Anda di halaman 1dari 24

KOMPAS INSIDE: January 2007

1 of 24

Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis
Independen (AJI),
Aliansi Buruh
Menggugat/ABM
(KASBI, SBSI
1992, SPOI,
SBTPI, FNPBI,
PPMI, PPMI 98,
SBMSK, FSBMI,
FSBI, SBMI,
SPMI, FSPEK, SP
PAR REF, FKBL
Lampung, SSPA
NTB, KB FAN
Solo, AJI Jakarta,
SBJ, FKSBT,
FPBC, FBS
Surabaya, PC KEP
SPSI Karawang,
GASPERMINDO,
ALBUM Magelang,
FKB Andalas),
YLBHI, LBH Pers,
LBH Jakarta,
Aliansi Nasional
Bhineka Tunggal
Ika (ANBTI),
PBHI, TURC, LBH
Pendidikan,
Federasi Serikat
Pekerja Mandiri
(FSPM), Front
Perjuangan
Pemuda Indonesia
(FPPI), Serikat
Guru Tangerang,
Serikat Guru
Garut, Federasi
Guru Independen
Indonesia, ICW,
LBH APIK, IKOHI,
KONTRAS, PPR,
Somasi-Unas,
SPR, Arus Pelangi,
GMS, LPM Kabar,
Lembaga
Kebudayaan
Nasional (LKN),
Praksis, Forum
Pers Mahasiswa
Jabodetabek
(FPMJ), FMKJ,
Perhimpunan
Rakyat Pekerja
(PRP), FSPI,
Serikat
Mahasiswa
Indonesia (SMI),
Repdem Jakarta,
SPN, OPSI, SP
LIATA, SPTN Blue
Bird Grup

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Tuesday, Jan uary 30, 2007

Petisi Dari Para Sahabat


(Sebelum Seruan Wartawan Kompas dibuat tanggal 27 Januari lalu, aktivis 36 organisasi sudah terlebih dahulu membuat
petisi. Petisi tertanggal 20 Desember 2006 ini dibuat saat sedikitnya 300 orang menggelar aksi di Gedung harian Kompas.
Petisi ini belum ditanda-tangani semua elemen. Jumlah penandatangan akan terus bertambah. Ini hanya menunjukkan
bahwa persoalan pemberangusan aktivis serikat pekerja Kompas sudah masuk ke ranah publik, dan bukan persoalan
internal semata)

PETISI DARI PARA SAHABAT


Kami, para dosen, peneliti dan ilmuwan sahabat dan pembaca Kompas. Selama ini kami menaruh
hormat kepada Kompas sebagai suratkabar yang akurat dan terpercaya. Tidak bisa dipungkiri, dari
segala keterbatasan ruang gerak yang dihadapi, Kompas selalu mencoba berada di baris terdepan dalam
memerjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, hak asasi, dan demokrasi, termasuk pada masa-masa represif
di bawah rejim Soeharto
Citra yang dibangun Kompas sebagai surat kabar yang mengemban "amanat hati nurani rakyat",
menjadi "kata hati dan mata hati", telah tertanam pada diri kami. Akan tetapi kami tiba-tiba dikejutkan
dengan persoalan internal yang tiba-tiba menyeruak menjadi isu publik menyangkut kekerasan dan
pemecatan yang menimpa wartawan Kompas, Sdr. P Bambang Wisudo. Dari pembicaraan maupun dari
tulisan-tulisan melalui milis, baru kemudian kami menyadari bahwa Kompas tengah menghadapi
persoalan serius berkaitan masalah komunikasi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan
dialog, kebebasan berserikat, toleransi terhadap perbedaan pendapat yang justru melekat sebagai citra
yang dibangun Kompas selama ini. Kekerasan sekecil apapun tidak bisa diterima sebagai cara dalam
penyelesaian perselisihan pendapat secara beradab.
Oleh karena itu, sebagai pembaca dan sahabat Kompas kami ingin mengemukakan harapan agar kasus
ini diselesaikan dengan cara sebaik-baiknya. Perjuangan untuk kemanusiaan, demokrasi, dan hak asasi
akan tidak sejalan tanpa usaha menerapkannya pada diri kita sendiri. Kami berharap Kompas tetap setia
pada nilai-nilai yang diperjuangkannya dan segera melakukan pembaruan internal agar tetap dapat
menjadi contoh bukan hanya sebagai sebuah suratkabar tetapi juga sebuah institusi bisnis yang
menjunjung tinggi humanisme.
Jakarta, 20 Desember 20o6
Ttd Terlampir
1. Adriana Elisabeth (P-2P LIPI)
2. Hargyaning Tyas (P-2P LIPI)
3. Tri Ratnawati (P-2P LIPI)
4. Sarah Nuraini Siregar (UI)
5. Afad Lal (Universitas Budi Luhur)
6. Sri Nuryanti (RIDEP)

Previous Post
SuratPencabutanPHK
Bambang Wisudo
JO Cabut Surat
Pemecatan Wisudo
Surat Protes Buat
KPK
KOMPAS (sebar)
BOHONG!
Stop Press Situs
Kompas Kena Hack
MA Mulai Proses
Kasasi Wisudo
Diakui, Tim Legal
Kompas Minta
Bantuan Hakim PHI
Pemred Kompas
Suryopratomo
Mendadak Dicopot
Film Perjuangan
Wisudo Diluncurkan
di Youtube
Surga Bernama
Kompas

Archives
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
January 2008
February 2008
June 2008
July 2008
December 2008

7. Retno Handini (Budpar)


8. Hamdan Basyar (P2-P LIPI)

Powered by

9. Syafuan Rozi (Dosen IISIP Jakarta)


10. Djoko K (PMB-LIPI)
11. Heru Cahyono (P2P LIPI)

Hit Counter

12. Ikrar Nusa Bhakti (P2P LIPI)


13. Jaleswari Pramodhawardani (PMB-LIPI)
14. Thung Julan (PMB-LIPI)
15. Tri Nuke Pudjiastuti (P2P-LIPI)

Links
IFJ
CPJ
SEAPA

16. Johan Azhar (P2P LIPI)


17. Riwanto Tirtosudarmo (PMB LIPI)
18. Anas Saidi (PMB LIPI)
19. Asvi Warman Adam (P2P LIPI)

Media
Detik.com

20. Ary (UMB)


21. Arfan (UMB)

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

2 of 24

Voice of
Human
Rights
Tempo
Interaktif
Sinar
Harapan
Suara
Pembaruan
Hukum
Online

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

22. Ferdi (Orientasi UMS)


23. R Siti Zuhro (P2P LIPI/The Habibe Center)
24. Ranni (P2P LIPI)
25. A Iriwati (P2P LIPI)
26. Mardyanto Wahyu T (P2P LIPI)
27. Ganwati Wuryandari (P2P LIPI)
28. Dewi Fortuna Anwar ( LIPI)
29. Usmar Ismail (LKN)
30. Tiur (Kabar)
31. BB (Didaktika)
32. Budi (Didaktika)
33. Nadya (LPM Diamma)
34. Sasmito (Transformasi)
35. Irham (Didaktika)
36. Dessi Rosdiana (LPM Diamma)
37. Y Roza (Didaktika)
38. Yohanes R (LPM Diamma)
39. M Yamin (Sekjen Serikat Nelayan Merdeka-Sumut)
40. Syahril (LPM Orientasi UMB)
41. Rachma (LPM Orientasi UMB)
42. Sari (Didaktika)
43. A Fauzan (Orientasi)
44. Realisti (LPM Diamma)
45. Jendra S (Orientasi)
46. Anggri (LPM Diamma)
47. Imah (Diamma)
48. Agnes (LPM Purnama)
49. Mail (Front Perjuangan Pemuda Indonesia/FPPI)
50. Dan Dan N (KSR Garut)
51. Uhyana (STRIP)
52. Dkol (FPPI)
53. Ramly SY (FPPI)
54. Emots (FPPI Garut)
55. Ripan (FPPIGarut)
56. Awing (FPPI arut)
57. Adam (LPKL-G)
58. Agung Purnama (FPPI Garut)
59. Iwan Gunawan (FPPI Garut)
60. S Son (FPPI Garut)
61. Iwan M (FPPI Garut)
62. Bagas Adi (LS Garut)
63. Asep Saepuloh (BR Garut)
64. Iip T Poniman (FPPI Garut)

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

3 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

65. Ferry Shidarta (FPPI Garut)


66. Irmawan (FPPI Grt)
67. Ru Renjay (Perhimpunan Rakyat Pekerja/PRP)
68. Dudung (PRP)
69. Ndaru (PRP)
70. Fajar (FPPI Garut)
71. D Rosada (FPPI Garut)
72. Irwan Dani (FPPI Banten)
73. Marudut S (FPPI Medan)
74. Rahmat Pasau (PN FPPI)
75. Sahat (PN FPPI)
76. Wahyu R (Aji Jakarta)
77. A Bambani (serikat pekerja detk.com)
78. Alfa (PRP)
79. Irianto I Susilo (LBH Apik)
80. Lily (Serikat Buruh Migran)
81. Beno W (KASBI)
82. Aditya Wardhana (AJI Jakarta)
83. Nining E (GSBM KASBI)
84. Sultoni (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
85. S Heri Dniyanto (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
86. A Irwansyah (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
87. Parsudi (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
88. Katarina Pujiastuti (FNPBI)
89. U Idris (AJI Jakarta)
90. Hari Nugroho (AJI Jakarta)
91. Pembina Karos (AJI Jakarta)
92. Wahyu Dhyatmika (AJI Jakarta)
93. Edy Haryadi (AJI Jakarta)
94. HM Siringo Ringo (LBH Pers)
95. M Zainuri (Lativi)
96. Sholeh Ali (LBH Pers)
97. Nadya (LBH Pers)
98. Putri Asri (LBH Pers)
99. Hermina (LBH Pers)
100. Agus Randani (LBH Pers)
101. M Halim (LBH Pers)
102. Hendrayana (Direktur LBH Pers)
103. Yanti (LBH Jakarta)
104. Edy H Gurning (LBH Jakarta)
105. Melda Kumalasari (LBH Jakarta)
106. Kiagus Ahmad (LBH Jakarta)
107. Gatot (LBH Jakarta)

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

4 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

108. Uni Illian M (LBH Jakarta)


109. Heru (LBH Jakarta)
110. Virza (LBH Jakarta)
111. Totok Yulianto (LBH Jakarta)
112. Putri Kanesia (LBH Jakarta)
113. Hermawanto (LBH Jakarta)
114. Ori Rahman (Ketua Presidium Kontras)
115. Wilson (Praxis)
116. Mugiyanto (Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang/IKOHI)
117. Mutiara Pasaribu (IKOHI)
118. Simon (IKOHI)
119. Nelly Yarti S (IKOHI)
120. Ibeth (IKOHI Jakarta)
121. Dyan Setyawati (IKOHI Jakarta)
122. Nanung H (IKOHI)
123. Pheo (IKOHI)
124. Indri (Kontras)
125. Usman Hamid (Kordinator Badan Pengurus Kontras)
126. A Patra M Zen (Direktur YLBHI)
127. Astuty Liastianingrum (YLBHI)
128. Tabrani Abby (YLBHI)
129. Taufik Basari (YLBHI)
130. Hendrik Dikson Sirait (ANBTI)
131. Asfinawati (Direktur LBH Jakarta)
132. Sri Nurherwati (LBH Apik-Jakarta)
133. Dian Tri Irawaty (UPC)
134. Romy Leo Rinaldo (YLBHI)
135. Fr Yohana T Wardhani (LBH Apik)
136. Gatot Eko Y (Offstream)
137. Winurantho Adhi (AJI Jakarta)
138. Odie Hudiyanto (Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri/FSPM)
139. Abdullah (Elshinta TV)
140. Abdul Manan (Sekjen AJI Indonesia)
141. Ruhut Ambarita (Kabar)
142. Indri Saptorini (TURC)
143. Anggri Sugiyanto (LPM Diamma)
144. Anastasya A (pelanggan Kompas)
145. Saeful Tavip (Ketua Dewan Penasehat OPSI)
146. Dewi Fitriana (Sekretaris FSPM)
147. Mona B (KHRN)
148. Stefanus Felix Lamuri (AJI Jakarta)
149. Eriek (Teknora Universitas Lampung)
150. Bakhtiar Yusuf (TURC)

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

5 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

151. U. N. Yusron (AJI Indonesia)


152. Hadi Rahman (Internews)
153. Sutarno (AJI Jakarta)
154. Jajang Jamaludin (Ketua AJI Jakarta)
155. Jhonson Andrian (Somasi-Unas)
156. Sella P.G. (LPM Diamma-Universitas Mustopo)
157. Agus Rakasiwi (Ketua AJI Bandung)
158. Nugroho Dewanto (AJI Indonesia)
159. Eko Maryadi (Kord. Divisi Advokasi AJI Indonesia)
160. Kili Pringgodigdo (AJI Indonesia)
161. Mundo (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia/KASBI)
162. Eka Pangulima H (KASBI)
163. Marno (SBSI)
164. Budi Wardoyo (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia/FNPBI)
165. Ilham Syah (Ketua Umum Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia/SBTPI)
166. Eli Salomo (Aliansi Buruh Menggugat/ABM)
167. Sultoni (Serikat Pekerja Madani Indonesia)
168. Chandra W (Front Perjuangan Serikat Buruh Jabotabek/FPBJ)
169. Aries Sutan K (FPBJ)
170. Eni Sriwahyuni (Federasi Serkat Buruh Membangun Indonesia/FSBMI)
171. Lily Pujiati (Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI)
172. Dudung (AJI Surabaya)
173. J Danang Widoyoko (Indonesia Corruption Watch/ICW)
174. Lody Paat (Koalisi Pendidikan)
175. Ade Irawan (ICW)
176. Naning (KKMSK-Loteng)
177. Siti Rif'anah (Sanksi Borneo)
178. Tres N Situmorang (Bako Sumatera Barat)
179. Febri Hendri AA (ICW)
180. Wildan (Fakta)
181. Affa Burning (Independen)
182. Agus Sugandhi (Garut Goverment Watch/G2W)
183. Agus Sunaryanto (ICW)
184. Muh. Yusran A (JMS-Buton)
185. Askal Sumera (JMS-Buton)
186. Agus R (G2W Garut)
187. Nurfaizah (JMS-Buton)
188. Agus F Hidayat (Fakta Tangerang)
189. Arief Furqan (Sanksi Borneo)
190. Wahyudin B (Perak Institute)
191. Mawardi (Perak-Makassar)
192. Andre Wala (Swapar)
193. Marianti (Swapar)

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

6 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

194. Ety R Baba (Formasi Sumbar)


195. Jack Keremata (Formasi Sumba Barat)
196. Jimmy Paat (Koalisi Pendidikan)
197. Khresna A Mangontan (Forum Ortu Siswa Menteng Besuki)
198. Jumono (komite Sekolah)
199. Zanal Abidin (Fakta Tangerang)
200. Dani Wardani (Auditan)
201. Budhi Hastuti (Auditan)
202. Kemas Ismed (Auditan)
203. Charles S (Bako Sumbar)
204. Magda P (Serikat Guru Tanggerang)
205. Talhah (KKMSK Lombok Tengah)
206. Kamal Fikri (Guru SMKNI Cilegon)
207. Siti Nuratna (Guru Mts Al Amun Cikande)
208. Mas'amah (Mahasiswa Uninus)
209. Marinah (Mahasiswa Uninus)
210. Syafrudin (Guru SMP Daan Mogot Tangerang)
211. Agus Supriadi (Serikat Guru Tangerang)
212. Yaya Sunarya (Fakta Tangerang)
213. Kamal Haris (Guru Mts. Legok)
214. Selamet AP (SHMI Jakarta)
215. Tommy Albert Tobiro (SHMI Jakarta)
216. Tintin (ICW)
217. Lais Abid (ICW)
218. Jane (ICW)
219. Nita (ICW)
220. Abdullah (ICW)
221. Firdaus Ilyas (ICW)
222. Irsyad Ridho (Koalisi Pendidikan)
223. Adnan Topan Husodo (ICW)
posted by KOMPAS @ 1:00 AM

0 comments

Mon day, Jan uary 29, 2007

Wisudo Hadiri Rapat PKK, Kompas Buat Seruan


Jakarta, Kompas Inside. Untuk kali kedua, Senin (29/1/2007) petang kemarin, Bambang Wisudo
kembali menginjak Gedung Harian Kompas.
Di saat yang sama, manajemen juga memobilisir wartawan senior untuk membuat petisi wartawan
Kompas untuk mengecam aksi solidaritas terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) ini.
Wisudo hadir di Gedung Kompas setelah menerima undangan rapat PKK. Sebab, walau sudah menerima
surat pemecatan secara sepihak dari Pemred Kompas Suryopratomo, Bambang Wisudo masih tercatat
sebagai Sekretaris PKK. Sebuah organisasi serikat pekerja yang telah terdaftar secara resmi di
Depnakertrans.
Dalam rapat itu, Bambang Wisudo datang dengan ditemani tiga orang tim litigasi Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS). Mereka adalah Jhonson Panjaitan, SH (PBHI), Sholeh Ali dan
Nadya (LBH Pers).
"Saat kami masuk tidak ada yang menghalang-halangi," kata Ali saat dimintai keterangan.
Rapat sendiri berjalan aman. Rapat dimulai di ruang PKK pada pukul 16.00 dan berakhir pukul 18.30
WIB.
Seruan Wartawan Kompas
Sementara itu, manajemen Kompas kabarnya juga membuat manuver baru.

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

7 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Setelah gagal memaksa pengurus serikat pekerja PKK membuat pernyataan tidak ada pemberangusan
serikat pekerja di harian Kompas, kini manajemen melakukan manuver baru.
Salah satunya dengan menyatakan ke wartawan dan karyawan Kompas bahwa aksi-aksi yang dilakukan
36 organisasi yang tergabung dalam Komite bertujuan menyerang dan menghancurkan Kompas sebagai
institusi.
Padahal jelas, dalam aksi-aksi yang digelar selama ini, Komite hanya mengecam sekelompok petinggi
Kompas yang telah berlaku semena-mena. Namun dengan trik retorika ini, manajemen kemudian
berhasil membakar beberapa wartawan senior.
Beberapa wartawan senior lalu membuat petisi berjudul "Seruan Wartawan Kompas." Lalu mereka
meminta wartawan Kompas beramai-ramai menandatangani petisi tersebut.
Ironisnya, dalam surat seruan ini tercatat nama-nama seperti Maria Hartiningsih, Bre Redana, dan
semacamnya.
Petisi ini menyatakan, bahwa pemecatan Bambang Wisudo merupakan masalah pribadi yang dibesarbesarkan. Bambang Wisudo juga dituduh mengklaim menjadi perwakilan karyawan dan wartawan
Kompas.
Langkah ini menurut Ketua Tim Litigasi Komite, Sholeh Ali, SH, harus disesalkan. Sebab solidaritas
wartawan ini membabi-buta. Dan jelas digagas oleh manajemen Kompas untuk mengkonter solidaritas
dari luar.
"Sudah jelas Bambang Wisudo diangkat sebagai Sekretaris melalui surat keputusan yang ditandatangani Ketua PKK," kata Ali.
Menurut Ali, jelas pemecatan Bambang Wisudo terkait dengan aktivitasnya selaku aktivis Serikat
Pekerja. Dalam konteks itulah ia menjadi korban kekerasan dan penyanderaan satpam sebelum
menerima pemecatan tanpa prosedur dari Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo tanggal 8
Desember 2006.
"Jelas, 36 organisasi yang tergabung dalam Komite tidak bodoh. Kami tidak akan membela korban bila
masalahnya cuma masalah pribadi," tegasnya.
Karena itu Sholeh menilai petisi itu hanya sebuah manuver baru dari manajemen. Tujuannya apalagi
kalau bukan untuk mengalihkan isu. Dari isu pemberangusan aktivis serikat pekerja menjadi masalah
pribadi. Trik 'kebulatan tekad' ini memang kerap dilakukan di pabrik-pabrik. (nay/E2)
posted by KOMPAS @ 8:03 PM

0 comments

Friday, Jan uary 26, 2007

KOMPAS Berencana Temui Pimpinan Umum Kompas


Jumat, 26 Januari 2007, 07:40:05 WIB
Laporan: Herawatmo

Jakarta, Rakyat Merdeka. Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) hari ini Jumat
(26/1) berencana mengunjungi kediaman Pimpinan Umum harian Kompas Jakob Oetama, di Jalan
Sriwijaya Raya, Jakarta Selatan.
Koordinator KOMPAS, Edy Haryadi kepada Situs Berita Rakyat Merdeka mengatakan kedatangan
mereka kali ini, tidak untuk melakukan aksi demonstrasi, tapi bersilahturahmi dengan orang nomor satu
di petinggi media Gramedia group itu.
"Ya, kami ingin bertamu, seperti tamu-tamu pak Jakob lainnya," kata Edy.
Sementara itu, dalam aksi spanduk yang digelar di depan harian Kompas, kemarin (Kamis, 25/1),
satuan pengaman (satpam) harian Kompas mulai unjuk gigi. Menurut Edy, Wakil Kepala Satpam
Kiraman Sinambela dan bawahannya memprovokasi peserta aksi.
Edy mencontohkan, salah satu provokasi terjadi saat Kiraman Sinambela, salah satu satpam yang
terlibat dalam penyanderaan Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, duduk tak
jauh dari peserta aksi di dekat ATM BCA. Jarak duduknya tak sampai 20 cm.
Tak cukup di situ, satpam lain di bawah komando Kiraman yang mengenakan safari biru, juga terlihat
mengepung. Tapi, selain Kiraman, tak ada seorang pun yang mengenakan identitas diri di baju safari
biru gelap mereka. Tapi provokasi dan intimidasi satpam ini, tak berhasil memancing emosi peserta aksi.
Aksi tetap berjalan mulus tanpa insiden berarti.
"Menjelang akhir aksi, peserta aksi juga dikepung oleh sedikitnya belasan satpam," tambah Edy.
Pada saat yang sama, lanjut Edy, mediasi pertama antara manajemen Kompas dan tim litigasi Komite
gagal mencapai titik temu. Tim litigasi komite yang terdiri dari Sholeh Ali dari LBH Pers, Ori Rahman dari
Kontras, dan Tasya dari LBH Jakarta, serta Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri merasa,
pertemuan bipartit itu sengaja dibuat buntu. atm
posted by KOMPAS @ 2:29 AM

0 comments

Thursday, Jan uary 25, 2007

Komisi I Tunda Audiensi


Jakarta, Kompas Inside. Melalui surat keputusan yang disampaikan Senin (22/1) lalu, Komisi I DPR RI
menunda audiensi tim advokasi kasus Bambang Wisudo yang tergabung dalam Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS).

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

8 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Keputusan penundaan tersebut sebenarnya telah ada sejak 12 Januari lalu, namun baru disampaikan
kepada Komite hari Senin kemarin. Itupun setelah Komite menanyakan langsung kepada sekretariat
Komisi I.
Penolakan Komisi I DPR tersebut ditandangani oleh Wakil Ketua Komisi I. Alasan penolakan adalah
bahwa kasus Bambang Wisudo lebih terkait dengan permasalahan ketenagakerjaan.
"Karena intinya perselisihan ketenagakerjaan antara serikat pekerja dengan pimpinan Harian Kompas,
permasalahan ini ditembuskan ke Komisi IX untuk ditindak lanjuti", begitu bunyi jawaban wakil ketua
Komisi I yang ditulis tangan.
Alasan Komisi I itu diangap kurang tepat oleh sebagian anggota Komite. Karena di dalam surat
permohonan audiensi Tim advokasi telah menyampaikan bahwa titik tekan pengaduan kepada Komisi I
ialah mengenai pemblokiran berita oleh pimpinan Harian Kompas dan keputusan Dewan Pers yang
dirasa jangal.
Salah seorang anggota Komisi I yang sempat dilobi oleh Tim Advokasi sebenarnya telah menyanggupi
untuk menerima pengaduan kasus Bambang Wisudo dan berjanji akan melobi anggota Komisi I lainnya.
Tapi anggota Komisi I yang dikenal sebagai mantan jurnalis itu pun sampai kini tidak terdengar kabar
beritanya. Hand phone-nya selalu tidak bisa dihubungi.
Sampai saat ini Tim Advokasi Komite masih mengatur strategi agar tetap bisa membawa kasus
Bambang Wisudo ke Komisi I DPR RI. (um/E2)
posted by KOMPAS @ 7:54 AM

0 comments

Satpam Kompas Provokasi Aksi Spanduk


Jakarta, Kompas Inside. Barangkali karena kesal tak bisa menggerakkan Tramtib, polisi dan warga
untuk membubarkan aksi, kali ini satuan pengaman (satpam) harian Kompas mulai unjuk gigi.
Dalam aksi spanduk yang digelar di depan harian Kompas, Kamis (25/1), Wakil Kepala Satpam Kiraman
Sinambela mengerahkan anak buahnya untuk memprovokasi peserta aksi. Apalagi tujuannya selain
memancing emosi peserta aksi sehingga bentrok. Dengan demikian satpam punya alasan menggulung
peserta demo.
Contoh provokasi, Kiraman Sinambela, salah satu satpam yang terlibat dalam penyanderaan Sekretaris
Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, duduk tak jauh dari peserta aksi di dekat ATM BCA.
Jarak duduknya tak sampai 20 cm.
Tak cukup di situ, anak-anak buahnya yang mengenakan safari biru juga terlihat mengepung. Tapi,
selain Kiraman, tak ada seorang pun yang mengenakan identitas diri di baju safari biru gelap mereka.
Dua orang satpam malah menyorot peserta aksi lebih dari satu jam secara terus-menerus.
Tapi provokasi dan intimidasi satpam ini tak berhasil memancing emosi peserta aksi. Aksi tetap berjalan
mulus tanpa insiden berarti.
Menjelang akhir aksi, peserta aksi juga dikepung oleh sedikitnya belasan satpam.
Seorang peserta aksi yang sudah terbiasa berada dalam situasi provokasi malah menyindir satpam
Kompas tadi, "Gagal nih yee," seraya disambut senyum beberapa peserta aksi.
Pada saat yang sama, mediasi pertama antara manajemen Kompas dan tim litigasi Komite gagal
mencapai titik temu. Tim litigasi Komite yang terdiri dari Soleh Ali dari LBH Pers, Ori Rahman dari
Kontras dan Nadya dari LBH Jakarta, serta Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri, merasa
memang pertemuan bipartit itu memang sengaja dibuat buntu.
Perundingan disengaja tak mencapai jalan temu agar manajemen Kompas bisa meneruskan ke
perundingan mediasi tripartit untuk mempermulus permohonan pemecatan Bambang Wisudo.
Sebab, pihak manajemen tetap ngotot bahwa Bambang Wisudo layak dipecat. Sementara tim litigasi
Komite berkeras pemecatan terhadap pengurus serikat pekerja dilarang oleh undang-undang. (al/E2)
posted by KOMPAS @ 6:36 AM

0 comments

Wednesday, Jan uary 24, 2007

Komisi IX Segera Panggil Manajemen Kompas


sumber: hukumonline.com
[22/1/07)
Komisi IX prihatin atas kasus pemecatan wartawan senior Kompas Bambang Wisudo. Di tengah
kesibukannya, Komisi IX akan mengundang manajemen Kompas.
Senin (22/1) Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
untuk membahas pemecatan wartawan senior Kompas Bambang Wisudo. Kali ini Komisi yang
menggawangi ketenagakerjaan ini mengundang Bambang beserta Komite Anti Pemberangusan Serikat
Pekerja (KOMPAS).
Entah mengapa, rapat tentang nasib wartawan ini tak riuh diliput oleh para pewarta. Padahal, inilah
peristiwa pertama RDPU Komisi IX mengulas masalah hubungan kerja wartawan. Umumnya, komisi ini
menampung kasus perburuhan perusahaan-perusahaan di luar pers.
Kubu Bambang yakin, pemecatan atas dirinya karena kegiatannya sebagai Sekteraris Perkumpulan
Karyawan Kompas (PKK) serikat pekerja Harian Kompas. Bambang pun berujar bahwa saat ini para

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

9 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

pengurus PKK diintimidasi oleh pihak manajemen untuk mengakui, pemecatan atas dirinya tak berkaitan
dengan kegiatan serikat pekerja.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Heru Hendratmoko menjelaskan ada tiga isu yang harus
diperhatikan oleh para jurnalis. Pertama, kebebasan pers sebagai indikasi kehidupan masyarakat di alam
demokrasi. Kedua, profesionalisme wartawan. Dan ketiga, kesejahteraan wartawan. "Wartawan tak akan
profesional tanpa didukung oleh kesejahteraan. Dan kesejahteraan bisa diraih dengan kebebasan
berserikat. Sangat disayangkan jika Harian Kompas menghalangi aktivitas berserikat," lanjut Heru.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX Max Sopacua menjelaskan perbuatan menghalangi serikat pekerja
bisa dijerat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU
SP/SB). "Saya masih bingung, Harian Kompas adalah surat kabar ternama yang mengusung advokasi
HAM. Namun sekarang malah memecat karyawannya. Seperti kuman di seberang lautan tampak, gajah
di pelupuk mata tak tampak," ujar Max yang mantan jurnalis TVRI itu.
Namun, Max mengingatkan, Bambang harus mempersiapkan bahan yang cukup supaya bisa
membuktikan motif pemecatannya berkaitan dengan kegiatan serikat pekerja. "Pak Bambang dan
kawan-kawan, selama ini, apa yang sudah Anda kerjakan? Dan apa perkembangannya?" ujarnya.
Anggota lainnya, Serta Ginting mewanti-wanti kubu Bambang harus mempersiapkan bukti dengan
lengkap. "Kita harus menengok dulu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Akan terlihat jelas mana hak
manajemen, mana hak karyawan. Kalau Pak Bambang mengaku mengalami kekerasan dari satpam,
mana bukti keterangan dokter misalnya?"
Max tetap menanggap kasus ini serius. "Kalau perlu, kita datangkan manajemen Kompas atau bahkan
Ketua PWI Tarman Azam untuk menjelaskan kondisi kerja wartawan yang sebenarnya," ujarnya
berapi-api. Max berjanji pada bulan Januari ini bisa mendatangkan Jakob Oetama selaku pihak
manajemen Kompas.
Ketua Komisi IX Ribka Ciptaning mengaku menerima telepon dari Jakob Oetama pada pagi hari sebelum
RDPU ini digelar. Menurut Ribka, Jakob menjelaskan bahwa PHK ini hanya merupakan kasus
kekaryawanan semata.
Sementara, anggota Komisi IX Nurul Falah mendesak adanya public hearing antara manajemen Kompas
dan PKK. "Kita konfrontir saja kedua pihak di sini. Sama halnya dengan kasus perburuhan lainnya kan?"
ujarnya.
Anggota yang lain, Tuti Lukman Sutrisno menilai bahwa kasus yang dialami Bambang bisa juga dialami
oleh wartawan lainnya. "Perjuangan kita tak hanya demi Pak Bambang, tapi untuk semua wartawan."
Tak selesai
Hanya saja, Ketua Sidang RDPU Asiah Salekan mengakui selama ini Komisi IX belum pernah
menyelesaikan kasus perburuhan. "Kapasitas RDPU sendiri tak menghasilkan keputusan. Namun ini
sebagai masukan untuk tahap selanjutnya. Selama ini, pihak manajemen yang kami undang keberatan
kami pertemukan dengan pihak buruh di forum seperti ini. Misalnya saja kasus Hotel Indonesia. Pihak
manajemen enggan menemui kami," seloroh Asiah.
Di tengah padatnya agenda, Asiah tetap ngotot memanggil manajemen Kompas. "Banyak sekali jadwal
kami. Misalnya menyelesaikan RUU Kesehatan Pekerja dan Amandemen UU Kependudukan. Namun kami
tetap serius menyelesaikan kasus Kompas hingga Januari ini," ujarnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah, pihak Kompas belum bisa memberikan keterangan lengkap. "Masih
sedang kami rapatkan," ujar kuasa hukum Kompas Untung Herminanto melalui sambungan telepon.
Ketika keputusan eksekutif melalui Disnakertrans dianggap masih mengecewakan, pihak legislatif
diharapkan dapat menyelesaikan masalah. Semoga anggota dewan yang terhormat tak hanya mencari
popularitas. (CRY)
posted by KOMPAS @ 7:21 PM

0 comments

Aki Warnai Aksi Spanduk


Jakarta, Kompas Inside. Aksi spanduk Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) Rabu
(24/12) kemarin kembali diwarnai aksi intimidasi.
Kali ini bukan aparat Tramtib yang turun-tangan, melainkan orang suruhan manajemen Kompas dengan
cara menyiram air aki keras ke spanduk yang digelar.
Aksi sabotase dan intimidasi itu baru terdeteksi saat anggota Komite membongkar spanduk pada pukul
17.00 WIB. Pada saat spanduk digulung, kain spanduk sepanjang 120 meter berisi protes itu terasa
basah. Padahal tidak turun hujan petang itu.
Amran, anggota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), baru sadar bahwa itu cairan itu air aki
keras setelah tak lama kemudian tangannya mendadak gatal.
Terlebih, tak lama kemudian ditemukan sebuah botol aki berwarna merah tak jauh dari spanduk itu.
Maka, dapat disimpulkan ada orang suruhan yang menyiram spanduk tersebut dengan aki keras dengan
maksud sabotase.
Warga 'Dikompori'
Aksi spanduk kemarin memang berbeda dengan aksi sebelumnya. Soalnya, kini Komite menggunakan
pengeras suara yang diarahkan ke Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan No 26, Jakarta
Pusat.
Belasan aktivis dari FPPI, AJI, TURC, FSPM, YLBHI, yang mendapat giliran berjaga kemudian menyetel
kaset berisi pertemuan Komite dengan Komisi IX hari Senin (22/1) sebelumnya.

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

10 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Aksi lewat pengeras suara ini mengundang perhatian warga. Beberapa orang warga merasa tertarik
sehingga mereka terlihat menyimak dialog antara Komite dengan Komisi IX.
Lalu, seorang warga Palmerah memberi informasi pada anggota Komite bahwa ada orang suruhan
manajemen datang untuk memanas-manasi penduduk setempat untuk menyerang aksi yang diadakan
Komite.
"Orang ini bilang, kok kami membiarkan saung pengemudi ojek digunakan buat aksi," tutur seorang
warga yang kebetulan bekerja sebagai pengojek.
"Saya bilang sama dia, saya juga korban PHK. Saya juga tidak bodoh kalau orang ini punya rencana
mengadu domba warga dengan pengunjuk rasa," ujarnya. Tapi dia sendiri menjamin, warga akan
bersikap netral dan tidak berpihak pada siapapun.
Hari ini, Kamis (25/1/2007), aksi Komite akan terus berjalan.
"Kita sadar intimidasi yang dilakukan oleh mereka yang tak senang dengan aksi yang digelar Komite
akan lebih keras," kata Odie Hudianto dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM).
"Tapi kami tidak akan mundur," tegasnya. (cep/E6)
posted by KOMPAS @ 6:19 PM

0 comments

Mon day, Jan uary 22, 2007

JO Telepon Ketua Komisi IX DPR RI


Jakarta, Kompas Inside. Puluhan peserta rapat Komisi IX DPR RI, Senin (22/1/2007) petang,
mendadak hening. Hal itu terjadi saat Ketua Komisi IX dr Ribka Ciptaning mengutarakan secara
blak-blakan bahwa dirinya pribadi sudah ditelepon Jakob Oetama alias JO, Pimpinan Umum Harian
Kompas.
"Sebelum pertemuan ini digelar, saya ditelepon oleh Jakob Oetama," kata dr Ribka Ciptaning ke
pengunjung sidang terang-terangan.
"Saya ditanya benarkah teman-teman Komite mau diterima Komisi IX," ujar Mbak Ning, begitu biasa dia
dipanggil.
Menurut Mbak Ning, dalam keterangannya Jakob Oetama alias JO mengatakan PHK Wisudo belum final.
Masih dalam proses. Tapi keterangan ini tak membuat Mbak Ning mengurungkan undangannya ke
Komite.
Dr Ribka Ciptaning sendiri mengungkapkan, pemaparannya ke puluhan anggota Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) tentang telepon JO itu, untuk menunjukkan, tidak semua
anggota DPR bisa 'dibeli' seperti yang diwartakan media massa selama ini. Karena itu dia dan anggota
Komisi IX lainnya meminta data-data tambahan agar Komisi IX bisa bertindak tegas.
Pengaduan Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) ke Komisi IX ini sendiri dibuka oleh
Astuti Listyaningrum, SH dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lalu, secara
bergantian, Surya Tjandra dari TURC, Heru Hendratmoko mewakili AJI, Ori Rahman dari Kontras, Sholeh
Ali dari LBH Pers memaparkan pemberangusan serikat pekerja di Kompas. Bambang Wisudo sendiri
turut memberi testimoni.
Dalam pemaparan tersebut, dituturkan peristiwa kekerasan yang menimpa Bambang Wisudo. Juga
disinggung-singgung motif penyingkiran tokoh-tokoh vokal di Perkumpulan Karyawan Kompas melalui
pola mutasi karena mempersoalkan saham kolektif 20 persen milik karyawan.
"Terakhir, kami juga mendengar para pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas didesak untuk
menyatakan tidak ada pemberangusan serikat pekerja di Harian Kompas. Desakan itu dilakukan
sebelum pertemuan ini digelar," kata salah satu anggota Komite.
Belasan anggota Komisi IX yang mendengar pemaparan Komite umumnya mengaku terkejut. "Saya rasa
sudah ada indikasi kuat pemberangusan serikat pekerja di Kompas. Karena itu, saya mengusulkan ke
pimpinan Komisi IX untuk memanggil Jakob Oetama ke sini untuk dimintai keterangan. Lalu kita
konfrontir dengan teman-teman yang hadir di sini sekarang," kata Nurul Falakh, anggota Komisi IX DPR
RI.
Nuriam, anggota Komisi IX lainnya berkata, "Saya tidak membayangkan bahwa Kompas yang saya baca
selama ini ternyata jelek sekali di belakangnya. Karena itu saya berpikir apa saya berhenti langganan
Kompas."
Nuriam juga bertanya, mengapa kasus ini tak diberitakan oleh media massa. Karena itu ia menekankan
pentingnya Komisi IX memperjuangkan 20 % saham kolektif milik karyawan. Karena inilah kunci utama
kasus Bambang Wisudo.
Anggota Komisi IX lainnya, Tuti Lukman Sutrisno, istri almarhum Lukman Sutrisno, juga mengaku shok
membaca laporan Komite. "Kalau di Kompas yang sebesar itu terjadi peristiwa ini, bagaimana dengan
koran-koran kecil lainnya," ujarnya.
Anggota Komisi IX lainnya berkata, "Saya tidak menyangka bahwa Kompas yang selama ini
mengembar-gemborkan demokrasi dan HAM, ternyata bisa melakukan tindakan seperti yang dialami
saudara Wisudo."
Komisi IX sendiri sepakat untuk menindaklanjuti pengaduan Komite secepatnya. "Kami akan memanggil
Jakob Oetama untuk menjelaskan apa yang terjadi," kata seorang anggota Komisi IX.
"Apalagi permintaan saudara Bambang Wisudo tidak macam-macam. Dia hanya minta dipekerjakan
kembali," timpal anggota Komisi IX lainnya.

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

11 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Komisi IX juga berjanji akan mendesak pimpinan Kompas agar Bambang Wisudo dipekerjakan kembali.
Apalagi, hampir seluruh anggota Komisi IX sepakat bahwa apa yang terjadi pada Bambang Wisudo
merupakan upaya pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas. (ib/E4)
Labels: Jakob oetama, Komisi IX, Kompas, Serikat Pekerja
posted by KOMPAS @ 4:09 AM

0 comments

Thursday, Jan uary 18, 2007

Surat Terbuka Bambang Wisudo Kepada Kawan


Dear Friends,
Sudah lebih dari 40 hari saya tidak bisa menjalankan tugas jurnalistik saya setelah mengalami
pemecatan sepihak yang dilakukan oleh Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo. Saya kira
penyelesaian kasus ini masih panjang setelah saya menutup pintu bagi tawaran "golden shakehand"
dengan pesangon yang besar. Saya tidak ingin Kompas mengeluarkan uang besar untuk menyelesaikan
kasus yang saya hadapi. Cukup pekerjakan kembali ke posisi semula, saya dijamin untuk berkarir secara
wajar, serta hak suara dan berserikat saya dihormati. Namun sampai saat ini manajemen Kompas masih
enggan memenuhi tuntutan tersebut dan tampaknya bersedia menanggung biaya yang sangat mahal
untuk sikap tersebut.
Sejauh ini yang saya dengar Pak Jakob memiliki niat baik untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan
oleh Suryopratomo. Akan tetapi Pak Jakob saat ini bimbang ketika Suryopratomo dan kelompoknya
mengancam mengundurkan diri beramai-ramai bila saya dipekerjakan kembali. Bagi saya, tidak ada
urusan apakah Suryopratomo menjadi pemimpin redaksi atau tidak. Yang penting saya bisa bekerja
kembali di Kompas. Saya juga heran mengapa Pak Jakob begitu khawatir Suryopratomo dan kawankawannya akan mengundurkan diri bila saya dipekerjakan kembali. Saya tidak yakin mereka
benar-benar akan "bedhol deso" bila saya balik ke Kompas. Bagi saya pribadi, kesalahan diakui dan
dikoreksi, itu sudah cukup. Tidak perlu mengundurkan diri segala.
Saya berterima kasih atas dukungan yang teman-teman berikan selama ini. Sudah 40 hari kita bergerak
dan dukungan kawan-kawan, khususnya AJI dan kawan-kawan lain yang bergabung dalam Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja, masih mantap. Sejauh ini saya masih punya semangat dan energi
untuk melawan kesewang-wenangan yang dilakukan manajemen Kompas terhadap diri saya. Kalau
mereka tidak mau mengoreksi kesalahannya, tidak mau menghormati Undang Undang yang berlaku di
negeri ini, saya akan terus melawan dan terus membongkar kebusukan-kebusukan, yang selama ini
ditutup-tutupi, sampai akhir hidup saya. Saya harap kawan-kawan tidak lelah dan tidak bosan
menemani saya.

Thanks
Bambang Wisudo
posted by KOMPAS @ 7:10 PM

2 comments

Komisi IX Hearing Kasus PHK Kompas

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270

---------------------------------------------Nomor : PW.oo1/0383/DPR RI/2007 Jakarta, 16 Januari 2007


Sifat : Penting
Derajat : Segera
Lampiran : Perihal : Undangan Rapat
KEPADA YTH.
KOMITE ANTI PEMBERANGUSAN SERIKAT
PEKERJA (KOMPAS)
JL. PROF DR SOEPOMO NO 1A,
KOMPLEK BIER MENTENG DALAM
JAKARTA
------------Sesuai dengan Acara Rapat-rapat DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2006-2007 yang telah
diputuskan dalam Rapat Badan Musyawarah DPR RI tanggal 5 Desember 2006, dan sesuai Keputusan
Rapat Intern Komisi IX DPR RI tanggal 15 Januari 2007, bersama ini kami beritahukan dengan hormat
bahwa Komisi IX DPR RI akan mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komite Anti
Pemberangusan Serikat pekerja (KOMPAS), yang akan diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Senin, 22 Januari 2007
Waktu : Pukul 14.00 - 16.00 WIB
Tempat : Ruang Rapat Komisi IX DPR RI
Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta
Acara : Membicarakan masalah PHK wartawan Kompas
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami mengharapkan kehadiran Saudara pada acara dimaksud.
Atas perhatian dan kehadirannya kami ucapkan terima kasih.
A.n. PIMPINAN

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

12 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

SEKRETARIS JENDERAL
u.b.
KEPALA BIRO PERSIDANGAN

ACHMAD JUNED, SH., MH.


NIP 210001064

Tembusan :
1. Yth Wakil Ketua DPR RI/KORKESRA
2. Yth. Sekjen DPR RI;
3. Yth. Deputi Bidang Persidangan dan KSAP Setjen DPR RI; 4. Yth. Deputi Mensesneg Bidang
Hubungan Kelembagaan
---------------------------------------------------posted by KOMPAS @ 4:31 AM

0 comments

Lurah Ganggu Demo Kompas, Aktivis Makin Ngotot


Kamis, 18 Januari 2007, 16:10:14 WIB
Laporan: Herawatmo
Jakarta, Rakyat Merdeka. Aksi protes yang digelar Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja
(KOMPAS), atas PHK sepihak Kompas terhadap wartawan sekaligus aktivis Serikat Pekerja kompas
Bambang Wisudo, terus berlanjut.
Hari ini (18/1) para aktivis serikat pekerja itu kembali berunjuk rasa. Namun aksi protes yang digelar
dengan membentangkan spanduk 120 meter, di depan gedung kompas jalan Palmerah, Jakarta, diusik
lurah dan aparat ketentraman dan ketertertiban (tramtib) Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta
Pusat.
Koordinator Non Litigasi KOMPAS, Winuranto Adhi mengatakan, spanduk yang mereka bentangkan
dirampas aparat tramtib kelurahan gelora, kec. Tanah Abang, sekitar pukul 14.00 WIB. Namun
perampasan itu gagal, setelah para aktivis yang berunjukrasa itu mempertahankan spanduk itu sekuat
tenaga.
Semula, satu regu aparat tramtib yang mendatangi aktivis KOMPAS dengan menaiki mobil kijang,
mempertanyakan surat izin aksi unjuk rasa. Usai bertanya, mereka beraksi untuk merebut spanduk
pemecah rekor MURI yang dipampang aktivis komite itu.
Lurah maupun aparat tramtib beralasan, pemasangan spanduk itu mengganggu keindahan lingkungan di
wilayah kelurahan Gelora. Selain itu, lanjut Winuranto Adhi, aparat kelurahan itu juga diminta pimpinan
kompas untuk membubarkan aksi Komite ini.
Winuranto menambahkan, upaya pembubaran dan perebutan spanduk hari ini, merupakan tindakan
tidak bersahabat kelurahan Gelora untuk yang kedua kalinya.
"Kemarin, Lurah dan Tramtib datang dua kali untuk membubarkan dan merampas spanduk kami," kata
Winuranto yang juga menjabat Wakil Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta.
Winuranto mengungkapkan, untuk mengatasi kejadian itu terulang kembali, puluhan aktivis komite dan
serikat pekerja yang lain, akan menunggu dan mempertahankan spanduk protes PHK dan anti
pemberangusan serikat pekerja itu. Komite, lanjut Winuranto, sangat mempertanyakan ulah aparat
kelurahan yang berusaha merampas spanduk unjuk rasa itu.
"Aparat tramtib tidak berwenang membubarkan aksi, maupun merampas spanduk kami. Apalagi
spanduk itu kan perangkat demo, dan kami sudah memberikan surat pembertahuan kepada Kapolri
Jend.Pol. Sutanto," kata jurnalis muda ini menjelaskan.
Winuranto menegaskan, para aktivis tidak akan mundur, bahkan akan lebih gigih berjuang dan
mempertahankan spanduk maupun aksi protes ini. atm
posted by KOMPAS @ 4:03 AM

0 comments

Wednesday, Jan uary 17, 2007

Pimpinan Kompas Suruh Tramtib Lindas Aksi Spanduk


Jakarta, Kompas Inside. Aksi gelar spanduk 120 meter yang mengecam pemecatan sepihak
Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas Bambang Wisudo, lagi-lagi diganggu aparat Tramtib DKI.
Pimpinan Tramtib mengaku mereka mendapat perintah untuk melindas aksi tersebut dari pimpinan
harian Kompas.
Aksi itu semula berjalan mulus sejak pukul 10.20 WIB, Rabu (17/1/2007). Spanduk tersebut dipasang di
Jalan Gelora, seberang Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan No 22, Jakarta Pusat.
Beberapa delegasi dari Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), terlihat bergantian
berjaga di halte Kompas.
Delegasi Komite yang hadir antara lain datang dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pendidikan, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika
(ANBTI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Tapi sekitar pukul 13.30
Tanah Abang. Beberapa
merobek-robek spanduk
(Muri) sebagai spanduk

WIB, dari arah belakang DPR RI, turun puluhan petugas Tramtib Kecamatan
di antara mereka sudah berbekal pisau. Agaknya mereka tengah bersiap
Komite yang bertujuan untuk memecahkan rekor Musium Rekor Indonesia
anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang dan terlama yang pernah

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

13 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

dipasang.
Untunglah beberapa aktivis yang bertugas berjaga di Halte Kompas awas. Mereka pun segera
menghentikan tindakan brutal Tramtib tersebut. Saat ditegur aktivis Komite, komandan lapangan
dengan inisial E. Iskandar di dada kanan, mengatakan ia mendapat perintah untuk menurunkan spanduk
Komite.
"Kami mendapat perintah dari Camat Tanah Abang," ujarnya seraya menyebut nama pimpinannya
Camat Idris Priyatna. Tapi setelah berdebat dengan anggota Komite serta pengacara LBH Pendidikan,
Laksono, bahwa kewenangan untuk membubarkan aksi spanduk ada di polisi, dan Tramtib tak punya
kewenangan, akhirnya E. Iskandar menelepon Camat Tanah Abang, Idris Priyatna.
Ia pun akhirnya menarik pulang anak buahnya setelah melihat surat pemberitahuan Komite ke Polda
Metro Jaya atas aksi spanduk tersebut. Anak buahnya yang sudah siap-siap memotong spanduk anti
pemberangusan serikat pekerja terpanjang itu, akhirnya memasukkan kembali pisau komando mereka.
Setelah Tramtib Kecamatan Tanah Abang mundur, anggota Komite kembali ke Halte Kompas. Tapi
ketenangan itu rupanya tak berlangsung lama.Menjelang penurunan spanduk oleh Komite pada pukul
17.00 WIB terjadi lagi insiden baru.
Pada pukul 16.40 WIB, sekitar 40 anggota Tramtib kembali datang. Mereka datang bersama
pimpinannya Sonar Sinurat dan Sofyan Hasan. Sofyan Hasan mendesak Komite untuk menurunkan
spanduk itu segera atau mengancam akan segera dibongkar oleh aparat.
Namun, anggota komite dari ANBTI Hendrik Dikson Sirait membantah. "Ini bukan wilayah Pemprov dan
kami tidak beurusan dengan Peraturan Daerah. Tapi aksi ini wewenang kepolisian," ujarnya.
Tapi Sofyan Hasan berkeras. Sementara Sonar Sinurat mengatakan ia hanya menjalankan perintah
pimpinan, yakni Kepala Sudin Tramtib DKI Subandi. Maka, Kordinator Komite Edy Haryadi, menghubungi
Subandi di nomer telepon genggamnya.
Sempat terjadi adu argumen apakah ini wilayah Pemprov DKI atau Kepolisian. Menurut pengakuan
Subandi, ia mendapat permintaan dari pimpinan Kompas agar Tramtib menertibkan aksi spanduk
tersebut. Alasannya pimpinan Kompas keberatan dengan aksi spanduk itu.
"Lho, kalau keberatan, bukankah pimpinan Kompas seharusnya melapor ke polisi sehingga polisi yang
menertibkan kami, dan bukannya malah meminta ke Tramtib," tanya Edy.
Mendengar hal itu, Subandi lalu berkata, "Kami juga sudah bilang seperti itu pada Kompas," ujarnya.
Subandi pun mengendur. Apalagi setelah diyakinkan bahwa memang Komite berencana akan
menurunkan pada jam 17.00 WIB.
Akhirnya, puluhan Tramtib dan pimpinannya bersedia kembali ke kendaraaan di seberang rel. Setelah
memastikan mereka pergi, anggota Komite masih menunggu 10 menit sampai jarum jam menunjuk
pukul 17.00 WIB, sebelum menggulung spanduk sesuai rencana.
Meski demikian Hendrik Dikson Sirait menegaskan aksi spanduk itu akan berjalan lagi Kamis
(18/1/2007) besok. "Ini hak kami sebagai warga negara untuk menggelar unjuk rasa. Kalau Kompas
keberatan silahkan lapor ke polisi. Bukan dengan cara menggerakkan Tramtib untuk melindas aksi
kami," tegasnya.
Apalagi belakangan setelah dicek, Subandi bukan Kepala Sudin Pemrov DKI. Tetapi dia adalah Kepala
Suku Dinas Tramtib dan Linmas Walikota Jakarta Pusat. Walikota Jakarta Pusat sendiri sekarang dijabat
Muhayat yang dulu menjabat sebagai Kepala Humas Pemprov DKI. (ud/E5)
Labels: Kompas muhayat, tramtib
posted by KOMPAS @ 4:37 AM

0 comments

Mon day, Jan uary 15, 2007

Komisi IX Siap Gelar Kasus Wisudo


Senin, 15 Januari 2007, 14:58:30 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning menerima kedatangan wartawan
Kompas Bambang Wisudo, Senin siang (15/1). Namun kali ini, pertemuan tersebut bukan untuk
kepentingan wawancara jurnalisme.
"Pertemuan ini terkait PHK sepihak yang dilakukan pihak Kompas terhadap Wisudo. Kami melaporkan
persoalan ketenagakerjaan ini kepada Komisi IX," ujar Winuranto Adhi, anggota Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja, yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Aktivis AJI Jakarta tersebut mengatakan, atas laporan masalah perburuhan tersebut, Komisi IX akan
menggelar forum resmi di DPR, Senin mendatang. Komisi IX ingin mendengar penjelasan resmi soal
pemecatan yang dialami Wisudo.
Selain itu, Komisi IX juga akan mendengar laporan masalah perburuhan yang dialami oleh para
wartawan dan pekerja media massa. Selama ini, Komisi IX yang mengurusi masalah ketenagakerjaan,
belum pernah mendapat laporan resmi mengenai masalah perburuhan dalam bidang pers.
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja meminta agar Komisi IX segera memanggil pihak
manajemen Kompas yang mengeluarkan keputusan sepihak memecat Wisudo.
"Kami juga minta agar Komisi IX memonitor kasus PHK Wisudo," ujar Winuranto. adi

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

14 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

posted by KOMPAS @ 2:24 AM

0 comments

Demo KOMPAS Bergerak ke DPR


Senin, 15 Januari 2007, 11:55:31 WIB
Laporan: Herawatmo
Jakarta, Rakyat Merdeka. Lebih dari 30 aktivis Serikat Pekerja yang tergabung dalam Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Senin siang ini (15/1) menggelar spanduk sepanjang 120
meter di depan kantor Kompas.
Aksi hari ini merupakan aksi lanjutan, setelah spanduk terpanjang yang memecahkan rekor MURI ini
terpajang selama lima hari di depan Hotel Indonesia. Tidak ada reaksi dari manajemen Kompas, atas
pemasangan spanduk itu.
"Aksi ini dihadiri lebih dari 30 anggota Komite, pemasangan spanduk hari ini lancar," kata Koordinator
Non Litigasi KOMPAS Winuranto Adhi, kepada Situs Berita Rakyat Merdeka di sela-sela pemasangan
spanduk.
Winuranto menambahkan, aksi pemasangan spanduk kali ini Berbeda dengan aksi sebelumnya, spanduk
protes PHK wartawan sekaligus aktivis Serikat Pekerja Kompas, Bambang Wisudo, hanya akan terpasang
hingga tengah hari ini.
Para aktivis itu akan memindahkan spanduk protes terpanjang itu ke gedung DPR, dan akan digelar
selama proses dialog aktivis KOMPAS dengan Komisi IX DPR berlangsung.
"Kami akan meminta Komisi IX memanggil manajemen Kompas, karena telah bersikap dan bertindak
anti serikat pekerja. Selain itu, kami juga minta DPR memantau proses hukum kasus Kompas di
kepolisian," jelas Winuranto.
Rencananya, pukul 12.45 para aktivis KOMPAS ini akan beranjak dari kantor Kompas menuju DPR. Aksi
di kantor Kompas ini mendapat pengawalan aparat kepolisian Tanah Abang. atm
posted by KOMPAS @ 2:21 AM

0 comments

Aksi Spanduk Anti-Kompas Pindah Tempat


Minggu, 14 Januari 2007, 15:54:04 WIB
Laporan: Sholahudin Achm ad

Jakarta, Rakyat Merdeka. Bagi Anda yang belum sempat menonton aksi spanduk terpanjang yang
memecahkan rekor MURI, jangan khawatir. Senin besok (15/1), spanduk yang semula dipasang di
depan Hotel Indonesia itu akan dipasang kembali.
Tapi, lokasinya berpindah, yakni, ke depan kantor Kompas-Gramedia, Pal Merah, Jakarta Pusat.
Tepatnya, di jalan arteri dimana ada jalur rel kereta api di tengahnya. Spanduk dengan panjang 120
meter lebih tersebut, akan dipasang di sekitar halte Kompas.
Edy Haryadi Koordinator Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) yang menggelar aksi
spanduk tersebut mengatakan, dalam aksi lanjutan besok, tetap tidak ada pengerahan massa.
"Kami cuma memasang spanduk pagi-pagi, lalu siangnya datang ke Komisi IX DPR untuk mengadukan
masalah pemberangusan serikat pekerja Kompas," kata Edy saat dihubungi Situs Berita Rakyat
Merdeka, beberapa menit lalu.
Spanduk yang dipasang itu bertuliskan pesan-pesan perlawanan terhadap keputusan pemecatan
wartawan Kompas, Bambang Wisudo.
Wisudo dipecat November lalu, namun pemecatan tersebut ditolaknya karena cacat hukum. Selain itu,
PHK sepihak yang dilakukan oleh Pimpinan Redaksi Kompas itu dinilai sebagai upaya untuk
memberangus Perkumpulan Karyawan Kompas, dimana Wisudo menjabat sebagai sekretaris.
Sementara Pimred Kompas Suryopratomo, dalam keterangan resminya mengatakan PHK itu
dikarenakan Wisudo menolak dimutasi. Selain itu, kata Suryopratomo, Wisudo juga menimbulkan
keresahan di kalangan karyawan perusahaan media tersebut.
Keduanya dalam waktu dekat akan bertemu di pengadilan, setelah polisi selesai membuat BAP atas
laporan perbuatan tidak menyenangkan dan perampasan kemerdekaan yang dilaporkan Wisudo. adi
posted by KOMPAS @ 1:46 AM

0 comments

Sun day, Jan uary 14, 2007

Spanduk Tolak PHK Wisudo Terpampang di Kompas


Jakarta, Kompas Inside. Perlawanan terhadap pemberangusan serikat pekerja dan pemecatan
sepihak manajemen Kompas kepada Bambang Wisudo akan terus dilakukan, hingga PHK tersebut
dibatalkan.
"Senin hingga Jumat (8-12 Januari) lalu kita memasang spanduk sepanjang 120 meter di Bundaran HI.
Dalam satu minggu ini, spanduk terpanjang ini akan terpampang di depan Kantor Kompas, Jl Palmerah
No. 26-28, Jakarta," kata koordinator Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Edy
Haryadi.
Aksi pemasangan spanduk itu, akan dimulai Senin besok (15/1), dan halte Gramedia-Kompas yang
terletak di Jalan Palmerah, menjadi pooling (titik kumpul) aksi yang akan diadakan pada pukul pukul
09.30. Aksi pemasangan spanduk akan dilanjutkan pada Selasa hingga Jum'at (16-19/1).

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

15 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

"Aksi akan dimulai pukul 10.00 hingga 12.00, dan akan dilanjutkan audiensi dengan Komisi IX DPR RI
pada pukul 13.00. Kepada komisi yang membawahi masalah ketenagakerjaan inilah kita akan
melaporkan kasus PHK sepihak terhadap Bambang Wisudo," tambah Edy menjelaskan.
Menurut Edy, pemasangan spanduk ini akan dihadiri anggota Komite, yang terdiri dari berbagai elemen
pergerakan dan serikat pekerja. (mo/E4)
posted by KOMPAS @ 5:13 AM

0 comments

Friday, Jan uary 12, 2007

Aksi Spanduk Terpanjang di HI Berakhir Mulus


Jakarta, Kompas Inside. Meski di bawah bayang-bayang teror dan intimidasi, aksi spanduk anti
pemberangusan serikat pekerja Kompas sepanjang 120 meter di bunderan Hotel Indonesia (HI), hari
Jumat (12/1/2007) petang, berakhir mulus.
Aksi spanduk bertema pemberangusan serikat pekerja terpanjang yang pernah digelar di kawasan HI ini
sudah berjalan lima hari terhitung sejak hari Senin (8/1/2007). Aksi ini dgelar sejak pukul 10.00 WIB
sampai 17.00 WIB tiap harinya.
Menurut kesaksian beberapa petugas polisi di HI yang memonitor aksi, spanduk yang dipasang Komite
Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) ini merupakan spanduk terpanjang yang pernah
dipasang di kawasan HI alias wilayah Thamrin 1. Juga merupakan aksi spanduk terlama, karena
dilakukan selama lima hari berturut-turut.
"Sepengetahuan saya, belum pernah ada spanduk sepanjang ini dan terlama di pasang di HI. Palingpaling orang demo seharian di HI, lalu pulang," ujar seorang petugas reserse yang berbicara pada salah
satu panitia aksi.
Pengakuan serupa juga datang dari Papi (60), seorang karyawan di Plaza Indonesia. "Spanduknya
panjang sekali. Rasanya belum pernah ada spanduk sepanjang ini digelar di HI," kata petugas yang
sudah terbiasa melihat demo di dekat kantornya tersebut.
Pada hari Rabu (10/1/2007) lalu, seorang pengendara mobil yang mengaku kenal dekat dengan Jakob
Oetama malah sempat memarkir mobilnya di Plaza Indonesia sebelum datang jalan kaki ke lokasi aksi.
Lelaki setengah baya ini mengaku sudah dua hari lewat HI dan merasa penasaran membaca isi spanduk
tersebut.
"Wah, kalian berani melawan Kompas ya?," tanya bapak setengah baya ini heran saat pertama datang
ke panitia aksi. Tapi setelah membaca isi selebaran dan mendapat keterangan, bapak ini segera
mafhum.
Ia justru menyesalkan mengapa tindak kekerasan dan pemecatan Bambang Wisudo bisa terjadi di
Harian Kompas. "Saya ini teman baik JO. Saya akan telepon dia untuk menanyakan apa yang
sebenarnya terjadi," ujarnya pada salah satu panitia aksi sebelum pergi.
Tapi pada hari Rabu pula, petugas Tramtib dari Kecamatan dan Pemrov DKI beberapa kali
mengintimidasi panitia aksi untuk membubarkan diri dan menggulung spanduk. Alasannya, panitia aksi
belum meminta ijin ke Dinas Pendapatan Daerah seperti lazimnya iklan spanduk. Tapi upaya intimidasi
yang lucu itu tak membuat panitia aksi goyah.
Menurut kordinator lapangan aksi Odie Hudiyanto, aksi spanduk ini adalah bentuk solidaritas terhadap
kekerasan dan pemecatan tanpa prosedur yang menimpa Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas,
Bambang Wisudo.
Menurut Odie, aksi spanduk ini akan terus berjalan sampai pemecatan Bambang Wisudo dibatalkan.
Sebab, kata Odie, pemecatan Bambang Wisudo cacat hukum dan di luar prosedur PHK yang dijamin oleh
undang-undang.
"Pemecatan Bambang Wisudo juga melawan hukum, khususnya UU No 21/2000 tentang Serikat
Pekerja," ujar Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) ini. Sebab dalam UU No
21/2000 sudah ditegaskan setiap aktivis serikat pekerja dilarang dimutasi, apalagi dipecat. Tapi ini yang
terjadi pada wartawan senior Kompas Bambang Wisudo.
Menurut Odie, aksi spanduk sepanjang 120 meter itu, juga merupakan upaya pemberitahuan ke publik
tentang skandal pemberangusan aktivis serikat pekerja Kompas karena mempersoalkan saham kolektif
milik karyawan.
Terlebih Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo yang menandatangani surat pemecatan terhadap
Bambang Wisudo, ia dengar melakukan upaya serius melobi sejumlah pimpinan media massa untuk
memblokade berita tentang skandal pemberangusan aktivis serikat pekerja itu.
"Aksi ini menunjukkan, ada atau tidak ada pemberitaan, kita akan terus melakukan aksi untuk
mewartakan kesewenangan pimpinan Kompas terhadap buruhnya," tandas Odie. (ud/E4)
posted by KOMPAS @ 7:48 AM

0 comments

Thursday, Jan uary 11, 2007

Kompas Inside Tolak Perang Kotor ke Wisudo


Jakarta, Kompas Inside. Redaksi Kompas Inside mulai hari ini, Jumat (12/1), secara resmi
menyatakan kolom komentar pembaca (tag board) dihapus untuk selamanya.
Alasannya, kolom komentar pembaca kini sudah seperti milist-milist yang ada. Yakni telah menjadi
ajang untuk melancarkan perang kotor dan propaganda hitam yang dilakukan secara sistematis
terhadap Bambang Wisudo, korban pemberangusan serikat pekerja di harian Kompas.

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

16 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Apalagi setelah dilacak, berdasar alamat Internet Protocol (IP) Address, komputer yang mem-posting
serangan kotor dan kampanye hitam kepada Bambang Wisudo berasal kawasan grup bisnis yang berada
di bawah naungan lembaga yang melakukan kekerasan dan pemberangusan terhadap Bambang Wisudo
sebagai aktivis serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas. Semua serangan ke Bambang Wisudo
berasal dari IP Address yang sama.
Contoh salah satu posting yang merupakan bagian dari perang kotor itu adalah membuka berapa jumlah
upah Bambang Wisudo. Keterangan yang begitu detil dan rinci, jelas bukan tanpa sebab. Hanya petinggi
dan manajemen harian Kompas yang bisa mengerti berapa hak yang seharusnya diterima Bambang
Wisudo. Bambang Wisudo sendiri mengaku tidak pernah tahu begitu rinci berapa upah yang dia terima.
Karena itu dengan surat ini, Kompas Inside menyatakan akan kembali ke tujuan semula. Tujuan utama
pendirian Kompas Inside adalah untuk mendokumentasikan sekaligus mendobrak blokade pemberitaan
tentang pemberangusan Serikat Pekerja Kompas yang dilakukan oleh pimpinan Harian Kompas.
Bagi yang berkepentingan untuk melanjutkan perang kotor dan propaganda hitam ke Bambang Wisudo,
silahkan meneruskan ke milist-milist terbuka.
Namun demikian redaksi Kompas Inside tak menolak kritik. Bagi pembaca yang memiliki berita,
informasi, opini tentang perkembangan kasus Bambang Wisudo dipersilahkan mengirim ke alamat email
redaksi di lawan.kompas@gmail.com
posted by KOMPAS @ 8:39 PM

0 comments

Polisi Periksa Penyanderaan Wisudo


Jakarta, Kompas Inside. Tindak pidana perampasan kemerdekaan oleh satpam harian Kompas, Kamis
(11/1/2007), mulai ditindaklanjuti polisi.
Dengan didampingi Hendrayana, SH dan Agus, SH dari tim litigasi Komite Anti Pemberangusan Serikat
Pekerja Kompas (KOMPAS), Bambang Wisudo pagi ini hadir sebagai saksi pelapor tindak perampasan
kemerdekaan yang dilakukan satpam yang mengaku mendapat perintah dari pimpinan Kompas.
Atas laporan ini, satpam dan pimpinan Kompas yang menyuruh satpam terancam hukuman 8 tahun
penjara sesuai pasal 335 KUHP.
Bambang Wisudo diperiksa oleh Komisaris Polisi Watono SH dan Ajun Komisaris Polisi Herman Sukandi.
Dasarnya adalah pengaduan Bambang Wisudo tanggal 19 Desember 2006 lalu, dengan nomer laporan
4791/K/XII/2006 SPK Unit III.
Total pertanyaan yang harus dijawab Wisudo sebanyak 14 buah. Pemeriksaan yang berlangsung sejak
pukul 10.00 WIB baru berakhir pada pukul 16.00. Wisudo juga menyarankan agar polisi memeriksa
CCTV milik harian Kompas sekaligus menguji kesahihannya.
Dalam pemeriksaan, Bambang Wisudo menuturkan episode kekerasan yang ia alami bermula pada saat
membagikan leaflet yang berisi suratnya ke Jakob Oetama dan sikapnya selaku Sekretaris Perkumpulan
Karyawan Kompas yang menolak tegas mutasi ke Ambon. Karena hal itu memang dilarang oleh UU No
21/2000 tentang Serikat Pekerja.
Menurut Wisudo, awalnya dia membagi-bagikan leaflet itu ke karyawan di dekat lift dalam situasi relaks
pada pukul 15.30, Jumat 8 Desember 2006. Suasana berlangsung santai. Bambang malah sempat
tertawa-tawa dengan beberapa rekannya dari redaksi Kompas.
Lalu, datang seorang satpam perempuan meminta leaflet yang ia bagikan. Tak lama kemudian datang
Wakil Komandan Satpam, Kiraman Sinambela. Wisudo diminta ke pos. Tapi Wisudo menolak karena itu
adalah hak dia sebagai aktivis serikat pekerja. Lalu Kiraman Sinambela langsung membekuk, memiting,
sehingga Bambang Wisudo terseret dan terjatuh. Setelah terjatuh, ia digotong paksa oleh paling tidak
tiga orang satpam.
Sesampai di dalam Posko Satpam, Wisudo sempat dibiarkan selama setengah jam sendirian. Ia
juga sempat mendengar perintah dari luar, "Sterilkan ruangan ini. Tidak boleh seorang pun masuk."
Di dalam Posko Satpam Wisudo diinterogasi. Tapi karena menolak, ia tetap tak boleh keluar ruangan
pemeriksaan. "Mau sehari, seminggu atau setahun kamu di sini terserah," kata Kiraman Sinambela
mengancam Wisudo.
Bahkan untuk buang air kecil pun ia dikawal dua orang Satpam. Karena AC ruangan sangat dingin, ia
sempat meminta ijin mengambil jaket di redaksi Kompas, tapi tetap tak diijinkan.
Barulah setelah sekitar pukul 19.00 WIB ia dibawa keluar oleh beberapa pengurus Perkumpulan
Karyawan Kompas dan General Manager SDM Bambang Sukartiono. Ia lalu dibawa ke ruangan Pemimpin
Redaksi Kompas Suryopratomo untuk menerima surat pemecatan.
Setelah keluar, Wisudo baru tahu bahwa teman-teman yang sempat ia hubungi saat ia berada ditahan di
ruang satpam sudah berada di depan Posko Satpam Kompas sejak pukul 17.15 WIB. Tapi sampai jam
19.00 WIB, mereka tak boleh menjengguk Wisudo.
Malah, seorang satpam menantang teman-temannya, "Silahkan saja lapor ke polisi, kami di sini punya
hak memeriksa," kata seorang staf SDMU Kompas, Suharno. Barulah setelah mendengar kawan-kawan
Bambang Wisudo serius melaporkan perampasan kemerdekaan itu di Polsek Tanah Abang, Wisudo
dibebaskan dari pos Satpam. (hag/E3)
posted by KOMPAS @ 1:50 AM

0 comments

Wednesday, Jan uary 10, 2007

Aksi Spanduk Anti-Kompas Dihalau Tramtib

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

17 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Rabu, 10 Januari 2007, 19:31:07 WIB


Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Aksi pemasangan spanduk sepanjang lebih dari 120 meter yang dilakukan
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) untuk membela perjuangan wartawan Kompas
Bambang Wisudo mendapatkan perlawanan.
Padahal, aksi yang dimulai sejak Senin siang lalu (8/1), yang dibentangkan di depan bundaran Hotel
Indonesia itu hingga Selasa kemarin masih aman-aman saja. Namun Rabu ini, aksi yang memecahkan
rekor MURI untuk spanduk terpanjang tersebut mendapatkan hadangan dari petugas Tramtib DKI.
Odie Hudiyanto koordinator lapangan aksi tersebut mengatakan, pada hari Senin dan Selasa lalu pihak
kepolisian maupun keamanan Hotel Indonesia bisa mengerti tentang aksi spanduk itu, setelah
ditunjukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian.
"Persoalan bukan datang dari polisi," kata Odie kepada Situs Berita Rakyat Merdeka sore ini (10/1).
Dia mengungkapkan, beberapa orang yang diduga sebagai mata-mata dari Kompas datang untuk
mengambil gambar lewat foto ponsel maupun handycam pada hari Senin dan Selasa. Lalu, pada Rabu
ini, hari ketiga spanduk itu dipasang, aparat Keamanan dan Ketertiban (Tramtib) Kecamatan datang
untuk melarang pihaknya melanjutkan aksi spanduk itu.
"Tapi setelah berdebat bahwa yang berhak melarang bukan Tramtib melainkan kepolisian, mereka pamit
setelah diberi surat pemberitahuan ke polisi," ujarnya.
Tak lama berselang, giliran Tramtib dari Pemprov DKI Jakarta yang datang. Maka, terjadi lagi adu
argumen lagi. Setelah berdebat, mereka meminta agar Komite mengirimkan surat ijin lewat faksimili ke
kantor tramtib. Tapi saat nomor yang diberikan difaksimili, ternyata tak bisa menerima.
Menurut Odie, bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan telah mencoba membungkam aksi yang
mewartakan ke publik tentang apa yang terjadi di harian Kompas.
"Saya pikir, ini bukan murni datang dari inisiatif Tramtib. Tapi karena ada pihak-pihak yang merasa
harus membungkam aksi ini. Lewat polisi, mereka tidak bisa intervensi. Lalu kemudian mencoba
menggunakan Tramtib," ujar Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) ini.
Spanduk yang dipasang di muka Hotel Indonesia tersebut, diantaranya bertuliskan, Suryopratomo: Anda
Preman atau Pemimpin Redaksi dan Tolak PHK Bambang Wisudo adi
posted by KOMPAS @ 6:37 AM

0 comments

Pimred Kompas Terancam Kurungan 1 Tahun Penjara


Rabu, 10 Januari 2007, 12:30:43 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Sholeh Ali anggota tim kuasa hukum Bambang Wisudo, wartawan Kompas
yang dipecat sepihak beberapa waktu lalu, berharap pihak penyidik Polda Metro Jaya segera memanggil
Pimpinan Redaksi Kompas Suryopratomo, dan empat orang petugas satpam yang menyekap Wisudo.
"Karena kemarin (Selasa, 9/1) Wisudo sudah dipanggil sebagai saksi pelapor, dan besok akan dipanggil
lagi dalam kasus penyekapan terhadap dirinya. Dengan demikian, tim penyidik polisi juga harus segera
memanggil para terlapor (pelaku, red) dan saksi-saksi lainnya," ujar Sholeh Ali, saat dihubungi Situs
Berita Rakyat Merdeka siang ini (Rabu, 10/1).
Sholeh mengatakan, pihaknya membuat dua laporan untuk dua kasus yang berbeda ke polisi, terkait
kasus Bambang Wisudo vs Kompas.
Dalam laporan pertama, Wisudo melaporkan Suryopratomo ke polisi dengan tuduhan melakukan
perbuatan tidak menyenangkan. Sesuai pasal 335 KUHP, ancaman maksimal terhadap Pimpinan Redaksi
harian ternama itu adalah hukuman kurungan penjara maksimal 1 tahun.
Laporan itu terkait Surat Pemberitahuan tentang PHK Wisudo yang dibuat Suryopratomo bertanggal 8
Desember 2006, yang menuduh Wisudo telah menimbulkan keresahan kepada karyawan Kompas
lainnya.
"Surat itu membuat Wisudo merasa dilecehkan, dianggap sebagai pelaku kriminal, dan telah diganggu
haknya untuk berserikat dan berkumpul," ujar Sholeh.
Sementara itu, laporan kedua dari tim kuasa hukum Wisudo, adalah kasus penyekapan Wisudo yang
dilakukan oleh empat orang petugas satpam Kompas.
Sholeh mengatakan pelaku diancam dengan pasal berlapis, pasal 333 KUHP mengenai perampasan
kemerdekaan, dan pasal 335 KUHP. Kamis besok Wisudo akan diperiksa sebagai saksi pelapor dalam
kasus yang bukan merupakan delik aduan itu. Terlapor, dalam hal ini Wakil Kepala Satpam Kompas
Kiraman Sinambela dan anggotanya, terancam kurungan penjara selama 8 tahun.
"Kami berharap tim penyidik Polda Metro Jaya segera mempidanakan kasus ini ke pengadilan," kata
pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers tersebut. adi
posted by KOMPAS @ 6:33 AM

0 comments

Tuesday, Janu ary 9, 2007

Intimidasi dan Teror Warnai Aksi Spanduk

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

18 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Jakarta, Kompas Inside. Aksi spanduk bertema anti pemberangusan serikat pekerja Kompas untuk
memecahan rekor Musium Rekor Indonesia (MURI) ternyata membuat gerah. Akibatnya intimidasi dan
teror datang silih berganti.
Aksi ini sendiri digagas Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) sebagai bentuk
solidaritas terhadap Bambang Wisudo. Sekteraris Perkumpulan Karyawan Kompas ini mengalami
kekerasan sebelum dipecat karena aktivitasnya mengutak-atik saham kolektif 20 persen milik karyawan
harian terbesar di Indonesia tersebut.
Untuk itu, surat pemberitahuan ke polisi melalui Polda Metro Jaya tentang aksi spanduk itu sudah
dilayangkan Komite. Aksi spanduk ini sendiri akan berlangsung mulai hari Senin (8/1/2007) hingga
Jumat (12/1/2007) sejak pukul 10.00-17.00 WIB, setiap harinya.
Pada hari pertama dan kedua, aksi berjalan lancar. Pihak kepolisian maupun keamanan Hotel Indonesia,
bisa mengerti tentang aksi spanduk itu setelah ditunjukkan surat pemberitahuan ke pihak kepolisian.
Pada hari pertama dan kedua, beberapa mata-mata yang diduga berasal dari Harian Kompas datang
untuk mengambil gambar lewat foto HP maupun handycam.
Namun pada hari ketiga, Rabu (10/1/2007), persoalan datang bukan dari aparat kepolisian. Melainkan
justru dari aparat Keamanan dan Ketertiban (Tramtib). Pada pukul 10.00 WIB, beberapa petugas dari
Kecamatan sempat melarang untuk melanjutkan aksi.
Tapi setelah berdebat bahwa yang berhak melarang bukan Tramtib melainkan kepolisian, mereka pamit
setelah diberi surat pemberitahuan ke polisi.
Tak lama berselang, giliran Tramtib dari Pemprov DKI Jakarta yang datang. Maka, terjadi lagi adu
argumen antara Kordinator Lapangan aksi Odie Hudiyanto dengan komandan Tramtib yang mengaku
hanya menjalankan perintah atasan. Setelah berdebat, mereka meminta agar Komite memfaks surat ijin
ke kantor Tramtib dengan nomer 915638. Tapi saat difaks, nomer tersebut tak bisa menerima.
Menurut Odie, bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan telah mencoba membungkam aksi yang
mewartakan ke publik tentang apa yang terjadi di harian Kompas.
"Saya pikir, ini bukan murni datang dari inisiatif Tramtib. Tapi karena ada pihak-pihak yang merasa
harus membungkam aksi ini. Lewat polisi, mereka tidak bisa intervensi. Lalu kemudian mencoba
menggunakan Tramtib," ujar Odie yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Federasi Serikat
Pekerja Mandiri (FSPM) ini. (bon/E1)
posted by KOMPAS @ 10:45 PM

0 comments

Ketika si Jablay "Nyelonong Masuk" Sidang


[10/1/07]
sumber www.hukumonline.com
Kehadiran Titi Kamal mencairkan panasnya suasana sidang mediasi kasus pemecatan wartawan senior
Harian Kompas Bambang Wisudo.
Senin (8/1) siang di Gedung Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaketrans) Provinsi DKI Jakarta.
Kala itu dihelat sidang mediasi kasus pemecatan wartawan senior Harian Kompas Bambang Wisudo.
Sedianya sidang dimulai pada pukul 14:00 WIB. Seakan menjadi budaya jam karet, sidang yang
ditunggu-tunggu ini dibuka 30 menit lebih lambat dari jadwal.
Sidang itu digelar di sebuah bilik ruangan yang terletak hampir mentok di pojok lorong. Ruang itu begitu
pengap tanpa sirkulasi udara dan hanya berukuran kira-kira 3 x 5 meter sangat sesak jika diisi dua
puluhan orang. Kecilnya volume AC takkan mampu menyurutkan rasa gerah.
Di balik ruang yang tersekat dinding tripleks itu terdengar suara perdebatan tentang hubungan kerja
mungkin juga berlangsung sidang kasus lainnya di ruang sebelah. Kepala Seksi Perselisihan Hubungan
Kerja Disnakertrans DKI Jakarta Rindjan Saragih mulai mempersilahkan kubu Bambang memasuki
ruangan. Kali ini Rindjan bertindak sebagai mediator. Dia didampingi oleh mediator Disnakertrans DKI
Jakarta Lindessa Purba yang bertindak sebagai notulis sidang.
Di dalam ruangan telah menunggu empat orang kuasa hukum PT Kompas Media Nusantara (KMN)
Frans Lakaseru, Untung Herminanto, Agung Yuwono, dan Arya Bagaskoro. Lalu, masuklah Bambang
bersama kuasa hukumnya. Rindjan mulai merapalkan kalimat pembuka. "Terima kasih atas kesediaan
Bapak dan Ibu sekalian, mendatangi sidang mediasi karyawan Harian Kompas ini"
Belum tuntas membuka acara, penjelasan Rindjan terpotong Direktur Trade Union Research Center
(TURC) Surya Tjandra salah satu kuasa hukum Bambang. "Mohon maaf, menurut kami belum ada
sidang mediasi. Proses bipartit saja belum pernah terjadi," sergahnya.
Tak mau kehilangan wibawa, Rindjan pun menimpali, "Biarkan saya selesai ngomong"
Surya tak menggubris. "Sebelumnya mohon diperkenalkan dulu siapa saja yang ada di depan kita ini,"
ujar Surya sambil menunjuk Frans cs.
Rindjan membalas, "Biarkan saya selesaikan omongan saya dulu. Saya tahu maksud Saudara. Nanti toh
akan saya perkenalkan. Satu per satu dulu lah," selorohnya dengan logat Batak kental.
Surya makin menyodok, "Intinya kami menolak sidang mediasi ini. Belum ada forum bipartit. Secara
legal pun PHK Bambang ini tidak sah."
Merasa memperoleh momen yang tepat, Bambang pun ikut nyemplung. "Yang menandatangani surat
PHK adalah Suryopratomo seorang pemimpin redaksi. Seharusnya Pak Jakob Oetama Pemimpin
Umum Harian Kompas. Pak Jakob yang mengangkat saya sebagai karyawan. Anda jangan melangkahi
Pak Jakob loh. Pak Jakob belum mati," gertak Bambang kepada kuasa hukum KMN dengan nada tinggi.

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

19 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Rindjan mencoba menengahi. "Sudah. Yang penting kan jalan yang terbaik buat kedua pihak. Oke, mari
memperkenalkan diri satu per satu," ujarnya sambil meminta daftar hadir yang dipegang oleh Lindessa.
"Pak Frans, Pak Untung, dan Pak Agung. Dari pihak KMN" Rindjan membaca daftar absen tersebut
dengan suara tegas. Dilanjutkan membaca nama-nama dari kubu Bambang.
Belum kelar Rindjan menarik napas guna melanjutkan percakapan, Bambang menyela, "Pak Untung itu
karyawan Gramedia Grup loh. Bukan karyawan KMN. Gimana ini?"
Untung pun tergagap menjelaskan, "Kami sudah ditunjuk sebagai kuasa hukum KMN. Ada surat
kuasanya. Enggak usah mempermasalahkan hal yang membuat melenceng," tuturnya dengan suara
lirih.
Horas Siringoringo, Ketua Divisi Non Litigasi LBH Pers yang juga menjadi kuasa hukum Bambang,
nimbrung juga. "Kami khawatir ada peserta gelap di sidang ini," repetnya sambil menunjuk Arya yang
tak disebutkan Rindjan dari daftar absen.
"Sebenarnya saya tadi mau ngisi daftar hadir, tapi keburu diambil Pak Rindjan," ujar Arya sambil
menggaruk kepala plontosnya.
Suasana pun tersendat karena kedua pihak makin memanas. Sejurus terdengar sepenggal lirik lagu,
"Pergi tamasya ke Binaria" Rupanya suara itu nada panggil (ringtone) telepon genggam Rindjan.
Buru-buru si empunya hape membunuh suara soundtrack film Mendadak Dangdut yang dilakoni Titi
Kamal itu.
Hawa tegang pun sejurus melumer menjadi ledak tawa. Sempitnya ruangan seakan runtuh ditingkah
cekakakan para peserta sidang. "Suka sama jablay yah Pak?" celetuk salah satu peserta sidang.
Rindjan masih berusaha menjaga muka, "Biasanya sih saya matiin hape kalau sidang. Cuma kali ini saja
saya kelupaan," kelitnya memberi alasan. "Kalau begini kan santai. Tak perlu emosi Bapak-bapak,"
sambungnya.
Acara pun berlanjut. Pintu dibuka dari luar. Rupanya seorang juru kamera sebuah stasiun televisi
tergopoh-gopoh terlambat masuk. Rindjan akhirnya mengabulkan permohonan Bambang membatalkan
proses mediasi. Kedua pihak diminta segera menggelar pertemuan bipartit selambat-lambatnya 30 hari
setelah sidang ini.
"Saya berharap tak perlu repot-repot ketemu Bapak-bapak lagi. Artinya, cukup selesai di tahap bipartit
supaya menguntungkan kedua pihak," pungkas Rindjan yang dalam waktu dekat akan menikmati masa
pensiun ini sambil mengulum senyum kecut.
Biar tak ketanggor si Jablay lagi yah Pak? (CRY)
posted by KOMPAS @ 10:43 PM

0 comments

Polisi Mulai Periksa Pengaduan Bambang Wisudo


Jakarta, Kompas Inside. Kepolisian RI mulai memeriksa pengaduan Bambang Wisudo dalam kasus
perbuatan tidak menyenangkan Pemimpin Redaksi Kompas, Suropratomo.
Pada hari Selasa (9/1/2007) kemarin, sekitar pukul 09.00 WIB, Bambang Wisudo memenuhi surat
panggilan polisi bernomer SPGL/318/2007/Dit Reskrimum Polda Metro Haya dalam kapasitasnya sebagai
saksi pelapor. Wisudo datang ditemani beberapa kuasa hukumnya dari Komite Anti Peberangusan
Serikat Pekerja (KOMPAS). Kuasa hukum yang mendampingi antara lain Ori Rahman dari Kontras dan
Sholeh Ali dari LBH Pers.
Setelah tiba, Wisudo diperiksa sebagai saksi pelapor oleh penyidik Briptu Aziz Riyanto di ruang 11-1
Lantai 2 Unit IV Sat Renakta Dit Reskrimum, Polda Metro Jaya.
Seperti diketahui, Bambang Wisudo melaporkan Suryopratomo dengan dakwaan Perbuatan Tidak
Menyenangkan seperti dimaksud pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peristiwa yang
diadukan adalah pada saat Wisudo menerima surat pemecatan yang ditanda-tangani Suryopratomo.
Dalam pemeriksaan, Bambang melaporkan Suryopratomo selaku Pemimpin Redaksi harian Kompas
karena merasa dirugikan, dan diganggu nama baiknya atas surat pemberitahuan No 074/Red
/SDM/XII/2006 tertanggal 8 Desember 2006 yang ditanda-tangani Suryopratomo.
Dalam surat yang ditanda-tangani Suropratomo itu Bambang Wisudo dituduh telah, "memutarbalikkan
fakta, dan perbuatan tidak menyenangkan kepada Perusahaan yang telah menimbulkan keresahan
kepada karyawan lain atas tindakan Sdr Bambang wisudo yang telah menyebarkan selebaran di
lingkungan Perusahaan kepada karyawan lain."
Atas dasar itu Bambang Wisudo merasa dia telah dilecehkan dan dianggap pelaku kriminal oleh
Suryopratomo. Dia juga merasa telah diganggu haknya untuk berserikat dan berkumpul seperti diatur
dalam UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja.
Pemeriksaan terhadap Bambang Wisudo baru berkahir setelah empat jam. Penyelidikan itu sendiri
berjalan lancar.
Menurut jadwal, Kamis (11/1/2007) pagi besok Bambang Wisudo akan kembali diperiksa sebagai saksi
pelapor dalam laporan perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh Wakil Komandan Satpam K
Sinambela yang mengaku diperintah atasan. Untuk laporan perampasan kemerdekaan, satpam dan
atasan yang memerintahkan diancam hukuman 8 tahun penjara. (al/E2)
posted by KOMPAS @ 9:08 PM

0 comments

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

20 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Dari Disnaker: PHK Wisudo Cacat Hukum


Jakarta, Kompas Inside. Tim pengacara dari Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
berhasil mendesak mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi DKI
Jakarta untuk membatalkan sidang mediasi antara wartawan Kompas, Bambang Wisudo dan PT Kompas
Media Nusantara (KMN), Senin (8/1) siang.
Tim pengacara berargumen, sidang mediasi tripartit untuk mengesahkan pemecatan Bambang Wisudo
tersebut cacat hukum. Karena perundingan bipartit sama sekali belum pernah dilakukan. Tanpa ada
proses dialog, Suryopratomo, pemimpin redaksi Kompas langsung memecat Bambang Wisudo.
Persidangan yang digelar di sebuah bilik ruangan sempit di lantai satu gedung Disnakertrans itu
berlangsung panas kemarin. Rindjan Saragih Kepala Seksi Perselisihan Hubungan Kerja Disnakertrans
DKI berulang kali mendapatkan kecaman karena sempat bersikeras menyatakan sidang yang
dipimpinnya itu merupakan bagian dari sidang mediasi.
"Kami menolak sidang mediasi ini karena sebelumnya belum pernah terjadi forum bipartit. Jadi PHK
terhadap Bambang Wisudo ini tidak sah," kata Direktur Trade Union Research Center (TURC) Surya
Tjandra, SH, LLM, salah satu kuasa hukum Wisudo.
Surya pun mengusulkan agar pertemuan bipartit terjadi langsung dengan Jakob Oetama selaku
Pimpinan Umum Harian Kompas dan Bambang Wisudo. PT Media Nusantara tidak perlu diwakili orang
lain, apalagi Suryopratomo.
Dalam forum tersebut Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) juga sempat
mempertanyakan kejelasan status kuasa hukum PT KMN yang diwakili Frans Lakaseru, Untung
Herminanto, Agung Yuwono, dan Arya Bagaskoro.
"Pak Untung itu karyawan Gramedia Grup. Bukan karyawan KMN," kata Wisudo yang juga
mempertanyakan kewenangan Suryopratomo mengeluarkan surat pemecatan terhadap dirinya
Namun, menurut Untung, dia dan kawan-kawannya secara sah ditunjuk sebagai kuasa hukum oleh
Suryopratomo yang disebutnya sebagai direksi Kompas. "Kami sudah ditunjuk sebagai kuasa hukum.
Ada surat kuasanya. Jangan mempermasalahkan hal yang bisa membuat melenceng," jawab Untung
yang selalu tampil mengawal Kompas-Gramedia jika kelompok ini terlibat perselisihan tenaga kerja
dengan karyawannya.
Namun suasana yang memanas di dalam ruangan itu sempat terinterupsi dengan munculnya dering lagu
'Jablai' (Jarang Dibelai) yang dilantunkan Titi Kamal.
Usut punya usut ternyata lagu tersebut keluar dari telepon genggam Rindjan Saragih yang tampak
menyembul di balik sarungnya yang dililitkan di pinggang. Semua orang yang hadir di ruangan tersebut
kontan jadi terbahak-bahak.
Hari Nugroho dari AJI Jakarta yang merekam persidangan tersebut menghardik Rindjan yang lupa
mematikan telepon genggamnya. Dia berusaha tenang menjaga wibawa. "Biasanya saya selalu
mematikan handphone kalau sidang. Cuma kali ini lupa," katanya beralasan.
Setelah peristiwa itu Rindjan bersedia mengabulkan permohonan tim pengacara Bambang Wisudo untuk
membatalkan proses mediasi. Kedua pihak diminta segera menggelar pertemuan bipartit.
Dalam sidang tersebut, Wisudo mendapatkan dukungan dari puluhan anggota Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja. Ati Nurbaiti, jurnalis senior Jakarta Post yang juga bekas Ketua Umum
AJI Indonesia tampak terlihat memberi dukungan moral. (Wn/E2)
posted by KOMPAS @ 3:07 AM

0 comments

Monday, Janu ary 8, 2007

Spanduk Anti-Kompas Pecahkan Rekor MURI


Senin, 08 Januari 2007, 11:58:15 WIB
Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Sebuah spanduk yang dibentangkan oleh Komite Anti-Pemberangusan
Serikat Pekerja Wartawan Kompas di depan Hotel Grand Indonesia diklaim telah memecahkan rekor
Museum Rekor Indonesia (Muri).
Spanduk berkain putih itu panjangnya mencapai 120 meter yang dipasang di sisi jalan Bundaran HI,
Jakarta Pusat pada Senin siang ini (8/1). Sebelumnya, spanduk terpanjang yang masuk rekor Muri
adalah 80 meter.
Pemasangan spanduk tersebut merupakan ungkapan protes dan kekecewaan dari seorang wartawan
Kompas bernama Bambang Wisudo yang dipecat oleh bos Kelompok Kompas Gramedia Jacob Oetama
karena dianggap "mbalelo".
Isi spanduk itu pun juga memuat nada-nada kecaman, seperti "Hai, Suryopratomo (Pemred Harian
Umum Kompas), Anda preman atau Pemimpin Redaksi Sih?."
Lalu, ada lagi tulisan besar berwarna hitam, "Kompas: Mata Hati, Kata Hati, Sudah Mati!". Isi spanduk
yang lainnya antara lain, "Lawan Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas", serta "Tolak PHK Wartawan
Kompas Bambang Wisudo."
Pemasangan spanduk terpanjang di Bundaran HI ini diakui Odie Hudianto dari Komite
Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) ini merupakan aksi lanjutan dari bentuk perlawanan atas
sikap manajemen Kompas yang telah memecat Bambang Wisudo.
Bahkan, dua pekan lalu, kantor redaksi Kompas di Jalan Palmerah Selatan pun juga di demo ratusan

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

21 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

massa gabungan seperti dari AJI Jakarta serta elemen LSM pro-Bambang Wisudo. iga
posted by KOMPAS @ 3:23 AM

0 comments

Aksi Spanduk Tolak Pemecatan Wartawan 'Kompas'


Author : Yulianti
Mon, 08 Jan 2007 13:37:11
sumber: www.vhrmedia.net
Aksi Spanduk Tolak Pemecatan Wartawan 'Kompas'
Jakarta. Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) menggelar aksi pemasangan spanduk
di depan Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (8/1) siang. Mereka menolak pemecatan wartawan Bambang
Wisudo oleh Pemimpin Redaksi Kompas yang dinilai sewenang-wenang.
Spanduk putih sepanjang 120 meter yang dibentangkan itu berisi berbagai gugatan. Antara lain,
"Kompas Mata Hati, Kata Hati Sudah Mati", "Suryapratomo, Anda Pemred atau Preman", "Lawan
Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas", "Tolak PHK Karyawan Bambang Wisudo".
Juru bicara aksi Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) Odie Hudiyanto mengatakan,
aksi pemasangan spanduk itu tidak dibatasi waktu hingga kasus pemecatan wartawan senior koran
Kompas Bambang Wisudo selesai.
Lokasi pemasangan spanduk itu akan menjadi tempat berkumpul wartawan yang bersimpati terhadap
Bambang Wisudo. "Sampai Kompas bertemu dengan kami, dan menyelesaikan dengan baik. Paling tidak
Bambang Wisudo dapat bekerja kembali di Kompas," ujarnya.
Komite Anti-Pemberangusan Serikat Pekerja menilai Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo memecat
Bambang Wisudo secara sepihak. Semestinya bila akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Kompas meminta izin ke lembaga penyelesaian perburuhan Departemen Tenaga Kerja.
Seperti pernah diberitakan, kasus pemecatan wartawan senior Bambang Wisudo kini ditangani
Kepolisian Metro Jakarta Raya. Bambang Wisudo melaporkan Pemimpin Redaksi Kompas Suryo Pratomo
atas perbuatan tidak menyenangkan karena telah melakukan aksi kekerasan.
Bambang Wisudo adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang berjuang menuntut hak
pekerja atas 20% saham PT Kompas Media Nusantara. (Yulianti/E5)
posted by KOMPAS @ 3:15 AM

0 comments

Saturday, Janu ary 6, 2007

Wisudo Hadiri Rapat PKK, Kompas Tegang


Wisudo Hadiri Rapat PKK, Kompas Tegang
Jakarta, Kompas Inside. Serikat pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) lagi-lagi buat kejutan.
Setelah membuat surat protes ke manajemen berisi penolakan pemecatan Bambang Wisudo karena
kegiatannya sebagai Sekretaris PKK, Jumat (5/1/2007) kemarin, PKK mengundang Bambang Wisudo
menghadiri rapat pengurus PKK.
Rapat pengurus PKK itu sendiri kemarin berjalan mulus. Bambang Wisudo bisa hadir dan mengikuti
rapat pengurus sampai selesai, sejak pukul 15.00-18.00 WIB. Walau demikian, ketegangan dan
kegugupan di kalangan pimpinan dan satpam Kompas atas kehadiran Bambang Wisudo tak bisa ditutuptutupi.
Maklum, ruang rapat pengurus PKK yang terletak di Lantai II Gedung harian Kompas, jaraknya tak
sampai 100 meter dari tempat Bambang mengalami kekerasan. Pada tanggal 8 Desember 2006,
Bambang memang sempat dibekuk, dipiting, diseret paksa sebelum disandera satpam Kompas selama
dua jam tanggal 8 Desember 2006 lalu. Para satpam mengaku hanya menjalankan perintah atasan.
Apalagi, dalam surat pemecatan Bambang Wisudo yang ditanda-tangani Pemimpin Redaksi Kompas
Suryopratomo, secara tegas disebutkan bahwa Bambang Wisudo dilarang memasuki areal Gedung
Kompas terhitung sejak tanggal 9 Desember 2006.
Undangan Resmi
Cerita kehadiran Bambang Wisudo itu bermula dari undangan rapat resmi pengurus PKK. Undangan
rapat itu ditanda-tangani Ketua PKK, Syahnan Rangkuti. Surat undangan resmi itu dikirim melalui faks
ke Sekretariat Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), Kamis (4/1/2007) sekitar pukul
19.30 WIB.
Ketua PKK Syahnan Rangkuti melalui telepon mengatakan pada Bambang Wisudo bahwa kehadirannya
di tempat Bambang mengalami kekerasan dan penyanderaan, sudah dijamin. Menurut Syahnan,
kehadiran Bambang Wisudo di Gedung Harian Kompas sudah mendapat ijin oleh Bambang Sukartiono
(Manager SDMU Harian Kompas).
Apalagi PKK merupakan sebuah serikat pekerja yang sudah terdaftar secara resmi di Depnaker. Dan
dalam salah satu pasal UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja, memang secara tegas disebutkan
manajemen dilarang menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja yang sah.
Komite sendiri menilai, dalam konteks undangan, jelas PKK tak mengakui bahwa Bambang Wisudo
sudah resmi dipecat. Karena itu dia berhak hadir sebagai pengurus PKK.
Walau sudah mendapat jaminan PKK, Komite merasa perlu mengutus dua pengacara untuk
mendampingi Bambang Wisudo. Tujuannya untuk menghindari terulangnya peritiswa kekerasan dan
penyanderaan seperti yang dialami oleh Bambang tanggal 8 Desember lalu.

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

22 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

Pimpinan Kompas dan Satpam Tegang


Maka, pada hari Jumat, 5 Januari 2007, pukul 14.30 WIB, dua anggota tim litigasi Komite Anti
Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) Sholeh Ali dan Horas Siringgo-Ringgo bersama Bambang
Wisudo, datang ke Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan No 22, Jakarta Pusat.
Ketika Bambang dan dua anggota Komite datang, enam orang petugas sekuriti Kompas sudah
berjaga-jaga di pintu gerbang utama. Karena itu Bambang kemudian memilih menggunakan jalan
samping, melewati pos sekuriti di mana Bambang sempat dirampas kemerdekaannya selama dua jam.
Setelah tiba di lobi Gedung harian Kompas bersama dua orang tim litigasi Komite, suasana lobi terlihat
lenggang. Hanya terlihat tiga orang sekuriti dengan paras wajah tegang dan terlihat sibuk
berkomunikasi. Bambang kemudian masuk ke toilet tamu di ruang lobi. Saat ia keluar, jumlah satpam
sudah bertambah menjadi 10 orang.
Setelah keluar dari toilet, Bambang bersama dua kuasa hukumnya duduk di lobi. Saat itu seorang
satpam mendekati. Dengan sopan, satpam mengarahkan Bambang dan tim litigasi Komite untuk pindah
ke ruang bekas Humas yang berada di Gedung Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang berada di seberang
jalan Gedung Utama Harian Kompas.
Sudah diberi tempat. Di sana makanan dan minuman sudah disediakan dan tempatnya lebih nyaman,
ujar seorang satpam.
PKK Tolak Trik Manajemen
Sadar bahwa itu hanya trik manajemen Kompas untuk mencoba akomodatif tapi sekaligus tetap
menjalankan isi surat PHK yang ditanda-tangani Pemred Kompas Suryopratomo bahwa Bambang tidak
boleh berada di lingkungan Gedung Kompas, Bambang dan kuasa hukumnya menolak.
Bambang lalu menelepon Syahnan sekaligus mengabarkan bahwa ia sudah ada di lobi. Paras wajah
satpam terlihat tegang dan terus-menerus terjadi komunikasi melalui HT.
Petugas sekuriti tak putus asa. Mereka terus membujuk agar Bambang pindah ke gedung seberang
dengan alasan ruang pertemuan PKK dipindah. Kata satpam, makanan dan minuman juga telah
tersedia. Namun permintaan itu tidak diacuhkan.
Ketegangan baru pecah setelah Syahnan Rangkuti turun menemui Bambang dan tim litigasi Komite di
ruang lobi. Syahnan membenarkan bahwa ia mendapat SMS dan telepon dari Redaktur Pelaksana
Kompas, Trias Kuncahyono, bahwa ruang untuk pertemuan pengurus PKK dipindah ke ruang eks Humas
KKG di Gedung BBJ yang letaknya di seberang Gedung kompas dengan alasan sudah disediakan
makanan dan minuman serta ruanganya lebih dingin.
Tapi usul itu ditolak oleh Syahnan dan pengurus PKK. Alasannya, sekretariat PKK sudah nyaman untuk
menggelar rapat. Jadi PKK merasa tidak perlu memindah lokasi rapat. Lokasi rapat tetap berada di
dalam areal Gedung harian Kompas, tempat Bambang Wisudo menurut Pemred Suryopratomo tak boleh
lagi menginjakkan kakinya terhitung sejak tanggal 9 Desember 2006.
Maka, Syahnan beserta Bambang dan dua tim litigasi dari Komite menuju ruang rapat yang terletak di
lantai II. Di sana sudah menunggu lima orang pengurus PKK lainnya.
Setelah mengantar Bambang dengan selamat, Sholeh Ali dan Horas Sirionggo-Ringgo pun pamit pulang.
Rapat penguus PKK itu sendiri akhirnya berjalan mulus. (KI/E2)
posted by KOMPAS @ 1:02 AM

0 comments

Surat Komite ke MURI


(ctt: surat ini sudah dikirimkan ke muri melalui email ke info@muri.org)

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja


(Kompas)
Jl. Dr. Soepomo No.1A Komplek BIER Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870
Tlp./Faks: 021-83702660,
CP: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)

-------------------------------------------------------------------------------------------untuk mengikuti perkembangan kasus ikuti


http://kompasinside.blogspot.com
------------------------------------------------------------------------------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi
Nasional Bhineka Tunggal Ikka (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat
Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tanggerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH
APIK, PPR, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, SP 68H, GMS, Kabar, Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar
Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta

------------------------------------------------------------------------------------------------

Kepada Yth:
Musium Rekor Indonesia (MURI)
Di tempat
Hal : Pemberitahuan Pemecahan Rekor
Lampiran : 1 (satu) halaman
Dengan hormat,
Bersama ini surat, kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
dengan ini memberitahu Museum Rekor Indonesia (MURI) bahwa kami akan mengadakan aksi gelar

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

23 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

spanduk anti pemberangusan serikat pekerja terpanjang dan terlama yang pernah digelar di Indonesia.
Isu yang kami bawa kali ini masih seputar pemecatan sewenang-wenang wartawan Kompas Bambang
Wisudo karena keterlibatannya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas saat mempersoalkan
saham karyawan. Kami sendiri berharap aksi spanduk ini belum pernah dilakukan dan bisa memecahkan
rekor Musium Rekor Indonesia (MURI).
Aksi gelar spanduk bertema anti pemberangusan serikat pekerja itu sendiri akan dimulai pada
Hari : Senin, 8 Januari 2007
Jam : 08.00 - 18.00 WIB/setiap hari
Tempat : Bunderan Hotel Indonesia
Kami sendiri sudah memberitahu pihak kepolisian. Dan boleh jadi aksi spanduk terpanjang (120 meter)
ini akan dilakukan selama berbulan-bulan.
Demikian pemberitahuan dari kami. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 5 Januari 2007


Edy Haryadi
Koordinator
posted by KOMPAS @ 12:54 AM

0 comments

Komite Gelar Aksi Spanduk Terpanjang

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja


(KOMPAS)
Jl. Dr. Soepomo No.1A Komplek BIER Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870
Tlp./Faks: 021-83702660,
CP: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)

------------------------------------------------------------------------------------untuk mengikuti perkembangan kasus ikuti


http://kompasinside.blogspot.com
--------------------------------------------------------------------------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi
Nasional Bhineka Tunggal Ikka (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat
Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tanggerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH
APIK, PPR, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, SP 68H, GMS, Kabar, Lembaga
Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar
Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta

=================================================================

AKSI SPANDUK TERPANJANG


PECAHKAN REKOR MURI
Kepada Yth : Teman-teman jurnalis
Hal : Undangan liputan
Pemecatan dan kekerasan terhadap Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas karena menyoal saham
kolektif 20 persen milik karyawan, Bambang Wisudo, telah memicu protes secara meluas.
Untuk itu, kami mengundang teman-teman untuk hadir dalam aksi spanduk anti pemberangusan serikat
pekerja terpanjang yang selama ini pernah digelar. Tujuannya adalah memecahkan rekor Musium Rekor
Indonesia (MURI). Untuk itu, MURI sebagai organisasi sudah diberitahu secara resmi.
Karenanya, Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) mengundang teman-teman untuk
meliput aksi spanduk terpanjang ini yang akan bermula pada:
Hari : Senin, 8 Januari 2007
Pukul : 10.00 WIB selesai
Tempat : Bunderan Hotel Indonesia (HI),
Jakarta Pusat
Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih.
Bersatu melawan pemberangusan serikat pekerja!

Jakarta, 5 Januari 2007


Edy Haryadi
Koordinator
posted by KOMPAS @ 12:43 AM

0 comments

Tuesday, Janu ary 2, 2007

Komite Protes Dewan Pers

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja(KOMPAS)


Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta.
Telp. 021-83702660, 021-70758626

4/2/2015 6:57 PM

KOMPAS INSIDE: January 2007

24 of 24

http://kompasinside.blogspot.com/2007_01_01_archive.html

CP: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),


08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)
--------------------------------http://kompasinside.blogspot.com-----------------------Aliansi

Jurnalis
Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia, Aliansi Nasional Bhineka
Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM),
FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR,
Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, IKOHI, Kontras, YLBHI, SP 68H, STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN), KASBI, Praxis.
Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP),
Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta

----------------------------------------------------------------------------------------------Kepada Yth.
Ketua Dewan Pers
Bapak Ichlasul Amal
di Jakarta
Dengan Hormat,
Dengan surat ini kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
bermaksud menyatakan keberatan atas penilaian dan rekomendasi Dewan Pers Nomor 19/PPR/PPR-DP
/XII/2006 tentang Pengaduan Bambang Wisudo terhadap Kompas Online tertanggal 29 Desember 2006.
Dalam poin pertama Dewan Pers yang baru kami terima hari ini tertulis: "1. Bahwa berita Kompas online
berjudul Satpam tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan adalah merupakan hak jawab Kompas
atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan
Kompas itu sendiri. Dengan demikian, pemberitaan Kompas online tersebut tidak terkait dengan
pelanggaran Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik tentang akurasi, keberimbangan dan adanya itikad buruk."
Keberatan itu terutama menyangkut penilaian butir pertama yang menyatakan bahwa berita Kompas
Online adalah merupakan hak jawab Kompas atas berita-berita sebelumnya yang telah tersebar di
berbagai milis tanpa klarifikasi kepada pimpinan Kompas. Berdasarkan pertimbangan tersebut Dewan
Pers menyatakan bahwa pemberitaan itu tidak terkait dengan kode etik jurnalistik tentang akurasi,
keberimbangan, dan adanya itikad buruk.
Menurut pendapat kami, pemberitaan Kompas Online tersebut tidak bisa diletakkan sebagai hak jawab
Kompas terhadap berita yang tersebar di berbagai milis. Berita yang dibuat sebuah institusi media
adalah berita yang berdiri sendiri dan harus dipertanggungjawabkan sendiri oleh institusi tersebut. Oleh
karena itu setiap media tetap terikat pada keharusan untuk menulis berita secara utuh dan berimbang
(cover both sides).
Berita yang dimuat Kompas Online sebagaimana disebut di atas jelas tidak memenuhi syarat
keberimbangan karena itu Sdr. Bambang Wisudo sangat dirugikan atas pemberitaan tersebut. Bila
pertimbangan Dewan Pers ini tidak segera dikoreksi, kami khawatir ini akan menjadi
preseden buruk bagi media massa di Indonesia. Sebab, media massa yang tidak
bertanggungjawab bisa berkilah bahwa mereka tidak perlu memberitakan secara berimbang
karena korban atau pihak yang dirugikan telah bersuara di media lain.
Selain itu, keberatan kedua kami atas butir pertama Dewan Pers tersebut, adalah karena argumennya
sama persis dengan pernyataan anggota Dewan Pers saudara Sabam Leo Batubara saat kami
mendatangi kantor Dewan Pers tanggal 21 Desember 2006. Pada saat itu saudara Sabam Leo Batubara
juga berkata serupa, bahwa pemberitaan Kompas Online yang ditulis wartawan Kompas saudara R Adhi
Kusumaputera adalah hak jawab dari Kompas terhadap berita-berita sebelumnya.
Sementara Sabam Leo Batubara adalah salah satu Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Dan Ketua
Umum SPS sekarang masih dijabat saudara Jakob Oetama yang sampai sekarang masih duduk sebagai
Pemimpin Umum Harian Kompas. Karena itu, kami melihat kemungkinan ada rasa tidak enak dan konflik
kepentingan dalam putusan Dewan Pers kali ini. Sebab argumen yang ditanda-tangani Ketua Dewan
Pers sama persis dengan argumen saudara S Leo Batubara.
Berdasarkan hal tersebut, kami meminta Dewan Pers untuk kembali bersidang, melakukan penelitian
silang dengan mengkonfrontir kedua belah pihak dalam satu forum, sebelum membuat penilaian atau
rekomendasi akhir.
Menurut hemat kami, ini perlu ditempuh untuk menjaga kredibilitas Dewan Pers sendiri. Penyelesaian
pengaduan etik secara profesional dan obyektif merupakan langkah yang sangat penting untuk
mendewasakan pers di tanah air dan mencegah kriminilisasi pers dalam kasus-kasus yang menyangkut
pemberitaan.
Tentang pengaduan secara lisan, kami akan segera memberikan saran kepada Saudara Bambang
Wisudo untuk menyampaikan keberatan secara tertulis kepada Kompas Online tentang pemberitaan
tersebut di atas.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 2 Januari 2007
Edy Haryadi
Kordinator
posted by KOMPAS @ 1:02 AM

0 comments

Copyrights @ Kompas Inside 2006

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <

4/2/2015 6:57 PM

Anda mungkin juga menyukai