Konstruksi masyarakat Islam selalu menjadi perdebatan yang tak pernah
kunjung usai di Indonesia sampai saat ini, setidaknya ada usaha untuk menerapkan syariat Islam dalam negara ini, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik berbasis Islam. Usaha membangunkan kembali Islam tak bisa dilakukan dengan baik dan tepat tanpa menyadari kondisi nyata umat itu, serta tantangan sosial politik yang dihadapinya dalam konteks yang sudah berubah. Kebangunan Islam tidak bisa dicapai dengan tepat sekiranya itu justru mendorong umat Islam terasing dari bumi tempatnya berpijak dan juga tidak dapat menjadi sesuatu yang secara kultural menjadi kesadaran, jika tidak disokong oleh dasar kultural dari umat Islam itu sendiri. Artinya ia haruslah berlandaskan pada sesuatu yang berasal dari umat Islam itu sendiri untuk menjadi kebangunan yang otentik. Ini merupakan buku pertamanya, setelah ia mengundurkan diri dari Program Religi dan Budaya Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karena tak mampu membiayai kuliahnya setelah menjalani perkuliahan kurang dari satu semester, yang menurutnya, dirinya sedang “tersesat” dalam situasi “keangkuhan” skrup-skrup akademis yang lebih memberikan aura kapitalis. Buku ini lahir dari sebuah pergulatan pahitnya hidup yang menjadi latar ideologi penulis. Latar yang demikian tampaknya mempengaruhi cara dan sikap penulis dalam membaca agama untuk merekonstruksi ulang gagasan penting yang selama ini sering dimaknai secara tidak memuaskan, karena bersifat borjuistik dan membela komunitas yang mapan. Menurutnya, tanpa model rekonstrruksi dan pembacaan yang dekonstruktif terhadap peran ajaran-ajaran moral agama, “agama dan “Tuhan” akan mengalami kematian dan hanya tampil menjadi “pil penenang” yang tidak menyelesaikan masalah. Apa yang direpresentasikan oleh para dosen, intelektual dan para profesional yang sama sekali tidak peduli dengan kaum tertindas, betul-betul “membunuh" agama dan Tuhan dengan tafsir-tafsir agamanya yang menegaskan kemapanannya. Model-model tafsir agama kelompok mapan inilah yang dianggap tidak relevan dengan kelompok kecil dan pinggiran. Sebab, model tafsir agama mereka tidak mengaitkan perubahan strruktur untuk membebaskan yang tertindas, atau paling tidak, tafsir agama mereka ketika berbicara soal kelompok kecil hanya berhenti pada wacana. Buku ini merupakan sebuah kajian sosial yang dengan perspektif sosiologis ingin merekonstruksi dua komunitas Islam, yang selama ini disebut Islam tradisional dan Islam modern (istilah menurut Geertz santri) dengan model pembacaan agamanya yang bersifat borjuistik, yang selama ini banyak dirujuk oleh para intelektual dan menurutnya sangat “menindas”. Sebagai kajian sosial, penulisnya memandang bahwa konsep Islam tradisionalis dan Islam modernis sama sekali tidak relevan untuk digunakan terus. Sebaliknya, konsep baru “Islam borjuis” dan “Islam Proletar” lebih signifikan dengan realitas dan fakta-fakta dari kedua komunitas Islam tersebut, tetapi penulis menghindari penggunaan terminologi Marxian dalam konsepsiya tentang borjuis dan proletar, melainkan mengambil dari kosakata Perancis. Borjuis adalah “kelompok yang berbasiskan ekonomi mapan”, dan proletar “kelompok yang berbasiskan ekonomi lemah”. Untuk membuktikan kritiknya tersebut, khalik membongkar dua konstruksi klaim yang selama ini mapan tersebut (Islam tadisional dan Islam modern), dengan memakai beberapa perangkat: model pembacaan postkolonial, dipakai untuk melawan sekaligus membalik dua konstruksi yang telah mapan dan bersifat imperalistis; metode semiologi, digunakan untuk mengkritisi penanda dan tinanda yang seringkali juga menindas; hermeneutika, digunakan untuk membongkar makna-makna di balik teks baik tertulis maupun tidak tertulis; dan geneologi yang digunakan untuk menelusuri asal-usul dari suatu obyek yang dikajinya. Dalam upayanya membongkar konsepsi “Islam tradisional” dan “Islam Modern”, Khalik menggunakan pola genealogi antara praksis keberagamaan dua pola komunitas Islam tersebut: Komunitas Islam Modern yang cenderung borjuistis dalam pola hidupnya, cenderung puritan dan komunal dalam pola keberagamaannya; dan Komunitas Islam tradisional yang cenderung proletar dalam pola hidupnya, ilegan deengan praksis keberagamaannya dengan beberapa ideologi Islam masa lalu dari beberapa gerakan Islam. Kedua, buku ini ingin mengungkapkan jawaban atas ide pokok yang mempengaruhi pola keberagamaan di atas; (1) menyangkut sikap dalam membaca dan mempersepsikan Nabi Muhammad SAW sendiri untuk membongkar pendekatan agama yang menekankan pada konsep pembacaan tekstual atas kitab suci. (2) menjelaskan agama-agama lain dalam pandangan Islam dengan memfokuskan pada upaya mencari titik temu, yang relevan untuk membongkar komunalisme agama. Ketiga, masalah Islam dan pemihakannya pada konsep-konsep pembebasan- yang begitu ditakuti oleh beberapa kalangan Islam-yang tekanan pokoknya pada gagasan- gagasan dalam pembacaan terhadap konsepsi Tuhan yang membebaskan yang sering dikooptasi oleh kelompok Muslim mapan diperkotaan menjadi Tuhan yang borjuistis. Ideologi Islam di awal pertumbuhannya di Nusantara, merupakan ideologi Islam yang dikembangkan di Aceh dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara mengikuti basis sosial masyarakat yang masih bercorak agraris. Kedatangan Belanda ke Nusantara menyebabkan tumbuhnya kota-kota dan membawa perubahan yang cukup signifikan, yaitu tumbuhnya perdagangan-perdagangan masyarakat pribumi yang digerakkan oleh semangat borjuasi ekonomi ditambah pola kehidupan yang idividualistik. Elite-elite muslim kaya yang berasal dari komunitas kota dan berbasis perdagangan inilah yang kemudian menimbulkan model pembacaan agama yang borjuistik-tekstual atau simbolistik (Wahabian) yang menentang praktik-praktik keagamaan wong cilik yang ada di desa-desa dengan pola kemazhaban, yang dengan pola pembacaan seperti itu sebenarnya menguntungkan bagi eksistensi kemapanannya. Sementara komunitas Islam dengan basis sosialnya masyarakat miskin dan proletar di pedesaan lebih dekat dengan model kemazhaban dalam praktik keagamaan dan dalam kadar tertentu justru tidak tekstual. Nur Kholik Ridwan melakukan penggugatan/kritik terhadap pola gerak dan penafsiran dari Komunitas Islam Kota. Menurutnya, dari segi gerakan keagamaannya, model Islam simbolik memberikan target dan sasaran gerakannya pada komunitas- komunitas kota yang relatif mapan secara ekonomi. Mereka tidak apreasiatif terhadap kelompok miskin di sudut-sudut perkotaan, masyarakat pedesaan dan beberapa kaum tertindas dari kalangan bawah. Meskipun di antara mereka ada yang memiliki kesadaran kolektivitas atas nama umat, namun kolektivitas tersebut berhenti pada komunitasnya dalam rangka kepentingan-kepentingan ekonominya, artinya mereka belum beranjak dari lingkaran komunalisme. Tafsir agama yang diproduksinya, yang berkaitan dengan kelompok-kelompok miskin yang tertindas sebatas pada model tafsir- tafsir konvensional, misalnya konsep sabar dimaknai sebagai nrima atas nasib yang sudah digariskan Tuhan. Sebaliknya, komunitas Islam miskin, menurut pandangan Nur Kholik, karena kesadaran kualitas hidupnya yang terus melarat akhirnya mengilhami munculnya gagasan-gagasan teologi pembebasan di kalangan mereka. Maka lahirlah keceendedrungan ideologi yang berusaha membongkar kepalsuan agama ditangan para pendustanya yang sering meneriakkan shalat lima waktu, islamisasi dan negara islam, tetapi sama sekali tidak memiliki kepedulian dalam membebaskan kaum tertindas di desa-desa. Pembongkaran terhadap kepalsuan agama inilah yang mengantarkan munculnya wacana kritik terhadap agama. Sebab kesalehan substantif beragama dalam konteks yang demikian itu, betul-betul telah dibunuh oleh kepalsuan para pemeluknya dari kelompok-kelompok mapan untuk mempertahankan borjuasi mereka. Dari paradigma kritik agama ini, maka arus yang menandai kecenderungan ideologi komunitas Islam agraris adalah keterlibatan mereka dalam kancah gerakan-gerakan sosial, kerakyatan dan lembaga-lembaga sosial yang intens membela komunitas tertindas. Tetapi dengan pola gerakannya itu kemudian komunitas Islam kota yang borjuistik melakukan kecaman-kecaman terhadap anak-anak mudanya yang memaknai kesalehan sebagai upaya pembebasan, mereka distigmakan sebagai kelompok kiri, komunis dan ateis. Buku ini menarik, karena mengemukakan gagasan yang baru dalam khasanah wacana intelektual Islam di Indonesia, dengan semangat revolusionernya, penulis melakukan pembongkaran terhadap banyak hal terutama dalam pola keberagamaan masyarakat di Indonesia. Penulis mencoba menawarkan gagasannya dalam konteks kritisisme ilmiah yang orisinal dan otentik. Gagasan pembebasan terhadap kelompok Islam Agraris yang tertindas dan kritiknya terhadap pola keberagamaan Komunitas Islam yang borjuistik, yang memunculkan terminologi Islam borjuis dan Islam Proletar layak untuk lebih jauh. Dia menolak menegaskan dirinya memakai konsepsi Marxian, walaupun kalau diamati lebih lanjut sebenarnya dia memakai analisis Marxian. Penulis menggunakan konsepsi Komunitas Islam Kota yang borjuistik dan Komunitas Islam Agraris/pedesaan yang proletar, yang lebih menunjukkan pengelompokkan masyarakat secara geografi/kewilayahan. Penulisan buku ini oleh penulis yang berlatar belakang dari orang pedesaan pesisir (Banyuwangi) yang masyarakatnya agraris yang miskin ikut membentuk pemahaman penulis, ditambah dengan pengalaman dan realitas yang dia hadapi selama menjalani pendidikan dari tingkat dasar (madrasah yang juga diberikan pelajaran tentang keagamaan), sampai dia menjalani pendidikan tingginya di IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Selama menjalani kuliah dia merasakan bagaimana pahitnya hidup di kota dengan problem-problem hidup dirinya dan problem sosial yang dilihatnya. Kerisauan dirinya melihat realitas yang menindas orang-orang kecil seperti dirinya dan masyarakat miskin dan lemah yang akhirnya dituangkan dalam tulisannya ini, yang lebih menarik lagi adalah dia mampu mengaktualisasikan gagasan-gagasan tentang pembebasan lewat wacana keagamaan dan bagaimana praksis agama seharusnya mampu menjadi semangat spiritualitas untuk melakukan pembebasan secara lugas dan tegas, ini barangkali yang belum muncul pada “cendikiawan muslim” di Indonesia lainnya. Seperti dikatakannya dalam akhir dari kesimpulannya, “tidak akan ada tindakan revolusioner tanpa teori yang revolusioner, dan tidak ada pembebasan kaum tertindas tanpa dekonstruksi wacana dan praksis agama borjuis, serta orang tidak beragama sejati kalau tidak berbuat kebajikan untuk membebaskan yang tertindas.” Yang tampaknya terpengaruh oleh konsepsi Lenin.
*************** Fauzan: Pegiat di Bandung Free School For Democratic Society (BFS). Bandung