MAKALAH
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
NURFADILAH
(NIM: 2102010001)
(STAI-DDI) PINRANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
bisa menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Implementasi Moderasi
Beragama di Indonesia” ini dengan baik dan tepat waktu guna memenuhi tugas
mata kuliah Ke DDI-an II.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Masalah.............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Pengertian Implementasi...............................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
menekankan pada keadilan dan keseimbangan, dapat muncul dari siapa saja,
tanpa melihat afiliasi agamanya.
Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama
sangat potensial terjadi di Indonesia. Itu mengapa kita perlu moderasi
beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk
menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta
menekankan pada keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, maupun dalam kehidupan sesama manusia secara keseluruhan.
Lebih dari itu, cara pandang dan praktik moderasi dalam beragama
bukan hanya kebutuhan masyarakat Indonesia, melainkan kebutuhan global
masyarakat dunia. Moderasi beragama mengajak ekstrem kanan dan ekstrem
kiri, kelompok beragama yang ultra-konservatif dan liberal, untuk sama -
sama mencari persamaan dan titik temu di tengah, menjadi umat yang
moderat.
Pemerintah memiliki visi untuk menyeimbangkan pembangunan fisik
dan mental manusia Indonesia, dengan berlandaskan pada pengetahuan dan
agama secara berbarengan. Internalisasi nilai - nilai agama diharapkan dapat
memperkokoh komitmen kebangsaan, bukan sebaliknya menggerogotinya,
sehingga nilai - nilai yang ditanamkan itu harus bersifat inklusif, toleran,
rukun, nirkekerasan, mau menerima perbedaan, serta saling menghargai
keragaman. Inilah sesungguhnya pesan yang terkandung dalam moderasi
beragama, yakni kembali pada esensi agama untuk menjunjung tinggi harkat
kemanusiaan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Implementasi
1
Abdullah Munir dkk, Literasi Moderasi Beragama di Indonesia, Bengkulu: CV. Zigie
Utama, 2020, h.89
2
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Jakarta: Grasindo, 2002,
h.70.
5
6
4. Menurut Pan Meter dan Van Horn Implementasi dapat diartikan yaitu
pelaksanaan tindakan oleh individu, pejabat, instansi pemerintah atau
kelompok swasta yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan tertentu.5
5. Solihin Abdul wahab mengemukakan bahwa Implementasi adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individuindividu, pejabat
3
Guntur Setiawan, Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004, h.39
4
Hanifah Harsono, Implementasi Kebijakan dan Politik, Jakarta: Rieneka Cipta, 2002,
h.67
5
Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2008, h.55
7
sikap di antara penakut (al-jubn) dan nekad (tahawur), dan masih banyak lagi
contoh lainnya dalam bahasa Arab.
Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang
selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan
ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi
terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang dinamis,
tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem, melainkan bergerak menuju ke
tengah - tengah.
Meminjam analogi ini, dalam konteks beragama, sikap moderat dengan
demikian adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di
tengah - tengah di antara pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme
beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku melebihi batas – batas
moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama. Karenanya, moderasi
beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku
selalu mengambil posisi di tengah - tengah, selalu bertindak adil, dan tidak
ekstrem dalam beragama.
Tentu perlu ada ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan
apakah sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu
tergolong moderat atau ekstrem. Ukuran tersebut dapat dibuat dengan
berlandaskan pada sumbersumber terpercaya, seperti teks - teks agama,
konstitusi negara, kearifan lokal, serta konsensus dan kesepakatan bersama.7
Moderasi adalah ajaran inti beragama. Dalam Islam, moderat adalah
paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks keberagaman dalam
segala aspek, baik agama, adat- istiadat, suku dan bangsa itu sendiri. Tak
pelak lagi, ragam pemahaman keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam
Islam. Keragaman tersebut, salah satunya, disebabkan oleh dialektika antara
teks dan realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap posisi akal dan wahyu
dalam menyelesaikan satu masalah. Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut
adalah munculnya terma-terma yang mengikut di belakang kata Islam. Sebut
7
Abdullah Munir dkk, Literasi Moderasi Beragama di Indonesia, Bengkulu: CV. Zigie
Utama, 2020, h.91-93
9
8
Muhamad Qustulani dkk, Moderasi Beragama: Jihad Ulama Menyematkan Umat dan
Negeri dari Bahaya Hoax, Tangerang: PSP Nusantara Tangerang, 2019, h.13-15
10
9
Aceng Abdul Aziz dkk, Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam,
Jakarta Pusat: Kementerian Agama Republik Indonesia , 2019, h.6-7
11
10
Muhammad Subhi, Promosi Toleransi dan Moderasi Beragama, Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2019,h.61.
12
Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas
nama Tuhan hanya untuk membela keagunganNya saja seraya
mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela
merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga
kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.
Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama untuk
memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak
jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Aksiaksi eksploitatif atas
nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi
tidak seimbang, cenderung ekstrem dan berlebihlebihan. Jadi, dalam hal ini,
pentingnya moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan
praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benarbenar
berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.
Kedua, ribuan tahun setelah agamaagama lahir, manusia semakin
bertambah dan beragam, bersukusuku, berbangsabangsa, beraneka warna
kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan
dan persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar.
Karya-karya ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi
memadai untuk mewadahi seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran menjadi beranak
pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada esensi dan
hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran
versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan
kepentingan politiknya. Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas
kehidupan manusia dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia,
tidak saja di Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia
lainnya. Konteks ini yang menyebabkan pentingnya moderasi
beragama, agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar
agama.
Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan
sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai
13
bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil
mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni
Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata
berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan
agama dari kehidupan seharihari warganya. Nilainilai agama dijaga,
dipadukan dengan nilainilai kearifan dan adatistiadat lokal, beberapa hukum
agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin
berkelindan dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis,
dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan
keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendisendi
keindonesiaan kita, jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi
beragama amat penting dijadikan cara pandang.
Selain dari tiga poin besar di atas, dapat juga dijelaskan bahwa moderasi
beragama sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan
tidak saja dengan perilaku individu, melainkan juga dengan komunitas atau
lembaga.
Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah
peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya
memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang
sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem,
dan tidak berlebih-lebihan, merupakan sikap beragama yang paling ideal.
Kesamaan nilai moderasi ini pula yang kiranya menjadi energi yang
mendorong terjadinya pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia,
Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad elTayyeb, pada
4 Februari 2019 lalu. Pertemuan tersebut telah menghasilkan dokumen
persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document), yang di antara pesan
utamanya menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya
adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan
(destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful
14
11
Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama, Jakarta: Kementerian Agama RI,
2019, h.8-12.
15
13
Abdullah Munir dkk, Literasi Moderasi Beragama di Indonesia, Bengkulu: CV. Zigie
Utama, 2020, h.93-96
19
3. Anti-radikalisme
Radikalisme di sini dipahami sebagai suatu ideologi dan paham
yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan
menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrem. Inti dari tindakan
radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu
yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan
yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan
20
KESIMPULAN
22
23