Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Suatu produksi tidak akan berjalan lancar tanpa adanya factor-faktor
produksi yang mendukung. Ada 4 faktor yang penting adalah tanah, tenaga kerja,
modal dan manajemen. keempat-empatnya sangat berperan dalam kelangsungan
produksi tanpa adanya tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen maka produksi
tidak berjalan dengan efektif.
Demikian halnya tenaga kerja merupakan salah satu factor produksi yang
penting. keberadaan tenaga kerja tidak boleh begitu saja dikesampingkan yang
harus diperhatikan kesehatan dan kesejahteraannya. Hal yang tidak bisa lepas
begitu saja dari tenaga kerja adalah upah.
Oleh karena itu perlu di perhatikan standar upah agar memberikan kerugian
kepada kedua belah pihak yaitu pihak perusahaan dan karyawan, seperti yang
terjadi pada masa Rasulullah SAW dan pada masa kekholifahan. Jika para pekerja
tidak mendapatkan upah yang adil dan wajar, ini tidak hanya akan mempengaruhi
daya beli dan taraf hidup para serta keluarganya, dengan demikian secara ekonomi
sangat berbahaya bagi suatu Negara jika menghapuskan hak tenaga kerja atas
pembagian deviden.
Agama Islam memberikan pedoman bagi kehidupan manusia dalam bidang
perekonomian tidak memberikan landasan yang bersifat praktis, berapa besarnya
upah yang harus diberikan kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil tema
analisisis fiqih tentang upah dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah dari makalah
ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan upah dan apa saja dasar hukum Islam mengenai
upah?
2. Apa saja bentuk dan syarat upah?
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Upah dan Dasar Hukum Upah dalam Islam


1. Definisi Upah
Menyangkut dengan masalah pengupahan, kodifikasi hukum Islam
menempatkan satu pembahasan khusus dalam kitab fiqih yang terdapat dalam
bab al-ijarah.
Pengertian al-ijarah menurut kebahasaan adalah imbalan atas suatu
pekerjaan.1 Namun, pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat
beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah
suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat
diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan
dengan adanya imbalan.
2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini
ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan,
akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah
suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan
benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan
untuk al-kira`menurut istilah mereka, digunakan untuk aqad sewa-menyewa
pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan
istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.
3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu
manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi
tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah
imbalan yang diketahui.
4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang
dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang

1
Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, (Beirut: Darul-Fikri,
tt), hlm. 94.
3

diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya


`iwadah.2
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa
dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur
pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur
perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang
diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.
Berkenaan dengan pengupahan kepada tenaga kerja dapat
diklasifikasikan kepada dua bentuk pembayaran yaitu gaji dan upah. Menurut
pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai imbalan pembayaran kepada
pekerja-pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti PNS, pegawai
pemerintahan, dosen, guru, pegawai swasta, manager dan akuntan. Pembayaran
gaji tersebut pada umumnya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan upah
dimaksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja kasar yang
pekerjaannya selalu berpindah-pindah, misalnya pekerja pertanian, tukang kayu,
tukang batu dan buruh kasar.3
Berdasarkan teori ekonomi upah memiliki pengertian sebagai
pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga
kerja kepada para pengusaha.4 Karenanya dalam teori ekonomi tidak dikenal
perbedaan diantara pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja tetap dan profesional
(seperti PNS) dengan pekerja kasar, kedua jenis pendapatan pekerja
(pembayaran kepada para pekerja) tersebut dinamakan upah. Pengertian upah
dalam dalalah al-ijarah konsep Islam dapat berupa dalam bentuk uang atau
barang yang dapat dijadikan tsaman (harga) dalam jual beli.5 Ada juga ulama
yang berpendapat, bahwa upah itu harus dalam bentuk mata uang yang berlaku
dalam sebuah negara.6
Lebih lanjut supaya lebih jelas berkenaan dengan masalah upah, penulis
akan menjelaskan sedikit tentang pengertian upah dalam arti konvensional.

2
Ibid., hlm. 98.
3
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 350.
4
Ibid., hlm. 351.
5
Abdurrahman Al-Jaziry, Op.Cit., hlm. 101.
6
Syaikh Qalyubi, Qalyubi wal-`amirah, Juz, III, (Semarang: Syirkah Nur Asia, tt), hlm. 68.
4

Dalam hal ini upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya
dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan
imbalan atas jasanya dalam produksi.7
Supaya lebih jelas guna mengetahui apa yang dimaksud dengan upah
dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang
Perlindungan Upah. Dalam hal tersebut menurut ketentuan pasal 1 huruf (a) PP.
No. 8 Tahun 1981, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk
buruh sendiri maupun untuk keluarganya.8
Sedangkan pengertian imbalan adalah termasuk juga pembayaran
honorarium yang dibayar oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus
menerus. Karenanya, dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan upah adalah
imbalan yang berupa uang atau dapat dinilai dengan uang karena telah
melakukan pekerjaan atau jasa. Upah juga boleh ditakrifkan sebagai harga yang
dibayar kepada perkhidmatan buruh dalam proses pengeluaran.9
Sebenarnya upah merupakan imbalan dalam bentuk uang atau benda
lainnya yang diberikan majikan kepada pekerja sesuai dengan perjanjian yang
telah disetujui bersama. Karenanya, selain itu menurut Benhan, pengertian upah
dapat diartikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh seseorang yang
memberikan pekerjaan kepada seseorang pekerja atas jasanya dengan sesuai
perjanjian.10

2. Dasar Hukum Upah


Untuk lebih jelas berkenaan dengan upah atau gaji yang merupakan
suatu bagian dari kontrak ijarah, maka hal itu perlu diperjelas sehingga
menghilangkan kekaburan dalam penafsiran.

7
Afzalul Rahman, Op.Cit., hlm. 361.
8
F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1994), hlm. 40.
9
Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, (Selangor Darul Ehsan:
Penerbit Asni SDN.BHD, 2000), hlm. 17.
10
Ibid., hlm.20.
5

Sumber hukum dalam Islam yang dipakai dalam menyelesaikan berbagai


permasalahan yang terjadi adalah dengan menggunakan Alqur’an dan Sunah
Nabi, di samping masih banyak lagi sumber hukum yang dapat digunakan.
Alquran sebagai sumber hukum dasar yang menjadi pijakannya.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Quran ialah:
   
 
  
  
 
   
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya
kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).

Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah SAW tentang upah:
a. Hadist Utama
Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wasallam Bersabda :

َّ ‫سلَ ِمي َحدَّثَنَا َعبْد‬


‫الرحْ َم ِن بْن زَ ْي ِد ب ِْن‬ َ ‫َحدَّثَنَا ا ْلعَبَّاس ْبن ا ْل َو ِلي ِد ا ِلد َم ْش ِقي َحدَّثَنَا َو ْهب بْن‬
َّ ‫س ِعي ِد ب ِْن َع ِطيَّةَ ال‬
‫ير أَجْ َره َق ْب َل أ َ ْن‬
َ ‫سلَّ َم أَعْطوا ْاْل َ ِج‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا َع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫ّللا‬ َّ ‫ّللاِ ب ِْن ع َم َر َقا َل َقا َل َرسول‬َّ ‫أ َ ْس َل َم َع ْن أ َ ِبي ِه َع ْن َع ْب ِد‬
‫ف َع َرقه‬
َّ ‫يَ ِج‬

Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi


berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah As
Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja
sebelum kering keringatnya." (HR: Ibnu Majah).

b. Hadist Penguat

ِ ‫ّللا َع ْنه َع ْن النَّ ِبي‬


َّ ‫ي‬َ ‫ض‬ ِ ‫َحدَّثَنَا أَحْ َمد بْن م َح َّمد ْال َم ِكي َحدَّثَنَا َع ْمرو بْن َيحْ َيى َع ْن َج ِد ِه َع ْن أ َ ِبي ه َري َْرة َ َر‬
‫ص َحابه َوأ َ ْنتَ فَقَا َل َنعَ ْم ك ْنت أَ ْر َعاهَا َعلَى‬ْ َ ‫ّللا نَ ِبيًّا إِ َّّل َر َعى ْالغَن ََم فَقَا َل أ‬
َّ ‫ث‬َ َ‫سلَّ َم قَا َل َما بَع‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ
َ‫ط ِْل َ ْه ِل َم َّكة‬
َ ‫قَ َر ِاري‬

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad Al Makkiy telah


menceritakan kepada kami 'Amru bin Yahya dari kakeknya dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallambersabda:
6

"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembalakan


kambing". Para sahabat bertanya: "Termasuk engkau juga?" Maka Beliau
menjawab: "Ya, aku pun mengembalakannya dengan upah beberapa qirat
(keping dinar) milik penduduk Makkah". (HR.Bukhari No 2102).

Hadits yang mulia ini memerintahkan kita untuk bersegera


menunaikan hak pekerja setelah menyelesaikan pekerjaanya. Kenapa? Karena
menunda pembayaran gaji pegawai bagi majikannya yang mampu adalah
suatu kezaliman. Banyak kesengsaraan yang dialami oleh para pekerja yang
gajinya tidak dibayarkan oleh para majikannya, bayangkan saja jika para
pekerja itu adalah tulang punggung keluarga apa yang akan terjadi pada
keluarganya? Pasti keluarganya akan mengalami kesengsaraan, kesulitan,
serta anak-anaknya akan mengalami hambatan dalam pendidikan, betapa
sangat menyengsarakan dan betapa zholimnya majikan yang menunda bahkan
tidak membayarkan hak para pekerjanya padahal dia mampu.
Menurut Abu Hanifah, wajib diserahkan upahnya secara berangsur
sesuai dengan manfaat yang telah diterimanya. Jika Ijarah tersebut berupa
penyewaan, menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, jika mu’jir telah
menyerahkan zat benda yang disewakan kepada musta’jir, ia berhak
menerima bayaran karena musta’jir (penyewa telah menerima manfaat dari
barang yang disewakan. Jika menyewa barang, maka uang sewa dibayar
ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain.
Upah yang adil merupakan upah yang wajib diberikan kepada pekerja.
Upah yang adil adalah upah yang setara yang ditentukan oleh upah yang
diketahui (disetujui), yang menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Tingkat
upah ditentukan oleh tawar menawar antara pemberi kerja dengan pekerja.
Upah yang setara diberikan sesuai dengan kualitas pekerjaan.
Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal
mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji
sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan
diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si
7

pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah


kering.”11
B. Rukun dan Syarat-syarat upah
Dalam melaksanakan akad ijarah, haruslah dipenuhi rukun-rukunnya
terlebih dahulu, apabila salah satu ruku tidak dapat dipenuhi maka akad batal demi
hukum. Adapun rukun ijarah ada 4, yaitu:
1. Dua orang yang berakad
2. Shighat akad, yang menyatakan ijab dan qabul
3. Upah (Ajrun)
4. Manfaat
Dalam akad ijarah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, secara umum,
syarat-syarat tersebut terbagi menjadi 4, yaitu;
1. Syarat terjadinya Ijarah
2. Syarat Sah Ijarah
3. Syarat tetap hukum ijarah,
4. Syarat berlakunya ijarah, masing-masing syarat tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut:
a. Syarat terjadinya ijarah
Yang dimaksud dengan syarat ini adalah syarat yang harus
terpenuhi sehingga akad ijarah dapat dilaksanakan, syarat ini dalam
istilah fiqh disebut Syarat In’iqad. Syarat tersebut adalah
akad ijarah dilakukan oleh orang berakal. Imam Syafi’i berpendapat
bahwa orang yang melakukan akad syaratnya adalahmukallaf yaitu
baligh dan berakal, tidak disyaratkan bagi orang yang berakad itu
beragama Islam, sehingga diperbolehkan akad dengan non muslim atau
sebaliknya.
b. Syarat sah Ijarah
Adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga akad ijarah
dinyatakan sah, syarat-syarat tersebut adalah:
1) Adanya kerelaan dari dua belah pihak yang berakad,

11
Al Munawi Faidhul Qodir, 1: 718
8

Akad dilaksanakan berdasarkan suka sama suka,


Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa (4) :9, yang
berbunyi
2) Manfaat atau jasa yang disepakati harus dijelaskan guna
menghindari perselisihan.
3) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad harus benar-benar
mungkin untuk dipenuhi secara syar’i.
4) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad adalah mubah
menurut syara’ dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
5) Pekerjaan yang dijanjikan bukan merupakan suatu kewajiban pekerja
sebelum pelaksanaan akad
6) Pekerja tidak boleh mengambil manfaat (secara langsung) dari
pekerjaan yang dilaksanakan.
c. Syarat tetap hukum ijarah atau dalam literatur fiqh sering disebut Syarat
luzum akad adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga kesepakatan
dalam akadijarah memiliki ketetapan untuk diberlakukan, syarat-syarat
ini yaitu:
i. Akad hendaknya merupakan akad shahih.
ii. Terhindarnya obyek akad dari kerusakan-kerusakan setelah diambil
manfaatnya.
iii. Tidak terdapat cacat terhadap pekerja maupun pengelola perusahaan.
d. Syarat berlakunya ijarah, syarat ini disebut juga Syarat Nufudz, yang
mensyaratkan dalam akad ijarah adanya hak milik dan kekuasaan atas
manfaat atau jasa, sebagai contoh, barang yang disewakan oleh orang
lain tanpa seizin pemiliknya, maka ijarah ini tidak boleh diberlakukan.
9

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu
manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut,
dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang
diketahui.
Dasar Hukum al-ijarah Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam
Alquran ialah:
   
 
  
  
  
  
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada
kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).

Hadits Rasulullah SAW tentang upah:

‫الرحْ َم ِن بْن زَ ْي ِد ب ِْن أ َ ْسلَ َم َع ْن‬ َ ‫َحدَّثَنَا ا ْلعَبَّاس ْبن ا ْل َو ِلي ِد ا ِلد َم ْش ِقي َحدَّثَنَا َو ْهب بْن‬
َّ ‫س ِعي ِد ب ِْن َع ِطيَّةَ ال‬
َّ ‫سلَ ِمي َحدَّثَنَا َعبْد‬
َّ ‫ير أ َجْ َره قَ ْب َل أ َ ْن يَ ِج‬
‫ف َع َرقه‬ َ ‫سلَّ َم أَعْطوا ْاْل َ ِج‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫أَبِي ِه َع ْن َع ْب ِد‬
َّ ‫ّللاِ ْب ِن ع َم َر قَا َل قَا َل َرسول‬
َ ِ‫ّللا‬

Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi berkata,


telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah As Salami berkata,
telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya
dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR:
Ibnu Majah).

Dalam melaksanakan akad ijarah, haruslah dipenuhi rukun-rukunnya


terlebih dahulu, apabila salah satu ruku tidak dapat dipenuhi maka akad batal demi
10

hukum. Adapun rukun ijarah ada 4, yaitu: 1) Dua orang yang berakad, 2)
Shighat akad, yang menyatakan ijab dan qabul, 3) Upah (Ajrun,) Manfaat
Dalam akad ijarah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, secara umum,
syarat-syarat tersebut terbagi menjadi 4, yaitu; 1) Syarat terjadinya Ijarah, 2) Syarat
Sah Ijarah, 3) Syarat tetap hukum ijarah, 4) Syarat berlakunya ijarah, masing-
masing syarat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a) Syarat terjadinya ijarah,
b) Syarat sah Ijarah Adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga akad ijarah
dinyatakan sah, syarat-syarat tersebut adalah: 1) Adanya kerelaan dari dua belah
pihak yang berakad, 2) Manfaat atau jasa yang disepakati harus dijelaskan guna
menghindari perselisihan. 3) Manfaat atau jasa yang disepakati dalam akad harus
benar-benar mungkin untuk dipenuhi secara syar’i. 4) Manfaat atau jasa yang
disepakati dalam akad adalah mubah menurut syara’ dan bermanfaat bagi dirinya
dan masyarakat. 5) Pekerjaan yang dijanjikan bukan merupakan suatu kewajiban
pekerja sebelum pelaksanaan akad, 6) Pekerja tidak boleh mengambil manfaat
(secara langsung) dari pekerjaan yang dilaksanakan.
Syarat tetap hukum ijarah atau dalam literatur fiqh sering disebut Syarat
luzum akad adalah syarat yang harus dipenuhi sehingga kesepakatan dalam
akadijarah memiliki ketetapan untuk diberlakukan, syarat-syarat ini yaitu: 1) Akad
hendaknya merupakan akad shahih. 2) Terhindarnya obyek akad dari kerusakan-
kerusakan setelah diambil manfaatnya. 3) Tidak terdapat cacat terhadap pekerja
maupun pengelola perusahaan.
Syarat berlakunya ijarah, syarat ini disebut juga Syarat Nufudz, yang
mensyaratkan dalam akad ijarah adanya hak milik dan kekuasaan atas manfaat atau
jasa, sebagai contoh, barang yang disewakan oleh orang lain tanpa seizin
pemiliknya, maka ijarah ini tidak boleh diberlakukan.

B. Saran
Sebagai penyusun, kami merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar
kami dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.
11

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, (Beirut:
Darul-Fikri, tt), hal. 94

Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hal. 350

Syaikh Qalyubi, Qalyubi wal-`amirah, Juz, III, (Semarang: Syirkah Nur Asia, tt), hal.
68.

F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1994), hal.
40

Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, (Selangor Darul
Ehsan: Penerbit Asni SDN.BHD, 2000).

Al Munawi, Faidhul Qodir syarah al jami’ ash-shagir, jilid 1 (Cairo: Penerbit Darul
Hadis)

Anda mungkin juga menyukai