1 of 24
Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis
Independen (AJI),
Aliansi Buruh
Menggugat/ABM
(KASBI, SBSI
1992, SPOI,
SBTPI, FNPBI,
PPMI, PPMI 98,
SBMSK, FSBMI,
FSBI, SBMI,
SPMI, FSPEK, SP
PAR REF, FKBL
Lampung, SSPA
NTB, KB FAN
Solo, AJI Jakarta,
SBJ, FKSBT,
FPBC, FBS
Surabaya, PC KEP
SPSI Karawang,
GASPERMINDO,
ALBUM Magelang,
FKB Andalas),
YLBHI, LBH Pers,
LBH Jakarta,
Aliansi Nasional
Bhineka Tunggal
Ika (ANBTI),
PBHI, TURC, LBH
Pendidikan,
Federasi Serikat
Pekerja Mandiri
(FSPM), Front
Perjuangan
Pemuda Indonesia
(FPPI), Serikat
Guru Tangerang,
Serikat Guru
Garut, Federasi
Guru Independen
Indonesia, ICW,
LBH APIK, IKOHI,
KONTRAS, PPR,
Somasi-Unas,
SPR, Arus Pelangi,
GMS, LPM Kabar,
Lembaga
Kebudayaan
Nasional (LKN),
Praksis, Forum
Pers Mahasiswa
Jabodetabek
(FPMJ), FMKJ,
Perhimpunan
Rakyat Pekerja
(PRP), FSPI,
Serikat
Mahasiswa
Indonesia (SMI),
Repdem Jakarta,
SPN, OPSI, SP
LIATA, SPTN Blue
Bird Grup
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Previous Post
SuratPencabutanPHK
Bambang Wisudo
JO Cabut Surat
Pemecatan Wisudo
Surat Protes Buat
KPK
KOMPAS (sebar)
BOHONG!
Stop Press Situs
Kompas Kena Hack
MA Mulai Proses
Kasasi Wisudo
Diakui, Tim Legal
Kompas Minta
Bantuan Hakim PHI
Pemred Kompas
Suryopratomo
Mendadak Dicopot
Film Perjuangan
Wisudo Diluncurkan
di Youtube
Surga Bernama
Kompas
Archives
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
January 2008
February 2008
June 2008
July 2008
December 2008
Powered by
Hit Counter
Links
IFJ
CPJ
SEAPA
Media
Detik.com
4/2/2015 6:57 PM
2 of 24
Voice of
Human
Rights
Tempo
Interaktif
Sinar
Harapan
Suara
Pembaruan
Hukum
Online
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
4/2/2015 6:57 PM
3 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
4/2/2015 6:57 PM
4 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
4/2/2015 6:57 PM
5 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
4/2/2015 6:57 PM
6 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
7 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Setelah gagal memaksa pengurus serikat pekerja PKK membuat pernyataan tidak ada pemberangusan
serikat pekerja di harian Kompas, kini manajemen melakukan manuver baru.
Salah satunya dengan menyatakan ke wartawan dan karyawan Kompas bahwa aksi-aksi yang dilakukan
36 organisasi yang tergabung dalam Komite bertujuan menyerang dan menghancurkan Kompas sebagai
institusi.
Padahal jelas, dalam aksi-aksi yang digelar selama ini, Komite hanya mengecam sekelompok petinggi
Kompas yang telah berlaku semena-mena. Namun dengan trik retorika ini, manajemen kemudian
berhasil membakar beberapa wartawan senior.
Beberapa wartawan senior lalu membuat petisi berjudul "Seruan Wartawan Kompas." Lalu mereka
meminta wartawan Kompas beramai-ramai menandatangani petisi tersebut.
Ironisnya, dalam surat seruan ini tercatat nama-nama seperti Maria Hartiningsih, Bre Redana, dan
semacamnya.
Petisi ini menyatakan, bahwa pemecatan Bambang Wisudo merupakan masalah pribadi yang dibesarbesarkan. Bambang Wisudo juga dituduh mengklaim menjadi perwakilan karyawan dan wartawan
Kompas.
Langkah ini menurut Ketua Tim Litigasi Komite, Sholeh Ali, SH, harus disesalkan. Sebab solidaritas
wartawan ini membabi-buta. Dan jelas digagas oleh manajemen Kompas untuk mengkonter solidaritas
dari luar.
"Sudah jelas Bambang Wisudo diangkat sebagai Sekretaris melalui surat keputusan yang ditandatangani Ketua PKK," kata Ali.
Menurut Ali, jelas pemecatan Bambang Wisudo terkait dengan aktivitasnya selaku aktivis Serikat
Pekerja. Dalam konteks itulah ia menjadi korban kekerasan dan penyanderaan satpam sebelum
menerima pemecatan tanpa prosedur dari Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo tanggal 8
Desember 2006.
"Jelas, 36 organisasi yang tergabung dalam Komite tidak bodoh. Kami tidak akan membela korban bila
masalahnya cuma masalah pribadi," tegasnya.
Karena itu Sholeh menilai petisi itu hanya sebuah manuver baru dari manajemen. Tujuannya apalagi
kalau bukan untuk mengalihkan isu. Dari isu pemberangusan aktivis serikat pekerja menjadi masalah
pribadi. Trik 'kebulatan tekad' ini memang kerap dilakukan di pabrik-pabrik. (nay/E2)
posted by KOMPAS @ 8:03 PM
0 comments
Jakarta, Rakyat Merdeka. Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) hari ini Jumat
(26/1) berencana mengunjungi kediaman Pimpinan Umum harian Kompas Jakob Oetama, di Jalan
Sriwijaya Raya, Jakarta Selatan.
Koordinator KOMPAS, Edy Haryadi kepada Situs Berita Rakyat Merdeka mengatakan kedatangan
mereka kali ini, tidak untuk melakukan aksi demonstrasi, tapi bersilahturahmi dengan orang nomor satu
di petinggi media Gramedia group itu.
"Ya, kami ingin bertamu, seperti tamu-tamu pak Jakob lainnya," kata Edy.
Sementara itu, dalam aksi spanduk yang digelar di depan harian Kompas, kemarin (Kamis, 25/1),
satuan pengaman (satpam) harian Kompas mulai unjuk gigi. Menurut Edy, Wakil Kepala Satpam
Kiraman Sinambela dan bawahannya memprovokasi peserta aksi.
Edy mencontohkan, salah satu provokasi terjadi saat Kiraman Sinambela, salah satu satpam yang
terlibat dalam penyanderaan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, duduk tak
jauh dari peserta aksi di dekat ATM BCA. Jarak duduknya tak sampai 20 cm.
Tak cukup di situ, satpam lain di bawah komando Kiraman yang mengenakan safari biru, juga terlihat
mengepung. Tapi, selain Kiraman, tak ada seorang pun yang mengenakan identitas diri di baju safari
biru gelap mereka. Tapi provokasi dan intimidasi satpam ini, tak berhasil memancing emosi peserta aksi.
Aksi tetap berjalan mulus tanpa insiden berarti.
"Menjelang akhir aksi, peserta aksi juga dikepung oleh sedikitnya belasan satpam," tambah Edy.
Pada saat yang sama, lanjut Edy, mediasi pertama antara manajemen Kompas dan tim litigasi Komite
gagal mencapai titik temu. Tim litigasi komite yang terdiri dari Sholeh Ali dari LBH Pers, Ori Rahman dari
Kontras, dan Tasya dari LBH Jakarta, serta Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri merasa,
pertemuan bipartit itu sengaja dibuat buntu. atm
posted by KOMPAS @ 2:29 AM
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
8 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Keputusan penundaan tersebut sebenarnya telah ada sejak 12 Januari lalu, namun baru disampaikan
kepada Komite hari Senin kemarin. Itupun setelah Komite menanyakan langsung kepada sekretariat
Komisi I.
Penolakan Komisi I DPR tersebut ditandangani oleh Wakil Ketua Komisi I. Alasan penolakan adalah
bahwa kasus Bambang Wisudo lebih terkait dengan permasalahan ketenagakerjaan.
"Karena intinya perselisihan ketenagakerjaan antara serikat pekerja dengan pimpinan Harian Kompas,
permasalahan ini ditembuskan ke Komisi IX untuk ditindak lanjuti", begitu bunyi jawaban wakil ketua
Komisi I yang ditulis tangan.
Alasan Komisi I itu diangap kurang tepat oleh sebagian anggota Komite. Karena di dalam surat
permohonan audiensi Tim advokasi telah menyampaikan bahwa titik tekan pengaduan kepada Komisi I
ialah mengenai pemblokiran berita oleh pimpinan Harian Kompas dan keputusan Dewan Pers yang
dirasa jangal.
Salah seorang anggota Komisi I yang sempat dilobi oleh Tim Advokasi sebenarnya telah menyanggupi
untuk menerima pengaduan kasus Bambang Wisudo dan berjanji akan melobi anggota Komisi I lainnya.
Tapi anggota Komisi I yang dikenal sebagai mantan jurnalis itu pun sampai kini tidak terdengar kabar
beritanya. Hand phone-nya selalu tidak bisa dihubungi.
Sampai saat ini Tim Advokasi Komite masih mengatur strategi agar tetap bisa membawa kasus
Bambang Wisudo ke Komisi I DPR RI. (um/E2)
posted by KOMPAS @ 7:54 AM
0 comments
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
9 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
pengurus PKK diintimidasi oleh pihak manajemen untuk mengakui, pemecatan atas dirinya tak berkaitan
dengan kegiatan serikat pekerja.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Heru Hendratmoko menjelaskan ada tiga isu yang harus
diperhatikan oleh para jurnalis. Pertama, kebebasan pers sebagai indikasi kehidupan masyarakat di alam
demokrasi. Kedua, profesionalisme wartawan. Dan ketiga, kesejahteraan wartawan. "Wartawan tak akan
profesional tanpa didukung oleh kesejahteraan. Dan kesejahteraan bisa diraih dengan kebebasan
berserikat. Sangat disayangkan jika Harian Kompas menghalangi aktivitas berserikat," lanjut Heru.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX Max Sopacua menjelaskan perbuatan menghalangi serikat pekerja
bisa dijerat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU
SP/SB). "Saya masih bingung, Harian Kompas adalah surat kabar ternama yang mengusung advokasi
HAM. Namun sekarang malah memecat karyawannya. Seperti kuman di seberang lautan tampak, gajah
di pelupuk mata tak tampak," ujar Max yang mantan jurnalis TVRI itu.
Namun, Max mengingatkan, Bambang harus mempersiapkan bahan yang cukup supaya bisa
membuktikan motif pemecatannya berkaitan dengan kegiatan serikat pekerja. "Pak Bambang dan
kawan-kawan, selama ini, apa yang sudah Anda kerjakan? Dan apa perkembangannya?" ujarnya.
Anggota lainnya, Serta Ginting mewanti-wanti kubu Bambang harus mempersiapkan bukti dengan
lengkap. "Kita harus menengok dulu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Akan terlihat jelas mana hak
manajemen, mana hak karyawan. Kalau Pak Bambang mengaku mengalami kekerasan dari satpam,
mana bukti keterangan dokter misalnya?"
Max tetap menanggap kasus ini serius. "Kalau perlu, kita datangkan manajemen Kompas atau bahkan
Ketua PWI Tarman Azam untuk menjelaskan kondisi kerja wartawan yang sebenarnya," ujarnya
berapi-api. Max berjanji pada bulan Januari ini bisa mendatangkan Jakob Oetama selaku pihak
manajemen Kompas.
Ketua Komisi IX Ribka Ciptaning mengaku menerima telepon dari Jakob Oetama pada pagi hari sebelum
RDPU ini digelar. Menurut Ribka, Jakob menjelaskan bahwa PHK ini hanya merupakan kasus
kekaryawanan semata.
Sementara, anggota Komisi IX Nurul Falah mendesak adanya public hearing antara manajemen Kompas
dan PKK. "Kita konfrontir saja kedua pihak di sini. Sama halnya dengan kasus perburuhan lainnya kan?"
ujarnya.
Anggota yang lain, Tuti Lukman Sutrisno menilai bahwa kasus yang dialami Bambang bisa juga dialami
oleh wartawan lainnya. "Perjuangan kita tak hanya demi Pak Bambang, tapi untuk semua wartawan."
Tak selesai
Hanya saja, Ketua Sidang RDPU Asiah Salekan mengakui selama ini Komisi IX belum pernah
menyelesaikan kasus perburuhan. "Kapasitas RDPU sendiri tak menghasilkan keputusan. Namun ini
sebagai masukan untuk tahap selanjutnya. Selama ini, pihak manajemen yang kami undang keberatan
kami pertemukan dengan pihak buruh di forum seperti ini. Misalnya saja kasus Hotel Indonesia. Pihak
manajemen enggan menemui kami," seloroh Asiah.
Di tengah padatnya agenda, Asiah tetap ngotot memanggil manajemen Kompas. "Banyak sekali jadwal
kami. Misalnya menyelesaikan RUU Kesehatan Pekerja dan Amandemen UU Kependudukan. Namun kami
tetap serius menyelesaikan kasus Kompas hingga Januari ini," ujarnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah, pihak Kompas belum bisa memberikan keterangan lengkap. "Masih
sedang kami rapatkan," ujar kuasa hukum Kompas Untung Herminanto melalui sambungan telepon.
Ketika keputusan eksekutif melalui Disnakertrans dianggap masih mengecewakan, pihak legislatif
diharapkan dapat menyelesaikan masalah. Semoga anggota dewan yang terhormat tak hanya mencari
popularitas. (CRY)
posted by KOMPAS @ 7:21 PM
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
10 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Aksi lewat pengeras suara ini mengundang perhatian warga. Beberapa orang warga merasa tertarik
sehingga mereka terlihat menyimak dialog antara Komite dengan Komisi IX.
Lalu, seorang warga Palmerah memberi informasi pada anggota Komite bahwa ada orang suruhan
manajemen datang untuk memanas-manasi penduduk setempat untuk menyerang aksi yang diadakan
Komite.
"Orang ini bilang, kok kami membiarkan saung pengemudi ojek digunakan buat aksi," tutur seorang
warga yang kebetulan bekerja sebagai pengojek.
"Saya bilang sama dia, saya juga korban PHK. Saya juga tidak bodoh kalau orang ini punya rencana
mengadu domba warga dengan pengunjuk rasa," ujarnya. Tapi dia sendiri menjamin, warga akan
bersikap netral dan tidak berpihak pada siapapun.
Hari ini, Kamis (25/1/2007), aksi Komite akan terus berjalan.
"Kita sadar intimidasi yang dilakukan oleh mereka yang tak senang dengan aksi yang digelar Komite
akan lebih keras," kata Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM).
"Tapi kami tidak akan mundur," tegasnya. (cep/E6)
posted by KOMPAS @ 6:19 PM
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
11 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Komisi IX juga berjanji akan mendesak pimpinan Kompas agar Bambang Wisudo dipekerjakan kembali.
Apalagi, hampir seluruh anggota Komisi IX sepakat bahwa apa yang terjadi pada Bambang Wisudo
merupakan upaya pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas. (ib/E4)
Labels: Jakob oetama, Komisi IX, Kompas, Serikat Pekerja
posted by KOMPAS @ 4:09 AM
0 comments
Thanks
Bambang Wisudo
posted by KOMPAS @ 7:10 PM
2 comments
4/2/2015 6:57 PM
12 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
SEKRETARIS JENDERAL
u.b.
KEPALA BIRO PERSIDANGAN
Tembusan :
1. Yth Wakil Ketua DPR RI/KORKESRA
2. Yth. Sekjen DPR RI;
3. Yth. Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI; 4. Yth. Deputi Mensesneg Bidang
Hubungan Kelembagaan
---------------------------------------------------posted by KOMPAS @ 4:31 AM
0 comments
0 comments
WIB, dari arah belakang DPR RI, turun puluhan petugas Tramtib Kecamatan
di antara mereka sudah berbekal pisau. Agaknya mereka tengah bersiap
Komite yang bertujuan untuk memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia
anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang dan terlama yang pernah
4/2/2015 6:57 PM
13 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
dipasang.
Untunglah beberapa aktivis yang bertugas berjaga di Halte Kompas awas. Mereka pun segera
menghentikan tindakan brutal Tramtib tersebut. Saat ditegur aktivis Komite, komandan lapangan
dengan inisial E. Iskandar di dada kanan, mengatakan ia mendapat perintah untuk menurunkan spanduk
Komite.
"Kami mendapat perintah dari Camat Tanah Abang," ujarnya seraya menyebut nama pimpinannya
Camat Idris Priyatna. Tapi setelah berdebat dengan anggota Komite serta pengacara LBH Pendidikan,
Laksono, bahwa kewenangan untuk membubarkan aksi spanduk ada di polisi, dan Tramtib tak punya
kewenangan, akhirnya E. Iskandar menelepon Camat Tanah Abang, Idris Priyatna.
Ia pun akhirnya menarik pulang anak buahnya setelah melihat surat pemberitahuan Komite ke Polda
Metro Jaya atas aksi spanduk tersebut. Anak buahnya yang sudah siap-siap memotong spanduk anti
pemberangusan serikat pekerja terpanjang itu, akhirnya memasukkan kembali pisau komando mereka.
Setelah Tramtib Kecamatan Tanah Abang mundur, anggota Komite kembali ke Halte Kompas. Tapi
ketenangan itu rupanya tak berlangsung lama.Menjelang penurunan spanduk oleh Komite pada pukul
17.00 WIB terjadi lagi insiden baru.
Pada pukul 16.40 WIB, sekitar 40 anggota Tramtib kembali datang. Mereka datang bersama
pimpinannya Sonar Sinurat dan Sofyan Hasan. Sofyan Hasan mendesak Komite untuk menurunkan
spanduk itu segera atau mengancam akan segera dibongkar oleh aparat.
Namun, anggota komite dari ANBTI Hendrik Dikson Sirait membantah. "Ini bukan wilayah Pemprov dan
kami tidak beurusan dengan Peraturan Daerah. Tapi aksi ini wewenang kepolisian," ujarnya.
Tapi Sofyan Hasan berkeras. Sementara Sonar Sinurat mengatakan ia hanya menjalankan perintah
pimpinan, yakni Kepala Sudin Tramtib DKI Subandi. Maka, Kordinator Komite Edy Haryadi, menghubungi
Subandi di nomer telepon genggamnya.
Sempat terjadi adu argumen apakah ini wilayah Pemprov DKI atau Kepolisian. Menurut pengakuan
Subandi, ia mendapat permintaan dari pimpinan Kompas agar Tramtib menertibkan aksi spanduk
tersebut. Alasannya pimpinan Kompas keberatan dengan aksi spanduk itu.
"Lho, kalau keberatan, bukankah pimpinan Kompas seharusnya melapor ke polisi sehingga polisi yang
menertibkan kami, dan bukannya malah meminta ke Tramtib," tanya Edy.
Mendengar hal itu, Subandi lalu berkata, "Kami juga sudah bilang seperti itu pada Kompas," ujarnya.
Subandi pun mengendur. Apalagi setelah diyakinkan bahwa memang Komite berencana akan
menurunkan pada jam 17.00 WIB.
Akhirnya, puluhan Tramtib dan pimpinannya bersedia kembali ke kendaraaan di seberang rel. Setelah
memastikan mereka pergi, anggota Komite masih menunggu 10 menit sampai jarum jam menunjuk
pukul 17.00 WIB, sebelum menggulung spanduk sesuai rencana.
Meski demikian Hendrik Dikson Sirait menegaskan aksi spanduk itu akan berjalan lagi Kamis
(18/1/2007) besok. "Ini hak kami sebagai warga negara untuk menggelar unjuk rasa. Kalau Kompas
keberatan silahkan lapor ke polisi. Bukan dengan cara menggerakkan Tramtib untuk melindas aksi
kami," tegasnya.
Apalagi belakangan setelah dicek, Subandi bukan Kepala Sudin Pemrov DKI. Tetapi dia adalah Kepala
Suku Dinas Tramtib dan Linmas Walikota Jakarta Pusat. Walikota Jakarta Pusat sendiri sekarang dijabat
Muhayat yang dulu menjabat sebagai Kepala Humas Pemprov DKI. (ud/E5)
Labels: Kompas muhayat, tramtib
posted by KOMPAS @ 4:37 AM
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
14 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
0 comments
0 comments
Jakarta, Rakyat Merdeka. Bagi Anda yang belum sempat menonton aksi spanduk terpanjang yang
memecahkan rekor MURI, jangan khawatir. Senin besok (15/1), spanduk yang semula dipasang di
depan Hotel Indonesia itu akan dipasang kembali.
Tapi, lokasinya berpindah, yakni, ke depan kantor Kompas-Gramedia, Pal Merah, Jakarta Pusat.
Tepatnya, di jalan arteri dimana ada jalur rel kereta api di tengahnya. Spanduk dengan panjang 120
meter lebih tersebut, akan dipasang di sekitar halte Kompas.
Edy Haryadi Koordinator Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) yang menggelar aksi
spanduk tersebut mengatakan, dalam aksi lanjutan besok, tetap tidak ada pengerahan massa.
"Kami cuma memasang spanduk pagi-pagi, lalu siangnya datang ke Komisi IX DPR untuk mengadukan
masalah pemberangusan serikat pekerja Kompas," kata Edy saat dihubungi Situs Berita Rakyat
Merdeka, beberapa menit lalu.
Spanduk yang dipasang itu bertuliskan pesan-pesan perlawanan terhadap keputusan pemecatan
wartawan Kompas, Bambang Wisudo.
Wisudo dipecat November lalu, namun pemecatan tersebut ditolaknya karena cacat hukum. Selain itu,
PHK sepihak yang dilakukan oleh Pimpinan Redaksi Kompas itu dinilai sebagai upaya untuk
memberangus Perkumpulan Karyawan Kompas, dimana Wisudo menjabat sebagai sekretaris.
Sementara Pimred Kompas Suryopratomo, dalam keterangan resminya mengatakan PHK itu
dikarenakan Wisudo menolak dimutasi. Selain itu, kata Suryopratomo, Wisudo juga menimbulkan
keresahan di kalangan karyawan perusahaan media tersebut.
Keduanya dalam waktu dekat akan bertemu di pengadilan, setelah polisi selesai membuat BAP atas
laporan perbuatan tidak menyenangkan dan perampasan kemerdekaan yang dilaporkan Wisudo. adi
posted by KOMPAS @ 1:46 AM
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
15 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
"Aksi akan dimulai pukul 10.00 hingga 12.00, dan akan dilanjutkan audiensi dengan Komisi IX DPR RI
pada pukul 13.00. Kepada komisi yang membawahi masalah ketenagakerjaan inilah kita akan
melaporkan kasus PHK sepihak terhadap Bambang Wisudo," tambah Edy menjelaskan.
Menurut Edy, pemasangan spanduk ini akan dihadiri anggota Komite, yang terdiri dari berbagai elemen
pergerakan dan serikat pekerja. (mo/E4)
posted by KOMPAS @ 5:13 AM
0 comments
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
16 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Apalagi setelah dilacak, berdasar alamat Internet Protocol (IP) Address, komputer yang mem-posting
serangan kotor dan kampanye hitam kepada Bambang Wisudo berasal kawasan grup bisnis yang berada
di bawah naungan lembaga yang melakukan kekerasan dan pemberangusan terhadap Bambang Wisudo
sebagai aktivis serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas. Semua serangan ke Bambang Wisudo
berasal dari IP Address yang sama.
Contoh salah satu posting yang merupakan bagian dari perang kotor itu adalah membuka berapa jumlah
upah Bambang Wisudo. Keterangan yang begitu detil dan rinci, jelas bukan tanpa sebab. Hanya petinggi
dan manajemen harian Kompas yang bisa mengerti berapa hak yang seharusnya diterima Bambang
Wisudo. Bambang Wisudo sendiri mengaku tidak pernah tahu begitu rinci berapa upah yang dia terima.
Karena itu dengan surat ini, Kompas Inside menyatakan akan kembali ke tujuan semula. Tujuan utama
pendirian Kompas Inside adalah untuk mendokumentasikan sekaligus mendobrak blokade pemberitaan
tentang pemberangusan Serikat Pekerja Kompas yang dilakukan oleh pimpinan Harian Kompas.
Bagi yang berkepentingan untuk melanjutkan perang kotor dan propaganda hitam ke Bambang Wisudo,
silahkan meneruskan ke milist-milist terbuka.
Namun demikian redaksi Kompas Inside tak menolak kritik. Bagi pembaca yang memiliki berita,
informasi, opini tentang perkembangan kasus Bambang Wisudo dipersilahkan mengirim ke alamat email
redaksi di lawan.kompas@gmail.com
posted by KOMPAS @ 8:39 PM
0 comments
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
17 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
0 comments
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
18 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Jakarta, Kompas Inside. Aksi spanduk bertema anti pemberangusan serikat pekerja Kompas untuk
memecahan rekor Musium Rekor Indonesia (MURI) ternyata membuat gerah. Akibatnya intimidasi dan
teror datang silih berganti.
Aksi ini sendiri digagas Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) sebagai bentuk
solidaritas terhadap Bambang Wisudo. Sekteraris Perkumpulan Karyawan Kompas ini mengalami
kekerasan sebelum dipecat karena aktivitasnya mengutak-atik saham kolektif 20 persen milik karyawan
harian terbesar di Indonesia tersebut.
Untuk itu, surat pemberitahuan ke polisi melalui Polda Metro Jaya tentang aksi spanduk itu sudah
dilayangkan Komite. Aksi spanduk ini sendiri akan berlangsung mulai hari Senin (8/1/2007) hingga
Jumat (12/1/2007) sejak pukul 10.00-17.00 WIB, setiap harinya.
Pada hari pertama dan kedua, aksi berjalan lancar. Pihak kepolisian maupun keamanan Hotel Indonesia,
bisa mengerti tentang aksi spanduk itu setelah ditunjukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian.
Pada hari pertama dan kedua, beberapa mata-mata yang diduga berasal dari Harian Kompas datang
untuk mengambil gambar lewat foto HP maupun handycam.
Namun pada hari ketiga, Rabu (10/1/2007), persoalan datang bukan dari aparat kepolisian. Melainkan
justru dari aparat Keamanan dan Ketertiban (Tramtib). Pada pukul 10.00 WIB, beberapa petugas dari
Kecamatan sempat melarang untuk melanjutkan aksi.
Tapi setelah berdebat bahwa yang berhak melarang bukan Tramtib melainkan kepolisian, mereka pamit
setelah diberi surat pemberitahuan ke polisi.
Tak lama berselang, giliran Tramtib dari Pemprov DKI Jakarta yang datang. Maka, terjadi lagi adu
argumen antara Kordinator Lapangan aksi Odie Hudiyanto dengan komandan Tramtib yang mengaku
hanya menjalankan perintah atasan. Setelah berdebat, mereka meminta agar Komite memfaks surat ijin
ke kantor Tramtib dengan nomer 915638. Tapi saat difaks, nomer tersebut tak bisa menerima.
Menurut Odie, bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan telah mencoba membungkam aksi yang
mewartakan ke publik tentang apa yang terjadi di harian Kompas.
"Saya pikir, ini bukan murni datang dari inisiatif Tramtib. Tapi karena ada pihak-pihak yang merasa
harus membungkam aksi ini. Lewat polisi, mereka tidak bisa intervensi. Lalu kemudian mencoba
menggunakan Tramtib," ujar Odie yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Federasi Serikat
Pekerja Mandiri (FSPM) ini. (bon/E1)
posted by KOMPAS @ 10:45 PM
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
19 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Rindjan mencoba menengahi. "Sudah. Yang penting kan jalan yang terbaik buat kedua pihak. Oke, mari
memperkenalkan diri satu per satu," ujarnya sambil meminta daftar hadir yang dipegang oleh Lindessa.
"Pak Frans, Pak Untung, dan Pak Agung. Dari pihak KMN" Rindjan membaca daftar absen tersebut
dengan suara tegas. Dilanjutkan membaca nama-nama dari kubu Bambang.
Belum kelar Rindjan menarik napas guna melanjutkan percakapan, Bambang menyela, "Pak Untung itu
karyawan Gramedia Grup loh. Bukan karyawan KMN. Gimana ini?"
Untung pun tergagap menjelaskan, "Kami sudah ditunjuk sebagai kuasa hukum KMN. Ada surat
kuasanya. Enggak usah mempermasalahkan hal yang membuat melenceng," tuturnya dengan suara
lirih.
Horas Siringoringo, Ketua Divisi Non Litigasi LBH Pers yang juga menjadi kuasa hukum Bambang,
nimbrung juga. "Kami khawatir ada peserta gelap di sidang ini," repetnya sambil menunjuk Arya yang
tak disebutkan Rindjan dari daftar absen.
"Sebenarnya saya tadi mau ngisi daftar hadir, tapi keburu diambil Pak Rindjan," ujar Arya sambil
menggaruk kepala plontosnya.
Suasana pun tersendat karena kedua pihak makin memanas. Sejurus terdengar sepenggal lirik lagu,
"Pergi tamasya ke Binaria" Rupanya suara itu nada panggil (ringtone) telepon genggam Rindjan.
Buru-buru si empunya hape membunuh suara soundtrack film Mendadak Dangdut yang dilakoni Titi
Kamal itu.
Hawa tegang pun sejurus melumer menjadi ledak tawa. Sempitnya ruangan seakan runtuh ditingkah
cekakakan para peserta sidang. "Suka sama jablay yah Pak?" celetuk salah satu peserta sidang.
Rindjan masih berusaha menjaga muka, "Biasanya sih saya matiin hape kalau sidang. Cuma kali ini saja
saya kelupaan," kelitnya memberi alasan. "Kalau begini kan santai. Tak perlu emosi Bapak-bapak,"
sambungnya.
Acara pun berlanjut. Pintu dibuka dari luar. Rupanya seorang juru kamera sebuah stasiun televisi
tergopoh-gopoh terlambat masuk. Rindjan akhirnya mengabulkan permohonan Bambang membatalkan
proses mediasi. Kedua pihak diminta segera menggelar pertemuan bipartit selambat-lambatnya 30 hari
setelah sidang ini.
"Saya berharap tak perlu repot-repot ketemu Bapak-bapak lagi. Artinya, cukup selesai di tahap bipartit
supaya menguntungkan kedua pihak," pungkas Rindjan yang dalam waktu dekat akan menikmati masa
pensiun ini sambil mengulum senyum kecut.
Biar tak ketanggor si Jablay lagi yah Pak? (CRY)
posted by KOMPAS @ 10:43 PM
0 comments
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
20 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
21 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
massa gabungan seperti dari AJI Jakarta serta elemen LSM pro-Bambang Wisudo. iga
posted by KOMPAS @ 3:23 AM
0 comments
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
22 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
0 comments
------------------------------------------------------------------------------------------------
Kepada Yth:
Musium Rekor Indonesia (MURI)
Di tempat
Hal : Pemberitahuan Pemecahan Rekor
Lampiran : 1 (satu) halaman
Dengan hormat,
Bersama ini surat, kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
dengan ini memberitahu Museum Rekor Indonesia (MURI) bahwa kami akan mengadakan aksi gelar
4/2/2015 6:57 PM
23 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
spanduk anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang dan terlama yang pernah digelar di Indonesia.
Isu yang kami bawa kali ini masih seputar pemecatan sewenang-wenang wartawan Kompas Bambang
Wisudo karena keterlibatannya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas saat mempersoalkan
saham karyawan. Kami sendiri berharap aksi spanduk ini belum pernah dilakukan dan bisa memecahkan
rekor Musium Rekor Indonesia (MURI).
Aksi gelar spanduk bertema anti pemberangusan serikat pekerja itu sendiri akan dimulai pada
Hari : Senin, 8 Januari 2007
Jam : 08.00 - 18.00 WIB/setiap hari
Tempat : Bunderan Hotel Indonesia
Kami sendiri sudah memberitahu pihak kepolisian. Dan boleh jadi aksi spanduk terpanjang (120 meter)
ini akan dilakukan selama berbulan-bulan.
Demikian pemberitahuan dari kami. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
0 comments
=================================================================
0 comments
4/2/2015 6:57 PM
24 of 24
http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
Jurnalis
Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi Nasional Bhineka
Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM),
FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR,
Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, IKOHI, Kontras, YLBHI, SP 68H, STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN), KASBI, Praxis.
Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP),
Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta
----------------------------------------------------------------------------------------------Kepada Yth.
Ketua Dewan Pers
Bapak Ichlasul Amal
di Jakarta
Dengan Hormat,
Dengan surat ini kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
bermaksud menyatakan keberatan atas penilaian dan rekomendasi Dewan Pers Nomor 19/PPR/PPR-DP
/XII/2006 tentang Pengaduan Bambang Wisudo terhadap Kompas Online tertanggal 29 Desember 2006.
Dalam poin pertama Dewan Pers yang baru kami terima hari ini tertulis: "1. Bahwa berita Kompas online
berjudul Satpam tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan adalah merupakan hak jawab Kompas
atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan
Kompas itu sendiri. Dengan demikian, pemberitaan Kompas online tersebut tidak terkait dengan
pelanggaran Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik tentang akurasi, keberimbangan dan adanya itikad buruk."
Keberatan itu terutama menyangkut penilaian butir pertama yang menyatakan bahwa berita Kompas
Online adalah merupakan hak jawab Kompas atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di
berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan Kompas. Berdasarkan pertimbangan tersebut Dewan
Pers menyatakan bahwa pemberitaan itu tidak terkait dengan kode etik jurnalistik tentang akurasi,
keberimbangan, dan adanya itikad buruk.
Menurut pendapat kami, pemberitaan Kompas Online tersebut tidak bisa diletakkan sebagai hak jawab
Kompas terhadap berita yang tersebar di berbagai milis. Berita yang dibuat sebuah institusi media
adalah berita yang berdiri sendiri dan harus dipertanggungjawabkan sendiri oleh institusi tersebut. Oleh
karena itu setiap media tetap terikat pada keharusan untuk menulis berita secara utuh dan berimbang
(cover both sides).
Berita yang dimuat Kompas Online sebagaimana disebut di atas jelas tidak memenuhi syarat
keberimbangan karena itu Sdr. Bambang Wisudo sangat dirugikan atas pemberitaan tersebut. Bila
pertimbangan Dewan Pers ini tidak segera dikoreksi, kami khawatir ini akan menjadi
preseden buruk bagi media massa di Indonesia. Sebab, media massa yang tidak
bertanggungjawab bisa berkilah bahwa mereka tidak perlu memberitakan secara berimbang
karena korban atau pihak yang dirugikan telah bersuara di media lain.
Selain itu, keberatan kedua kami atas butir pertama Dewan Pers tersebut, adalah karena argumennya
sama persis dengan pernyataan anggota Dewan Pers saudara Sabam Leo Batubara saat kami
mendatangi kantor Dewan Pers tanggal 21 Desember 2006. Pada saat itu saudara Sabam Leo Batubara
juga berkata serupa, bahwa pemberitaan Kompas Online yang ditulis wartawan Kompas saudara R Adhi
Kusumaputera adalah hak jawab dari Kompas terhadap berita-berita sebelumnya.
Sementara Sabam Leo Batubara adalah salah satu Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Dan Ketua
Umum SPS sekarang masih dijabat saudara Jakob Oetama yang sampai sekarang masih duduk sebagai
Pemimpin Umum Harian Kompas. Karena itu, kami melihat kemungkinan ada rasa tidak enak dan konflik
kepentingan dalam putusan Dewan Pers kali ini. Sebab argumen yang ditanda-tangani Ketua Dewan
Pers sama persis dengan argumen saudara S Leo Batubara.
Berdasarkan hal tersebut, kami meminta Dewan Pers untuk kembali bersidang, melakukan penelitian
silang dengan mengkonfrontir kedua belah pihak dalam satu forum, sebelum membuat penilaian atau
rekomendasi akhir.
Menurut hemat kami, ini perlu ditempuh untuk menjaga kredibilitas Dewan Pers sendiri. Penyelesaian
pengaduan etik secara profesional dan obyektif merupakan langkah yang sangat penting untuk
mendewasakan pers di tanah air dan mencegah kriminilisasi pers dalam kasus-kasus yang menyangkut
pemberitaan.
Tentang pengaduan secara lisan, kami akan segera memberikan saran kepada Saudara Bambang
Wisudo untuk menyampaikan keberatan secara tertulis kepada Kompas Online tentang pemberitaan
tersebut di atas.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 2 Januari 2007
Edy Haryadi
Kordinator
posted by KOMPAS @ 1:02 AM
0 comments
http://rpc.technorati.com/rpc/ping <
4/2/2015 6:57 PM