OLEH
IKHSAN 1720100031
DOSENPENGAMPU:
T. A 2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah in bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam agama islam, Allah ﷻmenganjurkan kita untuk
melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana
seorang perempuan dan seorang laki-aki menyatukan hubungan mereka
dalam ikatan kekeluargaa dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga
dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral,
mempunyai adab-adab tertentu yang dilakukan secara asal-asalan. Jika
pernikahan tidak dilaksanakan atas dasar syariat islam maka pernikahan tidak
dilaksanakan berdasarkan syariat islam maka pernikahan tersebut bisa
menjadi perbuatan zina.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan pernikahan ?
b. Apa saja tujuan dari pernikahan ?
c. Apa saja hikmah dari pernikahan ?
d. Apa hukum dari pernikahan ?
e. Apa saja rukun dari pernikahan ?
C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui pengertian pernikahan.
b. Untuk mengetahui apa tujuan dari pernikahan.
c. Untuk mengetahui hikmah melaksanakan pernikahan.
d. Untuk mengetahui hukum dari pernikahan.
e. Untuk mengetahui apa-apa yang termasuk dari rukun pernikahan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Kata pernikahan dalam bahasa Indonesia identik dengan kata
perkawinan, yang secara bahasa adalah membentuk keluarga dengan lawan
jenis, bersuami atau beristri, melakukan hubungan kelamin dan bersetubuh.
Kata nikah berasal dari akar kata: نِكَا ًحا- نَ َك َح – يَ ْن ِك ُحyang secara
etimologi berarti: ض ُّم وال َج ْم ُع
َّ الyaitu: gabungan dan kummpulan,
Kata nikah bisa bermakna sebenarnya(haqiqi) dan juga bisa bermakna
kiyasan (majaz), para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu dan mereka
terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:
1. Golongan pertama, yang terdiri dari para ulama mazhab syafi`i. mereka
berpendapat bahwa: makna sebenarnya atau haqiqi dari kata nikah,
adalah akad, sedangkan makna qiyasan (majaz) dari kata nikah adalah
bersetubuh. Sebagaimana yang dikemukakan oleh jalaluddin al- mahalli,
yang menjadi dasar nya adalah surah al baqarah ayat 230.
Artinya : maka jika suami menolak nya (sesudah talak 2 kali), maka
wanita itu tidak halal lagi dinikahinya sehingga wanita itu dinikahi oleh
laki-laki lain.
2
bersetubuh, sedangkan makna qiyasan atau majaz dari kata nikah adalah
akad.
Imam zamakhsari, seorang ulama majhab hanafi berpendapat bahwa:
tidak ada kata nikah yang dikehendaki dalam Al-Quran kecuali memiliki
makna bersetubuh. Adapun yang menjadi dasarnya adalah surah An-nur
ayat 3:
“Laki-laki yang berzinah tidak nikah kecuali dengan wanita yang
berzinah atau wanita musyrik dan wanita yang berzina tidak dinikahi
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan
demikian itu diharamkan atas orng-orang mukmin.”
B. Tujuan Pernikahan
Islam sangat memuliakan pernikahan. Selain menikah itu
diperintahkan langsung oleh Allah dalam firman-Nya dan juga oleh
Rasulullah ﷺmelalui oleh sabdanya, pernikahan juga memiliki juga sejumlah
tujuan penting. Dengan adanya tujuan penting inilah, maka pernikahan
1
Ali Manshur, Hukum Dan Etika Pernikahan Dalam Islam, (UB Press: Malang, 2017),
hlm. 41-43.
3
menjadi keharusan setiap muslim beberapa tujuan mulia dari pernikahan
tersebut yaitu:
Pertama, membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah. Tujuan
pernikahan termaktub dalam surah Ar-Rum ayat 21. Dan kehidupan sakinah,
mawaddah, warahmah, itu hanya dirasakan dan dicapai oleh orang yang
sudah menikah.
Kedua, sunnah rasul. Inilah tujuan pernikahan yang kedua dalam
islam, yaitu mengikuti jejak sunnah Rasulullah ﷺBeliau adalah orang yang
paling mulia nomor satu di dunia. Meski begitu beliau tetap menikah. Jadi,
tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menikah bila kita benar-benar ummat
beliau.
Ketiga, menjaga diri dari zina. Islam memerintahkan ummatnya yang
sudah mampu untuk menikah dengan tujuan agar terhindar dari maksiat yaitu
zina. Rasullullah ﷺ,”Wahai para pemuda, barang siapa dari kamu telah
mampu memikul tanggung jawab keluarga, hendaknya segera menikah,
karena dengan pernikahan engkau lebih mampu untuk menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluanmu…”(HR.Bukhari dan Muslim).
Keempat, memperkuat ibadah. Sebab, salah satu fungsi pernikahan
adalah memperkuat ibadah. Untuk alasan inilah, maka menikah disebut
separuh agama. Rasulullah ﷺbersabda, “ apabila seorang hamba menikah
maka telah sempurna separuh agamanya, mka takutlah kepada Allah ﷻuntuk
separuh sisanya.”(HR. Baihaqi).
Kelima, memperoleh keturunan. Tujuan pernikahan yang satu ini
menjadi tujuan utama pernikahan. Islam memerintahkan menikah agar kita
dapat beranak pinak. Anak cucu kita yang diharapkan akan mampu
memperkuat agama islam.
Keenam, menikah itu investasi akhirat. Maksudnya, dengan menikah
berarti kita telah berinvestasi untuk kehiupan dimasa akan mendatang atau di
akhirat. Adapun investasi kita adalah dalam bentuk anak dan ilmu.
Ketujuh, bentuk dari fitrah manusia. Ingat manusia itu dilahirkan
dengan fitrah. Salah satu fitrah manusia itu diciptakan berpasang-pasangan.
4
Kedelapan, membuka pintu rezeki. Menikah merupakan jalan menuju
kepada rezeki Allah ﷻyang lebih luas lagi. Dengan menikah, Allah ﷻakan
memberikan rezeki tidak perlu takut dan khawatir akan kemiskinan.
Kesembilan, terhindar dari fitnah. Tujuan utama dari pernikahan
dalam islam adalah mengindari diri dari fitnah baik itu mendekati zina,
bercampur baur antara laki-laki dan perempuan.
Kesepuluh, penyalur hasrat biologis. Inilah tujuan utama pernikahan
yang tidak boleh dinafikan. Orang menikah memang satu tujuan utamanya
adalah menyalurkan hasrat biologis pada jalan yang dihalalkan dalam syariat
islam.
C. Hikmah Pernikahan
Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak bias dilepaskan
tujuannya di atas, dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya
manusia diciptakannya manusia di bumi ini. Al-Jurjawi menejalaskan bahwa
tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, dimana
segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu demi
kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan
sepanjang bumi masih ada.
Menurut Mustafa Al-Khin dalam pernikahan sesungguhya terdapat
hikmah-hikmah yang agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun
aqliyah. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah :
1. Memenuhi tuntutan fitrah
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan bathin
3. Menghindari dekadensi moral
4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat
kewanitaan yang diciptakan 2
2
Atabik, Ahmad, And khoridatul Mudii`ah. “pernikahan dan hikmahnya perspektif hokum
islam.”. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam. 5.2 (2016). Hlm. 306-308.
5
Menurut Dr. M. Dahlan R, MA dalam bukunya yang berjudul fiqih
munakahat menuturkan bahwa diantara hikmah dan keutamaan dari sebuah
pernikahan adalah:
6
Nya kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”3
D. Hukum Pernikahan
Kata hukum memiliki dua makna, yaitu yang dimaksud disini adalah :
Pertama, sifat syara` pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh,
sunnah dan mubah
Kedua, buah dan pengarruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara`,
seperti jual beli adalah memindahkan pemilikan barang terjual kepada
pembeli dan hukum sewa menyewa atau ijarah adalah pemilikan penyewa
pada manfaat barang yang disewakan.
Dalam tulisan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu
sifat syara`. Maksudnya hukum yang ditetapkan syara` apakah di tuntut
mengerjakan atau tidak, itulah yang disebut dengan hukum taklifi. Menurut
ulama ushul fiqih.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi
mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaanya maupun dari segi
kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi
seluruh mukallaf.
1. Fardu
Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu membiayai
wajib nikah yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri
bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istrinya.
Demikian juga, iai yakin bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi
perbuatan zina, sedangkan puasa yang dianjurkan nabi tidak akan mampu
menghindarkan dari perbuatan tersebut. Nabi bersabda:
3
M. Dahlan, Fikih Munakahat, (Jogjakarta Deepublish, 2015). Hlm. 36-38.
7
“Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian ada kemampuan
biaya nikah, maka nikahlah. Barang siapa yang tidak mampu hendaklah
berpuasalah sesungguhnya ia perisai baginya.”
2. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan
yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan iai mempunyai dugaan kuat
akan melakukan perzinaan apabila tidak menikah. Keadaaan seseorang
seperti di atas wajib untuk untuk menikah, tetapi tidak sama dengan
kewajiban pada fardu nikah di atas. Karena dalam fardu, dalil nya pasti
atau yakin, (qath`i) sebabnya pun pasti. Sedangkan wajib dalam nikah,
dalil dan sebab-sebab nya adalah atas dugaan kuat atau zonni, maka
produk hukumnya pun tidak qath’i tetapi zonni.
3. Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan
nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah.
Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram
secara pasti.
4. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran.
Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak di
khawatirkan terjadi maksiat zina tetapi di khawatirkan terjadi
penganiyaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin tertinggi.
5. Mubah
Hukumnya mubah seperti akad jual beli dan makan minum.
Demikian pendapat as-syfiiyah dan orang-orang sepakat dengan pendapat
mereka. Alasan yang dikemukakan mereka bahwa menikah mubah dan
8
tidak wajib adalah dalil yang dipetik dari teks Al-Quran dan hadits dan
dalil yang diambil dari akal.
6. Mandub
Menurut mayoritas ulama seperti hanafiyah, malikiyah, hanabilah,
hukum nikah seseorang dalam keadaan normal adalah sunnah
muakkadah. Alasan yang dikemukakan mereka, bahwa Nabi ﷺ
melakukan dan menganjurkannya, tetapi tidak mewajibkan kapada setiap
individu dari manusia sebagaimana dalam fardu dan wajib. Demikian itu
sebagai saksi bahwa pernikahan dalam kondisi normal mandub dan
mustahab, tidak benar tuduhan fardu dan wajib. Dalil yang dijadikan
dasar adalah hadis yang diriwayatkan dari Nabi ﷺbahwa beliau
bersabda:
4
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqh Munakahat¸
(Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 43-53.
9
.2Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)
ع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َء
َ طا َ َ ب َم ِن ا ْستِ شبَا َّ سو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم يَا َم ْعش ََر ال ُ َع ْن َع ْب ِد هللا قَا َل قَا َل لَنَا َر
ص ْو ِم َف ِا َّنهُ َلهُ ِو َجا ٌء َّ صنُ ِل ْل َف ْر جِ َو َم ْن َل ْم َي ْست َِط ْع َف َع َل ْي ِه ِباال َ َض ِل ْل َب
َ ْص ِر واَح ُّ ة َ َف ْل َيت َزَ َّو ُج َف ِا َّنهُ اَغ
(اخرجه مسلم في كتا ب النكا ح
10
.3Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)
Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki
kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau
tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi,
tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai
membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Jika kondisi seseorang
seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahan kurang
(tidak disukai) karena pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan
menimbulkan hal-hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.
11
Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila
melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka
hukum melakukan pernikahan bagi oran tersebut adalah haram. Keharaman
nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara
pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia
haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan
dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri,
berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi haram
untuknya.
12
Yaitu seorang laki-laki mengadakan perjanjian untuk menyarahkan istrinya
kepada orang lain dan mengambil istri orang lain itu sebagai istrinya dengan
memberi sejumlah uang tambahan.
b. Nikah Mut’ah
… يم ِه ِ ط الت َّ ْوقِيتَ فَ َهذَا ” ِنكَا ُح ْال ُمتْ َع ِة ” الَّ ِذي اتَّفَقَ ْاْلَئِ َّمةُ ْاْل َ ْربَ َعةُ َو َغي ُْر ُه ْم َعلَى تَحْ ِر َ فَأ َ َّما أ َ ْن يَ ْشت َِر
ي َّ ص ِفي ِه أَبُو َح ِنيفَةَ َوال
ُّ شا ِف ِع ُ ي َُر ِخ: ع ٌ فَ َهذَا ِفي ِه ِنزَ ا: ُظ ِه ْرهُ ِل ْل َم ْرأ َ ِة
ْ الز ْو ُج ْاْل َ َج َل َو َل ْم ي
َّ َوأ َ َّما إذَا ن ََوى
َويَ ْك َر ُههُ َما ِلكٌ َوأَحْ َمد َو َغي ُْر ُه َما
“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka
inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya
oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat
nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita
(nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih
diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik,
Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al
Fatawa, 32: 107-108)
5
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:
PT.RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), hlm. 91-93
13
Nikah ini dilarang berdasarkan hadist Nabi:
عن علي بن ابي طالب رضي هللا عنه ان رسول هللا ص م نهى عن متعة النساء يوم حيبر
Dari Ali bin Abi Tholib, Ia berkata: sesungguhnya Rasul saw melarang
nikah mut’ah dengan perempuan-perempuan pada waktu perang khaibar.
c. Nikah Syighar
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
15
b. sunnah rasul.
c. Menjaga diri dari zina.
d. memperkuat ibadah.
e. penyalur hasrat biologis.
2. Hikmah pernikahan
a. Memenuhi tuntutan fitrah
b. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan bathin
c. Menghindari dekadensi moral
3. Hukum pernikahan
a. Fardu
b. Wajib
c. Haram
d. Makruh
e. Mubah
f. Mandub
DAFTAR PUSTAKA
Ali Manshur, Hukum Dan Etika Pernikahan Dalam Islam, UB Press: Malang,
2017.
Atabik, Ahmad, And khoridatul Mudii`ah. “pernikahan dan hikmahnya
perspektif hokum islam.”. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum Dan
Hukum Islam. 5.2 2016.
M. Dahlan, Fikih Munakahat, Jogjakarta Deepublish, 2015.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, Fiqh
Munakahat¸ Jakarta: Amzah, 2009.
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
PT.RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004.
16