Anda di halaman 1dari 17

KAIDAH KUBRA

Zulfadli Kausart Ilmi


Fakutas Syariah, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah IAIN Kendari
Jl. Sultan Qaimuddin No. 17, Baruga, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara 93563
E-mail: zulfaadlii@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu kekayaan peradaban islam di dalam bidang hukum yang masih jarang
dibicarakan atau dituliskan adalah kaidah fiqih. Kaidah fiqih adalah kaidah yang
mencakup permasalahan-permasalahan kontemporer, dan di dalam kidah-kaidah fiqih
tersebut terdapat lagi yang namanya kaidah kubro atau qawaid al-khamsah..
Dikatakan kaidah kubro atau kaidah besar karena yang pertama, kaidah ini berisikan
lima kaidah pokok yang pembahasan cakupannya sangatlah luas bisa dipakai hampir
dalam setiap bab-bab fiqih. yang kedua, karena kaidah ini mempunyai anak-anak
kaidah atau kaidah turunan dari setiap kaidah-kaidah kubro. dan ketiga, kaidah ini
dipakai dan disetujui oleh empat ulama madzhab. Dengan mengetahui kaidah-kaidah
fiqih kubro akan sangat membantu kita dalam mengahadapi masalah-masalah yang
berkaitan dengan hukum syariat untuk menemukan solusinya, yaitu dengan
membandingkan dan mencocokan masalah-masalah yang dihadapi ke dalam salah
satu kaidah fiqih yang ada. sehingga ketika menemui suatu masalah, kita dapat
mencari solusi atas permasalahan tersebut dengan landasan-landasan kaidah-kaidah
kubro tanpa terbebani.
Kata kunci: fiqih, kaidah-kaidah fiqih, qawaid al-khamsah, kaidah kubro.
ABSTRACK
In the life of society, we often experience new problems, which do not even have a
solution in the Qur'anic texts or in the traditions of the Prophet Muhammad.
Therefore, to find a solution to the problem, the ulama undertook ijtihad to solve the
problem. So that one of the results of ulama ijtihad is the production of the principles
of fiqh, known as qawaid fiqhiyyah. One of the riches of Islamic civilization in the
field of law that is still rarely discussed or written down is the rules of fiqh. The
principles of fiqh are rules that include contemporary problems, and within these fiqh
rules there are again those whose names are the Kubro or qawaid al-khamsah rules. its
scope is very broad it can be used in almost every chapter of fiqh. secondly, because
these rules have children or derived from each of the Kubro's rules. and third, this rule
is used and agreed upon by four Islamic scholars.
Keywords: fiqih, fiqih rules, qawaid al-khamsah, kubro rule.
PENDAHULUAN
Dalam pembahasan hukum islam ada hal yang paling utama yang berkaitan
erat dengan hukum islam itu sendiri, yaitu tentang qawaid fiqhiya (kaidah-kaidah
fiqih). Hal ini dikarenakan pembahasan dalam kaidah fiqih akan menjadi benang
merah terhadap masalah-masalah fiqih yang disesuaikan dengan tempat, waktu dan
kebiasaan yang berlainan dalam pengaplikasian hukum islam, sehingga hal tersebut
akan menjadikan hukum islam selalu fleksibel dalam menghadapi permasalahan-
permasalahan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum. Maka ketika kita berbicara
lebih jauh lagi, kita akan masuk ke dalam pembahasan tentang kaidah fiqhiyyah al-
khamsah. Kaidah fiqhiyyah al-khamsah adalah kaidah yang berisikan tentang lima
kaidah fiqih pokok yang menjadi kemudahan bagi kita dalam menetapkan hukum
dalam suatu permasalahan dengan mencocokkan permasalahan tadi kedalam kaidah-
kaidah fiqih yang ada. Sehingga kita sebagai umat islam juga perlu memahami begitu
pentingnya ilmu ini dalam dunia modern sekarang ini.

PEMBAHASAN
Di dalam kaidah fiqhiyyah al-khamsah seperti yang telah disebutkan bahwa
adalah lima kaidah pokok dalam memahami hukum-hukum islam atau menentukan
hukum-hukum islam yang bersifat umum dalam berbagai bab fiqih yang masuk dalam
ruang lingkupnya. Adapun kelima kaidah pokok yaitu:
 Kaidah pertama
‫دها‬ ِ ‫مِب‬
َ ‫اَأل ُُم ْو ُر ََقاص‬
Al-Umuuru bi Maqaashidiha
(Segala perkara Tergantung Tujuannya)

 Kaidah kedua
ِّ ‫بِالش‬ ‫الْيَ ِق ُن ال يَُز ُال‬
‫َّك‬
Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak
(Keyakinan itu tidak dapat digantikan dengan adanya keraguan)
 Kaidah ketiga
‫املشقة جتلب التيسر‬
Al Masyaqqatu tajlibu taysir
(kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan)
 Kaidah keempat

‫الضراريزال‬
Ad Dhararu Yuzalu
(kemudhratan itu harus dihilangkan)

 Kaidah kelima
‫العادة حمكمة‬
Al ‘Aadatu Muhakkamah
(adat kebiasaan dijadiakan hukum).
KAIDAH
1

‫دها‬ ِ ‫مِب‬
َ ‫اَأل ُُم ْو ُر ََقاص‬
Segala Perbuatan Tergantung Tujuannya

1. Dasar kaidah dari Al Quran


Qur’an surah al-baqarah ayat 225:

‫ت ُقلُ ْوبُ ُك ْم َوال ٰلّهُ َغ ُف ْوٌر‬ ِ ِ ِ ٰ ِ


ْ َ‫الَ يُ َؤاخ ُذ ُك ُم اللّهُ بِاللَّ ْغ ِو يِف ْ اَمْيَان ُك ْم َوٰلك ْن يُّ َؤاخ ُذ ُك ْم مِب َا َك َسب‬
‫َحلِْي ٌم‬
Allah tidak menghukum kamu atas sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia
menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyantun.

ayat qur’an diatas adalah salah satu dasar sehingga dibentuknya kaidah
pertama dan . Oleh karena itu, hendaklah kita membetulkan, meluruskan niat kita
kembali kepada fitrahnya yaitu ikhlas karena Allah SWT. Permasalahan niat ini
sangatlah penting, karena berpengaruh terhadap amal seorang hambah. Jika seorang
hamba melakukan suatu perbuatan karena semata Allah dan mengharapkan
keridhoan-Nya, dia akan mendapatakan pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan
sebelumnya sebagaimana bunyi ayat yang diatas. Sebaliknya jika dia melakukan suatu
ibadah karena riya, ia tidak mendapatkan pahala. melainkan dia akan mendapatkan
apa yang dia niatkan sebelumnya, yaitu bisa jadi mendapat pujian. Begitu pula
berlaku juga pada hal ibadah, karena niatlah yang dapat menjadikan itu amal
terhitung dalam amal ibadah ataupun amal kebiasaan. Contoh dalam masalah tidur.
Tidur dalam perspektif kita adalah perkara yang mubah atau adat kebiasaan. Namun
ketika seorang tidur dengan cara tuntunan nabi, berwudhu, berzikir, berdoah maka
amal yang semulah ini adalah mubah akan berubah menjadi amalan sunnah dan
terhitung berpahala. Dan suatu amal ibadah itu dapat diterimah jika memenuhi
persyaratan. Adapun persyaratannya yaitu: pertama, setiap perbuatan harus disertai
niat yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla. Kedua, perbuatan yang dilakukan itu
harus sesuai dengan tuntunan yang telah disyariatkan oleh Allah dan dicontokan oleh
Rasul-Nya. Dan ketiga, niat itu harus bertahan sampai akhir ibadah.
Dari sini, dapat kita pahami bahwa setiap perbuatan atau perkara-perkara
hukum yang dilarang dalam syariat islam memiliki kaitan dengan kaidah ini.
Sehingga tindakan seseorang ketika meninggalkan hal-hal yang dilarang karena ada
larangan yang berlaku dalam ketetapan syariat, maka tindakan tersebut memperoleh
pahala. Namun, apabila tindakan tersebut yang ia lakukan karena berdasarkan
tabiatnya sebagai manusia atau karena perasaan jijik terhadap yang ditinggalkannya
dan bukan berdasarkan pada dalil nash atau ketetapan syariat, maka ia dinilai sebagai
tindakan mubah atau tabiat manusiawi yang tidak beroleh pahala. Dalam kaidah ini
juga terkandung makna bahwa sesuatu yang masih dalam bentuk niat dan tidak
disertai dengan tindakan yang menjelaskannya, baik itu berupa perbuatan ataupun
perkataan, maka tidak berpengaruh pada suatu hukum syar’i duniawi. Karena makna
yang dimaksud oleh kaidah tersebut, bahwa sesuatu yang terhitung dalam hukum
hanya dengan perkara-perkara lahiriyah, baik perkataan maupun perbuatan dengan
disertai niat. Seperti dalam hal, apabila ada seorang yang berniat dalam hati ingin
menjual sesuatu atau menceraikan istrinya di dalam hati tanpa mengucapkannya,
maka ia tidak dihukumi telah melakukan transaksi jual beli atau penceraian, meskipun
ia secara tegas menyatakan telah meniatkan demikian.

3. Kaidah cabang (turunan) dari kaidah pertama


Diantara ciri-ciri dari kaida kubro adalah mempunyai kaidah cabang atau
turunannya. Berikut adalah beberapa kaidah turunan dari kaidah pertama ini. Antara
lain adalah:

‫العربة يف العقودللمقصود واملعاين اللأللفاظ واملباين‬


1

Yang menjadi patokan dalam sebuah akad adalah tujuan atau hakekatnya, bukan
lafadz ataupun bentuk kalimatnya

Dari penjelasan diatas dapat kita menelaah bahwa yang menjadi standar atau
tolak ukur dari sebuah akad bukanlah bunyi ataupun perkataannya, melainkan tujuan
dan hakekatnya. Oleh karena itu, kita dalam berakad harus mengetahui dasar dari
akad itu sendiri.
Adapun contoh dari penerapan kaidah cabang ini adalah:
 Perkataan si A kepada si Z, “Aku hadiahkan kepada engkau motor saya
dengan syarat kamu hadiahkan motor kamu kepadaku.” Maka walaupun
mereka berkata itu adalah bentuk saling memberi hadiah tetapi pada
hakekatnya itu adalah jual beli
 Dalam transaksi jual beli, dimana si penjual mengajukan persyaratan apabila ia
dapat melunasi harga barang dalam kurung waktu tertentu, maka tidak ada
transaksi diantara keduanya (dalam artian ia boleh mengambil kembali
barangnya). Pada hakekatnya akad seperti ini adalah transaksi gadai. Sebab
maksud di dalam transaksi tersebut bukan menyerahkan kepemilikan barang
kepada pembeli secara permanen, namun barang hanya diserahkan sebagai
jaminan utang pihak penjual kepada pembeli.
Yang kedua

‫مبجرد النّية‬
ّ ‫كل ما كان له اصل فال ينتقل عن أصله‬
2

1
A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 39.
2
A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 41.
Setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa berubah dari yang asal karena
semata-mata niat.
Maksudnya, ketika seseorang melakukan suatu amal pada awalnya, maka
tidak bisa dia mengubah niatnya untuk melakukan amal lagi didalamnya.
Adapun contoh dari penerapan kaidah cabang ini adalah:
 Seseorang niat sholat sunnah, kemudian setelah satu rakaat masuk waktu shalat
dzuhur lalu ia berpindah kepada niat dzuhur, maka amal tersebut yang semula
niat shalat sunnah menjadi batal dikarenakan adanya percampuran niat
didalamnya. sebab niat amal wajib tidak bisa dicampur dengan niat amalan
sunnah dalam satu amalan
3. Penerapan kaidah dalam bidang muamalah

‫االمورمبقاصدها‬
Segala urusan tergantung kepada tujuannya

Contoh penerapannya:
a. Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan atau niat memakan atau
menjual maka hukumnya boleh. Sebaliknya bila ia membelinya dengan tujuan
untuk membuat khamar atau menjualnya kepada orang yang ingin
menjadikannya khamar, maka hukumnya haram
b. Apabila seseorang memberikan pinjaman berupah uang kepada seseorang
dengan niat mencari ridho Allah dan orang tersebut mempergunakan pinjaman
(hutang) tersebut dengan baik maka hukumnya boleh. Sebaliknya jika dia
meminjamkan uang kepada orang yang tujuan meminjamnya itu dipergunakan
untuk berjudi, meminum khamar, maka hukumnya menjadi haram.

KAIDAH
2

ِّ ‫بِالش‬ ‫الْيَ ِق ُن اَل يَُز ُال‬


‫َّك‬
Keyakinan itu tidak dapat digantikan dengan adanya keraguan
1. Dasar kaidah dari Al Quran pada surah Yunus ayat 36:

‫يم مِب َا َي ْف َعلُو َن‬ِ ِ ِ ِ ِ ِ


ٌ ‫ َعل‬ َ‫اللَّه‬ ‫َو َما َيتَّب ُع أَ ْكَث ُر ُه ْم إاَّل ظَنًّا إ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغيِن م َن احْلَ ِّق َشْيئًا إ َّن‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Kaidah fiqih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.
Yakin secara etimologi adalah memperteguh hati atas sesuatu 3. Yang dimaksud
dengan yakin disini adalah: “suatu hal yang menjadi konsisten karena dirasakan oleh
pancaindra atau dengan adanya dalil yang menguatkan 4”. Ada juga yang
mengatakan al-yaqin adalah sesuatu yang tidak dapat tergoyahkan dan mutlak yang
dapat dibuktikan kebenarannya dengan ilmu pengetahuan ataupun dengan bukti-bukti
yang mendukungnya pula5.

Adapun pengertian dari al-syak secara etimologi artinya adalah keraguan.


Sedangkan secara terminologi menurut Muhammad al-Zarqa yaitu:

‫الرتددبني النقيضني بالترجيح الحدمهاعلى االخر‬


“adanya pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang
kebenaran dan kesalahan dengan perbandingan kekuatan yang sama”

Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa kaidah al-yaqinu laa
yuzalu bissyak adalah kaidah yang membahas tentang kemantapan hati seseorang
dalam meyakini sesuatu yang ia anggap ragu terhadapnya. Sehingga kaidah ini
membantu seseorang untuk mencari solusi mengenai permasalahan yang dialami
dalam perkara keyakinan. Adapun contohnya: Ketika seseorang yang sudah dalam
posisi berwudhu kemudian merasa sudah kentut dan dia ragu terhadap hal tersebut,
maka dalam kaidah ini yang menjadi pembenaran adalah bahawasanya wudhunya
belum batal.

Dan contoh lain ketika sesorang merasa yakin sudah membayar hutang kepada
orang yang punya piutang dan orang yang punya piutang mengingkarinya maka yang
menjadi pembenaran dalam hal ini adalah yang orang yang punya piutang. Kecuali si

3
Muhammad al-Zarqa
4
Ahmad sarwat
5
Al-Suyuthi
berhutang dapat membuktikan dengan bukti yang kuat. Barulah yang menjadi
pembenaran adalah si orang yang berhutang.

3. Kaidah cabang (turunan) dari kaidah kedua


Pada kaidah ini ada beberapa kaidah cabangnya yang yaitu:

‫االصل العدم‬ 6

Hukum asal adalah ketiadaan

Maksudnya, apabila ada suatu hukum asal pada sifat-sifat yang datang
kemudian maka hal tersebut tidak ada. Contoh kasus: Ketika ada perselisihan antara
musta’ir7 dan mu’ir8 tentang kerusakan barang yang dipinjam, maka kembali kepada
kaidah di atas. Orang yang dianggap benar perkataanya adalah si mu’ir, apabila
barang tersebut dianggap cacat ketika akad telah selesai. Karena pada hukum asalnya
cacat itu tidak ada. Namun, apabila si must’air dapat memberikan bukti yang valid
mengenai kecacatan barang tersebut sebelum akad selesai atau disaat barang masih
berada di tangan mu’ir maka hal tersebut diberi pengecualian. Kaidah turunan kedua:

‫اليقني يزال باليقني مثله‬ 9

“sesuatu yang diyakini bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan
pula”. Maksudnya apa yang diyakini bisa gugur apabila ada sesuatu yang dapat
meyakinkan pula. Misal, tentang kasus pembunuhan ada bukti yang meyakinkan
bahwa seseorang telah melakukan kejahatan, oleh karenanya ia harus dihukum.
Tetapi, bila ada bukti lain yang meyakinkan pula bahwa orang tersebut tidak ada di
tempat kejahatan waktu terjadinya kejahatan tersebut, melainkan sedang diluar negeri
misalnya, maka orang tersebut tidak dapat dianggap sebagai pelaku kejahatan. Karena
keyakinan semula menjadi gugur dengan adanya keyakinan kedua.

KAIDAH
3

6
A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 49.
7
peminjam
8
Pemilik barang yang meminjami
9
A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 47.
‫املشقة جتلب التيسر‬
Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan

1. Dasar kaidah

‫ف اللَّهُ َن ْف ًسا إِالّ ُو ْس َع َها‬


ُ ِّ‫ال يُ َكل‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (QS.
al-Baqarah:185)

Ayat Qur’an diatas menunjukkan bahwa islam selalu menginginkan kemudahan


bagi manusia. Dan ini juga menujukkan bahwa semuah hukum yang ada dalam ajaran
islam tidak melampui batas kemampuan manusia yang bersifat lemah. Berdasarkan
makna kaidah tersebut yang dimaksud dengan kesulitan menimbulkan adanya
kemudahan adalah hukum-hukum yang ketika dalam pelaksanaanya menimbulkan
kesulitan bagi mukallaf10, maka syariat memberikan solusi berupah kemudahan
sehinggah mukallaf dapat melaksanakannya tanpa kesulitan. Tidak semuah hukum
yang dianggap berat untuk dikerjakan mukallaf dapat diberikan kemudahan atau
keringanan oleh syariat. Misalnya, seseorang yang merasa berat menjalankan puasa di
musim panas. Hal semacam ini tidak menyebabkan keringanan bagi mukallaf. Oleh
karena itu, kaidah ini dapat diterapkan pada semua ketetapan hukum setidaknya pada
tujuh kondisi, yaitu:

1) Ketika dalam keadaan perjalanan jauh (safar). Diberih keringanan


misalnya, boleh jamak11 atau qasar 12 shalat, mengqada13 puasa.

2) Dalam keadaan sakit. Diberih keringanan boleh berbuka puasa Ramadhan


dengan syarat qada ketika sehat, ketika tidak boleh kena air boleh
tayamum.

10
Orang yang sudah dikenai hukum
11
Menggambungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu dengan masing-masing dua rakaat
12
Meringkas atau mengurangi
13
Mengganti sesuatu
3) Lupa. Misalnya, seseorang yang tidak sengaja makan dan minum, lupa
bahwa ia sedang dalam keadaan berpuasa.

4) Ketidaktahuan. Misalnya, seseorang yang tidak memiliki pengetahuan


karena tinggal di daerah terisolir di pedalaman yang jauh dari ulama,
sehinggah pengetahuannya tentang sesuatu yang diharamkan dalam
syariat masih samar-samar atau seorang yang baru masuk islam (mualaf)
karena tidak tahu,.

5) Kekurangan dalam bertindak hukum. Misalnya, orang yang dalam


keadaan mabuk, anak kecil, dan orang gila.

6) Keadaan yang membuat kelangsungan hidup menjadi terancam sehingga


membuatnya dalam keadaan terpaksa
7) Kesulitan umum. Misalnya, seseorang yang memiliki kerterbatasan
dalam hal fisik atau seserang yang mempunyai sebuah bisul atau darah
dari luka-luka kecil.14

Kesulitan itu kembali lagi kepada masing-masing individu itu sendiri. Karena
bisa jadi bagi si A sulit namun lain hal dengan si B yang tidak merasa bahwa itu sulit.
Karena itu, ulama membagi al-masyaqqah menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesukaran yang paling berat), misalnya


kecemasan akan hilangnya jiwa atau rusaknya anggota tubuh. Dalam
musyaqqah ini diberih keringanan

2. al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang tidak paling berat dan


juga tidak paling ringan, dalam arti lain kesukaran pertengahan).
Kesulitan dalam kategori ini yang menjadi tolak ukur sehingga dapat
diberikannya keringanan atau tidak, dapat dilihat dari al-masyaqqah itu
sendiri, apakah lebih dekat kepada al-masyaqqah al-‘azhimmah atau
kepada al-Masyaqqah al-Khafifah.

14
Ahmad Sarwat, serih fiqih kehidupan (1), (Jakarta Selatan: DU publishing, 2011), hlm. 362-363.
3. al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan). Misalnya, haus
ketika berpuasa, merasa lelah ketika lari-lari safa dan marwa, dan lain
sebagainya. Solusi untuk al-masyaqqah seperti ini, dengan cara bersabar
dalam melaksanakan ibadah tersebut15.

2. Turunan dari kaidah ‫التيسر‬ ‫املشقة جتلب‬

‫اذاضاق األمر إتّسع‬


16

“Apabila suatu perkara itu menjadi sempit maka hukumnya meluas”

kaidah ini memiliki makna yang sama dengan kaidah pokoknya. Apabila ada
seorang mukallaf kesulitan dalam melaksanakan sesuatu, maka syariat memberikan
keluasan atau keringanan bagi dirinya. Misalnya, seseorang yang sakit di bulan
Ramadhan. Demi menjaga kemaslahatan jiwanya, maka syariat memberikan
keringanan bagi dirinya, berupah untuk tidak berpuasa dengan syarat ia harus
menggantinya ketika ia kembali sehat di luar bulan Ramadhan.

Kaidah turunan kedua dari kaidah ‫التيسر‬ ‫املشقة جتلب‬

‫إذاإتّسع ضاق‬
17

“Apabila suatu perkara menjadi meluas, maka hukumnya kembali menyempit”

Contohnya: ketika seseorang yang ketika masuk waktu shalat dan ia tidak dapat
menemukan air untuk berwudhunya, maka sebagai keringanan dapat diganti dengan
tayamum. Namun apabila ia telah menemukan air maka tayamumnya tersebut menjadi
batal dan harus menggunakan air.

Kaidah ini juga menunjukkan bahwa hukum islam itu bersifat fleksibilitas yang
bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan, dan juga kaidah ini sekaligus
memaksudkan untuk tidak meringankan sesuatu yang sudah ringan.

15
Ahmad Sarwat, serih fiqih kehidupan (1), (Jakarta Selatan: DU publishing, 2011), hlm. 364.
16
A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 61.
17
A. Djazuli, kaidah-kaidah fikih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 61.
KAIDAH
4
‫الضراريزال‬
kemudhratan itu wajib dihilangkan

1. Dasar kaidah Qur’an surah al-Baqarah ayat 60:

‫ض ُم ْف ِس ِديْ َن‬
ِ ‫َوال َت ْعَث ْوا ىِف األ َْر‬
dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kata al-Dharar yang berarti
perbuatan merugikan orang lain tetapi tidak mendatangkan keuntungan bagi diri
sendiri, sedangkan dhirar adalah perbuatan yang menguntungkan bagi diri sendiri
tetapi mendatangkan kerugian bagi orang lain18. Makna kaidah ini memberikan
penjelasan bahwa manusia harus (wajib) menjauhkan dirinya dari tindak menyakiti,
baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak seharusnya ia
menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.

Dari pengertian diatas, dapat kita pahami bahwa salah satu tujuan syariat itu
adalah untuk meraih manfaat (kemaslahatan) dan menolak kerusakan
(kemafsadatan)19. Oleh karena itu, apabila kita ingin melakukan sebuah amalan dan di
dalam amalan tersebut terdapat kemaslahatan dan terdapat kemudaratan, maka
hendaknya kita berusaha untuk membandingkan kemaslahatan dan kemudaratan yang
ada. Apabila memungkinkan kita bisa membandingkan antara kemaslahatan dan
kemudaratannya, maka perlu kita perhatikan apabila dalam permasalahan tersebut kita
timbang antara kemaslahatan dan kemudaratannya dan ternyata kemaslahatannya jauh
lebih besar dari pada kemudaratannya, maka kita diperbolehkan melakukan perbuatan
tersebut. Misalnya, seorang wanita yang akan melahirkan anaknya disarankan oleh
dokter untuk melakukan operasi sesar karena sebab-sebab tertentu, maka boleh
seorang wanita tersebut disesar karena kemaslahatannya lebih besar dari pada
kemudaratannya. Namun sebaliknya, apabila kita bandingkan antara kemaslahatan
18
Al-Nadwi.
19
Izzuddin ibn’Abd al-Salam.
dan kemudaratannya dan ternyata kemudaratannya lebih besar dari pada maslahatnya,
maka kita tidak boleh melakukan perbuatan tersebut. Misalnya, dalam hal perjudian.
di dalam perjudian terdapat kemaslahatan dan juga terdapat kemudaratannya. Namun
maslahat yang terdapat di dalam perjudian jauh lebih sedikit jika kita bandingkan
dengan kemudaratannya yang jauh lebih besar, maka dalam konsep ini kita tidak
diperbolehkan untuk melakukannya. Namun, apabila kita tidak mampu untuk
menimbang antara kemaslahatan dan kemudaratannya atau dalam arti lain kita tidak
bisa menguatkan salah satu dari keduanya, seimbang antara kemaslahatannya dan
kemudaratannya. Dalam kondisi ini maka kita harus meninggalkan hal tersebut.
Karena meninggalkan sesuatu yang kemudaratannya itu nampak dan kemudian
kemaslahatannya juga nampak sedangkan kita tidak mungkin untuk menghindari
kemudaratan tersebut kecuali dengan meninggalkannya, maka kita wajib
meninggalkannya20.

2. kaidah turunan pertama

‫الضرراليزال مبثله أوبالضرر‬


21

Kemudharatan tidak dihilangkan dengan semisalnya atau kemudharatan juga

Pada kaidah pokok disebutkan, bahwa kemudharatan itu harus dihilangkan.


Menghilangkan kemudharatan juga itu tidak dengan kemudharatan pula. Kaidah ini
sesungguhnya dapat dikategorikan membatasi kaidah pokok tersebut, bahwa segala
sesuatu yang membahayakan tidak boleh dihilangkan dengan bahaya pula, meskipun
dengan bahaya yang lebih rendah, apalagi dengan bahaya yang lebih besar. Tidak
boleh menghilangkan mudharatan bagi seseorang dengan memudharatkan orang lain.
Sebab semuah orang sama dihadapan syari’. Misalnya, seseorang yang ingin
mempertahankan hartanya dengan cara mengorbankan harta milik orang lain , maka
dalam kaidah seperti ini tidak diperbolehkan karena akan timbul mudharat yang sama
pula.

Kaidah turunan kedua

20
Zaenuddin al-Anwar.
21
Al-sadlani
‫الضررين‬
ّ ‫أخف‬
ّ ‫ْيرتكب‬
22

Mudharat yang lebih ringan diambil diantara dua mudharat


Maksudnya, apabila ada suatu tindakan atau perkara yang mana perkara tersebut
akan menghasilkan suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan kecuali dengan
menghasilkan bahaya yang lainnya pula, dan diantara kedua mudharat tersebut ada
yang bahayanya lebih besar daripada yang lainnya, maka tindakan yang diambil
berdasarkan makna kaidah diatas adalah dengan cara menghilangkan bahaya yang
lebih besar tersebut dan mengambil bahaya yang lebih kecil jika tidak terdapat pilihan
lain. Namun, lain halnya ketika mengihilangkan suatu mudharat kemudian akan
mendatangkan mudharat yang jauh lebih besar23.
KAIDAH
5
‫العادة حمكمة‬
adat kebiasaan dijadikan hukum.
1. Dasar kaidah dari al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 19

.....‫ َو َع ِاشُر ْو ُه َّن بِالْ َم ْعُر ْوفِز‬.....


“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”
Kaidah ini berbicara tentang adat atau kebiasaan tradisi yang sering
dipergunakan atau yang berlaku di masyarakat. Apabila ada pernyataan dalam syariat
yang itu tidak dibatasi oleh hukum syariat, maka batasannya diserahkan kembali ke
adat kebiasaan atau tradisi yang berlaku dimasyarakat24. Misalnya, perintah Allah di
dalam al-Qur’an yang memerintahkan kepada kita untuk mengabdi kepada orang tua.
Sedangkan di dalam al-Qur’an tidak diberi standar tentang bagaimana mengabdi atau
berbakti kepada orang tua, maka dalam hal ini ditinjau lagi kepada adat atau
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Adapun contoh lainnya tentang perintah Allah
mengenai kewajiban para suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Berapah
minimal nafkah yang harus diberikan oleh suami kepada istri sehingga dia
menggugurkan kewajibannya itu tidak ditentukan oleh nash, maka nilai minimal itu
kembali lagi kepada adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Suatu adat dapat
22
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:
AMZAH, 2009), hlm. 20.
23
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:
AMZAH, 2009), hlm. 19.
24
Ammi Nur Baits.
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum apabila adat tersebut memenuhi
persyaratan tertentu, yaitu suatu adat tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat
yang memiliki landasan dalil atau mempunyai sumber hukum yang sah, baik berupa
al-Qur’an maupun sunnah nabi Muhammad dan dalil lainnya. Masalah hukum islam
yang berkaitan dengan kaidah ini ada banyak jumlahnya 25, diantaranya penentuan
masa haid, usia baligh, batasan sedikit najis yang dimaafkan, memanfaatkan harta
sewaan, masalah titipan, menerima hadiah bagi hakim, merawat tanah yang tidak
bertuan, jarak waktu ijab dan qabul. Karena waktu yang senantiasa terus berjalan,
maka adatpun juga demikian, yaitu tidak tetap dan selalu mengalami yang namanya
perubahan, tergantung dengan zaman dan lingkungan masyarakat yang saling berbeda
pula. Oleh karena itu, suatu hukum yang semulanya hukum itu berdasarkan pada
suatu adat, maka bisa jadi hukum tersebut akan mengalami peninjauan kembali
berdasarkan ketetapan adat yang berlaku di masyarakat saat itu. Adapun contoh lain
penerapan kaidah ini selain yang disebutkan diatas adalah kasus tentang dalam akad,
misalnya seorang pekerja rumah atau bangunan ketika bekerja di rumah orang tanpa
berbicara mengenai jam istrahat, maka ketika pekerja rumah tersebut merasa sudah
waktu istrahat, ia akan istrahat. Dalam hal ini diperbolehkan, karena sudah menjadi
sebuah kebiasaan seseorang ketika bekerja membutuhkan istrahat.

2. kaidah turunannya

‫أوغلبت‬
ْ ‫طردت‬
ْ ‫عادةإذااض‬
ْ ْ‫إمّن ا ْتعتربال‬
Sesuatu adat yang dapat dijadikan hukum hanyalah adat yang sering menjadi kebiasan
dan terus-menerus dilakukan atau yang berlaku di masyarakat umum.
Artinya, suatu adat tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum, apabila adat tersebut tidak mejadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat
umum atau hanya dilakukan sekali-sekali. Misalnya, seorang wanita yang telah
ditinggal mati oleh suaminya, maka menurut hukum syariat ia harus menunggu massa
idahnya selama tiga kali suci (quru) barulah ia dapat menikah kembali jika ia
menginginkannya. Dan kita tahu bahwasanya seorang wanita itu memerlukan waktu
satu bulan untuk setiap haidnya, itu secara adat kebiasaan. Namun apabila ada seorang
wanita yang mengatakan ia telah mengalami tiga kali suci dalam satu bulan, maka

25
al-Suyuthi.
perkataan wanita tersebut tidak dapat diterimah karena tidak sesuai adat kebiasaan
atau yang berlaku di masyarakat umum, Seperti makna kaidah di atas.
Kaidah turunan kedua

‫شرعا‬
ْ ‫املعرف عرفًاكااملشروط‬
ْ
26

“Apabila sesuatu itu umum dikenal karena ‘urf, maka syaratnya sama seperti
yang disyaratkan.”
Maksudnya, sesuatu yang telah dikenal itu secara baik di masyarakat umum dan
kebiasaan tersebut telah berjalan lama tanpa disebutkan secara tegas dalam akadnya
atau dalam komunikasi, telah diketahui apa yang menjadi syarat dari komunikasi yang
dilakukan. Misalnya, dalam suatu masyarakat perkampungan dimana masyarakat itu
saling mengenal sehinggah ketika meminta tolong dalam mengerjakan rumah
misalnya walaupun tanpa menyebutkan jumlah nominal yang akan diupahkan, maka
karena sudah menjadi sesuatu yang terkenal di masyarakat tersebut. Sehinggah
nominal yang diberikan akan sesuai dengan adat kebiasaan yang sering terjadi
dimasyarakat, yaitu Rp. 100,000. Perharinya.

KESIMPULAN
Tidak semuah permasalahan yang akan kita jumpai ada penyelesaian solusinya di
dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis nabi Muhammad. Oleh karena itu, untuk
menemukan jalan keluarnya dilakukanlah ijtihad oleh para ulama, dan salah satu dari
bentuk ijtihad tersebut adalah dihasilkannya kaidah-kaidah fiqih kubro atau qawaid
fiqhiyyah yang tetap berdasarkan kepada Qur’an dan hadis-hadis, yang kemudian
sangat banyak sekali penerapan dan pengaruhnya dalam masalah-masalah
kontemporer yang berkembang pesat saat ini. Di dalam kaidah fiqih kubro sendiri
memiliki kaidah turunannya yang fungsinya juga sebagai penjelas atas kaidah
pokoknya atau sebagai perinci dalam kaidah tersebut.
Kaidah ini sangatlah penting dalam masalah-masalah kontemporer khususnya di
zaman sekarang yang ilmu pengetahuan dan teknologinya semakin maju dan
berkembang. Sehinggah tidak menutup kemungkinan akan ada lagi permasalahan-

26
Thalhah, “Kaidah Fiqhiyah Furu’iyah: Penerapannya Pada Isu Kontemporer,” Jurnal IAIN Ambon,
Vol. X, No. 1, Juni 2014, hlm. 76.
permasalahan baru dalam berbagai bidang aspek kemasyarakatan terlebih lagi dalam
bidang muamalah yang notabenennya selalu mengalami perubahan.

DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Fathurrahman, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, Banjarmasin: LPKU, 2015.
Azzam, A.A.M. dan Nashr F.M.W., Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009.
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Prenadamedia Group, 2006.
Sarwat, Ahmad, serih fiqih kehidupan (1), Jakarta Selatan: DU publishing, 2011.
Thalhah, “Kaidah Fiqhiyah Furu’iyah: Penerapannya Pada Isu Kontemporer,” Jurnal
IAIN Ambon, Vol. X, No. 1, Juni 2014, hlm. 76-77.

Anda mungkin juga menyukai