Anda di halaman 1dari 5

Islam Borjuis dan Islam Proletar

(Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia)

Pegarang: Nur Kholik Ridwan, liii + 508 hlm. Penerbit: Galang Press, Yogyakarta 2001

Konstruksi masyarakat Islam selalu menjadi perdebatan yang tak pernah


kunjung usai di Indonesia sampai saat ini, setidaknya ada usaha untuk menerapkan
syariat Islam dalam negara ini, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik berbasis
Islam. Usaha membangunkan kembali Islam tak bisa dilakukan dengan baik dan tepat
tanpa menyadari kondisi nyata umat itu, serta tantangan sosial politik yang dihadapinya
dalam konteks yang sudah berubah. Kebangunan Islam tidak bisa dicapai dengan tepat
sekiranya itu justru mendorong umat Islam terasing dari bumi tempatnya berpijak dan
juga tidak dapat menjadi sesuatu yang secara kultural menjadi kesadaran, jika tidak
disokong oleh dasar kultural dari umat Islam itu sendiri. Artinya ia haruslah
berlandaskan pada sesuatu yang berasal dari umat Islam itu sendiri untuk menjadi
kebangunan yang otentik.
Ini merupakan buku pertamanya, setelah ia mengundurkan diri dari Program
Religi dan Budaya Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karena tak
mampu membiayai kuliahnya setelah menjalani perkuliahan kurang dari satu semester,
yang menurutnya, dirinya sedang “tersesat” dalam situasi “keangkuhan” skrup-skrup
akademis yang lebih memberikan aura kapitalis. Buku ini lahir dari sebuah pergulatan
pahitnya hidup yang menjadi latar ideologi penulis.
Latar yang demikian tampaknya mempengaruhi cara dan sikap penulis dalam
membaca agama untuk merekonstruksi ulang gagasan penting yang selama ini sering
dimaknai secara tidak memuaskan, karena bersifat borjuistik dan membela komunitas
yang mapan. Menurutnya, tanpa model rekonstrruksi dan pembacaan yang dekonstruktif
terhadap peran ajaran-ajaran moral agama, “agama dan “Tuhan” akan mengalami
kematian dan hanya tampil menjadi “pil penenang” yang tidak menyelesaikan masalah.
Apa yang direpresentasikan oleh para dosen, intelektual dan para profesional yang sama
sekali tidak peduli dengan kaum tertindas, betul-betul “membunuh" agama dan Tuhan
dengan tafsir-tafsir agamanya yang menegaskan kemapanannya. Model-model tafsir
agama kelompok mapan inilah yang dianggap tidak relevan dengan kelompok kecil dan
pinggiran. Sebab, model tafsir agama mereka tidak mengaitkan perubahan strruktur
untuk membebaskan yang tertindas, atau paling tidak, tafsir agama mereka ketika
berbicara soal kelompok kecil hanya berhenti pada wacana.
Buku ini merupakan sebuah kajian sosial yang dengan perspektif sosiologis
ingin merekonstruksi dua komunitas Islam, yang selama ini disebut Islam tradisional
dan Islam modern (istilah menurut Geertz santri) dengan model pembacaan agamanya
yang bersifat borjuistik, yang selama ini banyak dirujuk oleh para intelektual dan
menurutnya sangat “menindas”. Sebagai kajian sosial, penulisnya memandang bahwa
konsep Islam tradisionalis dan Islam modernis sama sekali tidak relevan untuk
digunakan terus. Sebaliknya, konsep baru “Islam borjuis” dan “Islam Proletar” lebih
signifikan dengan realitas dan fakta-fakta dari kedua komunitas Islam tersebut, tetapi
penulis menghindari penggunaan terminologi Marxian dalam konsepsiya tentang
borjuis dan proletar, melainkan mengambil dari kosakata Perancis. Borjuis adalah
“kelompok yang berbasiskan ekonomi mapan”, dan proletar “kelompok yang
berbasiskan ekonomi lemah”.
Untuk membuktikan kritiknya tersebut, khalik membongkar dua konstruksi
klaim yang selama ini mapan tersebut (Islam tadisional dan Islam modern), dengan
memakai beberapa perangkat: model pembacaan postkolonial, dipakai untuk melawan
sekaligus membalik dua konstruksi yang telah mapan dan bersifat imperalistis; metode
semiologi, digunakan untuk mengkritisi penanda dan tinanda yang seringkali juga
menindas; hermeneutika, digunakan untuk membongkar makna-makna di balik teks
baik tertulis maupun tidak tertulis; dan geneologi yang digunakan untuk menelusuri
asal-usul dari suatu obyek yang dikajinya.
Dalam upayanya membongkar konsepsi “Islam tradisional” dan “Islam
Modern”, Khalik menggunakan pola genealogi antara praksis keberagamaan dua pola
komunitas Islam tersebut: Komunitas Islam Modern yang cenderung borjuistis dalam
pola hidupnya, cenderung puritan dan komunal dalam pola keberagamaannya; dan
Komunitas Islam tradisional yang cenderung proletar dalam pola hidupnya, ilegan
deengan praksis keberagamaannya dengan beberapa ideologi Islam masa lalu dari
beberapa gerakan Islam. Kedua, buku ini ingin mengungkapkan jawaban atas ide pokok
yang mempengaruhi pola keberagamaan di atas; (1) menyangkut sikap dalam membaca
dan mempersepsikan Nabi Muhammad SAW sendiri untuk membongkar pendekatan
agama yang menekankan pada konsep pembacaan tekstual atas kitab suci. (2)
menjelaskan agama-agama lain dalam pandangan Islam dengan memfokuskan pada
upaya mencari titik temu, yang relevan untuk membongkar komunalisme agama.
Ketiga, masalah Islam dan pemihakannya pada konsep-konsep pembebasan- yang
begitu ditakuti oleh beberapa kalangan Islam-yang tekanan pokoknya pada gagasan-
gagasan dalam pembacaan terhadap konsepsi Tuhan yang membebaskan yang sering
dikooptasi oleh kelompok Muslim mapan diperkotaan menjadi Tuhan yang borjuistis.
Ideologi Islam di awal pertumbuhannya di Nusantara, merupakan ideologi Islam
yang dikembangkan di Aceh dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara mengikuti
basis sosial masyarakat yang masih bercorak agraris. Kedatangan Belanda ke Nusantara
menyebabkan tumbuhnya kota-kota dan membawa perubahan yang cukup signifikan,
yaitu tumbuhnya perdagangan-perdagangan masyarakat pribumi yang digerakkan oleh
semangat borjuasi ekonomi ditambah pola kehidupan yang idividualistik. Elite-elite
muslim kaya yang berasal dari komunitas kota dan berbasis perdagangan inilah yang
kemudian menimbulkan model pembacaan agama yang borjuistik-tekstual atau
simbolistik (Wahabian) yang menentang praktik-praktik keagamaan wong cilik yang
ada di desa-desa dengan pola kemazhaban, yang dengan pola pembacaan seperti itu
sebenarnya menguntungkan bagi eksistensi kemapanannya. Sementara komunitas Islam
dengan basis sosialnya masyarakat miskin dan proletar di pedesaan lebih dekat dengan
model kemazhaban dalam praktik keagamaan dan dalam kadar tertentu justru tidak
tekstual.
Nur Kholik Ridwan melakukan penggugatan/kritik terhadap pola gerak dan
penafsiran dari Komunitas Islam Kota. Menurutnya, dari segi gerakan keagamaannya,
model Islam simbolik memberikan target dan sasaran gerakannya pada komunitas-
komunitas kota yang relatif mapan secara ekonomi. Mereka tidak apreasiatif terhadap
kelompok miskin di sudut-sudut perkotaan, masyarakat pedesaan dan beberapa kaum
tertindas dari kalangan bawah. Meskipun di antara mereka ada yang memiliki
kesadaran kolektivitas atas nama umat, namun kolektivitas tersebut berhenti pada
komunitasnya dalam rangka kepentingan-kepentingan ekonominya, artinya mereka
belum beranjak dari lingkaran komunalisme. Tafsir agama yang diproduksinya, yang
berkaitan dengan kelompok-kelompok miskin yang tertindas sebatas pada model tafsir-
tafsir konvensional, misalnya konsep sabar dimaknai sebagai nrima atas nasib yang
sudah digariskan Tuhan.
Sebaliknya, komunitas Islam miskin, menurut pandangan Nur Kholik, karena
kesadaran kualitas hidupnya yang terus melarat akhirnya mengilhami munculnya
gagasan-gagasan teologi pembebasan di kalangan mereka. Maka lahirlah
keceendedrungan ideologi yang berusaha membongkar kepalsuan agama ditangan para
pendustanya yang sering meneriakkan shalat lima waktu, islamisasi dan negara islam,
tetapi sama sekali tidak memiliki kepedulian dalam membebaskan kaum tertindas di
desa-desa. Pembongkaran terhadap kepalsuan agama inilah yang mengantarkan
munculnya wacana kritik terhadap agama. Sebab kesalehan substantif beragama dalam
konteks yang demikian itu, betul-betul telah dibunuh oleh kepalsuan para pemeluknya
dari kelompok-kelompok mapan untuk mempertahankan borjuasi mereka. Dari
paradigma kritik agama ini, maka arus yang menandai kecenderungan ideologi
komunitas Islam agraris adalah keterlibatan mereka dalam kancah gerakan-gerakan
sosial, kerakyatan dan lembaga-lembaga sosial yang intens membela komunitas
tertindas. Tetapi dengan pola gerakannya itu kemudian komunitas Islam kota yang
borjuistik melakukan kecaman-kecaman terhadap anak-anak mudanya yang memaknai
kesalehan sebagai upaya pembebasan, mereka distigmakan sebagai kelompok kiri,
komunis dan ateis.
Buku ini menarik, karena mengemukakan gagasan yang baru dalam khasanah
wacana intelektual Islam di Indonesia, dengan semangat revolusionernya, penulis
melakukan pembongkaran terhadap banyak hal terutama dalam pola keberagamaan
masyarakat di Indonesia. Penulis mencoba menawarkan gagasannya dalam konteks
kritisisme ilmiah yang orisinal dan otentik. Gagasan pembebasan terhadap kelompok
Islam Agraris yang tertindas dan kritiknya terhadap pola keberagamaan Komunitas
Islam yang borjuistik, yang memunculkan terminologi Islam borjuis dan Islam Proletar
layak untuk lebih jauh. Dia menolak menegaskan dirinya memakai konsepsi Marxian,
walaupun kalau diamati lebih lanjut sebenarnya dia memakai analisis Marxian. Penulis
menggunakan konsepsi Komunitas Islam Kota yang borjuistik dan Komunitas Islam
Agraris/pedesaan yang proletar, yang lebih menunjukkan pengelompokkan masyarakat
secara geografi/kewilayahan.
Penulisan buku ini oleh penulis yang berlatar belakang dari orang pedesaan
pesisir (Banyuwangi) yang masyarakatnya agraris yang miskin ikut membentuk
pemahaman penulis, ditambah dengan pengalaman dan realitas yang dia hadapi selama
menjalani pendidikan dari tingkat dasar (madrasah yang juga diberikan pelajaran
tentang keagamaan), sampai dia menjalani pendidikan tingginya di IAIN Sunan
Kalijogo Yogyakarta. Selama menjalani kuliah dia merasakan bagaimana pahitnya
hidup di kota dengan problem-problem hidup dirinya dan problem sosial yang
dilihatnya. Kerisauan dirinya melihat realitas yang menindas orang-orang kecil seperti
dirinya dan masyarakat miskin dan lemah yang akhirnya dituangkan dalam tulisannya
ini, yang lebih menarik lagi adalah dia mampu mengaktualisasikan gagasan-gagasan
tentang pembebasan lewat wacana keagamaan dan bagaimana praksis agama
seharusnya mampu menjadi semangat spiritualitas untuk melakukan pembebasan secara
lugas dan tegas, ini barangkali yang belum muncul pada “cendikiawan muslim” di
Indonesia lainnya. Seperti dikatakannya dalam akhir dari kesimpulannya, “tidak akan
ada tindakan revolusioner tanpa teori yang revolusioner, dan tidak ada pembebasan
kaum tertindas tanpa dekonstruksi wacana dan praksis agama borjuis, serta orang tidak
beragama sejati kalau tidak berbuat kebajikan untuk membebaskan yang tertindas.”
Yang tampaknya terpengaruh oleh konsepsi Lenin.

***************
Fauzan: Pegiat di Bandung Free School For Democratic Society (BFS). Bandung

Anda mungkin juga menyukai