Anda di halaman 1dari 19

PERNIKAHAN

OLEH

IKHSAN 1720100031

RIDWAN TARMIDZI 1720100049

DOSENPENGAMPU:

Sylvia Kurnia Ritonga, L.C., M.A.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

T. A 2020

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah in bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I ................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah ....................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
A. Pengertian Pernikahan .................................................................... 2
B. Tujuan Pernikahan ................................................................................ 3
C. Hikmah Pernikahan .............................................................................. 5
D. Hukum Pernikahan ............................................................................... 7
E. Rukun Nikah ...................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB III............................................................................................................... 15
PENUTUP .......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam agama islam, Allah ‫ ﷻ‬menganjurkan kita untuk
melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana
seorang perempuan dan seorang laki-aki menyatukan hubungan mereka
dalam ikatan kekeluargaa dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga
dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral,
mempunyai adab-adab tertentu yang dilakukan secara asal-asalan. Jika
pernikahan tidak dilaksanakan atas dasar syariat islam maka pernikahan tidak
dilaksanakan berdasarkan syariat islam maka pernikahan tersebut bisa
menjadi perbuatan zina.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pernikahan ?
b. Apa saja tujuan dari pernikahan ?
c. Apa saja hikmah dari pernikahan ?
d. Apa hukum dari pernikahan ?
e. Apa saja rukun dari pernikahan ?

C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui pengertian pernikahan.
b. Untuk mengetahui apa tujuan dari pernikahan.
c. Untuk mengetahui hikmah melaksanakan pernikahan.
d. Untuk mengetahui hukum dari pernikahan.
e. Untuk mengetahui apa-apa yang termasuk dari rukun pernikahan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan
Kata pernikahan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata
perkawinan, yang secara bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan
jenis, bersuami atau beristri, melakukan hubungan kelamin dan bersetubuh.
Kata nikah berasal dari akar kata: ‫ نِكَا ًحا‬- ‫ نَ َك َح – يَ ْن ِك ُح‬yang secara
etimologi berarti: ‫ض ُّم وال َج ْم ُع‬
َّ ‫ ال‬yaitu: gabungan dan kummpulan,
Kata nikah bisa bermakna sebenarnya(haqiqi) dan juga bisa bermakna
kiyasan (majaz), para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu dan mereka
terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
1. Golongan pertama, yang terdiri dari para ulama mazhab syafi`i. mereka
berpendapat bahwa: makna sebenarnya atau haqiqi dari kata nikah,
adalah akad, sedangkan makna qiyasan (majaz) dari kata nikah adalah
bersetubuh. Sebagaimana yang dikemukakan oleh jalaluddin al- mahalli,
yang menjadi dasar nya adalah surah al baqarah ayat 230.
    
   
 

Artinya : maka jika suami menolak nya (sesudah talak 2 kali), maka
wanita itu tidak halal lagi dinikahinya sehingga wanita itu dinikahi oleh
laki-laki lain.

Karena menurut mereka, yang dikehendaki dengan kata nikah dalam


ayat tersebut adalah melakukan akad nikah dan hubungan badan
2. Golongan kedua, yang terdiri dari para ulama hanafiyah mereka
berpendapat bahwa makna sebenar atau haqiqi dari kata nikah, adalah

2
bersetubuh, sedangkan makna qiyasan atau majaz dari kata nikah adalah
akad.
Imam zamakhsari, seorang ulama majhab hanafi berpendapat bahwa:
tidak ada kata nikah yang dikehendaki dalam Al-Quran kecuali memiliki
makna bersetubuh. Adapun yang menjadi dasarnya adalah surah An-nur
ayat 3:
   
  
 
   
   
  
“Laki-laki yang berzinah tidak nikah kecuali dengan wanita yang
berzinah atau wanita musyrik dan wanita yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan
demikian itu diharamkan atas orng-orang mukmin.”

Sedangkan defenisi nikah menurut terminologi ahli para ulama ahli


fiqih adalah sebagai berikut :

1. Menurut Taqiyyuddin abu bakar bin Muhammad alhusaini al hisni ad


dimasqi as syafi`i nikah adalah suatu ungkapan akad yang dikenal yang
meliputi atas beberapa rukun dan syarat.
2. Menurut zainuddin bin abdul aziz al-ma`bari al-malibari as-syafi`I nikah
adalah suatu akad yang mengandung bolehnya persetubuhan dengan
menggunakan kata nikah atau kawin.1

B. Tujuan Pernikahan
Islam sangat memuliakan pernikahan. Selain menikah itu
diperintahkan langsung oleh Allah dalam firman-Nya dan juga oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬melalui oleh sabdanya, pernikahan juga memiliki juga sejumlah
tujuan penting. Dengan adanya tujuan penting inilah, maka pernikahan

1
Ali Manshur, Hukum Dan Etika Pernikahan Dalam Islam, (UB Press: Malang, 2017),
hlm. 41-43.

3
menjadi keharusan setiap muslim beberapa tujuan mulia dari pernikahan
tersebut yaitu:
Pertama, membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah. Tujuan
pernikahan termaktub dalam surah Ar-Rum ayat 21. Dan kehidupan sakinah,
mawaddah, warahmah, itu hanya dirasakan dan dicapai oleh orang yang
sudah menikah.
Kedua, sunnah rasul. Inilah tujuan pernikahan yang kedua dalam
islam, yaitu mengikuti jejak sunnah Rasulullah ‫ ﷺ‬Beliau adalah orang yang
paling mulia nomor satu di dunia. Meski begitu beliau tetap menikah. Jadi,
tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menikah bila kita benar-benar ummat
beliau.
Ketiga, menjaga diri dari zina. Islam memerintahkan ummatnya yang
sudah mampu untuk menikah dengan tujuan agar terhindar dari maksiat yaitu
zina. Rasullullah ‫ﷺ‬,”Wahai para pemuda, barang siapa dari kamu telah
mampu memikul tanggung jawab keluarga, hendaknya segera menikah,
karena dengan pernikahan engkau lebih mampu untuk menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluanmu…”(HR.Bukhari dan Muslim).
Keempat, memperkuat ibadah. Sebab, salah satu fungsi pernikahan
adalah memperkuat ibadah. Untuk alasan inilah, maka menikah disebut
separuh agama. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “ apabila seorang hamba menikah
maka telah sempurna separuh agamanya, mka takutlah kepada Allah ‫ ﷻ‬untuk
separuh sisanya.”(HR. Baihaqi).
Kelima, memperoleh keturunan. Tujuan pernikahan yang satu ini
menjadi tujuan utama pernikahan. Islam memerintahkan menikah agar kita
dapat beranak pinak. Anak cucu kita yang diharapkan akan mampu
memperkuat agama islam.
Keenam, menikah itu investasi akhirat. Maksudnya, dengan menikah
berarti kita telah berinvestasi untuk kehiupan dimasa akan mendatang atau di
akhirat. Adapun investasi kita adalah dalam bentuk anak dan ilmu.
Ketujuh, bentuk dari fitrah manusia. Ingat manusia itu dilahirkan
dengan fitrah. Salah satu fitrah manusia itu diciptakan berpasang-pasangan.

4
Kedelapan, membuka pintu rezeki. Menikah merupakan jalan menuju
kepada rezeki Allah ‫ ﷻ‬yang lebih luas lagi. Dengan menikah, Allah ‫ ﷻ‬akan
memberikan rezeki tidak perlu takut dan khawatir akan kemiskinan.
Kesembilan, terhindar dari fitnah. Tujuan utama dari pernikahan
dalam islam adalah mengindari diri dari fitnah baik itu mendekati zina,
bercampur baur antara laki-laki dan perempuan.
Kesepuluh, penyalur hasrat biologis. Inilah tujuan utama pernikahan
yang tidak boleh dinafikan. Orang menikah memang satu tujuan utamanya
adalah menyalurkan hasrat biologis pada jalan yang dihalalkan dalam syariat
islam.

C. Hikmah Pernikahan
Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak bias dilepaskan
tujuannya di atas, dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya
manusia diciptakannya manusia di bumi ini. Al-Jurjawi menejalaskan bahwa
tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, dimana
segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu demi
kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan
sepanjang bumi masih ada.
Menurut Mustafa Al-Khin dalam pernikahan sesungguhya terdapat
hikmah-hikmah yang agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun
aqliyah. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah :
1. Memenuhi tuntutan fitrah
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan bathin
3. Menghindari dekadensi moral
4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat
kewanitaan yang diciptakan 2

2
Atabik, Ahmad, And khoridatul Mudii`ah. “pernikahan dan hikmahnya perspektif hokum
islam.”. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam. 5.2 (2016). Hlm. 306-308.

5
Menurut Dr. M. Dahlan R, MA dalam bukunya yang berjudul fiqih
munakahat menuturkan bahwa diantara hikmah dan keutamaan dari sebuah
pernikahan adalah:

a. Pernikahan akan menumbuhkan ketentraman cinta kasih sebagaimana


termaktub dalam Qur`an surah Ar-Rum ayat 21 Allah berfirman :
  
   
 
  
    
  
 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaaa-Nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan
merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

b. Melanggengkan keturunan dengan lahirnya anak-anak dari hasil


pernikahan, sebagaimana termaktub dalam surah An-Nisa ayat 1.
 
  
   
  
  
  
  
 
   
   
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dari padanya Allah menciptakan
istrinya dan dari padanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-

6
Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”3

D. Hukum Pernikahan
Kata hukum memiliki dua makna, yaitu yang dimaksud disini adalah :
Pertama, sifat syara` pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh,
sunnah dan mubah
Kedua, buah dan pengarruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara`,
seperti jual beli adalah memindahkan pemilikan barang terjual kepada
pembeli dan hukum sewa menyewa atau ijarah adalah pemilikan penyewa
pada manfaat barang yang disewakan.
Dalam tulisan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu
sifat syara`. Maksudnya hukum yang ditetapkan syara` apakah di tuntut
mengerjakan atau tidak, itulah yang disebut dengan hukum taklifi. Menurut
ulama ushul fiqih.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi
mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaanya maupun dari segi
kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi
seluruh mukallaf.
1. Fardu
Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu membiayai
wajib nikah yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri
bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istrinya.
Demikian juga, iai yakin bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi
perbuatan zina, sedangkan puasa yang dianjurkan nabi tidak akan mampu
menghindarkan dari perbuatan tersebut. Nabi bersabda:

3
M. Dahlan, Fikih Munakahat, (Jogjakarta Deepublish, 2015). Hlm. 36-38.

7
“Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian ada kemampuan
biaya nikah, maka nikahlah. Barang siapa yang tidak mampu hendaklah
berpuasalah sesungguhnya ia perisai baginya.”

2. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan
yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan iai mempunyai dugaan kuat
akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah. Keadaaan seseorang
seperti di atas wajib untuk untuk menikah, tetapi tidak sama dengan
kewajiban pada fardu nikah di atas. Karena dalam fardu, dalil nya pasti
atau yakin, (qath`i) sebabnya pun pasti. Sedangkan wajib dalam nikah,
dalil dan sebab-sebab nya adalah atas dugaan kuat atau zonni, maka
produk hukumnya pun tidak qath’i tetapi zonni.
3. Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan
nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah.
Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram
secara pasti.
4. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran.
Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak di
khawatirkan terjadi maksiat zina tetapi di khawatirkan terjadi
penganiyaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin tertinggi.
5. Mubah
Hukumnya mubah seperti akad jual beli dan makan minum.
Demikian pendapat as-syfiiyah dan orang-orang sepakat dengan pendapat
mereka. Alasan yang dikemukakan mereka bahwa menikah mubah dan

8
tidak wajib adalah dalil yang dipetik dari teks Al-Quran dan hadits dan
dalil yang diambil dari akal.
6. Mandub
Menurut mayoritas ulama seperti hanafiyah, malikiyah, hanabilah,
hukum nikah seseorang dalam keadaan normal adalah sunnah
muakkadah. Alasan yang dikemukakan mereka, bahwa Nabi ‫ﷺ‬
melakukan dan menganjurkannya, tetapi tidak mewajibkan kapada setiap
individu dari manusia sebagaimana dalam fardu dan wajib. Demikian itu
sebagai saksi bahwa pernikahan dalam kondisi normal mandub dan
mustahab, tidak benar tuduhan fardu dan wajib. Dalil yang dijadikan
dasar adalah hadis yang diriwayatkan dari Nabi ‫ ﷺ‬bahwa beliau
bersabda:

‫سنَّتِي النِكا َ ُح‬ ُ ‫ط َرتِ ْي فَ ْليَ ْست َ َّن ِب‬


ُ ‫سنَّتِي َو ِم ْن‬ ْ ِ‫َم ْن ا َ َحبَّ ف‬
“Barang siapa yang senang fitrahku, hendaklah melakukan sunnahku
dan diantara sunnahku adalah menikah.”4
E. MACAM-MACAM NIKAH
Dalam hal nikah, hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim
dikenal dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima), yakni:

.1Pernikahan wajib (az-zawaj al-wajib)

Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki


kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis
(nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan perbuatan zina manakala
tidak melakukan pernikahan. Keharusan menikah ini didasarkan atas alasan
bahwa mempertahankan kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina
adalah wajib. Dan satu-satunya sarana untuk menghindarkan diri dari
perbuatan zina itu adalah nikah, maka menikah menjadi wajib bagi orang
yang seperti ini.

4
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqh Munakahat¸
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 43-53.

9
.2Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)

Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk


melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia merasa
mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan melakukan zina.
Orang yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat
jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat (tidak impoten), maka dia
tetap dianjurkan supaya menikah meskipun orang yang bersangkutan
merasa mampu untuk memelihara kehormatan dirinya dan kemungkinan
melakukan pelanggaran seksual, khususnya zina. Sebab, Islam pada
dasarnya tidak menyukai pemeluknya yang membujang semur hidup
(tabattul). Sebagaimana hadits Nabi SAW:

‫ع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َء‬
َ ‫طا‬ َ َ ‫ب َم ِن ا ْست‬ِ ‫شبَا‬ َّ ‫سو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم يَا َم ْعش ََر ال‬ ُ ‫َع ْن َع ْب ِد هللا قَا َل قَا َل لَنَا َر‬
‫ص ْو ِم َف ِا َّنهُ َلهُ ِو َجا ٌء‬ َّ ‫صنُ ِل ْل َف ْر جِ َو َم ْن َل ْم َي ْست َِط ْع َف َع َل ْي ِه ِباال‬ َ ‫َض ِل ْل َب‬
َ ْ‫ص ِر واَح‬ ُّ ‫ة َ َف ْل َيت َزَ َّو ُج َف ِا َّنهُ اَغ‬
‫(اخرجه مسلم في كتا ب النكا ح‬

Artinya: Dari Abdillah berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami,


“hai para pemuda barang siapa diri kalian mampu untuk menikah maka
menikahlah, sesungguhnya nikah itu menundukkan pandangan dan menjaga
farji (kehormatan). Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah,
sesungguhnya puasa itu baginya sebagai penahan. (diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab Nikah).

10
.3Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)

Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau
tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi,
tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai
membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Jika kondisi seseorang
seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahan kurang
(tidak disukai) karena pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan
menimbulkan hal-hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.

.4Pernikahan yang dibolehkan (az-zawaj al-mubah)

Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada factor-faktor yang mendorong


(memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan ibahah inilah yang
umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan
ulama’ dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum asal dari nikah.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi


apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan bagi orang
tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan
tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan
pengahambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan
orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi
belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan
tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.

.5Pernikahan yang diharamkan ( larangan keras)

11
Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila
melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka
hukum melakukan pernikahan bagi oran tersebut adalah haram. Keharaman
nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara
pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia
haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan
dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri,
berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi haram
untuknya.

Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah


disyari’atkan dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana
mencapai bahaya, kerusakan, dan penganiayaan. Disebutkan dalam Al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 juga telah melarang orang melakukan hal
yang akan mendatangkan kerusakan:

... .195dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam


kebinasaan,...

Selain tersebut di atas, haram pula hukumnya suatu pernikahan apabila


seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain,
masalah wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak
dapat menikah dengan orang lain.

Sedangkan macam-macam nikah yang diharamkan menurut syari’at adalah


antara lain sebagai berikut:

a. Nikah Badal (tukar menukar istri)

12
Yaitu seorang laki-laki mengadakan perjanjian untuk menyarahkan istrinya
kepada orang lain dan mengambil istri orang lain itu sebagai istrinya dengan
memberi sejumlah uang tambahan.

b. Nikah Mut’ah

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau


menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu
tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah
di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat
tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal
sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu5.

… ‫يم ِه‬ ِ ‫ط الت َّ ْوقِيتَ فَ َهذَا ” ِنكَا ُح ْال ُمتْ َع ِة ” الَّ ِذي اتَّفَقَ ْاْلَئِ َّمةُ ْاْل َ ْربَ َعةُ َو َغي ُْر ُه ْم َعلَى تَحْ ِر‬ َ ‫فَأ َ َّما أ َ ْن يَ ْشت َِر‬
‫ي‬ َّ ‫ص ِفي ِه أَبُو َح ِنيفَةَ َوال‬
ُّ ‫شا ِف ِع‬ ُ ‫ ي َُر ِخ‬: ‫ع‬ ٌ ‫ فَ َهذَا ِفي ِه ِنزَ ا‬: ‫ُظ ِه ْرهُ ِل ْل َم ْرأ َ ِة‬
ْ ‫الز ْو ُج ْاْل َ َج َل َو َل ْم ي‬
َّ ‫َوأ َ َّما إذَا ن ََوى‬
‫َويَ ْك َر ُههُ َما ِلكٌ َوأَحْ َمد َو َغي ُْر ُه َما‬

“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka
inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya
oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat
nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita
(nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih
diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik,
Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al
Fatawa, 32: 107-108)

5
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:
PT.RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm. 91-93

13
Nikah ini dilarang berdasarkan hadist Nabi:

‫عن علي بن ابي طالب رضي هللا عنه ان رسول هللا ص م نهى عن متعة النساء يوم حيبر‬

Dari Ali bin Abi Tholib, Ia berkata: sesungguhnya Rasul saw melarang
nikah mut’ah dengan perempuan-perempuan pada waktu perang khaibar.

c. Nikah Syighar

Menurut bahasa Assyighor berarti mengangkat. Seolah-olah seorang laki-


laki berkata “ janganlah engkau angkat kaki anakku perempuan sebelum aku
juga mengangkat kaki anak perempuanmu‘

Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain,


‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku
dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara
perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan
dirimu

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kata pernikahan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata perkawinan,


yang secara bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami
atau beristri, melakukan hubungan kelamin dan bersetubuh.
Kata nikah berasal dari akar kata: ‫ نِكَا ًحا‬- ‫ نَ َك َح – يَ ْن ِك ُح‬yang secara etimologi
berarti: ‫ض ُّم وال َج ْم ُع‬
َّ ‫ ال‬yaitu: gabungan dan kummpulan,
1. Tujuan pernikahan
a. membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah

15
b. sunnah rasul.
c. Menjaga diri dari zina.
d. memperkuat ibadah.
e. penyalur hasrat biologis.
2. Hikmah pernikahan
a. Memenuhi tuntutan fitrah
b. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan bathin
c. Menghindari dekadensi moral
3. Hukum pernikahan
a. Fardu
b. Wajib
c. Haram
d. Makruh
e. Mubah
f. Mandub

DAFTAR PUSTAKA
Ali Manshur, Hukum Dan Etika Pernikahan Dalam Islam, UB Press: Malang,
2017.
Atabik, Ahmad, And khoridatul Mudii`ah. “pernikahan dan hikmahnya
perspektif hokum islam.”. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan
Hukum Islam. 5.2 2016.
M. Dahlan, Fikih Munakahat, Jogjakarta Deepublish, 2015.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqh
Munakahat¸ Jakarta: Amzah, 2009.
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
PT.RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai