Anda di halaman 1dari 2

Perlawanan Tersembunyi Buruh

opini Resmi Setia M. Pemogokan, unjuk rasa, pawai, dan bentuk aksi perlawanan terbuka lainnya merupakan bentuk aktivisme buruh yang mendominasi pemberitaan media massa. Jumlah massa yang besar dan aksi-aksi perlawanan agresif memang lebih mudah dilihat dan lebih menarik untuk dijadikan bahan pemberitaan dibandingkan dengan bentuk resistensi tersembunyi atau resistensi sehari-hari. Secara umum, aktivisme buruh bisa didefinisikan sebagai strategi yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok buruh untuk menentang kebijakan industrial dan perlakukan yang tidak adil serta melindungi dan meningkatkan kondisi kerja dan hidup (Rutten, 2000). Aktivisme buruh bisa dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu bentuk perlawanan yang terbuka, terorganisasi bahkan sering berbentuk perlawanan skala besar dan bentuk perlawanan tersembunyi atau sehari-hari. Politik perburuhan secara tradisional memang lebih menekankan dan terbatas pada ruang organisasi formal, seperti serikat buruh dan kejadian-kejadian besar seperti pemogokan. Sedikit sekali upaya yang dilakukan para pemerhati ataupun aktivis buruh untuk melihat ruang politik yang lebih luas dan mencakup kegiatan atau perlawanan tersembunyi atau sehari-hari kaum buruh. Padahal perlawanan tersembunyi lebih mendominasi kehidupan sehari-hari buruh di tempat kerja. Aksi terbuka Aksi terbuka seperti pemogokan atau unjuk rasa merupakan salah satu strategi yang dianggap efektif untuk mengartikulasi kepentingan buruh. Pemogokan biasanya menjadi pilihan terakhir ketika buruh yang diwakili oleh serikat buruh merasa gagal mendesakkan kepentingannya, baik terhadap pengusaha maupun pemerintah. Namun, tidak semua buruh secara sukarela terlibat dalam aksi terbuka semacam ini. Banyak buruh yang merasa enggan terlibat karena khawatir keterlibatan dalam sebuah pemogokan akan mengancam kelangsungan kerjanya. Dalam konteks ketidakstabilan pasar kerja, buruh-buruh tidak akan dengan mudah membahayakan pekerjaannya kecuali mereka yakin akan mendapatkan hasil yang setimpal. Buruh akan lebih mudah terlibat dalam bentuk aksi yang tidak akan mengancam sumber penghasilan. Selain itu, keterlibatan dalam aksi-aksi terbuka memerlukan dana dan tenaga yang harus diakomodasi oleh keluarga buruh. Kondisi ini dapat membatasi keterlibatan buruh dalam aktivisme perburuhan (Rutten, 2000). Dalam pengertian ini, aktivisme perburuhan terkait dengan kebutuhan untuk bertahan hidup dan perlu dipahami oleh para aktivis ketika melakukan pengorganisasian buruh. Aksi tersembunyi Istilah perlawanan tersembunyi memunculkan debat yang khususnya terkait dengan masalah intention dan consequence. James C. Scott (1986) dalam Everyday Forms of Resistance menekankan pentingnya intention (maksud), namun menilai maksud tidaklah mudah. Dalam studinya mengenai buruh kretek, Ratna Saptari menggunakan konsep perlawanan, yakni seorang buruh baik secara sadar atau tidak, mencoba untuk mengurangi klaim pihak lain atas dirinya atau untuk mencurangi sistem. Aksi yang dimaksudkan Saptari banyak ditemukan dan mendominasi aktivitas sehari-hari buruh di pabrik. Misalnya, upah minim mendorong buruh untuk melakukan kegiatan ekonomi tambahan di tempat kerja, seperti berjualan makanan ringan yang dilarang oleh perusahaan. Menolak makan di kantin dan memilih ngobrol atau tiduran saat istirahat menjadi keseharian buruh di sebuah pabrik tekstil di wilayah Ujungberung. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap makanan kantin yang dianggap kurang layak.

Bentuk kekesalan buruh terhadap manajemen juga kerap disalurkan melalui kerja yang terkesan asalasalan. Salah seorang buruh di sebuah pabrik pemintalan di Kota Bandung menceritakan keengganan teman-temannya untuk memperbaiki produk yang sebenarnya masih bagus, Ngapain kerja capek -capek? Kita yang capek, mereka (perusahaan) yang dapat untung? Aksi-aksi tersembunyi semacam ini memang tidak berdampak besar karena dilakukan secara perseorangan, tetapi cukup efektif dalam menyalurkan ketidakpuasan apalagi ketika saluran formal, serikat buruh dianggap kurang berhasil menjalankan perannya. Perenungan Bentuk aktivisme buruh yang tidak hanya mencakup aksi terbuka, juga tersembunyi, mengungkap sisi lain dari dimensi perjuangan buruh. Aksi tersembunyi dianggap lebih aman dilakukan karena tidak membahayakan kelangsungan kerja. Dengan demikian, banyak buruh yang memilih terlibat dalam aksiaksi semacam ini daripada bentuk aksi terbuka. Dari sisi pengurus serikat, kerangka politik perburuhan tradisional tampaknya masih mendominasi wacana aktivis dan pengurus serikat buruh di Indonesia. Keterlibatan dalam serikat dan aksi mogok dijadikan satu-satunya indikator untuk mengukur tingkat partisipasi buruh. Minimnya keterlibatan buruh dalam aksi-aksi terbuka serta-merta dikaitkan dengan rendahnya militansi dan solidaritas mereka terhadap gerakan buruh yang lebih luas. Padahal kenyataan yang terjadi tidak sesederhana itu. Sebagian aktivis gagal untuk melihat aksi-aksi perlawanan kecil di tempat kerja dan melihatnya sebagai bagian dari gerakan buruh yang ada. Hal yang lebih penting ditelaah adalah maraknya aksi tersembunyi juga bisa dijadikan indikator lemahnya pengorganisasian buruh di tempat kerja dan rendahnya kepercayaan buruh terhadap serikat buruh. Pelemahan serikat buruh juga terkait dengan perubahan karakteristik konstituen yang dimobilisasinya. Serikat buruh tradisional mendasarkan pengorganisasian pada buruh-buruh permanen. Sementara tren yang berkembang sekarang adalah maraknya sistem kontrak, borongan, kerja paruh waktu, jangka pendek dan pekerjaan kasual, penggunaan agen tenaga kerja ataupun outsourcing, dan self-employment. Oleh karena itu, penting bagi pengurus serikat untuk memperluas wacana juga cakupan konstituennya. Tantangan berat yang dihadapi serikat buruh ini tidak bisa dihadapi sendiri tetapi harus bersama dengan gerakan lain, seperti gerakan miskin kota.*** Penulis, peneliti di Pusat Analisis Sosial Akatiga, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai