap pilihan kata dan mengingat
sebuah tempat/peristiwa/konsep dengan nama dan kata-kata kunci.
Anak-anak verbal biasanya senang membaca dan menulis; membuat
sajak, puisi, diari, rima, berpidato, dan sebagainya. Media dan cara belajar
adalah sebagai berikut:
1. menggunakan cara yang umum seperti di kelas
2. buku dan ceramah
3. melakukan diskusi
4. membaca dan menulis
5. bermain peran/role play. (Howard Gardner, 1983).
Anak fisik
Anak fisik menggunakan anggota badan mereka untuk belajar. Mereka
senang mencoba dan melakukan segala sesuatu sendiri (learning by doing).
Mereka belajar dengan cara: menyentuh, membangun, memperbaiki,
membuat. Mereka seringkali tidak sabar membaca buku petunjuk atau
diagram, dan langsung ingin mencoba melakukan sendiri. Anak-anak
fisik sensitif terhadap tekstur, cara kerja, dan realitas fisik yang terlihat
nyata di hadapannya. Mereka tidak suka berkhayal atau membayangkan.
Media dan cara belajar adalah sebagai berikut:
1. menggunakan pekerjaan tangan, hands-on projects
2. menulis, menggambar, membuat maket
3. merakit benda, memperbaiki barang rusak, membuat rancangan
4. berolahraga dan permainan
5. aktivitas di luar rumah
6. drama dan permainan peran

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 101


7. balok, robot, mesin, alat-alat olahraga. (Howard Gardner, 1983).
Anak Logis (mathematical)
Anak logis menggunakan logika, argumen, dan mencari pola keteraturan.
Anak logis senang mencari struktur dan pola dari segala sesuatu yang ada
di sekitarnya. Mereka pandai mencari hubungan, membuat perbandingan,
memilah dan membuat klasifikasi. Anak logis senang melakukan pekerjaan
mental/berfikir. Anak logis adalah tipikal anak yang berhasil di model
belajar seperti sekolah. Masyarakat saat ini sangat menghargai anak logis.
Media dan cara belajar adalah sebagai berikut:
1. menggunakan buku & teori mengenai berbagai hal
2. bermain puzzle dan teka-teki
3. membuat aturan dan prosedur yang jelas
4. membuat rencana dan jadwal. (Howard Gardner, 1983).
Anak sosial (interpersonal).
Anak sosial memiliki kecenderungan untuk bergaul dan berkelompok
secara sosial. Mereka supel dan pandai bergaul dengan siapapun, baik
dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua/lebih muda. Orang
mendengarkan dan menyukai mereka. Mereka menikmati pertemanan,
berbagi cerita atau ilmu dengan orang lain. Anak sosial mendapatkan
ilmu dari mendengarkan orang lain atau mencari umpan balik dari
respon orang lain terhadap apa-apa yang disampaikannya. Media dan
cara belajar adalah sebagai berikut:
1. mengikuti kelompok, klub, organisasi
2. proyek yang dikerjakan bersama berdiskusi dan bermain peran
(role-playing)
3. melakukan kegiatan lapangan yang melibatkan banyak orang
4. mengikuti seminar atau training dengan sistem kelas. (Howard
Gardner, 1983).
Anak Penyendiri (intrapersonal)
Anak penyendiri memiliki kecenderungan pendiam dan reflektif.
Mereka lebih efektif untuk belajar jika seorang diri, bukan dalam

102 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


kelompok. Anak penyendiri biasanya memiliki kecenderungan
untuk mandiri, mengenali kekuatan dan kekurangan pribadi.
Anak penyendiri sensitif terhadap pribadi dan kedalaman saat
mempelajari atau mengerjakan sesuatu. Media & cara belajar ada-
lah sebagai berikut:
1. menekuni hobi atau sesuatu yang ditekuni
2. mengeksplorasi buku atau materi-materi yang bisa dilakukan sendiri
3. Mengerjakan proyek mandiri
4. membuat jurnal, diari, blog. (Howard Gardner, 1983).

Faktor-faktor yang mempengaruhi multiple


intelligences siswa
Lingkungan keluarga adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
multiple intelligences siswa. Dalam lingkungan keluarga orang tua mampu
memposisikan diri sebagai orang tua bagi anak dengan memberikan
perhatian dan percaya pada kemampuan anak dalam melakukan tugas
atau latihan, hal ini sesuai dengan yang menyatakan bahwa perhatian
orang tua terhadap kemampuan anak sangat berpengaruh positif pada
multiple intelligences anak sedangkan ketidakpercayaan orang tua terhadap
kemampuan anak akan berpengaruh negatif multiple intelligences anak.
(Tientje, 2002)
Pada faktor lingkungan sekolah, siswa mengetahui kurikulum
yang diterapkan sekolah dan cara guru mengajar sudah sesuai dengan
perkembangan anak dan menurut subjek sekolah cukup berperan
mengembangkan multiple intelligences anak selain orang tua, dalam
program yang dibuat oleh sekolah yaitu program yang mendorong anak
untuk menyukai belajar dan melaksanakan tugas-tugas sekolah bukan
sekedar suka pergi ke sekolah sehingga anak dapat mengembangkan
multiple intelligencesnya dengan baik dan anak harus belajar mengikuti
temponya sendiri, sesuai dengan taraf kematangannya dan tanpa paksaan
untuk menyesuaikan dengan anak lain. (Nurlaila, Tientje & Yul Iskandar,
2004)

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 103


Faktor yang yang mempengaruhi multiple intelligences anak
adalah kesehatan, subjek memberikan makanan yang sehat dan bergizi
sesuai dengan perkembangan anak selain kesehatan fisik, subjek juga
memperhatikan kesehatan mental anak dengan mengajarkan untuk tidak
cepat kecewa dengan memberi semangat dan mengalihkan perhatiannya
jika sedang kecewa, menumbuhkan rasa percaya diri dengan memberi
pujian dan percaya bahwa anak bisa melakukan tugas sendiri.
Dalam kesehatan mental, subjek juga mengajarkan menentukan
tujuan dalam mengerjakan tugas dengan menjelaskan pada anak
fungsi dan tujuan dari benda atau tugas yang sedang dikerjakan, serta
memperkenalkan pada anak perannya dalam keluarga dan mengajarkan
agama kepada anak dengan mengenalkan Allah SWT dan mengajarkan
doa-doa pendek pada anak.

Strategi menerapkan model pembelajaran berbasis


Multiple Intelligences dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam
Strategi pembelajaran Multiple Intelligences adalah upaya mengoptimalkan
semua kecerdasan (kecerdasan majemuk) yang dimiliki mencapai
kompetensi tertentu yang terdapat dalam kurikulum. Sintaks Model
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk):

Fase 1
Guru merencanakan pendekatan pembelajaran berdasarkan kurikulum
yang berlaku. Dua mengajarkan kecerdasan melalui kurikulum: 1) Memulai
satu jenis kecerdasan untuk memikirkan tugas-tugas yang menggabungkan
berbagai ranah kurikulum. Namun guru kurang disukai karena cukup
banyak menyita waktu dan perhatian mereka yang ditambahkan ranah
lainnya pada kurikulum mereka yang terkadang sudah sangat padat. 2)
Disisipkan kedalam kurikulum reguler, mengambil ranah kurikulum untuk
menencanakan pendekatan yang melibatkan masing-masing kecerdasan.

104 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Fase 2
Guru merencanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang ingin
dicapai pada setiap mata diklat.

Fase 3
Guru menentukan metode/teknik pembelajaran yang sesuai/cocok
dengan kompetensi yang ingin dicapai pada setiap mata diklat. Kemudian
Guru mengidentifikasi jenis kecerdasan yang paling dominan/efektif
digunakan sesuai dengan teknik/metode yang digunakan. Metodologi
pendidikan terdiri dari semua teknik dan strategi yang digunakan oleh
pendidik. Seorangpun dapat menjamin bahwa teknik dan strategi didalam
metodologi pendidikan tersebut apakah berhasil menunjang bakat siswa
atau malah memperkuat kelemahan mereka. Kooperatif pembelajaran
sebagai cara aktif melibatkan kecerdasan interpersonal, mengajak siswa
untuk bekerjasama dengan baik dengan orang lain.
Gardner didalam bukunya tidak menyebutkan secara khusus cara
tertentu untuk menerapkan teori Kecerdasan Majemuknya pada pengajaran
di kelas. Gardner tidak berniat hendak menekankan apalagi mendesakkan
sejenis pengendalian ketat atas sekolah yang mengimplementasikan teori-
teorinya. Akibatnya, tak satupun sekolah yang menerapkan Kecerdasan
Majemuk melakukan hal yang sama. Sebagian, seperti Key School
di Indiana Polis, Indiana, memberikan bobot yang sama pada setiap
kecerdasan dalam sistem pendidikannya. Sebagian yang lain, seperti
Sekolah Dasar Hart-Ransom di Modesto, California mempertahankan
sistem pendidikan tradisional tetapi menyusun ulang kurikulumnya
untuk memberi siswa “setidaknya tujuh cara untuk mempelajarinya”
(Julia Jasmin, 2007).

Fase 4
Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan meminta
siswa untuk ikut berperan aktif dan bekerjasama mengenali dan
mengoptimalkan jenis-jenis kecerdasan yang ada pada diri mereka.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 105


Fase 5
Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan perencanaan pembelajaran
yang telah dibuat. Selama pelaksanaan pembelajaran, guru mengobservasi
keterlaksanaan kecerdasan majemuk dan identifikasi jenis-jenis kecerdasan
yang muncul pada diri siswa.
Belajar akan Efektif dalam Keadaan “Fun” (menyenangkan). Sebagai
teori tentang otak manusia terdiri tiga bagian, yang terdiri reptil, otak
tengah (sistim limbik), dan otak berpikir (neokorteks). Selain perasaan
pembelajaran (siswa) dalam keadaan positif (gembira, senang), pikiran
siswa akan “naik tingkat” dari otak tengah ke neokorteks (otak berpikir).
Inilah dimaksud dengan belajar akan efektif. Sebaliknya, manakala
perasaan siswa dalam keadaan negative (tegang, takut) pikiran siswa akan
“turun tingkat” dari otak tengah menuju otak reptile. sehingga, belajar
tidak akan berjalan atau berhenti sekali.
Selain mempertimbangkan motivasi belajar anak, pihak sekolah pun
perlu mendesain ruang belajar atau kelas semenarik mungkin. Dengan
begitu anak merasa nyaman dan senang belajar di ruang tersebut. Desain
ruang belajar tidak harus selalu dengan menempatkan bangku dan meja
berjajar menghadap ke depan kelas, namun kita juga dapat mendesain
ulang ruang belajar dengan menempatkan kursi dan meja berbentuk
letter U. Di tengah ruangan yang kosong diletakkan karpet. Sehingga
siswa merasa nyaman untuk belajar dan menyerap ilmu.

Fase 6
Evaluasi hasil belajar berfungsi untuk mengetahui sampai sejauh mana
ketercapaian dan kegagalan suatu program kegiatan dalam mewujudkan
tujuan yang seharusnya dicapai. Dalam kaitannya dengan program
pendidikan, tujuan evaluasi pendidikan adalah mendapat data pembuktian
yang menunjukkan sampai dimana tingkat kemampuan dan keberhasilan
peserta didik dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Hasil belajar
sebagai hasil perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah yakni,
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor yang masing-masing

106 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


ranahnya mempunyai tingkatan kemampuan atau sering disebut dengan
tipe hasil belajar. (Nana Sudjana, 2000)
Contoh Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Kecerdasan
Majemuk pada Tiap-tiap Kecerdasan Thomas Amstrong dalam bukunya
“Sekolah Para Juara” dan Julia Jasmine dalam bukunya “Mengajar
Berbasis Multiple Intelligences” memberikan beberapa strategi yang perlu
diperhatikan dalam pengajaran menggunakan teori Multiple Intelligences.
Secara umum strategi tersebut dapat diterapkan dalam pembelajaran
Pendidikan Agama Islam sebagai berikut:
1. Kecerdasan Linguistik, dapat dilakukan dengan cara memberikan
kesempatan siswa bercerita, menulis kembali yang dipelajari, dengan
braim storming, dengan membuat jurnal tentang bahan, dan dengan
menerbitkan majalah dinding. Dengan kata lain setelah mempelajari
topik tertentu siswa perlu diberikan kesempatan mengungkapkan
pemikirannya tentang bahan itu dengan menuliskan kembali
dengan kata- kata sendiri. Misalnya setelah mempelajari sejarah
perang Badar, siswa diberi kesempatan untuk menceritakan kembali
pengertian mereka tentang sejarah perang Badar tersebut secara
bebas di depan kelas.
2. Kecerdasan Matematik-logis, dapat diwujudkan dalam bentuk
menghitung, membuat kategorisasi atau penggolongan, membuat
pemikiran ilmiah dengan proses ilmiah, membuat analogi dll. Misal-
nya setelah mempelajari dalil tentang ilmu Faroid, siswa diberikan
soal-soal yang berbeda yang merupakan kombinasi dari rangkaian
ilmu Faroid untuk dihitung dan dipecahkan. Disini perlu diperhatikan
jalan pikiran dan logika siswa dalam pemecahan setiap persoalan.
3. Kecerdasan Visual-Spatial, dapat diungkapkan dengan visualisasi
bahan dengan membuat kaligrafi.
4. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani, dapat diungkapkan dengan ekpresi
gerak dan badan. Seperti praktek sholat,wudhu,tayamum,dll.
5. Kecerdasan Musikal, dapat diungkapkan dengan memberikan kesem-
patan dan tugas siswa mengaji, membuat nasyid atau mengungkapkan

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 107


bahan ajar dalam bentuk suara. Guru sendiri dalam menyiapkan
bahan ajar dapat merencanakan penjelasan tentang tehnik qiro’at.
6. Kecerdasan Interpersonal, dapat diekspresikan dalam bentuk kegiatan
sharing, diskusi kelompok, kerjasama membuat proyek atau praktikum
bersama, permainan bersama maupun simulasi bersama. Yang perlu
diperhatikan disini adalah bahwa setiap siswa dalam kelompok harus
aktif bekerjasama, sehingga kerjasama tidak dikuasai oleh satu siswa
saja dan yang lain pasif. Siswa yang tidak begitu lancar bekerjasama
perlu dibantu untuk lebih berani.
7. Kecerdasan Intrapersonal, dapat dikembangkan dengan memberikan
waktu sendiri pada siswa untuk refleksi dan berfikir sejenak. Beberapa
soal yang perlu diberikan merupakan persoalan terbuka dimana siswa
secara mandiri dapat mengungkapkan gagasannya. Guru sendiri
perlu belajar untuk menyajikan bahan pelajaran dengan memasukkan
perasaannya dengan humor dan keseriusannya, dengan kata lain
sikap pribadi guru perlu juga ditunjukkan untuk membantu siswa
yang intrapersonal.
8. Kecerdasan Natural, dapat dibantu dengan merangsang siswa agar
merasa nyaman dengan suasana alamiah seperti mengajak jalan-
jalan dialam terbuka atau bisa juga dengan memutar video atau
film tentang sejarah para Nabi dengan media yang bervariatif dan
interaktif yang dapat divisualisasikan pada alam.
Dalam pembelajaran berbasis Multiple Intelligences (Kecerdasan
Majemuk) langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengenalkan
konsep kecerdasan majemuk pada siswa dengan cara membuat suatu iklan
berupa poster warna ukuran besar sehari atau beberapa hari sebelum
proses pembelajaran dimulai, yang berisi delapan kecerdasan yang dimiliki
setiap individu untuk merangsang dan memicu siswa didalam menyadari,
mengenali serta menggali kecerdasan-kecerdasan dalam dirinya. Pada
pertemuan pertama Sebelum pembelajaran dilakukan guru bertanya pada
siswa mengenai poster delapan kecerdasan yang sudah dibuat berdasarkan
pemahaman siswa, membuat suatu forum diskusi mengenai delapan

108 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


kecerdasan tersebut, menjelaskan serta mengajak siswa untuk membantu
melaksanakan proses pembelajaran dengan cara melibatkan jenis-jenis
kecerdasan yang menonjol pada dirinya. Pada pertemuan selanjutnya
guru melaksanakan proses pembelajaran berdasarkan skenario dan
penggunaan media pembelajaran yang sudah direncanakan sebelumnya,
Setelah pembelajaran dilakukan, guru melakukan evaluasi dengan tujuan
untuk mengukur aspek kognitif siswa setelah dilakukannya pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk.

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian bahwa gaya belajar siswa tercermin dari
kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Oleh karena
itu, seharusnya setiap guru memiliki data tentang gaya belajar siswanya
masing-masing. Kemudian, setiap guru harus menyesuaikan gaya mengajar
dengan gaya belajar siswanya yang diketahui dari Multiple Intelligences
Research (MIR). Strategi pembelajaran Multiple Intelligences adalah
upaya mengoptimalkan semua kecerdasan (kecerdasan majemuk) yang
dimiliki siswa untuk mencapai kompetensi tertentu yang terdapat dalam
kurikulum. Konsep multiple intellegences tersebut sangat bermanfaat jika
diterapkan dalam memberikan pembelajaran pendidikan agama Islam di
sekolah, sehingga guru dalam mengajar tidak hanya dengan satu metode
saja, karena adanya kesadaran guru tentang multiple intellegences yang
dimiliki siswa.

Daftar Pustaka
Abror, Add. Rachman. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
1993.
Sudrajat, Akhmad. Psikologi Pendidikan. Kuningan: PE-AP Press. 2006.
Thomas, Armstrong. Menerapkan Multiple Intelligences di Sekolah.
Kaifa Mizan,Bandung. 2004.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 109


Agustian, Ary Ginanjar. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual.
Jakarta: Arga. 2001.
Bakry. Menggagas Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Bani Qurasy.
2005.
Balitbang Depdiknas, Pusat Kurikulum. Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Depdiknas. 2002.
Basyar Isya. Menjadi Muslim Prestatif. Bandung: MQS Pustaka Grafika.
2002.
Budianingsih, Asri. Belajar Dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta.
2004.
Campbell, Linda dkk. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligence. Depok: Intuisi Press. 2004.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligence
di Indonesia. Bandung: Kaifa. 2009.
Daniel Goleman. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri
Kancono Widodo), Jakarta: PT Gramedia. 1999.
Departemen Agama RI, Alqur’an dan terjemahannya, 2008.
E.Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik
dan Implementasi. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Efendi Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Alfabeta. 2005.
FM, Meindar dkk. Kamus Lengkap Inggris-Indonesia. Jakarta: Eska Media.
1991.
Gardner, Howard.The Theory of Multiple Intelegence. 1983.
Gendler, Margaret E. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New
York: McMillan Publishing. 1992.
H.M. Arifin. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden
Terayon Press. 2003.
Hamzah B.Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara. 2006.

110 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. 1980.
Imron Ali, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,
1996.
Margaret E. Bell Gredler, Belajar dan Membelajarkan, Jakarta: Rajawali,
1991.
Marion J. Rice. Modul-modul Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk Kurikulum
dan Pengajaran. Malang: P3TK ,1986.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Muijs, Daniel dan Reynolds, David. Effective Teaching, Evidence and
Practice. London: Paul Chapman Publishing,2001.
Nana Syaodih Sukmadinata. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. 2005.
Nasution, M. Nur. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management).
Bogor: Ghalia Indonesia. 2004..
Nata, H. Abuddin. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. 2003.
Nggermanto Agus, Quantum Quotient, Bandung: Nuansa, 2005.
Nizar Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Prawiradilaga,Dewi Salma dkk. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta:
Kencana dan UNJ. 2004.
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
1990.
Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. Accelerated Learning For The 21ST
Century. Bandung: Nuansa. 2006.
R. Hoer Thomas, Buku Kerja Multiple Intelligences, Bandung: Kaifa, 2007.
Slamet, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta:
Rineka Cipta, 1995.
Sofyan S. Willis. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung :
Alfabeta.2004.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 111


Sudijono Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996.
Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai
Dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat, 2004.
Suparno, Paul, SJ, Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah.
Kanisius, 2004.
Surya Mohammad, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung:
Bani Quraisy. 2004.
Syamsu Yusuf LN. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
PT Rosda Karya Remaja. 2003.

Biografi Singkat Penulis


Pada artikel ini ditulis oleh tim dosen dari Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Indonesia. Sebagai narahubung koresponden penulis atas nama
Siti Rohmah.

112 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Perkembangan Tafsir Tarbawi di
Indonesia dan Perannya dalam
Pengembangan Pendidikan Islam

Frenky Mubarok
STAI Pangeran Dharma Kusuma Segeran Indramayu, Indonesia
Email: fbarok@gmail.com

Pendahuluan
Setiap muslim percaya bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjadi petunjuk bagi
manusia. Pada awal risalah kenabian, setiap permasalahan yang ada pada
umat Islam langsung ditanyakan kepada Nabi (Hidayat, 2020, hlm. 31).
Namun ketika Nabi wafat umat Islam tidak lagi dapat berkomunikasi
secara langsung dengan Nabi dan hanya menggunakan riwayat-riwayat
yang disandarkan kepada Nabi guna menjawab setiap permasalahan
umat Islam paca Nabi wafat. Riwayat-riwayat yang merupakan bentuk
perkatan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad tersebut kemudian
dikenal sebagai hadits atau sunnah.
Meski sama-sama merupakan rujukan utama agama, kodifikasi hadits
tidak semudah kodifikasi Al-Qur’an yang telah banyak dihafal oleh umat
Islam sejak Rasulullah masih hidup. Berbeda dengan kodifikasi Al-Qur’an
yang telah dimulai sejak Khalifah Umar bin Khattab hingga lahirnya
Muṣḥaf Utsmani pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, kodifikasi
hadits baru dapat dilakukan pada abad ke-2 Hijirah, yakni pada masa
Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz (Yuanitasari, 2020, hlm. 102). Upaya
kodifikasi hadits yang dilakukan secara sistematis tersebut adalah upaya
umat Islam agar dapat menghadirkan hadits yang memiliki kualitas yang
dapat dipertanggungjawabkan.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 113


Sebagai sumber primer kedua, Sunnah atau Hadits dipakai oleh
umat Islam untuk menafsirkan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an,
bentuk penafsiran ini disebut dengan Tafsir bi-l-riwayah. Berdasarkan hal
tersebut, maka relasi antara Al-Qur’an dan Sunnah sangat erat. Menurut
Hamka, tafsir pertama yang pernah dilakukan terhadap Al-Qur’an tidak
lain adalah Sunnah, yakni perkataan (aqwal), perbuatan (af ’al) Nabi dan
perbuatan para sahabatnya, yang dibiarkan saja tanpa dicegah oleh Nabi
(taqrir) (Prof. Dr. HAMKA, t.t., hlm. 25). Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam Firman Allah ‫ﷻ‬:
َ
َ ُ َّ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ ْ َ َ ّ ُ َ َّ َ ّ َ ُ َ ْ ّ َ ْ َ َ ْ َ َ
‫اس ما ن ِزل ِإلي ِهم ولعلهم يتفكرون‬ ِ ‫ٱلذكر ِلتب ِين ِللن‬
ِ ‫وأنزلن ٓا ِإليك‬
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl [16]: 44)

Setelah Nabi wafat, kedudukan sebagai penafsir Al-Qur’an kemudian


berpindah kepada para ulama. Meski demikian, menurut Hamka seorang
ulama yang menafsirkan Al-Qur’an sebaiknya tetap memelihara hubungan
antara naqal dengan akal. Di antara riwayah dan dirayah. Penafsir tidak
hanya mengutip atau menukil pendapat orang terdahulu, tetapi juga
menggunakan pula tinjauan dan pengalamannya sendiri. Dan tidak pula
semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa
yang dinukil dari ulama terdahulu. Penafsir yang hanya menukil pendapat
orang terdahulu berarti ia terperangkap pada “texbook thinking”. Sebaliknya
jika hanya memperturutkan akal sendiri, ia akan terperosok pada penafsiran
yang boleh jadi menjauh dari maksud agama (Prof. Dr. HAMKA, t.t., hlm.
40). Apa yang dikatakan oleh Hamka tersebut, dipraktekan juga dalam
bukunya “Tafsir Al-Azhar” yang jika kita membacanya kita akan dibawa
oleh Hamka pada masa-masa perjuangan Bangsa Indonsia, khususnya
umata Islam dalam meperjuangkan kemerdakaan dari penjajah, hingga
pada suasana yang terjadi pada masa persaingan politik yang terjadi pada
saat tafsir tersebut dibuat.
Pasca Rasulullah wafat, dalam menguak dimensi makna eksoterik
dan esoterik Al-Qur’an, para ulama melakukan upaya penafsiran

114 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


terhadapnya. Para ulama yang banyak memiliki karya yang berkaitan
dengan aktifitas penafsiran tersebut dikenal sebagai mufassir. Pada
perkembangan selanjutnya, terdapat teoritisasi dan perkembangan
kaidah penafsiran Al-Qur’an, upaya ini dimulai dari pembentukan
kaidah kebahasaan (semantik, sintaksis, morfologi dan stilistika) yang
dijadikan sebagai perangkat mutlak yang dibutuhkan dalam memahami
pentunjuk Al-Qur’an yang berbahasa Arab. Pada penghujung abad ke-2
Hijriah, kompleksitas masyarakat memicu persoalan-persoalan baru yang
menghendaki kejelasan hukum dari Al-Qur’an dan Hadits. Maka pada
tahap selanjutnya tafsir Al-Qur’an banyak digunakan dalam membuat
kaidah atau ketetapan hukum, serta pada perdebatan teologis (ilmu
kalam) (Marsyam, 2022, hlm. 25).
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat dua sumber utama yang
dijadikan sandaran umat Islam dalam kehidupannya. Sumber pertama
yakni Al-Qur’an yang merupakan firman Allah yang susunannya setiap
ayat dan suratnya ditentukan berdasarkan petunjuk dari Nabi. Sedangkan
sumber yang kedua adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang
pernah dilakukan oleh Nabi yang disebut sebagai Hadits atau Sunnah.
Meski demikian, sebagai teks Al-Qur’an dan Hadits memberikan peluang
bagi umat Islam melakukan berbagai penafsiran terhadapnya, oleh
karenanya para ulama memberikan legitimasi sumber sekunder yang
dapat digunakan oleh umat Islam yakni Ijma’ dan Qiyas. Adapun tujuan
penetapan sumber sekunder tersebut guna menyempurnakan pemahaman
tentang maqasid al-syari’ah (Ridwan, 2021, hlm. 30).
Pada perkembangannya, selain berkaitan dengan ketetapan hukum
syari’ah, atau teologi, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh manusia
terutama umat Islam yang membutuhkan landasan Al-Qur’an dan
Hadits, adalah berkaitan dengan bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan,
pengembangan pendidikan dianggap penting bagi umat Islam karena
dapat meningkatkan taraf hidup manusia terutama dalam bidang
ekonomi,(Alpian dkk., 2019) menggerakan perubahan sosial,(Huda,

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 115


2015) dan mempersiapkan generasi penerus yang dapat beradaptasi
dengan perkembangan zaman (Cintamulya, 2012).
Dalam ilmu pendidikan, telah banyak bermunculan teori-teori
berkaitan dengan bagaimana mewujudkan pendidikan yang ideal bagi
manusia. Dikarenakan ilmu adalah bagian dari filsafat, maka ilmu
pendidikan yang dikembangkan pun disesuaikan dengan kecenderungan
filsafatnya masing-masing. Pada era modern, kemunculan aliran
positivisme menimbulkan upaya untuk melakukan divergensi antara
ilmu dan filsafat. Hal ini dikarenakan filsafat yang di dalamnya terdapat
metafisika, dituduh telah meracuni ilmu pengetahuan dengan nilai-
nilainya yang melampaui fisika. Para penganut positivisme berpendirian
bahwa filsafat hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada
peristiwa-peristiwa positif, atau peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
manusia semata (Somantri, 2013, hlm. 622). Meski kampanye kaum
positivis tersebut sangat gencar terutama di dalam ranah pemikiran
masyarakat Barat, sehingga pada akhirnya memandang sinis terhadap
filsafat, terutama metafisika, bahkan agama, namun terdapat pula golongan
yang tetap tetap memposisikan filsafat dan ilmu sebagai disiplin yang
tidak dapat dipisahkan.
Dalam khazanah filsafat dan pemikiran yang berkembang di
kalangan cendikiawan Islam, upaya untuk memisahkan antara ilmu
dan filsafat tidak pernah dilakukan. Hal ini dikarenakan, sebagaimana
pendapat Al-Kindī, bahwasanya pengetahuan yang digunakan untuk
mencapai hakikat kebenaran dapat dilakukan melalui dua cara yang
tidak saling bertentangan, yakni: (1) Pengetahuan Ilahi (devine science),
sebagaimana yang tercantum di dalam al-Qur’an; dan (2) Pengetahuan
manusiawi (human science), yakni pengetahuan yang didapatkan melalui
optimalisasi pemikiran rasional manusia yang terdapat dalam filsafat atau
ilmu.(Amien, 2006, hlm. 43) Selanjutnya, dalam pengembangan filsafat
yang dilakukan oleh umat Islam sampai saat ini, kedudukan metafisika
dalam filsafat tetap menempati kedudukan yang penting. Bahkan Al-Kindi
menekankan bahwa pentingnya metafisika dalam filsafat adalah dalam

116 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


upaya menyingkap Kebenaran Yang Esa (the True One: al-Ḥaq) (Mubarok,
2022, hlm. 50).
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pengembangan Ilmu Pendi-
dikan, dalam khazanah pemikiran Islam kedudukan filsafat dan agama
menempati posisi yang strategis. Oleh karenanaya para cendikiawan
Muslim kemudian melakukan berbagai kajian dan perumusan tentang
konsep pendidikan yang ideal bagi umat Islam. Konsep pendidikan yang
sesuai dengan ajaran Islam sebagai aktualisasi dari ajaran dan nilai-nilai
Islam. Salah satu upaya pengembangan konsep pendidikan Islam yang
ideal tersebut di antaranya adalah: 1) melakukan integrasi antara ilmu
umum dan ilmu agama dalam suatu lembaga boarding school (Batubara,
2022) 2); melakukan kajian terhadap hadits-hadits Nabi yang berkaitan
dengan pendidikan (Muvid, 2020); dan 3) melakukan teorisasi pendidikan
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Salah satu bagian dari ilmu pendidikan yang didasarkan pada ajaran
Islam adalah perumusan dan teorisiasi pendidikan yang disandarkan pada
ayat-ayat Al-Qur’an yang sering disebut sebagai Tafsir Tarbawi. Dengan
demikian Tafsir Tarbawi kemudian dikenal sebagai salah satu corak
tafsir Al-Qur’an. Adapun corak tafsir secara umum dipahami sebagai
kekhususan suatu tafsir yang merupakan dampak dari kecenderungan
seorang mufassir dalam menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
(Syukur, 2015, hlm. 85). Berdasarkan pengertian tersebut maka Tafsir
Tarbawi adalah tafsir Al-Qur’an yang memiliki kecenderungan dalam
menafsirkan Al-Qur’an dengan cara dikaitkan dengan berbagai isu dan
teori-teori pendidikan.
Cucu Surahman menyatakan bahwa kehadiran Tafsir Tarbawi
memberikan paradigma dan metodologi dalam pengembangan pendidikan
di Indonesia, sekaligus menjadi landasan teologis-skriptural dan alat
epistemologis-konseptual dalam pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia (Surahman, 2019b). Dengan demikian, pengembangan Tafsir
Tarbawi dapat dijadikan sebagai jembatan untuk melakukan integrasi
antara ilmu pengetahuan umum dan pengetahuan agama secara seimbang.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 117


Demikianlah bahwasanya pengembangan Tafsir Tarbawi sebagai
salah satu corak penafsiran Al-Qur’an telah berkembang cukup pesat
di Indonesia. Ahmad Izzan dalam bukunya, Metodologi Ilmu Tafsir,
mensejajarkan Tafsir Tarbawi dengan corak tafsir lainnya seperti Tafsir
Fiqhy (Corak Hukum), Tafsir Falsafy (Corak Filsafat), Tafsir Ilmu (Corak
Ilmiah), Tafsir Akhlaqy (Corak Akhlak), Tafsir I’tiqadi (Corak Teologis),
dan Tafsir Sufy (Corak Tasawuf).(Izzan, 2011).
Dalam prakteknya, Tafsir Tarbawi dilakukan menggunakan berbagai
metode penafsiran, seperti metode tahlili atau maudlu’i. Namun pada
umumnya perumusan dan teorisasi pendidikan dalam Tafsir Tarbawi
lebih banyak menggunakan metode penafsiran tematik atau tafsir
maudlu’i. Dalam aplikasinya, penafsiran Al-Qur’an dengan tafsir tematik,
terlebih dahulu mentukan berbagai tema-tema yang ingin dibahas lalu
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesesuaian dengan
tema yang telah ditentukan. Diharapkan upaya ini dapat memberikan
gambaran yang utuh mengenai konsep pendidikan berdasarkan ajaran
Islam khsusunya yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Pembahasan
Tafsir Tarbawi sebagai Pendekatan Pengembangan
Pendidikan
Tafsir pendidikan atau tafsir tarbawi lahir guna memenuhi kebutuhan
akademik dalam rangka pengayaan kurikulum lokal atau kurikulum
Nasional di Perguruan Tinggi Agama Islam, dengan harapan bahwa
jurusan pendidikan atau tarbiyah akan mampu mempersiapkan calon
pendidik dalam wilayah pendidikan Islam. Selanjutnya, agar pendidikan
Islam dapat mengembalikan paradigma yang bersumber kepada dasar
ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits, maka lahirlah disiplin tafsir
sebagai alternatif kajian yang mempunyai relasi dengan pendidikan yang
kemudian disebut tafsir tarbawi. Meski demikian, menurut Badruzzaman
M. Yunus, tafsir tarbawi masih membutuhkan pengembangan agar
kajian tafsir tarbawi dapat disejajarkan dengan kajian tafsir yang sudah
dianggap mapan seperti tafsir aḥkam dan lain-lain (Yunus, 2016). Dengan

118 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


demikian pada ahirnya Tafsir Tarbawi diformat agar dapat bersanding
dengan corak (al-wa’n) tafsir lainnya, seperti: tafsir aḥkam yang berbasis
hukum Islam; tafsir falsafah yang berbasis filsafat dan pemikiran; tafsir
sufi yang berbasis sufistik; tafsir akhlaqi wa al-i’tiqadi yang berbasis etika,
kepercayaan dan keyakinan; serta tafsir ‘ilmi yang berbasis pendekatan
ilmiah, sains dan teknologi (Hula, 2020, hlm. 123).
Terminologi Tafsir Tarbawi, secara bahasa terdiri dari dua kata
yakni tafsir dan tarbawi. Kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fasara,
yufassiru, tafsir (‫ )فسر يفسر تفسير‬yang merujuk pada makna “mengungkap,
menjelaskan, menerangkan, dan menampakkan” (‫الكشف الإيضاح البيان‬
‫) الإظهار‬. Dengan empat makna tersebut, maka term tafsir dapat dimaknai
sebagai upaya untuk menerangkan yang samar, menyingkap yang tertutup,
menjelaskan makna yang sulit dipahami, dan mengungkap masalah yang
masih kabur, samar dan belum jelas (Hula, 2020, hlm. 123).
Muḥammad Ḥusain Al-Zahabi dalam kitabnya al-Tafsīr wa
al-Mufassirūn, setelah mengutip berbagai pendapat tokoh mengenai
pengertian tafsir, ia menyimpulkan bahwa (Adz Dzahabi, 1976, hlm. 14):

‫أن علم التفسير علم يبحث عن مراد اهلل تعالى بقدر الطاقة البشرية‬
Bahwasanya ‘ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang (makna)
yang dikhendaki oleh Allah (pada Al-Qur’an) sesuai dengan kemampuan
manusia.

Sedangkan kata tarbawī (‫ )تربوي‬adalah disiplin ilmu yang berkaitan


dengan pendidikan, atau disebut juga sebagai bidang pendidikan /
kependidikan. Kata ini memiliki akar kata yang sama dengan istilah
tarbiyah yang berarti pendidikan. Dengan kata lain kata tarbawī dalam
istilah ini bermakna sesuatu yang bersifat atau mengenai pendidikan
(Syukur, 2015, hlm. 96).
Berkaitan dengan tarbiyah, Abbas Mahjub menjelaskan bahwa,

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 119


ً
‫ماديا بتغذيته ورعايته‬ ‫تدور كلمة التربية فى اللغة حول تنشئة الطفل‬
ً
‫عقليا بتزويده بما يناسبه من ضروب المعرفة الانسانية و الثقافة‬ ً
‫ و‬,‫جسميا‬
ً
‫روحيا بتزويده بما يهذب نفسه ويزكيها ويسمو بها‬ ‫ و تغذيته‬,‫البشرية‬
(Mahjub, 1987, hlm. 15)
Kata ‘tarbiyah’ (pendidikan) secara bahasa berkisar pada pengasuhan
anak dengan memenuhi kebutuhannya secara jasmani, dan mental,
dengan memberinya berbagai pengetahuan yang sesuai berkaitan dengan
pengetahuan dan budaya, serta memeliharanya secara spiritual dengan
memberinya ajaran yang dapat memurnikan (jiwanya) dan membangkitkan
semangatnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka Tafsir Tarbawi adalah corak


penafsiran yang membahas tentang makna-makna yang terkandung di
dalam Al-Qur’an terutama berkaitan dengan kependidikan secara umum,
baik pendidikan jasmani, maupun pendidikan rohani agar dapat dijadikan
sebagai pijakan teori maupun praktek pendidikan di dalam masyarakat
muslim. Tafsir Tarbawi dalam pengertian yang lain dapat dipahami sebagai
alat untuk mengeksplor ajaran-ajaran Islam dalam kaitannya untuk
mengembangkan dan mencapai tujuan pendidikan.(Syukur, 2015, hlm. 96)
Hal ini senada dengan pendapat Rosidin yang menejaskan bahwa Tafsir
Tarbawi adalah suatu metode mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan
pendidikan Islam. Adapun tujuan dari pengembangan metode Tafsir
Tarbawi adalah guna melakukan eksplorasi isi kandungan Al-Qur’an
guna pengembangan pendidikan Islam sehingga menjadi pijakan teori
maupun praktik pendidikan Islam (Rosidin, 2014, hlm. 2).
Menurut Wawan Wahyudin, kebutuhan pengetahuan kitab suci
(tafsir) dalam ilmu pendidikan didasarkan pada beberapa aspek, di
antaranya adalah: 1) kedudukan tafsir Al-Qur’an sebagai basis keimanan;
2) tafsir sebagai konfirmasi kebenaran yang diungkap dalam pengetahuan
eksploratif; 3) tafsir dapat memberikan penjelasan tentang fenomena-
femonema yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan eksploratif;
4) tafsir berfungsi sebagai pengisi nilai (value filler) terhadap pengetahuan

120 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


eksploratif; dan 5) tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
pesan-pesan Ilahi agar dapat ditangkap oleh manusia (Wahyudin, 2016,
hlm. 198–199).
Selanjutnya, dalam praktek penerapannya, Tafsir Tarbawi digunakan
sebagai objek formal dalam suatu penelitian tentang pendidikan. Sebagai
objek formal penelitian maka Tafsir Tarbawi memiliki objek pembahasan
atau objek material berupa ayat-ayat yang dipahami dengan pendekatan
pendidikan (Ananta A dkk., 2022, hlm. 83). Berdasarkan hal tersebut
maka sebagai objek formal, Tafsir Tarbawi adalah fokus kajian penelitian
pada totalitas penelitian objek material. Setiap peneliti dapat saja memiliki
objek material yang sama, akan tetapi hasil dari penelitian tersebut akan
berbeda jika objek formal penelitiannya berbeda. Hal ini karena objek
formal berkaitan dengan perspektif atau sudut pandang peneliti, yang
dalam penelitian Tafsir Tarbawi peneliti dapat dianggap sebagai seorang
penafsir Al-Qur’an (Widiawati, 2020, hlm. 259).
Selanjutnya, Tafsir Tarbawi dapat pula dianggap sebagai pijakan
epistemologi yang digunakan oleh para pengkaji pendidikan dengan
sudut pandang tafsir Al-Qur’an. Dalam pengembangannya, Tafsir Tarbawi
sebagai sebuah epistemologi juga berisi wacana yang bertujuan untuk
menjawab problem sosial keagamaan yang terjadi dari sudut pandang
pendidikan yang dikuatkan dengan nilai-nilai yang terkadung di dalam
ayat-ayat Al-Qur’an. Diharapkan, berdasarkan sudut pandang ini, maka
berbagai “kegelisahan” yang dirasakan oleh umat Islam terutama berkaitan
dengan teori dan praktek pengembangan pendidikan dapat teratasi.
Salah satu contoh penggunaan Tafsir Tarbawi dalam upaya menyikapi
isu-isu pendidikan kontemporer adalah penelitian yang dilakukan oleh
Rosidin yang melakukan upaya dialektika antara teori pendidikan orang
dewasa, yakni andragogi dan sumber primer pendidikan Islam, yaitu
Al-Qur’an. Adapun hasil penelitian tersebut adalah bahwasanya dalam
praktik pendidikan di perguruan tinggi Islam, antara andragogi dan
tafsir tarbawi dapat dikombinasikan dengan cara memadukan kelebihan

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 121


andragogi pada aspek epistemologis dan kelebihan tafsir tarbawi pada
aspek ontologis dan aksiologis (Rosidin, 2017).

Karya-karya tentang Tafsir Tarbawi di Indonesia


Perumusan karya-karya Tafsir Tarbawi di Indonesia telah berkembang
cukup pesat hingga saat ini. Tafsir Tarbawi pun telah menjadi salah satu
corak tafsir tematik yang banyak digunakan terutama oleh para akademisi
dan praktisi pendidikan di Indonesia. Karya-karya tafsir tarbawi tersebut
telah banyak dipublikasikan baik berupa buku, artikel pada jurnal ilmiah
maupun menggnakan media online yang mengkhususkan diri menerbitkan
artikel yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an, seperti https://tafsiralquran.
id/. Pada website tersebut kajian tafsir tarbawi disandingkan dengan
beberapa kajian tafsir tematik lainnya seperti Tafsir Ahkam, Tafsir Ekologi,
Tafsir Isyari, Tafsir Kebangsaan dan Tafsir Tematik Surah.
Cucu Surahman dalam bukunya Tafsir Tarbawi Di Indonesia Hakikat,
Validitas, dan Kontribusinya bagi Ilmu Pendidikan Islam, membahas
perkembangan Tafsir Tarbawi di Indonesia dari Tahun 2002 sampai tahun
2018. Menurutnya terdapat beberapa motivasi penulisan buku-buku Tafsir
Tarbawi di Indonesia, yakni: (1) Upaya menyediakan buku referensi mata
kuliah Tafsir Tarbawi, dan (2) Upaya menghadirkan konsep atau kajian
pendidikan Islam dalam perspektif Al-Qur’an (Surahman, 2019a, hlm. 99).
Adapun buku-buku yang dikaji oleh Cucu Surahman tersebut adalah
sebagai berikut:
1. DR. H. Abuddin Nata, M.A., Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan : (Tafsir
Al-Ayat Al-Tarbawiy) (Rajawali Pers, 2002)
2. Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Hati yang Selamat
hingga Kisah Luqmān, (Bandung: Penerbit Marja, 2017)
3. Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’ān tentang
Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2008)
4. Suteja, Tafsir Tarbawi: Pengantar ke Tafsir Tarbawi, (Cirebon: Nurjati
Press, 2012)

122 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


5. Ahmad Izzan dan Saehuddin, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-ayat
Berdimensi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Aufa Media, 2012)
6. Muh. Anis, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Meretas Konsep Pendidikan
dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mentari Pustaka, 2012)
7. Salman Harun, Tafsir Tarbawi: Nilai-nilai Pendidikan dalam al-Qur’an,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013).
8. Nanang Gajali, Tafsir & Hadis tentang Pendidikan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2013)
9. Rosidin, Epistemologi Pendidikan Islam: Integrasi al-Tarbiyyah dan
al-Ta’lim dalam al-Qur’an, (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2010)
10. Rosidin, Konsep Andragogi dalam al-Qur’an: Sentuhan Islami pada
Teori dan Praktek Pendidikan Orang Dewasa, (Malang: Litera Ulul
Albab, 2013)
11. Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-pesan al-Qur’an tentang
Pendidikan, (Jakarta, Azmah, 2015)
12. Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, (Jakarta: AMP Press, 2014)
13. Dedeng Rosidin, Pendidikan dalam Al-qur’an (Kajian Tematik dan
Semantik), (Bandung : Insani Rabani, 2015)
14. Mahmud Arif, Tafsir Pendidikan: Makna Edukasi Alquran dan
Aktualisasi Pembelajarannya, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015),
15. Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Kencana, 2016)
16. Syukri, Tafsir Ayat-Ayat Pembelajaran dalam Al-Qur’an, (Mataram:
Insan Madani Press, 2016)
17. Arief Hidayat Afendi, Al-Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi)
(Yogyakarta: Deepublish, 2016)
18. Listiawati, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2017)
19. Aam Abdussalam, Pembelajaran dalam Islam: Konsep Ta’lim dalam
al-Qur’an, (Yogyakarta: Magza, 2017)

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 123


20. Mahyudin, Tafsir Tarbawi: Kajian Ayat-ayat Al-Qur’an dengan Tafsir
Pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2016)
Meski demikian, masih sangat banyak buku-buku yang membahas
Tafsir Tarbawi yang luput dari kajian Cucu Surahman, hal ini karena
ia hanya mengkaji buku-buku yang ditulis oleh perorangan saja dan
tidak memasukan buku-buku yang ditulis oleh kempok. Selain itu Cucu
Surahman hanya menganalisis buku-buku yang terbit pada rentang
waktu tahun 2002 s.d 2018, dan oleh karenanya saat ini telah terbit lebih
banyak lagi buku-buku tentang Tafsir Tarbawi yang ditulis di Indonesia.
Dalam penelusuran yang penulis lakukan pada laman Katalog Online
Perpusnas RI (https://opac.perpusnas.go.id), dan ISBN Perpustakaan
Nasional (https://isbn.perpusnas.go.id), sedikitnya terdapat 73 buku
tentang Tafsir Tarbawi yang ditulis sampai dengan tahun 2023, yang di
antaranya adalah:
1. Ahmad Yusam Thobroni, Tafsir Hadis dan Tarbawi (Surabaya: Putra
Media Nusantara (PMN), 2017)
2. Ridhoul Wahidi, Tafsir Ayat-Ayat Tarbawi : Tafsir dan Kontekstualisasi
Ayat-Ayat Pendidikan (Yogyakarta : Trussmedia Grafika, 2016)
3. Dr. Rohimin, M.Ag., Tafsir Tarbawi : Kajian Analitis dan Penerapan
Ayat-Ayat Pendidikan (Yogyakarta : Nusa Media, 2017)
4. Rosidin, Metodologi Tafsir Tarbawi, (Jakarta : Amzah, 2015)
5. Suswanto, Tafsir Tarbawi : Suatu Konsep Teori Sebagai Bekal Guru
Professional, (Yogyakarta : Bintang Pustaka Madani, 2021)
6. Abdurrahman, S.Pd.I., Bambang Sugianto S.Pd.I., Rahmaniah, S.Pd.I.,
Arfiah, Wahyu Handriyani S.Pd.I., {dan tujuh penulis lainnya}, Tafsir
& Hadits Tarbawi : Bunga Rampai (Bantul : K-Media , 2019)
7. Rosidin, Ilmu Pendidikan Islam Berbasis Maqashid Syariah dengan
Pendekatan Tafsir Tarbawi (Depok : Rajawali Pers (PT Raja Grafindo
Persada, 2019)
8. Dr. Risman Bustamam, M. Ag., Ririn Febrianti, S.Pd.I.,M.Pd.I.,
Pendidikan Dialogis Ala Al-Qur’an : Tafsir Tematik Tarbawi Atas Kisah

124 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Nabi Musa dan Khidir Dalam Surah Al-Kahfi (Jakarta : Prenadamedia
Group, 2019)
9. Saiful Lutfi, Tafsir Tarbawi Menggali Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am Ayat 160-165 (Yogyakarta : Idea
Press Yogyakarta, 2017)
10. Prof. Dr. H. Maksum Muchtar, MA., Kajian Ayat-Ayat Tarbawi
(Cirebon : CV Aksara Satu, 2017)
11. Mahmud Arif , Tafsir Pendidikan : Interpretasi Makna Edukatif
Al-Qur’an Bervisi Transformative, (Pascasarjana FITK UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta)
12. Ahmad Izzan, Saehudin , Tafsir Pendidikan : Konsep Pendidikan
Berbasis Alquran, ( Bandung: PT Humaniora Utama Press, 2015)
13. Cucu Surahman, Tafsir Tarbawi di Indonesia, (Pati: Maghza Pustaka,
2019)
14. Asnil Aidah Ritonga (ed), Tafsir Tarbawi (Perdana Mulya Sarana)
15. Muhammad Hariyadi, Tafsir Tarbawi Theosofi (Haja Mandiri)
16. Liliek Channa AW, Tafsir Tarbawi, (Al-Maktabah)
17. Aam Abdussalam dan Cucu Surahman, Metodologi Tafsir Tarbawi,
( UPI Press)
18. Sinta Dewi Aisyah, dkk.,Tafsir Tarbawi, (PT Lontar Digital Asia)
19. Achmad Zayadi dan Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN
Purwokerto, Tafsir Tarbawi: Pesan dan Kesan dari Surah Luqman,
(Yayasan Darul Hikmah)
20. Azzah Nor Lila, Tafsir Tarbawi: Buku Ajar, ( Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan UNISNU Jepara)
21. Nur Afifah, Tafsir Tarbawi dalam Surah Luqman, (Yayasan Darul
Hikmah)
22. Lailatul Fitriyah, Tafsir Tarbawi dalam Konteks Kekinian, (Insight
Mediatama)
23. Anonim, Tafsir Tarbawi 1 : Ayat-Ayat Tentang Pendidikan : Manhaj
Al-Tafsir Al-Indimaji : Metode Tafsir Terpadu. (MUI Kabupaten
Jenoponto)

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 125


24. H.A. Athaillah, Tafsir Tarbawi, (Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Umat)
25. Anonim, Tafsir Tarbawi, (Fakultas Tarbiyah dan Bahasa IAIN
Surakarta)
26. Fakhruddin Nursyam, Tafsir Tarbawi: Tafsir Tematik Pendidikan
Karakter, ( Al-Itishom Cahaya Umat)
27. Syamsu Nahar, Komunikasi Edukatif Orangtua dan Anak dalam
Alquran : Kajian Tafsir Tarbawi, (Indramayu, CV. Adanu Abimata)
28. Saiful Lutfi, Tafsir Tarbawi Menggali Nilai-Nilai Pendidikan Islam
dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 160-165, (Idea Press Yogyakarta)
29. Hasyim Haddade, Tafsir Tarbawi: Kajian ayat-ayat Pendidikan dalam
al-Qur’an, ( Orbit Publishing Jakarta)
30. Anonim, Tafsir Tarbawi, ( The Ulinsa Press)
31. Hidayatullah Ismail, H. Akmal Abdul Munir, Tafsir Tarbawi, ( Suska
Press)
32. Muhsin An Syadilie, Konsep Pendidikan Perspektif Al-Qur’an
Kontemplasi Filosofis Tafsir Tarbawi, ( Pioner Semesta)
33. H. A. Fatoni, Tafsir Tarbawi : Menyingkap Tabir Ayat-ayat Pendidikan,
( Forum Pemuda Aswaja)
34. Tadjudin , Tafsir Tarbawi , ( IAIN Tulungagung Press)
35. Aam Saepul Alam, Tafsir Tarbawi : Suatu Kajian Pendidikan Berbasis
Al-Qur’an, ( Siliwangi Press)
36. Abd. Basir, Ayat-Ayat Al-Quran dalam Perspektif Pendidikan Islam
: Telaah Tafsir Tarbawi, ( Antasari Press )
37. A. Fatoni, Tafsir Tarbawi : Memahami Kandungan Ayat-ayat
Pendidikan, ( CV. Anugrah Utama Raharja)
38. Lailatul Fitriya, Tafsir Tarbawi dalam Konteks Kekinian, (Pustaka
Learning Center)
39. La Ode Ismail Ahmad dan Ibrahim Nasbi, Tafsir Tarbawi II, (Zada
Haniva)
40. Suryadi Nasution, M.Pd., Tafsir Tarbawi : Melacak Kontruksi
Pendidikan dalam Alquran dan Hadis, ( Madina Publisher)

126 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


41. Salman Harun, Tafsir Tarbawi : Nilai-Nilai Pendidikan Dalam
Al-Qur’an Seri Buku Ajar, ( UIN Jakarta Press)
42. Zulheldi, Metode Tafsir Tarbawi : Referensi Penelitian Tafsir Pendidikan,
( Rajawali Pers)
43. Ibrahim Nasb, La Ode Ismail Ahmad , Tafsir Tarbawi II, (Alauddin
University Press)
44. H. Mahjuddin, Tafsir Tarbawi : Kajian Ayat-ayat Al-Qur’an Dengan
Tafsir Pendidikan, ( Kalam Mulia)
45. Arbain Nurdin, M.Pd.I., M. Uzaer Damairi, M.Th.I., Tafsir Tarbawi
: Pesan-Pesan Edukatif Dalam Al-Qur’an, karya, ( CV Lintas Nalar)
46. Anonim, Tafsir Tarbawi, (Jenggala Pustaka Utama)
47. Nur Afif, Ansor Bahary, Tafsir Tarbawi : Pesan-Pesan Pendidikan
Dalam Al Qur’an, ( CV. Karya Litera Indonesia)
48. Muji, Pengantar Tafsir Tarbawi : Konsep Dasar Pendidikan Perspektif
Al-Qur’an, (CV. Mudilan Group).
49. H. Sulaeman T, Tafsir Tarbawi, ( Dirah)
50. H. Ubaedi Fathuddin, Tafsir Tarbawi, ( CV. Duta Media Utama).
51. Lailatul Fitriyah, M.Pd.I., Tafsir Tarbawi (Duta Media Publishing)
52. Fakhriyatus Shofa Alawiyah, Buku Ajar Studi Qur’an dan Tafsir
Tarbawi, ( Klik Media)
53. Radhiatul Hasnah, Tafsir Tarbawi, ( Safira Press)
54. Dr. H. A. Fatoni, M.Pd.I, Tafsir Tarbawi : Menyingkap Tabir Ayat-ayat
Pendidikan, ( CV. Muhammad Fahmi Al Azizy)
55. Rosidin, Metode Tafsir Tarbawi Praktis, ( Malang, Genius Media, 2014)
56. Mahjuddin, Tafsir Tarbawi I, (Jember: IAIN Jember Press, 2015)
57. H Anwar Nashori, Tafsir Tarbawi, ( Pondok Pesantren Riyadul Falah
Ma’rifa)
58. Al-Faiz Muhammad Rabbany Tarman, Tafsir Tarbawi, ( Multi
Pustaka Utama)
59. Muhamad Fatoni dan Ahmad Fikri Amrullah, Tafsir Tarbawi Menelisik
Nilai-Nilai Pendidikan di Balik Ayat-Ayat Berasbabun Nuzul, ( CV.
Tentrem Karya Nusa)

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 127


60. Kenny Agusto Arie Wibowo, dkk., Tafsir Tarbawi: Konsep Pendidikan
Islam Menurut Al-Qur’an, ( Perkumpulan Rumah Cemerlang
Indonesia)
61. Abu Ubaidah, M.A., Tafsir tarbawi : Tafsir Tematik Menyingkap
Sebagian Ayat-ayat Pendidikan, (K-Media)
62. KH. Badruddin H. Subky, Tafsir Pendidikan, (Indie Publishing).
63. Lia Noviastuti, Tafsir Pendidikan : Makna Edukasi Alquran dan
Aktualisasi Pembelajarannya (Penerbit Ombak)
64. Dr. Amir Hamzah, M.Ag, Siar Ni’mah, S.Ud., M.Ag, Takdir, S.Pd.I.,M.
Pd.I, Tafsir Pendidikan, ( CV. Latinulu)
65. Zulheldi, Metode Tafsir Tarbawi : Referensi Penelitian Tafsir Pendidikan,
( Rajawali Pers, 2019)
66. Akmal Rizki Gunawan Hsb, Tafsir Pendidikan Islam : Problematika,
Kajian Teoretis, Dan Kajian Al-Qur’an, ( Rajawali Pers)
67. H. Mahjuddin, Tafsir Tarbawi : Kajian Ayat-Ayat Al-Qur’an dengan
Tafsir Pendidikan, (Kalam Mulia)
68. H. Itah Miftahul Ulum bin K.H. Abdul Wahab, Tafsir Pendidikan
Al-Fatihah, ( Pondok Pesantren Al-Qalam)
69. H. Saifuddin Herlambang, Hamidun, Tafsir Pendidikan Cak Nur :
Analisis Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Pendidikan Islam, (
Ayunindya)
70. Sudarto, Tafsir Pendidikan : Kajian Analitis dan Implikasi Ayat-Ayat
Al Qur’an Dalam Pendidikan, ( Lembaga Pendidikan dan Pelatihan
Balai Insan Cendekia)
71. Frenky Mubarok, Mashadir Tarbawiyah Pesan-Pesan Pendidikan
Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Indramayu: Penerbit Adab, 2022)
72. Melihat antusiasime para cendikiawan muslim di Indonesia dalam
menyuguhkan buku-buku tentang Tafsir Tarbawi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa perkembangan tafsir tarbawi sejak pertama kali
diperkenalkan pada sejak dua dekade yang lalu, telah berkembang
dengan cukup pesat. Meski demikian upaya untuk melahirkan
suatu kajian Tafsir Tarbawi tetap masih dibutuhkan mengingat

128 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


kompleksnya permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh umat
Islam di Indonesia saat ini.
Metode Penafsiran dalam Tafsir Tarbawi
Dalam studi tafsir Al-Qur’an, metode yang biasa dipakai oleh para penafsir
Al-Qur’an adalah melalui empat cara, yakni: ijmali (global), tahlili (analitis),
muqarran (perbandingan), dan maudhui (tematik). Metode ijmali adalah
metode yang pertama kali muncul dalam khazanah penafsiran Al-Qur’an.
Nabi ‫ ﷺ‬dan para sahabatnya menafsirkan Al-Qur’an secara ijmali dan
tidak memberikan uraian yang detail. Corak tafsir ijmali dapat dilihat
pada kitab Tafsir al-Jalalain yang dibuat oleh Jalaluddin al-Mahalli dan
Jalaluddin as-Suyuthi. Ketika umat Islam membutuhkan penjelasan yang
jauh lebih terperinci terhadap tafsir Al-Qur’an maka lahirlah metode
tafsir tahlili dengan mengambil bentuk tafsir bi al-ma’tsur, yang kemudian
diikuti bentuk tafsir bi al-ra’yi (Izzan, 2011, hlm. 98).
Abad modern yang begitu kompleks dengan perekembangan ilmu
pengetahuan, sosial, dan politik yang begitu pesat membutuhkan sikap
yang cepat dari para ulama berkaitan dengan fenomena yang ada di
masyarakat. Kebutuhan akan hal ini kemudian mendorong lahirnya metode
penafsiran yang baru yakni tafsir maudhu’i yang mengusung tema-tema
tertentu dalam ayat-ayat yang tersebar di dalam Al-Qur’an. Metode ini
pun kemudian mendorong lahirnya metode muqarin (perbandingan)
yang muncul seiring dengan semakin banyak dan kompleksnya persoalan
umat (Izzan, 2011, hlm. 99).
Dalam buku-buku karya Tafsir Tarbawi yang telah disebutkan
di atas, pada umumnya penulis melakukan upaya penafsiran dengan
metode penafsiran tematik (tafsir maudlu’i). Pemilihan metode tafsir ini
dikarenakan dianggap lebih efektif dalam menjawab persoalan-persolan
pendidikan yang membutuhakan pengisian nilai (value filler) dari sumber
hukum Islam, khsuusnya yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an
(Wahyudin, 2016, hlm. 198).
Dalam penerapannya, Tafsir Tarbawi harus meliputi komponen-
komponen yang tercakup dalam kaidah-kaidah tafsir. Menurut M. Quraish

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 129


Shihab beberapa komponen tersebut di antaranya adalah: 1) ketentuan
yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Qur’an; 2) sistematika
yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran; 3) patokan-
patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, baik
dari ilmu bantu, seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik
langsung dari penggunaan Al-Qur’an (Chirzin, 2003, hlm. 85).
Untuk menghindari penyimpangan atau kesalahan dalam penafsiran,
para ahli tafsir menetapkan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi dalam
proses penafsiran Al-Qur’an. Adapun kaidah-kaidah tafsir tersebut di
antaranya adalah: kaidah dasar tafsir, kaidah isim dan fi’il, kaidah amr
dan nahi, kaidah istifham, kaidah ma’rifah dan nakirah, kaidah mufrad
dan jama’, kaidah tanya dan jawab, kaidah wujuh dan nazha’ir, kaidah
dhamir mudzakar dan mu’anats, kaidah syarah umum dan sebab khusus
(Chirzin, 2003, hlm. 86).
Dalam upaya penafsirannya, Tafsir Tarbawi juga tidak dapat dilepaskan
dari Adab al-Mufasir. Adapun Adab al-Mufasir memiliki pengertian bahwa
dalam upaya penafsirannya pada suatu ayat, sang mufasir melakukan
langkah-langkah berikut: 1) manfsirkan Al-Qur’an lebih dulu dengan
Al-Qur’an; 2) Menafsirkan Al-Qur’an dengan keterangan Sunnah /
Hadits; 3) Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat /
Atsar; 4) Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in tertentu; 5)
Menafsirkan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab; 6) Menafsirkan dengan
ilmu pengetahuan lainnya dengan jalan istinbath (panggilan hukum)
dan ijtihad. Berdasarkan hal tersebut, metode apa pun yang digunakan
oleh seorang mufasir, dia harus mengaplikasikan Adab al-Mufasir dalam
karya tafsirnya (Rosidin, 2014, hlm. 7–8).
Sebagai suatu corak atau pendekatan tafsir Al-Qur’an, maka Tafsir
Tarbawi membutuhkan metode agar menghasilkan kualitas penafsiran
yang baik. Rosidin menjelaskan bahwa metode Tafsir Tarbawi memiliki
karakteristik sebagai berikut (Rosidin, 2014, hlm. 8–9):
1. Dari sisi sumber penafsirannya adalah tafsir bi al-iqtirānī, yakni
menggunakan sumber riwayat (ma’tsur) maupun pendapat (ra’yi);

130 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


2. Dari sisi cara penjelasannya adalah tafsir muqarin, yakni memband-
ingkan antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; antara Al-Qur’an dengan
Hadits, dan antara hasil ijtihad antar mufassir lintas disiplin keilmuan;
3. Dari sisi keluasan penjelasannya adalah tafsir ithnabi, yakni penafsiran
dengan cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara mendetail atau
rinci sengan uraian-uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas
dan terang;
4. Dari sisi sasaran atau tertib ayat yang ditafsirkan adalah tafsir mawdhu’i,
yaitu suatu penafsiran dengan cara mengumpulkan ayat mengenai
satu judul atau topik tertentu dengan memperhatikan masa turunnya
dan asbab al-nuzūl ayat, serta mempelajari ayat-ayat tersebut secara
cermat dan mendalam dengan memperhatikan hubungan ayat yang
lain di dalam menunjuk suatu permaslahan, kemudian menyimpulkan
masalah yang dibahas dari ayat-ayat yang ditafsirkan secara terpadu;
5. Dari sisi corak atau alirannya, metode Tafsir Tarbawi adalah tawaran
baru corak atau aliran tafsir (al-ittijah atau al-naza’ah) yang ada, karena
mengedepankan sudut pandang kependidikan ketika menafsirkan
ayat Al-Qur’an.
Selain karakteristik tersebut, menurut Rudi Ahmad Suryadi dalam
pengembangan tafsir pendidikan (Tafsir Tarbawi) juga harus diperhatikan
munasbah al-ayat wa al-surah (korelasi ayat dan surat). Hal ini karena satu
ayat dalam Al-Qur’an berdasarkan tesis munasabah tidak berdiri sendiri,
ia memiliki koneksi dengan pernyataan ayat lainnya, baik sebelum, setelah,
maupun dengan surah lain. Dalam hal ini, kajian munasabah memiliki
aspek penting dalam menangkap, mengurai, maupun mereformulasi
konsep yang dikaji. Rudi Ahmad Suryadi mencontohkan metode ini
ketika menafsirkan Q.S. An-Najm ayat 26, dengan memperhatikan
korelasi ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya, menjelaskan bahwa,
indikator pencapaian keridhaan Allah adalah: 1) mempercayai bahwa
al-Qur’an adalah benar wahyu dari Allah; 2) beriman kepada Allah dan
tidak berbuat syirik; 3) tidak menuruti hawa nafsu dan prasangka; 4)
menggapaikan harapan hanya pada Allah; 5) berbuat baik dengan tidak

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 131


melakukan dosa besar dan dosa kecil; dan 6) tidak cenderung kepada
kehidupan duniawi (Suryadi, 2016, hlm. 82).

Simpulan
Ketika sebuah teks hadir ke tengah masyarakat, maka ia telah menjadi
milik publik. Selanjutnya publik pun akan memberikan apresiasi berupa
pemahaman sesuai dengan intelektualitas yang mereka miliki. Begitupun
ketika teks Al-Qur’an hadits di tengah umat Islam, maka mereka akan
menjadikannya sebagai dasar hukum dan pedoman bagi setiap muslim.
Al-Qur’an senantiasa memiliki kedudukan yang tinggi untuk dijadikan
sebagai landasan bagi setiap kegiatan umat Islam. Begitupun dalam bidang
pendidikan, umat Islam melakukan upaya pengkajian guna membentuk
sistem pendidikan yang sesuai dengan Al-Qur’an. Untuk memenuhi hal
tersebut, maka disusunlah disiplin ilmu pendidikan yang berlandaskan
Al-Qur’an yang disebut sebagai Tafsir Tarbawi. Diharapkan disiplin ilmu
ini dapat memenuhi kebutuhan akademik dalam rangka pengayaan
kurikulum lokal atau kurikulum nasional di perguruan tinggi agama
Islam yang ada di Indonesia.
Dalam perkembangannya, kajian Tafsir Tarbawi di Indonesia
berkembang cukup pesat, hal ini dibuktikan dengan banyaknya buku-
buku yang corak penafsiran Tafsir Tarbawi dalam menyikapi isu-isu
pendidikan yang berkembang di Indoensia. Meski demikian, kompeksitas
dunia pendidikan, khususnya dalam pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia masih membutuhkan pemikiran-pemikiran yang segar yang
berkaitan dengan pendidikan. Oleh karenanaya, wacana pendidikan
yang didasarkan pada corak penafsiran Al-Qur’an masih terbuka lebar
untuk terus dikembangkan.

Daftar Pustaka
Adz Dzahabi, M. H. (1976). At-Tafsir wa Al-Mufasirun (Vol. 1). Daar
al-Hadits.

132 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Alpian, Y., Anggraeni, S. W., Wiharti, U., & Soleha, N. M. (2019).
Pentingnya Pendidikan bagi Manusia. Jurnal Buana Pengabdian,
1(1), 66–72.
Amien, M. M. (2006). Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan
Islam. UI Press.
Ananta A, M. R. A., Nurdin, Rahmawati, & Fauziah, S. (2022). Konsep
dan Praktik Pendidikan Islam dalam al-Qur’an: Studi Tafsir Tarbawi.
Gunung Djati Confrence Series, 9.
Batubara, I. A. (2022). Integrasi Ilmu Sebuah Konsep Pendidikan Islam
Ideal. Book Chapter of Proceedings Journey-Liaison Academia and
Society, 1(1), 759–771.
Chirzin, M. (2003). Permata al-Qur’an. Qirtas.
Cintamulya, I. (2012). Peranan Pendidikan dalam Mempersiapkan
Sumber Daya Manusia di Era Informasi dan Pengetahuan. Jurnal
Formatif, 2(2), 90–101.
Hidayat, H. (2020). Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an. Al-Munir,
2(1), 29–76.
Huda, M. (2015). Peran Pendidikan Islam Terhadap Perubahan Sosial.
Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 10(1), 165–188.
Hula, I. R. N. (2020). Tafsir Tarbawi: Analisis Bahasa dan Sastra al-Qur’an
dalam Surah Luqman. Jurnal Ilmiah Al-Jauhari: Jurnal Studi Islam
dan Interdisipliner, 5(1), 121–146.
Izzan, A. (2011). METODOLOGI ILMU TAFSIR. tafakur. https://books.
google.co.id/books?id=ReKMDwAAQBAJ
Mahjub, A. (1987). Ushul al-Fikr al-Tarbawi fi al-Islam. Daar Ibn Kathir.
Marsyam, A. W. (2022). Kaidah-kaidah Pemahaman Esoteris Al-Qur’an
Abu al-Hasan al-Haralli. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits,
22(1), 24–51.
Mubarok, F. (2022). Pengantar Filsafat Islam. Penerbit Adab.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 133


Muvid, M. B. (2020). Konsep Pendidikan Agama Islam dalam Tinjauan
Hadits (Studi Analisis tentang Hadits-hadits Pendidikan).
Tarbawiyah: Jurnal Ilmiah Pendidikan, 4(1), 1–27.
Prof. Dr. HAMKA. (t.t.). Tafsir Al-Azhar Jilid 1. Pustaka Nasional PTE
Ltd.
Ridwan, M. (2021). Sumber-Sumber Hukum Islam dan Implementasinya
(Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’).
Borneo: Journal of Islamic Studies, 1(2), 28–41.
Rosidin. (2014). Metode Tafsir Tarbawi Praktis. Genus Media.
Rosidin. (2017). Dialektika Andragogi dengan Tafsir Tarbawi dan
Implikasinya di Perguruan Tinggi Islam. Proceedings ANCOMS 2017,
795–811.
Somantri, Hj. E. D. (2013). Kritik Terhadap Paradigma Positivisme. Jurnal
Wawasan Hukum, 28(1), 622–633.
Surahman, C. (2019a). Tafsir Tarbawi di Indonesia Hakikat, Validitas, dan
Kontribusinya bagi Ilmu Pendidikan Islam. Maghza Pustaka.
Surahman, C. (2019b). Tafsir Tarbawi in Indonesia: Efforts to Formulate
Qur’an Based Islamic Education Concept. Jurnal Pendidikan Islam,
5(2), 2011–2226.
Suryadi, R. A. (2016). Signifikansi Munasabah ayat al-Qur’an dalam Tafsir
Pendidikan. Ulul Albab, 17(1), 71–87.
Syukur, A. (2015). Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an. EL-FURQONIA,
01(01), 84–104.
Wahyudin, W. (2016). Pendidikan Sepanjang Hayat Menurut Perspektif
Islam (Kajian Tafsir Tarbawi). Saintifika Islamica: Jurnal Kajian
Keislaman, 2(2), 191–208.
Widiawati, N. (2020). METODOLOGI PENELITIAN: Komunikasi dan
Penyiaran Islam. EDU PUBLISHER. https://books.google.co.id/
books?id=F5DcDwAAQBAJ
Yuanitasari, R. (2020). Masa Kodifikasi Hadits Meneropong
Perkembangan Ilmu Hadits Pada Masa Pra-Kodifikasi hingga Pasca

134 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Kodifikasi. Ar-Risalah: Media Keislaman, Pendidikan dan Hukum,
XVIII(1), 101–113.
Yunus, B. M. (2016). Pengantar Tafsir Tarbawy. Al-Bayan: Jurnal Studi
Al-Qur’an dan Tafsir, 1(1), 1–7.

Biografi Singkat Penulis


Frenky Mubarok merupakan dosen Program Studi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Pangeran Dharma
Kusuma Segeran Indramayu. Selain mengajar, beliau juga aktif dalam
menulis dan publikasi.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 135


Model Manajemen
Pengorganisasian Kurikulum
Ecopesantren untuk Meningkatkan
Kesadaran dan Kepedulian
Terhadap Lingkungan

Anggi Setiawan,1 Rihlah Nur Aulia,2 Amaliyah, 3 Achmad Fadillah, 4


M Affan Yazidur Rahman5
Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
Email: anggisetiawan3105@gmail.com1

Pendahuluan
Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan
nasional memiliki peran penting melihat realitas degradasi lingkungan
yang telah terjadi melalui pendidik dengan mendidik serta menanamkan
karakter peduli lingkungan kepada para peserta didik. Hal ini dilakukan
karena dalam pendidikan lingkungan hidup dibutuhkan upaya secara
kolektif tidak hanya tugas dari pegiat lingkungan atau tugas individu
yang memang berkecimpung di dunia lingkungan hidup. Akan tetapi,
dalam merealisasikan pendidikan lingkungan hidup tersebut perlu
memiliki strategi yang tepat. Strategi yang tepat dapat dilakukan dengan
mengorganisasikan isi kurikulum yang meliputi bahan atau materi
pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik.
Ecopesantren adalah program yang bertujuan untuk mempromosikan
perlindungan lingkungan melalui pendidikan. Program tersebut
diluncurkan pada tahun 2008 oleh Kementerian Lingkungan Hidup
(Abbas, A. S et al. 2012). Ecopesantren terdiri dari dua kata, yakni eco
dan pesantren. Kata eco mengacu pada istilah ecology yang erat kaitannya
dengan lingkungan hidup. Sedangkan kata pesantren digunakan untuk

136 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


lembaga pendidikan khas Indonesia yang mengajarkan ilmu keIslaman.
(Aulia et al., 2018). Ecopesantren merupakan model pendidikan yang
bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki pengetahuan
seimbang sehingga mereka dapat menyeimbangkan dan menerapkan
konsep-konsep Islam secara holistik. Kurikulum ecopesantren dirancang
untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik tentang lingkungan hidup
melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler di pesantren. Tujuan
dari program ini adalah untuk meningkatkan kesadaran lingkungan
melalui pendidikan lingkungan, yang dapat membantu mencegah
kerusakan lingkungan lebih lanjut dan bahkan perbaikan kerusakan yang
telah terjadi. Kurikulum ecopesantren terintegrasi dengan kurikulum
Kementrian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Dalam integrasi kurikulum ecopesantren dibutuhkan manajemen
pengorganisasian kurikulum yang efektif dan efisien. Pengorganisasian
kurikulum menjadi penting karena dapat menentukan isi kurikulum.
Pengorganisasian kurikulum meliputi pengaturan bahan atau materi
pelajaran dengan cara yang logis dan koheren, yang membantu memastikan
bahwa isi kurikulum tersebut relevan, terkini, dan selaras dengan tujuan
pendidikan nasional. Kemudian, pengorganisasian kurikulum dapat
membantu membuat proses pembelajaran lebih efektif dan efisien dengan
menyediakan struktur dan urutan topik yang jelas, serta metode pengajaran
dan kegiatan pembelajaran yang tepat. Pengorganisasian kurikulum juga
dapat membantu pendidik untuk merencanakan dan menyampaikan
pelajaran secara lebih efektif, dengan memberikan panduan tentang
apa yang harus sampaikan, bagaimana menyampaikan, dan bagaimana
menilai pembelajaran peserta didik.
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui fenomena
esensial partisipan yang terdapat dalam penelitian dan menggunakan
pendekatan studi kasus untuk menyelidiki dan memahami permasalahan
yang terjadi di lokasi penelitian. Lokasi berlangsungnya penelitian berada di
Yayasan Pondok Pesantren SPMAA Lamongan. Adapun waktu penelitian

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 137


berlangsung pada pekan ketiga bulan Juni tahun 2022 sampai dengan
pekan keempat bulan April tahun 2023. Subjek dalam penelitian ini adalah
pimpinan Yayasan Pondok Pesantren SPMAA Lamongan. Objek dalam
penelitian ini adalah model manajemen pengorganisasian kurikulum
ecopesantren untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap
lingkungan. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu
sumber data primer yang terdiri dari data yang diperoleh melalui informan
secara langsung dan sumber data sekunder yang diperoleh dari berbagai
dokumen yang berbentuk hard copy maupun soft copy.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga,
diantaranya adalah pertama, wawancara mendalam (In depth Interview).
Informan dalam penelitian ini meliputi pembina pengawas yayasan,
direktur yayasan, deputi program, kepala madrasah, dan guru. Kedua,
observasi partisipatif. Tempat berlangsungnya observasi selama peneliti
berada di lapangan adalah gedung sekretariat, gedung madrasah, asrama
santri, masjid yayasan, dan rumah Gus/Ustaz. Ketiga, studi dokumentasi.
Pada teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari berbagai
dokumen seperti kurikulum, struktur yayasan, buku, jurnal, karya tulis, dan
dokumen pribadi milik Yayasan Pondok Pesantren SPMAA Lamongan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga,
diantaranya adalah reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/kesimpulan.
Pada saat reduksi data peneliti berupaya untuk memilah, merangkum,
dan menyederhanakan temuan data hasil penelitian di lapangan agar
dapat mempermudah peneliti dalam mengelompokkan data penelitian
sebelum masuk pada tahap berikutnya. Kemudian, langkah berikutnya
adalah, peneliti melakukan penyajian data sesuai dengan konteks data
yang dimaksud untuk menjawab rumusan-rumusan masalah dalam
penelitian. Setelah itu, peneliti melakukan verifikasi atau penarikan
kesimpulan sementara terhadap hasil penelitian.

138 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pembahasan
Profil Yayasan Pondok Pesantren SPMAA Lamongan
Yayasan Pondok Pesantren SPMAA adalah singkatan yang digunakan untuk
menyebut Yayasan Pondok Pesantren Sekolah Pendidikan Mental Agama
Allah, sebuah organisasi nirlaba yang mengabdi pada pengembangan
sumber daya manusia. Yayasan Pesantren SPMAA didirikan di Dusun
Turi, Lamongan, Jawa Timur, pada hari Jumat, 27 Oktober 1961. Yayasan
ini mendapat pengakuan resmi sebagai organisasi sosial yang berbadan
hukum pada tahun 1979.
Yayasan Pondok Pesantren SPMAA didirikan sebagai tanggapan
atas keprihatinan Pak Guru Muhammad Abdullah Muchtar atas kondisi
kehidupan warga Desa Turi yang mayoritas masih mendominasi sistem
sosial. Hal ini diperparah dengan pengabaian lembaga social setempat
pada saat itu untuk menangani berbagai persoalan dan kebutuhan
masyarakat setempat. Konsep-konsep yang dikembangkan M.A Muchtar
melalui pesantren merupakan sumber kreativitas, inspirasi, dan inovasi
dalam pengembangan masyarakat jika dilihat dalam konteks realitas
kehidupan sehari-hari.
Salah satu alasan berdirinya Yayasan Pondok Pesantren SPMAA
adalah karena sangat menaruh perhatian besar pada niali-nilai peduli
terhadap lingkungan. Banyak penelitian tentang internalisasi cita-cita
lingkungan di lembaga pendidikan dan berbagai prakarsa lingkungan
praktis, seperti penanaman pohon untuk mendorong penghijauan
kawasan, telah dilakukan. Prinsip-prinsip menjaga lingkungan ditetapkan
oleh M.A. Muchtar selaku orang yang menginisiasi berdirinya Yayasan.
“Bersama Para Pihak Mengembalikan Nilai, Hak Asasi Manusia,
Bumi, Alam dan Isinya Pada Aslinya,” demikian visi Yayasan Pondok
Pesantren SPMAA. Karena ada penekanan yang kuat pada lingkungan
atau alam dalam visi ini, maka menjadi landasan bagi kebijakan pondok
pesantren yang berwawasan lingkungan. Misi Yayasan Pondok Pesantren
SPMAA adalah “Sabar dalam Semangat Mengamalkan Ajaran Tiga
Proyek Besar manusia Agar Mencapai 99% Derajat Dunia Akhirat” guna

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 139


mewujudkan visi tersebut sebagai lembaga pembangunan yang berwawasan
ekologis. “Belajar, bekerja, dan berdoa” adalah slogan SPMAA. Selain
itu, “Sampah adalah berkah” merupakan semboyan Yayasan Pesantren
SPMAA. Berdasarkan uraian diatas yang berkenaan dengan profil yayasan
terlihat jelas bahwa pihak Yayasan menaruh perhatian besar terhadap
isu lingkungan.
Pengembangan kurikulum untuk pendidikan formal dan informal
dipandu oleh seperangkat cita-cita inti yang didasarkan pada tantangan
lingkungan tersebut. Prinsip dasar Yayasan Pondok Pesantren SPMAA
atau dikenal juga dengan Tiga Proyek Besar Umat Manusia (TPB) terbagi
menjadi tiga, mengenal Allah secara mendekat dan mendasar, melatih
diri untuk mengetahui musuh ghaib setan, dan menanam keyakinan
dunia dan akhirat (Aulia et al. 2018)
Rencana aksi mendasar pesantren SPMAA berangkat dari persoalan
hidup tanpa nilai-nilai ketuhanan jangka panjang dan lamanya waktu
dari arah kehidupan dan kepemimpinan umat untuk jangka waktu
yang singkat menuju kehancuran tatanan nilai, budaya. hukum, akal,
masyarakat, dan lingkungan. Untuk dengan cepat, tepat, merencanakan,
mengatur, dan dengan benar kembali ke aslinya, diperlukan metode yang
segar dan ekspansif. menggunakan lima teknik dasar: berempati dengan
orang lain, terlibat dalam agama, berkomitmen pada Islam, beriman, dan
terlibat dengan alam(Aulia et al. 2020)
Dengan tiga fokus utama, sistem pendidikan SPMAA dibuat berba-
sis pesantren dan tarbiyatul ummat. Disiplin sosial, pendidikan, dan
lingkungan menjadi tiga fokus utama pesantren SPMAA, dan ketiga
bidang ini secara kolektif disebut dengan akronim SOSDIKLINK (Sosial,
Pendidikan, dan Lingkungan). Pondok Pesantren SPMAA merupakan
keunikan sistem lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
dengan materi pembelajaran yang dapat berasal dari mana saja, terutama
bersumber dari kehidupan masyarakat, yang dilambangkan dengan tanda
“Welcome to Madrasah Open Source” di pintu masuk sekolah.

140 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Struktur Program Kurikulum Ecopesantren
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengorganisasian kurikulum ecope-
santren di Yayasan Pondok Pesantren SPMAA Lamongan menggunakan
kurikulum terintegrasi (integrated curriculum) yang diintegrasikan pada
lingkup pendidikan formal di madrasah dan non formal di pesantren.
Indikator bentuk pengorganisasian kurikulum ecopesantren tersebut
ditandai dengan proses pengorganisasian yang terdiri dari berbagai unit
atau tema lintas disiplin (transdisciplinary themes). Integrasi kurikulum
ecopesantren dilakukan melalui kegiatan pembiasaan, pembudayaan,
dan pemberdayaan yang diterapkan didalam dan diluar kelas.
Salah satu contoh kurikulum terpadu di Yayasan Pondok Pesantren
SPMAA Lamongan adalah integrasi sains dan agama. Pendekatan ini
bertujuan untuk menggabungkan pengetahuan ilmiah dengan nilai-nilai
agama dan kepercayaan sebagai landasan dalam mewujudkan internalisasi
nilai-nilai peduli terhadap lingkungan. Selain itu, pengetahuan dan nilai-
nilai tersebut dijadikan sebagai motivasi ekstrinsik dalam menanamkan
kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan kepada para peserta
didik baik dalam pendidikan formal di madrasah dan pendidikan non
formal di pesantren.
Proses kegiatan pembelajaran di Yayasan Pondok Pesantren SPMAA
Lamongan pada program intrakurikuler sesuai dengan struktur program
kurikulum yang telah ditetapkan. Pendidik berperan penting tidak hanya
sekadar memberikan pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga
berupaya untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna
bagi peserta didik. Menekankan nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan
beserta dengan dampak positif dan negatif terhadap perilaku tersebut.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 141


Secara horizontal struktur kurikulum yang terdapat pada pendidikan
formal di madrasah terdiri dari berbagai mata pelajaran yang dikelompokkan
menjadi tiga bagian, yaitu mata pelajaran wajib, mata pelajaran peminatan,
dan mata pelajaran pilihan. Tidak terdapat mata pelajaran tersendiri atau
khusus ecopesantren dalam struktur kurikulum di madrasah, akan tetapi
isu lingkungan diintegrasikan pada setiap mata pelajaran sesuai dengan
tema yang berkaitan dengan lingkungan pada setiap mata pelajaran.
Pada kelompok mata pelajaran yang terdapat pada struktur kurikulum
di madrasah kurikulum ecopesantren diintegrasikan melalui tema-
tema yang berkenaan dengan lingkungan pada setiap mata pelajaran.
Tema ini dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti

142 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


membersihkan lingkungan madrasah atau mengurangi penggunaan
sampah plastik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan
dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan dan membangun perilaku
ramah lingkungan. Walaupun tidak terdapat mata pelajaran khusus yang
berkenaan dengan ecopesantren tidak menutup kemungkinan untuk
dapat mengintegrasikannya melalui setiap mata pelajaran yang terdapat
pada struktur kurikulum.

Sedangkan pada pendidikan non formal di pesantren, secara


horizontal struktur kurikulum terdiri dari dua kelompok mata pelajaran,
yakni kelompok A dan kelompok B. Pada mata pelajaran kelompok A
dirancang dengan menggunakan pendekatan klasikal yang bersifat teoritis
dan pada mata pelajaran kelompok B lebih menekankan pada praktik
atau kegiatan lifeskill. Kedua kelompok mata pelajaran tersebut tidak

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 143


Gambar 1. 2 Struktur Kurikulum Pesantren
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya, saling berkaitan
satu sama lain antara teori dengan praktik dalam mengimplementasikan
nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan .
Kelas X sampai XII SMA/MA merupakan sistem kelas vertikal yang
digunakan dalam kurikulum ecopesantren di madrasah. Ada tiga tingkat
kelas yang membutuhkan studi satu tahun penuh, dipecah menjadi
semester genap dan ganjil. Satu semester lamanya enam bulan. Ini terdiri
dari enam unit topik pembelajaran selama satu tahun (program inkuiri
tahunan). Dua sampai empat jam pembelajaran dialokasikan untuk satu
unit mata pelajaran selama enam sampai tujuh minggu. Ada 53 jam
pengajaran, masing-masing berlangsung selama 45 menit, dalam satu
minggu. termasuk studi wajib, khusus, dan opsional.
Dari sisi organisasi vertikal, kurikulum pondok pesantren ramah
lingkungan menggunakan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) yang
disesuaikan dengan topik yang terdapat di pondok pesantren daripada
sistem kelas. Diperlukan IPK minimal 2,0, dan maksimal 30 SKS dapat
diambil dalam satu semester. Jika IPK peserta didik turun di bawah
tingkat yang dipersyaratkan, sanksi diterapkan, dan istirahat atau libur
semester tidak diberikan.
Referensi atau sumber rujukan bahan ajar digunakan dalam bentuk
Diktat pada setiap topik yang tercakup dalam kerangka kurikulum
pondok pesantren ramah lingkungan pada pendidikan non formal. Diktat
adalah karya tulis atau pelajaran yang menitikberatkan pada pendidikan
lingkungan dan memasukkan pelajaran, nilai, dan konsep kehidupan yang
berasal dari Bapak Guru M.A. Muchtar selaku pendiri Yayasan Pondok
Pesantren SPMAA Lamongan semasa hidupnya.
Pendidikan dan Informasi Lingkungan Hidup (PILIH) dan Santri
Tanggap Bencana (SANTANA) adalah dua kegiatan ekstrakurikuler yang
sesuai dengan kerangka kurikulum pondok pesantren ramah lingkungan
yang terdiri dari berbagai mata pelajaran. Gagasan kuat, sehat, cepat,
hemat, dan aman digunakan dalam pelaksanaan program ekstrakurikuler
ini. Kegiatan ekstrakurikuler ini tidak hany sekadar belajar mengenai

144 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


materi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Namun, kegiatan ini
juga mengedepankan praktik secara langsung melihat realitas degradasi
yang terjadi disekitaran.
Kurikulum pesantren ramah lingkungan disusun dengan berbagai
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran atau kepedulian terhadap
lingkungan, menumbuhkan sikap peduli lingkungan, dan memberikan
dampak positif bagi masyarakat dalam kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan
dan Informasi Lingkungan Hidup (PILIH). Inisiatif tersebut antara lain
pembuatan sumur resapan, kampanye ramah lingkungan, dan pendidikan
lingkungan, serta demonstrasi biogas menggunakan kotoran sapi.
Kurikulum pesantren ramah lingkungan disusun dengan menawarkan
instruksi tentang manajemen bencana, termasuk mengenali kemungkinan
bahaya dan mengambil tindakan untuk mengurangi dampaknya. Hal ini
dilakukan sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler Santri Tanggap
Bencana (SANTANA). Selain itu, memberikan pelatihan tentang tanggap
darurat, termasuk menanggapi bencana alam seperti tanah longsor dan
banjir. Ini dapat mengurangi kerusakan lingkungan dan mengurangi
dampaknya terhadap lingkungan.

Simpulan
Dengan menggunakan struktur program kurikulum yang tergabung
dalam ranah formal dan non formal di pesantren dan madrasah, Yayasan
Pesantren SPMAA Lamongan mampu menata kurikulumnya secara
efektif dalam setting akademik. Sehingga proses internalisasi nilai-nilai
kepedulian terhadap lingkungan dapat membantu pihak Yayasan dalam
menigkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan. Kurikulum
dibagi menjadi dua bagian; bagian horizontal dan bagian vertikal.
Struktur kurikulum terintegrasi secara horizontal (Integrated curricular).
Organisasi vertikal kurikulum di madrasah menggunakan struktur kelas.
Sedangkan, di pesantren, di sisi lain, menerapkan sistem satuan kredit
semester (SKS). Selain pada program intrakurikuler sebagaimana yang
termaktub di struktur kurikulum di Yayasan dan madrasah, integrasi
kurikulum ecopesantren juga dilakukan melalui program ekstrakurikuler.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 145


Daftar Pustaka
Abbas, A. S., Djuhri, M., Adnan, Z., Hutasuhut, M., Mangunjaya, F. M., &
Sumana, W. 2012. Panduan Eco-Pesantren. Kementrian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia.
Aulia, Rihlah Nur, Sari Narulita, Moh Firdaus, Izzatul Mardhiah. 2018.
“Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pesantren (Studi Kasus Di
Pondok Pesantren SPMAA Lamongan, Jawa Timur).” Jurnal Ilmiah
Pendidikan Lingkungan dan Pendidikan Berkelanjutan XIX: 2580–
9199.
Aulia, Rihlah Nur, et al. 2020. “Internalisasi Nilai Peduli Lingkungan
Di Persekolahan: Studi Kasus Ecopesantren SPMAA Lamongan
Jawa Timur.” Hayula: Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic
Studies 4(1): 87–98.

Biografi Singkat Penulis


Artikel ini ditulis oleh tim dosen dan mahasiswa Program Studi Pendidikan
Agama Islam Unversitas Negeri Jakarta, Indonesia.

146 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pemberdayaan Santri Pondok
Pesantren Al-Ittifaq Melalui
Program Entrepreneurship

Hafizhul Wahyu Sejati,1 Achmad Fadillah,2 Muhammad Hair3


Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
Email: hafizhulwahyu1@gmail.com,1 achmad.fadillah.56232@gmail.com, 2
muhammadhair90@gmail.com3

Pendahuluan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis keagamaan
yang telah tumbuh pesat di Indonesia. Dalam pengertian ini, pondok
pesantren merupakan wadah pendidikan Islam yang mengutamakan
moral agama Islam sebagai pedoman hidup untuk dipahami, dihayati,
serta diamalkan secara langsung dalam kehidupan. Pondok pesantren
memiliki beragam fungsi sebagai badan pendidikan, sosial, dan keagamaan
yang dibentuk oleh pemerintah dalam upaya untuk membangun karakter
unggul (Supriyanto, 2020).
Bentuk-bentuk program pondok pesantren saat ini terbagi menjadi
empat klasifikasi, diantaranya (1) Pondok pesantren yang menyelanggarakan
pendidikan agama Islam yang identik dengan menerapkan pembahasan
kitab-kitab kuning serta Al-Qur’an, (2) Pondok pesantren yang berbentuk
pengalaman dan pendidikan moral sehingga menghasilkan output seperti
persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan, dan kedisiplinan, (3)
Pondok pesantren yang berbentuk sekolah dan pendidikan umum yang
mengacu kepada pendidikan nasional dari Departemen Pendidikan
Nasional dan pendidikan madrasah dari Departemen Agama, (4) Pondok
pesantren berbentuk keterampilan dan kursus, yang memberlakukan
kegiatan secara terencana dan terprogram melalui kegiatan tertentu.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 147


Adapun contoh kegiatannya seperti pemberdayaan santri dengan
diadakannya program entrepreneurship (Arifai, 2018).
Program kepesantrenan yang membentuk santrinya terbagi menjadi
dua, yaitu terbentuk secara aspek religiuitas dan aspek sosial kemasyara-
katan. Bentuk dari aspek religiuitas bisa berupa peningkatan sikap yakin
pada dirinya terhadap keagamaannya, sekaligus sebagai bentuk dari aspek
sosial kemasyarakatan salah satunya bisa berupa pembelajaran salah
satunya tentang bagaimana memberdayakan program entrepreneurship
melalui perekonomian pesantren.
Pemberdayaan yang berasal dari kata empowerment yang berkaitan
dengan kekuatan atau kekuasaan. Karena itu, pemberdayaan dapat
diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi pihak lain, yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh
pihak lainnya. Berdasarkan hal diatas secara jelas telah terdeskripsikan
bahwa peningkatkatan kualitas sumber daya manusia pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia yang senantiasa
berkembang sesuai dengan perkembangan tuntutan zaman sehingga
pemberdayaan santri melalui program entrepreneurship bisa menjadi
solusi di tengah tingginya angka pengangguran di Indonesia.
Pemberdayaan santri dalam pondok pesantren dilaksanakan untuk
menjawab tantangan bahwa tidak semua orang tua mampu membiayai
anaknya dalam hal pendidikan pondok pesantren sehingga lulusan
pondok pesantren tidak semua melanjutkan ke tahap pendidikan yang
lebih tinggi atau bahkan langsung kembali ke masyarakat.
Pada tahun 2021, tingkat kemiskinan di Indonesia berjumlah 10,14%
dari jumlah penduduk di Indonesia. Yang artinya, tingkat kemiskinan di
Indonesia masih tergolong menengah ke atas, meskipun pada Maret 2022
menurun menjadi 9,54% (Larasati, 2022). Oleh sebab itu, pondok pesantren
diharapkan untuk mengadakan program-program yang berkaitan dengan
profesi santri setelah lulus. Maka jika hanya mengandalkan ilmu yang
didapat dari pondok pesantren untuk mencukupi kebutuhan, banyak
lulusan pondok pesantren yang hidupnya tidak mudah dan bahkan

148 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


termasuk kategori kurang mampu. Salah satu pondok pesantren yang
mengembangkan pemberdayaan ekonomi pesantren dengan melibatkan
santrinya ialah Pondok Pesantren Al-Ittifaq Ciwidey Bandung yang
eksis menjalankan pemberdayaan santri pesantren melalui program
entrepreneurship dengan mengandalkan komoditi sayuran dan peternakan.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq didirikan 1 Februari 1934 (16 Syawal
1302 H) oleh K.H. Mansyur. Pondok Pesantren ini berlokasi di Kampung
Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jawa Barat. Terletak di dataran tinggi menyebabkan dinamika hidup sehari-
hari masyarakat didominasi oleh sistem pertanian holtikultura. Pada tahun
1953, kepemimpinan pesantren berpindah kepada K.H. Rifai, putra K.H.
Mansyur, lalu pada tahun 1970, tongkat kepemimpinan dialihkan kepada
K.H. Fuad Affandi, putra K.H. Rifai, dari kepemimpinan K.H. Fuad Affandi
telah terjadi perubahan visi, misi, dan orientasi pondok pesantren. Salah
satu kegiatan utamanya ialah memadukan antara kegiatan keagamaan
dengan kegiatan usaha pertanian karena sesuai dengan potensi alam
di sekitar pesantren sehingga perekonomian pondok pesantren dapat
dilakukan secara mandiri.
Tulisan ini akan menganalisis tentang pemberdayaan santri melalui
program entrepreneurship di Pondok Pesantren Al-Ittifaq Ciwidey Bandung.
Hal ini cukup unik untuk diteliti, mengingat Pondok Pesantren Al-Ittifaq
Ciwidey Bandung menjadi trendsetter pesantren lain dalam menerapkan
kegiatan pemberdayaan santri berbasis entrepreneurship dan lumayan
berhasil sampai pesantren mampu menunjukkan pemberdayaan yang
bagus. Didirikan pada 16 Syawal 1302 H / 1 Februari 1934 M oleh KH.
Mansyur yang sekarang dipimpin oleh KH. Fuad Affandi (cucu KH.
Mansyur) dan beliau merintis program entrepreneurship dengan tujuan
santri memiliki kemampuan wirausaha sehingga bisa dimanfaatkan
ketika lulus sehingga Pondok Pesantren Al-Ittifaq Ciwidey Bandung
dinilai cocok untuk dilakukan penelitian dan skripsi ini menjadi acuan
bagi para peneliti-peneliti lainnya dalam hal pemberdayaan santri dan
program entrepreneurship.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 149


Pembahasan
Pengertian Pemberdayaan Santri
Pemberdayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kata nomina
(kata benda) yang berarti proses, cara, perbuatan, memberdayakan
(Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Dalam istilah lain, pemberdayaan
atau empowerment adalah cara untuk membangun daya masyarakat dengan
membina, memotivasi, dan menstimulasi kesadaran akan potensi serta
berupaya untuk menyuburkan semangat dengan memperkuat potensi
yang dimiliki oleh masyarakat (Kartasasmita, 1996).
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan
dan Moderasi Beragama Kemenko PMK Agus Sartono menjelaskan bahwa
program pemberdayaan ekonomi umat melalui pondok pesantren (PEP)
adalah suatu pola yang ditujukan untuk mewujudkan kesamaan persepsi
dan pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan (Mutiara, 2021).
Dalam suatu permasalahan yang terjadi di kalangan masyarakat
yaitu tidak semua orang mampu dalam segi finansial, pondok pesantren
telah mengadakan visi misi untuk menuntaskan masalah. Salah satu
caranya dengan menghadirkan pemberdayaan santri yang disalurkan
melalui program entrepreneurship. Pemberdayaan ini diartikan sebagai
upaya untuk membantu santri dan masyarakat sekitar pesantren dalam
mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan mampu untuk
mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri (Abidin,
2012). Untuk memberdayakan santri, pesantren dapat melakukan salah
satu pemberdayaan dengan sistem dakwah. Sistem dakwah yang diterapkan
menjadikan santri terbiasa untuk berdakwah sehingga menghasilkan output
sebagai ahli dalam bidang transformasi sosial. Pemberdayaan ekonomi
jelas lebih mengutamakan aksi dibanding retorika belaka, artinya santri
dibentuk untuk memulai segala hal serta berkaitan dengan program
entrepreneurship yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi diri
maupun pesantren (Nurjamilah, 2016).
Berdasarkan beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan jika pemberda-
yaan santri ditujukan untuk memberantas kemiskinan sekaligus sebagai

150 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


ekonomi kreatif agar santri dapat mengembangkan diri untuk mendapatkan
angka harapan hidup yang lebih baik ditengah kerasnya persaingan di
masa yang akan datang. Disisi lain, pemberdayaan ekonomi pesantren
juga dapat mewujudkan persamaan persepsi antara pesantren, kyai atau
pimpinan, santri, maupun warga pesantren agar dinamika kehidupan
pesantren menjadi sejahtera dari segi ekonomi.

Konsep Pemberdayaan Santri


Konsep pemberdayaan merupakan sarana santri akan menyadarkan diri
sebagai pelaku reaktualisasi atau alih generasi yang aktif. Konsep atau
tahapan pemberdayaan merupakan usaha untuk membentuk kemanusiaan
yang adil dan beradab agar perekonomian berjalan efektif serta terorganisir
dengan baik. Dalam tingkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat terdiri
dari: (1) Tahap penyadaran, merupakan tahap perencanaan dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat melingkupi tahap diseminasi atau sosialisasi,
(2) Tahap pembinaan, merupakan tahap untuk proses transfer ilmu
pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan. Dalam hal ini, masyarakat
belajar tentang pengetahuan dan kemahiran baru, sehingga dapat ikut andil
dalam mengambil peran di dalam pembangunan, (3) Tahap kemandirian,
merupakan tahap pendampingan untuk mengasah bagi masyarakat agar
benar-benar mampu untuk mengelola kegiatan proses pemberdayaan
masyarakat disertai berbagai faktor internal dan eksternal. Dalam hal ini,
hubungan faktor internal menjadi komponen penting dengan menjadikan
salah satu wujud selforganize dari masyarakat, namun di sisi lain diperlukan
faktor eksternal sebagai proses pemberdayaan masyarakat melalui iringan
suatu rim fasilitator yang bersifat multi disiplin, peran tim ini berproses
sangat aktif untuk memicu masyarakat yang diberdayakan tetapi seiring
pada berjalannya waktu peran tim ini akan menghilang secara perlahan
selama proses berjalan hingga masyarakat mampu berdiri sendiri untuk
menjalankan kegiatannya secara independen (Wrihatnolo, 2007).

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 151


Faktor Pemberdayaan Santri
Menurut ahli ekonomi (Hutomo, 2000), terdapat beberapa faktor terjadinya
pemberdayaan masyarakat, yaitu sebagai berikut : (1) Sumber daya manusia,
penyusunan sumber daya manusia menjadi salah satu kompartemen vital
dalam program pemberdayaan ekonomi. Oleh karenanya, pengembangan
sumber daya manusia untuk pemberdayaan ekonomi harus mendapat
penanganan yang sungguh-sungguh. Sebab sumber daya manusia adalah
unsur paling esensial dalam penguatan ekonomi, (2) Sumber daya alam,
sumber daya alam menjadi salah satu sumber daya pembangunan yang
hakiki dalam proses pemberdayaan ekonomi yang dapat dimanfaatkan
untuk memenuhi keniscayaan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sumber daya alam ini telah dimanfaatkan sejak zaman kehidupan
tradisional sampai zaman industri berada dimana-mana, (3) Permodalan,
merupakan salah satu aspek persoalan yang dihadapi masyarakat pada
umumnya. Namun, hal yang perlu diberi tanda khusus dalam permodalan
yaitu, bagaimana pemberian modal tidak menimbulkan ketergantungan
atau andalan bagi masyarakat serta dapat mendorong usaha mikro, usaha
kecil maupun usaha menengah supaya berkembang ke arah yang relatif
naik atau maju. Cara yang cukup menjadi solutif dalam memfasilitasi
pemecahan masalah permodalan adalah dengan menanggung kredit di
lembaga keuangan dan atau memberi tunjangan bunga atas cicilan di
lembaga keuangan, (4) Prasarana Produksi dan Pemasaran, pendorong
daya produksi dan tumbuhnya kita-kiat usaha diperlukan prasarana
produksi dan pemasaran. Jika hasil implementasi tidak dipasarkan maka
usaha akan terkesan terbuang. Untuk itu, prasarana produksi menjadi
penting dalam pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi adalah
tersedianya prasarana produksi dan pemasaran. Tersedianya sarana
seperti alat transportasi dari lokasi produksi ke pasar akan mengurangi
tali pemasaran sehingga dapat meningkatkan penerimaan konsumen dan
pengusaha mikro, pengusaha menengah ke bawah, maupun pengusaha
menengah.

152 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Faktor pemberdayaan santri dapat meliputi sumber daya manusia,
sumber daya alam, permodalan, serta prasarana produksi dan pemasaran
produk jual. Dalam rangka membentuk struktur pemberdayaan santri
diperlukan berbagai faktor demi terwujudnya program-program yang
berkompeten. Program yang berkompeten salah satunya ialah program
entrepreneurship dengan membangun jiwa berwirausaha santri. Karakter
wirausaha yang dibarengi dengan ilmu dari pesantren menjadikan santri
memiliki pegangan ketika lulus agar selalu berinovasi, kreatif, tanggung
jawab, disiplin, pandai melihat peluang, dan lain sebagainya.

Prinsip Pemberdayaan Santri


Terdapat dua prinsip yang dituliskan dalam Al-Qur’an dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip Ta’awun
Prinsip ta’awun merupakan prinsip kerja sama dan sinergi yang
melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut diantaranya; pihak
pesantren, masyarakat sekitar, dan lembaga pemerintah lokal. Ketiga
pihak ini harus bekerja sama secara bersamaan dan suka cita agar
bisa menjalankan pemberdayaan perekonomian umat secara satu
kesatuan dan menyeluruh. Pesantren dapat mengadakan program-
program dalam rangka memberdayakan perekonomian. Lalu
masyarakat dapat berpartisipasi dalam program tersebut. Sedangkan
pemerintah dapat meninjau dan menopang program-program yang
diinisiasi oleh pesantren tersebut (Istan, 2017).
2. Prinsip Syura
Prinsip syura memiliki arti yaitu musyawarah antara pemerintah
dengan instansi terkait dengan program pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Pemerintah bisa melakukan musyawarah dengan
pesantren tentang program yang dibuat oleh pesantren. Pemerintah
juga dapat bertindak sebagai fasilitator dan regulator dalam program
pemberdayaan ini sesuai dengan hasil kesepakatan yang telah
disepakati. (Istan, 2017).

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 153


Jika disimpulkan prinsip-prinsip dalam pemberdayaan santri pada
pesantren terdapat menjadi dua bagian, yaitu prinsip ta’awun dan syura.
Kedua prinsip ini menjadi pegangan atau pedoman bagi para pelaku
pemberdayaan yang melibatkan santri secara khusus serta pesantren,
masyarakat, dan pemerintah secara umumnya demi terciptanya visi dan
misi pemberdayaan sosial dan ekonomi kedepannya. Pesantren bertugas
menjadi penyedia bahan, alat, tempat, dan lain sebagainya. Sedangkan
masyarakat dapat menjadi bagian dari kerja sama dalam pengerjaan
kerja sama, lalu pemerintah hanya sebagai pendukung program tersebut.
Namun menurut prinsip syura, pemerintah dapat juga menjadi fasilitator
dan regulator sesuai dengan kesepakatan.

Indikator Pemberdayaan Santri


Menurut (Suharto, 2005), terdapat tiga dimensi yang mencakup kompetensi
kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Dalam
proses mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan, diperlukan empat
indikator terhadap kesuksesan pemberdayaan santri, yaitu : (1) Tingkat
kesadaran dan keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik (power
to), (2) Tingkat kemampuan meningkatkan kapasitas untuk memperoleh
akses (power within), (3) Tingkat kemampuan menghadapi hambatan-
hambatan, seperti permodalan usaha (power over), (4) Tingkat kemampuan
kerja sama dan solidaritas (power with).
Sejak dahulu kala, kawasan Rancabali terkenal dengan potensi
penghasil sayuran di Kabupaten Bandung. Oleh sebab itu, KH. Fuad
Affandi sadar akan potensi tersebut dan beliau pun tertantang oleh keadaan.
Dengan pengalamannya sebagai pedagang sepatu menjadi modal dasar,
beliau pun memikirkan strategi jangka panjang dengan menggabungkan
produksi dari segi pertanian dan distribusi dari segi pedagang.
Bermodalkan sadar pada diri saja belum cukup, Kiai Fuad
mendistribusikan komoditi pertanian hasil panen tersebut kepada
Koperasi Unit Daerah Pasir Jambu sebagai jembatan antara produsen dan
konsumen. Namun, KUD Pasir Jambu tersebut kolaps perihal keuangan
menyebabkan Kiai Fuad untuk terketuk hatinya untuk mendirikan

154 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


koperasi di bawah naungan pesantren sebagai wujud meningkatkan
kapasitas untuk memperoleh kerja sama lebih lebar lagi.
Kopontren Alif adalah nama koperasi yang didirikan Kiai Fuad,
dengan mengadakan simpanan wajib dan simpanan pokok menjadikan
permodalan-permodalan usaha satu per satu bisa terpenuhi. Memang
pada awal pendirian koperasi, Kiai Fuad mendapat minim kepercayaan
akibat ulah KUD Pasir Jambu yang bangkrut karena laporan keuangan
yang tidak jelas. Maka, Kiai Fuad memberikan jaminan bahwa Kopontren
Alif dapat dipercaya oleh masyarakat luas dengan prinsip akuntabilitas,
integritas, dan transparansi data sesuai dengan salah satu misi koperasi
pesantren tersebut. Seiring berjalannya waktu, Kopontren Alif mendapat
berbagai kerja sama untuk mematangkan koperasi agar lebih baik lagi.
Mulai dari organisasi luar negeri seperti PUM Netherlands Senior Expert
yang mengatur tentang sustainable growth, lalu bekerja sama dengan
JICA (Japan International Cooperation Agency) yang mengatur tentang
pembangunan sosial ekonomi serta stabilitas perekonomian daerah
berkembang. Bank Indonesia telah mengadakan seminar di Pondok
Pesantren Al-Ittifaq untuk merangkul para pelaku ekonomi mengatur
keuangan. Sedangkan Kementrian Koperasi dan UKM serta Kementrian
BUMN menjadi fasilitator secara utuh sebagai bagian dari kerja pemerintah
untuk mendukung produk dalam negeri semakin tumbuh berkembang.
Pemaparan yang akan disajikan pada bagian ini mengenai hasil
analisis penelitian yang dikaitkan dengan teori indikator keberhasilan
yang diungkapkan oleh (Suharto, 2005) tentang membangun masyarakat,
memberdayakan rakyat tentang kajian strategi kesejahteraan sosial.
Teori indikator keberhasilan pemberdayaan ekonomi ini merujuk pada
kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi
partisipatif dengan mengacu pada empat indikator.
Indikator pertama yang mengukur pada tingkat kesadaran dan
keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik (power to) yaitu
dilakukan oleh Abah Toat yang bergabung sebagai mitra petani sejak
tahun 2012. Abah Toat adalah salah satu petani yang mengalami tingkat

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 155


kesadaran niat akan berubah menjadi lebih baik lagi dimulai dengan belajar
wrapping (membungkus) komoditi sayuran secara mandiri sehingga
ketika mengirimkan hasil panen ke pihak koperasi sudah dalam bentuk
tingkat sayuran yang bagus. Dari yang awal hanya bermitra sendiri
kepada koperasi, Abah Toat sampai membentuk kelompok petani sendiri
untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pada saat ini, beliau berfokus pada
6 komoditi hasil sayur dan kebun yaitu; wotel baby, selada, daun pisang,
daun popohan, daun pandan, dan cabai rawit.
Dengan kegiatan yang beliau tekuni selama 10 tahun, Abah Toat
telah memiliki dua rumah, membeli kendaraan, dan telah melaksanakan
umroh satu keluarga. Beliau saat ini telah diamanahkan sebagai Kepala
Rumah Tangga Pondok Pesantren Al-Ittifaq sehingga urusan kebun sudah
diserahkan kepada istri beliau supaya fokus terhadap pekerjaan masing-
masing. Di sisi lain, beliau juga diamanahkan sebagai inpeksi koperasi
jika terdapat anggota yang memiliki niat untuk meminjam dana. Bahkan
dari hasil wawancara ini, beliau menyampaikan bahwa ia tidak sedikit
pun mengambil gaji yang diberikan dari Kopontren Alif sebagai Kepala
Rumah Tangga Pesantren.
“Saya mau gabung ke Al-Ittifaq karena (1) mendapat supplier yang pasti,
(2) mendapat harga yang tinggi, (3) mencari keberkahan karena Koperasi
Pondok Pesantren Al-Ittifaq ini juga menyelenggarakan dana untuk yatim
piatu, sosial kemasyarakatan, dan bantuan musibah bencana. Jadi kita
petani hanya fokus pada pola tanam agar hasil maksimal”, ujar Abah Toat
ketika menjawab alasan bergabung dengan Kopontren Alif.

Indikator yang mengatur pada kemampuan kapasitas untuk memper-


oleh akses telah dilakukan Pondok Pesantren Al-Ittifaq dengan mendi-
rikan Alif Learning Centre (ALEC) untuk meningkatkan keterampilan
beragribisnis serta menambah ilmu pengetahuan bagi santri, ustadz,
karyawan, kelompok tani Al-Ittifaq, mahasiswa magang, serta para wisa-
tawan. Selain itu, Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga meningkatkan akses
kerja sama dengan pihak yang berkaitan dengan pengolahan koperasi
agar berjalan sesuai dengan alurnya.

156 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Indikator selanjutnya yang mengukur pada tingkat kemampuan
menghadapi hambatan seperti permodalan usaha (power over) yaitu
dengan mendirikan koperasi yang mengadakan simpanan pokok dan
simpanan wajib bagi setiap anggota untuk saling membutuhkan satu
sama lain. Kopontren Alif pun membagikan SHU atau keuntungan bersih
yang diperoleh koperasi secara terbagi rata pada setiap anggota koperasi.
Kopontren Alif juga telah berbadan hukum pada tahun 1997
(akte pendirian 6 Juni 1997 Nomor: 219BHKWK.10VI1997). Koperasi
Pondok Pesantren Al-Ittifaq atau biasa disingkat Kopontren Alif ini
telah menghasilkan 63 komoditas pertanian dan perkebunan dari lahan
pertanian 130 hektare yang dimiliki oleh 270 petani dari 6 kelompok
tani untuk disalurkan ke pasar swalayan, online market, pasar tradisional,
dan rumah makan. Sedangkan untuk hasil panen yang tidak bagus akan
dijadikan pakan ternak sehingga secara tidak langsung telah menerapkan
nilai dasar KH. Fuad Affandi yaitu “Jangan sampai ada sehelai sampah
yang mawur”.
Indikator yang mengukur pada tingkat kemampuan kerja sama dan
solidaritas (power with) yaitu ketika Kopontren Alif melakukan kerja
sama dengan PUM Netherlands Senior Expert yang mengatur tentang
sustainable growth, lalu bekerja sama dengan JICA (Japan International
Cooperation Agency) yang mengatur tentang pembangunan sosial ekonomi
serta stabilitas perekonomian daerah berkembang.
Berbagai instansi kepemerintahan juga telah bekerja sama dengan
Kopontren Alif Kementrian Koperasi dan UKM, Kementrian BUMN,
dan Bank Indonesia agar terus menjalin musyawarah sesuai dengan teori
dalam Al-Qur’an mengenai prinsip pemberdayaan ekonomi dengan
mengajak pemerintah sebagai fasilitator serta regulator pemberdayaan
ekonomi melalui program entrepreneurship.
Hal yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Ittifaq ini berhubungan
dengan teori (Suharto, 2005) mengenai indikator-indikator keberhasilan
pemberdayaan ekonomi melalui program entrepreneurship yang terbagi
menjadi empat, yaitu; tingkat kesadaran dan keinginan untuk berubah

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 157


ke arah yang lebih baik (power to), kemampuan meningkatkan kapasitas
untuk memperoleh akses (power within), kemampuan menghadapi
hambatan-hambatan (power over), dan kemampuan kerja sama dan
solidaritas (power with).

Tujuan Pemberdayaan Santri


Pondok Pesantren Al-Ittifaq adalah lembaga pendidikan yang berdiri
sejak tahun 1934 ini, telah menjadi pusat pendidikan Agama Islam
yang dipimpin oleh KH. Mansyur di kawasan Ciwidey, Kabupaten
Bandung. Berorientasi bahwa lulusan pondok pesantren harus memiliki
ilmu atau pegangan selain berkutat pada ilmu agama sebelum terjun
pada kehidupan bersosial kemasyarakatan, pada generasi ketiga yaitu
KH. Fuad Affandi mendirikan konsep pemberdayaan santri melalui
kebijakan entrepreneurship dengan memanfaatkan hasil alam sekitar
pondok pesantren lalu didistribusikan ke berbagai pasar dan KUD
(Koperasi Unit Desa) Pasir Jambu. Pada hakikatnya. Tujuan diadakannya
pemberdayaan ekonomi pesantren agar santri memiliki bekal dengan
berbagai keterampilan seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq mengadakan upaya untuk membekali santri
dengan soft skills serta menyiapkan mental agar para santri bisa mandiri
secara perekonomian ketika lulus dari pesantren.
Selain itu, tujuan pemberdayaan ekonomi juga dilakukan Pondok
Pesantren Al-Ittifaq untuk memberdayakan perekonomian masyarakat
dengan membimbing dan mengajari cara ber agrikultur serta memiliki
mekanisme pasar yang benar agar dapat berdaya saing tinggi. Dengan
begitu, masyarakat yang menjadi mitra Pondok Pesantren Al-Ittifaq
memiliki hasil pendapatan yang cenderung meningkat secara perlahan.
Tujuan Pondok Pesantren Al-Ittifaq pada data penelitian, peneliti
menemukan dalam pemberdayaan ekonomi yaitu dengan mendirikan
koperasi pada tahun 1997 sebagai sarana bagi santri, sumber daya manusia
pesantren, petani, peternak, pedagang, serta pelaku ekonomi lainnya agar
memiliki sistem perekonomian yang baik. Dengan mendirikan koperasi
pesantren, menjadikan Pondok Pesantren Al-Ittifaq memiliki ciri khas

158 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


daripada pesantren lain. Sebagai pondok pesantren, sejatinya bukan saja
rumah bagi para santri, namun juga bagi masyarakat sekitar agar selain
mendapat syiar Islam akan tetapi juga mendapat pemberdayaan secara
perekonomian.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq memiliki tujuan juga sebagai tempat
pembelajaran agroedukasi bagi para santri, kelompok tani Al-Ittifaq,
mahasiswa magang, serta para wisatawan dengan mendirikan Alif Learning
Centre sebagai wadah pelatihan tentang bagaimana cara pembersihan
produk pertanian pasca panen (washing), lalu mensortasi hasil panen
(grading), dan pengemasan barang (packing). Alif Learning Centre yang
disingkat ALEC ini juga melakukan peningkatan Sumber Daya Manusia
bagi para mitra Pondok Pesantren Al-Ittifaq yang bergerak pada bidang
pertanian agar memiliki SOP (Standard Operating Procedure) untuk
masuk ke modern market atau pasar swalayan. (Cahya, 2023).
Dari tujuan di atas, dapat dipahami bahwa pemberdayaan ekonomi
sangat besar pengaruhnya bagi dinamika kehidupan pondok pesantren
melalui program entrepreneurship dengan upaya untuk mengoptimalkan,
menstimulasi, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kecakapan
atau keterampilan yang dimiliki disertai dengan pengembangannya.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq memiliki tujuan pemberdayaan untuk
merubah mindset santri dan masyarakat agar memiliki kegiatan dengan
memanfaatkan lahan sekitar yang subur dan mempunyai hawa dingin
menyebabkan hasil komoditi pertanian cenderung baik. Selain itu, tujuan
diadakannya pemberdayaan santri agar terciptanya jiwa entrepreneurship
sehingga menimbulkan ekonomi kreatif bagi pengembangan diri
(Nurjamilah, 2016).
Pemberdayaan santri melalui program entrepreneurship juga dilakukan
Pondok Pesantren Al-Ittifaq untuk meningkatkan segi finansial agar
terwujudnya kesamaan persepsi antara pesantren, kiai atau pimpinan,
santri, maupun masyarakat agar dinamika kehidupan pesantren menjadi
sejahtera.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 159


Tujuan pemberdayan santri juga dapat menciptakan lapangan kerja
dengan menjadikan santri menjadi pengusaha lalu membuka komunitas
jejaring bisnis. Selain itu, pemberdayaan santri juga dapat menstimulasi
pertumbuhan ekonomi dengan memfasilitasi perkembangan usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM) juga dapat memperkuat pembangunan
sosial berkelanjutan yang mendorong praktik bisnis secara antar generasi
sehingga dapat menggunakan sumber daya secara efisien, perlindungan
lingkungan, dan tanggung jawab sosial. Pemberdayaan santri juga dapat
bertujuan untuk mengasah keterampilan akan inovasi dan gebrakan baru
bagi para santri untuk memulai masalah-masalah yang terjadi di bidang
pertanian dengan menghadirkan solusi melalui praktek-praktek secara
langsung di lapangan sehingga santri paham menyeluruh ketika ia gagal
maka akan terus berinovasi sampai cara yang digunakan menjadi ampuh.
Melalui berbagai tujuan di atas, menjadikan Pondok Pesantren
Al-Ittifaq dapat membantu meningkatkan pemberdayaan santri pesantren,
memberikan manfaat bagi santri, ummat, dan pelaku bisnis serta dapat
mendukung perkembangan ekonomi lokal secara menyeluruh.

Proses Pemberdayaan Santri


Tongkat estafet kepemimpinan pada 1970 pindah menjadi KH. Fuad
Affandi atau yang biasa dipanggil Mang Haji Fuad ini telah melalui berbagai
tahapan pemberdayaan ekonomi agar meningkatkan kesejahteraan bagi
pesantren, warga pesantren, dan masyarakat. Perlu perjalanan panjang
bagi beliau untuk merintis pemberdayaan ekonomi di tengah daerah
perkampungan, bahkan di suatu peristiwa Kiai Fuad sempat dicap “ODGJ”
oleh masyarakat desa dikarenakan tingkah lakunya dalam membangun
perekonomian Kampung Ciburial. Namun, lulusan Pesantren Al-Hidayah
Lasem, Jawa Tengah ini menyadari perkataan gurunya yaitu Mbah Putri
Nuriyah (istri Mbah Ma’shum) bahwa
“Hidup penuh dengan lika liku. Kalau kita tak mampu melawan arah
angin, balikkan layar sesuai arah angin itu bergerak. Kalau lihat jalan lurus
tanpa halangan, mundurlah selangkah untuk waspada. Kalau engkau lihat
jalan terjal berliku, itu tandanya surga di ujung sana”.

160 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Dengan perkataan itu, Kiai Fuad semakin semangat untuk menyadar-
kan kepada santri dan masyarakat bahwa dengan berkegiatan agribisnis
dapat memiliki peluang untuk taraf hidup yang lebih baik serta melawan
masalah keterbelakangan hidup, disamping memanfaatkan lahan sekitar
sebagai lahan komoditi pertanian.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah melewati berbagai tahapan
pemberdayaan santri. KH. Fuad Affandi sadar akan ketertinggalan zaman
beliau dan masyarakat Kampung Ciburial dengan berbagai kondisi
yang terjadi di Ciburial. Karena kesadaran beliau menjadikan Pondok
Pesantren Al-Ittifaq memulai jenjang pemberdayaan santri dari hal yang
kecil, misalnya santri selain mengaji juga ikut kegiatan berkebun lalu
menjual hasil kebun tersebut ke pasar-pasar di Bandung dan sekitarnya.
Seiring berjalannya waktu, tahun 1993 KH. Fuad Affandi bekerja sama
dengan pihak moden market (Hero) untuk melakukan pembinaan bagi
santri agar komoditi hasil panen sesuai dengan standar pasar swalayan.
Akhirnya pihak Hero mengirimkan orang yang ahli dalam quality
control untuk mengajari santri-santri dalam melakukan proses grading,
packaging, dan lain sebagainya. Setelah beberapa waktu, Kiai Fuad
melakukan proses standarisasi produk tersebut dilakukan secara mandiri
sehingga Pondok Pesantren Al-Ittifaq bisa melebarkan sayap pemasaran
kepada pasar-pasar swalayan seperti (Hero, Superindo, Yogya, dan lain-
lain), pasar-pasar induk (Cikarang, Pasar Rebo, Bandung, dan lain-lain),
Restoran, Food Court, dan direct selling.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga mendirikan Alif Learning Centre
sebagai langkah kemandirian pesantren dalam menjalankan agribisnis.
Alif Learning Centre didirikan untuk menjadi wadah bagi para santri,
petani, masyarakat, dan tamu kunjungan belajar ber agribisnis. Alif
Learning Centre atau yang disingkat ALEC ini juga memiliki pembelajaran
khusus model bertani Pondok Pesantren Al-Ittifaq untuk diajarkan kepada
pondok pesantren mitra agribisnis agar komoditi hasil panen sesuai
dengan standar pasar. Alif Learning Centre juga terus mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pertanian, salah satunya

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 161


yaitu dengan mendirikan Green House untuk membudidaya jenis
sayuran dengan mengkondisikan cuaca setiap hari dan menjaga pola
tanam sepanjang tahun.
Dengan bermodalkan kesadaran dari KH. Fuad Affandi akan alam
sekitar yang bisa digunakan untuk menghidupi pondok pesantren lalu
melakukan kerja sama agar dilaksanakan pembinaan kepada santri dan
sumber daya manusia pesantren hingga dapat mendirikan wadah pelatihan
yaitu Alif Learning Centre bagi para santri, sumber daya pesantren,
masyarakat, dan bahkan pengunjung tamu pesantren untuk belajar
cara ber agribisnis mulai dari bercocok tanam, membuat pupuk tanam,
hingga cara memanen sayuran dan tanaman. Saat ini, Pondok Pesantren
Al-Ittifaq telah memuai hasil jerih payahnya dengan melaksanakan
program entrepreneurship secara mandiri. Mulai tahun 1997 hingga saat
ini Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah memulai ekonomi mandiri dengan
santri sebagai peran utama disusul dengan sumber daya pesantren seiring
dengan perkembangan pesantren (Silvie, 2023).
Terbentuknya pemberdayaan santri melalui program entrepreneurship
Pondok Pesantren Al-Ittifaq memiliki beragam faktor. Terlebih, sumber
daya alam menjadi acuan utama Kiai Fuad dalam menchallenge diri sendiri
sebagai kiai yang menjadi komponen utama pesantren untuk bergerak
di bidang agribisnis. Dibantu oleh peran santri dalam berkegiatan tani,
ternak, dan kebun menyebabkan Kiai Fuad semakin termotivasi untuk
berkembang melebarkan sayapnya dengan mendirikan koperasi agar
pesantren memiliki segi finansial secara masif.
Fungsi koperasi juga menjadi sumber permodalan bagi para
anggotanya. Terlebih, koperasi tersebut di bawah naungan pesantren
yang notabenenya berjiwa agamis sehingga memungkinkan koperasi
berjalan secara seimbang antara duniawi dan ukhrowi. Setelah hampir
mencapai puncak titik kesuksesan, Kiai Fuad juga mengutus kerja sama
dengan berbagai pihak agar komiditi pertaniannya semakin berkembang
dan maju. Terbukti pada saat ini, Pondok Pesantren Al-Ittifaq memiliki
Green House, laboratorium pertanian, digital farming, serta menghasilkan

162 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


pupuk komposting sendiri. Kopontren Alif juga melaksanakan MoU
(Momerandum of Understanding) atau nota kesepakatan dengan berbagai
pasar swalayan di daerah Jawa Barat untuk menyokong komiditi pertanian
secara konklusi biaya per tahun. Tidak hanya itu, Kopontren Alif juga
mendistribusikan komoditi pertanian ke beberapa pasar seperti Pasar
Rebo Jakarta dan Pasar Cikarang Bekasi sebagai pihak konsumen serta
beberapa restoran dan direct selling secara siginifikan.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq mengingatkan para santri agar menye-
imbangkan kegiatan duniawi dengan ukhrowinya. Kegiatan duniawi tentu
diisi dengan berbagai program-program entrepreneurship, dan kegiatan
ukhrowi diisi pengajian di setiap waktu sholat dengan berbagai pelajaran
(Tafsir Al-Qur’an, Kitab Kuning, dan kitab-kitab lainnya). Dengan begitu,
santri termotivasi bahwa kehidupan dunia harus dibarengi dengan kehi-
dupan akhirat sesuai dengan firman Allah pada Surah Al-Qasas ayat 77:
ْ َ َ ْ ُّ َ ْ َ َْ َ َ ٰ ْ َّ ُ ّٰ َ ٰ ٰ َ ْ َ ْ َ
‫الل الد َار الا ِخ َرة َولا تن َس ن ِصي َبك ِم َن الدنيا َواح ِس ْن‬ ‫وابت ِغ ِفيم ٓا اتىك‬
ْ ْ ْ َ َ
‫يح ُّب ال ُمف ِس ِد ْي َن‬
ُ َ َ ّٰ َّ
ِ ‫ۗان الل لا‬ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ّٰ َ َ ْ َ
ِ ‫كم ٓا احسن الل ِاليك ولا تب ِغ الفساد ِفى الار ِض‬
Artinya : “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapu janganlah kamu lupakan bagianmu
di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita sebagai umat manusia agar


hendaknya mencari (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kita lupa akan bagian
di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepada kita dan janganlah kita berbuat kerusakan di bumi.
Artinya, agama Islam menganjurkan keseimbangan antara kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat serta jangan juga berlebihan pada kehidupan
dunia pun akhirat. Ayat ini juga menjelaskan bahwa akhirat adalah tempat
untuk kembali, namun manusia ditakdirkan hidup di dunia. Begitu pula
akhirat harus dipersiapkan, karena pada dasarnya dunia harus dijadikan

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 163


tempat mempersiapkan kehidupan di akhirat. Karena ayat di atas, santri
termotivasi akan menyiapkan kehidupan akhirat sebaik-baiknya, namun
juga memberikan yang terbaik pada kehidupan dunia. Dengan berjalan
beriringan, maka proses pemberdayaan santri akan semakin konsisten
dijalankan seiring dengan kesadaran diri akan kehidupan dunia dan akhirat.
Pada tahun 1970, KH. Fuad Affandi atau yang biasa dikenal Sang
Penggagas Tarekat Sayuriyah ini mulai mencetus nama “Al-Ittifaq” yang
artinya yaitu sebuah lembaga yang memiliki kerja sama yang baik dalam
ilmu pengetahuan dan entrepreneurship. Dalam proses mengembangkan
pesantren, KH. Fuad Affandi merubah mindset santri agar tidak hanya
mengaji, namun juga ikut berkegiatan. Alasan itu dilaksanakan oleh
Kiai Fuad karena untuk menumbuhkan prinsip-prinsip pemberdayaan
ekonomi agar terciptanya keterlibatan langsung antara kiai dan santri,
bahkan masyarakat dan pemerintah termasuk ke dalam bagian kerja
sama sebagai pendukung program. Kiai Fuad berpesan kepada setiap
insan Pondok Pesantren Al-Ittifaq dalam memberdayakan diri, kita harus
mengenali prinsip-prinsip, seperti; saling pengertian antar perbedaan,
saling menghargai dalam hidup berdampingan, saling membahagiakan,
serta saling memberi perhatian satu sama lain.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga mengadakan pertemuan setiap
sebulan sekali yang mempertemukan tokoh masyarakat, tokoh agama,
SDM pesantren, perwakilan pemerintah dan masyarakat untuk program-
program yang akan diadakan kedepan beserta evaluasi program yang
telah terlaksana agar pesantren semakin berkembang dibarengi dengan
masyarakatnya.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah memiliki konsep tahapan pember-
dayaan dengan menyadarkan diri kepada santri sebagai usaha dalam
membentuk kemanusiaan yang adil dan beradab agar kehidupan berjalan
efektif. Konsep ini telah dilakukan oleh KH. Fuad Affandi pada tahun
1970 dengan menyadarkan diri untuk merubah cara berpikir santri
agar tidak hanya mengaji. Namun, santri juga mengikuti kegiatan agar

164 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


perekonomian pesantren semakin berkembang ditengah bertambahnya
jumlah santri yang belajar di Pondok Pesantren Al-Ittifaq.
Pada tahun 1993, KH. Fuad Affandi menawarkan diri pada pihak
modern market (Hero) untuk memberikan pembinaan kepada santri
tentang bagaimana cara memilah komiditi hasil panen yang bagus
(grading),cara mengemas dengan plastic wrap (packing), serta pelabelan
produk. Akhirnya, pihak Hero mengirimkan perwakilan bagian quality
control untuk mengajari para santri bagaimana caranya agar komoditi
pertanian hasil panen dapat diterima oleh pasar swalayan. Hal ini dilakukan
oleh KH. Fuad Affandi sebagai bentuk mengalihkan skema produk hasil
dari pesantren bertransformasi menuju keterampilan dan kecakapan yang
baik bersamaan dengan bertambahnya ilmu pengetahuan.
Setelah beberapa minggu pihak Hero memberikan pembinaan
kepada santri. Akhirnya KH. Fuad Affandi mulai merintis standarisasi
pemasaran secara mandiri. Beliau bersama para santrinya mengurusi
produk agribisnis mulai dari penanaman bibit, melakukan pola tanam,
merawat lahan agar tidak terserang hama lalu memasuki tahap standarisasi
pemasaran produk hingga mengirim komoditi pertanian sampai ke pihak
konsumen. Proses standarisasi pemasaran saat ini telah dialihkan ke dalam
(Alif Learning Centre) yang bertujuan untuk menciptakan generasi yang
paham akan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian, lalu
menciptakan sumber daya manusia yang unggul sehingga bisa berdaya
saing tinggi dibarengi dengan pemahaman agama.
Ketika sudah melewati fase sadar akan keadaan dan pembinaan
dari hasil kerja sama serta mendirikan lembaga sebagai wadah pelatihan
(Alif Learning Centre) hingga mencapai fase kemandirian sosial dan
ekonomi. KH. Fuad Affandi telah berhasil menciptakan pemberdayaan
santri dari masa awal memulai program entrepreneurship pada santri
sampai di fase berdirinya koperasi agar menciptakan stigma ekonomi
yang teratur hingga sekarang melanjutkan estafet pemberdayaan santri
dengan mengembangkan program entrepreneurship.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 165


Strategi yang dilakukan oleh KH. Fuad Affandi telah berkesinambungan
dengan teori yang diungkapkan oleh (Wrihatnolo, 2007) tentang konsep-
konsep pemberdayaan santri melalui program entrepreneurship sebagai
reaktualisasi aktif agar apa yang telah dilakukan berjalan dengan baik
dan efektif melalui proses penyadaran diri, pembinaan, dan kemandirian.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga memperhatikan faktor-faktor terjadinya
pemberdayaan santri dengan membidik beberapa aspek di bawah ini :
1. Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia adalah unsur utama dalam pemberdayaan
ekonoomi. Pondok Pesantren Al-Ittifaq memiliki Sumber Daya
Manusia yang terbilang kompeten. Para SDM di sana yang rata-
rata kelulusannya tingkat SMA dan Sarjana menyebabkan tingkat
kematangan cara berpikirnya juga bagus. Pondok Pesantren Al-Ittifaq
juga mendirikan Alif Learning Centre (ALEC) sebagai wadah pelatihan
bagi para SDM untuk memahami serta mendalami agribisnis.
Untuk menyebarluaskan jaringan pertanian, Pondok Pesantren
Al-Ittifaq menyarankan kepada alumninya untuk membuka lahan
pertanian dan membentuk kelompok tani agar dapat bergabung
dengan Kopontren Alif karena alumni Pondok Pesantren Al-Ittifaq
memiliki nilai lebih dikarenakan mereka paham dengan pola tanam
serta standar komoditi yang dibutuhkan oleh Kopontren Alif untuk
disalurkan ke konsumen.
2. Sumber Daya Alam
Pondok Pesantren Al-Ittifaq memanfaatkan lahan untuk ditanamkan
komiditi-komoditi pertanian sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
konsumen. Lingkungan yang subur, menginisiasi KH. Fuad Affandi
untuk melaksanakan program entrepreneurship berbasis agribisnis.
Dengan suhu udara antara 19-20 derajat celcius dan berada di
ketinggian 1200-1500 meter di atas permukaan laut dengan curah
hujan 2150, menyebabkan produk hasil panen rata-rata terbilang
bagus dan subur.

166 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


3. Permodalan
Koperasi Pondok Pesantren Al-Ittifaq (Kopontren ALIF) telah
memiliki anggota koperasi per 2023 sebanyak 1700 anggota. Simpanan
hasil, simpanan pokok, hibah, dan dana cadangan adalah sumber
keuangan koperasi pesantren agar keuangan berputar seiring dengan
pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha) yang dibagikan setiap tahun.
Permodalan Kopontren ALIF memberikan syarat agunan agar
para anggota belajar bertanggung jawab. Abah Toat adalah inspektur
koperasi pesantren dalam memberikan permodalan usaha kepada
anggota koperasi dimulai dengan memvalidasi keadaan anggota,
bagaimana keseharian dan pendapatannya, lalu dibuatkan laporan
kepada petugas koperasi untuk diberikan keputusan permodalan
usaha atau bisnis supaya menemukan jalan tengah.
4. Prasarana Produksi dan Pemasaran
Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren ALIF) selain berurusan
dengan anggotanya, perserikatan ini juga tidak membelakangi prasa-
rana produksi untuk menunjang stabilitas standarisasi pemasaran
produk dengan mengganti alat produksi sesuai dengan standar pabri-
kasi. Kopontren ALIF senantiasa melakukan pemasaran komoditi
pertanian melalui online market, lalu website koperasi pesantren,
dan direct selling.

Demi terwujudnya program-program yang berkompeten, Pondok


Pesantren Al-Ittifaq telah bersandingan dengan teori (Hutomo, 2000)
meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, permodalan, dan
prasarana produksi serta pemasaran. Dengan beberapa faktor di atas,
dapat diartikan bahwa Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah terjadi peristiwa
pemberdayaan ekonomi secara terus-menerus.
Di dalam Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga terdapat dua prinsip
yang ditafsirkan oleh Al-Qur’an sehubungan dengan pemberdayaan
ekonomi ini, yaitu; prinsip ta’awun dan prinsip syura. Pada hal ini, prinsip
ta’awun merupakan prinsip kerja sama dan sinergi dengan berbagai pihak
antara pihak pesantren, masyarakat, serta pemerintah demi mencapai

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 167


pemberdayaan secara utuh dan menyeluruh. Sedangkan prinsip syura,
musyawarah antara pesantren dengan masyarakat yang ditengahi oleh
pemerintah membahas tentang program yang akan dibuat oleh pesantren
serta mengevaluasi program yang telah terlaksana (Istan, 2017).
Pondok Pesantren Al-Ittifaq menjalankan kedua prinsip di atas
secara bersamaan. Kiai Fuad paham betul bahwa pesantren tidak bisa
berjalan sendirian, karena nama “Al-Ittifaq” sendiri memiliki makna
kerja sama mengenai pengetahuan dan bisnis antar berbagai golongan
agama, lintas mazhab, serta lintas sektoral khususnya pertanian. Artinya,
Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga bekerja sama dengan pihak modern
market (Hero) yang notabenenya dari kalangan non muslim, lalu Pondok
Pesantren Al-Ittifaq sebagai pesantren Nahdhatul Ulama juga bekerja
sama dengan Muhammadiyah, Persis, dan lain sebagainya dalam urusan
musyawarah keagamaan dan perbisnisan, begitu juga dengan lintas sektoral
yang menjadikan Pondok Pesantren Al-Ittifaq memilki berbagai sektor
mulai dari pertanian, perdagangan, perkoperasian, dan lain sebagainya.

Pengertian Program Entrepreneurship


Dalam buku The Concise Oxford French Dicitonary, kata entrepreneur
padanan bahasa Inggris yang berasal dari Bahasa Prancis yaitu “entre-
prendre”. Pada kamus tersebut, kata “entreprendre” diartikan sebagai to
undertake (menjalankan, melakukan, berusaha), to set about (memulai,
menentukan), to attempt (mencoba, berusaha) (Arman Hakim, 2007).
Istilah ini dikenal pertama kali oleh Richard Cantillon pada tahun 1755
dalam tulisan Essai Sur La Nature du Commerce en General. Pada masa
itu, istilah entrepreneur merupakan panggilan untuk para pedagang
yang membeli barang di daerah tertentu lalu menjualnya dengan harga
yang tidak tentu (Suryana, 2013). Dalam Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia, entrepreneur dapat diartikan wirausaha yang diambil dari dua
kata yaitu “wira” (gagah, tangguh, dan perkasa) dan “usaha” (kegiatan
dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu
maksud) sehingga wirausaha dapat diartikan orang yang berani meng-
ambil resiko dalam mencapai suatu maksud. Richard T. Elly dan Ralph

168 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


H. Hess menyatakan secara singkat bahwa seorang entrepreneur itu dapat
mengorganisasi dan mengoperasikan sebuah perusahaan untuk mencapai
keuntungan (J. Winardi, 2003).
Menurut Danang Suyanto, entrepreneurship adalah suatu sikap
untuk menciptakan sesuatu yang baru serta bernilai bagi diri sendiri
dan orang lain sehingga tidak hanya mencari keuntungan pribadi,
namun juga mempunyai aspek-aspek sosial (Danang Suyanto, 2013).
Sedangkan menurut Kasmir, entrepreneurship merupakan kemampuan
dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda sehingga orang yang
mempunyai kemampuan untuk membentuk hal yang baru serta berbeda
dari masa sebelumnya (Kasmir, 2011).
Kata entrepreneurship atau wirausaha dapat disimpulkan yaitu
sikap, psikologis, serta perilaku pada diri seseorang untuk menerapkan
kreativitas inovasi dalam memanifestasikan usaha dan kegiatan ekonomi
yang berbeda dari masa sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan,
mendapatkan nilai sosial, serta menyejahterakan hidup bagi dirinya dan
masyarakat sekitar pada umumnya.
Sedangkan kata santri menurut Zamakhsyari Dhofier berasal dari
kata “pesantren” dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat
tinggal. Menurut Nurcholis Madjid, kata santri dapat dilihat dari dua
pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa “santri” berasal dari
Bahasa Sanskerta yaitu “sastri” yang artinya kelas literasi bagi seseorang
yang berusaha mendalami Agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan
Bahasa Arab. Selanjutnya pendapat yang kedua menurut Zamakhsyari
Dhofier, mengatakan bahwa santri berasal dari Bahasa India ialah orang
yang memperdalam ilmu pengetahuan kitab suci (Yasmadi, 2005).
Jika disimpulkan, entrepreneurship santri adalah seseorang yang
sedang manambah wawasan keagamaan dibarengi dengan memanfaatkan
peluang untuk menciptakan usaha baru melalui pendekatan inovatif
sehingga usaha yang dikelola berkembang menjadi besar dan mandiri
dalam menghadapi persaingan usaha.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 169


Indikator Program Entrepreneurship
Entrepreneurship dalam prosesnya diperlukkan penerapan kreativitas
dan inovasi guna mewujudkan peluang dalam berbisnis. Proses tersebut
pada dasarnya ialah implementasi dari diri seorang entrepreneur.
Menurut Thomas W. Zimmerer dalam buku yang menjelaskan tentang
kewirausahaan dan pembentukan usaha dijelaskan bahwa indikator
terhadap karakter seorang wirausahawan terbagi menjadi delapan yaitu :
1. Desire for responbility, yaitu mempunyai rasa tanggung jawab atas
usaha-usaha yang dilakukan wirausahawan.
2. Preference for moderate risk, yaitu berani mengambil resiko selama
memperjuangkan peluang untuk meraih kesuksesan.
3. Confidence in their ability to success, yaitu wajib memiliki rasa percaya
diri agar terbawa dengan suasana positif.
4. Desire for immediate feedback, yaitu selalu menghendaki umpan
balik dengan terus-menerus.
5. High level of energy, mempunyai energi semangat dan kerja keras.
6. Future orientation, yaitu memiliki arah dan wawasan untuk melangkah
lebih maju.
7. Skill at organizing, memiliki keterampilan dalam membangun sumber
daya untuk menciptakan nilai-nilai keahlian.
8. Value at achievement over money, yaitu lebih menghargai prestasi
daripada hasil yang berupa uang (Zimmerer & Scarborough, 1993).
Indikator Karakter Santri Pada Jiwa Entrepreneurship
Pondok Pesantren Al-Ittifaq sebagai lembaga pendidikan yang memiliki
visi misi untuk mewujudkan santri sebagai pribadi yang agamis, namun
juga memiliki sikap tanggung jawab, inovatif, serta berjiwa mandiri
tanpa ketergantungan perekonomian. Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga
terus membuktikan dirinya sebagai lembaga yang berperan aktif pada
perekonomian guna mensejahterakan santri dan masyarakat sekitar
pesantren.

170 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Dalam menjalankan agrikultur entrepreneurship, para santri dibagi ke
dalam kelompok yang disesuaikan berdasarkan minat, tingkat pendidikan,
dan keterampilan tertentu agar tepat pada bidangnya. Secara pembagian
tugas santri terbagi menjadi 7 kelompok, yaitu:
1. Pengurus inti organisasi pertanian,
2. Kesekretariatan,
3. Koordinator kebun,
4. Packing (Pengemasan barang),
5. Affiliate Marketing (Pemasaran barang),
6. Frontliner (Pekerja lapangan),
7. Procurement (Pengadaan barang).
Pembagian tugas ini harus disertai juga dengan komitmen dari para
santri agar memiliki rasa tanggung jawab dan percaya diri ketika terjun
ke lapangan. Didampingi dengan pembimbing dari pesantren agar bagian
yang ditekuni terarah dan terukur sehingga dapat membangun keahlian
sekaligus keterampilan diri dalam suatu bidang.
Setelah lulus dari pesantren, santri yang berkecimpung dalam dunia
pertanian disarankan untuk membentuk kelompok tani untuk bekerja
sama dengan Pondok Pesantren Al-ittifaq karena secara tidak langsung
santri tersebut sudah memahami SOP Pondok Pesantren Al-ittifaq dalam
menjalankan kegiatan entrepreneurship.
KH. Fuad Affandi mengedepankan simbiosis mutualisme untuk
bekerja sama dengan santri. Artinya, kebutuhan pesantren dapat berjalan
dengan kinerja satu sama lain, akan tetapi di sisi lain pihak santri juga
mendapat keuntungan berupa tabungan yang dapat dikumpulkan pada
pihak koperasi untuk berbagai kebutuhan serta modal ketika lulus dari
pesantren. KH. Fuad Affandi juga sering mengadakan nikah massal bagi
para santri agar memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna menyebabkan
santri memiliki hubungan interpersonal sehingga dapat memenuhi
kebutuhan dengan memiliki keluarga.
Indikator program entrepreneurship, Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah
mencapai berbagai indikator keberhasilan dalam membentuk program

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 171


entrepreneurship sehingga para santri memiliki jiwa kewirausahaan sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Thomas W. Zimmerer dalam teorinya.
Santri Salafiyah Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah memiliki rasa
tanggung jawab atas pekerjaan di bidangnya (desire for responbility).
Terdapat 8 pekerjaan yang diisi oleh santri salafiyah, yaitu; Pengurus
inti organisasi pertanian, kesekretariatan, koordinator kebun, packing
(pengemasan barang), affiliate Marketing (pemasaran barang), frontliner
(pekerja lapangan), procurement (pengadaan barang) sesuai dengan
kemampuan santri dalam bekerja.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq membekali santri yang berwirausaha
dengan ilmu-ilmu pola tanam, lalu ilmu peradsministrasian, serta ilmu
menquality control hasil komoditi pertainan pasca panen. Seorang santri
akan dipindahtugaskan apabila telah menguasai satu bidang sehingga
jika lulus telah menguasai semua bidang pekerjaan.
Dalam terjun ke lapangan, tentu santri harus memiliki rasa percaya
diri (confidence in their ability to success) agar tanamanya yang ia tanam
membuahkan hasil sesuai tepat pada waktunya. Bahkan santri Pondok
Pesantren Al-Ittifaq harus mempunyai resiko di lapangan (preference
for moderate risk) karena bagaimana santri bisa mengatur tanaman agar
setara dengan siklus panen.
Sebagai orang yang turun langsung ke lapangan, seorang santri harus
siap menerima saran dan kritik (desire for immediate feedback) terhadap
lahan yang ia garap agar menjadi pembelajaran ketika sudah berada di
ranah bermasyarakat. Dengan memiliki semangat juang dan kerja keras
yang tinggi (high level of energy), menghasilkan komoditi pertanian pun
juga sangat baik karena rata-rata satu lahan dipegang oleh 2-3 santri
sehingga lahannya terkontrol.
Bu Euce adalah mitra koperasi yang selalu memberikan semangat
kepada para santri salafiyah setiap hari (high level of energy). Beliau selalu
memberikan arahan kepada santri mengenai pola tanam, hasil pasca
panen, cara mengurus ternak agar selalu sehat, serta memilah hasil tani
sebelum masuk ke area quality control.

172 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


“Saya megang santri salaf sekitar 30an, pokoknya gini kalau santri salaf
perempuan laki-laki kasih ke saya asal ada kemauan, ada mau kalau ga
ada kemauan mah kaya mobil butut”, ucap Bu euce ketika diwawancara.

Beliau dikenal selalu memberikan motivasi dan selalu membersamai


santri ketika berada di lapangan. Bu Euce selalu menekankan kepada
santri agar memiliki kemauan dan kemampuan. Karena ketika kedua
faktor itu dijalankan secara bersamaan, akan membuahkan hasil yang
sempurna ketika lulus dari pesantren.
Mang Ade adalah salah satu santri salafiyah yang sedang bekerja
sesuai pada bidangnya. Sedangkan beliau, memiliki kemauan menekuni
pada bidang frontliner (pekerja lapangan) di peternakan sapi dan kambing.
Beliau dikenal rajin dalam menuntut ilmu agama dan juga bekerja
sesuai dengan arahan agar hasilnya sempurna. Dengan begitu, Mang
Ade memiliki memiliki keterampilan dalam membangun dirinya untuk
menumbuhkan nilai-nilai keahlian (skill at organizing).
Hal ini telah menjawab teori Thomas W. Zimmerer tentang indikator
keberhasilan seorang wirausahawan bahwa Pondok Pesantren Al-Ittifaq
telah melaksanakan program entrepreneurship sejalan dengan pembentukan
karakter wirausaha seorang santri. Berikut adalah indikator karakter
santri entrepreneurship, yaitu; mempunyai rasa tanggung jawab, berani
mengambil resiko, memiliki rasa percaya diri, selalu menghendaki umpan
balik, mempunyai semangat dan kerja keras, memiliki arah dan wawasan,
memiliki keterampilan, dan lebih menghargai prestasi daripada hasil
(Astomoen, 2005).

Manfaat Program Entrepreneurship


Dalam buku Thomas W. Zimmerer yang berjudul “Entrepreneurship and
The New Venture Formation” merumuskan bahwa manfaat yang akan
didapat oleh seorang entrepreneur jika melakukan usaha sehingga dapat
menjadi bahan pertimbangan ialah sebagai berikut:
1. Memberi peluang dan kebebasan, dalam mengendalikan usaha
sendiri tentu akan memberikan kebebasan serta memunculkan

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 173


berbagai peluang yang akan dimanfaatkan oleh wirausaha guna
mencapai cita-citanya.
2. Memberi peluang melakukan perubahan, semakin banyak usaha
yang dilakukan maka akan membuka peluang lain untuk melakukan
berbagai pergerakan jitu dan dinamis untuk mengembangkan usaha.
3. Memberi peluang untuk mencapai potensi diri sepenuhnya, aktualisasi
diri dengan menyatukan antara pekerjaan dengan hobi sebagai
pebisnis adalah cara untuk meningkatkan potensi diri.
4. Memiliki peluang untuk meraih keuntungan, faktor motivasi untuk
konsisten dalam mendirikan usaha adalah hal yang penting agar
meraih keuntungan selain uang.
5. Dapat melihat peluang untuk bertindak aktif dalam memasarkan dan
mendapat respon atas usahanya, dalam kesepakatan bisnis tentu ada
rasa kepercayaan dan saling menghormati antar sesama.
6. Memiliki peluang untuk melakukan sesuatu yang digemari dan
menumbuhkan rasa senang dalam mengerjakan hal yang didasari
oleh pemilik usaha sehingga bukan hanya terkesan bekerja akan
tetapi menyalurkan hobi juga (Zimmerer & Scarborough, 1993).
Manfaat dengan adanya program entrepreneurship yaitu kesejahteraan
pesantren, santri, dan masyarakat semakin meningkat seiring dengan
mengembangkan potensi dalam mencari eksistensi diri bagi setiap insan
agribisnis. Terdapat berbagai jaringan alumni Pondok Pesantren Al-Ittifaq
untuk membuka usaha secara mandiri serta dapat membentuk kelompok
tani agar dapat menjalankan agribisnis secara pribadi maupun secara
tergabung bersama koperasi pesantren. Dengan tersebarnya alumni yang
banyak berkecimpung di dunia agribisnis, memungkinkan para-alumni
untuk membuka peluang agar meraih keuntungan dan bisa melakukan
sesuatu sesuai dengan kegemarannya.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq tidak menjamin pada alumninya ketika
lulus dapat menjadi dai, ustadz, maupun ulama. Terlebih pada saat ini,
daya saing mencari pekerjaan semakin sulit seiring semakin bertambahnya
populasi masyarakat Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Pondok Pesantren

174 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Al-Ittifaq menyiapkan santri-santrinya dengan soft skills berupa bertani,
berkebun, dan beternak agar santri bisa menggapai ekonomi mandiri.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga mempunyai rekanan bisnis agar santri
yang baru lulus atau fresh graduate memiliki jaringan bisnis agribisnis
sehingga jaringan bisnis semakin berkembang.
Pemberdayaan ekonomi melalui program entrepreneurship agribisnis
memiliki manfaat yang besar. Pasalnya, selain memanfaatkan lahan
sehingga mendapat kehidupan duniawi, akan tetapi juga mendapat
kehidupan ukhrowi yang didapat dari ilmu agama di pesantren. Selain itu,
Pondok Pesantren Al-Ittifaq juga mendapat manfaat berupa kepercayaan
dari masyarakat dan pemerintah terkait tentang pengelolaan koperasi,
pembelajaran agribisnis, serta pembelajaran agama melalui pendidikan
pesantren.
Manfaat yang didapat secara tidak langsung yaitu Pondok Pesantren
Al-Ittifaq telah menekan angka pengangguran di tengah ketidakpastian
lulusan alumni pondok pesantren yang langsung mendapat pekerjaan.
Selain itu, Pondok Pesantren Al-Ittifaq secara tidak langsung telah mene-
rapkan standar hidup pada diri santri karena ketika menjadi wirausa-
hawan itu akan membentuk diri yang disiplin, kerja keras, kerja cerdas,
bertanggung jawab, dan paham membaca situasi. Santri dilatih agar
selalu mengembangkan diri untuk menyiapkan kehidupan ketika lulus
pesantren dan pondok pesantren juga memberikan agroedukasi untuk
para santri sehingga proses agribisnis berjalan dengan lancar dan seksama.
Program entrepreneurship telah memiliki banyak alumni dari
berbagai daerah. Santri yang telah lulus, rata-rata cenderung memasuki
dunia pertanian, baik secara individu maupun membentuk kelompok
tani agar kehidupannya berjalan secara mandiri. Artinya, para lulusan
santri memiliki kebebasan dalam mengendalikan usaha yang ia dalami
serta mempunyai peluang untuk menggali potensi lebih dalam dengan
praktek di lapangan berdasarkan teori pertanian yang didapat di Pondok
Pesantren Al-Ittifaq agar dapat melakukan perubahan secara dinamis
untuk mengembangkan usahanya.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 175


Selain meningkatkan kemampuan diri, lulusan santri Pondok
Pesantren Al-Ittifaq juga rata-rata bergabung kembali sebagai anggota
Kopontren ALIF supaya ia mendapat keuntungan yaitu memiliki harga
jual pasti dan profit yang menjamin. Di sisi lain, dengan bergabung
ke Kopontren ALIF, ia juga mendapatkan jaminan pasar serta saling
menghormati antar kelompok tani. Dengan begitu, apabila seorang santri
sudah hobi dengan apa yang ia lakukan, maka akan terkesan bekerja
sebagai penyalur hobi.
Manfaat yang dicapai lulusan santri Pondok Pesantren Al-Ittifaq ini
telah berhubungan dengan teori Thomas W. Zimmerer dalam bukunya
“Entrepreneurship and The New Venture Formation” tentang berbagai
manfaat yang didapat ketika seseorang berkecimpung dalam program
entrepreneurship. Berikut adalah manfaat yang didapat, yaitu; memberi
peluang dan kebebasan, memberi peluang untuk perubahan, memberi
peluang untuk menggali potensi diri, memberi peluang untuk meraih
keuntungan, memberi peluang untuk berperan aktif dalam memasarkan
dan mendapat pengakuan, dan memberi peluang untuk sesuatu yang
digemari (Zimmerer & Scarborough, 1993).
Dapat disimpulkan bahwa dalam menjadikan diri sebagai entrepreneur
akan mendapatkan manfaat-manfaat berupa memiliki kebebasan dalam
manajemen waktu, memiliki daya untuk menggali potensi diri, memotivasi
diri agar selalu konsisten terhadap apa yang dikerjakan, dan lain sebagainya.

Simpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah program pemberdayaan santri
melalui program entrepreneurship di Pondok Pesantren Al-Ittifaq telah
mengeluarkan hasil dengan memberikan manfaat dalam meningkatkan
kemandirian ekonomi pesantren, santri, dan masyarakat. Dalam
pemberdayaan santri terdapat program yang melibatkan pendirian
koperasi, pemanfaatan potensi alam sekitar, kerja sama dengan berbagai
pihak baik lokal, interlokal maupun pemerintah, dan pembentukan
kelompok santri berdasarkan minat dan keterampilan untuk menjalankan
praktek-praktek agribisnis.

176 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Dengan pemberdayaan santri ini, Pondok Pesantren Al-Ittifaq berhasil
menciptakan dinamika yang positif, meningkatkan tingkat perekonomian,
menyejahterakan sosial kemasyarakatan, memberikan peluang usaha bagi
santri, dan mengembangkan keterampilan kewirausahaan pada kalangan
santri. Di sisi lain, program-program ini memberikan dampak yang
berguna bagi psikologis dan spiritualitas santri melalui pengembangan
ilmu-ilmu agama. Berdasarkan pemberdayaan ekonomi pesantren dalam
jangka panjang, program entrepreneurship di Pondok Pesantren Al-Ittifaq
diharapkan dapat menjadi role model dan inspirasi bagi pesantren lain
serta masyarakat luas dalam mengembangkan potensi ekonomi Kampung
Ciburial, Desa Alamendah, Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penelitian yang membahas
pemberdayaan ekonomi pesantren melalui program entrepreneurship
adalah fenomena sosial yang menjanjikan bagi para pelakunya. Dengan
berbagai konsep atau tahapan, indikator, faktor, prinsip, dan manfaat atas
terjadinya pemberdayaan ekonomi yang menyebabkan Pondok Pesantren
Al-Ittifaq berkembang pesat seiring bertambahnya relasi bisnis, anggota
koperasi, dan jumlah santri yang diberdayakan.
Pondok Pesantren Al-Ittifaq hendaknya menyeimbangkan figur
pondok pesantren dibandingkan dengan koperasi pesantren. Hal ini
dilakukan agar masyarakat luas tahu dan mengenal Pondok Pesantren
Al-Ittifaq bukan hanya dari segi perkoperasian untuk memberdayakan
ekonomi pesantren, namun juga terdapat figur pondok pesantren. Pondok
Pesantren Al-Ittifaq juga sebaiknya menyamaratakan kerja sama dengan
apa yang dilakukan koperasi, tapi juga dilakukan oleh pondok pesantren.
Dengan saran tersebut, peneliti mengharapkan kesetaraan program antara
pondok pesantren dan koperasi pesantren agar nama Pondok Pesantren
Al-Ittifaq semakin maju dan berkeseimbangan antar komponen pesantren.

Daftar Pustaka

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 177


Abidin, Z. (2012). Manifestasi dan Letensi Lembaga Filantropi Islam
dalam Praktik Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Rumah Zakat
Kota Malang). Jurnal Studi Masyarakat Islam, 15.
Arifai, A. (2018). Pengembangan Kurikulum Pesantren, Madrasah, dan
Sekolah. Jurnal Tarbiyah Islamiyah, 3.
Arman Hakim, D. (2007). Entrepreneurship Membangun Spirit
Teknopreneurship. Penerbit Andi.
Astomoen. (2005). Entrepreneurship dalam Prespektif Kondisi Bangsa
Indonesia. Alfabeta.
Danang Suyanto. (2013). Kewirausahaan Untuk Kesehatan. Nuha Medika.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hutomo, M. . (2000). Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi
: Tinjauan Teoritik dan Implementasi. Bappenas.
Istan, M. (2017). Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan
Ekonomi Umat Menurut Perspektif Islam. Journal of Islamic
Economics, 2(1).
J. Winardi. (2003). Entrepreneur dan Entrepreneurship. Prenada Media.
Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan.
Kasmir. (2011). Kewirausahaan. Raja Grafindo Persada.
Larasati, E. (2022). Tingkat Kemiskinan Maret 2022 Menurun di Tengah
Risiko, APBN akan Terus Menjadi Shock Absorbe. Badan Kebijakan
Fiskal Kementrian Keuangan. https://fiskal.kemenkeu.go.id/
publikasi/siaran-pers-detil/408
Mutiara, P. (2021). Kemenko PMK Gelar Rakor Program Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Pondok Pesantren. Kemenko PMK.
Nurjamilah, C. (2016). Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid
Dalam Perspektif Dakwah Nabi SAW. Journal of Islamic Studies and
HUmanities, 1.

178 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Suharto, E. (2005). Membangun masyarakat, memberdayakan rakyat:
kajian strategis pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan
sosial. Refika Aditama.
Supriyanto, E. (2020). Kontribusi Pendidikan Pesantren Bagi Pendidikan
Karakter Di Indonesia. Jurnal Pendidikan Nusantara, 1.
Suryana. (2013). Kewirausahaan: Kiat Dan Proses Menuju Sukses. Salemba
Empat.
Wrihatnolo, R. (2007). Manajemen Pemberdayaan : Sebuah Pengantar
Dan Panduan Untuk Pemberdayaan Masyarakat.
Yasmadi. (2005). Modernisasi Pesantren. PT Ciputat Press.
Zimmerer, T. W., & Scarborough, N. M. (1993). Entrepreneurship and The
New Venture Formation. Prentice Hall Internasional Inc.

Biografi Singkat Penulis


Hafizhul Wahyu Sejati, Achmad Fadillah, dan Muhammad Hair merupakan
mahasiswa program studi Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri
Jakarta. Ketiganya merupakan mahasiswa yang aktif dalam kegiatan riset
dan pengabdian Masyarakat bersama dosen di program studi Pendidikan
Agama Islam.

Bagian 2 : Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam Dan Prakteknya 179


180 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
Bagian 3
PERAN AGAMA DALAM
RESOLUSI KONFLIK DAN
PERDAMAIAN

181
Islam di Tengah Pusaran Konflik dan
Perdamaian Dunia

Rizki Damayanti,1 Zaenal Muttaqin2


Universitas Paramadina Jakarta, Indonesia,1 Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta2
Email: rizki.damayanti@paramadina.ac.id,1 zmuttaqin@uinjkt.ac.id2

Pendahuluan
Pasca Perang Dingin dan pasca 9/11 berkembang berbagai kajian akademis,
terutama di Eropa dan Amerika Utara, yang berupaya menghubungkan
agama, konflik dan perdamaian. Kajian-kajian ini pada umumnya mencoba
mengaitkan adanya hubungan intrinsik antara agama dengan kekerasan.
Hubungan antara agama, konflik, dan perdamaian tersebut seringkali
dibingkai dalam sudut pandang kaku antara sekuler versus religius,
dimana sekuler dikategorikan sebagai liberal Barat sementara religius
dikategorikan sebagai non-liberal universal. Pembingkaian seperti ini
pada akhirnya sangat mempengaruhi bagaimana cara konflik selanjutnya
dianalisis dan bagaimana penyelesaiannya dibahas dalam konteks agenda
perdamaian liberal (Duderija, A., & Rane, 2019, p. 18).
Perang dan konflik sendiri bukanlah sebuah fenomena baru. Beberapa
alasan yang seringkali dinyatakan sebagai penyebab terjadinya konflik,
diantaranya perebutan wilayah, perebutan kekuasaan, penindasan
(oppression), perebutan sumber daya, politik, dan agama. Terkait hal
ini, semakin mengemuka pandangan yang menyatakan bahwa agama
memainkan peran penting dalam banyak konflik di seluruh dunia
(Appleby, 2000, p. 41). Dalam konteks ini, Islam sebagai salah satu agama
yang memiliki jumlah pemeluk cukup signifikan di seluruh dunia, ikut

182 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


berada di tengah pusaran konflik dan perdamaian karena kedua dimensi
tersebut terjadi di berbagai wilayah yang melibatkan populasi Muslim.
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi peran Islam dalam
dinamika pusaran konflik dan perdamaian dunia (Adiong, N. M.,
Mauriello, R., & Abdelkader, 2019, pp. 37–39). Pertama, ragam interpretasi.
Seperti agama-agama lainnya, Islam memiliki beragam interpretasi dan
pemahaman. Perbedaan ini dapat mempengaruhi bagaimana Islam
dijalankan dan diterapkan dalam konteks sosial dan politik. Interpretasi
yang ekstrem atau radikal dapat menjadi sumber konflik, sementara
interpretasi yang moderat dan inklusif dapat mendorong perdamaian.
Kedua, politik identitas. Agama sering digunakan sebagai identitas
kelompok dalam konteks konflik sosial dan politik. Di beberapa wilayah,
konflik berbasis agama muncul karena adanya persaingan kekuasaan
politik atau ketegangan etnis yang dikaitkan dengan identitas agama.
Faktor-faktor politik dan sosial yang kompleks ini seringkali berperan
dalam memicu konflik. Ketiga, intervensi asing. Beberapa konflik yang
terjadi di wilayah mayoritas Muslim, biasanya disebabkan karena adanya
intervensi asing atau campur tangan negara-negara lain dalam urusan
internal. Intervensi semacam ini dapat memperburuk ketegangan,
memicu konflik sektarian, dan memperpanjang durasi konflik. Keempat,
ekstremisme dan terorisme. Kelompok-kelompok ekstremis yang mengaku
berlandaskan pada prinsip Islam, seperti Islamic State of Iraq and Syiria
(ISIS) dan Al-Qaeda, melakukan serangkaian tindakan kekerasan dan
terorisme dengan menggunakan narasi agama untuk membenarkan
tindakan mereka. Kelompok-kelompok ini menimbulkan ancaman bagi
perdamaian dunia dan juga mempengaruhi persepsi terhadap Islam
secara keseluruhan.
Kesalahpahaman umum lainnya tentang Islam adalah adanya
pandangan bahwa Islam mendorong terorisme. Media massa Barat yang
cenderung berfokus pada gerakan radikal dan kebencian yang diusung
oleh minoritas Islam ekstrim serta kurangnya pengetahuan yang cukup
tentang agama Islam yang mengusung nilai-nilai rahmatan lil alamin,

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 183


membuat publik mengadopsi stereotip yang tidak baik tentang Muslim.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa mayoritas Muslim
menempuh jalan hidup yang damai dan tidak terlibat dalam konflik atau
pun tindakan kekerasan lainnya. Banyak pemimpin agama dan organisasi
Muslim yang justru berkomitmen untuk mempromosikan perdamaian,
dialog antar agama, dan kerukunan sosial, sekaligus berperan penting
dalam memerangi ekstremisme, meredakan ketegangan, dan membangun
jembatan antara komunitas yang berbeda (Yousefvand, 2012, p. 28).
Dengan demikian, penting untuk tidak menggeneralisasi Islam sebagai
sumber konflik atau tindakan kekerasan. Islam, sebagaimana halnya agama
lainnya, dapat diinterpretasikan dan diterapkan dengan berbagai cara.
Berlandaskan pada pemaparan di atas, tulisan ini berupaya mengulas
bagaimana keterkaitan antara konflik dan perdamaian dunia dalam konteks
agama. Secara spesifik, tulisan ini juga akan menyoroti bagaimana doktrin
ajaran dasar Islam justru memuat seruan tentang toleransi, keadilan, hak
asasi manusia, dan perdamaian sebagai pilar fundamental teologi Islam
yang ditunjukkan melalui berbagai kontribusi Islam kontemporer yaitu
melalui pendidikan, dialog antar agama, pembangunan perdamaian
berbasis keadilan, serta penyelesaian konflik politik yang adil, sehingga
diharapkan dapat membantu mengatasi konflik dan mendorong
perdamaian di wilayah-wilayah yang terpengaruh.

Pembahasan
Perang dan Damai dalam Konteks Agama
Perang dan perdamaian dalam konteks agama telah menjadi topik yang
kompleks dan kontroversial sepanjang sejarah manusia. Berbagai agama,
termasuk Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain, memiliki hubungan
yang kompleks dengan konflik dan perdamaian. Perang dalam konteks
agama sering kali disebut sebagai perang agama atau konflik etno-religius.
Ini terjadi ketika agama digunakan sebagai dasar identitas kelompok, dan
perbedaan agama kemudian menjadi sumber perselisihan yang serius
(Roberts, 2004, p. 49). Gambar 1 dan 2 berikut, menunjukkan distribusi

184 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


agama-agama besar di dunia dan kaitannya dengan tingkat perdamaian
dunia tahun 2020:

Gambar 1. Distribusi Agama-Agama Besar Dunia

Sumber: Islam and World Peace, Islamic Sciences & Research Academy Australia (ISRA),
p. 7.

Gambar 2. Skor Indeks Perdamaian Global Tahun 2020

Sumber: Global Peace Index/Institute for Economics and Peace diakses dari (www.visi-
onofhumanity.org/maps)

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 185


Berdasarkan gambar 1 dan 2 di atas, dapat dipahami bahwa negara-
negara yang berwarna lebih hijau diberi peringkat sebagai negara yang
lebih damai. Negara-negara tersebut meliputi wilayah Amerika Utara,
sebagian Amerika Selatan, dan Australia yang didominasi oleh agama
Kristen, serta Indonesia yang mayoritas memeluk Islam. Sementara negara-
negara yang berwarna lebih oranye digolongkan sebagai kurang damai,
meliputi negara Rusia, Libya, dan beberapa wilayah pecahan Uni Soviet.
Negara-negara ini didominasi oleh pemeluk agama Kristen dan Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa konflik dan tingkat perdamaian, tidaklah
secara inheren berkorelasi dengan agama tertentu. Sebaliknya, konflik
dan perdamaian melibatkan faktor-faktor yang kompleks, termasuk
politik, sosial, ekonomi, etnis, dan sejarah. Agama mungkin menjadi
salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi konflik, tetapi bukan
satu-satunya faktor penentu (Haynes, 2007, p. 63). Dengan kata lain,
konflik dapat terjadi di antara kelompok yang memiliki keyakinan agama
yang sama, seperti yang terjadi dalam sejarah konflik antara denominasi
Kristen yang berbeda atau dalam konflik antara kelompok Muslim yang
berbeda. Demikian pula, konflik dapat timbul di antara kelompok dengan
keyakinan agama yang berbeda, atau bahkan di dalam kelompok yang
tidak memiliki afiliasi agama.
Keberadaan agama sendiri di satu sisi dipandang sebagai sumber
perdamaian bagi banyak pemeluknya, tetapi di sisi lain juga seringkali
dipandang sebagai sumber konflik oleh banyak pihak. Beranjak dari
pandangan ini, ketegangan agama kemudian terlihat jelas di berbagai
belahan dunia yang ditandai dengan banyaknya konflik dan kekejaman
yang terjadi dengan mengatas-namakan agama, kitab suci, dan bahkan
Tuhan dijadikan sebagai referensi pembenaran dalam melakukan berbagai
perilaku kekerasan (Shaukat, 2020).
Pertanyaan utama yang kemudian mengemuka adalah apakah benar
agama merupakan penyebab terjadinya konflik? Terdapat argumentasi
kuat yang mendukung opini ini. Abu-Nimer (Abu-Nimer, 2003, p.
685) menyatakan bahwa sejak berakhirnya Perang Dingin, sejumlah

186 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


besar konflik yang terjadi disebabkan oleh benturan identitas komunal
berdasarkan ras, etnis, atau afiliasi agama. Hal ini diperkuat dengan fakta
bahwa sederetan konflik dunia saat ini, tidak dapat dipungkiri memang
memuat motif agama atau ideologi sebagai elemen utama penyebabnya
(Fisher, 2002, p. 4). Beberapa konflik di seluruh dunia yang melibatkan
agama dapat dilihat sebagaimana terangkum di dalam tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Konflik di Seluruh Dunia yang Melibatkan Agama
No. Wilayah Konflik Deskripsi Konflik
1. Irlandia Utara Konflik yang telah menewaskan ribuan orang, memiliki
akar politik dan agama yang telah berusia berabad-abad
antara komunitas Unionis Protestan dengan komunitas
Nasionalis Katolik yang memiliki arah pandangan berbeda
apakah tetap menjadi bagian dari Britania Raya atau
menjadi bagian dari Republik Irlandia.
2. Israel-Palestina Konflik politik dan agama yang telah dimulai sejak
awal abad ke-20 terkait pihak mana yang mendapatkan
wilayah “the Holy Land” dan bagaimana penguasaannya.
Konflik menjadi lebih rumit dengan adanya keberadaan
kota Yerusalem yang merupakan kota suci bagi ketiga
agama Ibrahim (Islam, Kristen, Yahudi) dan kemudian
diperebutkan antara orang Yahudi dan Palestina tentang
siapa yang harus mengendalikannya.
3. Nigeria Konflik agama antara Muslim yang mendominasi negara
bagian Nigeria Utara dan telah menerapkan hukum Syariah
yang ketat dengan Kristen yang mendominasi negara di
tingkat federal. Konflik telah terjadi sejak tahun 2000,
menimbulkan kerusuhan dengan beberapa ribu korban di
kedua belah pihak. Sejak 2009, gerakan Islamis Boko Haram
juga telah melakukan pemberontakan bersenjata melawan
militer Nigeria, menjarah desa dan kota serta merenggut
ribuan nyawa dalam pertempuran dan pembantaian
terhadap orang Kristen, pelajar, dan lainnya yang dianggap
musuh Islam.
4. Sudan Perang sipil yang telah berlangsung sejak tahun 2003, yaitu
ketika pemberontak melancarkan pemberontakan untuk
memprotes apa yang mereka anggap sebagai pengabaian
pemerintah Sudan terhadap wilayah barat dan penduduk
non-Arabnya.
5. Kashmir Konflik yang terjadi antara Pakistan dan India terkait
perebutan wilayah Kashmir yang diawali ketika
kolonialisme Inggris membagi negara India menjadi dua
bagian, yaitu India dengan mayoritas penduduk beragama
Hindu dan Pakistan dengan penduduk Muslim terbanyak.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 187


No. Wilayah Konflik Deskripsi Konflik
6. Rakhine Konflik antar umat beragama di Myanmar, dimana
(Rohingya) Rohingya yang merupakan kelompok minoritas Muslim
yang tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar, mendapat
perlakuan kekerasan dan diskriminasi. Pada Agustus
2017, tindakan keras mematikan oleh tentara Myanmar
terhadap Muslim Rohingya menyebabkan ratusan ribu
orang melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menyebut
adanya resiko serius terjadinya genosida (ethnic cleansing).
7. Yaman Krisis yang berlangsung sejak tahun 2011 yang dipandang
sebagai salah satu dari beberapa pertempuran proksi antara
Iran dan Arab Saudi. PBB bahkan menyebut konflik yang
terjadi di Yaman sebagai bencana kemanusiaan terburuk di
dunia.
8. Armenia- Konflik etnis dan territorial yang terjadi antara Armenia
Azerbaijan (mayoritas Kristen) dengan Azerbaijan (mayoritas Muslim)
yang telah terjadi sejak awal abad ke-20. Konflik ini juga
melibatkan Nagorno-Karabakh, sebuah wilayah mayoritas
Armenia yang berupaya memisahkan diri dari Azerbaijan.
9 Bosnia Dalam konflik Bosnia lebih dari 8000 Muslim tidak
bersenjata dibunuh oleh pasukan militer Serbia, tujuannya
adalah untuk membersihkan negara dari populasi Muslim.
Setelah bertahun-tahun terjadi pertempuran sengit
antara Bosnia (Muslim) dengan Serbia dan Kroasia yang
ikut terlibat (didukung oleh the North Atlantic Treaty
Organization/NATO), akhirnya diberlakukan gencatan
senjata. Korban tewas perang Bosnia mencapai 102.000
jiwa.
Sumber: Data olahan penulis

Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam beberapa


tahun terakhir, berbagai kajian menunjukkan adanya peran agama yang
dipandang ikut berkontribusi pada berbagai konflik yang terjadi di seluruh
dunia. Di banyak wilayah konflik tersebut, perpecahan agama memang
menjadi sebuah faktor yang ikut memperburuk kondisi konflik, meskipun
agama mungkin bukanlah akar penyebab konflik.
Terlepas dari fakta ini, agama sebetulnya juga dipandang dapat
memainkan peran penting dalam upaya penciptaan perdamaian,
pencegahan, dan resolusi konflik. Hal ini dilandasi pada pemahaman
bahwa agama dapat terhubung dengan perdamaian melalui empat cara
utama (Weige, 2013, pp. 72–74), yaitu:

188 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


1. Ide yang diusung dalam ajaran agama tentang martabat manusia
dan kemanusiaan yang sama bagi semua, berasal dari gagasan bahwa
setiap manusia diciptakan menurut kuasa Ilahi. Hal ini merupakan
dasar bagi perdamaian sejati. Konsep agama tentang penebusan dan
pengampunan juga menjadi landasan ajaran agama yang mendukung
terjadinya upaya rekonsiliasi pasca-konflik di antara masyarakat yang
terlibat di dalam konflik.
2. Protes yang diusung komunitas keagamaan seringkali memusatkan
perhatian pada berbagai bentuk penindasan dan ketidak-adilan.
Sebagai contoh, munculnya kecaman agama atas praktik apartheid dan
segregasi sebagai dosa, atau upaya keagamaan dalam menghentikan
pembersihan etnis di Darfur.
3. Agama mewakili komunitas dan institusi masyarakat sipil yang
berpengaruh, dimana hal ini seringkali dilihat sebagai representasi dari
nilai-nilai pemersatu serta dipandang mampu melampaui isu-isu yang
menjadi sumber konflik. Keberadaan agama juga dipandang sebagai
entitas yang paling stabil dan paling tepercaya di tempat-tempat
dimana krisis dan konflik terjadi, sehingga mampu berkontribusi
dalam menengahi perselisihan. Sebagai contoh, ditunjukkan oleh
pencapaian kelompok-kelompok seperti Komunitas Sant’Egidio’
yang berhasil menengahi perjanjian damai 1992 di Mozambik setelah
terjadinya 30 tahun perang saudara. Contoh lainnya adalah upaya
rekonsiliasi antar agama di Afrika Selatan, koalisi Muslim-Kristen
setelah konflik Balkan, dan upaya ekumenis Kristen di Kolombia.
4. Entitas keagamaan lokal dan internasional memainkan peran besar
dalam mempromosikan pendidikan, memberikan layanan perawatan
kesehatan, dan mengatasi kemiskinan, dimana tanpa semua kondisi
ini perdamaian menjadi hal yang sulit untuk dicapai.
Di hampir setiap wilayah konflik di dunia, berbagai upaya lintas
agama juga telah berkontribusi dalam upaya menyelesaikan atau
menghindari perselisihan, serta memperbaiki kondisi yang terjadi pasca
konflik Meskipun demikian, keberhasilan, dampak, atau konsistensi dari

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 189


upaya lintas agama ini memiliki keterbatasan. Seringkali, berbagai upaya
lintas agama ini tenggelam oleh situasi konflik yang semakin meningkat,
ketidakmampuan dalam memperoleh dukungan politik, dan bahkan
dipandang bukan merupakan faktor penentu saat sebuah konflik terjadi
(Berger, 2010, p. 69). Terlepas dari berbagai keterbatasan tersebut, tetapi
tetap penting untuk dicatat bahwa keberadaan kelompok-kelompok
antar-agamalah yang biasanya mampu menginspirasi atau mendorong
berbagai pihak untuk bergerak ke arah perdamaian dan rekonsiliasi.

Islam, Konflik, dan Perdamaian Dunia


Seperti agama-agama lainnya, Islam juga memiliki peran dalam konteks
konflik dan perdamaian dunia. Terkait hal ini, penting untuk memahami
bahwa Islam sebagai agama tidak dapat secara langsung dipandang sebagai
sumber konflik atau perdamaian. Namun, adanya tindakan individu,
kelompok, atau negara yang mengklaim kekerasan berdasarkan ajaran
Islam, dapat berdampak signifikan dalam konteks tersebut (Kumar, 2016,
p. 35). Beberapa konflik di dunia yang mengemuka terkait klaim kekerasan
atas nama ajaran Islam misalnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Konflik di Dunia yang Mengatasnamakan Ajaran Islam
Deskripsi Konflik
No. Konflik

1. Suriah Konflik di Suriah dimulai pada tahun 2011 dan melibatkan


berbagai kelompok pemberontak, pemerintah Suriah, dan
kekuatan asing. Terdapat aspek agama dalam konflik ini, yaitu
kelompok militan seperti ISIS yang menggunakan narasi agama
untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka.
2. Afghanistan Konflik berkepanjangan yang melibatkan kelompok
pemberontak Taliban, pasukan internasional, dan pemerintah
Afghanistan. Kelompok Taliban menggunakan interpretasi
agama Islam untuk membenarkan tindakan kekerasan dan
menegakkan pemerintahan yang berdasarkan hukum Islam.
3. Terorisme Beberapa kelompok teroris yang terkait dengan Islam, seperti
Global Al-Qaeda dan ISIS, telah melakukan serangan teror di berbagai
belahan dunia. Meskipun mayoritas umat Muslim menolak
tindakan terorisme ini dan mengecam kelompok-kelompok
tersebut, namun tindakan tersebut telah menciptakan konflik
dan ketegangan antara kelompok agama yang berbeda.
Sumber: Data olahan penulis

190 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Tabel 2 di atas menunjukkan terdapat beberapa konflik dan serangan
teroris yang telah dilakukan oleh individu atau kelompok dengan meng-
atasnamakan ajaran Islam. Serangan-serangan ini seringkali mengklaim
bahwa mereka bertindak atas nama Islam. Meskipun minoritas Muslim
yang memiliki pandangan ekstrim tampaknya membenarkan tindakan
kekerasan yang mereka lakukan dengan mengacu pada Al-Qur’an dan
ajaran Nabi Muhammad SAW, tetapi terdapat fakta bahwa mayoritas
Muslim di seluruh dunia mengikuti ajaran utama Islam yang mempro-
mosikan perdamaian dunia. Ajaran ini ditempuh melalui upaya menjaga
hubungan yang kuat dan harmonis dengan Tuhan, manusia dan alam
semesta, sehingga tidak menyisakan ruang bagi kekerasan (Iqbal Dar, 2017).
Kata Islam sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu Silm, yang berko-
notasi perdamaian. Hal ini juga berkorelasi dengan salah satu sifat Allah
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, yaitu As-salaam yang berarti perda-
maian dan keamanan. Sementara kata Islam (silm) mengandung arti
berdamai, berada di lingkungan yang saling damai, salam, pertolongan,
keselamatan, mencapai keselamatan dan kesejahteraan dari bahaya, serta
jauh dari kesalahan. Gagasan perdamaian di dalam Islam mencakup
semua aspek eksistensi kehidupan manusia, baik politik, sosial, keluarga,
atau pun pribadi (Yong Bao Ahmed Musa Wang, 2009, p. 18). Meskipun
demikian, pengertian perdamaian dalam Islam menuntut untuk ditelaah
lebih dalam karena kekerasan justru seringkali diasosiasikan dengan
Islam di dunia kontemporer saat ini.
Terkait konsep perdamaian, Islam sangat mementingkan beberapa
prinsip dan nilai moral, yang hakikatnya menunjukkan bahwa Islam
adalah agama kebaikan untuk semua, sekaligus berkomitmen untuk
mengembangkan hubungan manusia yang baik di antara semua individu,
kelompok, dan masyarakat. Sebaliknya, kekerasan dan perang justru tidak
memiliki hubungan dengan ajaran Al-Qur’an. Islam mempromosikan
perdamaian bukan hanya dalam konteks legislasi, tetapi juga termuat
dalam praktik, dan doktrin. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat
dalam Al-Qur’an yang lebih mengutamakan perdamaian daripada perang,

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 191


dan pengampunan daripada kebencian (Yong Bao Ahmed Musa Wang,
2009, p. 19).
Sementara perspektif Islam tentang konflik, pembahasannya didasar-
kan pada landasan dan sumber konflik, baik yang bersifat individu secara
sosial maupun internasional, dimana konflik dipandang dapat terjadi
karena adanya cacat atau kegagalan dalam membangun keharmonisan
hubungan di antara masyarakat, bangsa, dan negara. Cacat keharmonisan
ini diakibatkan oleh penyimpangan sistem nilai, etika, motif spiritual
dan moral, serta perilaku dan praktik terhadap orang lain (individu atau
bangsa dan komunitas) yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik.
Dalam konteks inilah, Islam kemudian memberikan solusi dalam bingkai
yang disebut sebagai penyelesaian atau resolusi konflik (Rahmanizadeh,
2015, p. 29).
Secara umum, perspektif Islam dalam penyelesaian atau resolusi
konflik didasarkan pada upaya pencarian solusi dan bukan berfokus
pada bagaimana mengubah relasi kekuasaan antara pihak-pihak yang
berkonflik. Dengan kata lain, Islam berfokus pada bagaimana memberikan
hak kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam konflik. Dalam
hal ini, perspektif Islam meletakkan perubahan mendasar terkait peran
mediator dalam upaya resolusi konflik, yaitu berpegang kepada prinsip
menegakkan keadilan dalam menyelesaikan konflik (Ralph H. Salmi,
Cesar Adib Majul & Tanham, 2011, p. 29). Di sisi lain, metode dan
cara penyelesaian konflik yang diterapkan dalam hukum internasional
kontemporer dan digunakan oleh negara serta organisasi internasional,
bersinggungan dengan metode-metode yang termuat dalam perspektif
Islam yang meyatakan bahwa cara-cara damai melalui dialog dan negosiasi
merupakan metode resolusi konflik yang paling penting (Abu-Nimer,
2003, p. 44).
Terkait resolusi konflik, perspektif Islam didasarkan pada seperangkat
prinsip dan nilai yang secara efektif berkontribusi pada pencegahan
konflik. Seperangkat prinsip ini meliputi level individu, komunitas, negara,
dan lingkungan internasional yang memuat nilai-nilai seperti keadilan,

192 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


perdamaian, pengampunan, dan kasih sayang, yang dapat menjadi dasar
bagi upaya perdamaian dan rekonsiliasi (Ralph H. Salmi, Cesar Adib
Majul & Tanham, 2011, p. 33). Menurut Habermas (Habermas, 2009,
p. 58) diyakini pula, terdapat tiga faktor yang berkontribusi pada upaya
penciptaan perdamaian, yaitu:
1. Pendidikan yang ditempuh melalui upaya memfasilitasi saling
mengenal dengan pihak lain, memfasilitasi upaya saling menerima
perbedaan, sekaligus menjadi sarana belajar tentang resolusi konflik.
2. Keadilan sosial, karena kurangnya pemenuhan terhadap hak asasi
manusia (HAM) pada akhirnya akan menimbulkan reaksi negatif.
3. Adanya dialog antar agama (interfaith dialogue) dan antar budaya
(intercultural dialogue) yang memungkinkan terbukanya kesempatan
untuk saling mengenal satu sama lain yang pada akhirnya bermanfaat
sebagai tindakan pencegahan terhadap konflik, sekaligus mencegah
terjadinya polarisasi budaya.
Islam juga dipandang memiliki potensi untuk mempromosikan
perdamaian dunia. Oleh karena itu, penting untuk tidak menggeneralisasi
atau mengkaitkan seluruh agama Islam dengan konflik atau kekerasan karena
sebagaimana halnya agama-agama lainnya, Islam juga dapat diinterpretasikan
secara beragam oleh para penganutnya (Bakar, 2003, p. 14)
Terkait hal ini, maka dalam upaya mencapai perdamaian dunia,
sangat penting untuk mempromosikan dialog antar agama, saling
pemahaman, dan kerjasama antar kelompok agama. Pendidikan yang
mendukung pemahaman yang lebih baik tentang agama-agama dunia,
termasuk Islam, juga merupakan faktor penting dalam membangun
perdamaian yang berkelanjutan. Selain itu, upaya pemerintah, organisasi
internasional, dan masyarakat sipil dalam mempromosikan perdamaian
dan mengatasi akar konflik juga sangat diperlukan. Islam sendiri, berupaya
untuk memberikan kontribusinya, dimana banyak organisasi Muslim
dan tokoh agama Islam yang berusaha membangun jembatan antara
berbagai kelompok dan mendorong dialog antar agama untuk mencapai
perdamaian yang berkelanjutan.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 193


Kontribusi Islam Kontemporer bagi Perdamaian Dunia
“Islam is a mercy. If you see its opposite, cruelty, then know that is not Islam
(lbn AI Qayim).” Petikan ungkapan ini dengan tegas menyatakan bahwa
Islam adalah rahmat dan bila yang terjadi adalah kebalikannya, yaitu
kekejaman, maka jelaslah bahwa itu bukanlah Islam. Di dalam ajaran
Islam sendiri termuat prinsip perdamaian yang terangkum dalam lima
hak yang dimiliki oleh semua manusia menurut hukum Islam, sebagai
berikut:
1. Hak untuk hidup (right to life)
2. Hak atas properti pribadi (right to personal property)
3. Hak atas pikiran manusia (right to human mind)
4. Hak memiliki kepercayaan dan agama sendiri (right to one’s own
belief and religion)
5. Hak atas keluarga dan garis keturunan (right to family and lineage)
Dalam konteks upaya yang dapat ditempuh oleh seorang Muslim
dalam memperjuangkan perdamaian, secara tegas Islam mengusung hal
ini melalui diplomasi Islam yang didalamnya memuat unsur negosiasi
(dialog). Dalam hal ini, Al-Quran menunjukkan berbagai contoh dialog
yang salah satunya termaktub dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat
125 yang meminta umat Islam untuk menunjukkan sopan santun dan
kebijaksanaan terbaik ketika berdebat dengan orang-orang dari agama
lain. Kebijaksanaan, percakapan penuh hormat, dan perilaku ramah adalah
penting untuk memperkuat hubungan timbal balik. Nabi Muhammad
SAW merupakan contoh nyata dalam melibatkan dan memelihara dialog
dan kerukunan dengan orang-orang yang berbeda agama, dimana Nabi
Muhammad SAW menggunakan metode diplomasi dan negosiasi, baik
secara pribadi maupun sebagai jalan dakwah dalam mengajak banyak
orang untuk memeluk Islam. Cara yang ditempuh Nabi Muhammad SAW
ini menunjukkan perlakuan yang sama terhadap Muslim dan non-Muslim
(Vaiou, 2019, p. 37). Dalam era kontemporer, hal ini dikenal luas dalam
kerangka dialog antar agama (interfaith dialogue).

194 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Secara garis besar, beberapa contoh kontribusi Islam kontemporer
terhadap perdamaian dapat dinyatakan sebagai berikut (Fadl, 2012, pp.
61–63):
1. Dialog antar agama: Islam kontemporer telah memberikan banyak
inisiatif dialog antar agama yang melibatkan para pemimpin Muslim.
Dialog ini bertujuan untuk mempromosikan saling pemahaman,
mengatasi prasangka, dan membangun kerjasama antara umat
beragama yang berbeda. Sebagai contoh, Dewan Muslim-Katolik
Dunia didirikan pada tahun 1995 untuk memfasilitasi dialog dan
kerjasama antara Muslim dan Katolik di tingkat global.
2. Toleransi dan kerukunan: banyak pemimpin Muslim dan ulama
kontemporer yang menekankan pentingnya toleransi, saling
pemahaman, dan kerukunan antar umat beragama. Ditekankan
pula ajaran Islam tentang keadilan, cinta kasih, dan perdamaian
sebagai landasan bagi hubungan yang harmonis antara pemeluk
agama yang berbeda.
3. Pendidikan damai: pendidikan yang mendorong pemahaman dan
penghargaan terhadap keberagaman agama dan budaya merupakan
kunci dalam membangun perdamaian. Terkait hal ini, banyak lembaga
pendidikan Muslim kontemporer yang memuat kurikulum yang
mempromosikan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan kerukunan
antar agama. Diajarkan pula pemahaman yang mendalam tentang
Islam yang inklusif serta mampu berdampingan dengan nilai-nilai
kemanusiaan universal.
4. Penolakan terhadap ekstremisme: Islam kontemporer juga ditandai
dengan banyaknya pemimpin Muslim yang secara terang-terangan
menolak ekstremisme dan kekerasan. Mereka menegaskan bahwa
Islam menghormati kehidupan manusia, menghormati HAM, dan
menolak penggunaan kekerasan dalam nama agama. Para pemimpin
Muslim ini sekaligus berperan dalam melawan narasi ekstremis dan
menawarkan alternatif yang damai serta inklusif.
5. Upaya mediasi dan rekonsiliasi: beberapa ulama Muslim dan organisasi
keagamaan terlibat dalam upaya mediasi konflik dan rekonsiliasi di

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 195


berbagai wilayah konflik. Misalnya, terlibat dalam mediasi konflik di
Filipina Selatan dan konflik di Mali. Melalui mediasi konflik ini, mereka
berupaya untuk membangun dialog, mempromosikan perdamaian,
dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Penting untuk diingat bahwa meskipun kontribusi-kontribusi ini
berasal dari individu-individu dan kelompok-kelompok Muslim tertentu,
dan bukan mewakili seluruh komunitas Muslim secara keseluruhan,
tetapi hal ini mencerminkan upaya nyata yang dilakukan dalam rangka
membangun perdamaian dan mengatasi konflik melalui pendekatan
Islam yang moderat, inklusif, dan damai.
Di samping itu, penting pula untuk dipahami bahwa meskipun Islam
memiliki potensi besar dalam memberikan kontribusi yang signifikan
bagi perdamaian dunia, tetapi sebagaimana agama-agama lainnya, Islam
juga menghadapi sejumlah tantangan dalam upaya mempromosikan
perdamaian dunia (Ralph H. Salmi, Cesar Adib Majul & Tanham, 2011, p.
59). Beberapa tantangan yang dihadapi Islam dalam konteks ini meliputi:
1. Ekstremisme dan terorisme.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Islam adalah ekstremisme
dan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti ISIS,
Al-Qaeda, dan organisasi teroris lainnya. Kelompok-kelompok ini
menggunakan narasi agama untuk membenarkan tindakan kekerasan
mereka. Terkait hal ini, tantangan yang dihadapi Islam meliputi
penanggulangan ekstremisme, pemahaman yang akurat tentang
ajaran Islam, dan upaya pencegahan radikalisasi.
2. Islamofobia.
Fenomena Islamofobia, yakni ketakutan atau kebencian terhadap Islam
dan Muslim, juga merupakan tantangan serius dalam membangun
perdamaian dunia. Stereotip negatif dan diskriminasi terhadap
Muslim dapat memperburuk konflik dan mempengaruhi upaya
untuk membangun dialog dan kerjasama antar agama. Mengatasi
Islamofobia dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik

196 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


tentang Islam adalah penting dalam upaya menciptakan lingkungan
yang inklusif dan damai.
3. Konflik politik dan sosial.
Konflik politik dan sosial di berbagai wilayah dunia sering kali
memiliki dimensi agama yang kompleks. Perselisihan politik yang
melibatkan kelompok-kelompok agama dapat memperburuk
ketegangan dan mempengaruhi upaya perdamaian. Penyelesaian
konflik politik yang adil, inklusif, dan berdasarkan prinsip keadilan
adalah kunci untuk mengatasi tantangan ini.
4. Ketimpangan sosial dan ekonomi.
Ketimpangan sosial dan ekonomi dapat memperburuk konflik dan
menghambat upaya perdamaian, sementara ketidakadilan sosial
dan kesenjangan ekonomi dapat menciptakan ketegangan dan
ketidakstabilan dalam masyarakat. Islam menganjurkan keadilan
sosial dan pemerataan ekonomi, dimana upaya-upaya terkait hal
ini harus dilakukan dalam mengatasi ketimpangan sebagai bagian
dari usaha membangun perdamaian dunia.
5. Perbedaan interpretasi agama.
Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam juga menghadapi tantangan
dalam hal perbedaan interpretasi agama. Perbedaan pendapat
teologis dan perselisihan doktrinal dapat menyebabkan konflik
dan ketegangan antara kelompok-kelompok Muslim. Oleh karena
itu, penting untuk mendorong dialog dan saling pemahaman, serta
menghargai keragaman interpretasi dalam rangka membangun
kesepemahaman dan kerukunan antar umat beragama.

Untuk dapat mengatasi berbagai tantangan di atas, diperlukan


kerjasama dan keterlibatan aktif dari pemimpin agama, pemerintah,
organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan
yang mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam,
dialog antar agama yang terbuka, upaya pencegahan radikalisasi, serta
penyelesaian konflik yang berkeadilan merupakan beberapa langkah yang

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 197


dapat diambil dalam menghadapi tantangan ini, sekaligus mempromosikan
perdamaian dunia yang inklusif dan berkelanjutan.

Simpulan
Agama seringkali dipandang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik di dunia. Padahal dalam faktanya, konflik yang
melibatkan agama tidak selalu mencerminkan ajaran agama itu sendiri
karena seringkali faktor-faktor politik, sosial, ekonomi, dan etnis juga ikut
memainkan peran penting dalam sebuah konflik. Dalam faktanya pula,
agama sebetulnya telah memainkan peran penting dalam mempromosikan
perdamaian. Tetapi dengan begitu banyaknya penekanan pada agama
sebagai sumber konflik, menyebabkan peran agama sebagai kekuatan
dalam perdamaian biasanya diabaikan.
Islam sebagai salah satu agama besar di dunia, memiliki signifikansi
dan kontribusi dalam upaya perdamaian dunia. Hal ini misalnya termuat
dalam ajaran agama Islam yang mendorong umatnya untuk mewujudkan
perdamaian, keadilan, dan kesetaraan. Beberapa kontribusi nyata Islam
dalam upaya perdamaian dunia, tercermin pula melalui ajaran hubungan
antar umat beragama dimana Islam menghormati hak-hak agama minoritas
dan mendorong umat Muslim untuk berinteraksi secara positif dengan
komunitas yang berbeda, Islam juga menekankan pentingnya keadilan
dan kesetaraan dalam masyarakat dimana prinsip-prinsip ini dipandang
dapat membantu mengatasi ketidakadilan dan konflik yang mungkin
terjadi, serta Islam juga mendorong praktik dialog antar agama sebagai
bagian dari resolusi konflik.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa peran agama –
termasuk Islam – dalam menciptakan perdamaian juga harus dilihat
dalam konteks sosial, politik, dan budaya yang lebih luas. Agama tidak
bekerja sendiri, tetapi memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor lain
seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan hubungan antar bangsa. Dengan
kata lain, diperlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk upaya
diplomasi, dialog antar agama, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan
penyelesaian konflik berbasis keadilan. Hal ini membutuhkan kerjasama

198 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


antara pemimpin agama, pemerintah, organisasi internasional, dan
masyarakat sipil dalam upaya membangun hubungan saling pengertian,
toleransi, dan perdamaian yang berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Abu-Nimer, M. (2003). Non-Violence and Peace Building in Islam: Theory
and Practice. University Press of Florida.
Adiong, N. M., Mauriello, R., & Abdelkader, D. (2019). Islam in
International Relations: Politics and Paradigms. Routledge.
Appleby, R. . (2000). The Ambivalence of the Sacred: Religion and Violence,
and Reconciliation. Rowman and Littlefield.
Bakar, O. (2003). Islam dan Dialog Peradaban. Fajar Pustaka Baru.
Berger, M. (2010). Religion and Islam in Contemporary International
Relations. Netherlands Institute of International Relations
Clingendael. https://www.clingendael.org/sites/default/files/
pdfs/20100400_cdsp_book_mberger.pdf
Duderija, A., & Rane, H. (2019). Islam and Muslim in the West: Major
Issues and Debate. Palgrave Macmillan.
Fadl, K. A. El. (2012). The Place of Tolerance in Islam. Beacon Press.
Fisher, S. (2002). Working With Conflict: Skills and Strategies for Action.
Zed Books.
Habermas, J. (2009). Between Naturalism and Religion. Polity Press.
Haynes, J. (2007). An Introduction to International Relations and Religion.
Pearson Longman.
Iqbal Dar, A. (2017). Revie Article Diplomacy in Islam. Asian Journal of
Science and Technology, 8(9), 5616–5618.
Kumar, D. (2016). Islamophobia: The Cultural Logic of Empire. Haymarket
Books.
Rahmanizadeh, H. (2015). Contribution of Islam to the Development of
Diplomatic and Consular Law. Journal of Current Research in Science,
3(2).

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 199


Ralph H. Salmi, Cesar Adib Majul & Tanham, G. K. (2011). Islam and
Conflict Resolution: Theories and Practices. University Press of
America.
Roberts, K. A. (2004). Religion in Sociological Perspective. Wadsworth.
Shaukat, A. (2020). Religious Conflicts Around the Globe and a Solution.
Moderndiplomacy.Eu. https://moderndiplomacy.eu/2020/10/15/
religious-conflicts-around-the-globe-and-a-solution/
Vaiou, M. (2019). Diplomacy in the Early Islamic World: A Tenth-Century
Treaties on Arab-Byzantine Relations. I.B. Tauris.
Weige, G. (2013). Religion and Peace an Argument Complexified. In
Resolving Third Word Conflict: Challenge for New Era. US Institute
of Peace Press.
www.visionofhumanity.org. (n.d.). https://www.visionofhumanity.org/wp-
content/uploads/2020/06/GPI-2020-Web.pdf
Yong Bao Ahmed Musa Wang. (2009). Diplomacy: Theory and Practice in
Islam. International Islamic University Malaysia Press.
Yousefvand, M. (2012). Diplomatic Negotiations from Islamic Point of
View. Journal of Basic and Applied Scientific Research, 2(1), 309–317.

Biografi Singkat Penulis:


Rizki Damayanti merupakan Dosen Tetap pada Program Studi Hubungan
Internasional, Universitas Paramadina Jakarta, dan Doktor Pengkajian
Islam (Konsentrasi: Islam dan Hubungan Internasional) dari Sekolah
Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan Zaenal
Muttaqin adalah Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Mahasiswa Program
Doktor Pengkajian Islam (Konsentrasi: Sosiologi-Antropologi Agama)
pada Sekolah Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

200 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Agama dan Perdamaian: Kontribusi
Pemikiran KH. Ahmad Hasyim
Muzadi

Aam Saepul Alam


STAI Siliwangi Garut, Indonesia
Email: aamrs2017@gmail.com

Pedahuluan
Peranan agama sangat urgen bagi kehidupan manusia di alam semesta ini,
semua agama yang ada di dunia ini pada hakikatnya mempunyai maksud
dan tujuan yang sama yakni menciptakan perdamaian dan salahsatu
penyelasaian konflik sosial sehingga menjadi harmoni dan kebahagiaan
pada makhluk hidup di dunia (Widagdo, 2013). Pada faktanya agama
tidak mengajarkan pada kekerasan, radikal, dan bahkan kejam kepada
sesma makhluk yang sama sebagai ciptaan Tuhan yang Mahasa Esa.
Islam salah satu agama besar didunia yang selalu mengajarkan kasih
sayang semaa manusia dan menjalin persaudaraan terhadap agama lain
(kristen, Budaha, Hindu dan kepercayaan)(Widagdo, 2013). Islam bukan
saja pada manusia tetapi pada hewan dan tumbuhan harus menjaga
kelestariannya karena semuanya ada manfaat dan saling menguntungkan
pada kelangsungan kehidupan tanpa ada konflik dan mengurangi bencana
alam yang diakubatkan ulah manusia itu sendiri (QS. Ar-Rum;41).
Agama pada dasarnya memiliki peranan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, karena agama merupakan sistem nilai yang di
dalamnya terdapat norma- norma yang mengatur pola perilaku manusia,
baik dalam kehidupannya sebagai individu maupun dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga, agama dalam hal ini berfungsi sebagai pedoman

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 201


hidup dan sekaligus memberi solusi pada munculnya persoalan-persoalan
dalam kehidupan ini (Ulya, 2016).
Terlepas dari hal ideal yang diperankan agama, ternyata agama tidak
seindah konsep awalnya ketika diamalkan pemeluknya dalam kehidupan,
realitas menunjukkan bukti-bukti munculnya berbagai kekerasan,
persengketaan, perpecahan bahkan pertumpahan darah, sering terjadi
dengan dalih agama. Beberapa konflik antar umat beragama diantaranya
konflik antar umat beragama di Moro Filipina (Islam dan Kristen),
pembantaian muslim Rohingnya di Myammar (Budha dan Islam),
bentrokan sektarian di kota Boda, Republik Afrika Tengah (Islam dan
Kristen). Sedangkan di Indonesia beberapa konflik antar agama misalnya
konflik yang terjadi di Poso antara umat Islam dengan Kristen yang
terjadi sampai beberapa kali, tahun 1992, 1995, 1998, 2000, dan tahun
2001. Selain itu, di Jawa Timur juga terjadi konflik Sunni Syiah (antar
aliran agama) tahun 2012 dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain
seperti kasus di Ambon, Situbondo, pembakaran tempat ibadah Kaum
Ahmadiyah dan Gafatar dan kasus di Tolikara Papua (Ulya, 2016).
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamiin)
walaupun ada stigma miring teerhadap Islam, tokoh Islam mengadakan
kongres pada tanggal 17-19 Juni 2007, pertemuan World Muslim Congress
di Colombo. Tujuan dari pertemuan lima tahunan ini adalah merayakan
hari jadi ke-80 World Muslim Congress dan dialog yang membahas
situasi terkini dunia Islam. Para petinggi organisasi ini mengemukakan
dan membahas berbagai kesalah pahaman terhadap konsep Islam. Dalam
dialog tersebut juga dijelaskan bahwa substansi ajaran Islam adalah agama
perdamaian serta tidak memiliki ruang dan toleransi untuk tindakan
keberutalan (Yati, 2018).

Pembahasan
Geneologi KH. A. Hasyim Muzadi
Beliau putra asal Tuban Jawa Timur , kelahiran 8 Agustus 1944 seorang
tokoh Muslim yang terang benderang di cakrawala Indonesia selama

202 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


bebarapa dekade. KH. Hasyim Muzadi sebagai Ketua Tanfidziyah (Ketua
Pelaksana Harian) di PBNU periode 1999-2004 dan 2004-2009. Hal ini
tentu berbeda dengan Ulama’ NU yang lain di mana mayoritas terlahir
dari kalangan Ulama’ dan pada umumnya memiliki pondok pesantren.
Kehebatan beliau adalah walaupun terlahir dari orang biasa, namun beliau
mampu membuktikan sebagai seorang Ulama’ terkenal dan disegani
berbagai kalangan dengaan kesederhanan dan ilmu yang dimilikinya.
Dilahirkan sebagai seorang sipil dari kyai kampung yang bernama H.
Muzadi dan pasangannya Hj. Rumiyati. Beliau mengeyam pendidikan
pesantren di Gontor melalui Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyah (KMI)
terkenal dengan pesantren modern Gontor Ponorogo dalam kurun waktu 6
tahun1. Selanjutnya beliau mendalami ilmu kitab klasik melalui pesantren
al Fadholi, Senori Tuban dan pesantren al Anwar Lasem Rembang dalam
kurun waktu satu tahun. Setelah mengenyam pendidikan pesantren
klasik beliau menempuh pendidikan di IAIN Surabaya Cabang Malang.
Dan berangkat dari kampus tersebutlah beliau menjadi seorang aktivis
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan terpilih sebagai ketua
cabang Malang tahun 1966-1969 (Muslimin & Supriyatno, 2020).
Memulai sebagai seorang aktivis hingga mengantarkan beliau sebagai
ketua PBNU yang dikenal gigih dalam memperjuangkan toleransi dan
kebangsaan. Kontribusi beliau dalam memimpin PBNU sangatlah besar,
beberapa di antaranya: pembuatan media online bernama NU Online
dan memperluas NU pada wilayah internasional melalui pendirian
pengurus cabang istimewa disebut dengan PCI. Selain itu beliau juga
merintis organisasi internasional Islam yang diberi nama International
Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Peranan Agama
Agama memiliki banyak istilah ada yang menyebutkan agama berasal
dari Bahasa arab din, dari Bahasa eropa religi, dari Bahasa sansekerta
a-gam, dan Bahasa semit din. dalam Bahasa arab din berarti menguasai,
menunjukan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. agama menjadikan
seseorang taat dan patuh terhadap Tuhan dengan menjalankan perintah

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 203


dan meningalkan laranganya. agama dalam Bahasa Eropa yaitu religi yang
berarti mengumpulkan, membaca. dengan ini agama sungguh isinya
berupa sekumpulan cara-cara atau metode mengabdikan diri kepada
tuhan. sedangkan dari Bahasa sansekerta agama berasal dari dua kata a
dan gam, a memiliki arti tidak dan gama artinya pergi. jadi agama berarti
tidak pergi, selalu tetap ditempat dan diwarisi seacara turun temurun.
maka dengan ini agama merupakan suatu kumpulan cara atau metode
mengabdi kepada tuhan, sehingga membuat seseorang taat, tunduk dan
patuh terhadap tuhan dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi
laranganya (Musa, 2021).
Memhami peran agama yang holistik tidak cukup memhami arti
agma secara bahasa istilah saja karena agama sesuatu yang tidak dapat
dipahami dari pengertian-pengertian yang sudah dijelaskan secara bahasa
tetapi pemhaman tehadap agama perlu pemahami sisi esoterik dan fakta
sosial yang bersumber dari kenyakinan yang valid. Untuk itu agama dapat
diartikan sebagai gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana” dan
agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya
makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta, selain
itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna
dan juga mengatasi perasaan takut. Agama sebagai bentuk keyakinan
manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodratim (supernatural) ternyata
seakan menyartai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas.
Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per
orang atau dalam hubungannya dengan bermasyarakat. Selain itu, agama
juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,
secara psikologis agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam
diri) yang berguna, diantaranya untuk terapi mental dan motif ekstrinsik
(luar diri) dalam rangka menangkis bahaya negatif arus era global. Dan
motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang
mengangumkan dan sulit ditandingi olehkeyakinan non agama, baik
doktrin maupun ideologi yang bersifat profan(Mulyadi, 2016).

204 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Agama dalam kehidupan individu juga berfungsi sebagai : (1) Sumber
Nilai Dalam Menjaga Kesusilaan Di dalam ajaran agama terdapat nilai- nilai
bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai inilah yang dijadikan sebagai acuan
dan sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagai petunjuk agama
menjadi kerangka acuan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku agar
sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. Sistem nilai yang berdasarkan
agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem
nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalamkehidupan
individu dan masyarakat. (2) Agama Sebagai Sarana Untuk Mengatasi
Frustasi Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat
menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang yang mengalami frustasi
tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi
frustasinya. Karena seseorang gagal mendapatkan kepuasan yang sesuai
dengan kebutuhannya, maka ia mengarahkan pemenuhannya kepada
Tuhan. Untuk itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah,
karena hal tersebut yang dapat melahirkan tingkah laku keagamaan.
(3) Agama Sebagai Sarana Untuk Memuaskan Keingintahuan Agama
mampu memberikan jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh
kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu
oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan,
agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna ditengah
tengah alam semesta ini (Mulyadi, 2016).
Peran dan fungsi agama pada prakteknya agama memiliki fungsi
bagi masyarakat diantaranya:
1. Edukatif. Ajaran agama secara yuridis memiliki dua fungsi yaitu
menyuruh dan melarang, maksud dari dua fungsi tersebut meng-
arahkan dan membimbing masyarakat agar menjadi pribadi yang
baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
2. Penyelamat. Keselamatan suatu yang diinginkan oleh manusia selama
menjalani kehidupan, keselamatan diajarkan oleh agama. agama
memberikan keselamatan kepada penganutnya baik itu keselamatan
didunia maupun keselamatan didalam akhirat, untuk mencapai

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 205


suatu keselamatan agama mengajarkan kepada penganutnya agar
terus meningkatkan keimanan kepada Tuhan.
3. Pendamaian. Agama menuntun seseorang yang melakukan kesalahan
atau dosa akan mencapai kedamaian, rasa salah dan dosa yang
pernah dilakukan oleh seseorang akan hilang apabila seseorang yang
melakukan salah atau dosa menyeselai dan tobat atas keselahanya
dan dosa yang sudah dilakukan, tobat tersebut dilakukan dengan
sebenar- benarnya atau bisa disebut taubat nasuha, tidak hanya
menyesali dan bertobat saja seseorang harus melakukan penebusan
dosa atau pensucian diri dengan melakukan pebuatan baik terhadap
allah maupun sesama makhluk.
4. Sosial control. Para penganut suatu agama menganggap bahwa agama
sebagai suatu norma yang mengikat para peganutnya. sehingga
agama memiliki fungsi sebagai pengawasan sosialterhadap suatu
individu maupun kelompok didalam suatuhubungan lingkungan
masyarakat. dengan ini agama sangat dibutuhkan dalam suatu
hubungan masyarkat baik itu hubungan dengan tuhan, manusia,
dan lingkungannya, dengan adanya agama hubungan tersebut akan
sesuai dengan norma atau nilai-nilai ajaran masing-masing agama
yang berlaku didalam masyarakat.
5. Pemupuk suatu persaudaraan Persaudaraan merupakan suatu
hubungan yang terjalin antara manusia dengan manusia, karena
adanya rasa cinta antar sesama. persaudaraan terwujud karenaadanya
empat unsur kesamaan antar manusia, diantaranya:
a. Persaudaraan karena adanya persamaan ideologi
b. Persaudaraan karena adanya persamaan sistem politik
c. Persaudaraan karena adanya persamaan iman, persaudaraan ini
sangat penting dimana persaudaraan ini terjalin karena adanya
persamaan keyakinan yang dianut masingmasing manusia.
Agama sangat berperan dalam hal memupuk persaudaraan,
dimana suatu agama didalamnya pasti menjelaskan mengenai
suatu persaudaraan dan memperintahkan kepada penganutnya
agar saling mencintai antar sesama, dengan adanya rasa cinta

206 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


yang tumbuh didalam masing-masing penganutnya hal ini salah
satu penyebab timbul nya persaudaraan, baik persaudaraan
antara sesama agama maupun dengan penaganut agama lain.
persaudaraan yang dijalin oleh seseorang yang menganut agama
berbeda biasa disebut dengan toleransi agama.
6. Trasnformatif. Transformatif disini maksudnya ajaran agama memiliki
fungsi dalam mengubah kehidupan manusia menjadi kehidupan
baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai
yang baru yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agama
berperan dalam kehidupan manusia, dimana penganut suatu agama
akan mengalami perubahan kehidupan yang baru bahkan lebih baik
dari pada kehidupan sebelumnya kehidupan ini sesuai dengan ajaran
yang diajarkan oleh agamanya yang sesuai dengan norma, karena
didalam suatu agama mengajarkan bagaimana cara kehidupan yang
baik yang harus dijalankan oleh para penganutnya agar kehidupan
tersebut mengalami kebahagiaan dan kesejahteraan,
7. Submilatif. Agama memiliki ajaran yang lebih fokus terhadap
segala usaha manusia. ajaran agama tidak hanya bersifat ukhrawi
sajamelainkan ajaran agama juga mengajarkan mengenai duniawi,
dimana segala usaha yang dilakukan oleh para penganutnya selama
tidak bertentangan dengan norma dan nilai-nilai yang terdapat
dalam ajaran agama hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu
ibadah. suatu agama banyak mengajarkan mengenai duniawi, karena
duniawi tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia, sehingga
kehidupan yang dijalankan oleh manusia sesuai dengan ajaran agama
dan kehidupan tersebut akan membawa manusia menuju kehidupan
yang kekal di akhirat(Musa, 2021).
Peranan Agama terhadap Perdamaian dan Konflik
(Kontribusi Pemikiran KH. A. Hasyim Muzadi)
Dimensi ajaran agama-agama yang mengandung misi “perdamaian”
telah mendapatkan perhatian kaum pluralis. Mereka membidik tema
tersebut dengan tujuan mengungkap dasar-dasar toleransi beragama dan

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 207


mengaktualisasikannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang
plural. Upaya ini merupakan refleksi atas realitas sosial yang cenderung
intoleran. Perbedaan agama, budaya, dan suku, misalya, senantiasa menjadi
pemicu konflik horizontal. Masyarakat dalam satu komunitas lokal dipisah
menjadi “ kita” dan “Mereka” tidak sepaham dalam keyakinan keagamaan
menjadi ”garis demarkasi” yang kemudian menimbulkan diskriminasi.
Sebagai ajaran rahmatan lil alamiin (rahmat bagi semesta alam), Islam
telah mendapatkan pengakuan, bukan saja dari kalangan muslim, tetapi
juga Non-Muslim. Islam mempunyai misi perdamaian dengan penghargaan
tinggi terhadap nilai-nilai kemanusian. Namun sayangnya, dalam
tataran empiris, keramahan Islam belum sepenuhnya dipraktikan para
pemeluknya. Banyak tindakan kekerasan, kerusuhan, dan ketidakadilan
yang melibatkan sentimen agama. Kenyataan ini tentu saja menimbulkan
persepsi negatif terhadap agama (Islam). Mereka yang sekarang dituduh
Barat (AS) sebagai teroris adalah para aktivis Islam.
Hasyim Muzadi memberi penjelasan tentang terjadinya kekerasan
yang mengakibatkan kekacauan, terindikasi ada beberapa faktor penyebab;
1. Pengertian dan pemahaman keagamaan yang belum lengkap dan
mendalam membuat sejumlah orang muslim mudah terjerumus
dalam ekstremistis, baik berlebihan dalam kekerasan maupun
dalam keputusan-keputusan. Pemahaman keagamaan yang kurang
utuh ini dapat menjadikan seseorang berfikir egois, dan tidak dapat
memahami pendirian orang atau pihak lain.
2. Perubahan politik di Indonesia pada era reformasi membuahkan
keterbukaan dan kebebasan secara mendadak, sehingga banyak
terserang gejala euphoria, dan apabila euphoria bersentuhan dengan
pemahaman agama yang kurang utuh. Akan dengan mudah dapat
menyulut tindak ekstremistis dengan menggunakan simbol-simbol
agama. Gejala ini dapat kita lihat pada sejumlah dakwah Islam dengan
cara menantang-nantang tanpa sedikit pun upaya menumbuhkan
kesadaran yang baik pada orang lain.

208 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


3. Pertikaian yang tidak kunjung henti di kawasan Timur Tengah, pada
akhirnya secara relatif cepat merembet masuk wilayah Indonesia
menimbulkan rasa kebencian terhadap AS. Mereka kemudian
melawan AS dari Indonesia, yang pada akhirnya justru melukai
Indonesia sendiri sebelum menyentuh AS. Padahal, dengan melakukan
kekerasan di Indonesia mereka telah berhadapan dengan hukum
positif Indonesia.
4. Pengertian keagamaan (Islam) pada umumnya di seluruh dunia
hampir-hampir dapat dikatakan sama saja. namun ketika hendak
diaplikasikan, harus tetap melihat medan atau kondisi dan kultur
budaya masyarakat dan bangsa. Dalam hal ini kondisi Timur Tengah
sama dengan kondisi Asia Tenggara. Oleh karena itu, jika metode
pengembangannnya kemudian hendak di samakan, maka hampir
dapat dipastikan akan terjadi banyak kesulitan. Dengan demikian
pengertian keagamaan ketika akan diterapkan di bumi Indonesia, mau
tidak mau dan suka tidak suka harus terlebih dahulu di Indonesia-
kan (Alam, 2023)
Terjadi konflik Kata Hasyim Muzadi terjadi pendangkalan iman dan
Islam yang terjadi, pendangkalan itu bisa terjadi lewat beberapa fenomena
berikut, baik berupa faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor
internal adalah sebagai berikut: Pertama, adanya pengertian parsial di
dalam Islam yang dilakukan oleh orang Islam sendiri, seperti: perang
yang tidak mengerti damai, mengerti marah tetapi tidak mengerti sabar,
mengerti hak pribadi tetapi tidak mengerti hak kolektif. Parsialisme ini
yang menjadikan seseorang beragama tapi dangkal imannya. Parsialisme
ini bisa karena kurang pengertian, salah mengerti, salah paham, atau
pahamnya yang salah. Kedua, ada kesalahan semantik di dalam Islam.
Misalnya, jihad itu bukan perang, tetapi ishlah. Kesalahan semantik ini
yang ternyata juga mengilhamkan konflik. Misalnya keputusan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang kontroversial dan membingungkan umat
pada umumnya. Ketika MUI menyatakan bahwa “Pluralisme” sekularisme,
dan “liberalisme”, bahkan doa bersama dengan umat beragama lain
adalah haram. Pandangan Cecep Sumarna, Hal tersebut perlu adanya

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 209


filsafat etika, mewujudkan toleransi. Artinya, filsafat etika mengajarkan
bahwa pendapat tertentu yang menjadi anutan madzhab tertentu itu
benar, sambil memberi ruang untuk salah. Atau menganggap pendapat
orang lain salah, sambil memberi ruang untuk kemungkinan benar.
(Cecep Sumarna, 2005).
Peranan agama terhadap perdamaian dan konflik sangat signifikan
karena agama harus menjadi salah satu solusi bagi mewujudkan
perdamian. Kiprah pemikiran kiai Hasyim muzadi terkait lintas agama
tidak bisa dipisahkan dari komunikasi yang selama ini terjalin dengan
Wismoadi yaitu seorang Pendeta dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW).
Komunikasi dibangun bermula pasca peristiwa pembakaran gereja di
Situbondo pada tahun 1997. Hal ini kemudian menjadikan komunikasi
berlangsung secara intens anatara kiai Hasyim dengan Wismo.
Pada pertemuan tersebut juga menghasilkan beberapa poin penting
di antaranya yaitu; Pertama, adanya keinginan untuk mendapatkan pola
pemikiran terpadu di Indonesia yang menjamin persaudaraan sejati lintas
agama. Kiai Hasyim merespon bahwa persaudaraan itu akan timbul
jika terdapat patokan-patokan (patron)-nya. Kedua, membahas tentang
pelaksanaan persaudaraan antar agama-agama dengan sungguh-sungguh
berdasarkan kesadaran, karena dengan demikianlah maka akan terjadi
persaudaraan sejati. Ketiga, menggalang para pemimpin agama, bukan
politisi agama. Politisi seringkali menggunakan agama sebagai wahana
politik, bukan menggunakan agama sebagai iman politiknya. Keempat,
untuk mengembangkan dialog yang mendasar tentang kerukunan antar
umat beragama. Kelima, membahas masalah utama Pancasila, yakni
pemberlakuannya cenderung fragmatis dan kasuistik. Keenam, semua
agama bertujuan untuk kebahagian hidup dan kehidupan paling tidak
untuk pemeluknya sendiri. Ketujug, kecenderungan fragmatisme dan
sektarianisme perlu diimbangi dengan kecenderungan inklusivisme.
Kedelapan, melalui berbincangan demikian, kemudian menghasilkan
kesepakatan antara kiai Hasyim dan Wismo untuk sama-sama mencari
bentuk persaudaraan sejati dan mengusung tema “ menggalang

210 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


persaudaraan sejati lintas agama demi kepentingan Indonesia”. Pertemuan
ini memunculkan inspirasi keterlibatan kiai Hasyim Muzadi dalam
organisasi lintas agama-agama tingkat internasional, yaitu ; World
Conference On Leligion for Peace (WCRP)(Sopiuddin, 2018)
Ahmad Hasyim Muzadi menjelaskan pendasaran Qurani dialog antar
agama, pertama-tama tentang gangguan internal dan eksternal. Konsep
yang asli dan Islami tentang dialog lintas agama termuat dalam Al-Quran
(QS. {49}:11-12). Tanpa ilmu pengetahuan manusia akan kembali kepada
Tuhan dan Tuhan akan menejelaskan kenapa setiap kaum ada variasinya.
Ini merupakan hal eksklusif di dalam al-Qur’an. Kemudian ada istilah
yang sangat populer dalam al-Quran (QS. Al-Kafirun {109} :6). Ayat
tersebut mengisyaratkan bahwa ada toleransi antar umat beragama dengan
prinsip bahwa yang berbeda tidak boleh disamakan dan yang sama tidak
boleh dibedakan. Yang berbeda adalah sektor teologi dan bentuk ritual,
tetapi internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam kejiwaan, pembangunan
sosial, dan humanitas sama sekali tidak berbeda. Bagi umat Islam, urusan
iman tidak boleh dimasuki tanpa kesadaran. Orang yang memeluk Islam
tanpa kesadaran atau tidak sadar atau paksaan maka Islamnya dangkal
dan lintas mengganggu toleransi (Makmun Rasyid, 2018).
Permasalah konflik internal bernuansa politik–ekonomi, agama,
dan etnis. Sedangkan konflik eksternal melibatkan antar negara dalam
perebutan kekuasaan wilayah, ekonomi, agama, etnis, dan politik.
Umpamnya konflik agama dan etnik di Sudan, krisis Irak yang memicu
konflik antar Syiah-Kurdi dan Sunni, serta konflik Palestina-Israil, Uighur
di China dan Rohingya di Birma. Konflik tersebut menurut Hasyim, tidak
menguntungkan bagi kaum Musimin dan menjadi masalah besar bagi
kalangan pemerintah setempat.
Permasalahan umat Islam terjadi di negara-nagara Islam belum
bisa bersatu dan memanfaatkan segala kemampuan guna mewujudkan
kemajuan Islam di mata Barat yang selalu negatif, agama radikal dan
tidak maju dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 211


umat Islam perlu maju dengan wujudkan moderasi Islam, Sebagaimana
Hasyim menyatakan:
“Tidak jarang, banyak hal baik tentang Islam tidak bisa diwujudkan secara
aktual. Karena itu, kaum Muslimin harus menunjukkan, tidak hanya dalam
teori tapi juga dalam praktik, bahwa Islam tidaklah berlawanan dengan
komodern; bahkan tidak secara antagonis bertentangan dengan Barat.”
Kaum Muslimin juga harusnya sadar bahwa mereka tetap bisa menjadi
Barat; kaum muslimin perlu melakukan modernisasi, bukan westernisasi.”

Bukan saja permasalahan radikalisme, tetapi di Konferensi Jakarta


mengharapkan umat Islam di negara-negara Islam untuk saling menukar
tenaga ahli, buku literatus, dan mahasiwa. Tujuannya, adalah memperluasan
cakrawala pemikiran Islam secara global dan memunculkan gerakan–
gerakan untuk meredakan ketegangan di antara umat Islam dengan
Barat. Cendekiawan Islam bertekad kuat untuk membangaun umat Islam,
antara lain dengan memajukan praktik-praktik ekonomi secara Islami
dan membangun kerjasama internasional, sehingga kaum muslimin
dapat mengambil bagian dan secara efektif bersaing dalam ekonomi
global (Ahmad Millah Hasan, 2018).
ICIS bukan saja disambut kalangan Muslim, tetapi dari bagai tokoh
lintas agama, terutama datang dari pusat Gereja Katolik di Vatikan, Roma.
Ketika itu Uskupnya, Sri Paus Johanes Paulus II, bahkan mengutus ketua
komisi Hubungan Antar agama, Massado, langsung dari Vatikan untuk
mengikuti ICIS. Bahkan ikut memberikan penjelas tentang hubungan
agama antara Barat dengan Timur.(Ahmad Millah Hasan, 2018)
Tema yang diangkat pada konferensi adalah meneguhkan kembali
Islam Rahmatan Lil Alamin. Dengan konferensi tersebut melahirkan
Deklarasi Jakarta, dengan menghasilkan keputusan mengenai Irak yang
diinvansi Amerika. Keputusan tersebut, bahwa rakyat Irak mempunyai
hak untuk menentukan arah politik dan pengakuan negara-negara lain.
Hasyim Muzadi memberikan pandangan tentang pentingnya peningkatan
kualiatas para cendikiawan, kesejahtraan umat, melalui penemuan ilmiah
dan mengupayakan berbagai inovasi.

212 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Kiai Hasyim Muzadi membentuk konferensi yang cukup mendunia
melalui ICIS diantaranya ICIS ke-2 yang menghasilkan 37 Rekomendasi,
di antaranya:
Pertama, Pengembangan ekonomi dan pengentasan kemiskinan,
program pengembangan ekonomi ini, telah digagas Hasyim di organisas
NU yang dia pimpin, diantara gagasannya, yaitu, membenahi ekonomi
mikro, kemudian pada level ekonomi nasional dengan memperhatikan
potensi rakyat dan sumber alam. Dan kedua, pembenahan di lingkngan
jamiayah NU, adanya kesadaran penting kesejahteraan umat yang selama
ini macet kehilangan motivasi dalam pemberdayaan ekonomi keumatan
dan juga terhadang oleh sentralisme kekuasaan kapitalistik(Hasyim
Muzadi, 1999)
Kedua, Pengembangan pendidikan, pandangan Hasyim pendidikan
harus lebih baik, menghasilkan produk sesuai dengan manhaj Aswaja.
Jangan sampai mengahasilkan alumni yang fudamentalis dan radikal.
Prose pendidikan yang berwawasan pesantren plus pendidikan formal,
Hasyim Muzadi sebagai Presiden WCRP dan Sekretaris ICIS, juga telah
menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah dan iniversitas di luar negeri;
di Inggris, lewat posisinya sebagai anggota dewan Indonesia-UK Advosory
Graoup (IAG); dengan australia, Hasyim dikenal dengan tokoh Islam
moderta; dengan negara-negara Arab, karena ketokohannya sebagai
Sekretaris ICIS se-Dunia, dengan Singapura, Amerika, Kanada, Australia,
Norwegia dan lain-lainnya, lewat kegigihan mengutuk dan melawan
teroris (Mukhlas Syarkun-Muh. arifin, 2015)
Ketiga, Resolusi konflik dan perdamaian, upaya Hasyim Muzadi
menggagas taqribul mazhab (Suni-Syiah) adalah sebagai upaya untuk
mewujudkan persatuan yang hakiki, sebab perbedaan tajam antara
Suni dan Syiah ini memicu perpecahan. Melalui ICIS, Hasyim Muzadi
mencoba menggelorakan semangat persatuan umat Islam itu bangkit
kembali. Tidak ada konfik internal umat Islam di dunia. perbedaan antar
sekte Sunni-Syiah tidak boleh menjadi penyebab disharmoni dan pemicu
konflik (Mukhlas Syarkun-Muh. arifin, 2015). Sekte-sekte berseteru harus

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 213


saling menyadari dan menahan diri agar dapat mencapai perdaian tanpa
perdamaian, perbaikan akan sulit dicapa
Keempat, Masalah-masalah dunia Islam lainnya. Masalah-masalah
pada dunia Islam, secara khusus, ICIS meminta PBB agar lebih aktif
membantu meredakan konflik yang terjadi di negara-negara Muslim.
Selain masalah konflik di negara Islam masih ada di garis kemiskinan.
Untuk solusi permasalahan kemiskinan, para ulama merekomendasikan
agar negara–negara yang tergabung dalam OKI dapat berkoordinasi
untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikan kepada negara yang
berhak menerimanya. Juga memperkuat bidang pendidikan dalam
mengentaskan kemiskinan.
Hasyim Muzadi memberi gagasan dalam deklarasi Jakarta, supaya
umat Islam harus bisa memanfaatkan teknologi informasi guna
memberikan pemahaman tentang ajaran Islam ke Barat. Bahkan komite
juga mengajak pihak untuk membentuk jaringan media elektronik Islam
modern membuat pemberitaan yang seimbang tentang dunia Islam.
Deklarasi Jakarta juga memperkuat rencana aksi berisi kesepakatan di
antara-antara Islam untuk saling menukar tenaga ahli, buku literatur,
dan mahasiswa. Guna menciptkanan perluasan pemikiran secara global
dan gerakan-gerakan yang bisa meredakan ketegangan antara Islam dan
Barat. Bahkan membangun kesejahteraan ekonomi bagi umat Islam sesuai
dengan Islam, dan menciptkan kerjasama Internasional, sehinggas teks
agama untuk kepentingan Muslim dapat berperan aktif dan bersaing
dalam ekonomi yang mengglobal saat ini.
Terjadinya gesekan Barat dan Islam tidak terlepas dari permasalahan
radikalisme yang terjadi di negara yang mengatas namakan Islam, sehingga
Barat terus mencap kepada Islam sebagai agama radikal. Pandangan
Hasyim, keterjadian radikal itu, karena terjadi penafsiran atas teks
agama untuk kepentingan pembenaran penggunaan cara-cara kekerasan.
Misalnya di Pakistan terdapat model madrasah yang mengajarkan ajaran
fudamentalisme dan eksttremisme, hal ini akan memberikan kecurigaan
pada madrasah-madrasah keagamaan yang ada di Indonesia.

214 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Madrasah salah satu tempat kegiatan belajar dan mengajar antara guru
dan muridnya, dikalangan umat Islam, kini terdapat dua kecenderungan
dalam beragaama. Pertama, kelompok Muslim menafsirkan Islam rigid
dan tekstualis. Bahkan lebih banyak memakai ajaran agama secara keliru,
atau melalui batas secara ordoksi (fundamentalis). Kedua mendefiniskan
Islam sangat longgar dan berani meninggalkan garis demikian agama
yang berpaling luar dan sekalipun ideologi) (Tasirun Sulaiman, 2017).

Simpulan
Kiai Ahmad Hasyim muzadi memberikan kontribusi yang sangat
berpengaruh pada konteks nasional, keumatan (NU) dan internasional.
Pada nasional kiai Hasyim telah menyatukan agama dan negara yang
saling membutuhkan (simbisosis-mutualisme) bahwa negara perlu
peranan agama untuk memberikan nilai agama yang subtansi begitu
pula agama membutukan negara dalam menjalankan kenyakian masing-
masing sebagai wujud ketuhanan yang Maha Esa untuk menciptakan
keharmonis beragama di Indonesia sehingga NKRI yang beragam bahasa,
agama, suku dan budaya disatukan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Pernan agama yang terus diupayakan Kiai Hasyim mewujudkan
keharmonisan internal agama melalui pembenahan peranan nahdatul
ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia harus menjadi
perekat persatuan kesatuan bangsa sehingga tehindar dari konflik internal
dengan organisasi keagamaan yang lainnya sebagai wujud toleransi
internal agama.
Peranan agama yang yang diwujudkan kiai Hasyim terlihat pada
perdamaian dunia Islam dan Barat yang saling mencurigai. Kiai Hasyim
menepis pandangan Barat bahwa Islam teloris melalui konferensi agama-
agama dunia dan ICIS maka streotif pada Islam sudah mulai cair. Kiai
Hasyim melalui konsep rahmatan lil alami sebagai dasar peranan agama
terhadap perdamaian bahwa Islam membawa rahmat bagis semsta alam
tanpa sekat agama, budaya, suku dan bahasa.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 215


Daftar Pustaka
Ahmad Millah Hasan. (2018). Biografi A. Hasyim Muzadi (1 (ed.)). Keira.
Alam, A. S. (2023). Agama dan Negara Kontribusi Trilogi Pemikiran Politik
KH. A.Hasyim Muzadi (lilis ernawati (ed.); 1st ed.). Oase Pustaka.
Cecep Sumarna. (2005). Rekontruksi ilmu dari empirik-rasional ateistik
ke-empirik teistik (1st ed.).
Hasyim Muzadi. (1999). Membangun NU Pasca Gus Dur daru Sunnan
Bonang sampai Paman Sam (1st ed.). Grasindo.
Makmun Rasyid. (2018). Islam Yang mengayomi Sebuah Pemikiran
KH.A.Hasyim Muzadi (1st ed.). Elex Media Komputindo.
Mukhlas Syarkun-Muh. arifin. (2015). Jembatan Islam-Barat ( dan M. I.
A. Ebit Imam Baihaqi (ed.); 1st ed.). Penerbit PS.
Mulyadi. (2016). Agama dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan. Jurnal
Tarbiyah Al-Awlad, VI(02), 556–564.
Musa, M. M. (2021). Peran Agama dalam Perubahan Sosial. Nuansa,
14(2), 198–205.
Muslimin, I., & Supriyatno, T. (2020). Anwar Sa’dullah, Imam Muslimin,
Triyo Supriyatno , Kontribusi Pemikiran........... Qolamuna, 6, 85–98.
Sopiuddin. (2018). Pusaka Kebangsaan Sinegitas Islam dan Indonesia
(Ahmad Fachrudin (ed.); 2nd ed.). Pustaka Compass.
Tasirun Sulaiman. (2017). KH. A. Hasyim Muzadi Sang Peace Maker
(ma’mun (ed.); 1st ed.). Real Books.
Ulya, I. (2016). Pendidikan Islam Multikultural Sebagai Resolusi Konflik
Agama Di Indonesia. Fikrah, 4(1), 20. https://doi.org/10.21043/
fikrah.v4i1.1663
Widagdo, H. H. (2013). Dualisme Agama: Menilik Peranannya atas
Kedamaian dan Kesengsaraan. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, 14(2), 145–160. https://doi.org/10.14421/esensia.
v14i2.754

216 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Yati, A. M. (2018). Islam Dan Kedamaian Dunia. Jurnal Ilmiah Islam
Futura, 6(2), 11. https://doi.org/10.22373/jiif.v6i2.3042

Biografi Singkat Penulis


Aam Saepul Alam merupakan dosen STAI Siliwangi Garut dengan
berhomebase di Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini.
Kepakaran beliau pada bidang ilmu yang dikuasai adalah Tafsir.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 217


Nahdlatul Ulama dan Perdamaian
Global: Studi Awal Mengenai
Religion Twenty (R20)

Ridwan
Universitas Islam Internasional Indonesia
Email: ridwan@uiii.ac.id

Pendahuluan
Serangan brutal terorisme terhadap World Trade Centre (WTC) di
New York pada 11 September 2001, dan peristiwa-peristiwa tragik dan
traumatis yang menyertainya, secara khusus invasi US ke Afghanistan
dan Iraq, telah mengukuhkan “benturan antar peradaban” (clash of
civilizations). Salah satu implikasi tesis benturan peradaban adalah
penguatan fundamentalisme dan ekstremisme agama sebagai detonator,
yang telah mengaktifkan sumbu ledak pelbagai konflik kekerasan di
dunia global. Dengan kata lain, dunia telah menyaksikan pelbagai konflik
kekerasan yang berkelanjutan hingga kini, terutama sejak dari tragedi
September (2001), pengeboman di Bali (2002), Madrid (2004), untuk
menyebut beberapa kasus, hingga terbit dan hancurnya organisasi ISIS
(Islamic State of Iraq and Syria/Sham), yang sempat mengejutkan dunia
dengan pembentukan pemerintahan khilafah.
Dalam pelbagai peristiwa konflik kekerasan tersebut, agama acap
digunakan sebagai senjata politik guna menghancurkan kelompok lain
yang berbeda agama, di mana mereka dianggap musuh. Samuel Huntington
(1996) menekankan bahwa sumber konflik peradaban di dunia tidak
lagi didasarkan pada ideologi dan ekonomi, tetapi berdasarkan budaya
dan agama. Dalam nada yang sama, Gerrie Ter Haar (2005) menyatakan

218 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Barat menggaungkan kembali pemikiran bahwa agama adalah satu akar
tunjang bagi terbitnya sebagian besar konflik kekerasan di dunia moderen.
Karenanya, kemunculan pelbagai kelompok kepentingan yang
tampaknya diinspirasi oleh satu ideologi keagamaan tertentu telah
menggoda sejumlah pengamat Barat, yang mencurigai hubungan intrinsik
antara agama dan kekerasan. Sebagai satu akibat, persepsi sebagian warga
dunia hari ini adalah agama sebagai satu sumber konflik tinimbang sebagai
sumber perdamaian. Implikasi logis dari persepsi tersebut adalah terdapat
upaya mereduksi pengaruh agama dalam ranah politik. Pandangan
semacam ini adalah manifestasi pandangan sekuler yang menempatkan
agama dalam ruang privat, hubungan personal antara manusia dengan
Tuhannya, satu hubungan yang seharusnya tidak dibawa ke dalam ruang
publik. Pemisahan formal antara ranah agama dan politik telah menjadi
tonggak utama demokrasi Barat untuk berabad-abad lamanya dan
telah diperkenalkan ke dunia global, termasuk ke sejumlah negara yang
pernah dijajah oleh bangsa Eropa, dan secara umum negara-negara yang
kuat menerima pengaruh Eropa dan Amerika Utara. Pada era 1990an,
perubahan drastik telah menandai berakhirnya perang dingin (Cold
War), yang mengubah status quo politik di dunia secara dramatik, dan
juga bangkitnya kekuatan-kekuatan yang sebelumnya telah mengalami
represi. Agama secara terang benderang adalah salah satu kekuatan, yang
terbit dan menantang pondasi negara sekuler.
Lebih jauh, Ter Haar (2005) menuturkan bahwa sebagian besar pakar
Barat telah meratapi kenyataan bahwa agama kembali memainkan satu
peran publik yang kuat, di mana sebelumnya agama telah dipinggirkan
paska era Pencerahan (Enlightenment era). Bagi mereka, agama menjadi
satu senjata yang mematikan dalam perjuangan politik yang diperjuangkan
di banyak negara. Misalnya, di Nigeria, yang telah mengejutkan dunia,
karena kerusuhan terkait agama yang menewaskan ratusan orang, atau
di India, di mana banyak orang yang kehilangan nyawa dalam beberapa
tahun terakhir, atau di Irlandia Utara konflik berdarah yang berlarut-larut
antara penganut Katolik dan Protestan.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 219


Dewasa ini, upaya menjadikan agama sebagai solusi dan arus utama
peradaban sedang digalakkan oleh pelbagai negara, organisasi masyarakat
sipil internasional dan nasional serta gabungan dari pelbagai entitas
yang ada, termasuk di Indonesia. Misalnya, Nahdhatul Ulama (NU)
membangun jembatan peradaban melalui pelaksanaan Religion Twenty
(R20). R20, yang akan dijelaskan detil di bawah, merupakan inisiatif KH
Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), sebagai ketua PB NU, adalah satu upaya
mengembalikan agama sebagai solusi bukan sebagai sumber konflik yang
menghancurkan peradaban.
Sejatinya, NU telah banyak dikaji oleh para skolar dalam dan luar
negeri. Para sarjana produktif mengenai NU, terutama Greg Fealy
(2003) dan Greg Barton (1996) telah meneliti NU secara ekstensif
sebelum reformasi 1998. Setelah reformasi 1998, sejumlah sarjana dan
peneliti (Baso, 2017; Arifianto, 2017), untuk menyebut beberapa, telah
mengeksplorasi Islam Nusantara dan bagaimana NU mempromosikannya
terkait moderasi beragama. Kajian tentang Islam Nusantara marak pada
masa kepemimpinan Said Aqiel Siradj (2010-2021). Sementara itu, studi
tentang peran NU dalam perdamaian telah dilakukan oleh beberapa
sarjana. Misalnya, Al-Makassary (2020) meneliti peran perdamaian NU
di tingkat lokal di Papua. Bahkan, Azka, et al (2019) mengkaji peran NU
dan Muhammadiyah dalam lapangan peacebuilding dan Resolusi konflik.
Memang, studi pendahuluan tentang R20 telah terbit dalam satu
buku, yang merupakan kompilasi tulisan (Ernada, et.al, 2023). Selain
itu, PB NU juga akan menerbitkan proceeding R20 dalam waktu dekat.
Secara keseluruhan, R20 belum banyak dikaji, sehingga tulisan ini
akan memperkaya bahasan tentang R20. Dengan demikian, kajian ini
akan mengisi teka-teki (puzzle) tentang peran NU dalam membangun
perdamaian global terkait R20. Paper ini secara detil akan menjelaskan
R-20, yang mencakup siapa penggagasnya, apa dasar kelahirannya,
bagaimana format kegiatan, apa poin-poin yang dibahas, bagaimana
perbedaan dengan forum interfaith serupa dan kritik terhadap R20 dan
keberlanjutan masa depan R20.

220 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Tulisan ini menggunakan kerangka teoritis dialog antaragama
(interreligious dialogue). Pada dasarnya, dialog antaragama adalah bidang
keilmuan Hubungan Internasional (HI), yang berkembang setelah tragedi
9/11. Menanggapi aksi teroris ini, beberapa organisasi antar pemerintah,
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Kerjasama Islam, lembaga
keagamaan bekerja guna mempromosikan dialog antaragama untuk
membangun sebuah tatanan dunia yang lebih damai.
Dialog antaragama telah mempengaruhi hubungan internasional dan
sebaliknya. Dua peristiwa berikut menggambarkan fenomena ini. Yang
pertama adalah pidato kontroversial Paus Benediktus XVI di Universitas
Rosenburg pada tahun 2006. Melalui sambutannya, ‘Iman, Nalar dan
Universitas: Kenangan dan Refleksi’, keilmuannya menyenangkan para
peserta yang menghadiri kuliah. Namun, pidatonya bergema di luar
ruang kuliah terutama karena Paus menyebutkan beberapa kutipan
keras mengenai Nabi Muhammad dan Islam yang membuat marah
umat Islam. Butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan ketegangan
setelah dialog tingkat tinggi antara Vatikan dan para pemimpin Muslim
dilakukan. Peristiwa lain adalah aksesi Turki (sekarang Türkiye) ke Uni
Eropa (UE). Itu bukan proses yang mudah karena dua negara berpengaruh
di UE — Jerman dan Prancis — percaya bahwa budaya Türkiye tidak
sesuai dengan UE, yang didominasi oleh nilai-nilai sekuler. Juga, Islam
di Eropa telah dikaitkan dengan, antara lain, ekstremisme, terorisme,
dan kebodohan (Banchoff, 2012).
Ada tiga orientasi utama terkait perubahan yang terjadi melalui dialog
antaragama: teologis, politik, dan peacebuilding (Nefeuldt, 2011). Pada
dasarnya, dialog teologis berkembang dalam studi agama atau teologi,
sementara dialog politik berkembang dalam ilmu politik dan hubungan
internasional, dan dialog pembangunan perdamaian terkait erat dengan
transformasi konflik dan rekonsiliasi. Secara sederhana, dialog antaragama
berdasarkan teologi bertujuan untuk saling memahami antara para pemuka
agama, pemimpin agama akar rumput, dan teolog, yang umumnya melalui
pertukaran makalah, diskusi, panel tematik, dan pelatihan. Tujuannya

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 221


adalah untuk memahami ‘yang lain’. Sementara itu, dialog politik ber
bertujuan untuk menghasilkan koeksistensi sosial atau harmoni dan
meningkatkan legitimasi aktor dan proses politik guna mencapai tujuan
hidup damai. Di sisi lain, dialog pembangunan perdamaian adalah dialog
antaragama yang bertumpu pada model dialog-dialog sebelumnya (teologi
dan politik) tetapi bergantung pada resolusi konflik dan transformasi.
Dialog agama untuk pembangunan perdamaian memiliki empat tujuan:
mengubah sikap dan persepsi orang lain; membangun rasa hormat dan
saling pengertian; memperluas partisipasi dalam kegiatan pembangunan
perdamaian; dan membangun kerangka kerja bersama untuk tindakan
yang mengatasi akar konflik.
Kertas kerja ini menggunakan metode kajian pustaka, serta
observasi penulis sebagai panitia R20, dan juga berdiskusi dengan para
akademisi atau peneliti yang mengerjakan topik tentang peran NU dalam
perdamaian. Dengan menerapkan pendekatan kepustakaan ini, bab buku
ini didedikasikan untuk memahami peran NU melalui Forum R20 guna
menciptakan perdamaian global.

Pembahasan
Bagian utama tulisan ini akan menjelaskan Forum R20 yang terbagi dalam
beberapa sub bab: Pertama, kajian kepustakaan yang mendeskripsikan
peran ganda agama sebagai sumber perasoalan atau sebagai solusi, karena
R20 mengusung tema “agama sebagai solusi”. Setelah itu, bagian kedua
mengkaji NU dan perannya dalam perdamaian, secara singkat, sejak
kelahirannya dan dua dekade terakhir terlibat dalam ranah perdamaian,
dan bagian akhir secara khusus mengkaji R20 dari sebuah perspektif
yang lebih luas.

Agama sebagai Problem atau sebagai Solusi?


Forum R20 ini, awalnya, menjadi satu even tambahan (side event), yang
merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan Group of Twenty (G20)
di Indonesia, yang menjabat sebagai Presidensi G20 tahun 2002. Tema
yang diusung dalam forum R20 ini adalah “Revealing and Nurturing

222 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Religion as a Source of Global Solutions: A Global Movement for Shared
Moral and Spiritual Values”. Tema “agama sebagai solusi”, sejatinya,
adalah satu tema yang dipandang paradoks di tengah pelbagai konflik
kekerasan yang menyeruak di dunia global moderen yang melibatkan
anasir agama. Tema agama sebagai solusi atau persoalan, atau bagian
dari konflik atau perdamaian, di dunia global telah menjadi satu kajian
yang ekstensif pelbagai skolar dari berbagai disiplin keilmuan. Bagian
ini hanya akan menampilkan beberapa pandangan skolar, karena ruang
yang terbatas, untuk melihat bagaimana peran agama dalam lintasan
sejarah kemanusiaan dan di ruang publik.
Argumen umum yang acap kita dengar adalah agama bagian dari
problem, karena sepanjang sejarah kemanusiaan ia lebih banyak hadir
sebagai sumber konflik kekerasan. Misalnya, pada masa Eropa telah
terjadi perang agama yang berlangsung selama 30 tahun di Jerman, yang
mengakibatkan warga Jerman menyusut drastis dan sebagian mereka
melakukan migrasi ke Amerika Utara untuk merengkuh hidup yang lebih
damai tanpa perang. Selain itu, ada narasi besar (grand narrative) dalam
historiografi Pencerahan, yang diwakili Edward Gibbon dan Voltaire,
yang memandang perang agama sebagai hembusan nafas terakhir dari
Barbarisme pertengahan dan fanatisme sebelum kegelapan berganti
terang. Sampai saat ini, masyarakat Eropa pada umumnya memiliki
pandangan yang negatif terhadap posisi agama di ruang publik. Dalam
hal ini, agama dilihat sebagai sumber konflik dan kekerasan dalam bentuk
aksi-aksi kekerasan dan terorisme (Cavanaugh 2009).
Gerrer Ter Haar (2005) menyatakan bahwa kecenderungan menga-
sosiasikan agama dengan konflik kekerasan sangat nyata di Barat, karena
kondisi-kondisi historis telah menunjukkan dominasi sekularisme dan
berkurangnya peranan agama dalam ruang publik. Perubahan ideologi
terjadi telah meretas ruang kesempatan yang baru bagi pengenalan ideo-
logi-ideologi keagamaan. Jika sebelumnya dunia terbelah oleh ideologi
sekuler antara kapitalisme dan Marxisme, dewasa ini konflik kekerasan

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 223


terjadi karena ideologi keagamaan. Contoh nyata adalah antagonisme
fundamental antara Kristen dan Islam.
Menurut Juan Cole (2002), para penulis Kristen berdarah Eropa
telah sejak lama menempatkan Islam sebagai tanda kekerasan. Misalnya,
mesin pencari Google untuk kata “militant Islam” akan memunculkan
kata tersebut sejak akhir 1970-an, yang mencapai puncaknya pada masa
kontemporer. Lebih jauh, para penulis Kristen merujuk kembali beberapa
dekade sebelumnya setelah pendirian Islam, ketika para rahib Kristen
telah menuduh bahwa penaklukan Muslim di Timur Dekat (Near East)
penuh dengan pertumpahan darah. Lebih jauh, Cole menuturkan bahwa
Muslim Arab, setelah kematian Nabi Muhammad, telah memapankan
satu emperium dunia secara cepat, di mana perang dan penaklukan
adalah bagian dari sejarah mereka. Namun, tidak sepenuhnya jelas apakah
Emperium Muslim berbeda dari Emperium Bizantium Kristen, Zazanian
Zoroaster di wilayah yang sama, atau dari Dinasti Vardhana Hindu yang
ekspansionis di India. Meskipun Muslim acap dituduh berbeda karena nilai-
nilai martir (jihad) terang benderang dalam Qur’an, argumen semacam
ini gagal, menurut Cole, karena sejumlah alasan. Misalnya, Kitab Bible
mengandung lebih banyak kekerasan dibandingkan Qur’an, pemimpin
Kristen seperti Augustine dari Hippo memandang penting David, ksatria
Bible, dan melihatnya sebagai satu contoh untuk para emperor Kristen
Roma dalam perang-perang mereka. Kitab Bhagavad-Gita yang sublim
dan spiritual, di antara teks-teks suci Hindu, menampilkan dirinya sebagai
diskursus Krishna, avatar dari Dewa Wisnu, yang berpandangan bahwa
Pangeran Arjuna mesti berangkat ke medan perang meskipun ia enggan,
karena ia memanggul tugas sebagai seorang pejuang (warrior).
Perubahan ideologi pada 1990-an telah mengubah hubungan agama
dan politik, yang menyebar-luaskan ide bahwa di mana ada agama di situ
ada konflik. Ini tidak mengagetkan dalam arti bahwa konflik politik yang
tercermin dalam ideologi dominan dewasa ini adalah ideologi agama.
Sebagaimana halnya ideologi sekuler, ideologi agama menjustifikasi
penggunaan kekerasan yang menjadi bagian dari sejarahnya. Kristen,

224 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


misalnya, menampilkan satu sejarah dengan gagasan satu perang yang
adil (a just war) dan menjustifikasi kelompok-kelompok revivalis untuk
mengibarkan bendera perang atas musuh-musuh agama dan sekulernya.
Dalam konteks demikian, teologi pembebasan Kristen, yang acap dianut
oleh politik kiri, adalah sebuah elaborasi moderen dari just war theory,
yang mengambil bentuk “exceptionalism”.
Sama halnya, konsep jihad dalam Islam, satu ide spiritual yang
mungkin dapat diaplikasikan di bawah kondis tertentu, misalnya
untuk tujuan perlindungan diri, telah terbukti memberikan justifikasi
dan rasionalisasi penggunaan kekerasan dalam dunia modern. Para
pendiri HAMAS di Palestina, misalnya, telah mengembangkan gagasan
perlindungan diri melampaui perlindungan fisik manusia yang mencakup
pembelaan atas martabat dan kehormatan diri. Dalam Yahudi juga,
penggunaan a just war dimungkinkan dalam kondisi-kondisi tertentu,
menafsirkan kembali sumber-sumber kesejarahan dalam suatu cara
untuk menjustifikasi, misalnya, konflik kekerasan melawan Palestina.
Singkatnya, seluruh agama besar moneteistik tersebut memungkinkan
penggunaan kekerasan.
Yvonne Friedman (2018) berargumen bahwa tiga agama moneteistik
telah mewariskan perdamaian sebagai satu ideal dan satu tujuan sekaligus.
Warisan tersebut menggambarkan Tuhan sebagai Sabaoth, pemenang,
dan juga pencipta damai di surga dan dunia. Baik sebagai sosial maupun
persnal, perdamaian adalah sebuah anugerah Tuhan, bukan hanya satu
tindakan manusia. Karenanya, membuat damai adalah bagian dari
tanggung jawab manusia. Namun, dalam tilikan historis, semenjak fajar
abad-abad Pertengahan hingga tercapai perdamaian Westphalia pada
1648, yang memapankan prinsip cuius regio eius religio, agama dan perang
atau perang-perang agama dilihat sebagai hubungan yang dominatif dan
antagonistik antara tiga agama monetiestik tersebut. Konsep perang
suci yang berpuncak pada persepsi tentang perang sabil atau jihad dan
masyarakat pertengahan, yang mengangkat pedang atas nama Tuhan
yang mereka bela sepenuh jiwa. Sistem Westphalia telah menetapkan

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 225


fondasi hukum mengenai kewargaan di dalam satu negara yang berdaulat,
memapankan satu pola baru dalam diplomasi internasional.
Terdapat sejumlah pakar yang menyatakan peran ganda dari agama
(ambivalence of the sacred), di mana satu pihak agama dapat menjadi
sumber perdamaian dan di pihak lain ia menjadi sumber kekerasan.
David Little dan Scott Appleby (2004) menyatakan bahwa agama dapat
berfungsi sebagai sumber perdamaian dan sumber konflik.
Dalam nada yang sama, Thomas G. Wals (2012) mengakui bahwa
agama dalam konteks tertentu dapat menjadi sumber konflik dan
kekerasan. Namun, ia juga berpandangan bahwa agama dapat menjadi
sumber perdamaian. Hal ini dibuktikan bahwa sejumlah agama
menyediakan postulat-postulat perdamaian, seperti anjuran tidak serakah,
tidak menggunakan kekerasan dalam persoalan sosial dan individual,
maaf-memaafkan, rekonsiliasi pasca konflik, dan peperangan yang
berkeadilan. Dengan postulat nilai-nilai perdamaian yang agung tersebut,
Wals memandang pentingnya agama sebagai salah satu solusi konflik
di masyarakat. Pertama, agama sejatinya memberikan landasan yang
‘genuin’ dan jujur serta saintifik dalam mewujudkan perdamaian global.
Kedua, pemetaan yang saintifik terhadap kesalahpahaman menggunakan
postulat-postulat agama untuk legitimasi konflik bisa diminimalisir,
dan juga mempromosikan perdamaian dalam penyelesaian konflik di
masyarakat global dewasa ini.
Sama halnya, Juergensmeyer (2009) menyatakan bahwa nilai-nilai
tradisional agama, termasuk kejujuran, keadilan dan permainan yang jujur,
toleransi, penghormatan kepada pihak lain, sangat dibutuhkan dalam satu
masyarakat global di mana tidak ada satu tradisi budaya yang dominan.
Dalam satu budaya global yang mempertukarkan nilai-nilai tradisi agama
yang berbeda dapat menyediakan satu rasa kolektif dari tindakan kebajikan
dalam kehidupan publik. Ketegangan antara parokhialisme agama dan
potensi jangkauan globalnya dalam menolak ambivalensi agama dalam
masyarakat global. Agama acap memainkan satu peran profetik dalam
menolak gambaran opresif masyarakat global. Dalam beberapa kasus,

226 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


agama dapat menyupport tidak hanya gerakan untuk keadilan tetapi juga
pengampunan. Tatkala agama dikonsepsikan sebagai sensibilitas spiritual
dan tanggung jawab moral yang dipertukarkan, ia adalah serasi dengan
gagasan masyarakat sipil dalam artinya yang lebih luas, ide kewargaan
global, dan dengan demikian, ia memainkan satu peran yang konstruktif
dalam menyelesaikan divisi dan polarisasi sosial, dan juga memainkan
satu peran rekonsiliasi dalam satu masyarakat yang terbelah.
Sayangnya, pandangan dan praktik bahwa agama sebagai sumber
perdamaian atau solusi bagi permasalahan global, sebagaimana dinyatakan
para akademisi di atas, tampaknya belum cukup populer di kalangan para
pemimpin dunia, termasuk pemimpin negara Islam dalam Organisasi
Kerjasama Islam (OKI), di mana mereka tidak menjadikan diplomasi
agama sebagai satu cara penanganan konflik global yang bernuansa agama.
Hal yang sama juga diamati oleh Mohammed Abu Nimer (2016), ahli
peacebuilding dari American University, yang berpandangan bahwa nilai-
nilai agama sebagai sumber perdamaian belum tergali secara maksimal.
Karenanya, upaya dialog antar agama dan perdamaian dalam hal ini perlu
merumuskan forum dialog antar agama yang bisa menyuarakan peran
para pimpinan agama dan ajaran agama yang dikhutbahkan sebagai
solusi bagi pelbagai krisis dunia hari ini.
Secara keseluruhan, menempatkan agama sebagai sumber kekerasan
sebenarnya kompleks. Cavanaugh (2009) misalnya, menunjukkan bahwa
anggapan dan persepsi agama sebagai akar tunjang kekerasan adalah
mitos yang sengaja dibuat oleh sekularisme. Seperti pandangan Wals
(2012) dan Abu Nimer (2016) di atas agama bisa dimaksimalkan sebagai
sumber perdamaian.

Nahdhatul Ulama dan Peran Perdamaian


Pada 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama (NU) telah dibentuk oleh kyai
dan guru/pengajar pesantren di Surabaya. Mereka mendirikan NU guna
menyuarakan dan memfasilitasi kepentingan Muslim abangan dan
sistem pesantren. Saat itu, Sebagian besar anggota NU adalah petani
di Jawa dan Sumatera. Menurut Bruinessen (2019), NU lahir sebagai

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 227


respon terhadap penaklukan Wahhabi atas Mekkah dan Madinah pada
1805, yang melarang praktik-praktik tradisional. Sejak kelahirannya,
NU juga ikut mempromosikan nasionalisme di Indonesia, baik secara
sendiri-sendiri maupun bergabung dengan ormas lain, yang akhirnya
mendorong lahirnya Indonesia sebagai negara merdeka pada tahun 1945.
Pada era kemerdekaan, NU telah terlibat dalam program pembangunan
mengisi kemerdekaan, baik berada dalam sistem pemerintahan maupun
di luar sistem pemerintahan, termasuk berpartisipasi dalam lapangan
sosial, ekonomi, agama dan pendidikan pesantren. Pada era reformasi
1998, kehadiran Islam transnasional semakin marak dengan agenda
mendirikan khilafah Islam dan negara Islam (Wahid, 2009). Dalam hal
ini, NU adalah organisasi yang berdiri tegak melawan gerakan Islam
transnasional sehingga gerakan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dilarang pada 2017 dan Front Pembela Islam (FPI) resmi dilarang pada
2018. NU adalah organisasi Islam yang telah berkontribusi menyuarakan
moderatisme Islam di negara ini. Selain itu, NU terlibat dalam upaya
memerangi pertumbuhan terorisme dan ekstremisme agama. Dalam
hal ini, Indonesia telah diganggu oleh pelbagai aksi teror seperti di Bali,
Jakarta, Surabaya dan Makassar, dan NU berusaha untuk berpartisipasi
dalam mempromosikan perdamaian. Pada masa ini gerakan organisasi di
bawah NU baik struktural mapun kultural seperti Lakpesdam, Gusdurian,
Wahid Foundation aktif mendorong kerja-kerja perdamaian. Jaringan
Gusdurian, misalnya, satu organisasi non pemerintah (NGO), yang aktif
memperjuangkan pembumian pemikiran Gus Dur yang inklusif dan
humanitarian melalui pelbagai aktifitas di wilayah Indonesia.
Tidak hanya berkiprah di dalam negeri, NU juga mencoba mempro-
mosikan perdamaian di luar negeri dengan menjadi mediator perdamaian
di Thailand Selatan, Filipina Selatan, Myanmar dan Afghanistan. Gus
Dur telah mendirikan Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian
(WCRP). Selanjutnya, pada masa Kiai Hasyim Muzadi telah berdiri
Pimpinan Cabang Indonesia (PCI) NU di pelbagai negara dan menginisiasi
International Conference of Islamic Scholars (ICIS). Gerakan perdamaian

228 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


NU semakin berkembang. Sepeninggal K.H. Muzadi, K.H Said Aqil
Siroj yang meneruskan tongkat kepemimpinan NU telah menginisiasi
International Summit of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL).
Secara organisasi, NU memang telah memainkan peran dalam
mempromosikan perdamaian di Indonesia dan dunia. Misalnya, pada
2019 di Musyawarah Akbar Alim Ulama Munas dan NU di Banjar, Jawa
Barat, NU sempat merekomendasikan bahwa kategori “non-Muslim
sebagai kafir” tidak memiliki dasar hukum dalam negara bangsa modern.
Hal ini penting untuk ditekankan bahwa di Indonesia terdapat kesetaraan
antar warga tanpa memandang agama, suku, ras dan bahasa. Pada tahun
2021, World Evangelical Alliance, yang mewakili 600 juta pengunjuk rasa
di 143 negara, bergabung dengan NU dan Komunitas Imam W. Deen
Mohammed untuk menandatangani Pernyataan Masjid Bangsa-Bangsa
di Washington, DC.
Naiknya Gus Yahya sebagai pemimpin PBNU telah menghantarkan
NU memasuki satu abad sejak kelahirannya dengan jalan memperkuat
jembatan perdamaian. Gus Yahya telah lama berkecimpung dalam
jaringan World Interreligious Dialogue, sebagai seorang pewaris dan
mantan jubir Gus Dur, dan juga mendampingi Gus Dur dalam dua dekade
memperjuangkan perdamaian di dunia, salah satunya mengupayakan
perdamaian Palestina dan Israel. Pada masa kepemimpinannya salah satu
gebrakan yang menghentak dunia adalah pelaksanaan R20, Halaqah/
Muktamar Peradaban dan Dialog Antaragama dan Budaya ASEAN.
Bagian berikut hanya akan menjelaskan tentang pelaksanaan R20, karena
ruang yang terbatas.

R-20 (Religion Twenty): Merevitalisasi Agama sebagai Solusi


R20 telah sukses dilaksanakan pada 2-6 November 2022 di Bali dan
Yogyakarta. R20, sejatinya, memiliki nilai strategis bagi Indonesia dan
dunia dalam mempromosikan moderasi beragama, dan juga perdamaian
dunia, termasuk bagaimana agama berperan dalam memerangi politik
identitas yang bergejala. Sebagai presidensi G20, Indonesia melalui PB
NU sepakat bekerja sama dengan Liga Muslim Dunia (MWL) atau

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 229


Rabithah Alam Islami, untuk menggelar perhelatan tahunan R20 pertama,
yang akan dilanjutkan di India (2023) dan Brasil (2024). Acara ini telah
menghadirkan 150 pemimpin agama dan sekte berpengaruh di dunia dan
250 tokoh agama, akademisi, tokoh pemerintah, dan sejumlah undangan
lainnya dari luar negeri dan Indonesia.
Kegiatan ini, hemat penulis, merupakan kegiatan kolektif Indonesia
untuk mewujudkan agama sebagai solusi global bukan sebagai sumber
masalah. Memang, kegiatan ini merupakan inisiatif Gus Yahya setelah
terpilih sebagai Ketua Umum PB NU. Namun, tidak benar untuk
mengatakan bahwa ini adalah kegiatan ekslusif NU. Dalam pertemuan
pengenalan R20 di Hotel Ritz Carlton (5/9/2022), Gus Yahya menyatakan
bahwa R20 sebagai satu wahana pertemuan internasional bagi para
pemuka agama dari G20, dan juga beberapa undangan terkait sebagai satu
upaya untuk “membendung ide-ide radikal agama dan ekstremisme dan
mempromosikan moderatisme”. Gus Yahya melanjutkan R20 bertujuan
menjamin agama di abad ke-21 dapat berfungsi sebagai satu solusi yang
dinamis dan murni ketimbang sebagai masalah. Sebagai sebuah platform
global, R20 mengajak para pemimpin agama dan bangsa dari G20 untuk
mengekspresikan pelbagai keresahan mereka dan turut serta menyuarakan
nilai-nilai moral serta mencari solusi bersama bagi persoalan kemanusiaan
global dan lokal di negara masing-masing.
R20 hadir sebagai kritik dan tidak untuk menafikan atau menganihilasi
forum dialog antar agama serupa. Misalnya Interfaith Forum (IF) G20.
Mungkin ada di antara kita yang penasaran perbedaan dan persama R20
dengan IF G20. Dalam hal ini, penulis berpandangan, R20 akan lebih
fokus pada aktor pemuka agama yang berpengaruh di dunia, sedangkan
Interfaith Forum (IF) G20 acap menghadirkan praktisi, aktivis dan
akademisi tingkat dunia. Isu yang dikaji R20 lebih berkonsentrasi pada
upaya menempatkan agama secara mondial sebagai solusi daripada
masalah, dengan mengangkat problema internal dalam agama dan relasi
antar agama dan menerbitkan pemecahan bagi persoalan kemanusiaan,
sedangkan IF 20 berkisar pada isu titik temu agama dalam mengatasi

230 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


pelbagai persoalan kemanusiaan, dan juga isu-isu keduaniawian
lainnya seperti perubahan iklim, kemiskinan, lingkungan, keadilan dan
sebagainya. Namun, keduanya diandaikan memperkuat satu sama lain
untuk menghadirkan agama sebagai solusi. Tidak saling menafikan
(Ridwan, 2023).
Format kegiatan Forum R20 ini dibagi menjadi dua, yaitu berupa
konferensi dan diskusi intensif di Bali dan kunjungan budaya serta
merancang rencana tindak lanjut di Yogyakarta. Konferensi ini telah
melibatkan sejumlah pembicara misalnya Kyai Haji A. Mustofa Bisri,
mantan Ketua Majelis Tinggi Nahdlatul Ulama; Uskup Thomas
Schirrmacher, Sekretaris Jenderal World Evangelical Alliance; dan
Profesor Mary Ann Glendon, Profesor Hukum di Harvard Law School
dan mantan Duta Besar AS untuk Tahta Suci.
Sementara itu, Forum R20 fokus pada isu-isu yang berangkat dari luka
dan rasa sakit agama dan bagaimana melakukan proses penyembuhan,
rekonsiliasi, dan menawarkan agama sebagai solusi global dan lokal.
Topik dan isu utama yang dibahas pada KTT R20 adalah: Pelecehan
Spiritual, Mengungkapkan Kebenaran, Rekonsiliasi dan Pengampunan;
mengidentifikasi dan merangkul nilai-nilai yang dimiliki oleh agama-
agama besar dunia dan peradaban; rekontekstualisasi ajaran agama yang
ketinggalan zaman dan bermasalah; mengidentifikasi nilai-nilai yang
perlu kita kembangkan untuk memastikan kerja sama yang damai; dan
Ekologi Spiritual.
Terdapat 35 pidato dari pemimpin agama dan akademisi terpilih untuk
dipresentasikan. Secara umum, isi pidato tersebut meliputi pengakuan
atas kesalahan masa lalu yang telah menggunakan agama sebagai basis
pembedaan manusia yang berimplikasi pada diskriminasi, kekerasan dan
perang. Namun, di sisi lain juga presentasi menampilkan pengalaman
baik pencarian kebersamaan dan kesetaraan di banyak pengalaman
sejarah; serta menciptakan tradisi baru yang berprinsip pada kesetaraan
manusia dan warga negara yang tuntas dengan berbasis pada agama
untuk tatanan masa depan.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 231


Para pembicara R20 telah menyampakan pidato mereka sesuai
guideline yang telah ditentukan panitia R20. Misalnya, Jacqueline C.
Rivers, Direktur Eksekutif Seymour Institute for Black Church and Policy
Studies (Jamaica) “From Truth to Reconciliation, Forgiveness, and Peaceful
Co-Existence”, menekankan bahwa kita bisa menghasilkan suatu dunia di
mana manusia yang beragama bisa hidup berdampingan dengan damai
dengan mengakui bahwa agama pernah melakukan Tindakan opresif
beradsarkan agama. Dia menuturkan “That is a very heavy charge in a
world suffering from ubiquitous evil. There is much to confess. But confession
is the first step to living in peace. So, in the spirit of confession, I would like
to mention just one of the many examples of oppressive behavior carried out
under the banner of Christianity. The conquest of the so-called New World
by European powers starting in the fifteenth century was often justified in
part by religious claims”. Baginya, Peran R20 adalah untuk memfasilitasi
percakapan. Faktor terakhir adalah mengampuni, di mana kita perlu
mengampuni diri kita sendiri dan mengampuni orang lain, karena Tuhan
sudah terlebih dahulu mengampuni kita.
Dalam nada yang sama, His Holiness Pope Francis, Bishop of Rome
and Supreme Pontiff of The Roman Catholic Church, mengungkapkan
bahwa dunia dewasa ini ditandai dengan pengabaian Tuhan dan pelbagai
pelanggaran kemanusiaan yang menggunakan namanya. Dia mengingatkan
bahwa “We must affirm that extremism, radicalism, terrorism and all other
incentives to hatred, hostility, violence and war, whatever their motivations
or goals, have nothing to do with the authentic spirit of religion and must be
rejected in the most decisive terms possible. Instead, it is our responsibility,
as individual believers and as leaders of our respective communities, to
foster the paths of mutual dialogue, love and reconciliation that lead to
peace and conformity with the plan of the Almighty. In this regard, religion,
far from being a cause of the various crises we face today, is instead part of
their solution”. Poinnya adalah agama bukanlah sebagai biang masalah
atas pelbagai krisis di dunia global ini, bahkan agama bisa menjadi solusi.
Selain itu, Ram Madhav, perwakilan RSS yang dikenal sebagai kelompok
radikal Hindu di India, juga mengungkapkan hal yang sama dengan

232 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


dua pembicara sebelumnya. Dia menyatakan “R20 has, or should have,
a much larger vision and objective. As an extension of the G20, the R20
must address the diverse crises humanity is facing. In that sense, it is not
just a religion-centric event. It is a humanity-centric event”. Para pembicara
yang lain juga menyuarakan hal yang sama.
Di ujung kegiatan Forum R20 lahir komunike yang menyepakati tujuh
poin kesepakatan yang secara umum memastikan agama memainkan
peran sebagai sumber solusi global. Di antara poin pentingnya adalah
para pemimpin agama yang berasal dari G20 dan negara lainnya di
dunia, memiliki keprihatinan besar pada tantangan global, misalnya
kehancuran lingkungan, bencana alam akibat manusia, pengangguran
dan masalah sosial lainnya. Selain itu, mereka yang hadir menyepakati
agar membangun budaya damai, saling pengertian, ko-eksistensi di tengah
hamparan permadani kemajemukan. Dalam rangka mencapai tujuan
itu, R20 memobilisasi para pemimpin agama secara sosial, ekonomi
dan politik dari seluruh dunia untuk memastikan agama sebagai solusi,
bukan sebagai bagian dari masalah.

R20, Post Islamisme dan Model Dialog antar Agama untuk


pembangunan perdamaian
Dewasa ini, dunia global, khususnya dunia Islam, telah memasuki satu
era yang disebut post-Islamisme (Bayat, 2005). Secara sederhana, Post
Islamisme adalah kondisi di mana gerakan Islam (Islamisme) yang aktif
memperjuangkan aktivisme Islam dengan tujuan mendirikan negara Islam
atau khilafah Islam tidak lagi dominan, bahkan cenderung melemah.
Mereka mengganti strategi memperjuangkan cita-cita laten mereka,
namun tetap menjadikan agama sebagai identitas. Selanjutnya, Post
Islamisme adalah situasi di mana Islam sebagai gerakan politik mengalami
pergeseran perjuangan yang tidak lagi berpusat pada membangun tatanan
negara Islam, tetapi bagaimana Islam dapat tampil sebagai kekuatan moral
dan nilai-nilai membimbing kehidupan negara dan sosial. Beberapa
gerakan Islam garis keras telah terlibat dalam proses demokratisasi dan
mengalami pelunakan aktivisme, jika dibaca dari teori moderatisme

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 233


inklusif. Ada juga gerakan Islam yang tetap menjadikan Islam sebagai
ideologi mereka. Namun, situasi Post Islamisme merupakan suatu
proses yang terus berlanjut dan dapat berubah kembali menjadi wajah
Islamisme, jika melihat lintasan sejarah Islam di pelbagai negara yang
mengalami pasang surut setelah hadirnya Arab Spring (Musim Semi Arab)
di Timur Tengah. Penting untuk dicatat bahwa kondisi masing-masing
negara yang mengalami aktivisme Islam dan post-Islamisme berbeda
satu sama lain dan ditentukan oleh dialektika antara gerakan Islam dan
proses demokratisasi di negara yang bersangkutan.
Meskipun, sebagian dunia Islam telah mengalami situasi Post-
Islamisme, namun upaya untuk membangkitkan Islam sebagai ideologi
tetap membara. Gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir, misalnya, yang telah
cacat dan distigmatisasi dengan tuduhan sebagai gerakan terorisme oleh
rezim yang berkuasa, terus menyalakan api Islamisme di negara-negara
di mana beberapa pemimpinnya tinggal, setelah eksodus dari penindasan
dari pemerintah Mesir. Beberapa organisasi Islam, pada kenyataannya,
menunjukkan ketahanan untuk terus berdenyut di tengah represi negara.
Mereka seperti bangkit dari kematian. Di Indonesia, pembubaran beberapa
organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela
Islam (FPI) melalui jalur hukum tidak secara bersamaan melemahkan
perjuangan Islamisme, meskipun gerakan ini kembali sebagai gerakan
bawah tanah dan fokus pada pembalasan rahasia. Di bawah kondisi ini,
benih-benih Islamisme tetap ditanam meskipun tidak di tanah yang subur
karena regulasi yang telah memandulkan gerakan tersebut. Namun, ketika
kemakmuran tidak tercapai dan ketidakadilan merajalela, rakyat jelata
akan mudah dibius dengan janji-janji Islamisme karena kritik yang rendah.
Pemimpin populis yang menjual agama menjadi relevan dalam hal ini.
Maraknya konservatisme Islam di dunia Muslim global, termasuk
Indonesia, banyak digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan
untuk menyulut politik identitas, di mana mereka membangun ide,
jargon, stigma dan pelabelan eksklusif terhadap kelompok yang dianggap
terpapar pemikiran liberal dan progresif. Permainan agama sebagai

234 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


senjata untuk melemahkan rezim di satu sisi, dan di sisi lain ditujukan
untuk memperkuat barisan sakit hati kepada pemerintah cukup marak
di dunia demi meraih kekuasaan. Di sini agama telah dimanipulasi dan
dijadikan wahana untuk memecah belah masyarakat, sehingga muncul
wajah destruktif agama dan akhirnya agama kehilangan vibrasi dan respon
sosialnya untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Akibatnya,
agama menjadi terdakwa, meskipun agama telah dimanipulasi melalui
interpretasi yang menghujat kaum bangsawan agama.
Menyikapi fenomena global di atas, ajang R20 merupakan bagian dari
upaya memperkuat penanaman nilai-nilai agama dan membagi spiritualitas
agama, yang dapat dikembangkan untuk membangun koeksistensi damai
dalam sebuah masyarakat majemuk. Memang pelaksanaan kegiatan ini
juga terkendala oleh beberapa hal. Beberapa pihak skeptis terhadap R20
karena dinilai sudah ada forum serupa seperti Interfaith Forum G20, dan
juga keterlibatan negara India, di mana umat Islam masih mengalami
diskriminasi dan dominasi agama atas penafsiran radikal ajaran Hindu.
Dengan kata lain, forum R20 ini unik, karena topik diskusi membahas
masalah agama yang belum pernah dibahas secara terbuka sehingga
diharapkan forum ini akan melampaui upaya dialog agama tradisional,
yang hanya membangun saling pengertian antar penganut agama yang
berbeda, tetapi lebih jauh bagaimana ia mengarah pada perubahan sosial
menuju perdamaian positif. Selain itu, penting untuk dipahami bahwa R20
juga tidak berupaya meniadakan kegiatan-kegiatan dialog antaragama
serupa, melainkan kehadirannya untuk memperkuat dan memberikan
penekanan yang berbeda agar tercapainya tujuan agama sebagai solusi,
termasuk menekan upaya mempersenjatai agama untuk politik identitas.
Karenanya, R20 dari segi asal ide, tujuan, format kegiatan, pembicara
dan materi, dapat dikategorikan sebagai dialog antaragama yang
berorientasi pada resolusi konflik dan transformasi, di mana ia tidak lagi
mengikuti pola dialog antaragama tradisional yang hanya saling bertemu
untuk memahami satu sama lain. Tidak lebih dan tidak kurang. Lebih jauh,
Forum R20 mempromosikan moderatisme, kemanusiaan dan perdamaian

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 235


global, termasuk di dalam dan antara komunitas agama yang sama dan
berbeda agama. Dengan kata lain, R20 berusaha mendorong koeksistensi
damai antara para penganut agama-agama berbeda dan dan bersatu padu
melawan bentuk-bentuk ekstremisme sekuler lainnya. Karenanya, melalui
R20 agama didorong untuk memainkan peran konstruktif dan vital dalam
membangun masyarakat yang damai dan adil, dengan mempromosikan
nilai-nilai luhur yang terinspirasi oleh agama.

Beberapa Kritik terhadap R20


Sebagai satu event berskala internasional, yang perdana, R20 tidak luput
dari sejumlah kritikan. Berdasarkan observasi dan dari sejumlah tulisan
yang ada, terdapat tiga kritikan, yang cukup penting dicatat. Di sini penulis
akan mendeskripsikan kritikan tersebut dan menjelaskan apakah kritikan
itu cukup beralasan atau krtikan tanpa didukung bukti yang kuat.
Pertama, para pihak yang memiliki pandangan yang kontra terhadap
tema R20 “agama sebagai solusi” adalah tema tersebut dianggap tidak
tepat (Syafiq Hasyim, 2023). Di samping itu pengkritik juga menunjukkan
kegagalan pada gerakan-gerakan Islam seperti Ikhwanul Muslim dan
Pemerintahan Iran yang juga mengusung Islam sebagai solusi yang
berakhir pada kekerasan dan otoritarianisme. Pandangan agama sebagai
problem dikritik karena nilai-nilai agama tidak ada yang mengajakan
konflik kekerasan. Penafsiran agama secara ekstrem sebagai pemahaman
atas ajaran agama yang acap melahirkan perilaku yang melawan nilai-
nilai luhur agama.
Kedua, R20 dikritik karena melibatkan delegasi Hindu dari India
yang di negaranya acap terjadi persekusi terhadap Muslim minoritas
di sana. Krtikan terkait kehadiran Ram Madhav, pemimpin kelompok
sayap kanan Hindu India Rashtriya Swayamsevak Sang (RSS). Panitia
bukan tidak melihat peristiwa itu namun transformasi terhadap intern
agama tidak bisa tidak melibatkan pelaku. Pertama, R20 bukan hanya
suatu event semata melainkan suatu gerakan dan usaha transforma
berkelanjutan. Sedangkan India adalah presidensi G20 tahun 2022 yang
akan menjadi tuan rumah pada KTT tahun 2023 dan karena itu akan

236 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


menjadi tuan rumah R20. Lebih jauh, kehadiran para pemimpin agama
Hindu diharapkan dapat memberikan diskusi terbuka dan bebas dominasi
dan menghasilkan pemahaman baru dalam membangun tatanan dunia
yang dapat memajukan koeksistensi damai.
Kritik ketiga adalah tentang pelibatan MWL sebagai co-host yang
berhaluan Wahabi yang justeru anti dialog itu sendiri. Namun seperti
pada pelibatan RSS India sebagai peserta maka di samping panitia melihat
adanya perubahan lanskap politik di Arab Saudi yang makin moderat juga
dalam kerangka pelibatan transformasi di dalam kelompok-kelompok
agama dan sekte itu sendiri atas pandangannya tentang the others.

Simpulan
Forum R20 di Indonesia awal November 2022 adalah forum perdana
pertemuan para pemuka agama tingkat tinggi dunia, yang berupaya
menghadirkan agama sebagai solusi dan arus utama peradaban. Ia
diandaikan sebagai satu gerakan sosial, dengan mengajak para pemimpin
agama menyadari bahwa agama pernah berkontribusi sebagai sumber
konflik kekerasan di masa lampau, namun dewasa ini nilai-nilai agama
yang dipertukarkan untuk perdamaian dapat didorong untuk membuat
satu tatanan dunia yang lebih aman dan damai. R20 telah membahas
pelbagai masalah dunia terkait kaeagamaan ini dalam sebuah forum
yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai proses
rekonsiliasi antar kelompok-kelompok yang bertikai. Masing-masing
perwakilan agama menceritakan pengalaman buruk masa lalu dan cara
menyelesaikannya serta mengungkapkan pelbagai tradisi baik yang perlu
dikembangkan untuk kemudian mencari nilai-nilai bersama dan konteks
baru antar agama. Kesetaraan antara manusia dan warga negara harus
didasarkan pada doktrin agama, sehingga agama harus mengubah doktrin
ini sekarang. Karenanya, Forum R20 dilihat satu kerangka teori dialog
antar agama bertujuan untuk mewujudkan pembangunan perdamaian
dengan transformasi konflik dan rekonsiliasi melalui pemimpin agama.
Ia berbeda dengan model dialog antar agama yang bersifat tradisional
dan berorientasi politik.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 237


Sebagai kesimpulan, Forum R20 menjadi momentum agar agama
kembali ditempatkan sebagai solusi global dan tidak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para politisi di pelbagai negara
di dunia yang acap menjadikan agama sebagai senjata untuk mewujudkan
kepentingan politik ekonominya yang sempit. R20 diandaikan dapat
berfungsi sebagai kegiatan tahunan G20 untuk mendorong moderatisme,
kemanusiaan dan perdamaian global, dan juga bisa mencegah agama
sebagai senjata politik identitas yang mematikan.

Daftar Pustaka
Arifianto, A.R. (2017). Practicing what it preaches? Understanding the
contradictions between pluralist theology and religious intolerance
within Indonesia’s Nahdlatul Ulama. Al Jami’ah, Journal of Islamic
Studies. 55(2), 241–64.
_____________. (2021). Nahdlatul Ulama and its commitment towards
moderate political norms, A comparison between the Abdurrahman
Wahid and Jokowi era. Journal of Global Strategic Studies. 1(1), 77-
114.
Azka, M.N., dkk. (2019). Dua Menyemai Damai: Peran dan Kontribusi
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Perdamaian dan
Demokrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Banchoff, T. (2012). Interreligious dialogue and international relations.
In Ts Shah, A Stepan, A. & Md Toft, (eds.), Rethinking Religion and
World Affairs (204-216). London: Oxford University Press.
Barton, G. & Fealy, G. (1996). Nahdlatul Ulama, traditional Islam and
modernity in Indonesia. Australia: Monash Asia Institute.
Baso, A. (2017). The intellectual origins of Islam nusantara; A study on a
globalising Indonesian Islam and reform of hegemonic reason. Jakarta:
Pustaka Afid.
Bayat, A. (2005). Islamism and social movement theory. Third World
Quarterly. 26(6), 891–908.

238 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Cavanaugh, W. (2009). Religious Violence and the Roots of Modern Conflict.
New York: Oxford University.
Cole, J. (2022). Peace Movements in Islam History, Religion, and Politics.
New York: I.B. Tauris.
Fealy, G. (2003). Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta:
LKiS.
Friedman, Y. (2018). Religion and Peace Historical Aspects. New York:
Routledge.
Hasyim, S. (2023). Prospects and weaknesses of the R20 Forum on religion
launched at the G20 summit in Bali. Retrieved from https://www.iseas.
edu.sg/wp-content/uploads/2023/03/ISEAS_Perspective_2023_26.
pdf, viewed on 21 July 2023.
Huntington, S. (1996). The clash of civilization and remarking of world
order. New York: Simon & Schuster.
Juergensmeyer, M. (2009). Foreword. In Religion and conflict resolution
Christianity and South Africa’s truth and reconciliation commission.
Canada: Ashgate.
Little, D. & Appleby, S. (2004). A moment of opportunity, the promise of
religious peacebuilding in an era of religious and ethnic conflict”, in
Religion and Peacebuilding. USA: State University of New York Press.
Neufeldt, R.C. (2011). Interfaith Dialogue: Assessing Theories of Change,
Peace & Change. 36(3), 344-372.
Nimer, M.A. (2016). Handout of Training for KIPP Southeast Asia. The
Philippine: Mindanao Peacebuilding Institute.
Ridwan, R. (2023). Mempromosikan Moderatisme Global. Dalam R20
Moderatisme, Kemanusiaan dan Perdamaian Global (ed. Eko Enada
dkk). Yogyakarta: Aswaja Pressindo dan BPJI PBNU.
Ridwan, R. (2020). The role of Nahdlatul Ulama (NU) in maintaining
religious tolerance in Papua: Some observations. Journal of Nahdlatul
Ulama Studies. 1(1), 17-33.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 239


Haar, G.T. (2005). Religion: sources of conflict and resource for peace?
In Gerrie T. Haar & James J. Busuttil (ed.) Bridge of Barrier: Religion,
Violence and Visions for Peace: 1 (International Studies in Religion and
Society. Leiden: Konninklijke Brill NV.
Wahid, A. (2009). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia. Jakarta: The Wahid Foundation.

Biografi singkat penulis:


Ridwan (atau dikenal sebagai Ridwan al-Makassary) adalah Dosen Prodi
Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional
Indonesia (UIII). Dia menyelesaikan Program Doktor pada Jurusan
Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di University of Western
Australia (UWA), dan program Magister bidang “Hak Asasi Manusia
dan Demokratisasi” di University of Sydney dan Mahidol University.
Dr. Ridwan adalah Peneliti pada Centre for Muslim States and Societies
(UWA) dan Direktur of Center of Muslim Politics and World Societies
(COMPOSE) UIII. Ridwan adalah seorang sarjana yang menekuni kajian
perdamaian, HAM dan Politik Agama.

240 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Peran Tokoh Agama dalam
Penyelesaian Konflik Maluku

Abdul Haris Fatgehipon


Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
Email: pertahanan@yahoo.com

Pendahuluan
Manusia sebagai individu maupun sebagai komunitas sosial. Warga negera
pasti memiliki perbedan satu dengan lainnya. Perbedaan itu bisa meliputi
perbedaan sejarah, budaya, geografi, gender, agama, latar belakang sosial,
pendidikan, dan pekerjaan. Seluruh faktor di atas memergaruhi seseorang
atau sekelompok masyarakat dalam melihat suatu masalah. Berbagai
perbedaan yang kita miliki dapat mempengaruhi cara pandang kita
terhadap sesuatu masalah, cara pandang ini tentu berbeda dengan orang
lain. Berbagai perbedaan yang dimiliki oleh manusia dapat menjadikan
konflik apabila tidak dikelola dengan baik.
Konflik tidak hanya terjadi kerena faktor perbedaan, sejarah, budaya,
gender, agama, dan latar belakang sosial. Konflik sering terjadi kepada
orang yang memiliki identitas yang sama seperti identitas, bahasa, dan
agama sebab konflik dapat muncul ketika seseorang atau kelompok
memiliki perbedaan kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga
di antara mereka saling memperebutkan atau berkompetisi dalam
memperebutkan sesuatu.
Konflik Maluku yang berlatar belakang isu agama ternyata dalam
perkembangannya meluas ke isu etnik, perebutan akses ekonomi, dan
sumber daya alam. Meski konflik Maluku telah berakhir dengan perjanjian
Malino II, tetapi konflik-konflik kecil sesama komunitas agama sering
terjadi, misalnya konflik batas desa, meski kedua desa beragama sama

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 241


tetapi mereka bisa berkonflik karena persoalan agrarian, misalnya masalah
status tanah adat, status desa. Ini artinya konflik tidak hanya disebabkan
karena perbedaan agama atau etnik, konflik bisa muncul karena terjadi
perbedaan kepentingan kelompok.
Konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh individu,
kelompok, atau institusi ini kerena sudah menjadi suatu yang naluri
bahwa manusia senantiasa bersaing satu dengan yang lainya. Kelompok
dan instusi secara internal dan eksternal akan dihadapkan oleh kompetisi
dan dihadapkan oleh perbedaan kepentingan dan tujuan yang berbeda.
Konflik akan menjadi sesuatu yang bernilai positif apabila dapat dikelola
dengan baik. Konflik juga akan menjadi sesuatu yang dekstruktif apabilah
gagal dikelola dengan baik.
Kematangan dalam pengelolaan konflik harus dimulai sejak dini yaitu
sejak dalam pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan masyakat.
Anak harus diajarkan bersikap dan menerima perbedaan dengan orang
lain. Anak sejak dini dilatih berkomunisi menerima perbedaan pendapat
dan dapat menerima serta mengakomodir kepentingan orang lain. Anak
sejak dini harus diajarkan cara mencari solusi penyelesaian atas berbagai
permasalahan yang dihadapi. Kemampuan problem solving adalah sesuatu
yang penting dimiliki oleh setiap orang yaitu dengan cara diajari dan dilatih
sejak dini bagaimana cara menghadapi dan menyelesaikan permasalahan.
Peran tokoh agama terus dibutuhkan di Maluku dalam menjaga
terulangnya konflik sosial. Tokoh agama masyarakat harus aktif terprogram
melakukan edukasi kepada masyakat agar memiliki kematangan dan
kecerdasan dalam menghadapi konflik. Selama ini kebanyakan tokoh
agama dilibatkan sebagai pemadam kebakaran diturunkan pada saat ada
gejolak. Tokoh agama harus diberi ruang dalam melakukan pendampingan
edukasi mmelalui jalur pendidikan keluarga, masyarakat, dan sekolah.
Kedudukan sosial tokoh agama di Maluku, masih memiliki pengaruh
yang kuat, tetapi sayang pengaruh yang kuat dari tokoh agama, sering
digunakan untuk kepentingan politik praktis, para politisi menggunakan,
tokoh agama, saat musim kampanye pemilu.

242 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Peran dari Kementrian Agama harus lebih aktif lagi dalam melibatkan
para penyuluh agama dalam memberikan edukasi kepada warga
masyarakat. Di era media sosial dimana sumber informasi dengan cepat
dapat diperoleh oleh setiap warga masyarakat dengan berbagai kelompok
umur. Masyarakat juga dengan mudah mengirim berbagai informasi yang
belum jelas kebenarannya, maka sangat terbuka munculnya berbagai
konflik sosial. Tokoh agama tidak sebatas memberikan pemahaman ajaran
agama dalam konsep tauhid dan aqidah tetapi memberikan tuntunan
akhlak dan muamalah kepada para jamaah. Dengan memahami tauhid,
aqidah, akhlak, dan muamalah yang baik maka akan terjalin hubungan
sosial yang baik antara individu maupun kelompok masyarakat, meski
mereka berbeda suku. Islam adalah agama yang sempurna, mengajarkan
etika, norma, dalam kehidupan, berkeluarga, bertetangga, bernegara,
dan berniaga.
Kalau terjadinya konflik sosial terutama diantara umat Islam, pasti
ada sesuatu hal yang salah. Selama ini dari hasil pengalaman peneliti,
masih terbatas umat Islam di Maluku yang memahami dan menjalankan
ajaran agama Islam dengan baik. Banyak yang masih belum dapat
membaca Al-quran dengan baik, belum menjalankan Sholat lima waktu,
penyimpangan sosial seperti judi, meminum minuman keras, suka pesta,
dan maksiat sering terjadi. Permasalahan sosial yang dialami oleh umat
Islam di Maluku tidak hanya menjadi tugas tanggung jawab ulama tetapi
juga pemerintah, TNI, Polri, DPR, Partai Politik, dan Lembaga pendidikan.
Maluku kaya akan sumber daya alam, banyak perusahaan nasional dan
asing yang berinvestasi di Maluku. Banyaknya pekerja asing yang masuk
ke Maluku membawa nilai baru yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam seperti meminum minuman keras dan narkoba. Harus ada regulasi
yang kuat dan penegakkan hukum agar mencegah terjadinya kerusakan
sosial dalam masyakat. Peran ulama, dalam pembinaan umat tidak dapat
berjalan jika tidak didukung oleh regulasi dan penegakkan hukum dari
pemerintah. Berbagai konflik sosial di Maluku banyak dipicu oleh masalah
minuman keras. Konsumsi minuman keras oleh para pemuda, memicu
perkelahian yang melibatkan komunitas agama maupun suku.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 243


Konflik Maluku, adalah konflik sosial yang paling kompleks yang
pernah terjadi di Indonesia, berbagai pendapat yang muncul tentang
penyebab terjanya konflik maluku, dari pandangan politik, ekonomi,
agama, sosial. Sampai saat ini tidak ada kesimpulan yang pasti penyebab
terjadi konflik MalukuAwal dari konflik Maluku adalah konflik yang
terjadi di Ambon. Ambon merupakan ibu Kota Provinsi Maluku.
Konflik Maluku 1999 berlangsung dalam waktu yang lama dan
memakan banyak korban jiwa serta harta benda. Penyelesaian konflik
Maluku sangat rumit bahkan banyak pihak yang pesimis konflik Maluku
1999 dapat berakhir mengingat penyebaran konflik yang meluas dan
melibatkan banyak pihak. Awalnya konflik sebatas perkelahian antara
warga di Kota Ambon Kemudian merambat menjadi antara kampung
dan cepat meluas saat isu konflik personal lalu konflik komunitas wilayah
hingga pada akhirnya menjadi isu konflik komunitas antara agama.
Pihak yang terlibat dalam konflik sering menggunakan isu agama
dalam menutupi kepentingan personal atau kelompok mereka. Hal ini
disebabkan karena konflik yang berisukan agama sangat efektif dan cepat
membangun solidaritas kelompok. Masyarakat yang tadinya terpisah oleh
perbedaan etnik, profesi, status sosial, organisasi, dan aliran keagamaan
dapat menyatu dengan isu agama.
Ada beberapa alasan konflik Maluku terutama Ambon disebut konflik
dengan isu agama. Pertama, pecahnya konflik dimulai pada saat Hari
Raya Idul fitri 1999, umat Islam merasa bahwa umat Kristen melakukan
penyerangan kepada umat Islam di saat mereka sedang merayakan hari
besar umat Islam. Kedua, penggunaan simbol agama selama terjadinya
konflik, pengunanan simbol agama terjadi di kedua belah pihak Islam
maupun Kristen. Ketiga, terjadinya pembakaran tempat ibadah Masjid
maupun Gereja dan rumah -rumah penduduk yang berbeda komunitas.
Isu saat konflik Ambon adalah pengusiran terhadap pendatang yang
bersuku Bugis Buton dan Makassar. Meski demikian Umat Islam
Maluku dengan solidaritas Ukhuwah Islamiyah ikut membela sesama
muslim yang terzalimi. Konflik Ambon di Maluku, bukan terjadi secara

244 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


mendadak atau kebetulan, jauh sebelumnya sudah ada tand-tanda akan
ada konflik. Beberapa tokoh agama Islam sudah mengingatkan akan
adanya tanda-tanda konflik di Maluku dan memperingatkan Umat Islam
untuk selalu waspada.
Diawal Konflik Maluku muncul ketidakpercayan antara komunitas
agama yaitu rasa curiga satu dengan yang lainnya. Pemimpin agama
yang awalnya kompak saling berkomunikasi lewat forum dialog antar
agama yang di fasilitasi oleh Gubernur Maluku Dr. Ir. Saleh Latuconsina
DEA. Setelah terjadi konflik Maluku dan kuatnya isu agama, hubungan
antara tokoh agama menjadi regang dan saling curiga satu dengan lain
(Wawancara dengan Suster Brigita: 2023).
Di akal rumput masa bergerak saling menyerang, pemerintah dan
aparat keamanan sulit membendungnya. Banyak aparat keamanan yang
menjadi korban dalam konflik Maluku. Isu agama yang dihembuskan dalam
konflik Maluku menyebabkan banyak aparat keamanan TNI Polri yang
terdorong secara emosional membela salah satu pihak yang berkonflik.
Banyak aparat TNI dan Polri yang tidak netral dalam penanganan
keamanan konflik Maluku.
Konflik yang awalnya terjadi di Kota Ambon kemudian menyebar
ke berbagai wilayah di Maluku dan Maluku Utara. Konflik yang terjadi
di wilayah Maluku dan Maluku Utara berlansung dalam waktu yang
tidak terlalu lama, berbeda dengan konflik Ambon yang berlangsung
dari tahun 1999-2021. Konflik yang berlangsung dalam waktu yang
lama menyebabkan masyarakat sipil sudah memiliki pengalaman dan
terlatih merakit dan menggunakan senjata api. Banyak ditemukan senjata
api organik yang biasa digunakan oleh TNI dan Polri namun berada di
tangan milisi sipil.
Dari era Presiden BJ Habibie, Gus Dur sampai Megawati, konflik
Maluku tidak menemukan penyelesaian damai. Di era Presiden Megawati,
Konflik Maluku berhasil perlahan-lahan diselesaikan. Salah satu
pendekatan yang digunakan dalam penyelesaikan Konflik Maluku adalah
pelibatan tokoh agama dalam membangun dialog damai antara umat

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 245


beragama. Tokoh agama juga berperan dalam memberikan penyadaran
dan pemahamanan positif kepada umatnya.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian dengan judul Peran Tokoh
Agama dalam Penyelesain Konflik Ambon”. Metodologi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Kualitatif. Penulis mendapatkan data
dengan cara melakukan wawancara ke tokoh agama. Tokoh agama yang
diwawancarai terdiri dari berbagai agama yaitu tokoh agama Kristen
Protestan, Kristen Katolik, dan tokoh agaram Islam. Penulis juga melakukan
wawancara dengan mantan pejabatan TNI dan Militer yang bertugas di
Maluku saat terjadinya konflik Ambon. Untuk mendapatkan kelengkapan
data penulis melakukan penelitian kearsipan dan studi pustaka.
Penulisan ini melihat bagaimana peran tokoh agama dalam menye-
lesaikan konflik Ambon. Peran tokoh agama dalam penyelesaian konflik
Ambon sangat penting. Di saat konflik sosial terjadi di Ambon, keper-
cayaan masyarakat terhadap pemerintah berada pada titik terendah.
Peran tokoh agama sangat startegis untuk membangun kepercayaan
umat kepada pemerintah dan memberikan informasi positif kepada
umatnya. Saat konflik terjadi banyak informasi yang menyesatkan yang
bersifat provokatif mengadu domba satu sama lain.
Ketika terjadi sebuah konflik, semua pihak berusaha untuk mencari
cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Berbagai bentuk penyelesaian konflik dibuat untuk mencari alternative
terbaik. Namun, setiap bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan akan
menimbulkan kepentingan baru yang dapat saling bertentangan dengan
kata lain sistem sosial senantiasa akan selalu berada dalam keadaan
konflik. Ada dua cara untuk menyelesaikan konflik, yaitu penyelesaian
konflik persuasif dan koersif (Jerry Indrawan, Ananda Tania Putri, 2022).
Konflik di Maluku awalnya didamaikan dengan cara menggunakan
pendekatan koersif yaitu dengan kekerasan dengan mendatangkan pasukan
tentara dan Polri dari luar Maluku untuk mendamaikan. Pendekatan
koersif ternyata mengalami kegagalan, banyaknya korban sipil akibat
pendekatan represi aparat menyebabkan wilayah konflik semakin meluas

246 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


bahkan aparat keamanan TNI dan Polri yang semestinya netral dalam
menjaga keamanan ikut terseret dalam konflik sipil di Ambon. Pemerintah
kemudian menggunakan cara kedua dalam mendamaikan Maluku yaitu
melalui cara persuasif. Pendekatan ini dilakukan dengan membuka ruang
dialog antara tokoh agama, tokoh masyarakat, bersama pemerintah pusat,
dan pemerintah daerah. Pendekatan persuasif mulai membuahkan hasil,
hal ini ditandai dengan munculnya kesadaran bersama untuk berdamai.

Pembahasan
Laskar dan Doktrin Jihad
Berlarut larutnya penanganan konflik Maluku menyebabkan aktor yang
bermain dalam konflik Maluku semakin banyak dengan berbagai agenda
kepentingan. Konflik Maluku tidak sebatas melibatkan masyarakat lokal
dengan solidaritas keagamaan tetapi juga jaringan organisasi keagamaan.
Jaringan organisasi keagamaan memberi dukungan kepada komunitas
kelompok mereka. Maluku menjadi daya tarik bukan karena potensi
sumber daya alamnya tetapi Maluku menjadi medan jihad bagi para
syuhada dari berbagai wilayah di Indonesia dan berbagai negara untuk
mencari pahala sahid.
Doktrin perang Jihad yang dikumandangkan oleh Laskar Jihad Jafar
Umat Talib yang bertempat bermarkas di Pondok Pesantren Degolan
Yogyakarta memunculkan simpati dan dukungan dari umat Islam di
Indonesia maupun Internasional. Laskar Jihad menyatakan, perjuangan
jihad yang dilakukan di Maluku tidak hanya bertujuan membela saudara-
saudara muslim tetapi juga jihat dalam mempertahankan NKRI dari upaya
kelompok gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) untuk memisahkan
Maluku dari Indonesia. Dalam berbagai orasi dan selebaran, Laskar
Jihad meminta umat Islam Indonesia untuk mendukung TNI dalam
mempertahankan NKRI dari ancaman pemisahan oleh gerakan makar
Republik Maluku Selatan.
Laskar Jihad adalah organisasi sayap militer dari Forum Komunikasi
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKASWJ). Laskar Jihad (LJ) dideklarasikan

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 247


pada 30 Januari 2000 di Stadion Kridosono, Yogyakarta. Pendirian Laskar
Jihad secara khusus merupakan respon kelompok Islam Salafi terhadap
konflik antar agama (Muslim-Kristen) yang terjadi di Ambon. Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKASWJ) adalah organisasi
Salafi dari kelompok Salafi Puritan yang didirikan di Solo pada tanggal
14 Februari 1999.
Pendirian FKASWJ merupakan respon kelompok Salafi terhadap
kesulitan umat Islam akibat krisis ekonomi dan politik pada tahun
1997-1998. Tokoh utama pendiri organisasi tersebut adalah Ja’far Umar
Thalib, Ayip Safruddin, Muhammad Umar Assewed, dan Ma’ruf Bahrun.
Ja’far Umar Tholib adalah alumnus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam
Arab (LIPIA) Jakarta tahun 1980-an dan merupakan tokoh perintis
pertama gerakan dakwah Islam Salafi di Indonesia. Di dalam konflik
Muslim-Kristen Ambon, anggota Laskar Jihad dari wilayah Kroya juga
ikut terlibat aktif dalam kegiatan “jihad”, baik terlibat langsung di wilayah
konflik maupun sebagai penggalang dana untuk mendukung kegiatan
tersebut (Supani :2014).
Kedatangan Laskar Jihad di Ambon disambut baik oleh masyarakat
Muslim di Maluku yang saat itu mulai terjepit. Banyak rumah dan
perkampungan muslim yang hagus terbakar. Laskar Jihad mengajari
masyarakat Islam di Maluku seperti cara berjihad secara syar’i misalnya
tidak boleh menggunakan jimat atau ilmu kebal saat berperang. Menurut
Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Talib, berjihad tidak hanya bermodalkan
keberanian tetapi harus juga mengeri tata cara berjihad secara benar
misalnya jangan menggunakan jimat, jimat itu adalah kesyirikan yaitu
kita bergantung selain dari pada Allah. Setiap anggota Laskar Jihad di
Maluku harus menjalankan sholat lima waktu, tidak boleh bermaksiat,
mencuri, dan mengambil harta orang lain (Ghanimah).
Masuknya pasukan Laskar Jihad di Maluku memberi warna baru
dalam Islam di Maluku. Selama ini Islam di Maluku secara sosial dan
kultural dibagi atas MuhammadiyaH dan NU (Nahdlatul Ulama). Laskar

248 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Jihad memperkenalkan praktek ibadah yang sedikit berbeda dengan
Muhammadiyah dan NU.
Meski Laskar Jihad merupakan kekuatan yang baru tetapi pengaruhnya
besar di kalangan akar rumput dan elit. Laskar Jihad terdiri dari mantan
alumni Perang Afgan dan Moro, dan anak-anak muda yang terpanggil
dalam seruan perang jihad dalam konflik Maluku.
Al-Qaedah, JI dan HTI merupakan gerakan Islam transnasional,
yaitu gerakan yang bentuk ideologi, target perjuangan, dan anggotanya
tumbuh di berbagai negara di belahan bumi ini. Sedangkan FPI, MMI,
dan Laskar Jihad adalah gerakan lokal Indonesia bukan gerakan trans-
nasional. Jika JI, HTI dan Al-Qaedah tumbuh dan menyebar di Pakistan,
Afghanistan, Syiria, Indonesia dan beberapa negara Eropa, maka MMI,
LJ dan FPI hanya ada di Indonesia saja
Ada fenomena baru dalam kehidupan agama, sosial, dan politik
di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto beberapa
tahun silam. Gerakan-gerakan radikal, fundamentalis, trans-nasional
dalam Islam yang di era Soeharto bergerak di bawah tanah menjadi
bermunculan ke permukaan. Di antara mereka ada gerakan yang dalam
aspek kehidupan beragama, dakwah dan sosial mengedepankan cara-cara
kekerasan seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad (LJ), Jamaah
Islamiyah (JI), al-Qaedah, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ada
pula gerakan yang tidak mengedepankan cara-cara kekerasan dalam
berdakwah namun gerakan ini mempunyai target perjuangan politik
sangat radikal yaitu mengubah falsafah dan dasar negara serta sistem
demokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu gerakan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Laskar Jihad adalah milisi terlatih memiliki pengalaman tempur.
Banyak di antara mereka yang berpengalaman dalam penggunaan senjata
api dan bahan peledak. Kemampuan mereka menyamai orang militer.
Ada juga anggota Laskar Jihad yang merupakan anak-anak muda berusia
belia. Laskar Jihad memotivasi mereka berjihad untuk ingin mati sahid.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 249


Tidak ada ketakukan di dalam diri mereka akan kematian (Wawancara
Laksda TNI Pur Didi Setiadi).
Masuknya pasukan Laskar Jihad menyebabkan konflik Maluku
mendapat sorotan Internasional. Berbagai NGO, dan organisasi agama
Kristen meminta kepada dunia Internsional, khususnya PBB, Amerika
Serikat untuk ikut campur dalam konflik yang terjadi di Maluku karena
dinilai telah terjadi pelanggaran HAM berat.
Untuk menghindari intervensi PBB dan Amerika serikat dalam
konflik Ambon, pemerintah berinisatif melakukan perundingan damai
secepatnya. Presiden Kemudian mengutus Menko Kesra Jusuf Kalla dan
Menko Polhukam Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono ke Maluku untuk
menyelesikan Konflik Ambon. Menyelesaikan konflik Ambon tidaklah
mudah, banyak pihak yang telah diuntungkan dalam konflik Ambon.
Mereka merasa nyaman mendapatkan manfaat ekonomi yang timbul dari
munculnya konflik. Konflik Ambon juga memberikan peran sosial baru
bagi para tokoh agama yaitu sebagai panglima perang. Mereka muncul
sebagai figur pengaruh dalam masyarakat (Moh Sholehuddin: 2013).
Pelibatan tokoh agama dalam pendekatan kultural untuk menangani
konflik bukan tanpa alasan yang kuat. Pertama, konflik pada umumnya
tidak terjadi tanpa dukungan konteks interrelasi sosial yang mengitarinya.
Dalam konteks seperti itu, tokoh agama umumnya merupakan aktor
sosial yang menduduki posisi strategis yang dapat memobilisasi pihak-
pihak yang berkonflik untuk bersama-sama menciptakan ruang damai
sesuai dengan logika mereka sendiri atau bahkan mengobarkan konflik.
Salah satu faktor yang mendamaikan konflik adalah tokoh agama.
Tidak semua tokoh agama memiliki presepsi yang sama dalam
menyelesaikan konflik. Ini bukan berarti mereka tidak mau berdamai,
tetapi mereka kehilangan kepercayaan untuk berdamai. Mereka selama
ini melihat perdamaian yang dibangun selalu mengalami kegagalan dan
diikuti oleh insiden baru yang mengakibatkan korban jiwa.
Pada saat konflik awal, pemerintah daerah di bawah kepemimpinan
Gubernur Maluku, Ir. Saleh Latuconsina, berusaha melibatkan tokoh

250 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


agama dan tokoh masyarakat dalam melakukan mediasi perdamaian.
Langkahh awal yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah membangun
rasa saling percaya di antara tokoh agama dan menghilangkahn rasa
kecurigaan. Proses dialog yang dilakukan antara tokoh agama dan
tokoh masyarakat perlahan-lahan mulai membuahkan hasil yaitu mulai
terbangunnya kesadaran bersama bahwa konflik Maluku bukanlah
konflik yang terjadi secara natural tetapi ada campur tangan yang tidak
terlihat dan ikut mendesain konflik ini dengan berbagai kepentingan
politik, sosial, ekonomi dan sumber daya alam. Agama hanya alat yang
digunakan untuk menggerakan konflik dalam masyarakat.
Banyaknya aktor yang bermain dalam konflik Maluku menyebabkan
sulitnya menyelesaikan konflik Maluku. Banyak tokoh yang muncul dalam
konflik Maluku, baik tokoh adat, masyatakat, agama, dan para panglima
perang lapangan. Di dalam suatu komunitas agama yang memiliki banyak
tokoh, masing-masing di antara mereka dapat menyatu tetapi terkadang
juga dapat berbeda jalan. Saat pemerintah mengusulkan perdamian
damai di Maluku, muncul pro kontra dalam internal komunitas agama,
ada yang setuju ada yang tidak setuju. Kubu setuju terhadap perjanjian
damai di cap sebagai penghianat dan pengecut. Panglima Laskar Jihad,
Ustadz Jafar Umar Talib, menyatakan menolak perundingan damai yang
digagas oleh pemerintah.
Langkah awal dilakukan oleh pemerintah untuk menyatukan para
ulama di Maluku dengan jalan melakukan musyawarah yang melibatkan
para ulama dari tingkat desa dan kabupaten. Mereka melakukan pertemuan
di Masjid Raya Al-Fatah untuk menyatukan sikap bersama tentang
perundingan damai. Para ulama-ulama se-Maluku mendirikan organisasi
Badan Imara Muslim Maluku dan di ketuai oleh Ustadz Ali Fauzi yang
merupakan tokoh senior Muhammadiyah. Badan Imara Muslim Maluku
bertujuan menyatukan para ulama lokal untuk membangun kesadaran
menyelesaikan konflik Maluku melalui perundingan damai.
Setelah terbentuk badan Badan Imara Muslim (BIM) Maluku,
pemerintah membangun ruang dialog damai antara tokoh agama, yaitu

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 251


agama Islam, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik. Berbagai pertemuan
yang dilakukan antara tokoh lintas agama membentuk pemahaman
bersama bahwa konflik Maluku tidak terjadi begitu saja. Konflik Maluku
bukan konflik yang natural namun konflik yang didesain oleh berbagai
kekuatan eksternal untuk kepentingan mereka, baik kepentingan politik,
ekonomi dan sumber daya alam. Masyarakat Maluku dijadikan korban
dari kepentingan kekuatan besar akibat konflik Ambon. Masyarakat di
Ambon mengalami ketertinggalan ekonomi, pendidikan, dan layanan
kesehatan. Salah satu jalan untuk menyelamatkan masyarakat di Ambon
adalah keluar dari konflik dengan cara berdialog secara damai. Pemerintah
daerah bersama pemerintah pusat kemudian menggagas perjanjian
Malino II yang bertempat di Malino, Sulawesi Selatan.

Resolusi Konflik dalam Perjanjian Malino


Perjanjian Malino II digagas oleh Menko Kesara Jusuf Kalla. Isi dari
perjanjian Malino itu sendiri adalah konflik Maluku harus diakhiri, perang
dan pembunuhan atas nama agama harus di hentikan, masing-masing
pihak harus menerima perjanjian damai untuk kepentingan bersama
(Wawancara Hadi Basalama. 2022).
Tujuh belas tahun lalu atau pada tanggal 12 Februari 2002 di Malino,
sebuah kota kecil di punggung bukit Sulawesi Selatan (Sulsel), sebanyak
70 warga Maluku bersama pemerintah bertemu (Tripartit). Mereka
menandatangani perjanjian untuk mengakhiri konflik kekerasan yang
sudah berlangsung sejak tahun 1999. Peristiwa di Malino disebut sebagai
suatu tonggak sejarah yang dibalut kenang-kenangan. Sebagai peristiwa
sejarah, Malino telah menjadi sebuah titik balik yang menuntun kita dari
sebuah kancah perang menuju damai. Sebagai peristiwa penuh kenangan,
Malino dengan suasana batin perundingan tidak hanya menjadi milik
wakil-wakil negara dan 60 warga Islam-Kristen Maluku melainkan juga
seluruh elemen pemerintah dan seluruh rakyat Maluku yang diwakili.
Hasil pertemuan Malino adalah ditandatanganinya sebuah perjanjian
dan bukan sekedar pernyataan atau deklarasi. Perlu diingat pula, bahwa
pemerintah bertanda tangan bukan sebagai saksi yang gembira ketika dua

252 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


kelompok yang bertikai telah mencapai kesepakatan melainkan sebagai
pihak yang turut membuat perjanjian. Hal ini berbeda dengan perjanjian
Malino I yang hanya mengikat dua pihak, yaitu Islam dan Kristen Sulawesi
Tengah, sedangkan perjanjian Malino II dibuat bersama dan mengikat
tiga pihak yaitu agama Islam, agama Kristen Maluku, serta pemerintah
(Jumidi Elewahan, Ilmiawan Mubin: 2019).
Perjanjian Malino II, bukan hanya antara komunitas agama Islam dan
Kristen, tetapi melibatkan pemerintah di dalamnya. Pemerintah ikut turut
ambil bagian di dalamnya sebab pemerintah harus ikut bertangungjawab
terhadap kerusuhan di Ambon dan Maluku termasuk ikut mengawal
kesepakatan damai dan pembangunan Maluku kembali (Wawancara
Pastor Agus 2022).
Dalam banyaknya upaya perdamaian, tokoh Muslim Indonesia
melakukan negosiasi dengan tokoh berbeda agama dan etnis dengan
pendekatan lintas budaya untuk kepentingan bersama. Mereka masing-
masing melakukan persuasi terhadap komunitas masing-masing baik
sebelum negosiasi maupun setelah dilakukan kesepakatan damai. Mereka
adalah mediator bagi komunitas yang terlibat konflik. Tokoh adat dan
agama dalam upaya perdamaian Malino II dan beberapa kesepakatan adat
Pela Gandong di Maluku melakukan persuasi dan negosiasi. Representasi
Muslim menginginkan pembaharuan kesepakatan damai secara adat
(panas pela) tanpa melanggar rambu-rambu agama (Badrus Sholeh : 2013).
Selepas perjanjian Malino II, kondisi Ambon dan Maluku berangsur
membaik. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda, memiliki
kesadaran bersama untuk menjaga kerukunan antara umat sehingga
konflik tidak terulang lagi. Konflik tidak membawa manfaat dan tidak
ada pula pihak yang menang dalam konflik semua merasakan kerugian
baik jiwa maupun harta. Maluku adalah provinsi yang multikultur,
berbagai agama hidup berkembang berabad lalu. Islam telah lama ada
sejak jaman kesultanan Ternate dan Tidore yaitu pada abad ke-12.
Masuknya kolonialisme barat membawa agama Nasrani di Maluku.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 253


Meski pengaruh kolonialisme barat di Maluku kuat, Islam masih menjadi
agama masyoritas di Maluku.
Berdasarkan data Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Dukcapil) Kemendagri. Jumlah penduduk yang beragama Kristen
berjumlah 739,37 ribu jiwa atau 39,42% jika dipresentasekan, penduduk
beragama Katolik berjumlah 128,89 ribu jiwa atau 6,87%, agama Hindu
6,17 ribu jiwa atau 0,33 %. 382 atau 0,02% yang beragama Buddha, 10,08
ribu jiwa atau 0,54 % yang mengaut aliran kepercayaan, dan hanya 64
orang yang beragama Konghucu (Databoks).
Tokoh lintas di Maluku sampai saat ini aktif perperan menjaga
kerukunan beragama di Maluku, berbagai pertemuan dialog rutin
mereka lakukan untuk merespon berbagai permasalahan yang muncul
dalam masyarakat terutama menjelang Pilpres, Pilkada, dan pemilihan
legislatif, agama sering dijadikan isu untuk kepentingan politik sesaat
para elit politik lokal dan nasional (Wawancara Jonh Ruhulesen 2022).
Para toko agama di Maluku bbersatu memberikan pesan damai. Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku Abdulah Latuapo, Ketua MPH
Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), Pdt. Elifas Maspaitella, Vikaris
Jenderal Keuskupan Amboina, Pastor Igo Redo, Ketua Walubi Maluku,
Wilhelmus Jauwerissa, dan Ketua Parisada Hindu Dharma Maluku, I
Wayan Sut. Pesan damai yang disampaikan para tokoh agama meliputi
empat poin, yang pertama bahwa perdamaian yang sudah dibina selama
ini harus dijaga sebab hanya dengan berdamai semua bisa berjuang
untuk membawa masyarakat Maluku keluar dari keterpurukan serta
menjadi masyarakat yang maju, mandiri, dan berkeadaban. Kedua, para
tokoh agama berpesan agar dialog antar kelompok, antar negeri dapat
didahulukan dalam setiap upaya penyelesaian masalah (Antara News.
Com. 17 Februari 2022).

Simpulan
Konflik Maluku memberikan banyak pembelajaran dari segi akademik
bagaimana komunitas masyarakat berhasil menyelesaikan konflik berisukan

254 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


SARA yang memakan korban jiwa dan kerugian harta benda. Banyak
pihak ikut andil dalam penyelesaian konflik termasuk di dalamnya tokoh
agama. Tulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai peran tokoh
agama dalam penyelesian konflik di Maluku di tahun 1999-2021.
Reaktisas-metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Peneliti mendapatkan data melalui observasi lapangan di lokasi
penelitian di Maluku. Penulis melakukan wawacara dengan berbagai
tokoh agama, lintas agama, para akademisi, tokoh masyarakat, mantan
pejabat pemerintahan, TNI, dan Polri yang memiliki peran selama
berlangsungnya konflik Maluku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh agama memiliki peran
yang strategis dalam penyelesaian konflik di Maluku. Konflik di Maluku,
terutama Ambon yang berlangsung dalam waktu lama dan melibatkan
banyak pihak seperti Laskar Jihad dan berbagai organisasi trans-nasional.
Konflik yang berkepanjangan menyebabkan masyarakat Maluku
mengalami trauma, depresi, kehilangan kepercayaan kepada pemerintah.
Dalam perundingan damai Maluku, pemerintah merangkul tokoh
agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan panglima perang agar dapat
membuka ruang dialog bagi terwujudnya perjanjian damai di Maluku.
Para tokoh agama memiliki peran penting dalam kesepakatan perundingan
damai Malino II. Sebelum dan sesudah reformasi 1998, banyak terjadi
konflik sosial di berbagai wilayah di Indonesia, ada yang tidak berhasil
dicegah namun ada pula yang berhasil dicegah, hal ini dikarenakan
mereka memiliki ketahanan sosial yang kuat.
Kerusahan di Maluku, khususnya Maluku memberikan pembelajaran
yang berharga bahwa perdamaian adalah sesuatu hal yang mahal, maka
dari itu semua unsur masyarakat harus menjaganya termasuknya di
dalamnya, pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda,
dan kalangan perguruan tinggi. Kerusuhan Maluku, melibatkan banyak
pihak di dalamnya, termasuk Laskar Jihad dan kekutan trans nasional,
NGO asing. Oknum TNI dan Polri ikut terlibat dalam konflik Maluku.
Tokoh agama di Maluku memiliki peran yang penting dalam merintis

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 255


perdamian di Maluku. Saat terjadinya konflik, masyarakat kehilangan
kepercayaan kepada pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat. Di
sinilah diperlukannya peran tokoh adat, karena tokoh adat mengambil
peranan yang penting dalam memberikan pemahaman positif kepada
masyarakat.
Tokoh agama saat ini di Maluku selalu membangun komunikasi lintas
agama untuk menghindari perpecahan antara internal umat beragama
maupun eksternal antara umat beragama, terutama menjelang Pemilu
2024, ramai terjadi politisasi agama untuk kepentingan jangka pendek.

Daftar Pustaka
Indrawan, J., Putri, A. T. (2022). )Konflik Ambon Menggunakan
penahapan Konflik Simon Fisher. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik
Volume 4(1). https://doi.org/10.24198/jkrk.v4i1.36608
Supani. (2014). Gerakan Salafi Alumni Laskar Jihad (Studi Kasus Ponpes
Salafi, Al Manshuroh di Desa Munjur Kecaman Kroya Kabupaten
Cilacap). Jurnal Penelitian Agama 15(2), 179-193. 10.24090/jpa.
v15i2.2014.pp179-193
Sholehudin, M. (2013). Ideologi Religio-Politik Gerakan Salafi Laskar
Jihad Indonesia. Jurnal Review Politik 3(1), 46-68.
Elewahan, J., Mubin, I., & Serena, M. Y. (2019). Konflik Maluku dan
Pelaksanaan Perjanjian Malino. Jurnal Kajian, Penelitian, dan
Pengembangan Pendidikan Sejarah, 4(2), 47-51.
Fahham, A. M. (2010). Peran Tokoh Agama dalam Penangan Konflik
Sosial di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Jurnal Kajian, 15(2),
311-341. 10.22212/kajian.v15i2.427
Sholeh, B. (2013). Peran dan Kontribusi Tokoh Islam Indonesia dalam
Proses Resolusi Konflik. Jurnal Kajian KeIslaman, 17(1), 31-38.
Media
Tokoh Agama Menyampaikan Pesan Damai: Antara News.Com. 17
Februari 2022

256 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Wawancara : Informan Tahun 2022
Dr Hadi Basalama MA : Menjabat Pengurus MUI Provinsi Maluku
Dr John Ruhulesen : Menjabat sebagai Ketua Sinode Maluku
Brigita : Aktivis Perdamaian Kemanusian, Suster Katolik MA
Pastor Agus MA : Menjabat sebagai Pastor Keuskupan Ambonina
Laksda TNI Pur Didi Setiyadi :Pernah menjabat sebagai Komandan
Panglan Angkatan Laut Halong

Biografi Singkat Penulis


Abdul Haris Fatgehipon merupakan dosen program studi Pendidikan IPS
Universitas Negeri Jakarta. Saat ini beliau bertugas sebagai wakil dekan
bidnag kamahasiswaan yang juga produktif dalam menulis dan publikasi.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 257


Keragaman Agama &
Multikulturalisme di Indonesia:
Beberapa Tantangan

Muhamad Ridwan Effendi


Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
Email: muhamadridwan@unj.ac.id

Pendahuluan
Indonesia adalah sub-wilayah yang beragam dan berlapis-lapis di kawasan
Asia yang terdiri dari berbagai negara dengan etnis, bahasa, budaya, dan
masyarakat yang berbeda. Selain itu, di antara negara-negara Asia Tenggara,
Indonesia berbagi karakteristik sosial-budaya yang khas mengenai bahasa,
ras, agama, budaya, dan orang yang berbeda. Indonesia, Malaysia, dan
Singapura adalah negara Asia Tenggara yang paling beragam, secara
etnis, bahasa, agama, budaya, sosial, dan politik. Tetapi mereka bervariasi
dalam cara yang berbeda dan berurusan dengan keragaman dengan cara
yang berbeda. Indonesia, sebagai wilayah dalam batas-batas geografis
dan pola budaya tertentu, dalam sejarahnya, adalah masyarakat yang
beragam budayanya.
Keragaman budaya di Indonesia sebagai bagian dari kawasan Asia
Tenggara telah berkembang karena kontak budaya melalui perdagangan
dan kegiatan lintas daerah, baik dalam praktik sosial, ekonomi, politik,
dan budaya. Fakta sejarah ini menggambarkan bahwa masyarakat
Indonesia terbiasa hidup berdampingan dalam keberagaman. Namun,
karena kolonialisme dan menguatnya globalisasi di wilayah ini, fanatisme
budaya masing-masing kelompok menguat. Akibatnya, setiap kelompok
mencoba menunjukkan bahwa identitas diri dan kelompok mereka lebih
unggul daripada kelompok lain.

258 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Dalam masyarakat global saat ini, fakta historis-kolonial multikul-
turalisme di Indonesia dapat dilihat dari pemikiran para pendiri bangsa,
yang sangat relevan. Ada revitalisasi dan modifikasi dari ide-ide di atas
tentang menghormati keragaman dalam bentuk penghormatan terhadap
perbedaan budaya. Multikulturalisme adalah pemahaman dari luar yang
dapat melintang budaya dengan pengalaman berbagai pendiri republik
ini untuk melahirkan masyarakat sipil yang demokratis, menghormati
hak-hak asasi manusia berikut dari budaya tersebut.
Keberagaman diharapkan terjadi dalam persatuan untuk mencapai
bangsa yang kuat dan mensejahterakan rakyatnya. Jejak sejarah pemikiran.
Hal ini tercermin dari konsep Bhinneka Tunggal Ika yang sudah ada jauh
sebelum Indonesia merdeka dan berlanjut hingga sekarang.
Beberapa pertanyaan lain yang dapat digali lebih jauh, antara lain:
Bagaimana pengalaman multikulturalisme di Asia Tenggara, khususnya
Indonesia, Malaysia, dan Singapura? Bagaimana konstruksi identitas
budaya di Asia Tenggara dalam multikulturalisme? Apa masalah
multikulturalisme yang dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara,
terutama Indonesia, Malaysia, dan Singapura, mengenai diskriminasi
minoritas dan kebebasan beragama? Apa tantangan multikulturalisme
di Asia Tenggara? Dll.

Pembahasan
Isu Keragaman Agama di Indonesia
Ketika Indonesia merdeka, rakyatnya dikenal sebagai warisan kolonial
sebagai masyarakat majemuk. Masyarakat ini merupakan peninggalan
sejarah sebelum kemerdekaan, yaitu sejak zaman Hindia Belanda.
Masyarakat majemuk pada masa itu didefinisikan oleh Furnivall (1944)
sebagai masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur hidup sendiri
tanpa bercampur dalam satu kesatuan politik. Sebagai masyarakat
majemuk, Indonesia dipandang sebagai komunitas tropis di mana mereka
yang memegang kekuasaan dan mereka yang memerintah memiliki
perbedaan ras.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 259


Konsepsi Furnivall sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat
majemuk Indonesia pasca kemerdekaan, apalagi dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia saat ini. Dapat dilihat dari perwujudannya bahwa
konkretnya adalah tidak adanya ras minoritas yang mendominasi ras
mayoritas.
Meski begitu, menurut Nasikun (1985:35), konsepsi Furnivall masih
merupakan kesinambungan mereka pada saat ini. Masyarakat dikatakan
jamak jika secara struktural memiliki sub-sub yang beragam. Masyarakat
seperti itu ditandai dengan kurang berkembangnya sistem nilai atau
konsensus oleh semua anggota masyarakat, oleh pengembangan sistem
nilai unit-unit sosial yang menjadi bagiannya. Para anggota unit-unit
sosial ini mematuhi sistem nilainya dengan kuat dalam bentuknya yang
relatif murni. Dalam situasi ini, sering ditandai oleh konflik sosial, atau
setidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara
unit-unit sosial tempat mereka menjadi bagiannya. Beberapa masalah
konflik didasarkan pada perbedaan keyakinan agama, seperti dalam
kasus di bawah ini.
Yang pertama adalah Kasus Tanjung Balai (Buddhisme & Cina).
Kasus patung Buddha Amithaba yang diturunkan dari Vihara Tri Ratna
di Tanjung Balai pada 28 Oktober 2016 dianggap sebagai ancaman bagi
keberagaman karena pemindahan patung itu tidak perlu. Lagi pula, itu
di lokasi rumah ibadah.
Seperti yang disampaikan oleh SETARA Institute, kasus ini telah
menunjukkan bahwa aparatnya tunduk pada kelompok intoleran, dan
hal semacam ini akan selalu muncul di tempat lain jika pemerintah tidak
menawarkan ketegasannya untuk melindungi kelompok minoritas. Seperti
di Tanjung Balai, setiap kelompok agama memiliki wewenang untuk
mempraktikkan agama mereka dan menciptakan rumah ibadah yang
nyaman bagi mereka. Patung Buddha ditemukan setelah tekanan dari
organisasi masyarakat yang didukung oleh pemerintah kota Tanjung Balai,
MUI, dan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) memprotes

260 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


karena mereka mengira orang-orang di seberang sungai Asahan secara
tidak langsung menghadap patung ketika berdoa.
Kedua, Kasus Pilkada DKI Jakarta. Munculnya kasus penistaan agama,
dan gerakan protes damai 212, telah memotivasi umat Islam untuk memilih
pemimpin yang seagama, diduga menjadi faktor utama yang mendorong
terpilihnya Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta
dalam Pilkada 2017. Meskipun demikian, politik identitas komunitas
Muslim di DKI Jakarta didasarkan pada agama dan, pada prinsipnya,
diperlukan untuk budaya politik. Sementara itu, pola identitas politik
masyarakat muslim di DKI Jakarta berupa Ukhuwah Islamiyah dan lebih
berkaitan dengan faktor budaya dan agama. Mereka diwujudkan dalam
bentuk keaktifan untuk berhasil berkampanye, menggerakkan komunitas
muslim sebagai politik identitas dan mendukung kemenangan pasangan
Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Dengan demikian, Aksi
Bela Islam telah menunjukkan keterlibatannya dalam arena politik yang
bergejolak, dan proses ini telah membentuk karakter situasi politik yang
terjadi di Pilkada DKI Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan
bahwa proses demokrasi yang sedang berlangsung telah memungkinkan
munculnya identitas agama di Pilkada DKI Jakarta.
Ketiga, kasus Sampang, Jawa Timur (Syi’ah). Jawa Timur didominasi
oleh NU, seorang pejuang Islam moderat, tetapi sejak 2013 komunitas
Syiah telah mengalami peningkatan diskriminasi. Seperti dapat dilihat
dari kumpulan fatwa selama persidangan Tajul Muluk, ketua komunitas
Syiah dari Sampang, kantor MUI di semua kabupaten di Jawa Timur,
kecuali Bondowoso, mengeluarkan fatwa terhadap komunitas Syiah.
Tentu saja, marginalisasi semacam itu tidak perlu karena bisa relatif
atau kemungkinan yang diantisipasi atau ditakuti di masa depan. Salah
satu korban perselisihan ini adalah anak-anak yang, meskipun mereka
masih kecil, akan mengganggu kelangsungan hidup mereka di masa
depan. Gerakan-gerakan ini perlu dihentikan sebelum menjadi lebih
besar.” Banyak korban serangan dan penggusuran oleh komunitas Syiah
di Sampang, Madura, terpaksa tinggal di tempat penampungan di Puspa

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 261


Agro, Sidoarjo, sejak Juni 2013. Beberapa bahkan telah dipenjara, seperti
Tajul Muluk, yang dipenjara selama dua tahun karena keyakinannya.
Keempat, Ahmadiyah dalam kasus Mataram. Sekitar 139 Ahmadi telah
tinggal di Asrama Transito, sebuah kamp pengungsi, di Nusa Tenggara
Barat selama bertahun-tahun setelah massa Muslim menghancurkan
rumah mereka, menjarah harta benda mereka, dan membakar masjid
mereka pada tahun 2006. Meskipun mereka adalah warga negara Indonesia,
kehidupan mereka seperti orang tanpa kewarganegaraan. Dan pada
tanggal 6 Februari 2011, tiga Ahmadi tewas paling mengerikan dalam
serangan terhadap sebuah rumah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Para
korban ditelanjangi dan dipukuli dengan parang (parang), batu, dan
pentungan kayu.

Ideal: Keberagaman & Multikulturalisme sebagai Fondasi


Indonesia Kosmopolitan
Multikulturalisme kosmopolitan berusaha menghapus batas-batas budaya
untuk menciptakan masyarakat di mana setiap orang tidak lagi terikat pada
budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen
antarbudaya dan secara bersamaan mengembangkan kehidupan budaya
setiap orang dalam kelompok sosial. Dalam multikulturalisme di Indonesia,
kami mengakui dan menghormati perbedaan sosial dan unsur-unsur
latar belakang budaya kami sebagai berkah, hadiah, kekayaan, hadiah.
Kami tidak melihat atribut identitas kami yang berbeda sebagai ancaman
atau bencana sosial. Jadi dalam masyarakat multikultural, Indonesia
didasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika,
yang multikultural, yang mendasari struktur masyarakat Indonesia di
tingkat nasional dan lokal.
Kesadaran multikultural sangat penting untuk dimiliki, terutama
ketika berinteraksi dengan orang-orang yang penuh keragaman.
Menurut Oparah (2006), individu yang sadar akan keragaman dapat
mengembangkan sikap penerimaan, keterbukaan, dan penghormatan
terhadap perbedaan. Menurut pendapat saya, jika itu adalah masalah
minoritas yang masih bermunculan, selama masalah Syiah dan

262 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Ahmadiyah belum terselesaikan, masih banyak pekerjaan yang harus
dilakukan masyarakat untuk pemerintah Indonesia. Selama masalah
Syiah Sampang, Ahmadiyah Transito, dan kasus-kasus minoritas lainnya
belum terselesaikan, maka agama kita tidak bisa disebut ideal.
Peran generasi muda dalam merespon keragaman kelompok sosial
dalam masyarakat multikultural adalah menghargai dan menerima
perbedaan lingkungan kita dalam hal perilaku, budaya, agama, dan ras.
Upaya yang dapat dilakukan generasi muda dalam menciptakan integrasi
sosial dalam masyarakat multikultural di Indonesia adalah menumbuhkan
sikap toleransi, saling pengertian, dan menghargai perbedaan antar
kelompok masyarakat dan menyadari bahwa kelompok masyarakat saling
membutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya.

Batas Toleransi
Toleransi beragama menjadi penting karena dengan toleransi beragama,
persatuan bangsa dan negara dapat terwujud. Ibadah tidak dapat
dilakukan dengan damai tanpa toleransi antar umat beragama. Kesabaran
dapat menjaga humas agar tetap harmonis di tengah perbedaan. Sikap
toleransi, kenyamanan dan kemudahan dalam masyarakat akan tertahan
tanpa konflik karena perbedaan yang spesifik. Toleransi bertujuan untuk
mencegah perpecahan karena banyak perbedaan.
Dengan sikap toleransi, konflik dan perpecahan antara individu dan
kelompok tidak akan terjadi. Banyak orang menyebut toleransi sebagai
kunci utama perdamaian yang harus dijaga. Hal ini penting untuk
diperhatikan, mengingat masyarakat Indonesia memiliki latar belakang
yang beragam, mulai dari kepercayaan, suku, ras, hingga warna kulit. Lebih
lanjut Taufiq menambahkan bahwa salah satu bentuk toleransi adalah
toleransi beragama, yaitu sikap saling menghormati dan menghargai antar
pemeluk agama lain, seperti tidak memaksa orang lain untuk mengikuti
keyakinan kita, tidak mengkritik/menghina agama lain dengan alasan
apapun, tidak melarang atau mengganggu orang yang berbeda agama
untuk beribadah menurut agama/kepercayaan masing-masing.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 263


Menurut Jeremy Menchik (2016, 67), dalam kasus Ahmadiyah,
“Ahmadiyah, tampaknya, menandai batas ‘merek Islam yang umumnya
toleran’ di Indonesia yang banyak dipuji ... Kampanye melawan Ahmadiyah
adalah bagian dari upaya yang lebih luas oleh masyarakat sipil dan negara
untuk membentuk bangsa melalui kepercayaan kepada Tuhan.
Toleransi beragama begitu penting sehingga perlu terus dikampanyekan,
seperti hubungan antara agama dan budaya dalam ras Melayu identik
dengan Islam—masih, berbagai versi Islam di Indonesia & dunia Melayu.
Masalah toleransi bukan hanya koeksistensi timbal balik antara Muslim dan
non-Muslim yang perlu dipelajari tetapi juga koeksistensi di antara berbagai
kelompok Muslim. Demikian juga, dengan beberapa pengikut Muslim
“non-ortodoks”, perlakuan terhadap komunitas itu akan menentukan
“kosmopolitanisme” kita, yang nantinya akan membentuk “Empati-
Internal” vs “Empati-Eksternal” dalam komunitas Muslim Indonesia.

Agama/ Kepercayaan Pribumi


Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat di Indonesia sangat beragam.
Hal ini dikatakan oleh S. Takdir Alisyahbana (1975) bahwa, jauh sebelum
proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, penduduk
Indonesia, yang disebut masyarakat Nusantara kuno, telah menganut
berbagai kepercayaan. Pikiran mereka pada waktu itu terutama tertuju
pada bagaimana mereka akan mendapatkan bantuan dari roh-roh jahat.
Untuk semua ini, upacara dilakukan, membuat persembahan.
Pernyataan ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia pada
umumnya adalah masyarakat yang religius. Mereka sudah memiliki
kepercayaan yang dianut nenek moyangnya, sehingga kepercayaan tersebut
tidak hilang seiring dengan siklus waktu yang panjang dan perubahan
era selain kedatangan agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Namun,
praktik semacam itu tetap dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Ini
membuktikan telah terjadi “sinkronisasi” antara kepercayaan asli nenek
moyang Indonesia dan agama-agama selanjutnya.

264 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Selain keragaman dalam Islam, Indonesia dan Dunia Melayu memiliki
ratusan agama asli. Secara merendahkan, mereka sering disebut paganisme,
animisme, dinamisme, dll. Di Indonesia: Parmalim, Kaharingan, Sunda
Wiwitan, Perdjalanan, Marapu, Sapto Darmo, Sumarah, Kebatinan
Perjalanan, Kawruh Jawa Dipa, Paguyuban Penghayat Kapribaden,
Peguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), dll. Sedangkan Malaysia:
Momolianisme (Sabah).

Gerakan Keagamaan Non-Mainstream & Baru


Pembahasan gerakan Islam non-mainstream sangat bermakna karena
ketika era reformasi muncul, salah satu kekuatan sosial yang tidak
terduga adalah menjamurnya gerakan-gerakan Islam baru di Indonesia.
Gerakan-gerakan ini tumbuh di luar arus utama gerakan Islam Indonesia.
Kemunculannya cukup mencengangkan karena model gerakannya
menarik minat sebagian kalangan Islam di Indonesia.
Gerakan keagamaan baru atau GAB adalah istilah yang digunakan
untuk merujuk pada keyakinan agama atau tindakan etis, spiritual, atau
filosofis yang masih baru dan bukan bagian dari sekte agama atau agama
yang didirikan lembaga. Istilah GAB mencakup berbagai kegiatan, mulai
dari afiliasi kendur berdasarkan pendekatan baru terhadap spiritualitas atau
agama hingga upaya komunitarian yang menuntut kesesuaian kelompok
yang cukup besar dan identitas sosial yang memisahkan penganutnya
dari masyarakat pada umumnya. Penggunaannya tidak diterima secara
universal di antara kelompok-kelompok, mengingat istilah ini.
Gerakan keagamaan baru adalah gerakan yang bukan tanpa sebab
dan memiliki sejarah sosial yang kosong. Ini adalah hasil dari penyebab
yang sangat panjang dan bervariasi melelahkan. Ada beberapa alasan
utama mengenai latar belakang kemunculannya, seperti latar belakang
pergolakan sosial progresif postmodernisme, adanya krisis kemanusiaan,
mulai dari krisis diri, keterasingan/keterasingan, depresi, stres, rusaknya
institusi keluarga, perasaan tidak nyaman psikologis, sarat teror, konflik
dan kekerasan, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap institusi
keagamaan formal, dan penguatan semangat konservatisme Islam, yang

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 265


mengarah pada sensitivitas berlebihan dan militansi terhadap agama
(fundamentalisme), membuka ruang kebebasan berekspresi interpretasi
dan pemahaman spiritual yang sering disebut sebagai ideologi agama
liberalisme dan transformasi spiritual mistik.
Agama-agama di Asia Tenggara tidak hanya Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Konghucu, dan ada juga pengikut Yudaisme, Baha’i,
Sikh, Jainisme, Taoisme, dll. Kita melihat pengikut “Gerakan Keagamaan
Baru” seperti Sai Baba, Anand Ashram, Brahma Kumaris, Lia Eden,
Gafatar, dll.

Nubuatan tentang Islam Indonesia


Tujuan utama membesarkan seorang nabi adalah untuk menghidupkan
kembali iman kepada Allah yang Hidup di dalam hati manusia. Para nabi
menggunakan berbagai metode untuk mencapai tujuan ini, termasuk
menyampaikan nubuat. Nubuat berarti meramalkan peristiwa-peristiwa
yang akan terjadi, biasanya melalui perantaraan satu atau lebih nabi. Di
sisi lain, seseorang yang mendapat nubuat dapat mengaku sebagai nabi.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia. Islam diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali
pada abad ketujuh Masehi. Pada abad-abad berikutnya, kerajaan-kerajaan
Hindu seperti Pajajaran, Sriwijaya, dan Majapahit semakin lemah dan
akhirnya runtuh dan menghilang, digantikan oleh munculnya kerajaan
Islam. Islam kemudian berkembang pesat.
Dengan penyebaran Islam, bangsa Indonesia bebas dari penyembahan
berhala dan pendewaan raja-raja. Selain itu, mereka dapat menikmati
hak-hak dasar yang dirindukan oleh setiap manusia dalam bentuk
kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Persatuan antar suku bangsa
seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan
sebagainya dapat diwujudkan dalam satu forum nasional yang vital.
Motto yang dijunjung tinggi adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi
tetap satu. Kejayaan Islam di Indonesia juga merupakan manifestasi dari

266 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


penggenapan nubuatan atau ramalan Al-Qur’an mengenai kemenangan
Islam.

Tantangan Kosmopolitan Indonesia


Sejak Reformasi tahun 1998, Indonesia telah mengalami peningkatan
religiusitas. Lebih banyak orang melekatkan diri pada agama seperti yang
ditunjukkan oleh frekuensi mereka melakukan shalat, niat untuk pergi haji,
preferensi untuk mengenakan jilbab dan membeli produk dan layanan
halal. Dengan meningkatnya religiusitas ini, ada juga kecenderungan
peningkatan eksklusivisme politik yang ditunjukkan oleh dukungan untuk
menerapkan anggaran rumah tangga syariah di beberapa kabupaten dan
provinsi dan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap melakukan
penistaan terhadap Islam. Beberapa kelompok bahkan mempromosikan
konsep politik sektarian seperti “Pancasila Bertauhid”, “NKRI Bersyariah”,
dan “Demokrasi Wasatiyyah” memprioritaskan Islam di atas agama-agama
lain dan secara bertahap menjadi Islam agama resmi Indonesia. Fenomena
ini memiliki implikasi khusus bagi dinamika kewarganegaraan di negara
ini. Dengan melihat empat kasus, yaitu Meliana di Tanjung Balai, Ahok
di Jakarta, Syi’ah di Sampang, dan Ahmadiyah di Mataram, artikel ini
bermaksud untuk melihat dampak dari munculnya eksklusivisme politik
terhadap demokrasi dan kewarganegaraan Indonesia. Ia berpendapat bahwa
tren religiusitas saat ini telah mendorong perspektif mayoritas di antara
beberapa Muslim dan membatasi dan membedakan kewarganegaraan
di antara kelompok-kelompok agama minoritas.
1. Kewarganegaraan Terbatas
“Tindakan yang dilakukan oleh aktor negara dan non-negara untuk
membatasi – melalui cara-cara kekerasan atau non-kekerasan –
kemampuan minoritas agama untuk mencapai hak dan perlindungan
yang dijamin secara formal” (Soedirgo, 2018: 191)

2. Minoritas
“Jika Anda menggunakan istilah ‘minoritas’ dan tidak menentukan
siapa yang Anda bicarakan, orang menganggap Anda mengacu pada
orang Afrika-Amerika” (Berbrier 2004, 41).

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 267


“Di Eropa, istilah minoritas biasanya diterapkan pada sekelompok orang
yang tinggal di tanah yang telah mereka tempati sejak dahulu kala,
tetapi yang, melalui perubahan batas-batas, telah menjadi bawahan
politik” (Schermerhorn 1959, 179; Killian 1996, 20).

“Orang-orang minoritas Amerika Serikat berjuang untuk status dalam


masyarakat yang lebih besar; minoritas Eropa terutama berjuang
untuk kemerdekaan darinya” (Gleason 1991, 397).

Louis Wirth: “Minoritas secara obyektif menempati posisi


yang tidak menguntungkan dalam masyarakat. Berbeda dengan
kelompok dominan, mereka dihalangi dari peluang ekonomi, sosial,
dan politik. Perampasan ini membatasi kebebasan individu untuk
memilih dan pengembangan diri. Anggota kelompok minoritas
dijunjung rendah dan bahkan mungkin menjadi objek penghinaan,
kebencian, ejekan, dan kekerasan. Mereka umumnya terisolasi secara
sosial dan sering dipisahkan secara spasial. Posisi bawahan mereka
terwujud dalam akses mereka yang tidak setara terhadap kesempatan
pendidikan dan ruang lingkup kemajuan pekerjaan dan profesional
mereka yang terbatas. Mereka tidak dapat diakses seperti anggota
masyarakat lainnya untuk bergabung dengan asosiasi sukarela yang
mengekspresikan minat mereka. Mereka menderita lebih dari sekadar
ketidakamanan sosial dan ekonomi biasa. Bahkan ketika menyangkut
kebijakan publik, mereka sering dipilih untuk perlakuan khusus;
hak milik mereka dapat dibatasi; mereka mungkin tidak menikmati
perlindungan hukum yang setara; Mereka mungkin dirampas hak
pilihnya dan dikeluarkan dari jabatan publik.
3. Marjinalisasi
“Marginalisasi semacam itu bisa relatif atau hanya kemungkinan
masa depan yang diantisipasi atau ditakuti.”

BJP adalah kelas menengah dan atas, tetapi mereka tampaknya


takut akan masa depan mereka karena globalisasi. Mereka mewakili
“ideologi mayoritarian, chauvinistic, anti-minoritas supremasi Hindu”
(Bhatt 2001, 1; Karner dan Aldridge 2004, 17).

268 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Selama FGD (Focus Group Discussion) dengan pejabat peme-
rintah dan tokoh agama di Medan, di antaranya dari MUI (Majelis
Ulama Indonesia) dan FKUB (Forum Komunikasi Lintas Agama),
menyebut keberadaan patung Buddha Amitabha di lantai lima Candi
Tri Ratna sebagai sumber kebencian, kecemburuan, dan antipati
komunal terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka mengklaim bahwa
patung itu telah mengambil alih atau menaungi Tanjung dan masjid
sebagai ikon utama Tanjung Balai dan bahwa itu telah mengerdilkan
masjid dan bangunan lain di pelabuhan. Seperti Patung Liberty di
New York atau Christ the Redeemer di Rio de Janeiro, patung ini
dapat dilihat dari jauh dan menunjukkan kepada pengunjung bahwa
mereka telah tiba di Tanjung Balai.
4. Identitas Agama
5. Globalisasi
“Mencoba untuk menegaskan kembali kendali atas kehidupan (...)
sebagai tanggapan langsung terhadap proses globalisasi yang tidak
terkendali.”

6. Mayoritarianisme
“sikap politik yang menolak jaminan konstitusional atas kesetaraan
semua warga negara dan berpendapat bahwa kelompok dominan dan
norma serta nilainya harus menang” (Jones 2020, 53)

Simpulan
Berdasarkan kajian di atas, keragaman agama merupakan sesuatu yang
diperlukan. Oleh karena itu, tidak perlu diperdebatkan atau menjadi
sumber konflik. Sebaliknya, harus menjadi penguatan dalam membangun
harmoni dan integrasi sosial. Yang pertama adalah Eufemisme Harmoni.
Kondisi politik yang paling menguntungkan bagi munculnya diskriminasi
terhadap minoritas agama tampaknya adalah ketika harmoni adalah
eufemisme untuk jenis [sistem politik] yang tidak cukup kuat untuk
menekan kelompok-kelompok radikal atau bersedia mengkompromikan
hak-hak minoritas agama untuk menghentikan ancaman dari garis

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 269


keras / dengan alibi menciptakan ketertiban / mencegah kekacauan atau
pertumpahan darah.
Kedua, kebajikan palsu. “Dengan menghentikan atau membatasi
kegiatan minoritas agama, kita dapat mencegah korban. Dengan
mengorbankan kebebasan beragama mereka, kita dapat menciptakan
harmoni. Kita dapat mengembangkan Sampang yang harmonis-homogen
dengan menggusur komunitas Syiah dari Sampang lagi. Dengan melarang
Hari Asyura di Bogor, kita dapat menghindari pertumpahan darah dan
konflik horizontal”.
Ketiga, Mayoritarianisme &; Kewarganegaraan Bertingkat. Dimana
bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Ini berarti “di mana pun tanah
berdiri, langit menjunjung tinggi”, tetapi lebih dekat dengan makna “Di
mana pun kita tinggal, kita harus mematuhi adat setempat”. Ini setara
dengan pepatah Inggris: Ketika di Roma, lakukan seperti yang dilakukan
orang Romawi.
Dan keempat, Syari’atisasi Negara. Di antara fitur kebangkitan reli-
giusitas di Indonesia adalah promosi industri halal dan ekonomi syariah
oleh pemerintah. Mereka bisa membantu perekonomian nasional. Itu
bisa membuat Indonesia menjadi pusat negara-negara Muslim. Namun,
industri halal & ekonomi syariah juga bisa menjadi alat untuk diskrimi-
nasi struktural terhadap minoritas, membuat minoritas lebih dibatasi.
Kekhawatiran saat ini terutama terkait dengan “komodifikasi kesalehan”.

Daftar Pustaka
Burhani, A. N. (2007). Pluralism, Liberalism, and Islamism: Religious
Outlook of the Muhammadiyah Islamic Movement in Indonesia.
Faculty of Humanities, University of Manchester.
Burhani, A. N. (2019). Between Social Services and Tolerance: Explaining
Religious Dynamics in Muhammadiyah. ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Burhani, A. N. (2020). Muslim televangelists in the making: Conversion
narratives and the construction of religious authority. The Muslim
World, 110(2), 154-175.

270 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Burhani, A. N. (2020). Agama, Kultur, (In) toleransi, dan Dilema Minoritas
di Indonesia. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Agama dan
Tradisi Keagamaan. Jakarta: LIPI.
Burhani, A. N. (2020). Ahmadiyah and Islamic Revivalism in Twentieth-
Century Java, Indonesia: A Neglected Contribution. Alternative
Voices in Muslim Southeast Asia: Discourse and Struggles, 199-220.
Effendi, M. R., & Syafrudin, I. (2020). Pertalian Agama Pada Pilkada DKI
Jakarta Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 19(02), 12-27.
https://doi.org/10.21009/jimd.v19i02.14528
Mu’ti, A., & Burhani, A. N. (2019). The limits of religious freedom in
Indonesia: concerning the first pillar Ketuhanan Yang Maha Esa of
Pancasila. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 9(1),
111-134.
Saat, N., & Burhani, A. N. (Eds.). (2020). The new santri: Challenges
to traditional religious authority in Indonesia. ISEAS-Yusof Ishak
Institute.

Biografi Singkat Penulis


Muhamad Ridwan Effendi merupakan dosen yang memiliki kepakaran di
dibidang ilmu Studi Agama-Agama pada program studi pendidikan agama
Islam Universitas Negeri Jakarta. Beliau merupakan dosen lulusan UIN
Sunan Gunung Djati Bandung untuk program studi Studi Agama-Agama.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 271


Memperkuat Benteng Pertahanan
Tradisi dan Penguatan Moderasi
Beragama Melalui Pendidikan
Pesantren

Sa’dullah
Universitas Negeri Jakarta, Indonesia
Email: sadullah@unj.ac.id

Pendahuluan
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi
telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena
radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham
keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai
sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam
telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin menigkat.
Akan tetapi, gerakan-gerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta
tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam. Ada yang sekedar
memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan
“negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya “negara
Islam Indonesia”, disamping itu pula da yang memperjuangkan berdirinya
“khilafah Islamiyah”.
Pola organisasinya juga beragam, mulai dari gerakan moral ideology
seperti Majelis Mujahidin Indonesai (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia serta
yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela
Islam, dan Front Pemuda Islam Surakarta. Meskipun demikian, ada
perbedaan dikalangan mereka, ada yang kecenderungan umum dari

272 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


masyarakat untuk mengaitkan gerakan-gerakan ini dengan gerakan
radikalisme Islam di luar negeri.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting
bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan
Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai
jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan
itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia
adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat
Islam secara keseluruhan.
Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi
perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian
aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif maupun pasif,
banyak berasal dari berbagai kalangan.
Oleh sebab itu perlu adanya upaya dalam rangka menangkal gerakan
radikalisme di Indonesia. Disini peran NU di uji, sejauh mana peran NU
dalam menghadapi gerakan tersebut. Dengan semangat toleransi dalam
menebarkan Islam yang penuh kedamaian serta rahmatan lil Alamin,
penulis yakin NU mampu menghadapi gerakan tersebut.

Pembahasan
Gerakan Radikalisme di Indonesia
Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat
ditelusuri lebih jauh ke belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa
kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan
Islam garis keras era reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang
muncul era 1950- an (tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya
di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan
misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan
DI ini berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal
1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan semacam ini
lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 273


Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron,
kasus Talangsari oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk
mendirikan negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-
gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik
lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya.
Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada
awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi
maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras.
Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok
muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai
biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya
besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan
terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan mereka
terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal dalam politik. Bagi
Kaum radikalis agama sistem demokrasi pancasila itu dianggap haram
hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah kafir taghut (istilah bahasa
arab merujuk pada “setan”), begitu pula masyarakat sipil yang bukan
termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu bersama kelompoknya, kaum
ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam kehidupan
bernegara.
Ada tiga kelompok kekuatan yang mendukung formalisasi syariah:
Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir yang memengaruhi
mahasiswa-mahasiswa dari berbagai belahan dunia yang belajar di
Timur Tengah, khususnya Mesir, Saudi Arabia dan Syiria. Bedanya,
kalau Salafi-Wahaby cenderung ke masalah ibadah formal yang berusaha
“meluruskan” orang Islam. Ikhwan bergerak lewat gerakan usroh yang
beranggotakan 7-10 orang dengan satu amir. Mereka hidup sebagaimana
layaknya keluarga di mana amir bertanggungjawab terhadap kebutuhan
anggota usrohnya. Kelompok ini menamakan diri kelompok Tarbiyah
yang merupakan cikal bakal PKS.

274 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


HT punya konstitusi yang terdiri dari 187 pasal. Di dalamnya ada
program jangka pendek dan jangka panjang. Di sana ditulis, dalam jangka
13 tahun sejak berdirinya (1953), Negara Arab sudah harus menjalankan
sistem Khilafah Islamiyah. TN juga menargetkan, dalam 30 tahun dunia
Islam sudah harus punya khalifah. Ini semua tidak terbukti.
HT masuk Indonesia melalui orang Libanon, Abdurrahman
Al-Baghdadi. Ia bermukim di Jakarta pada tahun 1980-an atas ajakan
KH. Abdullah bin Nuh dari Cianjur. Sebelumnya KH. Abdullah bin Nuh
bertemu aktifis HT di Australia dan mulai menunjukkan ketertarikannya
pada ide-ide persatuan umat Islam dan Khilafah Islamiyah. Puteranya,
Mustofa bin Abdullah bin Nuh lulusan Yordania kemudian juga ikut
andil menyebarluaskan paham HT di wilayah Jawa Barat dan Banten
didukung oleh saudara-saudara dan kerabatnya.
HT membentuk beberapa tahapan dalam menuju pembentukan
Khilafah Islamiah: (1) Taqwim asy-syakhsyiah al-Islamiyah; membentuk
kepribadian Islam. Mereka membagi wilayah, karena gerakan mereka
transnasional, termasuk Indonesia. Tapi sekarang pusatnya tidak jelas di
mana karena di negara asalnya sendiri sangat rahasia, dilarang bahkan
dikejar-kejar. Tapi mereka sudah ada di London, Austria, di Jerman
dan sebagainya. Di Indonesia sendiri, mereka tidak bisa rahasia, karena
negara ini sangat terbuka. Maka kita mengenal tokoh-tokoh seperti
Ismail Yusanto dll. (2) At-taw’iyah atau penyadaran. (3) At-ta’amul ma’a
l-ummah; interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Mereka
membantu kepentingan-kepentingan. Saya dengar di Surabaya, di Unair
dan ITS saja, dalam urunan mereka bisa menghasilkan uang Rp 30 Juta
tiap bulan. (4) Harkatu t-Tatsqif; gerakan intelektualisasi, dan (5) Taqwim
al-daulah al-Islamiah, membentuk Kekuasaan Imperium Islam.
Ijtihad para pemimpin HT sendiri sesungguhnya banyak yang
kontrversial, tetapi karena proses transfer pengetahuannya sangat tertutup
dan ketat, maka kemungkinan besar kader-kader HT tidak mengetahuinya.
Inilah yang membuat kader-kader mereka menjadi radikal.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 275


Tahun 2011, Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian
(LaKIP) dgn responden guru PAI dan siswa SMP Sejadebotabek
menunjukkan potensi radikal yang kuat di klngan guru dan pelajar dgn
indikasi resistensi yg lemah thd kekerasan ats nama agama, intoleransi,
sikap ekslusif serta keraguan thd ideologi Pancasila.
Tahun 2015 Survey Setara Institute thd siswa dari 114 Sekolah Mene-
ngah Umum (SMU) di Jakarta dan Bandung. Dalam survei ini, sebanyak
75,3% mengaku tahu tentang ISIS. Sebanyak 36,2 responden mengatakan
ISIS sebagai kelompok teror yang sadis, 30,2% responden menilai pelaku
kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan 16,9% menyatakan ISIS
adalah pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam.

Pandangan NU terhadap gerakan Radikalisme


Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia
yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah/31 Januari 1926
Masehi, pada awal lahirnya sebagai respon atau counter terhadap paham/
gerakan radikalisme. Motivasi utamanya adalah untuk mempertahankan
paham Ahlus Sunnah Waljamaah (Aswaja). Aswaja merupakan paham
yang menekankan pada aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam berupa keadilan
(ta’âdul), kesimbangan (tawâzun), moderat (tawassuth), toleransi (tasâmuh)
dan perbaikan/reformatif (ishlâhîyah). Nilai-nilai Islam yang dirumuskan
dalam Aswaja itu kemudian dijadikan ke dalam Fikrah Nahdhîyah. Fikrah
Nahdhîyah adalah kerangka berpikir atau paradigma yang didasarkan
pada paham Aswaja yang dijadikan landasan berpikir NU (Khiththah
Nahdhîyah) untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka ishlâh
al-ummah (perbaikan umat).
Dalam sejarah perkembangannya, NU menerima sistem hukum
penjajah dalam keadaan darurat. Karena negara tidak boleh kosong dari
hukum. Selanjutnya, NU berjuang agar hukum yang berlaku di negara ini
bisa menjadikan fikih sebagai salah satu sumber dari hukum nasional kita.
Dari situ, NU ikut ambil saham dalam penerapan UU Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang saat ini berlaku di Indonesia. Tentu
HT belum punya saham dalam memperjuangkan hukum Islam di negara

276 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


nasional ini, sehingga tidak logis jika HT langsung menentang negara
nasional ini gara-gara tidak memberlakukan syariah Islam secara kaffah.
Solusi yang harus dilakukan dalam mencegah meluasnya gerakan
radikalisme agama atau gerakan Islam garis keras, di antaranya adalah
dengan mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Aswaja NU ke dalam
masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan. Aktualisasi berarti
menghidupkan dan mempraksiskan kembali nilai-nilai Aswaja NU dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar mendapatkan
elan vitalnya, manfaat bagi terbangunnya kehidupan yang damai dan
negara Indonesia yang kokoh khususnya, dan perdamaian dunia pada
umumnya.
Dengan cara demikian, diharapkan gerakan Islam garis keras tidak
semakin meluas. Demikikian pula genarasi muda diharapkan menjadi
warga negara yang menjungjung tinggi nilai-nilai Aswaja NU yang
mencerminkan Piagam Madinah dan sekaligus sejalan dengan konstitusi
UUD 1945, falsafah Pancasila dan semboyang Bhineka Tunggal Ika.

Konsep Negara Menurut NU?


NU berdiri tahun 1926 dalam proses menuju pembentukan negara
Indonesia. Sedang HT berdiri ketika nation state di tempat ia berdiri
telah terbentuk, yaitu tahun 1953. Dari segi latar belakang waktu yang
berbeda ini, dipahami bahwa sejak awal NU memberi saham besar
terhadap pembentukan nation state yang kemudian menjadi negara
Indonesia merdeka. Sedang HT berhadapan dengan negara yang sudah
terbentuk. Maka wajarlah, jika HT menganggap bahwa nasionalisme
itu sebagai jahiliyah. Karena mereka anggap menjadi penghalang dari
pembentukan internasionalisme Islam, apalagi nasionalisme tersebut
tidak memberlakukan syariat Islam dan lebih banyak mengadopsi sistem
hukum sekuler Barat.
NU menerima sistem hukum penjajah dalam keadaan darurat. Karena
negara tidak boleh kosong dari hukum. Selanjutnya, NU berjuang agar
hukum yang berlaku di negara ini bisa menjadikan fikih sebagai salah

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 277


satu sumber dari hukum nasional kita. Dari situ, NU ikut ambil saham
dalam penerapan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang saat ini berlaku di Indonesia. Tentu HT belum punya saham dalam
memperjuangkan hukum Islam di negara nasional ini, sehingga tidak
logis jika HT langsung menentang negara nasional ini gara-gara tidak
memberlakukan syariah Islam secara kaffah.
Antara NU dan HTI itu jelas banyak perbedaan prinsip, tapi ada juga
kesamaan. Keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam dalam semua
aspek kehidupan itu sama antara keduanya. Hanya perbedaannya, adalah
bagaimana cara merealisasikannya. NU lebih realistis, sedang HTI utopis.
Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama pada 1-2 Nopember 2014
di Cirebon memutuskan beberapa poin penting sehubungan dengan
khilafah yaitu:
1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak
mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda
pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, namun dalam
bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar (mabadi` asasiyyah). Islam
telah memberikan panduan (guidance) yang cukup bagi umatnya.
2. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena
kehidupan manusia akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya
pemimpin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan para ulama terkemuka,
antara lain:
a. Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` ‘Ulum al-Din:

‫نامأوت كلملاو نيدلا‬، ‫سراح ناطلسلاو لصأ نيدلاف‬، ‫امف‬


‫“عئاضف هل سراح ال امو مودهمف هل لصأ ال‬
Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar.
Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah
pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh,
sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan

b. Syaikh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam s-Siyasah


al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah:

278 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


‫نيدلا تابجاو مظعأ نم سانلا رمأ ةيالو نإ‬، ‫اهب الإ نيدلل مايق ال ذإ‬
Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak
(dalam sebuah pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban
agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya
agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara

Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara


dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi
kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan
sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat.
Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan
menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan
agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran,
kesejahteraan dan keadilan.
Islam melihat substansi negara dengan teritorialnya sebagai tempat
yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi
warganya. Mereka menggunakan ungkapan, Al-‘ibratu bil Jauhar la bil
Mazhhar (Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol
atau penampakan lahiriyah). Khilafah itu memang fakta sejarah, pernah
dipraktikkan di masa Al-Khulafa’ur Rasidyun yang sesuai dengan eranya
di mana kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara
bangsa (nation state). “Pasalnya, perangkat pemerintahan dan kesiapan
masyarakat saat era khilafah masih sederhana. Pada saat itu belum ada
birokrasi yang tersusun rapi seperti sekarang, sehingga dibutuhkan
orang dengan kemampuan lebih dalam pelbagai hal untuk menjadi
khalifah. Sementara sekarang, kondisi masyarakat dan kesiapan pranata
pemerintahan yang terus berkembang, menuntut bentuk pemerintahan
yang berbeda.

Pancasila sebagai Refresentatif Nilai-nilai Keislaman


Peran Pancasila terlihat masih dibutuhkan dalam menumpas radikalisme
agama di Indonesia. Pancasila sebagai ideologi berarti suatu pemikiran yang
yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 279


masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan
Indonesia, oleh karena itu Pancasila dalam pengertian ideologi ini sama
artinya dengan pandangan hidup bangsa atau falsafah hidup bangsa
(Rukiyati, M.Hum.,dkk, 2008:89).
Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia yang paling
realistis karena berpijak pada proses perjalanan sejarah pembentukan
nusantara itu sendiri. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang
membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera,
dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang melimpah, Indonesia sejak
lama menjadi titik temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai
arus peradaban (Yudi Latif, 2011: 3).
Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam
juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam.
Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan
melalui uraian di bawah ini.
1. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna
bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu
kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara.
Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun minallah,
yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara
manusia dengan Allah SWT. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163;
َّ َٰ َّ َٰ ُ َٰ
ُ ‫ٱلرح‬
١٦٣ ‫يم‬ َّ ‫ۖ ل ٓا إل َه إلا ُه َو‬ٞ‫ َٰوحد‬ٞ‫َوإل ُهكمۡ إله‬
َّ ‫ٱلرح َٰۡم ُن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan
melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

2. Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati
hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam,

280 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


hal ini sesuai dengan istilah hablun minannas, yakni hubungan antara
sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama.
Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat
Al-Maa’idah ayat 8-9;
ُ َّ َ َ َ ُ َّ َ ََّٰ ْ ُ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ
ۡ‫ل ش َهدا َٓء ِبٱل ِۡقس ِۡطۖ َولا يج ِۡر َمنكم‬
ِ ِ ‫يأيها ٱل ِذين ءامنواكونوا قو ِمين‬
َّ َ َّ ُ َّ َ ٰ َ َّ ُ َ َ ُ ْ ُ
ْ َ ْ ُ َ ََّ َ َ
ۚ ‫شن‍َٔان قو ٍۡم عل ٰٓى ألا تع ِۡدلواۚ ٱع ِۡدلوا هو أقۡرب ِللتقۡوىۖ وٱتقوا‬
َ ُ َ َ
‫ٱلل ِإن‬
َٰ َّٰ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ َ ُ َ َ ُ َ َ َّ
‫ٱلل ٱل ِذين َءامنوا َوع ِملوا ٱلص ِلح ِت‬ ‫ وعد‬٨ ‫ير ِبما تع َۡملون‬ۢ ‫ٱلل خ ِب‬
َ َ
َ
٩ ٞ‫ َوأج ٌۡر ع ِظيم‬ٞ‫ل ُهمَّمغ ِۡف َرة‬

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang


yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. 0042erlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
(8). Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar (9).

3. Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa


Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dalam
konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah (persa-
tuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama
umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan
dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga
persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an
Surat Ali Imron ayat 103;
ُ َ َ َّ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ َ َ
ِ ‫ٱلل ج ِميعا ولا تفرقواۚوٱذۡكر‬ ِ ِ ‫وٱعۡت ِصم َوا‬
ۡ‫ٱلل عليۡكم‬
ِ ‫ت‬ َ
‫ۡم‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫وا‬ ُ َ ُ َّ َ َ َ ٗ َ ِ َّ ‫بحبۡل‬
َ َ
ُ ُ ٗ ُ َ ُ ُ ُ َ َ َ َّ َ ٗ َ ُ ُ
ۡ‫وبكمۡ فأص َۡبحۡتم ِب ِنع َۡم ِت ِهۦٓ ِإخ َٰۡونا َوكنتم‬ِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ۡن‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ف‬‫ل‬‫أ‬ ‫ف‬ ‫ٓء‬ ‫ا‬‫ۡد‬ ‫ع‬‫أ‬ ‫م‬
ۡ ‫نت‬ ‫ِإذۡ ك‬

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 281


ُ َ َّ ُ ّ َ َٰ َ َ ّ ُ َ َ َ َ َّ َ ّ ُ َ َ َ َ
َٰ َ ُ َُ
‫عل ٰى شفا حف َۡر ٖة ِمن ٱلن ِار فأنقذكم ِمنۡهاۗكذ ِلك يب ِين ٱلل لكمۡ ءاي ِت ِهۦ‬
َ ُ َ َ ُ َّ َ َ
١٠٣ ‫لعلكمۡ تهۡتدون‬

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan


janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar
kamu mendapat petunjuk.

4. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad


Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna
bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara
musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep
Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat)
dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan
dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam
suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di
dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159;
ْ ُّ َ َ َ َ َ ًّ َ َ ُ َ َ َ
‫ٱلل ِلنت ل ُهمۡۖ َولوۡ كنت فظا غ ِليظ ٱلۡقل ِۡب لٱنفضوا‬
َّ َ ّ َ َ َ
ِ ‫ف ِبما َرحۡم ٖة ِمن‬
َ َ َ َ َ َُ
‫اورۡهمۡ ِفي ٱلۡأم ِۡرۖ ف ِإذا‬
ِ ‫ِمنۡ حوۡ ِلكۖ فٱعۡف عنۡهمۡ وٱسۡتغ ِۡفرۡ لهمۡ و‬
ُ َ َ ُ َ ُ َ َ َ
‫ش‬
َ ّ َ ُ َ َّ َّ َّ َ َ ََّ َ َ َ َ َ
١٥٩ ‫يح ُّب ٱل ُۡمت َو ِك ِلين‬
ِ ‫ٱلل ِإن ٱلل‬ ِۚ ‫عزمۡت فتوكلۡ على‬

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada

282 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya

5. Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi
memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil
dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di
antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl
ayat 90.

‫ٱلل َيأ ُۡم ُر ِبٱلۡعد ِۡل َوٱل ِۡإح َٰۡس ِن َو ِإيت ٓايِٕ ِذي ٱلۡقرۡب ٰى َو َينۡه ٰى ع ِن‬
َ َّ ‫إن‬
َ َ َ ُ َ َ َّ

َ ُ َّ َ َ ُ َّ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ
٩٠ ‫ٱلۡفحۡشا ِٓء وٱلۡمنك ِر وٱلۡبغۡيۚي ِعظكمۡ لعلكمۡ تذكرون‬
ِ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran

Solusi yang ditawarkan


Gerakan radikalisme di Indonesia dapat merugikan ketatanegaraan NKRI
dan juga tidak sesuai dengan Pancasila. Radikalisme dapat menjadikan
negera dipandang rendah oleh bangsa lain sehingga ekonomi negara
memburuk, sehingga Pemerintahan Indonesia harus berupaya memulihkan
hal tersebut yang tentu merugikan ketatanegaraan. Selain itu radikalisme
bertentangan dengan pancasila sila pertama. Tidak ada satupun agama
yang di Indonesia yang mengajarkan radikalisme untuk mencapai tujuan
dari suatu umat beragama.
NU sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia sangat konsen
dalam memberantas gerakan radikalisme di Indonesia. Bagi NU, gerakan
radikalisme sangat mengganggu terhadap kedamaian yang ada di Indonesia.
Sebagai Bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia pun menggenggam
legitimasi yang amat kuat untuk memulai inisiatif perdamaian. Indonesia

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 283


juga memiliki wawasan Islam Nusantara, yaitu wawasan keislaman yang
mengedepankan harmoni sosial dengan vitalitas untuk secara kreatif
terus-menerus mendialogkan sumber-sumber ajaran dengan perubahan-
perubahan konteks yang terjadi di lingkungan sosial-budayanya.
Wawasan Islam Nusantara telah terbukti ketangguhannya dalam
membimbing masyarakat Muslim Indonesia melalui perjalanan
sejarahnya hingga mewujud dalam tatanan sosial-politik yang moderen
dan demokratis sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan
Islam Nusantara menawarkan inspirasi bagi seluruh dunia Islam untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran dan model-model interaksi yang
damai dengan realitas kekinian dan pada gilirannya berkontribusi secara
lebih konstruktif bagi keseluruhan peradaban umat manusia.
Melalui cara pandangan tersebut, NU selalu mengambil posisi sikap
yang akomodatif, toleran dan menghindari sikap ekstrim (tafrîth, ifrâth)
dalam berhadapan dengan spektrum budaya apapun. Sebab paradigma
Aswaja di sini mencerminkan sikap NU yang selalu dikalkulasikan atas
dasar pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan
mafsadah. Inilah nilai-nilai Aswaja yang melekat di tubuh NU yang
menjadi penilaian dan pencitraan Islam rahmatan lil ‘alamin di mata dunia.

Daftar Pustaka
Afadlal, dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Lipi Pers: Jakarta, Cet
1, 2005
Ali MD, Ahmad, Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja NU Dalam Mencegah
Redikalisme Agama, Al-Dzikra Vol. 5, 2011
Farid Mas’udi, Masdar, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam, Pustaka
Alvabet: Tanggerang Selatan, Cet 4, 2013
Jamil, Mukhsin, dkk, Nalar Islam Nusantara (Studi Islam ala
Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU), Fahmina Institute:
Cirebon, 2008
Mun’im, Abdul, Piagam Perjuangan Kebangsaan, Setjen PBNU-NU
Online: Jakarta, 2011

284 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Rofiq al-Amin, Ainur, Proyek Khilafah HTI (Perspektif Kritis), LKIS
Pelangi Aksara: Jogjakarta, 2015
Said Ali, As’ad, Ideologi Gerakan pasca Reformasi, Pustaka LP3ES:
Jakarta, 2012
Said Ali, As’ad, Negara Pancasila (Jalan Kemaslahatan Berbangsa),
Pustaka LP3ES: Jakarta, Cet 2, 2009
Setiawan, Zudi, Nasionalisme NU, Aneka Ilmu: Semarang, 2007
http://www.islamnusantara.com/kh-aqil-siradj-renovasi-cita-cita-
kerasulan-muhammad-saw-dan-penyelamatan-peradaban-dunia/

Biografi Singkat Penulis


Sa’dullah merupakan dosen yang memiliki kepakaran di bidang ilmu
pendidikan Islam pada program studi pendidikan agama Islam Universitas
Negeri Jakarta. Studi S3 beliau tamatka di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada jurusan Pengkajian Islam.

Bagian 3 : Peran Agama Dalam Resolusi Konflik Dan Perdamaian 285


286 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
Bagian 4
DINAMIKA MASYARAKAT
MUSLIM KONTEMPORER

287
Peta Studi Islam Kontemporer di
Indonesia

Cucu Surahman
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: cucu.surahman@upi.edu

Pendahuluan
Kajian Islam (baca: kajian atas sumber-sumber ajaran Islam yaitu Alqur’an
dan Hadis), tentu sudah lama dilakukan. Bisa dikatakan kajian Islam
sudah dimulai sejak masa awal kelahiran agama ini, tepatnya pada masa
setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW., yaitu pada masa para
sahabat. Usaha tersebut dilanjutkan oleh para tabi’in, tabi’it tabi’in, dan
ulama-ulama selanjutnya hingga saat ini. Kita mengetahui dari catatan
sejarah, bahwa para sahabat dan tabi’in sudah mulai melakukan upaya
“memahami” ajaran Islam yang termaktub dalam Alqur’an dan Hadis.
Adapun pengkajian Islam dalam arti kajian disiplin ilmu Keislaman,
seperti ilmu Kalam, Tafsir, Hadis, Fikih, Filsafat, Tasawuf, dan semisalnya,
dimulai lebih belakangan yaitu pada masa khalifahan Bani Umayyah
dan Bani Abbasiyah.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah (132-656 H/750-1258
M.), telah lahir para sarjana dalam berbagai disiplin ilmu. Mulai dari
ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, Filsafat, Tasawuf, sampai pada ilmu sejarah,
Matematika, Fisika, dan Kedokteran. Mereka mengembangkan berbagai
bidang keilmuan berangkat dari semangat ajaran Islam. Sebagai contoh
kita mengenal ahli filsafat seperti al-Kindi dan al-Farabi. Dalam bidang
kedokteran kita mengenal nama ibnu Sina. Dalam bidang Tafsir kita
mengenal nama al-Thabari, Fakhruddin al-Razi, dan al-Baghawi. Dalam
bidang ilmu Fikih kita mengenal nama-nama imam madzhab, seperti

288 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Imam Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam bidang ilmu Tasawuf
dan Akhlak, kita mengetahui ada nama-nama besar seperti al-Ghazali,
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Miskawaih, Abu al-Hasan al-Syadili,
dan seterusnya. Karya-karya mereka sampai kini bisa kita temukan dan
kita baca. Semua itu menggambarkan betapa berkembang pesatnya tradisi
pengkajian di dunia Muslim.
Kajian Islam pada perkembangannya belakangan, tepatnya pada
abad 19, mengalami banyak perubahan. Tidak seperti pada periode-
periode sebelumnya yang hanya dilakukan oleh para sarjana muslim
seperti tergambar di atas tetapi juga dilakukan oleh mereka yang bukan
muslim. Kita mengenal ada nama-nama orientalis, seperti Alois Sprenger
(1813-1893), Ignaz Goldzhier (1850-1921), Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936), Louis Massignon (1883-1963), Blachere (1900-1973), Joseph
Schacht (1902-1969), dan masih banyak lagi. Kajian Islam yang dilakukan
oleh non-muslim hingga kini terus berjalan dan hal itu dapat kita lihat dari
artikel-artikel yang mereka terbitkan di jurnal-jurnal ilmiah, khususnya
yang bertajuk Islamic Studies (kajian Islam).
Dari sisi obyek kajiannya pun, kajian Islam atau yang di Barat dikenal
dengan istilah Islamic Stadies, mengalami perkembangan dari yang tadinya
hanya berfokus kepada teks-teks keislaman (terutama Alqur’an dan
Hadis) kemudian menjadi kajian terhadap komunitas muslim (muslim
society). Dengan demikian maka metode yang digunakan dalam kajian
Islam tersebut juga turut berubah, dari yang tadinya lebih merupakan
kajian teks, dengan pendekatan ilmu Filologi, menjadi kajian konteks
(baca: masyarakat), dengan pendekatan Antropologis-Etnografis. Dilihat
dari sisi penggalan waktu atau periode yang menjadi obyek kajian pun
kemudian ikut berubah dari yang tadinya hanya mengkaji Islam di masa
lalu (in the past) menjadi kajian atas Islam di masa kini (in the present).
Jika tadinya kajian Islam lebih bersifat historis (melalui kajian teks), pada
perkembangannya kajian Islam juga memotret Islam yang hidup (living)
seperti yang dipraktekkan oleh kaum Muslim masa kini.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 289


Dilihat dari sisi motivasi dalam melakukan kajian Islam (Islamic
Studies), khususnya yang dilakukan oleh para Islamisis Barat atau yang
dulu dikenal dengan nama Orientalis, juga mengalami pergeseran, dari
yang tadinya lebih berbau kolonialisme dan misionarisme, menjadi lebih
objektif dan ilmiah.1 Dan juga dari sisi area geografis pengkajian, dengan
menyebarnya masyarakat Muslim ke berbagai penjuru dunia, maka objek
kajian Islam pun menjadi lebih variatif yaitu mencakup berbagai wilayah
yang di situ terdapat komunitas Muslim.2
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kajian Islam atau Islamic
Stadies ini, mengalami perkembangan, mulai dari sisi siapa (who) yang
melakukannya, apa (what) yang menjadi objek kajiannya, batasan periode
atau waktu (when) dari objek kajian itu, di mana (where), sampai dengan
motif kenapa (why) dan bagaimana cara atau metode (how) penelitiannya
dilakukan.
Kajian atas Islam itu sendiri sesungguhnya sesuai dengan spirit
Islam sebagai agama yang kritis (naqd) dan bertujuan untuk melakukan
perbaikan (islah). Spirit ini juga tampak terutama pada ide-ide yang
dilontarkan oleh para tokoh pembaruan pemikiran Islam sejak masa
modern (baca: abad 19) dan terus eksis hingga masa kontemporer saat

1
Pergeseran ini terjadi terutama sejak Edward Said menuliskan bukunya yang
berjudul Orientalism pada tahun 1978. Lihat Edward Said, Orientalism: Western Concepts
of the Orient (New York: Pantheon, 1978); Yusuf Rahman, “Tren Kajian Al-Qur’an Di Dunia
Barat,” Jurnal Studia Insania 1, no. 1 (2013): 1, https://doi.org/10.18592/jsi.v1i1.1076.
2
Hal ini misalnya terlihat dari nama-nama pusat kajian Islam di negara-
negara Barat, seperti Center of the Study of Islam and Middle East di Amerika
dan Center of the study of Islam and Southeast Asia di Belanda.

290 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


ini. Istilah-istilah seperti reformasi,3 pembaruan (tajdid),4 rethinking,5
reinterpretasi,6 rekonstruksi,7 dekonstruksi,8 kritik (naqd),9 liberation
(pembebasan),10 sampai tsaurah (revolusi)11 adalah istilah-istilah yang
mengekspresikan semangat pengkajian Islam (Islamic studies) di era
kontemporer.
Para tokoh tersebut berupaya melakukan pembaruan dalam pemi-
kiran Islam (Islamic thought), dengan berupaya melontarkan wacana
membuka pintu ijtihad dan melakukan tajdid, berusaha memahami dan
kritis terhadap warisan tradisi (turats), dan terlibat secara aktif (engage)
terhadap isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi. Para tokoh modernis
Muslim seperti Ahmad Khan dan Muhammad Abduh misalnya usaha
3
Lihat karya-karya seperti: Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of
Islamic Fundamentalism (Simon and Schuster, 2021); Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Reformation of
Islamic Thought: A Critical Historical Analysis, vol. 10 (Amsterdam University Press, 2006);
Abdullahi Ahmed An Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law (Syracuse University Press, 1996).
4
Lihat karya-karya seperti: Muhammad Abduh, “Risalah Tauhid, Terj,” Ahmad
Firdaus AN Jakarta: Bulan Bintang, 1979; Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, 1st ed. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995); Harun Nasution, Islam Rasional:
Gagasan Dan Pemikiran (Bandung: Penerbit Mizan, 1995); Harun Nasution, “Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,” 1982; Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin
Dan Peradaban (Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta, 1992); Nurcholish Madjid, “Islam
Kemodernan Dan Keindonesiaan, Cet,” V. Bandung: Mizan, 1993.
5
Lihat karya-karya seperti: Muhammad Arkoun, “Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers Today,” Boulder: Westview, 1994; Nasr Hāmid Abū Zayd,
Rethinking the Qur’ân: Towards a Humanistic Hermeneutics (Humanistics University Press
Utrecht, The Netherlands, 2004); Zayd, Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical
Analysis.
6
Lihat karya-karya seperti: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a
Contemporary Approach (Oxon: Routledge, 2006).
7
Lihat karya Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Stanford University Press, 2013).
8
Lihat karya Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia Dan Hubungan Internasional Dalam Islam (Yogyakarta: LKIS
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1994).
9
Lihat karya-karya seperti: Mohammed Abid al-Jabiri, “Naqd Al-‘Aql Al-Araby II:
Bunyat Al-‘Aql Al-Arabi,” Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqafy Al-Araby, 1993; Naṣr Ḥāmid Abū
Zayd, Naqd Khiṭāb Al-Dīnī (Cairo: Sinā lī al-Nashr, 1992).
10
Lihat karya-karya seperti: Asghar Ali Engineer, Religion and Liberation (Ajanta
Publications (India), 1989); Farid Esack, Qurʾan, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oneworld, 1997).
11
Lihat karya-karya seperti: Hasan Hanafi, “Min Al-Aqidah Ila Al-Tsaurah,” Kairo:
Maktabah Matbuli, 1991; Hassan Hanafi, “Al-Turath Wa Al-Tajdid: Mawqifuna Min
Al-Thawrah,” Cairo: Al-Markaz Li Al-Bahth Wa Al-Dirasat, 1980.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 291


mendorong agar masyarakat Muslim dapat menyesuaikan dengan gerak
modernitas di satu sisi, dan tetap menjaga spirit Islam di sisi yang lain.
Mereka berusaha merespon tantangan modernitas sambil tetap meyakini
kebenaran ajaran agamannya (Islam).12
Dengan pendekatan yang historis, rasional, kontekstual, dan
substantif, mereka mengambil jalan tengah antara paham Atheisme atau
Skeptisisme terhadap agama dengan konservatisme dalam beragama.
Mereka sangat percaya bahwa Islam adalah agama yang progresif. Untuk
konteks Indonesia, nama-nama seperti Harun Nasution, Nurcholish
Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, dan Komarudin Hidayat
adalah di antara tokoh-tokoh yang bisa kita sebutkan.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis perkembangan
kontemporer kajian Islam di Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data utama penelitian
ini adalah buku-buku, tugas akhir mahasiswa (skripsi, tesis, disertasi),
dan artikel jurnal yang membahas perkembangan pemikiran Islam
kontemporer di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan kajian Islam di Indonesia kontemporer dan membaca
kemungkinan perkembangannya di kemudian hari.

Pembahasan
Dapat kita katakan, kajian Islam di Indonesia sudah cukup berkembang.
Hal ini dapat kita lihat terutama setelah didirikannya Perguruan Tinggi
Islam Negeri (PTAIN) pada tahun 1960 (cikal bakal Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri). Perkembangan dan
keragaman tema kajian Islam di Indonesia tersebut bisa dilihat dari karya-
karya ilmiah yang merupakan tugas akhir mahasiswa, baik yang berupa
skripsi, tesis, maupun disertasi.13 Karya-karya tulis berupa buku-buku
12
Zayd, Rethinking the Qur’ân: Towards a Humanistic Hermeneutics; Zayd, Reformation
of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis.
13
Lihat laporan-laporan penelitian yang berupa artikel jurnal yang membahas arah
kecenderungan dan tren kajian Islam di sebagian perguruan tinggi Islam di Indonesia, seperti:
Mahmuddin Mahmuddin, “Analisis Kecenderungan Penelitian Tesis Mahasiswa Pascasarjana

292 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


yang ditulis oleh para dosen dan tokoh Islam pun bisa dipotret sebagai
bukti berkembangnya pengkajian Islam di Indonesia. Bahkan ada
kecenderungan di perguruan tinggi tertentu, arah kajian Islam memiliki
ciri khas tersendiri, misalnya di UIN Sunan Kalijaga yang bercirikan
kajian Islam integratif-interkonektif.14
Organisasi masyarakat, pusat-pusat kajian atau studi Islam, Islamic
Study Club, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga turut
meramaikan dan menunjukkan antusiasme terhadap pengkajian Islam
Indonesia. Selain dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi-
organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,
memiliki lembaga yang khusus bertugas melakukan pengkajian Islam,
di mana NU memiliki lembaga yang bernama Bahsul Masail dan
Muhammadiyah memiliki lembaga Majelis Tarjih. Adapun pusat-pusat
kajian Islam dapat kita temukan di hampir setiap universitas atau perguruan
tinggi Islam di Indonesia. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya
terdapat Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta terdapat Pusat Studi Islam Asia Tenggara (ISAIs),
dan di Universitas Paramadina ada Pusat Studi Islam dan Demokrasi
(PUSAD). Sementara untuk Islamic Study Club dan LSM yang mengkaji
tema-tema keislaman, bisa disebutkan di Jakarta misalnya ada Formaci
(Forum Mahasiswa Ciputat), Nurcholish Madjid Society, Caknurian
Urban Sufism, Ma’arif Institute, Gusdurian, dan lain sebagainya.
Selain itu, perkembangan kajian Islam di Indonesia juga bisa kita lihat
dari karya-karya ilmiah yang berupa disertasi dan tesis yang membahas
tentang Islam atau Muslim di Indonesia yang ditulis di univeritas-universi-
tas Barat seperti di Amerika Serikat, Belanda, Kanada, Jerman, Inggris, dan

UIN Alauddin Makassar Tahun 2012-2013,” Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran
Islam 20, no. 1 (2016): 45–65; M Endy Saputro, “Analisis Tren Studi Qur’an Di Indonesia,”
Al-Tahrir 11, no. 1 (2011): 1–17; Muhammad Lutfi Assidiqi, “Tren Kajian Al-Qur’an Di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Analisis Terhadap Skripsi Mahasiswa Program Studi Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir Tahun 2017-2019)” (2020); Mujadid Sigit Aliah, “Model Penelitian
Hadis Mahasiswa Strata Satu Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Tahun 2014-
2019,” Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal Bimbingan Dan Penyuluhan Islam 9, no. 2 (2022): 140–50.
14
Mohammad Muslih, “Tren Pengembangan Ilmu Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,”
Episteme 12, no. 1 (2017): 103–39.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 293


Australia, baik yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri (mahasiswa-ma-
hasiswa Indonesia yang dikirim untuk belajar di universitas-universitas
tersebut) atau oleh para peneliti dan dosen Barat sendiri. Tidak kurang
dari 500 karya ilmiah berupa tesis dan disertasi tentang Islam di Indoesia
telah dihasilkan dalam rentang tahun 1980 sampai 2020.15
Penelitian-penelitian atas Islam di Indonesia tersebut, jika dilakukan
oleh sarjana-sarjana Indonesia biasanya sesuai dengan latar belakang
keilmuan atau jurusan/fakultas saat mereka studi di tingkat sarjana
(undergraduate). Hal ini bisa dilihat dari judul-judul tesis atau disertasinya,
misalnya penelitian disertasi yang dilakukan oleh M. A. Mudzhar pada
tahun 1990, yang berjudul “’Fatwas’ of the Council of Indonesian Ulama:
a study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988,” di University of
California, Amerika Serikat; penelitian disertasi Joko Mirwan Muslimin,
tahun 2005 yang berjudul “Islamic Law and Social Change: A Comparative
Study of the Institutionalization and Codification of Islamic Family Law
in the Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995),” di Universitat
Hamburgh, Jerman; penelitian disertasi Arskal Salim, tahun 2006, yang
berjudul “Islamising Indonesian Laws?: Legal and Political Dissonance in
Indonesian Shari’a, 1945-2005,” di The University of Melbourne, Australia;
penelitian disertasi Mohamad Abdun Nasir, tahun 2013 yang berjudul
“Islamic Law and Social Change: The Religious Court and the Dissolution
of Marriage among Muslims in Lombok, Indonesia,” di Emory University,
Amerika Serikat. Mereka itu semua memiliki latar belakang pendidikan
sarjana dan menjadi pengajar pada Fakultas Syariah di Institut Agama
Islam atau Universitas Islam di Indonesia.
Hal yang sama juga dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan
oleh mereka yang berasal dari jurusan atau fakultas lain di lingkungan
Institut Agama Islam atau Universitas Islam di Indonesia. Mereka
lebih memilih tema-tema penelitian yang sesuai dengan latar belakang

15
Lihat M. Endy Saputro, “Indonesian Islamic Studies: Selected Dissertation
Bibliography 1980-1999,” DINIKA : Academic Journal of Islamic Studies 1, no. 3 (2016):
387; M. Endy Saputro, “Indonesian Islamic Studies: Selected Dissertation Bibliography
2000-2016,” DINIKA : Academic Journal of Islamic Studies 1, no. 3 (2016): 387.

294 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


pendidikannya di tingkat sarjana (S1). Hal ini kemungkinan besar
bertujuan agar keilmuannya bersifat paralel dan lebih mendukung bagi
karirnya di kemudian hari (yaitu sebagai dosen di Perguruan Tinggi
Islam). Walaupun ada juga yang mencoba membahas disiplin ilmu lain,
seperti Azyumardi Azra misalnya yang melakukan penelitian di bidang
sejarah walaupun ia tidak berlatar belakang ilmu Sejarah, tetapi berlatar
belakang ilmu Tarbiyah (Pendidikan). Ia lakukan penelitian yang berjudul
“The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle
Eastern and Malay-Indonesian “Ulama” in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries,” di Columbia University pada tahun 1992. Begitu juga dengan
Muhamad Ali yang melakukan penelitian sejarah di University of Hawai’
pada tahun 2007, dengan judul “Religion and Colonialism: Islamic
Knowledge in South Sulawesi and Kelantan 1905-1945,” padahal ia adalah
lulusan jurusan Tafsir Hadis di Fakultas Usuluddin UIN Jakarta.
Di antara sarjana Indonesia ada juga yang memilih melakukan
penelitian di bidang ilmu politik, seperti M. Din Syamsuddin yang
melakukan penelitian di Universitas California dengan berjudul “Religion
and Politics in Islam: the Case of Muhammadiyah in Indonesia’s New
Order”, Bahtiar Effendy, tahun 1994 yang melakukan penelitian di The
Ohio State University, Amerika Serikat berjudul “Islam and the State: the
Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia,” dan
Saiful Mujani, tahun 2003, yang melakukan penelitian yang berjudul
“Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation
in Post -Suharto Indonesia,” di The Ohio State University, Amerika Serikat.
Selain itu, penelitian terhadap Islam di Indonesia juga dilakukan
oleh sarjana-sarjana Barat. Di antara mereka adalah E. E. Morris, yang
melakukan penelitian tahun 1983, berjudul “Islam and Politics in Aceh: a
Study of Center- Periphery Relations in Indonesia,” di Cornell University;
M. R. Woodward, tahun 1985, melakukan penelitian yang berjudul “The
Shari’ah and the Secret Doctrine: Muslim Law and Mystical Doctrine in
Central Java,” di University of Illinois; Gregory James Barton, tahun 1995,
menulis disertasinya di Monash University Australia yang berjudul “The

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 295


Emergence of Neo-Modernism: a Progressive, Liberal Movement of Islamic
Thought in Indonesia : a Textual Study Examining the Writings of Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib and Abdurrahman Wahid, 1968-
1980,” Ronald Alan Lukens-Bull, tahun 1997 melakukan penelitian
disertasi di Arizona State University dengan judul “A Peaceful Jihad :
Javanese Islamic Education and Religious Identity Construction,” Florian
Pohl, tahun 2007 melakukan penelitian disertasi di Temple University
Amerika Serikat dengan judul “Religious Education and Secularization:
Indonesia’s Pesantren Tradition and Civil Society,” White Sally Jane, tahun
2013 berjudul “Reformist Islam, Gender and Marriage in Late Colonial
Dutch East Indies, 1900-1942,” (Disertasi di ANU), Karen Bryner, tahun
2013, berjudul “Piety Projects: Islamic Schools for Indonesia’s Urban Middle
Class,” (Disertasi di Columbia University), dan Claire-Marie Hefner, pada
2016 melakukan penelitian disertasi yang berjudul “Achieving Islam:
Women, Piety and Moral Education in Indonesian Muslim Boarding
Schools,” (Emory University, Amerika Serikat).
Perkembangan baru dalam kajian Islam di Indonesia adalah pene-
litian-penelitian terkait tema kajian Islam yang lebih beragam. Selain
dari tema hubungan antar agama, pluralisme, toleransi, local wisdom,
sistem pemerintahan, hak asasi manusia, dan pendidikan, kajian Islam
kontemporer juga berkembang pada isu-isu di bidang ekonomi, teknologi,
media masa, lingkungan hidup, dan isu gender. Untuk tema ekonomi
Islam misalnya, penelitian dilakukan oleh Amelia Fauzia, di University
of Melbourne, Australia pada tahun 2008 dengan judul “Faith and the
State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.” Sedangkan untuk
kajian Islam terkait isu gender dilakukan misalnya oleh Nina Nurmila,
pada tahun 2007 di University of Melbourne, dengan judul “Negotiating
Polygamy in Indonesia: Between Muslim Discourse and Women’s Lived
Experience,” Eva Fahrun Nisa, tahun 2011 dengan judul “Embodying the
True Islam: Face-Veiled Women in Contemporary Indonesia,” di Australian
National University (ANU), dan Nur Hidayah, pada tahun 2013 yang
melakukan peneltitian yang berjudul “’Feminising Islam in Contemporary

296 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Indonesia: The Role of Progressive Muslim Women’s Organisations,” di
University of Melbourne, Australia.
Kajian Islam (tepatnya kajian atas komunitas Muslim) Indonesia juga
dilakukan oleh sarjana Indonesia terkait peran organisasi atau lembaga-
lembaga yang ada di masyarakat Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyyah, dan
lembaga lainnya. Penelitian terkait peran MUI misalnya dilakukan oleh
Syafiq Hasyim, dengan judul “Council of Indonesian Ulama (Majelis
Ulama Indonesia, Mui) and Its Role in the Shariatisation of Indonesia,” di
Freie Universitat Berlin (2013); penelitian terkait kelompok minoritas
Ahmadiyah, misalnya dilakukan oleh Ahmad Najib Burhani, yang berjudul
“When Muslims Are Not Muslims: The Ahmadiyya Community and the
Discourse on Heresy in Indonesia,” di University of California, Santa Barbara
(2013). Akhir-akhir ini, terdapat penelitian terkait kelompok-kelompok
Islam Trans-nasional di Indonesia, seperti Hizbut Tahrir Indonesia,
Laskar Jihad, dan Salafi Wahabi. Penelitian tentang Salafi dilakukan
oleh Din Wahid dengan judul “Nurturing the Salafi Manhaj: A Study
of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia,” di Utrecht University,
Belanda (2014) dan Jajang Jahroni dengan judul “The Political Economy
of Knowledge: Salafism in Post-Soeharto Urban Indonesia,” di Boston
University, Amerika Serikat (2015).
Perkembangan kajian Islam di Indonesia juga dapar diliahat dari
publikasi artikel-artikel ilmiah terkait hal tersebut di jurnal-jurnal Islamic
Studies ternama, baik di dunia maupun di Indonesia, seperti Journal of
Islamic Studies, The Muslim World, Contemporary Islam, Studia Islamika,
Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, dan Journal of Indonesian Islam,
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, dan Qudus International
Journal of Islamic Studies. Jika jurnal-jurnal bereputasi internasional dari
Indonesia banyak memuat tulisan-tulisan tentang Islam di Indonesia,
hal itu wajar saja. Tetapi ketika tulisan-tulisan yang mengkaji Islam di
Indonesia (Indonesian Islam) tersebut dipublikasikan di jurnal-jurnal
bereputasi internasional di luar negeri, maka hal itu maknanya beda. Karena

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 297


itu bisa menjadi bukti atas berkembangnya kajian Islam di Indonesia di
satu sisi dan pengakuan para peneliti asing terhadap keberadaan Islam
dan Muslim di Indonesia, di sisi lain.
Dalam Journal of Islamic Studies, sebuah jurnal bereputasi internasional
yang diterbitkan oleh Oxford University Press di Inggris misalnya terdapat
tidak kurang terdapat 176 book review dan artikel tentang Islam dan
komunitas Muslim di Indonesia, seperti artikel yang berjudul Behind the
Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975–1998) karya Nadirsyah
Hosen dan artikel berjudul Indigenous Community Identity Within Muslim
Societies in Indonesia: A Study of Katab Kebahan Dayak in West Borneo,
tulisan dari Zaenuddin Hudi Prasojo.
Dalam jurnal The Muslim World (berdiri sejak 1910), sebuah jurnal
yang mempublikasikan artikel-artikel tentang Islam dan masyarakat
Muslim, terdapat tulisan Hilman Latief dan Abd. Majid yang membahas
tentang Majlis Taklim di Indonesia yang berjudul Majlis Taklim and The
Path Of Women’s Islamization In Indonesia; kemudian ada tulisan Hans A.
Harmakaputra, From Toleration to Solidarity: Muslim-Christian Relations
in Indonesia during the COVID-19 Pandemic. Dalam jurnal ini bahkan
ada satu terbitan khusus yang menerbitkan artikel-artikel tentang Islam di
Indonesia, yaitu volume 110, Issue 4, dengan tajuk Islam and Diversity in
Contemporary Indonesia: Belief, Gender, and Politics. Ada 9 artikel dalam
edisi tersebut, salah satunya adalah tulisan Muhamad Ali, Between Faith
and Social Relations: The Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama’s Fatwas
and Ideas on Non-Muslims and Interreligious Relations, yang di dalamnya
membahas pandangan NU dan Muhammadiyah terkait hubungan sosial
antar agama di Indonesia.
Dalam jurnal Contemporary Islam: Dynamic of Muslim Lives kita
juga menemukan tulisan tentang Islam atau tentang masyarakat Muslim
di Indonesia, yaitu tulisan M. Mukhsin Jamil dan Sumanto Al Qurtuby,
yang berjudul Polemics on smoking among Indonesian Muslims and
Islamic organizations; tulisan Bambang Hudayana, Identity Shift: from
Javanese Islam to Shari’ah-Centric Muslims in the Trah, a kinship-based

298 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


social organisation; tulisan Bianca J. Smith dan Atun Wardatun, Domestic
violence and Islamic spirituality in Lombok, Indonesia: women’s use of
Sufi approaches to suffering; tulisan Nayla Majestya dan Servo Caesar
Prayoga, From Moderatism to Islamophobia: Indonesian Muslim identity
discourse in Nurman Hakim’s Islamicate film trilogy; tulisan Moch. Khafidz
Fuad Raya, Wali Pitu in Bali: inventing new halal tourism destinations
in contemporary Indonesia; dan tulisan Akhmad Rizqon Khamami,
Nasionalis-cum-Nahdliyin: a new identity for nominal Javanese Muslims.
Dengan dipublikasikannya artikel-artikel terkait Islam di Indonesia
di jurnal-jurnal internasional bereputasi, menunjukkan bahwa Islam di
Indonesia sudah tidak lagi dipandang sebelah mata atau dianggap sebagai
Islam pinggiran (periphery). Ini juga menunjukkan akan pergeseran
studi Islam dari yang tadinya hanya mengkaji teks dan terpusat pada
kawasan Timur Tengah, kini kajian keislaman selain membahas teks,
juga membahas tentang komunitas Islam dan bukan hanya di wilayah
Timur Tengah tetapi juga di wilayah-wilayah lain termasuk di Indonesia.
Dari analisis bibliometrik di atas, dapat juga dikatakan bahwa kajian
atas Islam kini sudah mulai bergeser dari yang tadinya hanya mengkaji
Islam sebagai dokrin dan untuk kepentingan keagamaan semata, menjadi
kajian yang ilmiah dan akademis, yang dalam istilah Amin Abdullah
disebut al-Fikr al-Islami (Islamic thought/pemikiran Islam) dan Dirasat
Islamiah (Islamic Studies). Penggunaan istilah Islamic Studies atau studi/
kajian Islam ini sendiri menurut M. Amin Abdullah lebih bermakna
sebagai kajian Islam yang bersifat revisionis-progresif dibandingkan
dengan istilah Ulum al-Din (istilah bagi kajian Islam terdahulu yang
bersifat konvensional-tradisionalis).16
Terkait dengan tema-tema kajian atau penelitian akademik seperti
tampak di atas, maka bisa kita katakan bahwa tema-tema yang diangkat
oleh para penulis atau para peneliti sudah sangat beragam. Mulai dari tema-
tema keilmuan Islam, politik, hak asasi manusia, sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan, kesehatan, teknologi, sampai pada isu keamanan. Singkatnya,
16
M. Amin Abdullah, “Islamic Studies in Higher Education in Indonesia: Challenges,
Impact and Prospects for the World Community,” Al-Jami’ah 55, no. 2 (2017): 391–426.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 299


para peneliti khususnya peneliti Muslim sudah bisa dikatakan tanggap
dan responsif terhadap berbagai isu kontemporer yang berkembang saat
ini. Kajian Islam dalam kaitannya dengan penggunaan media teknologi
informasi dan komunikasi misalnya, sudah mulai tampak.
Perkembangan tersebut hemat penulis tidak terlepas dari gagasan-
gagasan dan peran-peran yang diwariskan oleh para tokoh pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia terdahulu, seperti Harun Nasution,
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo,
Azyumardi Azra, Ahmad Syafii Maarif, dan M. Amin Abdullah, untuk
menyebutkan di antaranya. Mereka adalah tokoh-tokoh yang responsif
dan kritis terhadap masalah yang muncul pada zamannya. Mereka
adalah tokoh-tokoh yang visioner dan idealis (bukan sebatas bekerja
demi tuntutan karir professional pribadi). Dengan memegang prinsip
al-muhafadhah ’ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah
(menjaga warisan tradisi lama yang baik dan melakukan hal baru/inovasi
jika ada yang lebih baik) dan cintanya pada Agama (Islam), sepanjang
hayatnya mereka berjuang mencari nilai relevansi antara agama dan
signifikansinya bagi kehidupan kontemporer.
Nurcholish Majid (1935-2005 M.) yang sering disebut-sebut
sebagai lokomotif pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, misalnya,
sampai akhir hayatnya memperjuangkan gagasan besar terkait Islam,
keindonesiaan, dan kemodernan, serta hubungan ketiganya. Islam
menjadi simbol keyakinan akan agama dan apresiasi terhadap warisan
tradisi. Ia adalah fondasi dan sumber bagi pengembangan nilai-nilai
positif dalam kehidupan manusia. Gagasan tentang Islam ini juga
mengandung arti bahwa kita harus betul-betul paham terhadap ajaran
Islam (baca: Alqur’an dan Hadis), bukan hanya secara tekstual (makna
harfiahnya) tetapi secara kontekstual (makna substantif). Pemahaman
keagamaan Nurcholish Madjid dapat kita lihat dalam gagasan-gagasan
pemikirannya terkait keindonesiaan dan kemodernan. Baginya Indonesia
tidak harus menjadi negara Islam (baca: negara teokratis). Ia sebaliknya,
memperjuangkan sistem demokrasi karena sistem ini menurutnya adalah

300 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


sistem pemerintahan yang paling cocok untuk konteks negara Indonesia
ini. Menurutnya, seorang Muslim juga harus bisa menyesuaikan dirinya
dengan kemajuan zaman, termasuk nilai-nilai modern yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Gagasan tentang kemodernan ini bisa
dipahami oleh kita sebagai pemahamannya atas Islam yang mendorong
perubahan dan kemajuan (progres), yaitu pemahaman yang didasarkan
pada pendekatan historis, rasional, kontekstual, dan substantif. Dengan
Pemahaman tersebut maka Islam sebagai agama akan senantiasa aktual
dan mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul di
tengah masyarakat kontemporer.17
Hingga saat ini kita bisa melihat, pasca Nurcholish Madjid, ada
banyak sosok-sosok yang terus berusaha memperjuangkan pemahaman
keislaman seperti yang diperjuangkan oleh para pendahulunya di atas.
Sebagai contoh, Ulil Abshar Abdalla dan Abdul Muqsith Ghazali dari
kalangan intelektual NU juga melakukan usaha-usaha yang kurang lebih
sama.18 Hal ini tampak dalam pidato kedua tokoh muda tersebut tentang
keharusan pembaruan Islam di Indonesia. Jika pada tahun 1970-an Cak
Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid, pernah berpidato dengan judul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,”
dan “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.”
Kemudian pada tahun 1992 berjudul “Beberapa Renungan tentang
Kehidupan Keagamaan di Indonesia,” maka Ulil Abshar Abdalla pada
tahun 2010 di Harian Kompas menulis artikel yang berjudul: “Sejumlah
Refleksi tentang Kehidupan Sosial Keagamaan Kita Saat Ini.” Sementara
Abdul Moqsith Ghazali memberi pidato kebudayaan di Taman Ismail

17
Untuk mengetahui pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan
Nurcholish Madjijd, silahkan baca karya-karyanya, seperti: Madjid, “Islam Kemodernan
Dan Keindonesiaan, Cet”; Madjid, Islam: Doktrin Dan Peradaban; Nurcholish Madjid,
Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019).
18
Lihat: Luthfi Assyaukanie Abd Moqsith Ghazali and Ulil Abshar-Abdalla, Meodologi
Studi Al-Qur’an (PT Gramedia Pustaka Utama, 2009); Abd Moqsith Ghazali, “Argumen
Pluralisme Agama,” 2022.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 301


Marzuki (TIM) pada tahun 2011 dengan judul: “Menegaskan Kembali
Pembaruan Pemikiran Islam.”19
Singkatnya, upaya-upaya dalam rangka memahami ajaran Islam
yang kontekstual ini terus berkembang. Dalam konteks perkembangan
kajian metode tafsir, misalnya, kita melihat ada gagasan tafsir kontekstual
Alqur’an seperti yang ditawarkan oleh Taufik Adnan Amal dan Samsu
Rizal Panggabean,20 M. Dawam Rahardjo,21 dan para aktivis Jaringan
Islam Liberal (Ulil Abshar Abdalla, dkk.).22 Pada akhir tahun 2009, JIL
menerbitkan buku Metodologi Studi al-Qur’an. Akhir-akhir ini, Abdul
Mustaqim, seorang guru besar tafsir UIN Sunan Kalijaga, juga menawarkan
sebuah metode tafsir baru, yang ia sebut Tafsir Maqashidi.23 Intinya,
metode-metode ini berusaha memahami Alqur’an, baik makna maupun
signifikansinya, agar tetapi relevan dan kontributif bagi kehidupan umat
manusia (Alqur’an shalih li kulli zaman wa makan). Kontekstualisasi
ajaran Islam di Indonesia ini bahkan tidak hanya dilakukan oleh tokoh
atau organisasi kemasyarakatan tertentu, tetapi sudah menjadi agenda
pemerintah, terutama melalui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
Kementrian Agama.24

Simpulan
Melihat perkembangan mutakhir terkait studi Islam (Islamic studies) di
Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa kajian atau studi Islam di Indonesa
akan terus berkembang dan akan mengarah kepada pemahaman keislaman
19
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Dalam Koran
Harian Kompas (Jakarta), Pada Hari Senin 18 (2002); Abdul Moqsith Ghazali, “Menegaskan
Kembali Pembaruan Pemikiran Islam,” 2013.
20
Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Quran (Bandung: Penerbit Mizan, 1989);
Muhammad Hasbiyallah, “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan Nilai-Nilai
Al-Qur’an,” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits 12, no. 1 (2018): 21–50.
21
Hayatul Islami, “Metodologi Tafsir Sosial (Studi Kritis Atas Metodologi Tafsir M.
Dawam Rahardjo)” (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
22
Abd Moqsith Ghazali and Abshar-Abdalla, Meodologi Studi Al-Qur’an.
23
Abdul Mustaqim, “Tafsir Maqasidi,” Jurnal Penelitian Pendidikan Guru Sekolah
Dasar, vol. 6, 2016; Abdul Mustaqim, “Argumen Keniscayaan Tafsir Maqashidi” 9 (2554),
http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf.
24
Kementerian Agama Indonesia memiliki agenda penting yaitu pengatusutamaan
Moderasi Beragama di Indonesia. Lihat: Tim Penyusun, Moderasi Beragama, Kementerian
Agama, vol. 53, 2013.

302 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


yang moderat. Walau demikian arah dan tren kajian dan pemikiran
Islam ini akan sangat tergantung pada banyak hal, termasuk di antaranya
adalah situasi sosial, politik, pengaruh global, dan kebijakan pemerintah.
Bagaimana pun, hemat penulis, kita sebagai Muslim di satu sisi dan sebagai
warga negara Indonesia yang hidup di zaman millenial ini di sisi lain,
harus terus mengupayakan agar pemahaman keagamaan masyarakat
tidak tekstual-literalis yang seringkali melahirkan gaya beragama yang
kaku, tetapi mengarahkan pada pada pemahaman yang kontekstual-
substantif. Sehingga dengan demikian, akan tercipta harmoni antara
konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemajuan di tengah masyarakat
Muslim Indonesia khususnya, dan masyarakat global umumnya. Kita
yakin bahwa kita bisa menjadi Muslim yang taat di satu sisi dan menjadi
warga negara sekaligus warga dunia yang baik di sisi yang lain.

Daftar Pustaka
Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, and Ulil Abshar-Abdalla.
Meodologi Studi Al-Qur’an. PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Abduh, Muhammad. “Risalah Tauhid, Terj.” Ahmad Firdaus AN Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Abdullah, M. Amin. “Islamic Studies in Higher Education in Indonesia:
Challenges, Impact and Prospects for the World Community.” Al-
Jami’ah 55, no. 2 (2017): 391–426.
Abshar-Abdalla, Ulil. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.” Dalam
Koran Harian Kompas (Jakarta), Pada Hari Senin 18 (2002).
al-Jabiri, Mohammed Abid. “Naqd Al-‘Aql Al-Araby II: Bunyat Al-‘Aql
Al-Arabi.” Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqafy Al-Araby, 1993.
Aliah, Mujadid Sigit. “Model Penelitian Hadis Mahasiswa Strata Satu
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Tahun 2014-2019.”
Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal Bimbingan Dan Penyuluhan Islam 9, no. 2
(2022): 140–50.
Amal, Taufik Adnan. Tafsir Kontekstual Al-Quran. Bandung: Penerbit
Mizan, 1989.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 303


An-Naim, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia Dan Hubungan Internasional Dalam Islam.
Yogyakarta: LKIS bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1994.
Arkoun, Muhammad. “Rethinking Islam: Common Questions,
Uncommon Answers Today.” Boulder: Westview, 1994.
Assidiqi, Muhammad Lutfi. “Tren Kajian Al-Qur’an Di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (Analisis Terhadap Skripsi Mahasiswa Program
Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir Tahun 2017-2019),” 2020.
Engineer, Asghar Ali. Religion and Liberation. Ajanta Publications (India),
1989.
Esack, Farid. Qurʾan, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression. Oneworld, 1997.
Ghazali, Abd Moqsith. “Argumen Pluralisme Agama,” 2022.
Ghazali, Abdul Moqsith. “Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran
Islam,” 2013.
Hanafi, Hasan. “Min Al-Aqidah Ila Al-Tsaurah.” Kairo: Maktabah
Matbuli, 1991.
Hanafi, Hassan. “Al-Turath Wa Al-Tajdid: Mawqifuna Min Al-Thawrah.”
Cairo: Al-Markaz Li Al-Bahth Wa Al-Dirasat, 1980.
Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan Dan Pemikiran. Bandung:
Penerbit Mizan, 1995.
Hasbiyallah, Muhammad. “Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya
Membumikan Nilai-Nilai Al-Qur’an.” Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu
Al-Qur’an Dan Al-Hadits 12, no. 1 (2018): 21–50.
Iqbal, Mohammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Stanford University Press, 2013.
Islami, Hayatul. “Metodologi Tafsir Sosial (Studi Kritis Atas Metodologi
Tafsir M. Dawam Rahardjo).” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Madjid, Nurcholish. Islam: Doktrin Dan Peradaban. Yayasan Wakaf
Paramadina Jakarta, 1992.

304 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


———. “Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Cet.” V. Bandung:
Mizan, 1993.
———. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2019.
Mahmuddin, Mahmuddin. “Analisis Kecenderungan Penelitian Tesis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Tahun 2012-2013.”
Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam 20, no. 1 (2016):
45–65.
Muslih, Mohammad. “Tren Pengembangan Ilmu Di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.” Episteme 12, no. 1 (2017): 103–39.
Mustaqim, Abdul. “Argumen Keniscayaan Tafsir Maqashidi” 9 (2554).
http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf.
———. “Tafsir Maqasidi.” Jurnal Penelitian Pendidikan Guru Sekolah
Dasar. Vol. 6, 2016.
Na’im, Abdullahi Ahmed An. Toward an Islamic Reformation: Civil
Liberties, Human Rights, and International Law. Syracuse University
Press, 1996.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. 1st ed. Jakarta:
Universitas Indonesia, 1995.
———. “Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,”
1982.
Penyusun, Tim. Moderasi Beragama. Kementerian Agama. Vol. 53, 2013.
Rahman, Fazlur. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism. Simon and Schuster, 2021.
Rahman, Yusuf. “Tren Kajian Al-Qur’an Di Dunia Barat.” Jurnal Studia
Insania 1, no. 1 (2013): 1. https://doi.org/10.18592/jsi.v1i1.1076.
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach. Oxon: Routledge, 2006.
Said, Edward. Orientalism: Western Concepts of the Orient. New York:
Pantheon, 1978.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 305


Saputro, M. Endy. “Indonesian Islamic Studies: Selected Dissertation
Bibliography 1980-1999.” DINIKA : Academic Journal of Islamic
Studies 1, no. 3 (2016): 387.
———. “Indonesian Islamic Studies: Selected Dissertation Bibliography
2000-2016.” DINIKA : Academic Journal of Islamic Studies 1, no. 3
(2016): 387.
Saputro, M Endy. “Analisis Tren Studi Qur’an Di Indonesia.” Al-Tahrir 11,
no. 1 (2011): 1–17.
Zayd, Nasr Hāmid Abū. Rethinking the Qur’ân: Towards a Humanistic
Hermeneutics. Humanistics University Press Utrecht, The
Netherlands, 2004.
Zayd, Naṣr Ḥāmid Abū. Naqd Khiṭāb Al-Dīnī. Cairo: Sinā lī al-Nashr,
1992.
———. Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Vol.
10. Amsterdam University Press, 2006.

Biografi Singkat Penulis


Cucu Surahman merupakan dosen yang memiliki kepakaran di bidang
ilmu tafsir al-Qur’an pada program studi ilmu pendidikan agama Islam
Universitas Pendidikan Indonesia. Studi S1 dan S3 beliau tamatka di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masing-masing jurusan Tafisr Hadits
dan Tafsir al-Qur’an, sedangkan S2 beliau di Univeristeit Leiden Belanda
pada jurusan Islamic Studies.

306 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Peran Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dalam
Perlawanan Petani Banten 1888

Agus Kusman
Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia
Email: agus.tonjong2016@gmail.com

Pendahuluan
Pada pertengahan abad ke-19, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
diperkenalkan oleh Syeikh Abdul Karim kepada masyarakat Banten
dan sekitarnya. Tarekat ini di kemudian hari menyebar luas dan menjadi
populer di Banten, khususnya di antara penduduk kelas menengah ke
bawah. Abad ke 19 bagi sejarah Banten, merupakan fase bergolaknya
rakyat Banten menghadapi penjajahan Belanda, meskipun sejak di awal
abad ke-19 secara formal Kesultanan Banten sudah dihapuskan oleh
pemerintah Hindia Belanda(Nina, 2003), namun ketidak-puasan rakyat
Banten atas penindasan dan pemerasan kekayaan rakyat terus berlangsung.
Kepemimpinan tidak ada di tangan sultan, tetapi diambil alih oleh ulama
dan pemimpin rakyat(Halwany & Chudari, 1993).
Gerakan sosial yang dilakukan rakyat Indonesia terjadi pada abad ke
19 terjadi ketika pihak kolonial melakukan kegiatan eksploitasi terhadap
nusantara. Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti
kafir, bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme, menjadi motor
penggerak untuk berbagai gerakan sosial yang marak pada abad ke-19.
Perlawanan yang berskala besar dan menegangkan pihak kolonial terjadi
lagi di daerah Cilegon, yang terkenal dengan Pemberontakan Petani
Banten pada bulan Juli 1888, yang terkait erat dengan gerakan kaum sufi,

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 307


karena kebanyakan mereka yang terlibat dalam pemberontakan adalah
para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam
pertempuran tersebut(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menurut sejarahnya adalah
kombinasi dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat
ini pada awalnya didirikan oleh Ahmad Khatib Ibn ‘Abd Al-Ghaffar,
seorang ulama dari Sambas Kalimantan Barat, pada pertengahan abad
ke-19 di Mekkah. Pada awal pengembangan tarekat, Syeikh Ahmad Sambas
memperoleh pengikut terutama dari kalangan pelajar asal Nusantara yang
menuntut ilmu agama di tanah suci. Kemudian atas dakwah mereka,
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dapat tersebar di Nusantara dan
memperoleh banyak pengikut khususnya di pulau Jawa(Mulyani, 2005).
Ahmad Khatib Sambas dikenal sebagai pemimpin tarekat sufi dan
salah satu pakar dalam sufisme, tetapi di samping itu ia juga adalah
seorang cendikiawan Islam yang menguasai berbagai pengetahuan Islam
seperti Al-Qur’an, Hadist (tradisi Nabi), dan Fiqh (hukum Islam), dan
menyalurkan pengetahuannya kepada banyak pelajar di Mekkah(Zulkifli,
2003). Dia memperoleh pengetahuan yang luas setelah belajar secara
tekun sebagaimana diketahui bahwa setidaknya dia memiliki sembilan
guru kenamaan di Mekkah yang menguasai bermacam-macam cabang
pengetahuan Islam(H. Abdullah, 1980). Sebagai seorang mursyid yang
kamil mukammil (guru sufi paling sempurna) Syeikh Ahmad Khatib
sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri
bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Tarekat Qadiriyah
memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mempunyai derajat
mursyid. Pada waktu itu di Mekkah dan Madinah, Tarekat Naqsyabandiyah
sangat terkenal dan mempunyai para guru yang sangat terkenal, maka
sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at dari tarekat tersebut. Kemudian
menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah
dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan kepada murid-muridnya
khususnya yang berasal dari Indonesia(H. Abdullah, 1980).

308 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki inti ajaran yang
saling melengkapi, terutama dalam jenis dzikir dan metodenya. Di
samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama
menekankan pentingnya syari’at dan menentang faham wihdatul wujud.
Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya
akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang
lebih mudah atau lebih efektif dan efesien. Disinyalir tarekat ini tidak
berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah,
di samping juga mursyid dalam Tarekat Naqsybandiyah. Tetapi ia hanya
menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah saja, sampai
sekarang belum ditemukan secara pasti dari sanad mana ia menerima
bai’at Tarekat Naqsyabandiyah. Untuk mendapatkan keterangan yang
lebih jelas atas masalah ini, maka penting untuk didaftarkan silsilah dari
tarekat sufi ini sampai pada Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Allah dan
Jibril disebutkan dalam silsilah ini; kemudian diikuti oleh:
Muhammad Saw.
‘Ali Ibn Abi Talib
Husayn Ibn Ali Talib
Zayn al-‘Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far as-Sadiq
Musa al-Kazim
Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Musa ar-Rida
Ma’ruf al-Karkhi
Sari as-Saqati
Abu al-Qasim Junayd al-Bagdadi
Abu Bakar asy-Syibli
‘Abd al-Wahid at-Tamimi
Abu al-Faraj at-Tartusi
Abu al-Hasan ‘Ali al-Hakkari
Abu Sa’id Makhzumi

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 309


Abd al-Qadir al-Jilani
Abu al-‘Aziz
Muhammad al-Hattak
Syams ad-Din
Nur ad-Din
Waly ad-Din
Husam ad-Din
Yahya
Abu Bakr
Abu ar-Rahim
Usman
Abd al-Fattah
Muhammad Murad
Syams ad-Din
Ahmad Khatib Sambas(Mulyani, 2005).

Sebagai seorang guru, Ahmad Khatib Sambas mengangkat khalifah[.


Di antara khalifah Syeikh Sambas di Indonesia, ada tiga orang yang
dipandang menonjol yaitu Syeikh Abdul Karim dari Banten, Syeikh
Ahmad Hasbullah ibn Muhammad dari Madura, dan Syeikh Tolha dari
Cirebon. Ketiganya dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam
penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia, terutama
di pulau Jawa dan Madura(Mulyani, 2005).
Secara historis, usaha penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyaban-
diyah di Indonesia diperkirakan sejak paruh abad ke-19, yaitu sejak
kembalinya murid-murid Syeikh Khatib al-Sambasi ke tanah air, setelah
bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah. Di Kalimantan, misalnya,
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah disebarkan oleh dua orang ulama,
Syeikh Nuruddin dan Syeikh Muhammad Sa’ad. Karena penyebaran-
nya tidak melalui lembaga pendidikan formal (seperti pesantren atau
lembaga-lembaga formal lainnya), sebagian besar pengikutnya datang
dari kalangan tertentu. Berbeda dengan Kalimantan, Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Jawa disebarkan melalui pondok-pondok pesantren

310 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


yang didirikan dan dipimpin langsung oleh ulama tarekat. Oleh karena
itu, kemajuan yang sangat pesat hingga kini merupakan tarekat yang
paling besar dan paling berpengaruh di Indonesia.
Perkembangan tarekat itu di pulau Jawa berlangsung sejak tahun 1870,
atas jasa Abdul Karim asal Banten. Dalam perkembangan selanjutnya
hampir semua guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau
Jawa menggabungkan silsilahnya kepada Abdul Karim, apalagi setelah ia
menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pimpinan Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah(Mulyani, 2005).
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten
pada abad ke-19, dapat dipandang sebagai kelompok yang melibatkan
komitmen total baik pemimpin dan anggota-anggotanya. Karena
kedudukan dan kewibawaannya, maka para kyai tampil sebagai pimpinan
yang kharismatik sehingga anggota-anggota tarekat yang tergabung di
dalamnya sangat menghormati dan patuh terhadap gurunya.
Perkembangan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
Banten, yang sebagian besar para pengikutnya adalah petani, dapat
dikategorikan menempuh tahap thaqah (pusat pertemuan sufi). Dalam
tahap tersebut, Syeikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-
sama di bawah peraturan yang tidak ketat(Nasution, 1985). Para petani
yang mengikuti ajaran tarekat, pada umumnya tetap bekerja sebagaimana
biasa, namun ada waktu tertentu bagi mereka untuk berkumpul bersama
dalam mengikuti ajaran tarekat yang diajarkan oleh kyai.
Sebagaimana di ketahui dalam sistem kehidupan masyarakat
tradisional, unsur mitos dan kepercayaan kepada kekuatan supernatural,
kekeramatan masih kuat di anut. Karena itu kewibawaan seorang kyai,
tokoh kharismatik bagi masyarakat Islam tradisional, tidak bisa dipisahkan
dari unsur kekeramatan. Di samping itu, sebagai pemimpin keagamaan
masyarakat tradisional, kyai menjadi tokoh sentral kepatuhan, panutan
masyarakat dalam mekanisme kehidupan sosial, budaya bahkan tidak
jarang ia memainkan peranannya sebagai tokoh politik

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 311


Di Banten Syeikh Abdul Karim memiliki seorang khalifah yang
bernama kyai Asnawi dari Caringin, yang kharismanya telah dimanfaatkan
oleh para pemberontak komunis di Banten pada tahun 1926. Dan
dilanjutkan oleh putranya, kyai Kazhim, yang mengajarkan tarekat
ini di Menes (Labuan). Pengajaran tarekat ini sekarang dilaksanakan
oleh putra kyai Kazhim yang bernama Ahmad. Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah juga masih berkembang di Cibeber (Cilegon) yang
pada waktu lalu diajarkan oleh Abd Al-Lathif bin Ali, sedang mursyidnya
sekarang ialah kyai Muhaimi yang menerima ijazah melalui kyai Asnawi.
Hingga akhir tahun 1988 kemenakan kyai Asnawi yang bernama kyai
Armin masih menjadi khalifah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terkenal
di Cibuntu (Pandeglang). Meskipun pertama kali mempelajari tarekat
dari pamannya, kyai Armin mengaku telah belajar dari beberapa ulama
di Mekkah dan Baghdad(Williams, 1982).

Pembahasan
Pengaruh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten
Dilihat dari perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mulai
dari berdirinya, terlihat bahwa tarekat ini mempunyai pengaruh yang
cukup besar di Banten. Banten pada abad ke-19, keanggotaan dalam
tarekat justru memberikan prestise bagi seseorang. Para kyai dan haji,
sebagai guru tarekat, sangat disegani dan dihormati oleh penduduk desa.
Salah seorang pemuka tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, K.H. Abdul
Karim, memiliki pengaruh yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten.
Sebelum tarekat ini didirikan, para kyai di Banten bekerja tanpa ikatan
apa-pun satu sama lainnya. Tiap kyai menyelenggarakan pesantrennya
sendiri, dengan caranya sendiri, dan bersaing dengan kyai-kyai lain
untuk mendapatkan nama sebagai ulama yang pandai, dukun yang
ampuh(Halwany & Chudari, 1993). Di bawah pengaruhnya, tarekat itu
semakin berakar dikalangan para kyai dan mempersatukan mereka.
Pada waktu yang bersamaan, pengaruh para kyai atas pengikut-pengikut
mereka bertambah besar(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).

312 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Haji Abdul Karim merupakan ulama besar dan orang suci di mata
rakyat. Ia adalah seorang pemimpin agama pada umumnya dan sebagai
guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada khususnya. Sejak masa
mudanya ia mendalami ajaran-ajaran Khatib Sambas, dan kemudian
menjadi seorang ulama besar yang sangat terkenal. Karena sifat-sifatnya
yang luar biasa, ia dianggap cocok untuk berdakwah bagi Tarekat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah. Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah
sebagai guru tarekat di Singapura (Kartodirdjo & Abdullah, 2015), dan
tugas itu ia lakukan selama beberapa tahun. Pada tahun 1872 ia kembali
ke desa asalnya, Lampuyang-Banten, dan tinggal disana selama kurang
lebih tiga tahun.
Haji Abdul Karim dipercaya bahwa, dia adalah seorang wali Allah
yang telah dilimpahkan barakat, dan karenanya mempunyai kekuatan
untuk mengirimkam keramat atau limpahan-limpahan mukjizat. Di
masa belakangan, dia menjadi terkenal dengan sebutan kyai Agung.
Karena pengaruhnya yang sangat kuat itu, daerah Banten dalam waktu
singkat diwarnai oleh kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Di
samping itu, kedudukan dan popularitasnya sebagai wali dan kyai agung
menumbuhkan kesetiaan rakyat Banten. Kebetulan pada masa itu telah
berkembang kuat rasa ketidak-puasaan rakyat kepada Belanda sebagai
akibat tindakan politik dan ekonomi Belanda yang tidak menguntungkan
rakyat Banten. Dalam situasi ketegangan semacam ini, para ulama di
Banten secara bertahap membangun semangat rakyat untuk melawan
pemerintah Belanda(Lubis & Abdullah, 2004).
Sebagai pemimpin tarekat yang semakin berkembang. K.H. Abdul
Karim juga mendirikan sebuah pesantren di Banten, yang sekaligus
dijadikan sebagai pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
serta membuka pengajian di Tanara, Tirtayasa, Serang. Selain itu, H.
Abdul Karim juga berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren-
pesantren dan berhasil mengobarkan semangat anti penjajahan. Dalam
waktu yang relatif singkat ia sudah mempunyai murid-murid yang sangat
setia, mengabdi dan patuh padanya. Sulit untuk memperkirakan jumlah

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 313


pengikutnya: bagaimanapun, ia dengan cepat tampil sebagai tokoh yang
dominan di kalangan elit agama.
Tidak saja prestise dan pengaruhnya yang bertambah besar. Selain itu,
ia juga mengunjungi daerah-daerah di Banten sambil tak henti-hentinya
mempropagandakan tarekatnya. Di samping masa rakyat yang antusias
yang dengan mudah ia pengaruhi, ia juga berhasil meyakinkan banyak
pejabat pamong-praja untuk mendukung misinya. Sejumlah tokoh
terkemuka, seperti Bupati Serang, penghulu kepala di Serang dan seorang
pensiunan Patih, Haji R.A. Prawiranegara, adalah sahabat-sahabatnya
dan mereka sangat terkesan oleh ide-idenya. Ia benar-benar merupakan
orang yang paling dihormati oleh rakyat dan seluruh masyarakat di daerah
Banten, sehingga pemerintah merasa takut kepadanya. Kepopulerannya
yang terus meningkat, murid-muridnya dengan tidak sabar menantikan
seruannya untuk memberontak, rakyat seolah-olah dilanda rasa rindu
dan ingin bertemu. Seperti digambarkan oleh Snouck Hurgronje:
“. . . setiap malam beratus-ratus orang yang ingin diselamatkan, berduyun-
duyun ketempat tinggalnya, untuk belajar zikir darinya, untuk mencium
tangannya dan untuk menanyakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan
untuk berapa lama lagi pemerintah kafir masih akan berkuasa?”(Lubis &
Abdullah, 2004)

Belanda menganggap Syeikh Abdul Karim sangat berpengaruh dalam


pemberontakan rakyat Banten melawan Belanda tahun 1888, sekalipun
dia tidak secara langsung terlibat di dalamnya. Dia meninggalkan Banten
pada tanggal 13 Februari 1876 dan dia tinggal di Mekkah ketika perang
meletus. Sartono memberikan catatan yang menarik tentang pengaruh
ajaran-ajaran dan dakwahnya atas populasi massa. Dia menulis:
“Dalam pada itu, wejangan-wejangan, janji-janji, dan ramalan-ramalan Haji
Abdul Karim membuat rakyat bersemangat. Jelas bahwa prediksi-prediksinya
tentang ‘Hari Kiamat’, kedatangan Mahdi, dan Jihad, memunculkan reaksi
fermentasi keagamaan secara umum; semangat jihad digerakan dengan
kesadaran yang hidup bahwa Negara mereka merupakan dar al-Islam,
yang saat itu dikuasai pemerintah asing, dan bahwa suatu hari ia harus

314 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


ditaklukan kembali. Tujuan pokok Kyai Agung adalah pendirian negara
Islam(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).

Dengan memasuki tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, maka


kesetiaan para santri kepada kyai, dan persaudaraan di kalangan para
santri menjadi kokoh. Selain itu, ilmu dan kesaktian para kyai memperkuat
karismanya di mata santri-santrinya. Satu hal yang mencolok adalah,
bahwa para kyai pada umumnya sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat,
yang menganggap mereka sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi.
Mereka menerima sumbangan-sumbangan, dan dengan mudah dapat
mengerahkan penduduk desa. Kesetiaan ini, yang dalam pandangan
petani-petani muslim sudah sewajarnya mereka berikan kepada pemimpin
agama mereka, lebih diperkokoh lagi oleh keanggotaan mereka dalam
tarekat(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).
Dari keterangan di atas, terlihat begitu besar pengaruh Syeikh Abdul
Karim bagi masyarakat petani di Banten pada saat itu, sehingga dengan
seketika, tarekat mampu menggerakkan masa rakyat. Kondisi seperti itu
jelas dilatar belakangi oleh adanya ketidak puasaan rakyat dalam berbagai
aspek kehidupan di pedesaan. Pada saat seperti itu, mereka membutuhkan
seorang figur pemimpin, dengan harapan akan mampu mengembalikan
keutuhan desa, tanpa ada gangguan dan pungutan apa-pun yang sangat
merugikan masyarakat Banten.

Kepemimpinan Tarekat dalam Perlawanan Petani Banten


Banten abad ke-19 ditandai oleh kontak yang semakin meningkat dengan
dunia Barat, kolonial Belanda. Puncak dari penetrasi tersebut di atas
ialah dihapuskannya lembaga kesultanan yang telah mengakar dalam
budaya masyarakat Banten selama kurang lebih tiga abad lamanya.
Bersamaan dengan itu pula, dihadirkan sistem birokrasi modern yang
legal rasional di bawah kekuasaannya, beserta peraturan-peraturan yang
menyertainya, seperti perekonomian uang, pelaksanaan pajak kepala,
peraturan rodi serta pemilikan hak atas tanah, oleh pemerintah pusat
harus dilaksanakan(Halwany & Chudari, 1993).

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 315


Dalam peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh ulama, haji dan
guru tarekat, serta para pejuang sebagai referensi sejarah, maka peristiwa
itu merupakan sebuah refleksi dari usaha menentang kebijaksanaan
penjajah Belanda yang telah menutup pintu bagi segala gerak dan usaha
para ulama. Sikap seperti itu telah ditunjukkan oleh pemerintah kolonial.
Para ulama sebagai guru agama dan pemimpin pesantren diawasi secara
ketat, para ulama di Banten lebih ditaati serta dihormati rakyat dari pada
pejabat pemerintah(Djajadiningrat, 1983).
Setiap wilayah yang dikuasai oleh penguasa kafir, biasanya
menimbulkan ketidak-percayaan masyarakat kepada para pejabat yang
merupakan personifikasi negara. Hal ini terjadi pula di Banten, para
petani tidak percaya kepada pejabat pemerintah selaku kaki tangan
Belanda, yang selalu mengadakan penyelewengan-penyelewengan dan
paksaan terhadap rakyat. Sehingga petani menganggap, bahwa hal itu
adalah penyebab kesulitan-kesulitan bagi mereka dan akan membawa
keuntungan bagi penguasa. Petani-petani semacam itulah yang pada
akhirnya akan mudah dimobilisasi oleh sebuah gerakan dan melebur
dalam sebuah organisasi yang menyebut dirinya dengan nama tarekat.
Dalam perkumpulan tarekat para petani sering bertemu dan bertukar
pikiran satu sama lainnya, dan pada akhirnya mudah untuk disatukan
dalam menghadapi penguasa.
Tidak ada satu kelompok di Jawa, tulis Michael Adas, dapat melawan
perluasan Belanda sehebat pemimpin muslim, ulama, kyai dan haji.
Bahkan menurut Harry. J. Benda, bahwa secara umum senantiasa ada
keterkaitan unsur agama Islam dengan berbagai perlawanan menentang
penjajahan Belanda di Indonesia. Selama kurang lebih empat abad lamanya.
Timbulnya aneka perlawanan seperti perang Paderi, perang Diponegoro,
perang Makasar, perlawanan di Aceh serta perlawanan di Cikande,
Ciomas dan Cilegon, tidak terlepas dari gerakan-gerakan Islam(Benda &
Dhakidae, 1980). Menurut Taufik Abdullah, hal ini sering menampilkan
ulama sebagai pemimpin perlawanan. Terjadinya perlawanan yang tidak
terhitung itu, bukan saja karena Islam adalah alternatif terhadap sistem

316 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


kekuasaan politik yang didominasi Belanda, tetapi dengan Islam membawa
ukuran baik-buruk serta solidaritas sosial(T. Abdullah, 1988).
Ulama Banten memegang peranan penting dalam menggerakkan
masyarakat untuk menentang penjajah Belanda. Melalui pesantren dan
tarekat, para ulama telah berhasil mengukuhkan diri sebagai pemimpin
umat. Ulama juga mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi
umat Islam dibeberapa daerah di Indonesia, terutama sekali dalam
menyebarkan serta mengkristalisasikan ide-ide perang sabil mengusir
pemerintah kafir. Melalui penyebaran ideologi perang sabil, para ulama
berusaha menggugah rakyat menjadi lebih dinamis dalam menghadapi
musuh. Strategi yang dijalankan adalah menumbuhkan kemauan keras
untuk berperang yang berlandaskan pada firman Allah dan Sunnah
Nabi. Hal ini didukung oleh para ulama yaitu para pengikut tarekat yang
masih setia kepada perjuangan mengusir orang kafir. Dengan begitu
ideologi perang sabil dapat tersemai sebagai motor penggerak dalam
peperangan. Maka timbullah keberanian yang memungkinkan orang
bersedia menempuh penderitaan guna mempertahankan prinsip hidup.
Di samping itu, timbul pula kebencian yang mendalam kepada musuh
dan kecintaan yang mendalam kepada agama dan bangsa(Suminto, 1985).
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten,
tampak sebagai artikulasi identitas keislaman berhadapan dengan lawannya
(Belanda), golongan tarekat sangat fanatik terutama dalam membentuk
komunalitas (kelompok) dalam satu solidaritas, dengan satu ideologi
keyakinan yang kokoh untuk di pakai sebagai ideologi dalam melawan aksi
dari lawannya yang mengancam eksistensinya. Dan tidak mengherankan
jika kemudian mereka berani melakukan konfrontasi fisik dengan idiom
jihad fi sabilillah dan sejenisnya, yang sangat populer dan sering dipakai
jika terlibat dalam gerakan aksi fisik(Thohir & Riyadi, 2002).
Dengan simbol-simbol ideologi yang berasal dari ajaran Islam,
aliran tarekat melakukan tantangan reaksi yang radikal, dan hal itu
merupakan kekuatan yang strategis dan sering ditakuti. Karena jika dilihat
dari ajarannya, tarekat sangat berkaitan dengan akidah, keimanan dan

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 317


didukung dengan pola kepemimpinan yang tradisional, dan kepemimpinan
kharismatik. Hal tersebut, menjadi kekuatan untuk menumbuhkan
semangat kaum petani, atau tarekat dapat dijadikan sebagai chanel kaum
petani, sehingga tarekat dapat dijadikan sebagai wadah bagi orang-orang
kecil yang tertindas untuk bangkit melawan, tentu saja legitimasinya
berdasarkan ajaran tarekat yang diyakininya. Ambisi pemimpin-pemimpin
agama untuk meruntuhkan penguasa Asing, tidak lagi terbatas pada
komunitas lokal. Perjuangan memperebutkan pengaruh atas kaum tani
lebih mendorong mereka untuk mencari dukungan di luar komunitas
dan golongan mereka sendiri.
Perkembangan guru tarekat, didukung oleh kampanye-kampanye
kebangkitan kembali agama yang melanda seluruh daerah-daerah di
Banten. Kampanye-kampanye menumbuhkan suatu suasana semangat
untuk berjihad di jalan Allah, tarekat-tarekat tampaknya mempunyai
daya tarik yang kuat bagi kaum tani yang tergolong lapisan sosial kelas
bawah. Prestise dan pengaruh kaum ulama di kalangan petani semakin
meningkat di lingkungan tarekat, tarekat-tarekat itu semakin ramai
dibicarakan oleh masyarakat Banten, khususnya masyarakat miskin di
pedesaan, mereka membicarakan masalah tentang pemberontakan dan
“perang sabil”, sebagai reaksi terhadap pemerintahan kolonial.
Dengan semakin mendekatnya saat-saat pemberontakan, nampak
kegiatan yang meningkat di kalangan kaum ulama. Dengan adanya sema-
ngat perang sabil di kalangan anggota-anggota tarekat dan masyarakat
petani khususnya, keresahan dan rasa tidak puas dapat diintegrasikan.
Anggota-anggota tarekat dan petani, setiap saat dapat dikerahkan sebagai
masa untuk usaha bersama, yakni perwujudan gagasan milenari(Karto-
dirdjo & Abdullah, 2015).
Sejak hari pertama sudah jelas ini, merupakan suatu pemberontakan
yang telah dipersiapkan dan direncanakan mempunyai lingkup yang jauh
melampaui batas-batas kota kecil di Cilegon. Peristiwa-peristiwa yang
telah terjadi menunjukkan, bahwa tarekat adalah perkumpulan tertutup,
yang merupakan sarana untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia

318 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


dan komunikasi di antara anggota-anggota komplotan, telah memainkan
peranan yang penting. Informasi disalurkan melalui tarekat secara
rahasia(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).
Dengan kedatangan Haji Tubagus Ismail di Banten, sebagai tokoh
sentral dalam pemberontakan, maka dorongan untuk mendirikan
kembali kesultanan Banten pun muncul. Gagasan perang sabil yang
dikumandangkan oleh Haji Ismail tersebut mendapat sambutan yang
sangat luar biasa dari masyarakat Banten, terutama para kyai terkemuka,
seperti K.H. Wasid, Haji Asnawi yang menyetujui gagasan-gagasan dan
menyatakan kesediaan untuk mendukung perang suci itu, dengan tujuan
untuk menggulingkan kekuasaan kafir(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).
Pada bulan Maret 1887, Haji Marjuki pulang dari Mekkah ke Banten.
Ia adalah teman akrab Haji Tubagus Ismail, ia membantu propaganda yang
dilakukan oleh Haji Ismail untuk tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
dan memanfaatkan organisasi ini untuk mengadakan hubungan dengan
orang-orang di luar Banten, seperti Bogor, Batavia, bahkan sampai ke
Ponorogo. Setelah gagasan propaganda tentang jihad tersebut nampak ada
perubahan, seperti semangat keagamaan yang meningkat dengan tajam,
ketaatan dan kesalehan diperlihatkan secara mencolok, tidak hanya oleh
kaum laki-laki, akan tetapi juga oleh kaum perempuan dan anak-anak.
Propaganda yang dilakukan oleh K.H. Wasid dengan penuh semangat
untuk mengusir penguasa kafir yang ada di Banten. Propaganda ditujukan
kepada para kyai di luar daerah Banten, seperti Batavia, Bogor, dan seluruh
Jawa Barat yang sangat terbuka bagi gagasan tentang jihad, dan dengan
antusias menggabungkan diri ke dalam gerakan itu. Para kyai berjanji
akan akan mengerahkan sukarelawan dan mengirim para muridnya ke
Banten.
Tak ketinggalan para kyai yang bukan anggota tarekat ikut serta untuk
mendukung gagasan perang sabil. Kyai Moekri dari Labuan bersama
dengan kyai Tubagus Ikhyar mengikuti langkah-langkah ulama lain dan
membawa pula santri-santrinya untuk ikut mendukung gagasan tentang
perang suci. Di Petir, Kabupaten Serang, kyai Yahya direkrut untuk

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 319


bergabung dengan para guru tarekat. Hal serupa dilakukan oleh kyai
Abdul Hadi dari desa Bangko, dekat Menes, kali ini dia membawa nyaris
semua orang sedesanya untuk ikut mendukung gagasan perang sabil ini.
Para ulama mempergunakan pusat-pusat pengajian di pesantren,
sebagai tempat untuk menggodok pengikut-pengikut tarekat dan
menghimpun kekuatan menghadapi Belanda. Sementara itu, usaha
pelebaran pengaruh dan penguatan tekad dalam perjuangan tetap
dilakukan oleh para ulama. Dalam hal ini, cara yang ditempuh para ulama
cukup unik, ia mengadakan acara khataman dan maleman, dalam bulan
puasa. Pada kesempatan itu, para ulama menyebarluaskan ajarannya
mengenai perang sabil serta menyadarkan orang untuk memerangi
pemerintah kafir, dan membagi-bagikan pula azimat-azimat pada para
pengikutnya.

Gerakan Tarekat dalam Peristiwa Geger Cilegon 1888


Dalam sejarah Indonesia, gerakan tarekat selain gerakan keagamaan yang
membentuk spiritualisme juga memiliki potensi sebagai gerakan massa,
dengan kekuatan yang bercorak ideologi. Hal ini tampak jelas, terutama
dalam gerakan penentangan yang dilakukan gerakan tarekat dalam
beberapa kasus, yang jelas-jelas merupakan penjelmaan dari dinamika
“ideologi protes”. Tarekat juga mempunyai peranan dalam membentuk
wadah solidaritas dan loyalitas, yang mana kekuatan tarekat terpancar
dalam bentuk persaudaraan dan kesetiaan.
Sejak lama di kalangan masyarakat Belanda di Indonesia telah
terdapat rasa ketakutan terhadap tarekat, karena mereka gerakan
tarekat dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai basis
kekuatan untuk memberontak. Kekhawatiran semacam ini nampak jelas
pada peristiwa Cilegon Banten 1888. Peristiwa Cilegon 1888 tidak bisa
dilepaskan dari latar belakang gerakan tarekat, karena banyak pelakunya
tercatat sebagai pengikut tarekat, bahkan menurut sinyalemen Residen
Banten, sebagian pegawai sipil di sana (termasuk polisi) berada di bawah
pengaruh para pemimpin agama yang notabene juga pengikut gerakan
tarekat. Salah satu identitas gerakan semacam ini adalah xenophobia (anti

320 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


orang asing) dan menggalakkan perang suci. Di daerah ini memang telah
terjadi beberapa kali pergolakan melawan Belanda. Sehingga tidaklah
mengherankan bila sesudah meletusnya peristiwa Cilegon tahun 1888
itu, gerakan tarekat mendapat perhatian khusus. Banyak anggota tarekat
diusulkan oleh bupati agar dibuang, meskipun kadang-kadang alasannya
tidak tertuju pada ajaran tarekat itu sendiri, melainkan pada organisasi
dan pengaruh guru-guru tarekat untuk mengerahkan pengikutnya untuk
menentang pemerintah. Sampai tahun 1890 disinyalir, ketakutan terhadap
peristiwa Cilegon ini masih cukup mendalam(Nina, 2003).
Pada dasarnya, gerakan perlawanan Cilegon merupakan gerakan yang
bersifat mesianistis, yaitu gerakan yang mengharapkan datangnya Ratu
Adil atau Imam Mahdi. Di samping itu, semangat perjuangan gerakan
perlawanan Cilegon diperkuat pula oleh semangat perang sabil. Sebagai
peran utama untuk menggerakkan para pengikutnya terdiri atas para
guru tarekat. Rasa tidak puas terhadap peraturan-peraturan pemerintah
kolonial telah menciptakan iklim yang baik bagi terhimpitnya pendukung
gerakan perlawanan itu. Harapan akan datangnya Imam Mahdi yang
ditunjang dengan semangat perang sabil sebagai ide, telah memperkuat
tekad atau semangat perjuangan pengikut-pengikutnya.
Selain itu, penyebab terjadinya peristiwa berdarah Geger Cilegon
adalah dihancurkannya menara langgar di desa Jombang Wetan atas
perintah Asisten Residen Goebbels. Goebbels menganggap menara
tersebut mengganggu ketenangan masyarakat karena kerasnya suara.
Selain itu, Gubbels juga melarang Shalawatan, Tarhim dan Adzan
dilakukan dengan suara keras. Kelakuan kompeni yang keterlaluan
membuat rakyat melakukan pemberontakan. Di antara tokoh-tokoh
guru tarekat yang mempelopori gerakan di Cilegon tahun 1888 dapat
disebutkan sebagai berikut; K.H. Wasid dari Beji, Haji Abubakar dari
Pontang, Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman
dari Tunggak, Haji Asnawi dari Lampuyang, Haji Muhammad Asik dari
Bendung. Semua kyai terkemuka tersebut mendukung gagasan perang
suci yang dilontarkan oleh kyai Haji Tubagus Ismail(Kartodirdjo &

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 321


Abdullah, 2015). Pada dasarnya perlawanan Cilegon ini digerakkan oleh
K.H. Wasid dan Haji Ismail, yang dikenal sebagai pemimpin gerakan
protes sosial, ia menggunakan metode tarekat dalam pembinaan potensi
massa pendukungnya. Para petani yang kehilangan pelindung, sebagai
akibat dari kalangan pamongpraja yang menindas rakyat, dan memihak
penjajah, menyebabkan K.H. Wasid dan kawan-kawan dengan gerakan
tarekatnya dijadikan tempat untuk mencari jalan keluar dari penindasan
sistem tanam paksa yang tak terelakkan(Kartodirdjo & Abdullah, 2015).
Pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum. Dengan
memekikkan takbir para ulama dan murid-muridnya menyerbu beberapa
tempat yang ada di Cilegon. Pada peristiwa tersebut Henri Francois
Dumas, juru tulis kantor Asisten Residen dibunuh oleh Haji Tubagus
Ismail. Dengan demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan Hendrik
Hubert Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka adalah
orang-orang yang tidak disenangi oleh masyarakat. Akhirnya dengan
perlawanan yang cukup alot, kota Cilegon untuk beberapa saat dapat
dikuasai oleh para pejuang “Geger Cilegon”. Tak lama kemudian datang
pasukan kompeni dari Serang menuju Cilegon sebanyak 40 orang serdadu
yang dipimpin oleh Bartlemy. Yang berhasil menguasai Cilegon dari para
pejuang Banten. Hingga akhirnya pemberontakan itu dapat dipatahkan
oleh pasukan Belanda. Para pemimpin pejuang Banten sebagian ada
yang dibuang ke Indonesia bagian Timur, K.H. Wasid sendiri dihukum
gantung. Walaupun pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh Belanda,
namun yang terpenting bahwa saat itu membuktikan bahwa “Rakyat
Banten anti Penjajahan”.(Kartodirdjo & Abdullah, 2015)
Seperti yang sudah direncanakan semula, berbarengan dengan
kejadian di Cilegon ini, beberapa tempat juga meletus pemberontakan
seperti di Bojonegara, Balagendung, Krapyak, Grogol, Mancak dan
Toyomerto. Di daerah Serang, pemberontakan dipimpin oleh Haji
Muhammad Asyik, seorang ulama dari Bendung, Haji Muhamad Hanafiah
dari Trumbu dan Haji Muhidin dari Cipeucang.

322 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai
sepenuhnya oleh pasukan para kiai. Tetapi seorang babu (pembantu
rumah tangga) Goebbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar
kejadian di Cilegon itu. Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang
serdadu yang dipimpin oleh Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Terjadilah pertempuran hebat antara pasukan para kiai dengan tentara
kolonial yang memmang sudah terlatih, sehingga akhirnya kerusuhan
dapat dipadamkan. K.H. Wasid sebagai pemimpin pemberontakan
dihukum gantung, seangkan yang lainnya dihukum buang seperti Haji
Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke BAnda, Haji Haris dibuang ke
Bukit Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir
dibuang ke Buton, haji Ismail dibuang ke Flores, dan masih banyak lagi
yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Menado, AMbon, Saparua,
jumlah keseluruhan pemimpin pemberontakan yang dibuang adalah 94
orang(Halwany & Chudari, 1993).
Peristiwa tersebut merupakan salah satu peristiwa sejarah pada abad
ke-19 di tanah air kita yang mungkin tidak dapat dipisahkan dari berbagai
peristiwa perlawanan terhadap kolonialisme. Perlawanan-perlawanan
baik di daerah Banten, maupun daerah-daerah lainnya di tanah air kita
pada abad ke-19, sudah jelas akibat dari tekanan-tekanan dan penindasan
oleh sistem pemerintahan kolonial Belanda sebagai lanjutan dari masa-
masa VOC abad ke-17 dan 18.. Dalam perlawanan terhadap penjajah,
ulama Banten memompakan semangat jihadnya melalui pengembangan
dakwah, mengajarkan tarekat dan melalui pendirian-pendirian pesantren.
Pada zaman penjajahan Belanda, pesantren yang dikelola oleh ulama
Banten, merupakan tempat dan pusat pendidikan Islam, juga berfungsi
sebagai pusat gerakan politik. Para santri tidak saja diberikan ilmu-ilmu
ke-Islaman, tetapi juga ditanamkan rasa nasionalisme untuk menentang
pemerintah Belanda yang dianggap sebagai kekafiran dan kemungkaran.
(Nina, 2003)
Kepemimpinan kyai dalam pergerakan melawan penjajah Belanda, semu-
anya didasari oleh motivasi dan kondisi yang sama, yaitu mempertahankan

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 323


aqidah dan melawan keangkara-murkaan, kemusyrikan, dan kekufuran
dilakukan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Semua didasari keikh-
lasan untuk membentengi agama Islam dari pengaruh buruk yang merusak
aqidah, ibadah dan muamalah. Hal ini jelas termanifestasi dari sejarah
perjuangan yang ditokohi para ulama diseluruh Nusantara khususnya
Banten. Karena itu, secara riil religius perjuangan para guru tarekat tidak
berdiri sendiri dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh
perjuangan lainnya. Begitu juga menurut pendapat Hasan Ambary bahwa:
“Kalau kita menengok peristiwa geger Cilegon yang dipelopori oleh K.H.
Wasid dan para pejuang Banten sebagai referensi sejarah, maka peristiwa
itu sebuah refleksi dari usaha untuk menentang kebijaksanaan Belanda
yang telah menutup pintu bagi segala gerak dan usaha ulama, sikap seperti
itu ditunjukkan pemerintah kolonial, karena pada masa itu, para ulama
sebagai guru agama dan pemimpin pesantren perlu selalu di awasi secara
ketat”.(Kartodirdjo & Abdullah, 2015)

Ikut sertanya para pendekar dalam pemberontakan rakyat Banten,


selain kepemimpinan ulama yang menyeluruh dan mencerminkan
universalitas, juga adanya idealisme antara ulama dan pendekar. Kedua-
duanya mempunyai tujuan melenyapkan kemungkaran dan kedzaliman.
Keduanya memiliki persamaan nilai yang harus dipertahankan yaitu
kesadaran akan kewajiban menyebarkan akhlakul karimah, menegakkan
keadilan dan kebenaran. Pada diri kyai ada nilai kepercayaan, bahwa mati
dalam membela iman adalah syahid. Sedangkan ajaran pendekar antara
lain, menyatakan tidak boleh mengganggu orang lain, tetapi pantang
mundur jika diganggu.
Kyai dan pendekar berbeda dalam kepemimpinan, namun memiliki
persamaan dalam nilai yang dijunjung tinggi, yaitu memberantas
kedzaliman. Kedua kelompok itu di Cilegon atau Banten saling mengisi
dan melengkapi. Keduanya dibutuhkan oleh masyarakat dan masing-
masing mempunyai pendukung. Peristiwa geger Cilegon yang dimotori
oleh Haji. Wasid, Haji. Tubagus. Ismail, H. Abdurrahman, dan masyarakat
Banten berakhir dengan mengalami kekalahan, tetapi dibalik itu semua
rakyat Banten memiliki nilai historis yang sangat besar dan berarti. Karena

324 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


lebih dari seratus orang pejuang Banten yang di buang diseluruh pelosok
tanah air, merupakan kader-kader produktif dalam menyebarkan agama,
budaya dan intelektual, karena sebagian besar dari mereka adalah tokoh
agama yang berpengaruh di daerah Banten.(Kartodirdjo & Abdullah, 2015)
Melihat pemberontakan rakyat Banten secara mendalam, di sana
dapat ditemukan kenyataan, bahwa terdapat kerjasama antara kedua
golongan (ulama dan petani), sebagai suatu bangunan institusi yang
mempunyai kesamaan nasib. Ulama yang dimaksud dalam pemberontakan
tersebut juga dapat digolongkan sebagai petani kaya, hanya saja mereka
mempunyai “daya linuwih” dalam masalah keagamaan. Mereka mempunyai
pengaruh yang kuat atas kehidupan petani kebanyakan. Peran seperti itu
dapat ditemukan dalam tokoh-tokoh seperti, Haji Tubagus Ismail, Haji.
Marjuki, Haji. Wasid dan lain-lain. Masing-masing merupakan ulama
sekaligus merupakan petani dengan kekayaan tanah sawah yang dimiliki
melebihi luas petani lain.

Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama. Di Banten, abad ke-19 merupakan kontak yang semakin
meningkat dengan dunia Barat. Bersamaan dengan itu pula dihadirkan
sistem birokrasi modern yang legal-rasional di bawah kekuasaannya,
beserta peraturan-peraturan yang menyertainya, seperti perekonomian
uang, pelaksanaan pajak kepala, peraturan rodi serta pemilikan hak
atas tanah merupakan gejala-gejala yang menyertai penetrasi kekuasaan
kolonial yang berlangsung secara berangsur-angsur, sangat mempengaruhi
kehidupan kaum petani yang karenanya menyebabkan kerusuhan di
daerah pedesaan, guna melawan penguasa Asing. Tekanan tersebut
memuncak menjadi sebuah pemberontakan.. Menjelang pemberontakan
tersebut, terjadi hal yang luar biasa di daerah Banten, seperti pertemuan
para masyarakat petani dengan kaum ulama, latihan pencak silat, dan
fanatik yang luar biasa terhadap orang-orang Belanda.
Kedua, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkenalkan oleh
Haji Abdul Karim pada pertengahan abad ke-19. Tarekat ini mempunyai

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 325


pengaruh yang cukup besar, baik di kalangan petani maupun di kalangan
pejabat. Karena pengaruhnya yang sangat kuat itu, daerah Banten dalam
waktu singkat diwarnai oleh kehidupan keagamaan yang luar biasa
aktifnya. Sebagai pemimpin tarekat, Abdul Karim mendirikan sebuah
pesantren di Banten, yang sekaligus dijadikan sebagai pusat penyebaran
tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, serta membuka pengajian di
Tanara, Tirtayasa, Serang. Selain itu, ia juga berhasil mempersatukan
para kyai dan pesantren-pesantren dan berhasil mengobarkan semangat
anti penjajahan. Begitu besar pengaruh pemimpin tarekat di Banten,
sehingga ia mampu menggerakkan masa rakyat yang membutuhkan
seorang pemimpin yang dapat mengembalikan keutuhan desa.
Ketiga, pemberontakan yang dipelopori oleh kyai, haji, dan guru
tarekat ini menunjukkan bahwa kaum ulama tidak setuju dengan
gagasan yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda. demi ketentraman
kehidupan keagamaan di Banten, maka alternatif terakhir harus mengusir
penjajah dari Banten. Keterlibatan mereka dalam suatu pemberontakan
bertujuan untuk mendirikan negara Islam (dar al-Islam), adanya penetrasi
dominasi kolonial yang kontradiksi dengan kehidupan keagamaan di
Banten. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan bahwa tarekat
adalah perkumpulan tertutup, yang berfungsi sebagai sarana untuk
menyebarkan informasi-informasi rahasia dan jaringan komunikasi
di antara anggota tarekat, juga sebagai koordinasi antara para kyai dan
ulama Banten. Kharismatik dan kekaramahan yang dimiliki para guru
tarekat rupanya telah menemukan penganutnya di kalangan petani, yang
berhasil mendorong rakyat kecil untuk melakukan perubahan. Dan inilah
sebabnya para guru tarekat lebih banyak terlibat dalam pemberontakan
rakyat Banten.

Daftar Pustaka
Abdullah. Perkembangan Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara.
Surabaya: Al-Ikhlas. 1980.

326 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Adas. Michael. Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang
Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali Pers. 1988.
Ahmad Ibrahim et. al. Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah. Jakarta:
LP3ES 1989.
Atho Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998
Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat ”Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995.
_______________. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung:
Mizan. !992.
Dhofier. Zamaksyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kiai. Jakarta: LP3ES. 1982.
Halwany Michrob. Mudjahid Chudori. Catatan Massa Lalu Banten.
Serang: Penerbit Saudara. 1993.
Harry J. Benda. Bulan Sabit dan Matahari Terbit”Islam Indonesia Pada
Masa Pendudukan Jepang”, terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka
Jaya. 1980.
Harun Nasution. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I. Jakarta:
UI-Press. 1985.
Hasan Muarif Ambary. Geger Cilegon 1888, Peran Pejuang Banten
Melawan Penjajah. Serang: Panitia Hari Jadi Ke-462 TK. II. 1999.
Hurgronje. C. Snouck. Verspreide Geschriften, terj. Soedarso Soekarno.
Kumpulan-Kumpulan Snouck Hurgronje VIII Versi Indonesia. Jakarta:
INIS. 1993.
Husein Djajadiningrat. Tinjauan Kritis Sejarah Banten. Jakarta: Jambatan.
1983.
Husnul Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1985.
Karel A. Steenbrink. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. 1984.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 327


Kartodirdjo. Sartono. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, terj. Hasan
Basari. Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan Peristiwa
dan Kelanjutannya. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1984.
________________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jilid
II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1999.
________________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari
Imperium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama 1999
________________. Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan. 1984.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005
________________.Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi
Terkemuka. Jakarta: Kencana, 2006, hlm 175-181
Nina Lubis. Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara.
Jakarta: LP3ES. 2003.
Noer. Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES. 1980.
Pijper, G. F. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950,
terj. Tudjimah dan Yessy Agusdin. Jakarta: UI Press. 1984.
Taufik Abdullah. Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
1988.
Tohir, Ajid. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Anti Kolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa.
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Williams. Michael. Sickle and Crescent: The Communist Revolt of 1926 in
Banten, terj. Candra Utama. Arit dan Bulan Sabit “Pemberontakan
Komunis 1926 di Banten”. Yogyakarta: Syarikat Indonesia. 1982
Zulkifli. Sufi Jawa Relasi Tasawuf-Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
2003.

328 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Biografi Singkat Penulis
Agus Kusman merupakan seorang dosen yang aktif dan produktif dakam
dunia tulis menulis. Saat ini beliau merupakan dosendi perguruan tinggi
Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 329


Hermeneutika Hadis tentang
Mengkafirkan Saudara Sesama
Muslim

Khairil Ikhsan Siregar,1 Wahyu Aji2


Universitas Negeri Jakarta
Email: khairilsiregar05@gmail.com, wahyuajibonbar@gmail.com

Pendahuluan
Saat ini ilmu sudah mudah didapatkan oleh semua orang yang memiliki niat
dan tekad yang bulat karena di masa ini ilmu pengetahuan dan teknologi
sudah berkembang pesat dan berbeda dengan masa lalu yang mana
ketika ulama-ulama dahulu mencari ilmu harus bersusah payah melalui
jarak yang jauh dan waktu yang tidak singkat. Namun demikian, tidak
jarang orang-orang pada masa yang serba mudah ini masih saja banyak
yang salah dalam memahami suatu ilmu, bukan berarti memahami ilmu
yang salah tapi mempelajari ilmu yang benar namun salah kaprah dalam
memahami ilmu tersebut sehingga tidak jarang saat ini banyak saudara
sesame muslim yang saling menyalahkan satu sama lain padahal masih
dalam satu koridor agama yang sama, hal tersebut tidak lain dan tidak
bukan dikarenakan oleh sesuatu yang di namakan “Gagal memahami suatu
hal” sehingga terciptalah suatu keadaan yang Bernama “Kesalahpahaman”,
hal ini menjadi sangat penting untuk dicarikan solusinya karena jika hal
ini terus terjadi maka perdamaian akan menjadi suatu hal yang sangat
langka dan hanya banyak terdapat kondisi yang dapat kita namai sebagai
“Permusuhan dalam satu kelompok” kurang lebih seperti itulah gambaran
yang terjadi di Umat Islam saat ini.
Hadis menjadi sangat penting untuk dipahami maknanya secara
mendalam yaitu dengan memahami isi dari suatu hadis, namun sebelum

330 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


memahami matan (isi) hadis kita perlu meneliti kualitas hadis dari sisi
jalur periwayatannya atau biasa dikenal sebagai sanad hadisnya, tetapi
sebelum memahami matan (isi) hadis perlu meneliti kualitas hadis dari
sisi sanad (jalur periwayatan) hadis. Langkah kritik sanad syarat menilai
keorisinalan suatu hadis dan menentukan kebenaran suatu hadis dan
dapat juga digunakan sebagai acuan hukum atau sebagai pegangan
(hujjah). Mengkritisi sanad menjadi salah salah tema yang penting
dalam kajian ilmu hadis. Ilmu hadis yang dapat kita gunakan sebagai
jalan untuk mengkritisi para perawi hadis yaitu ilmu rijalul hadis yang
mana ilmu tersebut terbagi menjadi dua yang pertama yaitu ilmu ruwat
hadis dan jarh wa ta’dil. Ilmu Ruwat hadis membahas mengenai biografi
atau pengalaman hidup daari setiap perawi hadis sehingga dengan
mempelajari ilmu tersebut, kita dapat mengetahui masing-masing dari
perawi hadis tersebut. Sedangkan ilmu Jarhwa ta’dil merupakan ilmu
yang khusus mengkaji karakteristik yang disematkan atau yang sudah
melekat dengan cara yaitu melalui memperhatikan dan menimbang
pendapat para ulama kritikus hadis. Dari kedua ilmu tersebut dapat kita
rujuk kepada kitab-kitab yang membahas tentang biografi para perawi
dan kitab jarh wa ta’dil. Sedangkan jika membahas mengenai pendekatan
Upaya memahami hadis, makna teks-teks atau naskah dari sebuah hadis
dapat dilakukan melalui metode syarah atau penjelasan dari suatu hadis
dan ilm tersebut dapat dilakukan melalui cara tahlili ataupun tematik.
Di masa ini sedang berkembang metode hermenuetika yang diap-
likasikan untuk memahami baik Al-Qur’an maupun hadis karena suatu
alasan kedua sumber ajaran tersebut harus dapat dipahami sepanjang
masa. Hermeneutika suatu teori untuk memahami teks-teks atau upaya
menginterpretasi teks agar maknanya dapat diimplementasikan dengan
zaman kekinian. Hal inilah yang melatar belakangi bahwa sangat penting
untuk mengetahui teori hermeneutika tentang hadis mengkafirkan
saudara sesama muslim.
Masalah mengenai kesalahpahaman Umat Islam dalam memahami
hadis yang mengakibatkan situasi mengkafirkan sesama Umat Islam ini

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 331


sangat penting untuk dikaji karena jika permasalahan ini dapat teratasi
dengan baik maka kedamaian dan harmonisasi antar Umat Islam dapat
berjalan dengan baik.
Salah satu cara untuk meminimalisir keadaan saling mengkafirkan
saudara sesama muslim yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara
memahami suatu hal dengan baik sehingga suatu hal dapat dipahami
sesuai dengan semestinya, selain itu juga sifat fanatisme yang selalu hadir
di semua lini saat ini, fanatisme tersebut diakibatkan oleh rasa menutup
diri di dalam suatu kelompok dan tidak mau mempelajari hal lain di luar
kelompok tersebut sehingga timbullah rasa fanatisme tersebut, alhasil
terciptalah rasa kebencian terhadap kelompok lain yang dirasa tidak
sepaham dengan kelompok lainnya.
Dalam menangani hal yang telah disebutkan di atas sangat dibutuhkan
pengetahuan yang luas untuk memahami suatu hal tersebut yaitu dengan
memahami hermeneutika sehingga dalam hal memahami hadis tentang
mengkafirkan saudara sesama muslim tersebut dapat dipahami dengan
tafsiran yang sebenar-benarnya.
Sehingga dalam penelitian ini akan berfokus pada dua hal, yang
pertama yaitu mengeksplorasi mengenai kredibilitas para perawi hadis pada
objek penelitian sehingga mendapatkan jawaban kualitas jalur sanadnya
dan yang ke dua adalah memahami makna teks hadis objek penelitian
dengan teori hermeneutika. Permasalahan ini cukup penting untuk
diteliti dengan tema kajian “Hermeneutika hadis tentang mengkafirkan
saudara sesama muslim”.

Pembahasan
Hermeneutika
Hadis merupakan perkatan dari Nabi Muhammad Saw yang mana
perkataan tersebut merupakan sumber utama Umat Islam yang ke dua
setelah Al-Qur’an. Jarak Umat Islam saat ini dengan Nabi Muhammad
Saw yaitu sekitar 1400 tahun atau sekitar 1 abad, sehingga berdasarkan
jarak waktu tersebut maka sangat banyak penafsiran-penafsiran dari

332 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


suatu hadis sehingga tak jarang dalam memahami suatu hadis terdapat
banyak pemahaman di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka sangat
dibutuhkan suatu ilmu untuk memahami suatu hadis yang dapat kita
sebut sebagai hermeneutika.
Jika ditinjau dari segi bahasa, Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
yaitu “hermeneuo” yang memiliki artian yaitu menafsirkan. Sedangkan
jika ditinjau dari sisi terminologi, hermeneutika dapat diartikan sebagai
penerjemahan dengan suatu perbuatan sebagai penafsir, penjabaran
suatu pemikiran dalam bentuk rangkaian kata dan suatu pemindahan
pemikiran yang masih umum menjadi suatu bentuk ungkapan yang lebih
khusus dan jelas (Agusni, 2014).
M. Ilham Muchtar mengatakan bahwa hermeneutika Secara umum
dapat digambarkan sebagai suatu teori tentang interpretasi makna ( Ilham,
2016). Selain itu martono juga menjelaskan bahwa hermeneutika termasuk
ke dalam suatu model dalam penafsiran (Martono dalam Khairil, 2021).
Sejalan dengan kedua pengertian tersebut, Al-Fatih Suryadilaga juga
menyebutkan bahwa hermeneutika merupakan ilmu yang digunakan
untuk penafsiran suatu kata (Al-Fatih Dalam Khairil, 2021).
Jadi dapat kita pahami bahwa hermeneutika merupakan suatu ilmu
yang digunakan untuk menafsirkan suatu hal agar mendapatkan suatu
pemahaman yang jelas baik itu Al-Qur’an maupun pemahaman mengenai
suatu hadis dengan tema tertentu.

Fungsi Hadis
Hadis merupakan perkataan yang bersumber dari Rasulullah Saw yang
mana perkataan tersebut dapat diambil sebagai contoh suatu hukum
bagi Umat Islam. Hadis juga merupakan salah satu sumber hukum Umat
Islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Begitu besarnya kedudukan hadis
sampai-sampai membuat hadis dapat diklasifikasikan ada yang shahih
yaitu hadis yang kuat, ada yang hasan yaitu hadis yang kualitasna sedang
dan ad juga yang dhaif yaitu hadis dengan kualitas yang lemah. Selain itu
juga ada perkataan-perkataan yang diyakini oleh sebagian orang sebagai

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 333


hadis padahal itu bukan hadis atau yang bias akita kenal sebagai hadis
maudhu yaitu hadis palsu.
Pada hakikatnya hadis berfungsi sebagai penguat hukum-hukum
yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an atau dapat kita katakana sebagai
penguat tambahan dari suatu hukum misalnya hukum tentang shalat
yang ada di Al-Qur’an maka dapat juga diperkuat oleh hadis-hadis yang
menjelaskan tentang hukum shalat, selain sebagai penguat hukum-
hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an hadis juga berfungsi sebagai
penjelas, maksudnya adalah hadis dapat memberikan penjelasan yang
maih samar-samar, memberikan rincian hal-hal yang ada di Al-Qur’an
misalnya waktu shalat, sebagai pembatas suatu hal misalnya Batasan
tentang hak waris yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, dan memperluas
maksud dari Al-Qur’an, selain itu hadis juga berfungsi untuk menetapkan
suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an (Tasbih, 2017).
Secara singkat dapat kita katakan bahwa hadis merupakan penjelasan
dari Al-Qur’an yang mana penjelasan tersebut dapat menjelaskan suatu
hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an namun terbatas.

Analisis Sanad dan Matan Hadis dari Imam Bukhari No. 5638
َ ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ َ َ َ
َ َ َ ْ ُ
‫يد قالا حدثنا عثمان ْب ُن ع َم َر أخب َرنا ع ِل ُّي‬ ‫ع‬ ‫س‬ َ ‫َحَّدثَ َنا ُم َحَّم ٌد َوأ ْح َم ُد ْب ُن‬
ٍ ِ
َ َ َ َ ْ
َّ
ُ‫ر َر َة َرض َي الل‬ ْ‫يح َيى ْبن أبي َثير َع ْن أبي َسل َم َة َع ْن أبي ُه َي‬ َْ ْ َ َ ‫ْب ُن ال ُم َب‬
ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ك‬ِ ‫ار‬
َ‫يه يا‬
َ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ُ َ َّ َ ُ ْ َ
َّ
ِ ‫الل صلى الل علي ِه وسلم قال ِإذا قال الرجل ِلأ ِخ‬ ِ ‫عنه أن رسول‬
َّ َ ْ َ ْ َ ْ َ َّ َ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ْ َ َ ُ َ
ِ ‫اء ِب ِه أحدهما َوقال ِعك ِرمة بن عم ٍار عن يح َيى عن ع ْب ِد‬
‫الل‬ ‫ك ِافر فقد ب‬
َّ َ َ ُ َّ َّ َ َ َ
َّ َ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ
‫الل عل ْي ِه َو َسل َم‬ ‫ر َرة ع ْن النب ّي صلى‬ ‫ب ِن ي ِزيد س ِمع أبا سلمة س ِمع أبا ه ي‬
ِ ِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad dan Ahmad bin
Sa’id keduanya berkata: telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Abu
Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah R.A bahwa Rosulullah Saw.
bersabda: “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya: “Wahai Kafir”
maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya” Ikrimah
bin ‘Ammar berkata: dari Yahya dari Abdullah bin Yazid dia mendengar

334 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Abu Salamah mendengar Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Saw. (H.R.
Bukhari No. 5638).

Analisis terhadap Kredibilitas Hadis Objek Penelitian


Jika ingin mengetahui kredibilitas suatu hadis dan orisinalitasnya maka
kita harus melihat sanad dari suatu hadis, Hadis dari Bukhari No. 5638
telah diriwayatkan oleh tujuh periwayat. Dapat kita ketahui bahwa semua
periwayat dari hadis tersebut hanya kita ketahui kapan wafatnya saja. Para
ulama memberikan tanggapan yang bagus dan positif da jika ditilik dari
teori hadis, maka rawi pertama merupakan sanad terakhir dan sanad
pertama yaitu rawi terakhir ( Soetari dalam Akhdan, 2023). Jika dilihat
dengan seksama maka hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai hadis
mutashil (bersambung) karena dapat dilihat dari persambungan sanad.
Syarat persambungan sanad yaitu harus liqa (bertemu) antara pengajar
atau guru dan yang diajarkan atau murid (Soetari E. dalam Akhdan,
2023). Liqa tersebut dapat dilihat dari keberadaan mereka karena mereka
sezaman dan ada pada wilayah yang sama yaitu berada di satu wilayah.
Jika dilihat dari negeri atau wilayah mereka, maka semua berada
di negeri ataupun wilayah yang berdekatan. Dapat dikatakan sezaman
guru dan murid tersebut walaupun tidak diketahui tahun lahirnya. Jika
ditinjau dari teori ilmu Hadits, perawi hadits dapat dikatakan usia mereka
berkisar 90 tahun. Berangkat dari hal tersebut dapat diprediksi bahwa
para periwayat dapat kemungkinan bertemu dalam mata rantai sanad
antara guru dan murid (Darmalaksana dalam Akhdan, 2023). Juga dapat
dikatakan bahwa matan hadis tersebut tidak janggal dan tidak cacat.
Tidak janggal di sini memiliki arti logis menurut akal sehat, sedangkan
tidak terdapat cacat dalam arti matan hadis tersebut tidak bertentangan
dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan dalil yang lebih tinggi
(Soetari dalam Akhdan, 2023).
Walaupun tidak berada dalam bentuk teks, naskah ataupun lafadz
yang sama, Hadits riwayat Al-Bukhari ini mendapatkan dukungan dari
kandungan hadits riwayat lainnya, yaitu Muslim No. 91 dan No. 92,
Tirmidzi No. 2561, dan Ahmad 4458 (Saltanera dalam Akhdan, 2023).

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 335


Dengan kata lain, hadits tersebut memiliki syahid dan mutabi (Mardiana,
D., & Darmalaksana, W dalam Akhdan, 2023) Hadits riwayat Bukhari
No. 5638 ini sudah memenuhi syarat shahihnya karena para ulama
berkomentar positif. Dan hadits ini memiliki syahid dan mutabi, hadits
ini pula sudah tentu dapat dijadikan hujjah pengalaman Islam.

Pembahasan terhadap Hadis Objek Penelitian


Berdasarkan hadis yang telah disebutkan di atas, sifat hadits riwayat
Bukhari No. 5638 adalah shahih li dzatihi atau shahih dalam artian diterima
sebagai dalil dan hujjah tanpa adanya keraguan dengan bukti yang kuat
sehingga dikatakan hadits ini shahih. Sanad muttasil, perawi yang jujur,
keakuratan perawi, ketidakadaan syadz, serta tidak cacat itulah bukti
yang menjadikan hadits ini shahih. Dikisahkan, suatu hari Rasulullah
mengirim seorang pemuda perang yaitu Usamah bin Zaid bersama
para sahabat lainnya pergi ke sebuah desa yang bernama al-Huraqah
dalam sebuah misi perang. Usamah bin Zaid beserta para sahabat yang
lain berhasil memukul mundur pasukan lawan setelah itu Usamah dan
seorang lelaki Anshar mengejar seorang lelaki dari pasukan musuh.
Dikarenakan lelaki tersebut terpojok oleh Usamah dan lelaki Anshar
itu, mengucaplah lelaki tersebut kalimat tahlil “La Ilaha Illallah”. Ketika
mendengar kalimat tersebut, lelaki Anshar langsung mengurungkan niat
untuk membunuhnya. Namun, Usamah malah menikam pengucap kalimat
tauhid tersebut hingga menghembuskan nafasnya. Ketika Rasulullah
mendengar kabar tersebut, marahlah dikarenakan tindakan Usamah itu.
Nabi Menginterogasi dan bertanya “Wahai Usamah, mengapa engkau
membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat tahlil La Ilaha Illallah?“
Nabi Muhammad mengutarakan pertanyaan tersebut hingga berulang-
ulang hingga Usamah berandai-andai belum masuk Islam ketika itu. Lalu
jawab Usamah “Dia hanya berpura-pura“. Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Usamah, “Mengapa tidak engkau
robek saja hatinya agar kamu tahu apakah dia sungguh-sungguh atau
berpura-pura?”Usamah bin Zaid sadar, Rasulullah sedang marah besar,
yang kemudian membuatnya sangat menyesal. “Aku tidak akan pernah

336 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


lagi membunuh siapa pun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah,” kata Usamah (Nidlomatum dalam Akhdan, 2023).

Kajian Hermeneutika Hadis Tema “Mengkafirkan Saudara


Sesama Muslim”
Ilmu hermeneutika menurut Schleiermacher menjelaskan hermeneutika
adalah seni memahami teks. Setiap teks tidak hanya memiliki satu sisi
saja namun memiliki dua sisi, yaitu sisi eksternal dan internal. Yang
pertama yaitu sisi eksternal berkaitan dengan makna gramatikal teks
Sedangkan yang ke dua yaitu sisi internal yang berhubungan dengan
makna psikologis pengarang.
Ada beberapa prinsip-prinsip hermeneutika hadis sebagaimana yang
diungkapkan oleh Musahadi yaitu
1. Prinsip konfirmatif: Keadaan di mana seseorang yang melakukan
pemahaman terhadap teks sebuah hadis harus selalu mengkonfir-
masikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk Alquran sebagai
sumber tertinggi ajaran Islam.
2. Prinsip tematis komprehensif: Keadaan di mana seorang mufasir
mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang
relevan sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif.
3. Prinsip linguistic: Keadaan di mana seorang penafsir memperhatikan
prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab, karena hadis-hadis Nabi
SAW berupa bahasa Arab.
4. Prinsip historic: Keadaan ini memperhatikan pemahaman terhadap
latar situasional masa lampau di mana hadis terlahir, baik menyangkut
latar sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun khusus yang
melatarbelakangi munculnya hadis.
5. Prinsip realistic: Keadaan di mana seorang mufasir selain memahami
latar situasi masa lalu juga memahami latar situasional kekinian
dengan melihat realitas kaum muslimin yang menyangkut kehidupan,
problem, krisis, dan kesengsaraan mereka.
6. Prinsip distingsi etis dan legis: Keadaan di mana seorang mufasir
mampu menangkap dengan jelas nilai-nilai etis yang hendak

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 337


diwujudkan oleh sebuah teks hadis dari nilai legisnya. Oleh karena
pada dasarnya Hadis-hadis Nabi SAW. tidak bisa hanya dipahami
sebagai kumpulan hukum saja, melainkan mengandung nilai-nilai
etis yang lebih dalam.(Izza dalam Khairil, 2021)
Berdasar teori hermeneutika tersebut dan prinsip-prinsip upaya
menginterpretasi makna teks atau simbol dalam hadis berikut di antara
langkah menjelaskan memahami makna hadis yang diteliti.

Bahasa Arab Sebagai Media dalam Memahami Hadis


Bahasa bukan saja alat berkomunikasi secara oral namun bahasa tertuang
dalam teks yang harus dipahami dari sisi psikologi dan sosial yang
menggambarkan keindahan dan emosi. Menurut Habibie (1998), bahasa
merupakan alat ekspresi tiap manusia yang tidak hanya mengandung
nilai-nilai eksakta, tetapi mengandung juga nilai-nilai budaya yang indah
yang penuh dengan emosi. Ditegaskannya, saya bisa hidup tanpa kapal
terbang, tetapi tidak bisa hidup tanpa bahasa yang berbudaya dan sastra.
(Martono dalam Khairil, 2021).
Seorang pen-syarah atau seorang yang menjelaskan hadis adalah
seorang pemerhati prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab, karena
hadis-hadis Nabi SAW berupa bahasa Arab. Teks-teks hadits lahir dari
bahasa Arab sama dengan ayat-ayat Alquran menjadi kebangaan dari
pengikut ajaran Islam, maka belajar bahasa Arab suatu keniscayaan
agar dapat memahami dan mengerti makna-makna dikandung hadis.
Bahasa Arab memiliki keunikan dibandingkan dengan bahasa yang lain,
ia memiliki kekhususan dalam menyebut sifat suatu benda dan dapat
menjelaskan definisi-defenisi benda tersebut. Di antara kekhususan
bahasa Arab sebagai berikut:
1. Bahasa Arab adalah bahasa derivasi (isytiqāq) atau turunan
2. Bahasa Arab itu al-shighat yakni bentuk kosa-kata /mufradun/
mufradât Mengenal kota-kata dalam matan
3. Bahasa Arab itu bahasa I’rab yakni banyak menjelas kaidah dan
kedudukan kata Menilik bahasa Arab dari sisi kajian I’rab sebuah klaim

338 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


bahwa seluruh bahasa didunia ini hanya bahara Arab yang memiliki
kajian I’rab. Maksud dari I’rab adalah ilmu dapat menguraikan
kedudukan kosa-kota susunan kata-kata karena dengan dapat
menguraikan secara rinci kedudukan kata dalam sebuah kalimat
bahasa Arab akan membantu pemahaman ketika membaca sebuah
teks hadis atau ayat-ayat di dalam Alquran atau di buku Arab.
Penjelasan Hadis dari Intelektual Muslim Klasik maupun
Kontemporer
Mengenai hadis bukhari no 5638, Mengenai Hadits ini, Ibnu Hajar
al-Asqalani memberikan sebuah komentar dalam kitab Fath al-Bari:

‫والحاصل أن من أكفر المسلم نظر فان كان بغير تأويل استحق الذم‬

‫وربما كان هو الكافر وإن كان بتأويل نظر ان كان غير سائغ استحق‬

‫الذم أيضا ولايصل إلى الكفربل يبين له وجه خطئه ويزجر بما يليق به‬
Dan kesimpulannya adalah seseorang yang mengkafirkan seorang Muslim,
maka harus diteliti. Apabila ia menuduh tanpa adanya takwil (penjelasan/
interpretasi) maka ia pantas mendapatkan celaan dan tak jarang ia sendirilah
yang kafir. Dan apabila ia menuduh dengan adanya takwil (penjelasan/
interpretasi) maka dipertimbangkan seandainya ia menuduh tanpa alasan
yang diperkenankan maka ia pantas mendapatkan celaan, akan tetapi ia
tidak sampai derajat kafir. Bahkan, ia harus menunjukkan segi kesalahan
orang yang ia tuduhkan kafir serta ia harus menegurnya dengan perbuatan
yang pantas. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, [Beirut: Darul Kutub
al-Islamiyyah]​​​​​​, 209, juz 16 hal. 198).

Walhasil, kita harus mampu mencari sisi keimanan dari seseorang


yang dituduhkan kafir. Karena pada dasarnya keimanan adalah suatu hal
yang telah diyakini oleh segenap umat Islam, sedangkan tuduhan kafir
adalah sebuah hal baru yang penuh dengan keraguan dan membutuhkan
bukti yang jelas. Oleh karena itu, Imam Malik bin Anas—pendiri mazhab
Maliki—pernah mengatakan:

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 339


‫ ويحتمل الإيمان‬،‫من صدر عنه ما يحتمل الكفر من تسعة وتسعين وجها‬

.‫من وجه حمل أمره على الإيمان‬


“Barang siapa yang muncul darinya perkara yang kemungkinan
menyebabkannya kafir dari 99 sudut pandang, dan ada kemungkinan ia
tetap dalam keimanan dari satu sudut pandang, maka ia dihukumi tetap
dalam keimanan” (Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim, [Beirut: Darul
Kutub al-Islamiyyah], 2008, juz.1 hal.150).

Simpulan
Hermeneutika menjadi suatu ilmu yang sangat penting dalam hal
memberikan pemahaman sutu hadis agar Umat Islam tidak berada dalam
situasi “Salah mengartikan” suatu hadis sehingga tidak ada fanatisme yang
diakibatkanoleh kesalahpahaman terhadap memahami hadis terkhusus
hadis tentang mengkafirkan saudara sesame muslim.
Nabi Muhammad Saw melarang Umat Islam untuk memanggil dengan
sebutan Kafir kepada saudara sesame muslim karena apabila saudara
sesame muslim disebut kafir maka jika dilihat dari makna hadis yang telah
disebutkan bahwa ucapannya akan berbalik kepada yang mengkafirkan,
selain itu juga dapat dikatakan makna mengkafirkan kepada saudara
sesame muslim yaitu sama artinya dia membunuh saudaranya maka
sangat berat hukumannya. Allah akan mematikan hatinya selama hidup,
mematikan kecerdasan otaknya dan juga akan mematikan keberkahan
hidupnya atau sama seperti mayat yang berjalan tidak ada arti hidupnya
kecuali dia bersegera untuk bertaubat.
Umat Islam dilarang untuk memanggil saudara sesama muslim
dengan sebutan “Kafir” dikarenakan hal tersebut merupakan hal yang
diharamkan, selain itu pemanggilan kafir terhadap saudaranya sesama
muslim juga akan kembali ke seseorang diantara kedua orang tersebut,
terlebih lagi jika sebutan kafir tersebu tidak berdasar sehingga hal tersebut
sangat dilarang oleh Nabi Muhammad Saw.

340 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Adapun hukuman terhadap pengkafiran oleh sesama muslim juga
dapat berbalik kepada pelaku yang mengkafirkan saudara sesama muslim
lainnya.

Daftar Pustaka
Yahya, Agusni. “Pendekatan Hermeneutik dalam Pemahaman Hadis
(Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-Asqalani)”. Aceh:
UIN Ar-Raniry International Journal of Islamic Studies Vol. 1. No.
2, Desember 2014.
Ilham Muchtar, M. 2016. Analisis Konsep Hermeneutika dalam Tafsir
Al-Qur’an. Hubafa: Jurnal Studia Islamika, 13(1), 67-89.
Ikhsan Siregar, Khairil. 2021. Hermeneutika Hadis tentang “Hidupkan
Saya Bersama Orang Miskin”. Hayula: Indonesian Journal of
Multidisciplinary Islamic Studies Vol. 5, Nom 1, Jan 2021
Tasbih. 2017. Kedudukan dan Fungsi Hadis sebagai Sumber Hukum
Islam. Gorontalo: Jurnal Ushuluddin Vol. 14. No 3 2010
Akhdan Ruwanda, Muhammad. 2023. Mengkafirkan Saudaranya Tanpa
Takwil: Studi Takhrij dan Syarah Hadits. Bandung: UIN Sunan
Gunung Djati, Vol. 24 (2023)

Biografi Singkat Penulis


Khairil Iksan Siregar merupakan seorang dosen yang aktif dan produktif
dalam dunia tulis menulis, banyaknya karya-karya yang telah dihasilkan
beliau dipublikasikan dalam buku maupun jurnal bereputasi. Saat ini beliau
merupakan dosen program studi Pendidikan Agama Islam Universitas
Negeri Jakarta.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 341


Perkembangan pemikiran Islam
dan Praktiknya di era Digital:
Pemanfaatan Cyberspace di Dalam
Proses Dakwah Islam

Dinda Widiya Pitaloka


STAI Al-Hamidiyah Jakarta, Indonesia
Email: dindawidiya831@gmail.com

Pendahuluan
Pada bagian ini di dalam era digital, dari bermacam - macam permasalahan
yang muncul di kalangan anak muda maupun yang tertua perlu kita
perhatikan bahwasanya yang lebih kita jaga adalah kemajuan teknologi
yang kita alami pada saat ini. yang memang dampaknya akan sangat besar
terhadap kehidupan dan privasi didalam diri kita. kemajuan teknologi
berkat adanya modernisasi barat pada abad ke 21 – dunia Islam beserta
kaum muslimin yang ada dipenjuru dunia telah berhadapan dengan adanya
kemajuan teknologi atau sosial media yang berkembangan pesat pada saat
ini. dizaman yang sangat modern ini, kita tidak memerlukan lagi yang
namanya radio ataupun. televisi untuk mecari sebuah cerita. namun kali ini
kita hanya cukup membuka handphone dan mencari problem atau berita
apa yang sedang trend pada saat ini. selain handphone kita juga dapat
menemukan dari intenet seperti instagram, facebook dan masih banyak
lagi. melalui media baru ini kita dapat menemukan, menerima, memberi,
dan berbagi dengan apa yang telah kita ketahui pada saat itu. kapan saja
dan dimana saja. mungkin dari mereka yang dengan adanya keberadaan
media sosial ini akan selalu memberi batas kesadaran, dan menyadari
dampak apakah dan seperti apakah jika kita terlalu terlena dengan media
sosial ini. pada permasalahan di dalam media sosial ini sudah sangat

342 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


sering terjadi. seperti bocornya data diri kita dan salahnya penggunaan
identitas yang menjadi masalah terbesar didalam permasalahan media
sosial ini. namun dengan adanya perkembangan teknologi ini memang
jelas sangat amat membantu umat muslim modern untuk melakukan
penelusuran tentang dakwah Islam kemudian mencari tahu seperti
apakah sistem penyebar luasan agama Islam dan masih banyak lagi.
dari permasalahan yang memang sudah jelas dan menyebabkan adanya
cyberspaces didalam media sosial ini anderson menyatakan bahwasanya
forum didalam publik yang baru ini harus difahami sebagai arena baru
yang menyebarkan adanya gagasan – gagasan mengenai perkembangan,
atau peradaban, keadaban dan kebijakan ( 1999 : 53, 57 ) artinya ini adalah
peluang baik untuk memecahkan segala masalah sosial dan masalah
politik yang berada didalam dunia Islam itu sendiri. (masruri, 2002)
Menurut aprivisi ewa abbas didunia maya pertama kali muncul
dalam seni visual di akhir 1960-an, ketika seniman denmark susanne
using (1940 – 1998) beserta pasangannya yaitu arsitek carsten hoff (b.
1934) mereka menyebut dirinya adalah atelier cyberspace. menurut hery
jenknis (2006) dalam cyberspace adalah penyatuan kultur yang dimana
personal media sosial, internet, computer dan multimedia.(rustandi, 2020)
Menurut rmdigital.co.id, cyberspace adalah gambaran besar yang
berada di seluruh penjuru yaitu yang berisi sebuah informasi yang berasal
dari dunia realitas. gibson menyebut hal ini sebagai suatu bentuk kesadaran
tanpa tumbuh dengan masuk kesebuah jaringan. sangat jelas bahwasanya
memang akan banyak dampak yang berbahaya didalam era digital yang
berada didalam kehidupan namun berupa komunikasi. seperti kehidupan
seseorang yang memang kesehariannya selalu padat didalam pekerjaanya.
dampaknya seperti apa ? jika suatu pekerjaan yang memang penuh didunia
komunikasi maka ketika mereka bekerja full seharian akan ada muncul
pemikiran yang negatif, seperti kelelahan dan kesadaran akan kehidupan
dengan pemikiran, “kenapa tuhan memberikan kesulitan dihidup ini”
akan ada dimana titik kegiatan yang memang membuat kita penasaran
tentang bagaimana nikmat tuhan yang diberikan dari agama mereka

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 343


masing – masing, sehingga ada daya ketertarikan di dalam dirinya untuk
memindahkan posisi agama yang memang betul - betul di ikat secara
baik, baik dengan godaan yang memang nikmat dan kepercayaan bukti
nyata kehidupan orang lain sehingga kita tertarik untuk melepas agama
apa yang seharusnya kita jaga.
Menurut bahasa indonesia cyberspace adalah media elektronik yang
berada didalam sebuah komputer atau handphone yang banyak sekali
dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal balik secara
online. didalam dunia cyberspace ini, sebenarnya banyak sekali manfaatnya
untuk kehidupan umat muslim dalam berdakwah. biasanya banyak sekali
yang memulai dakwahnya menggunakan video siaran atau vidio yang di
ekspos di media luar. sehingga biasanya yang membuat video dakwah
seputar isu isu agama Islam selalu menjadi topik kontoporer didalam
dunia dakwah. banyak sekali pendakwah / orang yang suka berdakwah
hanya mengandalkan keahlian pandai berbicaranya saja didepan publik.
dan biasanya banyak sekali perdebatan yang berlangsung jika didalam
video berdakwah tersebut terdapat permasalahan yang memang sensitive
bagi umat Islam.
Berdasarkan pengertian yang telah kita baca, jika disimpulkan
banyak sekali manfaat dari penggunaan cyberspaces ini didalam dunia
media sosial, apa lagi didalam penyebaran agama Islam yaitu dakwah.
cyberspace didalam Islam itu termasuk fenomena yang terus berkembang
dengan seiringnya zaman pada saat ini. didalam Islam cyberspace dapat
diartikan sebagai ruang virtual yang memang memungkinkan akan
terjadinya intraksi para pengguna internet di media sosial, cyberspace juga
memiliki berbagai masalah yang perlu diatasi. yaitu penyebaran ajaran –
ajaran radikal Islam dan terorisme dan penyebaran privasi melalui sosial
media yang berdampak buruk. Masalah tersebut sebenarnya memang
masih banyak lagi, namun dari semua yang akan diambil atau dipaparkan
di pembahasan berikutnya mungkin ada beberapa permasalahan yang
diluar dari rumusan masalah diatas.

344 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pembahasan
Cyberspace dan Ruang Dakwah
Didalam proses berjalanya dakwah Islam menggunakan Cyberspace ini
sangat membuka peluang untuk menyebar luaskan dakwah dakwah
yang dilalui dengan cara signifikan. Didalam ruang ruang Cyberspace ini
tentu menghadirkan sebuah kemungkinan yang dimana pencapainnya
dakwah Islam berjalan dengan sesuai. Pada fenomena system berdakwah
ini menjadi daya ketertarikan didalam dunia media susial, membuat
seseorang menjadi penasaran seperti apakah proses dan kegiatan dakwah
secara online atau adanya Cyberspace ini. System dakwah seperti ini dapat
melejit dengan cepat, karna ini hanya melalui video yang disebar luaskan
dalam rangka memberkembangan agama Islam, dan kita sebagai umat
isl;am dapat menikmati dakwah tersebut hanya dengan menggunakan
media social. Seperti youtube, Instagram dan platform dakwah lainnya.
Hojsgaard ( 2005 ) menyebutkan bahwasanya ada 3 perbedaan konsep
mengenai agama online di luar dunia. Yaitu yang dimana adanya suatu
komunitas virtual yang fungsinya untuk menggantikan komunikasi secara
real ( nyata )(Dethlefsen & Højsgaard, 2005). dan ini tidak memerlukan
institusi agama yang bersifat organisasi. ( fakhrurozi, 2011 : 88 ) organisasi
dan substansi ajaran agama Islam memiliki nilai tersendiri Ketika berada
didunia virtual. Hal ini dirasakan oleh pengalaman manusia yang dimana
mereka sendiri meimplementasikan energi keberagamannya di dunia
nyata dan di dunia virtual. (Fakhrurozi & Adrian, 2020)
Internet new of dakwah. Secara umum dapat di mengerti bahwasanya
adanya internet ini menjadi bukti yang sangat kuat untuk pengguna para
pemakai teknologi bari didalam era digital ini. Media social menjadi peran
yang sangat bagus bagi penyebaran dakwah pada saat ini, aktifitas internet
yang berkembang aktif didalam dunia digital menjadi sasaran yang bagus
untuk melihat sperti apa suatu perkembangan dakwah menggunakan
Cyberspace ini. Ada beberapa keuntungan menggunakan media dakwah
diera digital, yaitu : (a) Internet menjadi media yang sangat terbuka dan
juga sangat demokratis, yang dimana artinya kita setiap orang bisa mampu

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 345


mengakses segala informasi dengan bebas menggunakan internet. (b)
Internet mempunyai sifat terkoneksi yang menjadikan internet sebagai
media bebas dan dapat digunakan media komunikasi antar bermacam
macam orang yang tersebar luas.(c) pada dakwah melalui internet ini tentu
menjadi daya Tarik kita sebagai umat Islam, Adapun daya Tarik dialam
proses dakwah Islam ini yaitu sebuah visualisasi yang menarik dan yang
media inginkan. (d) dakwah melalui internet itu dapat digunakan melalui
system jejaring internet, yang dimana dakwah dapat diartikan sebagai
multi arah dengan cara memasuki komunitas yang memang berhubungan
dengan penyebar luasan agama Islam. Banyak sekali keuntungan yang
kita dapat, jika kita menggunakan social media secara baik dan sesuai
dengan aturan yang ada. (Rustandi, 2020)
Tentu dari keuntugan yang telah dipapakkan diatas ada juga
kelemahan didalam Cyberspace ini, yaitu : (a) indentitas pendakwah
didalam Islam ini terkadang di bajak atau di kreadibilitas dengan orang
orang yang tidak bertanggung jawab. Yang dimana memang efek dan
dampaknya akan sangat berpengaruh untuk umat Islam kedepanya. (b)
seseorang yang menggunakan internet untuk mempelajari agama Islam
atau mendengarkan dakwah – dakwah. Terkadang hanya medengarkan
saja, tidak melihat dari mana sumber yang penceramah ketahui dan
tidak teliti didalam mendengarkan dakwah atau hanya mendengarkan
nya saja. (c) internet dengan karakternya yang memang terbuka dan
kadang lebih mengedepankan visual yang popular yang dimana itu bisa
menjadi daya Tarik dalam melakukan dakwah di era digital. (Chandra
Kusuma & Oktavianti, 2020)
Ada Beberapa Manfaat Dari pada penggunaan Cyberspace ini. Bisa
mencakup kegiatan social didalam internet dan di dalam media social
juga. Menghubungkan dengan komputer, yang dimana mempunyai arti
orang mengirimkan surat menyurat melalui gmail atau pesan media
online lainya dan kemudian pesan itu sampai kepada tujuan yang ingin
disampaikan kepada orang itu. Menghubungkan antar kita yang berbeda
negarav dalam arti kita bisa menggunakan media social yang tentu akan

346 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


berhubungan Cyberspace seperti komunikasi, kirim balas chat bisa berupa
DM atau Whatsapp. Menghubungkan perkembangan umat Islam yang
berada secara jauh biasanya media social yang menyiarkan isu isu atau
permasalahan agama Islam dinegara lain, yang memang sering sekali
permasalahan ini menjadi topik ter hangat dikalangan umat muslim di
luar Indonesia atau di dalam Indonesia. Dalam dunia medis Cyberspace
juga amat sangat bermanfaat. Seperti bisa melakukan operasi ordiagnosis
dari jarak jauh bahkan ribuan miles dengan hanya menggunakan meda
internet. Bisa berupa aplikasi yang memang sudah berkembang pada
zaman sekarang ini.
Namun didalam manfaat memakai Cyberspace ini juga akan
terdapat dampaknya. Tanpa kita sadari dampak dari Cyberspace ini selalu
mengikuti kita kemana saja. Salah satu dampak dari adanya Cyberspace
itu bisa meliputi penyebaran virus yang dimana kita biasanya selalu
tidak sadar adanya virus masuk kedalam prangkat kita yaitu biasanya
sering muncul Ketika kita sesudah mengirimkan E-mail kepada orang
lain. Kemudian dari dampak yang kedua itu sering kali kita lihat atau
yang ramai ramai pada saat ini yaitu hijacking yang memang dampak
ini bis akita sebut sebagai dampak kejahatan, karna pada hijacking ini
seseorang yang melakukan pembajakan didalam akun seseorang lainnya.
Seperti dilakukannya pembajakan atau melakukan hal hal atau postingan
– postingan yang tidak patut untuk dicontoh. Kemudian dampak didalam
Islam yang buruk pada Cyberspace ini yaitu penistaan didalam media
sosial, seperti adanya seseorang yang melakukan penistaan melewati
video yang tidak senonoh, video video yang isinya menghina tuhan atau
nabinya. sehingga dari dampak itu semua membuat kita sebagai umat
muslim memunculkan konflik 1 sama dengan yang lainnya. Dan tentu
juga akan membuat pendakwaan Islam dimedia online lainnya akan
berperngaruh. Dan dampak yang terakhir yaitu carding ini termasuk
sebuah kejahatan yang dimana dilakukannya pembajakan kartu kredit
atau mencuri nomor orang lain untuk digunakan transaksi yang memang
bukan haknya.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 347


Didalam dakwa pada agama Islam adalah suatu upaya yang
dimana akan sangat bermanfaat bagi umat muslim kedepannya. Di
era digital ini dakwa Islam biasanya berbagi ilmu dengan menjadi
Da’I Ataupun orang orang yang ingin menyebarkan agama Islam
dengan senang hati tanpa ada paksaan, banyak sekali media yang
bisa kita gunakan untuk berdakwah yaitu seperti memanfaat teknologi
yang memang sudah berkembang pada saat ini dan juga media digital
yang sudah ramai dikalangan anak muda. Itu akan mudah membuat
ketertarikan anak muda dengan adanya system dakwah Islam yang
terjadi didalam media social dan era digital ini. Banyak sekali strategi
untuk berdakwah, namun dikalangan zaman sekarang banyak sekali anak
muda yang memang tidak tertarik dengan adanya dakwah Islam yang
mungkin pada saat proses penyebaran Islam atau berdakwah nya dengan
cara monoton. Anak muda membutuhkan penceramah atau pengajak
untuk memperdalam agama Islam.
Seperti system dakwah ustad muda dizaman sekarang yaitu Habib
Jafar. Beliau berdakwah menggunakan 2 target. Yaitu di media social
seperti youtube atau Instagram dan juga berdakwah secara face to face
atau dari tempat ke tempat, seperti pondok pesantren, acara – acar
Islam yang besar. Beliau menggunakan metode yang cukup menarik
bagi kalangan anak muda. Sehingga bisa menarik ketertarikan anak
muda dalam menambahkan ilmu pengetahuan Islam pada saat ini
dengan menggunakan cara yang cukup berpengaruh dizaman sekarang
ini. Banyak sekali platform dan media social yang memang berdakwah
menggunakan system dakwah yang menarik, seperti NU ONLINE dan
ada juga penceramah wanita yaitu Ustadzah Halimah beliau menggunakan
system dakwah yang cukup menarik. Namun dari dakwah ini beliau hanya
membuka tempat berdakwah hanya untuk wanita saja, kemudian beliau
menggunakan Bahasa berdakwah secara halus dalam arti mudah untuk
di terima oleh seluruh jamaah pada saat dakwah dilaksanakan. Didalam
proses dakwah beliau juga ada hal yang cukup menarik, yaitu seperti
tidak bolehnya merekam diri beliau dalam arti hanya boleh merekam
suaranya saja. Tidak diperkenankan untuk merekam sosok diri beliau.

348 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Alasanya yang dapat difahami pada pemahaman umumnya yaitu untuk
menjaga kehormatan / muru’ah nya beliau. Namun pada saat kegiatan
dakwah berlangsung didalam ruang beliau membuka cadarnya. Namun
balik lagi kealasan awal, yaitu tidak boleh ada yang merekam dirinya.
Yang tujuannya untuk berhati hati.
Dari platfrom dakwah diatas tentu juga ada yang namanya jaringan
atau komunitas Islam. Yang bertujuan untuk membantu proses berkem-
bangnya dakwah Islam. Didalam system dakwah ustad Hanan Attaki
yang dimana beliau mempunyai shift dakwah Bersama rekan rekan yang
lain. Yang dimana tujuannya itu untuk membantu system berkembang-
nya agama Islam dan meyakinkan anak muda yang kehilangan arah
dizaman sekarang. Dakwah beliau banyak sekali yang menjadi patokan
anak dizaman sekarang.
Menurut (aletheia Rabbani) didalam artikel social79 pemafaatan
Cyberspace dapat dilakukan didalam beberapa metode, yaitu bisa dalam
bentuk pendakwaah jarak jauh yang dimana bisa dengan menggunakan
youtube dan siaran langsung didalam suatu kegiatan. Kemudian ada juga
untuk melakukan promosi seperti iklan yang biasanya digunakan untuk
iklan atau acara kegiatan ceramah atau pengajian dan kajian yang dilakukan
oleh platform didalam suatu komunitas. Dan manfaat yang paling utama
yaitu komunikasi onlie seperti email, chat, dan video conference. Tanpa
disadari banyak sekali manfaatnya dibandingkan ulasan disebelumnya.
Apa lagi dikalangan anak muda. Jika tertanam rasa malaspun mereka
cukup membuka youtube hanya untuk mendengar ceramah ataupun
kajian kajian yang tersedia di media online. Dalam system cyberspce di
pendakwahan ini justru menjadi pilihan termudah agar tidak menjadi
keberatan jika ingin menjalankan. Kajian online yang berjalan berguna
untuk seseorang yang memang full kegiatan bekerja namun orang tersebut
ingin mengikuti kajian atau mendengarkan ceramah.(Rabbani, 2017)
Intraksi atau respon seseorang didalam perkembangan dakwah Islam
menggunakan cyberspce ini memiliki pandangan masing – masing.
tergantung pada latar belakang, dan budaya mereka msing – masing. pada

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 349


dakwah Islam ini banyak pengguna internet yaitu sebagai pacuan baru
dalam dakwah Islam ini membuka peluang baru untuk menyebarluaskan
pesan – pesan dakwah yaitu dengan cara signifikan dan sesuai pemahaman
masing – masing. Namun tanpa mereka sadari banyak sekali dampak yang
tidak baik dari adanya cybersdakwah ini. Dan Kembali lagi bagaimana
kita memanfaatkan agar menjadi pengaruh baik bagi kita.
Keberhasilan dari adanya Cyberspace ini tentu sudah terlihat jelas dari
adanya perkembangan zaman di era sekarang ini. Dalam penyebaran masa
dakwah yang terdapat pesan moral dan keberhasilan didalam dakwah
Islam ini. Cyberspace didalam system berdakwah disebut dengan metode
kontemporer yang memang didalam system ini termasuk penyebaran
dakwah melalui pesan. Namun didalam system dakwah ini memiliki
ketergantungan terhadap informasi dan konsep yang baik, untuk itu kita
sebagai umat Islam harus memperlihatkan kualitas informasi yang di
sebar luaskan dan disampaikan melalui media social atau internet agar
pesan dakwah ini dapat tersampaikan secara baik dan sesuai aturan.
(Wibawa, 2021)

Simpulan
Pada bagian ini didalam era digital, dari bermacam macam permasalahan
yang muncul di kalangan anak muda maupun yang tertua perlu kita
perhatikan bahwasanya yang lebih kita jaga adalah kemajuan teknologi
yang kita alami pada saat ini.Kapan saja dan dimana saja.mungkin dari
mereka yang dengan adanya keberadaan media social ini akan selalu
memberi batas kesadaran, dan menyadari dampak apakah dan seperti
apakah jika kita terlalu terlena dengan media social ini.Namun dengan
adanya perkembangan teknologi ini memang jelas sangat amat membantu
umat muslim modern untuk melakukan penelusuran tentang dakwah
Islam kemdian mencari tahu seperti apakah system penyebar luasan
agama Islam dan masih banyak lagi.dari permasalahan yang memang
sudah jelas dan menyebabkan adanya Cyberspaces didalam media social
ini Anderson menyatakan bahwasanya forum didalam publik yang
baru ini harus difahami sebagai arena baru yang menyebarkan adanya

350 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


gagasan – gagasan mengenai perkembangan, atau peradaban, keadaban
dan kebijakan ( 1999 : 53, 57) Artinya ini adalah peluang baik untuk
memecahkan segala masalah social dan masalah politik yang berada
didalam dunia Islam itu sendiri.
Jika suatu pekerjaan yang memang penuh didunia komunikasi maka
Ketika mereka bekerja full seharian aka nada muncul pemikiran yang
negatif, seperti kelelahan dan kesadaran akan kehidupan dengan pemikiran,
“kenapa tuhan memberikan kesulitan dihidup ini”akan ada dimana titik
kegiatan yang memang membuat kita penasaran tentang bagaimana nikmat
tuhan yang diberikan dari agama mereka masing – masing, sehingga ada
daya ketertarikan di dalam dirinya untuk memindahkan posisi agama
yang memang betul betul di ikat secara baik baik, dengan godaan yang
memang nikmat dan kepercayaan bukti nyata kehidupan orang lain
sehingga kita tertarik untuk melepas agama apa yang seharusnya kita
jaga. Didalam dunia Cyberspace ini, sebenarnya banyak sekali manfaatnya
untuk kehidupan umat muslim dalam berdakwah.biasanya banyak sekali
yang memulai dakwahnya menggunakan video siaran atau video yang
di ekspos di media luar.
Dari pengertian yang telah kita baca, jika disimpulkan banyak sekali
manfaat dari penggunaan Cyberspaces ini didalam dunia media sosial,
apa lagi didalam penyebaran agama Islam yaitu dakwah.Penyebaran
privasi melalui social media yang berdampak buruk Dari rumusan
masalah diatas sebenarnya memang masi banyak lagi, namun dari
semua yang akan diambil atau dipaparkan di pembahasan berikutnya
mungkin ada beberapa permasalahan yang diluar dari rumusan masalah
diatas.Menghubungkan perkembangan umat Islam yang berada secara
jauh biasanya media social yang menyiarkan isu isu atau permasalahan
agama Islam dinegara lain, yang memang sering sekali permasalahan
ini menjadi topik ter hangat dikalangan umat muslim di luar Indonesia
atau di dalam Indonesia.Kemudian dari dampak yang kedua itu sering
kali kita lihat atau yang ramai ramai pada saat ini yaitu hijacking yang
memang dampak ini bis akita sebut sebagai dampak kejahatan, karna

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 351


pada hijacking ini seseorang yang melakukan pembajakan didalam
akun seseorang lainnya.Kemudian dampak didalam Islam yang buruk
pada Cyberspace ini yaitu penistaan didalam media sosial, seperti adanya
seseorang yang melakukan penistaan melewati video yang tidak senonoh,
video video yang isinya menghina tuhan atau nabinya .
Dan dampak yang terakhir yaitu carding ini termasuk sebuah
kejahatan yang dimana dilakukannya pembajakan kartu kredit atau
mencuri nomor orang lain untuk digunakan transaksi yang memang
bukan haknya.Di era digital ini dakwa Islam biasanya berbagi ilmu dengan
menjadi Da’I Ataupun orang orang yang ingin menyebarkan agama
Islam dengan senang hati tanpa ada paksaan, banyak sekali media yang
bisa kita gunakan untuk berdakwah yaitu seperti memanfaat teknologi
yang memang sudah berkembang pada saat ini dan juga media digital
yang sudah ramai dikalangan anak muda.Banyak sekali strategi untuk
berdakwah, namun dikalangan zaman sekarang banyak sekali anak
muda yang memang tidak tertarik dengan adanya dakwah Islam yang
mungkin pada saat proses penyebaran Islam atau berdakwah nya dengan
cara monoton.Banyak sekali platform dan media social yang memang
berdakwah menggunakan system dakwah yang menarik, seperti NU
ONLINE dan ada juga penceramah wanita yaitu Ustadzah Halimah beliau
menggunakan system dakwah yang cukup menarik.pada dakwah Islam
ini banyak pengguna internet yaitu sebagai pacuan baru dalam dakwah
Islam ini membuka peluang baru untuk menyebarluaskan pesan – pesan
dakwah yaitu dengan cara signifikan dan sesuai pemahaman masing –
masing .namun tanpa mereka sadari banyak sekali dampak yang tidak
baik dari adanya cybersdakwah ini.
Namun didalam system dakwah ini memiliki ketergantungan terha-
dap informasi dan konsep yang baik, untuk itu kita sebagai umat Islam
harus memperlihatkan kualitas informasi yang di sebar luaskan dan
disampaikan melalui media social atau internet agar pesan dakwah ini
dapat tersampaikan secara baik dan sesuai aturan.System dakwah seperti
ini dapat melejit dengan cepat, karna ini hanya melalui video yang disebar

352 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


luaskan dalam rangka memberkembangan agama Islam, dan kita sebagai
umat isl;am dapat menikmati dakwah tersebut hanya dengan menggu-
nakan media socialMedia social menjadi peran yang sangat bagus bagi
penyebaran dakwah pada saat ini, aktifitas internet yang berkembang
aktif didalam dunia digital menjadi sasaran yang bagus untuk melihat
sperti apa suatu perkembangan dakwah menggunakan Cyberspace ini.
Ada beberapa keuntungan menggunakan media dakwah diera
digital, yaitu : (a) Internet menjadi media yang sangat terbuka dan juga
sangat demokratis, yang dimana artinya kita setiap orang bisa mampu
mengakses segala informasi dengan bebas menggunakan internet.(c) pada
dakwah melalui internet ini tentu menjadi daya Tarik kita sebagai umat
Islam, Adapun daya Tarik dialam proses dakwah Islam ini yaitu sebuah
visualisasi yang menarik dan yang media inginkan.Tentu dari keuntugan
yang telah dipapakkan diatas ada juga kelemahan didalam Cyberspace
ini, yaitu : (a) indentitas pendakwah didalam Islam ini terkadang di bajak
atau di kreadibilitas dengan orang orang yang tidak bertanggung jawab.
(c) internet dengan karakternya yang memang terbuka dan kadang lebih
mengedepankan visual yang popular yang dimana itu bisa menjadi daya
Tarik dalam melakukan dakwah di era digital.

Daftar Pustaka
Chandra Kusuma, D. N. S., & Oktavianti, R. (2020). Penggunaan Aplikasi
Media Sosial Berbasis Audio Visual dalam Membentuk Konsep Diri
(Studi Kasus Aplikasi Tiktok). Koneksi, 4(2). https://doi.org/10.24912/
kn.v4i2.8214
Cyberspace Adalah: Pengertian, Definisi, dan Penggunaan Katanya!
(n.d.). Retrieved July 11, 2023, from https://rmdigital.co.id/kamus/
Cyberspace/
Dethlefsen, C., & Højsgaard, S. (2005). A common platform for graphical
models in R: The gRbase package. Journal of Statistical Software,
14(17). https://doi.org/10.18637/jss.v014.i17

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 353


Fakhrurozi, J., & Adrian, Q. J. (2020). Ekranisasi Cerpen ke Film Pendek:
Alternatif Pembelajaran Kolaboratif di Perguruan Tinggi. Seminar
Nasional Pendidikan Bahasa ….
Masruri, S. (2002). Menuju Humanitarinaisme: Studi Evolusi Pola
Pemikiran Kemanusiaan Soedjatmoko. Disertasi.
Rabbani, A. (2017). Sistem Pengendalian Sosial (Social Control). 4
December 2017.
Rustandi, R. (2020). Cyberdakwah: Internet Sebagai Media Baru Dalam
Sistem Komunikasi Dakwah Islam. NALAR: Jurnal Peradaban Dan
Pemikiran Islam, 3(2). https://doi.org/10.23971/njppi.v3i2.1678
Wibawa, A. T. (2021). Fenomena Dakwah di Media Sosial Youtube. Jurnal
RASI,.

Biografi Singkat Penulis


Dinda Widiya Pitaloka merupakan mahasiswa yang produktif dalam
menulis, ia merupakan mahasiswa program studi pendidikan agama
Islam di STAI Al-Hamidiyah Jakarta.

354 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Analisis Strategi Dakwah di
Channel Labolatorium Sains
Kristologi (LSK) Al-Hadid

Sarip Hidayatuloh
STAI Al-Hamidiyah Jakarta, Indonesia
Email: sariphidayatuloh51@gmail.com.

Pendahuluan.
Analisis strategi dakwah di era digital menjadi penting karena perubahan
paradigma komunikasi dan interaksi manusia dalam era digital. Berikut
beberapa alasan mengapa penting untuk menganalisis strategi dakwah
di era digital: pertama, Potensi Jangkauan yang Luas: Oleh karena itu,
menganalisis strategi dakwah di era digital membantu untuk memahami
cara terbaik untuk memanfaatkan potensi jangkauan yang luas ini.
Kedua, Responsif terhadap Perkembangan Teknologi: Teknologi terus
berkembang dengan cepat di era digital. Melalui analisis strategi dakwah,
kita dapat memahami tren dan inovasi terkini dalam teknologi digital
dan memanfaatkannya dalam rangka meningkatkan efektivitas dakwah.
Ketiga, Kreativitas dalam Penyampaian Pesan: Dengan memanfaatkan
berbagai format konten digital seperti video, podcast, infografis, dan
gambar, serta teknik-teknik pemasaran digital yang inovatif, strategi
dakwah dapat menjadi lebih menarik, relevan, dan mudah dipahami oleh
audiens. Keempat, Pengukuran Kinerja yang Lebih Akurat:. Dengan analisis
data yang tepat, kita dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
strategi dakwah dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Kelima,
Adaptasi Terhadap Perubahan Perilaku Audiens: .Oleh karena itu, analisis
strategi dakwah di era digital membantu kita memahami bagaimana
perilaku audiens berubah dan bagaimana kita dapat beradaptasi untuk

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 355


tetap relevan dan efektif dalam menyampaikan pesan dakwah.(Rumata,
Iqbal, & Asman, 2021)
Dalam rangka mengoptimalkan upaya dakwah di era digital, penting
untuk terus menganalisis dan memperbarui strategi dakwah kita sesuai
dengan perkembangan teknologi dan perilaku audiens.(Wibowo, 1970)
Chanel Labolatorium Sains Kristologi (LSK) Al-Hadid di prakarsi oleh
Ust Yusuf Ismail Alhadid sebagai Pinpinan Pondok Pesantren Al-Hadid
Gunungkidul dan juga Winardi Bin Yadi sebagai kameramen dan juga
editor. Chanel ini merupakan sebuah wadah untuk para dai-dai belajar
ilmu kritik kristologi. Didalam chanel ini memberikan vidio-vidio berupa
kritik lintas agama secara santun, tidak mengambil konten dari pihak yang
di kritik dan kampanye Aku Bangga Jadi Islam (ABJI). Pada penelitian ini
yaitu peneliti ingin mengetahui apa saja strategi dakwah yang digunakan
oleh chabel Labolatorium Sains Kristologi (LSK) Al-Hadid, bagaimana
efektifitas strategi dakwah yang digunakan chanel Labolatorium Sains
Kristolohi (LSK) Al-Hadid, dan apa saja tantangan dan peluang dalam
melakukan dakwah di era digital.
Manfaat penelitian ini agar kita mengetahui apa saja strategi dan
tindakan yang dilakukan oleh chanel Labolatorium Sains Kristologi
(LSK) Al-Hadid. Untuk mengembangkan dakwahnya dan menyelesaikan
masalah-masalah yang ada. Analisis ini juga bermanfaat untuk chanel
Labolatorium Sains Kristologi (LSK) Al-HADID untuk melihat kekurangan
dan cara mengatasi kekurangan tersebut. Dan manfaat lain untuk pembaca
bisa menjadikan refrensi untuk mengembangkan analisis dan juga strategi
dakwah untuk para dai-dai.
Dakwah biasanya merupakan ajakan untuk menjadi lebih baik.
Dakwah adalah upaya dan kegiatan, baik dalam ucapan maupun
perbuatan, yang mengajak orang lain untuk mempelajari, menghayati,
dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sebuah penggalan hadits Nabi Muhammad saw. Riwayat Al
Bukhari dinyatakan bahwa Nabi bersabda”sampaikanlah olehmu sekalian
dariku meski hanya satu ayat al qur’an.”Hadits ini menunjukkan bahwa

356 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


dakwah adalah tanggung jawab setiap muslim di dunia ini. Bahkan satu
ayat dapat menyebarkan ajaran Islam kepada orang lain. Berdakwah
berarti menyerukan dan menyampaikan pandangan Islam tentang tujuan
dan cara hidup di dunia ini dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah.
Q.S An-Nahl ayat 125.(Zain, 2019)
َ ْ ْ َ
ُ‫ك بالح ْك َمة َو ْال َم ْوع َظة ال َح َس َنةۖ َو َجاد ْل ُه ْم بَّالتي ه َي أ ْح َسن‬ ّ َ ‫ع إلَ ٰى َسب‬ُ ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫يل ر ِب‬ ِ ِ ِ ‫اد‬
َ َ
َ‫ضَّل َع ْن َسبيلهۖ َو ُه َو أ ْع َل ُم ب ْال ُم ْه َتدين‬ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ َ ََّ َّ
‫ۚ ِإن ربك هو أعلم ِبمن‬
ِ ِ ِِ ِ
Artinya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk (Q.S An-Nahl: 125)

Berdasarkan firman di atas, Allah SWT memberi pedoman kepada


Rasulullah untuk mengajak manusia untuk kembali ke jalan Islam, yaitu
dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Allah SWT juga memberi
seruan kepada Rasulullah untuk berdakwah di jalan Allah dengan tujuan
menyebarkan agama Islam ke semua orang, meminta mereka untuk
mengamalkan ajaran Islam dan menghindari segala sesuatu yang dilarang
oleh Allah SWT.(“An-Nahal+125 | Tafsirq.Com,” n.d.)
Penggunaan media digital di Indonesia saat ini telah mencapi 515,63
orang, ada 202,6 juta pengguna internet Indonesia berusia 16 hingga
64 tahun. Karena YouTube diakses oleh 93,8% dari populasi pengguna
media sosial, itu menjadi media sosial yang populer dan menjadi media
komunikasi yang efektif karena dapat menjangkau ratusan juta penonton
di Indonesia.(Kamillah et al., 2023) Dalam perkembangan islam dan
perkembangan teknologi penyebaran pengetahuan tentang islam sangat
mudah karena mengajak manusia ke jalan Tuhan melalui pemanfaatan
digital media, terutama website dan aplikasi. Konten dakwah yang
disebarluaskan dapat berupa teks, kalimat, gambar, audio, video, animasi
dan infografis, tergantung pada jenis konten internet. Dakwahnya di
era digital membutuhkan kerja sama tim, tim teknis, tim editor, tim

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 357


naskah dan banyak lagi. Era digital dakwah memperluas jangkauan
dakwah sebagai sumber pengetahuan masyarakat dan kebijaksanaan di
kalangan cendekiawan dan cendekiawan Muslim. (Televisi, Palmerah,
& Tamamy, 2011)
Memanfaatkan YouTube sebagai platform media sosial untuk
menyebarkan dakwah dapat dianggap sebagai cara untuk mengikuti
tren modernnisasi dan digitalisasi. Selain itu, dakwah digital lebih efektif
digunakan karena da’i hanya perlu memiliki strategi untuk membuat
konten yang tepat untuk digunakan dalam dakwahnya. Keuntungan
bagi para mad’u juga lebih fleksibel dalam mengakses dakwah sesuai
jam luang mereka, selain itu mad’u tidak perlu datang ke majlis taklim.
Dengan demikian, dakwah digital tidak mengenal batas ruang dan waktu.
(Qodriyah, 2021)
Dalam strategi dakwah di chanel youtube Labolatorium Sains
Kristologi (LSK) Al-Hadid. Di dalam chanel ini menyajikan sebuah wadah
untuk para dai-dai belajar mengenai ilmu kritik kristologi dengan kritik
secara santun mengenai lintas agama, tidak mengambil konten dari pihak
yang di kritik dan berkampanye ABJI. Tujuan dari penelitian bertujuan
untuk menganalisis strategi dakwah dari konten yang di sajikan chanel
Labolatorium Sanis Kristologi (LSK) Al-Hadid, selama 3 tahun dakwah
di media online Youtube. (Safitri & Sandy, 2022) Adapun tujuan chanel
ini untuk memberikan pembekalan aqidah untuk para dai-dai untuk
berdakwah tentang islam dan juga menyebarkan kampanye Aku Bangg
Jadi Islam (ABJI). dalam vidio yang chanel ini sajikan di antaranya berupa
pengetahuan tentang kristologi, dengan menyajkan sebuah vidio seorang
mualaf, keajaiban Al-Quran yang dirasakan orang kristen dan pandangan
orang kristen terhadap maulid Nabi Muhammad Saw.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, yaitu metode suatu
proses penelitian dan pembahasan yang berdasarkan pada metologi yang
menyelidiki suatu fenomena dan masalah manusia. Pada pendekatan ini,
peneliti mendekatkan sifat realitas yang terbangun secara sosial terhadap
subjek yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

358 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


kualitatif. (Hanyfah, Fernandes, & Budiarso, 2022) Karena penelitian
ini hanya mendeskripsikan strategi chanel Youtube Labolatorium Sains
Kristolohi (LSK) Al-Hadid dalam mengembangkan ajaran-ajaran agama
islam. Teknik pengumpulan data yang digunkan adalah dengan melalui
teknik observasi, analisis, dan melakukan wawancara. Teknik analisis
data menggunakan observasi, dan wawancara terhadap Ust Yusuf Ismail
Alhadid selaku sutradara chanel (LSK). Dan analisis terhadap jumlah
Viewers dan komentar disetiap vidio-vidio yang di sajikan oleh (LSK).

Pembahasan
Strategi dan Tantangan LSK
Strategi yang digunakan Ust Yusuf Ismail Alhadid lakukan yaitu, bagaimana
memberikan vidio-vidio yang menarik mengenai lintas agama dan
Menyebarkan kampanye Aku Bangga Jadi Islam (ABJI). Karena dalam
chanel ini berfokus pada pemahaman kristologi. Tujuannya ialah untuk
menguatkan iman penonton sebagai seorang muslimin. Ust. Yusuf Ismail
Alhadid sebagai mantan kristen atau bisa disebut seorang Muallaf sangat
mengetahui mengenai strategi-strategi yang orang kristen lakukan, maka
dengan adanya pemahaman itu Ust. Yusuf Ismail Alhadid menyajikan
dakwah di chanel Labolatoriun Sains Kristologi Al-Hadid di singkat
menjadi LSK Al-Hadid. Untuk menangkal strategi yang mereka gunakan
agar pemuda islam tidak terjerumus kedalam ajaran mereka. Namun
dalam penyampian dakwah yang di sampaikan dalam vidio chanel LSK
Al-hadid menggunakan tutur kata yang baik agar tidak mempropokasi
dan menyalahkan agama lain dan juga tidak terkena teguran dari pihak
YouTube.(lsk alhadid, 2021a)
Dengan adanya teknologi sekrang sangat menguntungkan bagi
pendakwah, di dalam YouTube sendiri mereka yang berbeda agama selain
islam juga melancarkan strateginya dalam dunia di gital, dengan itu Ust.
Yusuf Ismail Alhadid juga bisa mencari refrensi mengenai isu-isu yang
sedang tren di kalangan mereka. Tujuannya tak lain untuk menyiapkan
strategi yang akan Ustand tuangkan dalam vidio di chanel LSK Al-Haid,
dalam menghadapi tren yang mereka sampaikan di media digitalnya.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 359


Bagaimana caranya menanggapi dengan mengkritik dengan tutur kata
yang santun dan meningkatkan pemahaman penonton chanel LSK
Al-Hadid agar terus beriman dan bertakwa ke pada Allah SWT. tujuan
lainnya ialah dengan mengikuti tren atau retorika terbaru ini agar bisa
menjawab semua pertanyaan dan juga kegelisahan yang orang islam rasakan
mengenai isu-isu yang ada dengan mengkampanyekan ABJI tersebut.
Strategi lainnya yang Ust Yusuf Ismail Alhadid lakukan ialah
dengan menyajikan vidio-vidio seorang muallaf, di dalam vidio tersebut
memberikan kesaksian kenapa dia memilih agama Islam dan meninggalkan
agama sebelumnya, dengan terus mengkampanyekan ABJI. Dengan
mendengar kesaksian orang tersebut dan kampanye ABJI, penonton
dapat simpulkan bahwa islam agama yang benar dan satu-satunya agama
yang Allah Ridhoi. Di dalam vidio tersebut Ust Yusuf Ismail Alhadid juga
menanyakan kepada orang tersebut mengenai strategi-stretegi yang dia
lakukan ketika dia masih memeluk agama terdahulunya. Dan dengan
itu Ust Yusuf Ismail Alhadid tau dan bisa memberikan contoh-contoh
untuk mengatasi strategi yang mereka lakukan agar kita tidak terjerumus
kedalam ajaran yang Allah tidak Ridhoi.(lsk alhadid, 2021c)
Kemudian strategi chanel Labolatorium Sains Kristologi (LSK)
Al-Hadid dalam mengembangkan chanel LSK, memberikan variasi
dalam konten-konten yang di sajikan, seperti dalam Playlist chanal LSK
Al-Hadid Aku Bangga Jadi Islam (ABJI), Guyonan Kristologi, Halaqoh
Muallaf, bincang-bincang kristologi,Islam VS Kristen dan live debat
Islam VS Kristen. Namun tetap dalam strategi dan arahan yang sudah di
tetapkan oleh Ust Yusuf Ismail Alhadid, yaitu dengan cara menggunakan
bahasa yang santun dan tidak mengambil konten dari pihak yang di kritik
dalam lintas agama. Di dalam Playlist Guyonan Kristologi vidio tersebut
berupa ilustrasi persahabatan antara SADAT (Islam) dan SALIB (Kristen)
sahabat beda agama.(lsk alhadid, 2021b) Vidio tersebut perbincangan
kedua sahabat tersebut mengenai agamanya masing-masing, manun tentu
di kaitkan dengan tuntuan kebenaran seperti contohnya perbincangan
masalah jenggot. Salib tidak suka berjenggot karena jika berjenggot bisa

360 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


dikira mengikuti sadat (islam )yang berjenggot, namun di sini sadat
menjelaskan bahwasanya dia mengikuti yesus, karena yesus tidak lah
berjas namun yesus berjubah dan berjenggot pula. Karena pada dasarnya
yesus atau Nabi Isa itu mengikuti ajaran agama Islam.
Berbicara mengenai tantangan berdakwah di chanel Labolatorium
Sains Kristologi (LSK) Al-Hadid, yaitu bagaimana memberikan kajian
yang Update mengikuti perkembangan dan yang lagi tren dalam
perbincangan kristologi. Dan tetap dalam pantauan kritik dengan bahasa
yang tetap santun. Dan juga tantangan untuk memberikan bentengan
akidah untuk para muallaf-muallaf agar tetap di jalan Allah SWT. Karena
banyak muallaf yang kembali murtad atau kembali ke agamanya. Karena
mereka tidak mendapatkan perhatian dan bentengan akidah saat mereka
masuk agama islam atau di sebut muallaf. Karena itu didalam chanel
LSK Al-Hadid ini juga memberikan perhatian kepada muallaf di luar
sana, dengan menerima dengan lapang untuk membinanya di Pondok
Pesantren Al Hadid Gunungkidul, yang di pinpin oleh Ust Yusuf Ismail
Alhadid selaku prakarsi dalam chanel LSK Al-Hadid.
Tantangan lainnya yaitu berupa penanganan kasus pemurtadan yang
efektif, karena sudah banyak refrensi dan juga pengetahuan tentang strategi
yang mereka gunakan maka dengan itu Ust Yusuf Ismail Alhadid bisa
memberikan penanganan pemurtadan tersebut dengan menggunakan
metode yang efektif dan juga sesuai yang di perlukan. Karena pada
dasarnya mereka tetap akan mencari domba-domba yang tersesat sebagai
acuan mereka terhadap orang-orang islam. Adapun salah satu strategi
yang mereka gunakan ialah dengan memperhatikan orang yang tidak
mampu secara ekonominya. Dan membantu orang-orang tersebut.
Dengan begitu orang yang di bantu tersebut akan mengikuti apa yang
mereka anut. Karena biasanya dalam proses membantu enkonomi akan
di kaitkan dengan keagamaan mereka, seperti berdoa kepada yesus dan
memerintahkan kepada orang yang di bantu memajang, pajangan yang
berkaaitan dengan agama mereka.(lsk alhadid, 2022)

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 361


Tantangan selanjutnya ialah bagaimana memberikan dakwah kepada
orang non muslim dengan melakukan riset dan analisis dari pergerakan
yang mereka lakukan. Ust Yusuf Ismail Alhadid juga pernah memberikan
kajian maulid Nabi Muhammad SAW. khusus untuk orang-orang non
muslim. Tujuannya ialah mengenalkan sosok Nabi Muhammad tersebut
kepada mereka yang non muslim. Pandangan atau riset ini yaitu orang-
orang islam sudah tau dan mengenal akan sosok tersebut, namun orang non
muslim belum menganal sosok Nabi Muhammad. Dengan memberikan
pengetahuan tentang Nabi kepada orang non muslim ialah agar mereka
mengenalnya akan sosok Muhammad. Dan terbukti dalam kajian tersebut
banyak orang non muslim yang akhirnya memeluk agama islam, setelah
merek mengenal sosok Nabi Mumammad Saw.
Tantangan tersebut bisa dinyatakan berhasil karena support, viwer
dan respon dari komentar di setiap vidio sangatlah bagus dan jumlah
subscribe juga meningkat secara signifikasi selama 3 tahun pertama
hampir 100 rb subscribe. Dan juga banyak muallaf yang sekarang dibina
di Pondok Pesantren Al-Hadid Gunungkidul, untuk terus di bina dan
berdakwah menyebarkan agama islam,dengan kampanye Aku Bangga
Jadi Islam (ABJI). Muallaf yang di bina pun diberikan kesempatan untuk
menceritakan kisahnya di dalam chanel LSK Al-Hadid. Bagaimana
perjalanan mereka menemukan hidayah dan akhirnya memeluk agama
islam. Adapun tujuan tayangan tersebut untuk memberikan penguatan
akidah kepada para viwer dan muallaf di luar sana.
Dari suport penonton pada chanel LSK Al-Hadid memberikan
dampak positif dan itu juga merupakan bantuan untuk Pondok Pesantren
Al-Hadid dalam membina Muallaf yang berada di Pesantren dan terus
memberikan kajian-kajian yang update di chanel LSK Al-Hadid. Karena
para viwer membutuhkan kajian yang update karena pembahasan tersebut
yang merupakan pertanyaan yang vewer inginkan, dengan vidio yang
updaate tersebut memberikan pemahaman dan juga pengertian apa yang
sedang tren di perbincangan kristologi.

362 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Rekomendari yang peneliti ingin sampaikan terhadap chanel LSK
Al-Hadid, dari analisis yang peneliti lakukan ialah bagaimana terus
konsisten dalam memberikan kajian atau tayangan vidio yang update
dan juga konsisten dalam uplode vidio, karena itu sesuatu yang di tunggu
oleh para vewer. Jika terus konsisten dalam uplode vidio maka chanel
tersebut akan terus berkembang dan bisa terus meluas pemahaman tentang
kristologi ke kalangan yang lebih jauh lagi di dalam Youtube tersebut.
Youtube sendiri juga akan membantu kreatornya dengan memberikan
vidio yang di uplode itu di tingkatkan dalam youtube sehingga akan
makin banyak lagi yang mengetahui tentang chanel LSK Al-Hadid dan
pemahaman tentang kristologi yang di sajikan dalam vidio.

Simpulan
Ust. Yusuf Ismail Alhadid sebagai mantan kristen atau bisa disebut seorang
Muallaf sangat mengetahui mengenai strategi-strategi yang orang kristen
lakukan, maka dengan adanya pemahaman itu Ust. Untuk menangkal
strategi yang mereka gunakan agar pemuda islam tidak terjerumus kedalam
ajaran mereka. Dengan adanya teknologi sekrang sangat menguntungkan
bagi pendakwah, di dalam YouTube sendiri mereka yang berbeda agama
selain islam juga melancarkan strateginya dalam dunia di gital, dengan
itu Ust. Yusuf Ismail Alhadid juga bisa mencari refrensi mengenai isu-isu
yang sedang tren di kalangan mereka. Di dalam vidio tersebut, Ust Yusuf
Ismail Alhadid juga menanyakan kepada orang tersebut mengenai strategi-
stretegi yang dia lakukan ketika dia masih memeluk agama terdahulunya.
Dan dengan itu Ust Yusuf Ismail Alhadid tau dan bisa memberikan
contoh-contoh untuk mengatasi strategi yang mereka lakukan agar kita
tidak terjerumus kedalam ajaran yang Allah tidak Ridhoi. Kemudia
strategi chanel Labolatorium Sains Kristologi (LSK) Al-Hadid dalam
mengembangkan chanel LSK, memberikan variasi dalam konten-konten
yang di sajikan, seperti dalam Playlist chanal LSK Al-Hadid Aku Bangga
Jadi Islam (ABJI), Guyonan Kristologi, Halaqoh Muallaf, bincang-bincang
kristologi,Islam VS Kristen dan live debat Islam VS Kristen. Namun tetap
dalam strategi dan arahan yang sudah di tetapkan oleh Ust Yusuf Ismail

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 363


Alhadid, yaitu dengan cara menggunakan bahasa yang santun dan tidak
mengambil konten dari pihak yang di kritik dalam lintas agama.
Berbicara mengenai tantangan berdakwah di chanel Labolatorium
Sains Kristologi (LSK) Al-Hadid, yaitu bagaimana memberikan kajian yang
Update mengikuti perkembangan dan yang lagi tren dalam perbincangan
kristologi. Dan tetap dalam pantauan kritik dengan bahasa yang tetap
santun. Tantangan lainnya yaitu berupa penanganan kasus pemurtadan
yang efektif, karena sudah banyak refrensi dan juga pengetahuan tentang
strategi yang mereka gunakan maka dengan itu Ust Yusuf Ismail Alhadid
bisa memberikan penanganan pemurtadan tersebut dengan menggunakan
metode yang efektif dan juga sesuai yang di perlukan. Karena pada dasarnya
mereka tetap akan mencari domba-domba yang tersesat sebagai acuan
mereka terhadap orang-orang islam.
Tantangan selanjutnya ialah bagaimana memberikan dakwah
kepada orang non muslim dengan melakukan riset dan analisis dari
pergerakan yang mereka lakukan. Tujuannya ialah mengenalkan sosok
Nabi Muhammad tersebut kepada mereka yang non muslim. Dan juga
banyak muallaf yang sekarang dibina di Pondok Pesantren Al-Hadid
Gunungkidul, untuk terus di bina dan berdakwah menyebarkan agama
islam,dengan kampanye Aku Bangga Jadi Islam (ABJI). Muallaf yang di
bina pun diberikan kesempatan untuk menceritakan kisahnya di dalam
chanel LSK Al-Hadid. Dari suport penonton pada chanel LSK Al-Hadid
memberikan dampak positif dan itu juga merupakan bantuan untuk
Pondok Pesantren Al-Hadid dalam membina Muallaf yang berada di
Pesantren dan terus memberikan kajian-kajian yang update di chanel
LSK Al-Hadid.
Rekomendari yang peneliti ingin sampaikan terhadap chanel LSK
Al-Hadid, dari analisis yang peneliti lakukan ialah bagaimana terus
konsisten dalam memberikan kajian atau tayangan vidio yang update
dan juga konsisten dalam uplode vidio, karena itu sesuatu yang di tunggu
oleh para vewer. Jika terus konsisten dalam uplode vidio maka chanel

364 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


tersebut akan terus berkembang dan bisa terus meluas pemahaman tentang
kristologi ke kalangan yang lebih jauh lagi di dalam Youtube tersebut.

Daftar Pustaka
an-nahal+125 | Tafsirq.com. (n.d.). Retrieved June 16, 2023, from https://
tafsirq.com/topik/an-nahal+125
Hanyfah, S., Fernandes, G. R., & Budiarso, I. (2022). Penerapan Metode
Kualitatif Deskriptif Untuk Aplikasi Pengolahan Data Pelanggan
Pada Car Wash. Semnas Ristek (Seminar Nasional Riset Dan Inovasi
Teknologi), 6(1). https://doi.org/10.30998/semnasristek.v6i1.5697
Kamillah, A. N., Fitri, A. A., Nur, M., Ar, K., Islam, A., & Iai, A. I. (2023).
Strategi Komunikasi Ustadz Hanan Attaki dalam Berdakwah di
Channel Youtube dengan Tema “ Muslim Gaul , Emang Ada ?” 7,
1733–1740.
lsk alhadid. (2021a). DEBAT FENOMENAL Kristen Domba vs Kristen
Kambing || LSK. indonesia: www.youtube.com. Retrieved from
https://www.youtube.com/watch?v=DwSlNrkVZKc
lsk alhadid. (2021b). Pasangan Muallaf Hebat, Patut Dicontoh || HALAQOH
MUALLAF || LSK Alhadid. indonesia: www.youtube.com. Retrieved
from https://www.youtube.com/watch?v=VEbYfiiFENg
lsk alhadid. (2021c). Uji Kesalahan Al Qur’an || ABJI || LSK Alhadid.
indonesia: www.youtube.com. Retrieved from https://www.youtube.
com/watch?v=fAku-dU-E-0
lsk alhadid. (2022). Siapakah Tempat Bergantung? || GUYONAN
KRITOLOGI || LSK Alhadid. indonesia: www.youtube.com. Retrieved
from https://www.youtube.com/watch?v=Io9mxE2c13M
Qodriyah, S. L. (2021). Youtube sebagai Media Dakwah di Era Milenial
(Channel Nussa Official). Jurnal Studi Islam Dan Kemuhammadiyahan
(JASIKA), 1(2). https://doi.org/10.18196/jasika.v1i2.14
Rumata, F. ’Arif, Iqbal, M., & Asman, A. (2021). Dakwah digital sebagai
sarana peningkatan pemahaman moderasi beragama dikalangan

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 365


pemuda. Jurnal Ilmu Dakwah, 41(2). https://doi.org/10.21580/jid.
v41.2.9421
Safitri, H. F. D., & Sandy, F. (2022). Analisis Isi Pesan Dakwah Pada Chanel
Youtube Vdvc Religi (Segmen Kata Ustadz Edisi Ramadhan 1422
H). Meneguhkan Hubungan Agama Dan Sains Di Era Transdisiplin,
4, 203–210. Retrieved from https://ejournal.uin-suka.ac.id/saintek/
kiiis/article/view/3233
Televisi, D. I., Palmerah, K., & Tamamy, A. (2011). Program Dakwah
Islam.
Wibowo, A. (1970). Profesionalisme Dai di Era Society 5.0: Mengulas
Profil dan Strategi Pengembangan Dakwah. Wardah, 22(1). https://
doi.org/10.19109/wardah.v22i1.9003
Zain, A. (2019). DAKWAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN DAN
AL-HADITS. At-Taujih : Bimbingan Dan Konseling Islam, 2(1).
https://doi.org/10.22373/taujih.v2i1.7209

Biografi Singkat Penulis


Sarip Hidayatuloh adalah seorang mahasiswa yang lahir di cilacap. Saat ini
sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi STAI Al-Hamidiyah
Jakarta. Depok, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang beralamat
di Jl. Raya Sawangan No 12, Kelurahan Rangkapan Jaya, Kecamatan
Pancoran Mas, Kota Depok

366 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Perkembangan Islam dan
Praktiknya di Era Digital: Podcast
Dakwah Strategi dan Analisis

Abdul Latif
STAI Al-Hamidiyah Jakarta, Indonesia
Email: abbdullatif4@gmail.com

Pendahuluan
Podcast merupakan media yang semakin populer dalam menyampaikan
pesan-pesan agama dan dakwah kepada masyarakat. Keunggulan podcast
sebagai medium komunikasi, seperti fleksibilitas waktu dan tempat,
mudah diakses, serta kemampuan menyampaikan konten dengan lebih
mendalam, menjadikannya sebagai alat yang efektif dalam menyebarkan
nilai-nilai agama dan pesan dakwah. Latar belakang ini akan memberikan
pemahaman tentang mengapa analisis strategi dan analisis podcast dakwah
menjadi topik yang menarik untuk diteliti.
Dalam konteks dakwah, podcast telah menjadi alat yang penting dan
efektif untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada audiens yang lebih
luas dan beragam. Podcast dalam dakwah menawarkan keuntungan yang
signifikan dalam mencapai dan mempengaruhi pendengar dengan cara
yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Berikut adalah beberapa alasan
mengapa podcast penting dalam dakwah: Pertama, Aksesibilitas yang Luas:
Podcast memungkinkan pendengar untuk mendengarkan pesan-pesan
agama kapan saja dan di mana saja sesuai dengan kenyamanan mereka.
Pendengar dapat mengakses dan mendengarkan episode podcast melalui
perangkat seluler, tablet, atau komputer mereka. Hal ini memungkinkan
dakwah mencapai pendengar di berbagai belahan dunia tanpa batasan
geografis. Kedua, Fleksibilitas Waktu: Podcast memberikan fleksibilitas

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 367


kepada pendengar untuk mendengarkan episode pada waktu yang sesuai
dengan jadwal mereka. Pendengar dapat memilih episode podcast yang
ingin mereka dengarkan, menghentikan dan melanjutkan pemutaran
sesuai dengan kebutuhan mereka. Fleksibilitas ini memungkinkan dakwah
untuk beradaptasi dengan kesibukan dan preferensi pendengar.
Ketiga, Keterlibatan dan Interaksi: Podcast memungkinkan pendengar
untuk terlibat dalam proses dakwah dengan cara yang tidak dimungkin-
kan oleh media tradisional. Pendengar dapat memberikan umpan balik,
bertanya pertanyaan, atau berbagi pengalaman mereka dengan pembuat
podcast melalui komentar, pesan, atau media sosial. Hal ini menciptakan
interaksi dua arah antara dai dan pendengar, memperkuat hubungan, dan
membangun komunitas dakwah yang lebih terlibat. Keempat, Kualitas
Konten yang Dalam: Podcast memungkinkan pembuat dakwah untuk
menyampaikan pesan-pesan agama dengan lebih mendalam dan terpe-
rinci. Dalam format audio, pembuat podcast dapat menjelaskan konsep
agama, memberikan tafsir ayat suci, mengajarkan prinsip-prinsip agama,
dan menyampaikan hikmah-hikmah agama dengan lebih terperinci dan
menggugah. Hal ini memberikan kesempatan bagi pendengar untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang agama mereka.
Kelima, Perkembangan Teknologi: Dalam era digital yang terus berkem-
bang, podcast telah menjadi bagian penting dari budaya media. Pende-
ngar muda cenderung mengkonsumsi konten audio secara digital, dan
podcast dakwah memanfaatkan tren ini untuk menyampaikan pesan
agama dengan cara yang lebih relevan dan menarik bagi generasi muda.
Dalam kesimpulannya, podcast adalah alat yang penting dalam
dakwah karena memberikan aksesibilitas yang luas, fleksibilitas waktu,
keterlibatan pendengar, kualitas konten yang dalam, dan memanfaatkan
perkembangan teknologi. Dengan memanfaatkan potensi podcast dalam
dakwah, para pembuat podcast dapat mencapai dan mempengaruhi
audiens yang lebih luas, menyebarkan pesan-pesan agama dengan lebih
efektif, dan membantu meningkatkan pemahaman dan keimanan umat
dalam praktik keagamaan mereka.

368 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pembahasan
Pengertian Podcast dalam Konteks Dakwah
Dalam konteks dakwah, podcast dapat didefinisikan sebagai media
digital berbasis audio yang digunakan untuk menyampaikan pesan-
pesan agama, mengajarkan nilai-nilai keagamaan, dan mempromosikan
pemahaman agama kepada pendengarnya. Podcast dakwah adalah salah
satu bentuk baru dari dakwah digital yang memanfaatkan teknologi
internet untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Podcast dakwah
dapat berisi ceramah agama, kuliah-kuliah keagamaan, diskusi-diskusi
interaktif, kajian kitab, dan berbagai konten lainnya yang bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang agama dan
menginspirasi pendengarnya dalam menjalankan ajaran agama.

Keunggulan dan Manfaat Penggunaan Podcast dalam


Dakwah
1. Aksesibilitas yang luas: Podcast dapat diakses oleh siapa saja yang
memiliki akses internet dan perangkat yang kompatibel. Hal ini
memungkinkan dakwah dapat menjangkau audiens yang beragam,
baik secara geografis maupun demografis.
2. Fleksibilitas waktu dan tempat: Pendengar dapat mendengarkan
podcast kapan saja dan di mana saja sesuai dengan keinginan dan
ketersediaan mereka. Hal ini memungkinkan para pendengar untuk
mengatur waktu mendengarkan podcast sesuai dengan kesibukan
mereka, sehingga meningkatkan efektivitas dakwah.
3. Kekuatan audio: Melalui podcast, dakwah dapat disampaikan dengan
suara yang jelas dan emosional. Suara yang menarik dan menyam-
paikan pesan dengan baik dapat menciptakan ikatan emosional yang
kuat antara pembicara dan pendengar, sehingga meningkatkan daya
tarik dakwah tersebut.
4. Ketersediaan konten yang beragam: Podcast dakwah dapat
menghadirkan berbagai jenis konten seperti ceramah, wawancara,
diskusi, dan kajian kitab. Hal ini memberikan variasi kepada pendengar

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 369


dan memungkinkan mereka untuk memilih konten yang sesuai
dengan minat dan kebutuhan mereka.
5. Pengulangan dan referensi ulang: Keuntungan dari podcast adalah
pendengar dapat mengulangi atau mengakses kembali episode yang
sudah disiarkan. Hal ini memungkinkan pendengar untuk mengulangi
pemahaman atau merujuk kembali ke informasi yang disampaikan
dalam podcast tersebut.
Strategi Podcast Dakwah
1. Penentuan tema dan target audiens: Sebelum membuat podcast
dakwah, penting untuk menentukan tema yang akan diangkat dan
audiens yang dituju. Memahami minat dan kebutuhan audiens
potensial akan membantu dalam menyusun konten yang relevan
dan menarik bagi mereka.
2. Rencana episode dan jadwal pengiriman: Membuat rencana episode
yang terstruktur dan menentukan jadwal pengiriman podcast adalah
strategi penting dalam menjaga konsistensi dan keberlanjutan podcast
dakwah. Hal ini juga membantu mendapatkan loyalitas pendengar
yang mengharapkan konten terbaru secara berkala.
3. Kualitas produksi yang baik: Menghasilkan podcast dengan kualitas
produksi yang baik akan meningkatkan profesionalisme dan daya
tarik podcast dakwah. Pemilihan peralatan rekaman yang tepat,
penyuntingan suara yang baik, dan penggunaan musik atau efek
suara yang mendukung dapat membuat pendengar lebih tertarik.
4. Promosi dan distribusi: Setelah podcast dakwah diproduksi, penting
untuk mempromosikannya agar dapat ditemukan oleh audiens target.
Memanfaatkan media sosial, situs web, dan platform podcast populer
untuk membagikan episode, serta berinteraksi dengan pendengar
melalui komentar atau tanggapan, adalah strategi penting dalam
membangun audiens dan meningkatkan jangkauan dakwah.
5. Evaluasi dan umpan balik: Terakhir, penting untuk terus
mengumpulkan umpan balik dari pendengar dan melakukan
evaluasi terhadap podcast dakwah. Hal ini dapat membantu dalam

370 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


meningkatkan kualitas konten, menyesuaikan strategi promosi, dan
menjaga kepuasan pendengar.
Dengan menerapkan strategi ini, podcast dakwah dapat menjadi
media yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan agama dan
mempengaruhi positif audiens yang lebih luas.

Rencana dan Strategi dalam Pembuatan dan Pengelolaan


Podcast Dakwah
1. Analisis Podcast Dakwah
Sebelum memulai pembuatan podcast dakwah, penting untuk
melakukan analisis terlebih dahulu. Beberapa hal yang dapat dilakukan
dalam analisis ini adalah:
a. Identifikasi target audiens: Tentukan audiens target yang ingin
Anda jangkau dengan podcast dakwah Anda. Pahami kebutuhan,
minat, dan preferensi mereka sehingga Anda dapat menyusun
konten yang relevan dan menarik bagi mereka.
b. Analisis kompetisi: Lakukan riset tentang podcast dakwah yang
sudah ada dan populer di kalangan audiens yang sama. Pelajari
strategi, konten, dan kekuatan podcast-podcast tersebut untuk
mendapatkan wawasan yang berguna dalam mengembangkan
podcast dakwah Anda sendiri.
c. Identifikasi keunikan: Tentukan apa yang membedakan podcast
dakwah Anda dari yang lain. Temukan keunikan Anda, baik
itu dari segi konten, pendekatan, atau gaya penyampaian, yang
akan menarik perhatian audiens dan membuat mereka memilih
podcast Anda.
2. Konten Podcast Dakwah: Isi dan Karakteristik
Konten yang baik dan efektif sangat penting untuk podcast dakwah.
Berikut adalah beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan konten:
a. Pemilihan topik yang relevan: Pilih topik yang relevan dengan
ajaran agama, isu-isu aktual, kebutuhan spiritual, atau tantangan

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 371


kehidupan sehari-hari yang dihadapi audiens Anda. Pastikan
topik tersebut dapat memberikan manfaat dan memberikan
solusi yang berguna bagi pendengar.
b. Konsistensi dan struktur: Buat rencana episode yang terstruktur
dengan jelas. Tetapkan alur cerita atau pembahasan yang logis
dan teratur. Pemilihan konten yang beragam, seperti ceramah,
wawancara, kisah inspiratif, dan tanya jawab, dapat membantu
menjaga keberagaman dan minat audiens.
c. Durasi yang sesuai: Pertimbangkan durasi episode podcast
agar sesuai dengan minat dan ketersediaan waktu pendengar.
Sesuaikan durasi dengan konten yang akan disampaikan dan
pastikan tetap mempertahankan keaslian dan kualitas isi.
d. Keselarasan dengan nilai-nilai agama: Pastikan konten podcast
dakwah Anda sesuai dengan ajaran agama yang ingin Anda
sampaikan. Jaga agar pesan-pesan yang disampaikan konsisten
dengan nilai-nilai agama dan menginspirasi pendengar untuk
meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama mereka.
3. Penyampaian Pesan dan Gaya Bahasa
Selain konten, cara penyampaian pesan dan gaya bahasa yang digu-
nakan dalam podcast dakwah juga memiliki peran penting. Berikut
adalah beberapa strategi yang dapat digunakan:
a. Penggunaan bahasa yang sesuai: Sesuaikan bahasa yang
digunakan dengan audiens target Anda. Hindari penggunaan
istilah atau ungkapan yang sulit dipahami oleh pendengar.
Gunakan bahasa yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami
agar pesan Anda mudah ditangkap oleh pendengar.
b. Gaya penyampaian yang menarik: Gunakan gaya penyampaian
yang menarik dan menghidupkan konten. Variasikan intonasi
suara, gunakan humor yang sesuai, dan tambahkan narasi
yang mengundang minat pendengar. Hal ini dapat membantu
mempertahankan perhatian pendengar dan membuat mereka
terlibat dalam podcast dakwah Anda.

372 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


c. Berikan contoh konkret: Sertakan contoh-contoh konkret atau
cerita yang relevan dalam penyampaian pesan Anda. Contoh-
contoh ini dapat membantu pendengar memahami konsep
atau ajaran agama yang Anda sampaikan dengan lebih baik
dan membuatnya lebih mudah diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Pengelolaan dan Distribusi Podcast Dakwah
Setelah podcast dakwah Anda dibuat, perlu strategi pengelolaan
dan distribusi yang efektif. Berikut adalah beberapa langkah yang
dapat diambil:
a. Penjadwalan dan konsistensi: Tetapkan jadwal pengiriman
podcast yang konsisten. Pilih hari dan jam yang tetap untuk
merilis episode baru agar pendengar terbiasa dan menantikan
konten terbaru. Jaga konsistensi dalam pengiriman agar
pendengar tidak kehilangan minat.
b. Promosi melalui platform media sosial: Manfaatkan platform
media sosial untuk mempromosikan podcast dakwah Anda.
Buat akun khusus untuk podcast Anda dan gunakan postingan,
gambar, atau cuplikan menarik untuk memperkenalkan dan
membagikan episode terbaru kepada audiens Anda.
c. Platform distribusi: Gunakan platform podcast populer seperti
Apple Podcasts, Spotify, Google Podcasts, atau platform lainnya
untuk mendistribusikan dan mengelola podcast Anda. Pastikan
podcast Anda tersedia di berbagai platform agar mudah diakses
oleh audiens.
d. Interaksi dengan pendengar: Berikan kesempatan bagi pendengar
untuk berinteraksi dengan Anda melalui komentar, pertanyaan,
atau tanggapan. Balas tanggapan pendengar dengan ramah
dan berikan apresiasi atas partisipasi mereka. Hal ini akan
memperkuat hubungan antara Anda dan pendengar serta
menciptakan komunitas yang lebih terlibat.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 373


Metode Produksi Podcast Dakwah:
Perencanaan Produksi:
Tahapan perencanaan dalam pembuatan podcast dakwah meliputi:
1. Identifikasi tema dan konten: Tentukan tema utama podcast dakwah
Anda dan buat daftar topik yang ingin Anda bahas dalam setiap
episode. Sesuaikan dengan kebutuhan dan minat audiens target Anda.
2. Penentuan format: Pilih format yang sesuai dengan konten yang
ingin Anda sampaikan, seperti ceramah, wawancara, kajian kitab,
atau diskusi panel. Sesuaikan format dengan tujuan dakwah Anda
dan preferensi audiens.
3. Rencana episode: Buat rencana episode yang terstruktur dengan
jelas. Tetapkan urutan topik atau bagian yang akan dibahas dalam
setiap episode untuk menjaga alur cerita yang logis.
4. Penyusunan skrip: Buat skrip atau garis besar untuk setiap episode.
Rencanakan poin-poin yang ingin Anda sampaikan, contoh-contoh
yang akan digunakan, dan gaya bahasa yang ingin Anda gunakan.

Produksi Audio:
Proses produksi, editing, dan mixing audio dalam pembuatan podcast
dakwah meliputi:
1. Rekaman suara: Siapkan peralatan rekaman yang baik, seperti
mikrofon dan perangkat lunak rekaman suara. Rekam suara dengan
kualitas yang baik dan pastikan lingkungan rekaman hening untuk
menghindari gangguan suara.
2. Penyuntingan suara: Gunakan perangkat lunak penyunting suara
untuk mengedit rekaman suara. Potong bagian yang tidak perlu,
tambahkan efek suara jika diperlukan, dan perbaiki kualitas suara
jika ada masalah teknis.
3. Mixing audio: Sesuaikan level suara, seperti volume dan kualitas
suara, antara berbagai elemen audio dalam episode, seperti narasi,
musik latar, atau klip suara tambahan. Pastikan agar semua elemen
audio saling melengkapi dan mudah didengarkan.

374 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Desain Grafis dan Penyuntingan Visual:
Penggunaan desain grafis dan penyuntingan visual dapat melengkapi
podcast dakwah. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
1. Desain logo dan cover podcast: Buat logo dan desain cover podcast
yang menarik dan mencerminkan tema dan identitas podcast
dakwah Anda. Logo dan cover akan menjadi identitas visual yang
membedakan podcast Anda.
2. Pembuatan transkrip: Buat transkrip episode podcast sebagai teks yang
mendukung konten audio. Transkrip dapat membantu pendengar
yang lebih suka membaca atau mencari informasi secara cepat.
3. Penyuntingan visual: Jika Anda menggunakan video dalam podcast
dakwah, lakukan penyuntingan visual untuk menghasilkan video
yang menarik dan profesional. Gunakan efek visual yang sesuai dan
tambahkan teks atau ilustrasi yang mendukung konten podcast.
Evaluasi dan Pengembangan Podcast Dakwah:
Evaluasi Kualitas Podcast Dakwah:
Metode dan indikator evaluasi untuk menilai kualitas podcast dakwah
meliputi:
1. Kualitas produksi audio: Evaluasi kualitas produksi audio, seperti
kejernihan suara, kelancaran editing, dan kualitas mixing audio.
2. Relevansi dan kebermanfaatan konten: Tinjau apakah konten podcast
dakwah sesuai dengan tema dan tujuan Anda. Pertimbangkan apakah
konten memberikan manfaat dan memberikan pemahaman yang
baik kepada pendengar.
3. Tingkat keterlibatan pendengar: Evaluasi tingkat keterlibatan
pendengar dalam bentuk tanggapan, komentar, dan interaksi melalui
media sosial atau platform podcast.

Umpan Balik dari Pendengar:


Menganalisis umpan balik dari pendengar untuk pengembangan podcast
dakwah meliputi:

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 375


1. Tinjau dan analisis umpan balik: Terima dan baca umpan balik
yang diberikan oleh pendengar melalui komentar, pesan, atau
survei. Identifikasi pola umpan balik dan temukan aspek yang perlu
ditingkatkan atau diperbaiki.
2. Perhatikan kebutuhan dan minat pendengar: Gunakan umpan balik
dari pendengar untuk memahami kebutuhan, minat, dan harapan
mereka. Sesuaikan konten dan strategi podcast dakwah Anda agar
lebih relevan dan menarik bagi audiens target.

Perbaikan dan Pengembangan Podcast Dakwah:


Rekomendasi dan tindakan perbaikan berdasarkan hasil analisis dan
evaluasi meliputi:
1. Perbaikan produksi audio: Identifikasi dan perbaiki masalah produksi
audio yang ditemukan selama evaluasi. Tingkatkan kualitas suara,
editing, atau mixing audio jika diperlukan.
2. Penyesuaian konten: Gunakan umpan balik dan hasil evaluasi untuk
menyesuaikan konten podcast dakwah. Tambahkan atau kurangi
topik, gali lebih dalam pada topik yang diminati pendengar, atau
kaji ulang cara penyampaian pesan.
3. Strategi promosi dan distribusi: Lakukan penyesuaian atau perbaikan
dalam strategi promosi dan distribusi podcast dakwah. Tingkatkan
visibilitas dan jangkauan dengan memanfaatkan platform dan metode
promosi yang tepat.
Setelah menerapkan metode produksi, evaluasi, dan pengembangan
podcast dakwah, hasil dan pembahasan dapat meliputi:
1. Peningkatan kualitas produksi audio podcast dakwah.
2. Konten yang lebih relevan dan menarik bagi audiens target.
3. Meningkatnya keterlibatan dan interaksi pendengar.
4. Penyesuaian strategi promosi dan distribusi untuk mencapai audiens
yang lebih luas.
5. Perbaikan dan pengembangan berkelanjutan berdasarkan umpan
balik dan evaluasi.

376 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


6. Menggunakan studi kasus atau analisis podcast dakwah yang berhasil
sebagai acuan untuk pengembangan podcast Anda.
Penting untuk terus mengkaji dan memperbaiki podcast dakwah
Anda sesuai dengan umpan balik dan evaluasi yang diterima. Dengan
melakukan evaluasi secara berkala, berinteraksi dengan pendengar, dan
terus mengembangkan strategi produksi dan distribusi, Anda dapat
meningkatkan kualitas podcast dakwah Anda dan mencapai audiens
yang lebih luas serta lebih terlibat.

Implikasi Strategi Podcast Dakwah


Temuan analisis dapat memiliki dampak dan implikasi yang signifikan
terhadap strategi pengembangan podcast dakwah. Beberapa implikasi
yang mungkin timbul adalah: Pertama, Penyesuaian konten: Jika analisis
menunjukkan bahwa beberapa topik atau segmen konten tidak diminati
oleh pendengar atau kurang relevan, maka dapat menjadi tanda untuk
melakukan penyesuaian konten. Anda dapat mengubah atau menghi-
langkan topik yang kurang diminati dan memperluas segmen konten
yang lebih populer.
Kedua, Perbaikan produksi audio: Jika analisis mengungkapkan
masalah kualitas produksi audio, seperti suara yang tidak jelas atau masalah
editing, maka perlu melakukan perbaikan dalam hal ini. Investasikan
waktu dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas produksi audio
agar pendengar mendapatkan pengalaman dengar yang lebih baik.
Ketiga, Strategi promosi yang lebih efektif: Jika analisis menunjukkan
bahwa strategi promosi yang digunakan tidak memberikan hasil yang
diharapkan, perlu melakukan perubahan atau penyesuaian. Anda dapat
mengeksplorasi platform promosi yang berbeda, memanfaatkan media
sosial dengan lebih efektif, atau menggandeng mitra atau influencer yang
relevan untuk meningkatkan visibilitas dan jangkauan podcast dakwah
Anda.
Keempat, Interaksi yang lebih aktif dengan pendengar: Jika analisis
menunjukkan kurangnya interaksi dengan pendengar, penting untuk

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 377


meningkatkan komunikasi dan keterlibatan dengan mereka. Respon yang
cepat terhadap komentar, pertanyaan, atau umpan balik dari pendengar
dapat membantu membangun hubungan yang lebih kuat dan memperkuat
komunitas pendengar.

Pengembangan dan Peningkatan Podcast Dakwah


Berdasarkan hasil analisis, berikut adalah beberapa rekomendasi untuk
pengembangan dan peningkatan podcast dakwah: Pertama, Terus
melakukan evaluasi dan pengembangan: Proses evaluasi dan pengembangan
harus berkelanjutan. Terus perhatikan umpan balik dan analisis dari
pendengar serta terus mencari cara untuk meningkatkan kualitas, relevansi,
dan daya tarik podcast dakwah Anda. Kedua, Diversifikasi konten: Coba
variasikan konten podcast dengan mengeksplorasi format dan topik yang
berbeda. Selain itu, pertimbangkan untuk menghadirkan narasumber tamu
yang berpengaruh atau pakar dalam bidang agama untuk memberikan
perspektif yang beragam dan menarik bagi pendengar.
Ketiga, Tingkatkan keterlibatan pendengar: Buatlah kesempatan bagi
pendengar untuk berpartisipasi aktif dalam podcast dakwah Anda, misal-
nya melalui segmen tanya jawab atau diskusi komunitas. Jalin hubungan
yang lebih kuat dengan pendengar dan berikan ruang bagi mereka untuk
berbagi pengalaman, pertanyaan, atau ide. Keempat, Tingkatkan kuali-
tas produksi: Terus tingkatkan kualitas produksi audio podcast Anda.
Pemilihan peralatan yang lebih baik, penggunaan teknik rekaman yang
canggih, dan penyuntingan yang lebih halus dapat membantu mening-
katkan kualitas suara dan kesan keseluruhan podcast dakwah Anda.
Kelima, Bangun jejaring kolaborasi: Jalin kerja sama dengan podcast
dakwah lainnya, organisasi keagamaan, atau narasumber terkemuka
di bidang agama. Kolaborasi ini dapat membantu meningkatkan
visibilitas podcast Anda, memperluas audiens, dan memperkaya konten
podcast dengan perspektif yang berbeda. Dan Keenam, Pertimbangkan
pengembangan visual: Jika memungkinkan, pertimbangkan untuk
mengembangkan aspek visual dalam podcast dakwah Anda. Anda

378 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


dapat mencoba membuat video podcast atau menyediakan konten visual
tambahan yang dapat meningkatkan pengalaman pendengar.
Dengan menerapkan rekomendasi ini, Anda dapat mengembangkan
dan meningkatkan podcast dakwah Anda sehingga dapat memberikan
dampak yang lebih besar dan mencapai audiens yang lebih luas.

Simpulan
Podcast dakwah adalah alat yang efektif untuk menyampaikan pesan-
pesan agama dan mempengaruhi positif pendengar. Dalam upaya
meningkatkan efektivitas dan kualitas podcast dakwah, penting untuk
fokus pada konten yang berkualitas, memperbaiki produksi audio,
mengembangkan gaya penyampaian yang menarik, dan meningkatkan
interaksi dengan pendengar. Melakukan evaluasi rutin, promosi yang aktif,
dan pengembangan berkelanjutan juga penting untuk terus memperbaiki
podcast dakwah Anda. Dengan menerapkan saran-saran ini, Anda dapat
meningkatkan efektivitas dan mencapai audiens yang lebih luas dengan
podcast dakwah Anda.

Daftar Pustaka
Hasan, N., & Badiuddin, Z. (2020). Exploring the Potential of Podcast as
a Tool for Islamic Preaching (Dakwah) in Malaysia. Jurnal Islam dan
Masyarakat Kontemporari, 20(4), 19-32.
Nordin, N. M., Ibrahim, N. H., & Salleh, A. M. (2020). Podcasting as an
Effective Tool for Islamic Da’wah: A Review. International Journal
of Academic Research in Business and Social Sciences, 10(2), 1-10.
Hamzah, S. A., & Saad, S. M. (2020). Dakwah through Podcast: A Study
of the Perspectives of Universiti Putra Malaysia Students. Journal of
Al-Qalam, 3(1), 19-30.
Md Nor, N., & Ab Aziz, N. (2020). Dakwah through Podcast: A Case Study
in IIUM.FM. Jurnal Usuluddin, 51, 141-157.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 379


Nordin, N. M., Abdullah, M. K., & Yusof, R. (2020). Utilizing Podcast as
a Medium of Islamic Preaching (Dakwah) Among Malaysian Muslim
Community. Journal of Education and Learning, 14(1), 1-8.
Rahman, M. S., & Samsudin, M. A. (2021). The Potential of Podcast in
Islamic Da’wah in Malaysia. Jurnal Fikrah, 4(1), 26-42.

Biografi Singkat Penulis


Abdul Latif merupakan seorang mahasiswa yang aktif dalam dunia tulis
menulis. Saat ini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi STAI
Al-Hamidiyah Jakarta. Depok, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)
yang beralamat di Jl. Raya Sawangan No 12, Kelurahan Rangkapan Jaya,
Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok

380 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Tajdid Nalar Beragama Untuk
Menghadapi Era Industri 4.0

Andy Hadiyanto
Universitas Negeri Jakartam Indonesia
Email: andy-hadiyanto@unj.ac.id

Pendahuluan
Perubahan merupakan sunatullah terhadap alam semesta dan isinya.
Manusia dengan kecerdasan yang diberikan Allah kepadanya selalu
berusaha untuk membuat hidupnya lebih baik, lebih menyenangkan, dan
lebih mudah dari sebelumnya. Sejalan dengan itu, Islam memberikan
penghargaan kepada kebudayaan sebagai hasil cipta rasa, karsa, dan karya
manusia. Kebudayaan sebagai produk kemanusiaan dihargai selama ia
tidak bertentangan dengan spirit kebaikan Tuhan sebagaimana tercermin
dalam nilai-nilai etika, logika, estetika, dan agama. Kebudayaan selalu
mengalami perubahan dan modifikasi sesuai dengan perkembangan
kemampuan nalar, rasa, dan cipta manusia.
Saat ini, kita menghadapi revolusi industri 4.0. dimana kegiatan
industri manufaktur terintegrasi melalui penggunaan teknologi wireless
dan big data secara massif. Kehidupan umat manusia saatg ini begitu
tergantung dengan internet dan media digital dalam berinteraksi dan
bertransaksi. Kita mengenal: sharing economy, e-education, e-government,
cloud collaborative, smart city, dan sebagainya. Fenomena buka lapak, gojek,
traveloka, beli-beli, dan lain-lain merupakan manifestasi pemanfataan
teknologi big data dan internet untuk mempermudah kehidupan. Revolusi
industry 4.0 sebagai produk budaya merupakan sunatullah, ia adalah
berkah Allah terhadap umat manusia.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 381


Kemunculan sebuah budaya baru selalu ditengarai sebagai ancaman
terhadap budaya yang lama. Era revolusi indutsri diperkirakan akan
mengancam 1–1,5 miliar pekerjaan sepanjang tahun 2015-2025, karena
digantikannya posisi manusia dengan mesin otomatis. Dampak revolusi
industry 4.0, diperkirakan bahwa di masa yang akan datang, 65% murid
sekolah dasar di dunia akan bekerja pada pekerjaan yang belum pernah
ada di hari ini. Dampak lain di bidang social, revolusi industry 4.0
dianggap akan menimbulkan transvaluasi (pergeseran nilai), yang ditandai
dengan semakin terkikisnya identitas dan budaya lokal, digantikan oleh
budaya global yang bersifat transnasional. Nilai-nilai keagamaan dan
kearifan local di era revolusi indutri 4.0 mendapatkan tantangan berupa
Kecenderungan sekularisasi (secular trend), yang menekankan nilai dan
tujuan temporal dan non-transendental lewat cara-cara yang rasional-
pragmatik, melemahnya institusi-institusi keagamaan (mushala, majlis
taklim, dsb) dalam praksis kehidupan sosial, digantikan oleh kegiatan
ekonomi dan hiburan. Dampak social lainnya adalah semakin longgarnya
kerekatan sosial, karena masyarakat memilih media digital sebagai sarana
berkomunikasi dan berinteraksi.
Seperti diungkapkan di muka, Islam adalah agama yang terbuka
terhadap perubahan dan berorientasi ke depan (masa yang akan datang).
Islam melarang uamtnya untuk menjadi stagnan apalagi mundur, karena
prinsipnya hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus
lebih baik dari hari ini. Sisi Transformatif Islam harus mengemuka
agar umat Islam dapat terus berkembang menjadi maju tanpa harus
kehilangan identitas mereka. Islam yang terdapat dalam teks suci harus
ditransendenisasikan agar dapat berdialog dengan spirit modernisasi, yang
pada akhirnya menjadi sebuah keberagamaan transformative. Coretan
sederhana ini mencoba untuk focus pada manifestasi keberagamaan
transformative yang mampu beradaptasi dengan era revolusi industry 4.0.

382 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Pembahasan
Tuntutan Kompetensi di Era Revolusi Industri 4.0
Kompetensi yang dibutuhkan dalam era 4.0 adalah: Pertama, COGNITIVE
ABILITIES Skill terdiri dari antara lain: Cognitive Flexibility, Creativity,
Logical Reasoning, Problem Sensitivity, Mathematical Reasoning,
dan Visualization. Kedua, SYSTEM SKILL kemampuan untuk dapat
melakukan judgement dan keputusan dengan pertimbangan cost-benefit
serta kemampuan untuk mengetahui bagaimana sebuah sistem dibuat
dan dijalankan. Ketiga, PROCESS SKILL keterampilan berpikir tentang
proses, yaitu kemampuan: active listening, logical thinking, dan monitoring
self and the others. Keempat, SOCIAL SKILL yaitu Kemampuan untuk
melakukan koordinasi, negosiasi, persuasi, mentoring, kepekaan dalam
memberikan bantuan hingga emotional intelligence. Kelima, COMPLEX
PROBLEM SOLVING yaitu Kemampuan untuk memecahkan masalah
yang asing dan belum diketahui solusinya di dalam dunia nyata.
Kompetensi-kompetensi di atas kemudian diturunkan menjadi
model pembelajaran abad 21 yang mencerminkan empat hal: critical
thinking and problem solving, creativity and innovation, communication,
and collaboration. Pertama, Creativity and Innovation kemampuan
untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-
gagasan baru kepada yang lain, bersikap terbuka dan responsif terhadap
perspektif baru dan berbeda. Kedua, Critical Thinking and Problem
Solving, kemampuan untuk memberikan penalaran yang masuk akal
dalam memahami dan membuat pilihan yang rumit, memahami
interkoneksi antara system, menggunakan kemampuan yang dimiliki
untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi secara mandiri, serta
kemampuan untuk menyusun dan mengungkapkan, menganalisa, dan
menyelesaikan masalah. Ketiga, Communication, kemampuan untuk
memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif
dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia.
Kemampuan untuk membangun saling pengertian dan pemahaman
dalam multi konteks. Keempat Collaboration, kemampuan dalam

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 383


kerjasama berkelompok dan kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai
peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain,
menempatkan empati pada tempatnya, menghormati perspektif berbeda.
kemampuan menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara
pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan masyarakat, menetapkan dan
mencapai standar dan tujuan yang tinggi untuk diri sendiri dan orang
lain, memaklumi kerancuan.

Nalar Keberagamaan di era Revolusi Industri 4.0


Sejalan dengan tuntutan kompetensi abad 21 di era revolusi industry 4.0
di atas, keberagamaan harus menyaran pada pemikiran kritis, kreatif dan
inovatif dalam memahami teks dan doktrin keagamaan, sehingga dapat
menciptakan solusi bagi tantangan kehidupan modern, dan berorientasi
dalam mengembangkan komunikasi antar pihak untuk mewujudkan
kebersamaan dan harmoni.
Dalam upaya menciptakan karakter manusia beragama abad 21
atau era industry 4,0 dengan karakteristik di atas maka harus dihindari
pembelajaran agama yang : 1) Theocentris, terlalu melihat segala sesuatu
dari kacamata Tuhan, tanpa melihat proses kemanusiaan, seolah agama
adalah obat universal yang disiapkan untuk segala penyakit tanpa melihat
gejala penyakit yang ada. 2) Doktrinisasi dan dogmatis, pengajaran agama
yang disampaiakn dengan menafikan proses nerpikir kritis. 3)Tidak
Dialogis, hanya menyampaikan satu perspektif sambil menyalahkan
perspektif yang berbeda. 4) Formalistik Normatif, hanya menitikberatkan
pada aspek symbol, ritual, dan aturan normative. Dan 5) A Historis,
at=rtinya hanya menyampaikan agama sebagai prodak jadi, padahal
agama disampaikan dan berkembang secara evolutif melalui prioses
sejarah yang panjang.
Pembelajaran agama seharusnya dilakukan secara: anthroposentris/
humanis, rasionil kritis/obyektif komprehensip, dialogis/dialektik,
transformatif /transendentif, dan historis. Pertama Humanis, artinya
Pendidikan Agama harus memperhatikan keanekaragaman sosial dan
budaya, memahamkan wahyu Tuhan dalam konteks sosial-budaya

384 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


yang berbeda. Di samping itu melalui penekanan aspek antroposentris
keanekaragamaan ekspresi keagamaan akan dipahami sebagai manifestasi
pancaran kebenaran Tuhan dalam keberbagaian (pantulan cermin dari
berbagai sudut).
Kedua, rasional kritis, obyektif komprehensip, artinya Pendidikan
Agama harus mampu menjelaskan doktrin-doktrin agama secara logis
sesuai dengan kadar kemampuan berpikir siswa, dari level terendah sampai
dengan level tertinggi (HOT). Agar dapat menjelasakan agama dalam
aras pemikiran tinggi maka perlu menggunakan berbagai pendekatan
ilmu-ilmu modern, dan menyampaikan data dan fakta terkait dengan
ekspresi keagamaan secara obyektif tanpa tendensi dan prejudice.
Ketiga, diakogis/ komunikatif, artinya Pendidikan Agama harus
membiasakan siswa untuk mendialogkan dan mengkomunikasikan
perbedaan keyakinan dan pemahaman agama. Siswapun dilatih dan
dibiasakan untuk mendiskusikan dan mendialogkan berbagai corak
pemahaman secara obyektif tanpa pemihakan. Setelah dialog dan diskusi,
siswa diajak untuk membandingkan berbagai model pemahaman dan
keyakinan, serta penghayatan dan pengamalan agama dengan pihak lain
dalam konteks membangun harmoni.
Keempat, transformative/ transendenisasi, yaitu endidikan Agama
harus mampu menembus aspek normative doktriner agama untuk
menemukan nilai-nilai Kebenrana universal yang dapat dimplementasikan
sebagai basis nilai perkembangan kebudayaan. Doktrin agama harus dapat
berfungsi sebagai pandangan dunia yang rahmatan lil alamin. Untuk itu
pembelajaran agama diarahkan kepada kemampuan siswa untuk melihat
distingsi intensional instrumental, yaitu kemampuan untuk melihat
tujuan/ substansi universal yang ingin dicapai dan mana yang sekedar
ekspresi dan alat pengamalan yang sifatnya local temporal. Pengajaran
agama pun tidak berhenti pada penguatan aspek religiusitas berupa ritual,
ceremony keagamaan, dan wacana-wacana simbolik lainnya, namun juga
penekanan pada pembentukan karakter dan menyuburkan spiritualitas.
Spiritualitaslah yang akan membuat manusia memaknai hidupnya, dan

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 385


membuat dia mampu untuk tetap melihat dimensi Tuhan dalam kemajuan
budaya dan peradaban.
Kelima, historis, artinya Pendidikan Agama diharapkan mampu
memilah ajaran-ajaran agama yang sakral dan profane, sehingga siswa
tidak dengan mudah menggeneralisir semua hal yang difirmankan
Tuhan dan disabdakan Nabi sebagai hal yang harus diamalkan tanpa
analisis mendalam, sehingga Tuhan seolah-olah dipaksa tampil dalam
semua urusan manusia. Pendekatan historis menyaran pada upaya
untuk memahami teks-teks agama sebagai produk dan produser Budaya,
artinya wacana keagamaan berkembang sejalan dengan perkembangan
situasi kebudayaan yang harus disikapi dengan nilai-nilai tertentu.
Melalui pendekatan ini siswa akan mampu menempatkan keragaman
pemahaman dan keyakinan agama dalam konteks psiko-sosio historisnya
masing-masing.
Melalui pembelajaran agama dengan karakteristik di atas, diharapkan
dapat muncul nalar keagamaan abad 21/ revolusi industry 4.0, yaitu:
1) mengedepankan semangat kebersamaan (AQ: 3/103 dan 105, serta
11/118), 2) semangat kesetaraan dan beragama tanpa tendensi {AQ:
78-79), 3) mengedepankan ilmi dan otoritas keilmuan (AQ: 17/6, 4/96,
10/39, dan 16/ 43), 3) mencintai tanah air dan budaya bangsa (AQ: 2/216
dan hadis nabi tentang cinta tanah air), 4) berpikir jangka panjang dan
merencanakan masa depan (AQ: 28/77), 5) orientasi pada proses dengan
tekad kuat dan kesabaran (AQ: 9/105), dan 6) orientasi amal sholih dan
amanah dalam setiap hal , bukan profit oriented (AQ: 74/6).

Tajdid Nalar Beragama


Nalar beragama, atau cara berpikir yang terkait dengan aspek keagamaan,
memang membutuhkan tajdid atau penyegaran secara berkala. Tajdid
dalam konteks ini mengacu pada proses pembaruan dan penyegaran
pemahaman agama serta pandangan beragama. Tajdid nalar beragama
merupakan keharusan sejarah karena perubahan sosial dan budaya
dalam suatu masyarakat, dimana nilai-nilai dan norma harus berubah
dan beradaptasi dengan tantangan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

386 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Tajdid memungkinkan pemahaman agama yang lebih mendalam dan
lebih kontekstual, melalui penggalian makna-makna ajaran agama yang
lebih dalam untuk diterapkan dalam kehidupan yang dinamis.
Tajdid pemahaman agama dapat membantu mencegah munculnya
ekstremisme dan fanatisme, hal itu karena tajdid merupakan sebuah
mekanisme berpikir yang progresif dan dinamis. Melalui tajdid nalar
beragama, ajaran agama dapat terus diinterpretasikan secara bertanggung-
jawab dalam konteks dunia yang semakin terbuka. Kesalahpahaman
atau penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama seringkali menjadi
penyebab munculnya ekstrimisme, diakibatkan oleh pemahaman agama
yang stagnan dan eksklusif, tidak sejalan dengan dinamika kehidupan
yang terus berubah.
Tajdid, memberikan kesempatan untuk memecahkan masalah-
masalah kontemporer dengan pandangan agama yang lebih segar.
Penyegaran pemahaman agama dapat membantu mencari solusi yang
sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks saat ini. Dengan tajdid,
agama dapat tetap relevan dalam kehidupan modern. Ketika pemahaman
agama diperbarui, agama dapat memberikan pedoman yang lebih baik
dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul. Tajdid juga
dapat membantu membangun spiritualitas yang lebih kuat dan kokoh,
karena pembaruan pemahaman agama dapat pula memberikan wawasan
baru tentang hubungan individu dengan Tuhan dan memberikan inspirasi
dalam meningkatkan kualitas spiritualitas.
Pendek kata, tajdid berfungsi untuk menjaga dinamika dan fleksibilitas
nalar beragama, sehingga agama dapat terus memberikan panduan
dan nilai-nilai positif dalam kehidupan manusia. Hal ini penting untuk
menghindari stagnasi dalam pemahaman agama dan mencegah konflik
serta ketidakpastian yang mungkin timbul akibat ketidaksepahaman atau
interpretasi yang kaku.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 387


Berikut tabel tentang perubahan yang berimplikasi pada tajdid nalar
beragama:
Perubahan Implikasi Paradigmatik
Perubahan sosial Eksklusif – inklusif
Perubahan politik Dikotomi dunia – nation state
Perubahan kebudayaan Konservatif – kritis, kreatif, inovatif
Perubahan teknologi Lisan – Literasi –literasi digital
Perubahan ideologi keagamaan Tajsim-Tanzih/ dogmatis-rasional/
teosentris-antroposentris

Perubahan sosial menuntut nalar beragama yang inklusif untuk


menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Realitas sosial
saat ini menuntut kita untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
semua individu tanpa memandang latar belakang, jenis kelamin, agama,
atau status sosial. Paradigma sosial inklusif memastikan bahwa semua
orang memiliki hak dan akses yang setara. Tidak hanya itu, paradigm
inklusif menuntut penghargaan terhadap keragaman dan mengakui
kontribusi yang beragam dari setiap kelompok. Paradigma inklusif dapat
menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok
yang sebelumnya dianggap sebagai “lain” atau “asing”, sehingga mendorong
terciptanya hubungan positif antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
Hal ini membantu meminimalisir terjadinyai konflik antar-kelompok
serta meningkatkan toleransi dan saling pengertian.
Terkait dengan pandangan politik, dunia saat ini menuntut perubahan
nalar beragama yang semula meyakini universalitas politik, menjadi
pemahaman agama yang mendorong berkembangnya nation state. Nalar
beragama modern menuntut kita untuk realistic dalam memandang
batasan budaya, sejarah, geografis, dan geopilitik. Kita tidak lagi cukup
diikat dengan iman dan agama belaka, tetapi ada factor-faktor lain
pembentuk identitas yang lebih berpengaruh dalam mengklasifikasikan
masyarakat. Nilai-nilai Islam yang universal, mau tidak mau harus
ditampilkan dalam keragaman budaya, karena keragaman tersebut dalam
sunatullah.

388 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Budaya masa lalu yang konservatif, saat ini harus berubah menjadi
budaya kritis, terbuka, inovatif, dan kreatif. unia saat ini mengalami
perubahan teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat cepat
dan kompleks. Dalam menghadapi tantangan ini, kemampuan untuk
berpikir kritis memungkinkan kita menganalisis situasi dengan lebih
baik, memahami implikasi dari tindakan yang diambil, dan membuat
keputusan yang cerdas. Berpikir kritis juga memungkinkan kita memilah
informasi yang terus berubah, sementara kreativitas dan inovasi membantu
kita mengembangkan cara baru untuk memecahkan masalah dan belajar
dari pengalaman.
Dalam era modern, teknologi digital dan literasi digital menjadi
kebutuhan penting bagi setiap individu untuk mengakses, memahami,
mengevaluasi, dan berpartisipasi dalam lingkungan digital dengan efektif.
Literasi digital membantu individu untuk berkomunikasi dengan efektif
melalui berbagai platform digital dan memahami etika komunikasi
online. Di era digital ini kita dituntut untuk memiliki daya kritis lebih
untuk menyaring informasi, membangun opini, dan menciptakan trend
dan pola hidup baru.
Dalam teologis, nalar beragama modern menuntut nalar teologis
yang dinamis dan terbuka. Hal itu dapat terjadi melalui perpaduan antara
nalar-dan teks keagamaan kolaboratif, fleksibel, dan humanis. Apabila
dulu kita cenderung melihat urusan beragama dari perseptif tuhan, maka
nalar beragama baru menuntut kita untuk memahami fenomena bertuhan
dan beragam sebagai fenomena kemanusiaan. Perspektif antoprosentis
menjadikan nalar agama bernilai dan berfungsi bagi upaya untuk mengatasi
problematika kemanusiaan, dan membangun peradaban kemanusiaan.

Agama Sebagai Penggerak Peradaban


Agama memiliki peran penting dalam membangun peradaban, melalui
nilai moral dan etika yang diajarkannya. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi
dasar berkembangnya budaya dan peradaban yang luhur dan mengayomi
seluruh ciptaan Allah. Di samping nilai dan etika, agama memotivasi
umat manusia untuk membangun peradaban melalui inspirasi-inspirasi

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 389


yang disampaikan melalui cerita dan kisah. Perintah al-Qur’an untuk
bekerja, berbuat baik, dan beramal sholih juga dianggap sebagai isyarat
untuk menciptakan kebudayaan dan peradaban.
Beberapa prinsip peradaban yang diperkenalkan oleh al-Qur’an
misalnya, keadilan sosial yang merupakan tema penting dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an berulangkali mengingatkan tentang perlunya memperlakukan
semua individu dengan adil, menghormati dan menghargai hak-hak
kaum lemah dan miskin dalam masyarakat, khususnya wanita, anak
yatim, fakir miskin, dan budak. Islampun mengajarkan tentang bekerja
keras, produktifitas, dan kontributif dalam masyarakat, sebagai nilai-nilai
dasar peradaban Islam, yang membedakannya dengan peradaban lainnya.
Al-Qur’an memposisikan manusia sebagai khalifah di bumi, memiliki
tanggung jawab terhadap alam dan makhluk di dalamnya. Konsep
pertanggungjawaban di akhirat mendorong individu untuk berbuat baik
dan membangun peradaban yang berdasarkan nilai-nilai spiritual dan
moral, bukan hanya kepentingan materi semata. Terkait dengan kehidupan
sosial, al-Qur’an juga menegaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia
dalam berbagai suku, bangsa, dan bahasa agar mereka saling mengenal
dan berbagi kebaikan satu sama lain. Ajaran tentang tanggungjawab
moral, spiritualitas, dan kesadaran tentang pluralitas merupakan unsur
penting dalam pengembangan peradaban Islam.
Thantawi mensinyalir bahwa kemunduran umat Islam diantaranya
akibat umat mengabaikan ayat-ayat yang memberikan isyarat tentang
ayat kauniyah (fenomena alam dan sosial budaya). Spirit ketertutupan
akibat idiologisasi al-Qur’an membuat umat meremehkan akal, padahal
secara empirik akal sangat powerful, bahkan disebut 43 kali dalam bentuk
verba dalam al-Qur’an. Penggunan akal secara terbatas hanya difokuskan
pada ayat-ayat fiqih, yang menurut Thantawi tidak lebih dari 150 ayat
sedangkan ayat-ayat tentang kauniyah jumlahnya mencapai 750 ayat.
Pengabaian terhadap akal dan fokus berlebihan pada masalah fiqih
membuat dunia Islam lalai untuk mengembangkan sains. Merujuk
data science citacion index 2004, 46 negara Islam memberikan 1,17%

390 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


penerbitan karya ilmiah dunia, sedangkan Israel menyumbang 0,89%
sementara negara-negara maju seperti Jepang menyumbang 8,2%, Jerman
7,1% dan Amerika 30,8%. Dalam hal anggaran untuk pengembangan
sains dan teknologi negara-negara Islam hanya menganggarkan 0,45%
dari GNP nya, sedangkan negara-negara maju rata-rata mengalokasikan
2,39% anggarannya.
Pengabaian terhadap sains dan penggunaan akal dalam pembacaan
dan penafsiran al-Qur’an mengindikasikan adanya gap antara spirit
al-Qur’an dan realita umat. Al-Qur’an sangat menekankan pembelajaran
dan pengetahuan. Al-Qur’an menginformasikan pada kita bahwa alam
semesta penuh dengan tanda/ayat Tuhan yang hanya bisa dipecahkan
dengan pengkajian yang obyektif rasional sebagai media untuk mengenal
Tuhan. Al-Qur’an memotovasi kita untuk terus menuntut ilmu:

)114 ‫ربي زدني علما (طه‬


Bahkan al-Qur’an menginformasikan bahwa ilmulah yang akan
membawa manusia untuk mengenal Allah dan menghargaiNya, sehingga
menimbulkann ketakwaan dan ketundukan:

‫هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون إنما يتذكر أولو الألباب‬

)9 ‫(الزمر‬
Di era modern dan global saat ini, ketika umat Islam mulai menyadari
ketertinggalam mereka atas umat-umat lainnya dalam bidang budaya dan
peradaban, maka al-Qur’an mutlak perlu dikaji ulang dengan menggunakan
paradigma baru. Mungkin pada dasarnya tidak diperlukan pemahaman
baru tersebut, karena Rasul dan para sahabat sebenarnya telah dengan
baik memfungsionalisasikan al-Qur’an dalam koridor masa mereka. Maka
dalam hal ini kita kembali dituntut untuk mengambil inspirasi dan spirit
pemahaman mereka dalam konteks yang berbeda sehingga al-Qur’an
tetap dapat memberikan tuntunannya yang rahmatan lil-‘alamin.
Menyadari bahwa kemunduran dunia Islam adalah akibat reduksi
konsep pengetahuan selama berabad-abad sehingga semata-mata

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 391


sebagai pengetahuan agama, maka munculah gagasan tafsir tematik
saintifik. Gagasan ini terisnpirasi dari teladan Nabi yang menunjukkan
bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang berpijak pada ilmu
pengetahuan dan rasionalitas.
Seperti disinggung di atas, penafsiran al-Qur’an secara tematik
bertujuan untuk menemukan penjelasan dan solusi terhadap problematika
kehidupan manusia, di samping untuk membangun konsep keilmuan
berbasis al-Qur’an. Tafsir tematik, dengan demikian dapat berpretensi
untuk mendorong perkembangan sains dan teknologi berbasis al-Qur’an.
Pertanyaanya, mengapa kita perlu mengembangkan bangun sains
sendiri yang berbasis al-Qur’an dan berbeda dengan saintek yang telah
berkembang saat ini? Sains adalah produk manusia, yang pasti membawa
tata nilai, pandangan hidup, dan pandangan dunia dari produsennya. Sains
modern membawa tata nilai peradaban modern yang materialistik dan
mempensiunkan dini Tuhan. Sains modern telah berhasil membelenggu
pemikiran manusia hanya pada hal-hal yang dapat dicercap oleh
pancaindera, terikat pada obyek empirik dan mengesampingkan unsur
tanda-tanda Tuhan dalam penciptaan, serta mendorong manusia untuk
berpikir instan dan pragmatis.
Celakanya, paradigma sains modern ini juga mempengaruhi cara umat
Islam dalam beragama dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman
agama yang tektualis dan parsial, sehingga menghasilkan idiologisasi
al-Qur’an merupakan dampak langsung dari paradigma modern tersebut.
Dewasa ini, umat Islam harus menyadari bahwa perlu dilakukan
perubahan paradigma sains secara mendasar, agar umat Islam dapat bangkit
dari keterpurukan peradabannya. Kebangkitan tersebut harus diawali
dengan kesadaran tentang perlunya mengambil inspirasi dari al-Qur’an
untuk mengembangkan bangun ilmu pengetahuan yang bernilai ilahiyah.
Menurut Purwanto, sains Islam harus dibangun atas prinsip tauhid yang
terdeskripsi dalam rukun iman dan rukun Islam. Secara ontologis, sains
Islam harus menerima realitas material maupun non-material:

392 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


)93-83 ‫فلا أقسم بما تبصرون ولا تبصرون (الحاقة‬
Mahkluk bisa berupa keadaan material, psikis, dan spiritual (nasut,
malakut, jabarut).
Secara aksiologis, tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam adalah untuk
mengenal sang pencipta melalui pola-pola penciptaanNya:

‫الذين يذكرون اهلل قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق‬

‫السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار‬

)191 ‫(آل عمران‬


Melalui pemahaman terhadap fenomena alam dan sosial budaya
secara komprehensip akan disadari bahwa alam ciptaan Tuhan memiliki
kesalinghubungan satu dengan lainnya sebagai refleksi dari kesatuan
prinsip ilahi. Mengacu pada surat al-Alaq, maka proses pengkajian
terhadap alam sebagai tanda-tanda Tuhan, endingnya adalah kesujudan
(ketundukan) dan rasa dekat dengan Tuhan.

‫واسجد واقترب‬
Al-Qur’an menjelaskan bahwa secara epsitemologis, pemerolehan
ilmu dan pengetahuan dapat melalui fakultas penglihatan, pendengaran,
dan hati sebagai alat memperoleh pengetahuan

‫واهلل أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع‬

)87 ‫والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون (النحل‬


Melalui proses nazhr, tafakkur, tadabbur, I’tibar, dan ta’aqul diharapkan
manusia dapat memperoleh 3 tingkat keyakinan (ain al-yaqin, ‘ilm
al-Yaqin, dan haqq al-Yaqin).
Dalam melakukan proses pembelajaran, penelitian, dan pengkajian,
al-Qur’an harus berperan sebagai pemberi petunjuk, keterangan, dan
tolok ukur.

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 393


‫شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى‬

581 ‫البقرة‬0 ‫والفرقان‬


Tidak hanya itu, al-Qur’an pun dapat difunsikan sebagai motivasi
dan penjelasan awal dalam melakukan pengkajian dan penelitian

)831 ‫هذا بيان للناس و هدى و موعظة للمتتقين (آل عمران‬


Dari uraian di atas, maka al-Qur’an dapat dijadikan inspirasi untuk
melakukan kerja-kerja ilmiah guna menemukan jawaban atas problematika
kehidupan. Al-Qur’anpun dapat dijadikan inspirasi untuk membangun
konstruksi keilmuan yang merupakan antitesa bagi bangun ilmu modern
saat ini.
Menurut Sardar, al-Qur’an juga telah menunjukkan bagaimana
kita dapat menemukan dan membangun ilmu pengetahuan berbasis
al-Qur’an. Pertama, al-Qur’an mendorong pembaca untuk mengapresiasi
pentingnya observasi, misalnya pada Q.S. al-Thariq: 5. Kedua, al-Qur’an
menekankan pentingnya pengukuran dan penghitungan:

)94 ‫إن كل شيئ خلقناه بقدر (القمر‬

)4 ‫الشمس والقمر بحسبان (الرحمن‬


Ketiga, setelah pengamatan dan pengukuran kita diminta menarik
kesimpulan, Q.S. al-Baqarah: 73 dan 164.
Dari uraian di atas, penafsiran tematik saintifik adalah upaya untuk
menyingkap dan menjelaskan al-Qur’an sebagai inspirasi untuk mengkaji
tanda-tanda Allah di alam semesta.

)35 ‫سنريهم آياتنا في الآفاق و في أنفسهم حتى يتبين لهم أنه الحق (فصلت‬
Dalam istilah Syahrur, upaya untuk membuktikan kebenaran
informasi teoritis al-Qur’an dengan realitas empiris adalah ta’wil. Artinya
melalui proses ta’wil pembaca diarahkan untuk melakukan upaya
penyingkapan makna secara bertingkat sampai diketemukan harmonisasi

394 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


antara teori al-Qur’an dengan realitas empirik. Ayat-ayat tentang teori
sains ini menurut Syahrur tergolong sebagai ayat-ayat mutasyabihat,
yaitu ayat-ayat yang pemahamannya serba relatif dan dapat berkembang
sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia. Sifat mutasyabih bagi
Syahrur bukan hanya ada pada al-Qur’an tetapi juga ada di alam semesta.
Agar dapat melakukan ta’wil atau tafsir tematik saintifik, kaum
intelektual muslim hendaknya telah terlebih dahulu menyibukkan diri
dengan berbagai aktifitas pengkajian dan penelitian di laboratorium-
laboratorium ilmiah. Apabila umat telah terbiasa dengan rasa ingin tahu
yang terus difollowup dengan kerja penelitian di laboratorium, selanjutnya
mereka dibiasakan untuk membaca, menelaah, dan mengkaji al-Qur’an
dalam upaya mencari inspirasi saintik darinya.
Pengalaman di laboratorium akan mengasah rasa ingin tahu peneliti
muslim menjadi lebih tajam, sehingga ketika ia mengkaji al-Qur’an
dia tidak akan tinggal diam dan berhenti pada makna tersurat dari
teks tersbut. Namun ia akan mencoba melakukan takwil, menyingkap
lapisan-lapisan makna untuk menemukan realitas empirik. Dengan proses
kerja ini maka diharapkan akan dapat dikembangkan ilmu pengetahuan
berbasis al-Qur’an.

Penutup
Era revolusi industry 4.0 adalah sunatullah sekaligus karunia Allah bagi
umat manusia. Ini menujukkan bahwa manusia terus berupaya untuk
membangun kehidupan bersama yang lebih mudah dan efektif. Di sisi
lain kemajuan budaya jagan sampai menghilangkan sisi kemanusiaan
manusia, sehingga ia jatuh dalam logika mesin dan hanya menjadi budak
teknologi yang mereka buat sendiri.
Agama di era revolusi industry 4.0 bukanlah hambatan dan halangan
dalam mencapai kompetensi abad 21. Agama justru berperan penting
dalam memberikan pemaknaan dalam pemanfatan produk budaya revolusi
industry 4.0. Melalui penguatan nilai-nilai agama kemajuan teknologi
dan sains tidak akan membuat manusia menjadi robot dan teralienasi

Bagian 4 : Dinamika Masyarakat Muslim Kontemporer 395


dari kehidupan social budaya. Dengan kata lain, agama tetap menjadi
perekat social di tengah kehidupan yang mulai serba individual ini.
Beragama yang dapat menjadi pengikat dan pemakna dalam
kehidupan social budaya tercermin dari karakter rahmatan lil alamin.
Dalam konsep rahmatan lil alamin tertuang semua aspek yang dituntut
dalam kompetensi abad 21. Beragama rahmatan lil alamin adalah beragama
yang memperkuat basis kemanusiaan universal dan berorientasi pada
pengembangan kemajuan dan keunggulan yang sejalan dengan nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan Tuhan secara universal.

Biografi Singkat Penulis


Andy Hadiyanto merupakan dosen program studi pendidikan agama
Islam Universitas Negeri Jakarta. Saat ini beliau juga Tengah menjabat
sebagai Ketua Umum PP Asosisasi Dosen Pendidikan Agama Islam
Indonesia (ADPISI). Di tengah kesibukannya yang padat, beliau
terbilang produktif dalam dunia tulis menulis dna publikasi.

396 ISU–ISU PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER

Anda mungkin juga menyukai