Anda di halaman 1dari 33

KAIDAH MENGAMBIL HARTA SECARA BATIL

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fikih Muamalah

disusun oleh:

Kelompok 9
Yunita Puspa Febriani (10010217053)
Alma Hanifa Candra Yulia (10010217055)
Salwa Arazia (10010217056)
Shohifah Nurfitri Sutisna (10010217057)
Maudy Nabila Istighosa (10010217064)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa karena dengan
rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini dibuat tidak semata hanya untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kaidah Fikih Muamalah melainkan kami juga berharap makalah ini dapat
menambah wawasan serta pengetahuan pembaca tentang Kaidah Mengambil
Harta secara Batil.
Kami sangat menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya dan dapat berguna bagi orang yang membacanya. Sebelum dan
sesudahnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Bandung, Januari 2020

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Pengertian Harta.............................................................................................3

2.2 Pengertian Batil..............................................................................................5

2.3 Hukum Mengambil Harta secara Batil menurut al-Qur’an dan Hadits..........7

2.4 Contoh-contoh Perbuatan Mengambil Harta secara Batil............................11

2.4.1 Risywah (Suap-Menyuap).....................................................................11

2.4.3 Riba........................................................................................................14

2.4.4 Sariqah (Pencurian)...............................................................................16

2.4.5 Penundaan Pembayaran Utang..............................................................18

2.4.6 Sumpah Palsu.........................................................................................21

2.4.7 Kecurangan dalam Takaran dan Timbangan..........................................21

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................27

3.1 Kesimpulan...................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................28

iv
v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya, syariat Islam mengandung ketentuan-ketentuan tentang
amaliah atau perbuatan manusia. Perbuatan manusia secara garis besar ada dua,
yaitu perbuatan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah Swt. yang
disebut ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya dalam pergaulan hidup
bermasyarakat yang disebut muamalah. Ibadah wajib berpedoman pada sumber
ajaran Alqur’an dan al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tata cara dan praktek) dari
Nabi Muhammad saw. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang
atau haram). Ibadah ini antara lain meliputi Zakat, Puasa, Shalat dan Haji.
Sedangkan masalah muamalah (hubungan 1esame manusia dan hubungan dengan
lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan,
organisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, berdasarkan pada prinsip boleh (jaiz)
selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya, termasuk di
dalamnya berkenaan dengan harta. Berkaitan dengan hal ini (muamalah), Nabi
Muhammad saw mengatakan: “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR.
Muslim, no. 2363).1
Banyak orang yang mengukur nilai dan martabat seseorang dengan jumlah
kekayaannya harta yang dimiliki. Apabila seseorang tersebut kaya maka dianggap
mulia, sebaliknya dianggap rendah dan hina. Pada hakikatnya cara yang
digunakan dalam memperoleh harta akan berpengaruh terhadap fungsi harta.
Orang yang memperoleh harta dengan mencuri, memfungsikannya kebanyakan
untuk kesenangan semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi dan lain-lain.
Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya
memfungsikan hartanya untuk hal-hal bermanfaat.2
Islam tidak membatasi mencari harta dengan cara apapun, selama tidak
melanggar prinsip-prinsip yang telah ditentukan syara’. Karena hukum asal dalam
bermu’amalah adalah mubah. Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang
pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya),

1
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), Aceh, Jurnal
Ilmiah Syariah Vol. 17 No. 2, 2018, hal. 245
2
Ibid., hal. 245-246

1
jahalah (ketidakjelasan) dan zulum (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu
pihak).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan harta?
2. Apa yang dimaksud dengan batil?
3. Bagaimana hukum mengambil harta secara batil menurut Al-qur’an dan
Hadits?
4. Apa saja contoh-contoh perbuatan mengambil harta secara batil?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi harta.
2. Untuk mengetahui definisi batil.
3. Untuk mengetahui hukum mengambil harta secara batil menurut Al-qur’an
dan Hadits.
4. Untuk mengetahui contoh-contoh perbuatan mengambil harta secara batil.

2
5.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Harta
Para fuqaha’ memberikan berbagai definisi tentang harta. Sebagian dari
mereka mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang diingini oleh tabiat manusia
dan boleh disimpan untuk tempoh yang diperlukan atau sesuatu yang dapat
dikuasai, disimpan dan dimanfaatkan. Muhammad Salam Madkur menungkapkan
bahwa harta menurut para ulama fiqh ialah segala sesuatu yang boleh dikuasai dan
disimpan untuk dipergunakan kapan diperlukan. Al-Syarbaini al-Khatib
berpendapat, harta adalah sesuatu yang ada nilai dan orang yang merusakkannya
akan diwajibkan membayar ganti rugi. Menurut golongan Hanafi, harta
merupakan benda atau barang yang boleh dikuasai dan kebiasaannya boleh
diambil faedah darinya. Maksudnya ialah sesuatu harta itu perlu ada dua unsur
yaitu3:
Pertama, boleh dikuasai (hiyazah). Oleh karena itu, sesuatu barang yang tidak
bisa dikuasai, tidak dianggap harta. Jadi perkara-perkara maknawi seperti
pengetahuan, kesihatan, kemuliaan dan kecerdikan tidaklah dianggap harta sebab
ia tidak boleh dikuasai. Demikian juga dengan sesuatu yang tidak boleh dikuasai
seperti udara bebas, panas matahari dan cahaya bulan. Kedua, pada kebiasaannya
boleh diambil faedah. Oleh karena itu, sesuatu yang langsung tidak boleh diambil
faedah darinya seperti daging bangkai, makanan yang beracun, makanan yang
sudah rusak ataupun sesuatu yang boleh diambil manfaat darinya, tetapi tidak
dianggap manfaat oleh manusia, pada kebiasaannya seperti sebiji gandum atau
setitik air, maka ia tidak dianggap harta karena ia tidak bermanfaat apabila
terpisah dari kesatuan yang lainnya.4
Berasaskan definisi para fuqaha’ di atas dapat dijelaskan bahwa menurut
fuqaha’ selain dari Hanafi mengungkapkan harta itu tidak saja bersifat materi,
tetapi juga termasuk manfaat dari sesuatu benda sebab ia boleh diambil dan
dikuasai dengan cara mengambil asal dan sumbernya. Juga karena manfaat dan
hak-hak itu menjadi tujuan dari sesuatu benda (barang), jika tidak ada manfaat,

3
Rizal, Eksistensi Harta dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis), Kudus, Jurnal Penelitian
Vol. 9 No. 1, 2015, hal. 95
4
Ibid., hal. 95-96

3
maka benda-benda itu tidak akan diambil (dicari) dan orang tidak akan
menyukainya. Sedangkan fuqaha’ dari golongan Hanafi membatasi definisi harta
pada perkara-perkara atau benda-benda yang mempunyai fisik dan zat yang dapat
dirasa. Adapun mengenai manfaat dan hak-hak, maka itu tidak dihitung harta pada
pandangan mereka, ia merupakan milik tetapi bukan harta.5
Ulama Hanafi Mutaakhirin berpendapat bahwa definisi al-mal yang
dikemukakan oleh pendahulunya di anggap tidak komprehensif dan kurang
akomodatif sehingga mereka lebih cenderung untuk menggunakan definisi al-mal
yang dikemukakan oleh jumhur ulama di atas, karena persoalan al-mal terkait
dengan persoalan adat kebiasaan, situasi dan kondisi suatu masyarakat. Menurut
mereka, kondisi hari ini kadang kala manfaat sesuatu benda boleh banyak
menghasilkan penambahan harta dibandingkan fisik bendanya sendiri, seperti
perbandingan harga antara mengontrakkan rumah selama beberapa tahun dari
menjualnya. Oleh karena itu, Mustafa Ahmad al-Zarqa’ dari golongan Hanafi
Mutaakhirin mengungkapkan definisi al-mal sebagai sesuatu yang mempunyai
nilai materi di kalangan masyarakat.6
Berasaskan perubahan definisi yang diungkapkan oleh Mustafa Ahmad al-
Zarqa di atas, secara keseluruhan baik definisi yang dikemukakan oleh jumhur
ulama atau golongan Hanafi Mutaakhirin, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa
segala sesuatu itu boleh disebut sebagai harta apabila memenuhi dua syarat
berikut: Pertama, benda itu boleh dimiliki. Kedua, benda itu boleh dimanfaatkan.7
Berikut ini ada beberapa perkara yang bisa masuk ke dalam ciri-ciri harta
yaitu8:
a. Sesuatu yang kita miliki dan boleh diambil manfaat darinya seperti rumah,
kereta, tanah dan sebagainya.
b. Sesuatu benda yang belum kita miliki, tetapi berkemungkinan untuk
memilikinya juga dianggap sebagai harta. Karena ia dapat dimiliki, seperti
ikan di laut, burung di udara atau binatang di hutan boleh dianggap sebagai
harta.

5
Rizal, Eksistensi Harta dalam Islam (Suatu Kajian Analisis Teoritis), hal. 96
6
Ibid., hal. 96-97
7
Ibid., hal. 97
8
Ibid., hal. 97-98

4
c. Sesuatu yang tidak boleh dimiliki walaupun boleh dimanfaatkan seperti
udara, cahaya dan sebagainya, tidak dianggap sebagai harta.
d. Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan dalam keadaan biasa seperti setitik
air atau sebiji beras, walaupun boleh dimiliki, tidak dianggap sebagai harta.
Maksud kegunaan dalam keadaan biasa ialah kegunaan mengikut kebiasaan
manusia dan tabiat sesuatu benda tersebut. Beras, sebagai contohnya adalah
makanan manusia yang mengenyangkan sebaliknya jika sebiji saja, beras
tidak lagi sebagai sesuatu yang memberi manfaat kepada manusia
walaupun boleh disimpan dan dimiliki.
e. Sesuatu yang dicegah oleh syara’ untuk dimanfaatkan oleh semua orang,
tidak dianggap sebagai harta walaupun benda itu dapat dimiliki dan
dimanfaatkan oleh seseorang. Contoh seperti bangkai yang dicegah oleh
syara’ untuk dimanfaatkan.
f. Seandainya sesuatu itu diharuskan boleh dimanfaatkan oleh sebagian
golongan manusia, ia masih dianggap sebagai harta bagi mereka seperti
babi dan arak, yaitu dianggap harta bagi kafir dhimmi tetapi tidak bagi
orang Islam. Karena orang-orang Islam tidak boleh mengambil manfaat
dari arak dan babi kecuali dalam keadaan darurat yang telah memenuhi
syarat-syaratnya. Begitu juga, kedua-duanya tidak boleh dijadikan hak
milik. Harta jenis ini dikenal sebagai harta yang tidak bernilai pada
pandangan syara’. Walau bagaimanapun, Imam Abu Hanifah menganggap
bahwa arak dan babi merupakan harta yang bernilai bagi orang-orang
bukan Islam. Sebaliknya, jumhur ulama secara mutlak tidak menganggap
kedua-duanya sebagai harta yang bernilai walaupun kepada bukan Islam.
2.2 Pengertian Batil
Batil berarti salah yang merupakan lawan dari haq yang berarti benar. Batil
juga berarti tidak ada ketetapan dalam perkataan dan perbuatan sehingga
mendorong pelakunya untuk melakukan perbuatan dosa. Istilah ini banyak
ditemukan dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan makna. Istilah batil ini
cenderung menunjukkan keburukan yang berhubungan dengan akidah dan sosial.9

9
Imam Sudarmoko, Keburukan dalam Perspektif Al-Qur’an (Telaah Ragam, Dampak, dan Solusi
terhadap Keburukan), Ponorogo, Dialogia Vol. 12 No. 1, 2014, hal. 28

5
Kata batil menurut bahasa Arab berarti, yang hilang, yang batil, yang rusak, atau
yang rugi.10 Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah ayat 188.

‫اس بِااْل ِ ْث ِم‬ ِ ‫َواَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوْ ا بِهَٓا اِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوْ ا فَ ِر ْيقًا ِّم ْن اَ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬
َ‫َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa,
padahal kamu mengetahui.
Dengan demikian, batil yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah suatu
perbuatan, atau cara yang dilakukan oleh seseorang, yang tidak mengikuti aturan,
atau hukum yang telah ditentukan oleh syariat Islam, seperti melakukan korupsi,
suap, pencucian uang, dan lain-lain baik untuk kepentingan perorangan dan
keluarga, maupun untuk kepentingan kelompok yang dapat menghilangkan hak
orang lain, atau dapat mendatangkan kerugian bagi masyarakat atau negara.11
Kata batil (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 92) memiliki kata dasar bathil
yang bermakna fasad atau rusak, sia-sia, tidak berguna, bohong. Al-Baathil sendiri
berarti sesuatu yang batil, yang salah, yang palsu, yang tidak berharga, yang sia-
sia dan syaitan.12
Pendapat lain dari Ar-Raghib al-Asfahani (Abi alQasim al-Husain bin
Muhammad ar-Raghib Al-Asfahani, 1961: 50-51) menjelaskan, al-Baathil
bermakna lawan dari kebenaran yaitu segala sesuatu yang tidak mengandung apa-
apa didalamnya ketika diteliti atau diperiksa atau sesuatu yang tidak ada
manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat. Shihab menyebutkan bahwa makna
bathil yaitu segala perkara yang diharamkan Allah SWT atau tidak ada haknya.
Dalam artian pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang
disepakati. Dalam konteks ini dikaitkan dengan sabda Nabi SAW: “Kaum
muslimin sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat yang mereka sepakati,
selama tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”13

10
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Aktualisasi Syariah dan Fikih dalam Menyelesaikan Pelbagai
Persoalan Hukum, Jakarta, Ahkam Vol. XV No. 2, 2015, hal. 244
11
Ibid.
12
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), hal. 248
13
Ibid.

6
Kata al-Bathil dalam al-Qur’an terdapat 36 kali dengan berbagai derivasinya.
Bathala disebut satu kali dalam surat al-‘Araf ayat 11, tubthilu dua kali dalam
surat al-Baqarah ayat 264 dan surat Muhammad ayat 33. Yubthilu satu kali dalam
surat al-Anfal ayat 8 dan sayubthiluhu satu kali dalam surat Yunus ayat 81.
Dibanding bentuk kata lainnya, kata bathilun disebut paling banyak yaitu 24 kali
dalam al-Qur’an. Bathilan disebut dua kali dan mubthilun disebut lima kali
(Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1981: 123-124). Wahbah Az-Zuhaili dalam
kitabnya Tafsir al Wajiz wa Mu’jam Ma’aniy al-Qur’an al-‘Aziz, menjelaskan
bahwa kata bathil dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan memakan harta
manusia secara batil ada di 4 tempat, yaitu: Al-Baqarah ayat 188, an-Nisa ayat 29
dan 161, dan at-Taubah ayat 34.14
2.3 Hukum Mengambil Harta secara Batil menurut al-Qur’an dan Hadits
Sebelum mengetahui bagaimana hukum mengambil harta secara Batil menurut
al-Qur’an dan Hadits alangkah baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu
kaidah yang mendasari hal ini, yaitu:

‫ك َغي ِْر ِه بِاَل إِ ْذ نِ ِه‬


ِ ‫ص َّرفَ فِي ِم ْل‬
َ َ‫اَل يَجُو ُز أِل َ َح ٍد أَ ْن يَت‬
Tiada seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa
izin si pemilik harta.
Islam tidak membatasi mencari harta dengan cara apapun, selama tidak
melanggar prinsip-prinsip yang telah ditentukan syara’. Karena hukum asal dalam

ِ ‫ األَصْ ُل فِي ْال ُم َعا َماَل‬dan


َ ‫ت اإْل ِ بَا‬
bermu’amalah adalah mubah. Kaidah menetapkan ُ‫حة‬
ُ ‫ص‹‹ ُل فِي ْال ُعقُ‹‹وْ ِد َو‬
‫الش‹‹رُوْ ِط الص‹‹حْ ة‬ ْ َ ‫ اأْل‬bahwa kaidah ini memberikan jalan bagi
manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik
dan mediasi dalam melakukan perdagangan. Namun, Islam mempunyai prinsip-
prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur
dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zulum (merugikan atau tidak adil
terhadap salah satu pihak). Begitu halnya dalam bisnis dengan sistem pemberian
bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di
atas. Dalam artian seluruh rangkaian bisnis juga harus terbebas dari unsur

14
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), hal. 248-
249

7
MAGHRIB, singkatan dari lima unsur, diantaranya maysir (judi), aniaya (zulum),
gharar (penipuan), haram, riba (bunga), iktinaz atau ihtikar, dan bathil.15
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 29.

‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل‬


ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬ ِ َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج‬
‫تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.

Surat an-Nisa ayat 29 tersebut merupakan larangan tegas mengenai memakan


harta orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan bathil. Memakan harta sendiri
dengan jalan batil adalah membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan
harta orang lain dengan cara batil ada berbagai caranya, seperti pendapat Suddi,
memakannya dengan jalan riba, judi, menipu, menganiaya. Termasuk juga dalam
jalan yang batal ini segala jual beli yang dilarang syara’ (Syekh. H. Abdul Halim
Hasan Binjai, 2006: 258).16
Wahbah Az-Zuhaili (AzZuhaili Wahbah, 1997: 84) menafsirkan ayat tersebut
dengan kalimat janganlah kalian ambil harta orang lain dengan cara haram dalam
jual beli, (jangan pula) dengan riba, judi, merampas dan penipuan. Akan tetapi
dibolehkan bagi kalian untuk mengambil harta milik selainmu dengan cara dagang
yang lahir dari keridhaan dan keikhlasan hati antara dua pihak dan dalam koridor
syari’. Tijarah adalah usaha memperoleh untung lewat jual beli. Taradhi (saling
rela) adalah kesepakatan yang sama-sama muncul antar kedua pihak pelaku
transaksi, jual beli tanpa ada unsur penipuan.17
Al Maraghi (Mustafa AlMaraghi, 2004) menjelaskan makna kata al-Bathil
dalam ayat tersebut berasal dari kata-kata al-Bathlu dan buthlan yang bermakna
sia-sia dan kerugian. Sedangkan menurut syara’ adalah mengambil harta tanpa
imbalan yang benar dan layak serta tidak ada keridhaan dari pihak yang diambil.
Atau menghabiskan harta dengan cara yang tidak benar dan tidak bermanfaat.
15
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), hal. 248
16
Ibid., hal. 249
17
Ibid., hal. 249-250

8
Termasuk kategori al-Bathil: mengundi nasib, al-ghasy, khida’, riba dan ghabn.
Begitu juga menghabiskan harta pada tempat yang haram, dan menghabiskannya
pada tempat yang tidak bisa diterima oleh logika sehat.18
Menurut al-Biqa’iy (Burhan al-Din Abi al-Hasan Ibraim ibn Umar Al-Biqa’iy,
2006: 368) al-Batil berarti segala sesuatu yang dari berbagai seginya tidak
diperkenankan Allah, baik aspek esensinya atau sifatnya. Sedangkan al-Razi
(Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar ibn al-Husayn al-Tamimiy Al-Razi, 1990:
57) membaginya ke dalam dua makna, pertama, sesungguhnya segala sesuatu
yang tidak dihalalkan oleh hukum syara’, kedua, mengambil sesuatu milik orang
lain tanpa pengganti.19
Baidhawi (Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Asy Syirazi Baidhawi, n.d:
276) memberikan penafsiran mengenai surat an-Nisa ayat 29, yaitu mendapatkan
harta yang tidak diperbolehkan syariat seperti ghasab, riba dan lotre.20
al-Lusi (Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Lusi, n.d: 302) menafsirkan harta
batil tersebut yang didapatkan dengan unsur menzalimi, yaitu dengan riba dan
lotre. al-Tabari (at-Thabari, 2001: 83) menjelaskan bahwa makna memakan harta
dengan batil dalam surat an-Nisa tersebut yaitu janganlah diantara kalian
memakan harta orang lain dengan jalan yang diharamkan, seperti riba, lotre dan
sebagainya dari harta yang diharamkan Allah dari padanya. Sedangkan Ibnu
Abdul As-Salam (Izuddin Ibnu Abdul As-Salam, 1996: 96) menafsirkannya
dengan cara lotre, riba, ghasab, dengan zalim atau akad yang rusak.21
Dari beberapa definisi bathil yang dijelaskan oleh para mufassirin di atas baik
oleh Wahbah Az Zuhaili, al Maghri dan lain-lainnya terhadap penafsiran ayat an-
Nisa 29, tidak menunjukkan perbedaan signifikan, contoh definisi yang diberikan
oleh Wahbah Az Zuhaili lebih pada menunjukkan cara memperoleh harta,
sedangkan definisi yang diberikan al-Maghari fokus pada cara menggunakan.
Yang kesemuanya menyebutkan bahwa prilaku memakan harta secara batil ialah
perilaku yang mendatangkan kezaliman bagi orang lain. Di antaranya dalam
bentuk riba, lotre (maisir), ghasab (mencuri), khianat dan sebagainya.22

18
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), hal. 250
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Ibid.

9
Dikaji dari munasabah dengan ayat sebelumnya (an-Nisa ayat 28) tidak ada
kaitannya. Namun, Ibnu ‘Asyur berpandangan bahwa terdapat pada ayat-ayat
sebelumnya yang berkenaan dengan hukum-hukum waris, nikah dan mengandung
beberapa perintah untuk menunaikan menunaikan harta kepada yang berhak.23
Selain dalam surat an-Nisa aya 29, larangan mengambil harta secara batil juga
di atur dalam surat at-Taubah ayat 34.

 ‫ص ُّدوْ نَ ع َْن‬ ُ َ‫اط ِل َوي‬ ِ َ‫اس بِ ْالب‬ِ َّ‫ال الن‬ َ ‫ار َوالرُّ ْهبَا ِن لَيَأْ ُكلُوْ نَ اَ ْم َو‬ ٰ
ِ َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذينَ ا َمنُ ْٓوا اِ َّن َكثِ ْيرًا ِّمنَ ااْل َحْ ب‬
ٍ ‫ضةَ َواَل يُ ْنفِقُوْ نَهَا فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ۙفَبَ ِّشرْ هُ ْم بِ َع َذا‬
‫ب اَلِي ۙ ٍْم‬ َّ ِ‫َب َو ْالف‬ َّ َ‫َسبِي ِْل هّٰللا ِ ۗ َوالَّ ِذ ْينَ يَ ْكنِ ُزوْ ن‬
َ ‫الذه‬
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim
dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang
batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan
Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) azab yang pedih.

Yusuf al-Qardhawi (Yusuf AlQardhawi, 2014: 80) menjelaskan bahwa yang


dimaksudkan dengan “memakan” dalam ayat tersebut adalah menerima,
mengambil dan menguasai. hal ini diungkapkan dengan “memakan” sebagai
kiasan.24
Ayat ini memberikan pesan kepada orang-orang yang beriman agar tidak
berprilaku sebagaimana orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani, yang
mengambil dan menggunakan harta orang lain dengan jalan batil, antara lain
dengan menerima sogok, memanipulasi ajaran untuk memperoleh keuntungan
materi. Mereka menampakkan diri sebagai agamawan yang dekat dengan Tuhan
dan seolah-olah mementingkan akhirat tetapi hakekat mereka tidak demikian.25
Perilaku memakan harta orang dengan jalan batil yang mereka lakukan
dengan cara mengambil harta itu dengan cara menyuap untuk mengubah aneka
hukum dan syariat, dan meyakinkan orang lain bahwa dirinya merupakan orang-
orang yang pandai dan terampil dalam menafsirkan ayat serta menjelaskan

23
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), hal. 250-
251
24
Ibid., hal. 252
25
Ibid.

10
kandungan ayat-ayat Allah. “Memakan” diungkapkan dengan “mengambil”,
adahal yang di cela hanyalah mengambil harta secar batil, karena memakan
merupakan tujuan utama dari mengambil.26
Asy-Sya’rawi (Asy-Sya’rawi, 1999: 754) mengemukakan bahwa salah satu
aspek kemukjizatan al-Qur’an adalah uraian ayat ini di mana Allah swt.
menguraikan tentang emas dan perak, dua jenis barang tambang yang dijadikan
Allah sebagi dasar penetapan nilai uang dan alat tukar dalam perdagangan,
kendati ada barang tambang lainnya yang lebih mahal dan berharga. Tetapi,
demikianlah keadaannya hingga kini diseluruh dunia kedua barang tambang itu
masih tetap menjadi dasar bagi perdagangan dan nilai uang setiap negara.27
Keterkaitan ayat 34 surat at-Taubah (munasabah) dengan sebelumnya, maka
ayat 34 surat at-Taubah ini tidak memiliki munasabah dengan sebelumnya. Pada
ayat 33 at-Taubah sebelumnya berkenaan dengan perilaku orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang menjadikan pendeta dan rahibnya sebagai Tuhan mereka. Dan
tidak mempercayai para rasul sebagai utusan Allah. Sedangkan ayat 34 tersebut
bisa dipahami bahwa harta yang termasuk dalam golongan batil tidak hanya harta
yang sudah jelas diketahui bahwa jalan yang ditempuh dengan sesuatu cara yang
zalim, namun harta yang didapatkan secara halal saja dapat berubah status
menjadi batil apabila tidak dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syara’ seperti
menahan tidak diproduktifkan.28
2.4 Contoh-contoh Perbuatan Mengambil Harta secara Batil

2.4.1 Risywah (Suap-Menyuap)


Risywah secara bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Arab. Sedangkan
risywah dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja/fi’il ( ‫ ) َرشا‬dan masdhar (kata
ْ ‫)ال َّر ْش َوةُ أوالرُّ ْش َوةُ أوال ِّر‬. Di dalam Lisan al
jadi) dari kata kerja tersebut adalah ( ُ‫ش َوة‬
‘Arab Ibnu Mandzur menyebutkan perkataan Abul ‘Abbas berkaitan dengan asal
kata risywah.29

26
Taufiq, Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah), hal. 252
27
Ibid.
28
Ibid., hal. 252-253
29
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) dan Perbedaannya dengan Hadiah dalam Pandangan
Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat dan Hadis Tentang Risywah), Bogor, Al Maslahah Jurnal
Hukum dan Pranata Sosial Islam, 2017, hal. 431

11
ْ ‫الرُّ ْش َوةُ مأْخوذة من َرشا الفَرْ ُج إذا م َّد‬
‫رأ َسه إلى أُ ِّمه لتَ ُزقَّه‬
Kata Rusywah / Risywah diambil dari konteks anak burung yang menjulurkan
kepalanya ke dalam mulut induknya seraya meminta makanan yang berada di
paruh induknya untuk disuapkan.

Adapun di dalam Mu’jam al Wasith disebutkan bahwa kalimat risywah berasal


dari kata ‫ الرشاء‬yang bermakna:30

‫الحبل أو حبل الدلى وهحىها‬


Seutas tali atau tali ember dan semacamnya.

Risywah secara istilah (terminologi) Di dalam al Mu’jam al Wasith disebutkan


bahwa makna risywah adalah:

‫ما يعطى لقضاء مصلحة أوما يعطى إلحقاق باطل أو إبطال حق‬
Apa saja yang diberikan (baik uang maupun hadiah) untuk mendapatkan suatu
manfaat atau segala pemberian yang bertujuan untuk mengukuhkan sesuatu yang
batil dan membatilkan suatu yang haq.

Ibnu Hajar al ‘Asqalani di dalam kitabnya Fath al Baari telah menukil


perkataan Ibnu al ‘Arabi ketika menjelaskan tentang makna risywah sebagai
berikut:31

‫الرشوة كل مال دفع ليبتاع به من ذي جاه عونا على ما ال يحل‬


Risywah atau suap-menyuap yaitu suatu harta yang diberikan untuk membeli
kehormatan/kekuasaan bagi yang memilikinya guna menolong/melegalkan
sesuatu yang sebenarnya tidak halal.

Menurut Abdullah Ibn Abdul Muhsin risywah ialah sesuatu yang diberikan
kepada hakim atau orang yang mempunyai wewenang memutuskan sesuatu
supaya orang yang memberi mendapatkan kepastian hukum atau mendapatkan

30
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) dan Perbedaannya dengan Hadiah dalam Pandangan
Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat dan Hadis Tentang Risywah), hal. 431
Ibid., hal. 432
31
Ibid.

12
keinginannya. Risywah juga dipahami oleh ulama sebagai pemberian sesuatu yang
menjadi alat bujukan untuk mencapai tujuan tertentu.32
Adapun menurut MUI suap (risywah) adalah pemberian yang diberikan oleh
seorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan
yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak.33
Jadi, dari berbagai definisi diatas dapat kita simpulkan tentang definisi
risywah secara terminologis yaitu suatu pemberian baik berupa harta maupun
benda lainnya kepada pemilik jabatan atau pemegang kebijakan/kekuasaan guna
menghalalkan (atau melancarkan) yang batil dan membatilkan yang hak atau
mendapatkan manfaat dari jalan yang tidak ilegal.34

2.4.2 Gharar (Tipuan dalam Jual Beli)


Arti kata gharar adalah resiko, tipuan dan menjatuhkan diri atau harta ke
jurang kebinasaan. Secara istilah, diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah (2002:275)
yang mengatakan bahwa gharar adalah sesuatu yang majhul (tidak diketahui)
akibatnya. Sedangkan menurut Sayyid Sabiq (1994:144) gharar adalah penipuan
yang mana dengannya diperkirakan mengakibatkan tidak ada kerelaan jika
diteliti.35
Di dalam al-Qur’an tidak ada nash secara khusus yang mengatakan hukum
gharar. Menurut Nafik (2009:17), Allah melarang mengambil dan memakan harta
sesamanya dengan cara yang batil kecuali dengan tukar menukar yang saling suka
(ridha), seperti telah disebutkan dalam Quran surat An-nisa 29:36

‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل‬


ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬ ِ َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج‬
‫تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
32
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) dan Perbedaannya dengan Hadiah dalam Pandangan
Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat dan Hadis Tentang Risywah), hal. 432
33
Ibid.
34
Ibid.
35
Achmad Hijri Lidinillah, Praktik Gharar pada Hubungan Bisnis UMKM-Eksportir Furnitur di
Jepara, Surabaya, JESTT Vol. 2 No. 2, 2015, hal. 113
36
Ibid.

13
Allah juga melarang umat manusia membawa urusan harta ke pengadilan
dengan tujuan untuk dapat mengambil harta sesamanya dengan cara yang batil
walaupun mungkin disahkan oleh pengadilan atau seorang hakim. Praktik batil ini
sering terjadi hanya karena sebenarnya pihak yang memliki harta tersebut lemah
dalam hukum dan lemah dalam mempertahankan hartanya. Kemungkinan
kejadian ini akan banyak terjadi diantara sesama manusia pada masa sekarang,
maka Allah telah mengantisipasinya dengan menginatkan dan melarang perbutan
yang demikian, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah 188:37

ِ ‫َواَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل َوتُ ْدلُ ْوا بِ َهٓا اِلَى ا ْل ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُ ْوا فَ ِر ْيقًا ِّمنْ اَ ْم َوا ِل النَّا‬
َ‫س بِااْل ِ ْث ِم َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa,
padahal kamu mengetahui.
Dalam al-Qur’an sendiri tidak dijelaskan larangan praktik gharar, tetapi dapat
diqiyaskan dari 2 ayat diatas yang melarang umat manusia melaksanakan akad
yang merugikan salah satu pihak. Dan gharar merupakan akad yang merugikan
salah satu pihak yang berakad. Walau tidak dijumpai ayat al-Qur’an yang
menjelaskan akad gharar, Rasulullah Saw. mengharamkan transaksi gharar dalam
sabdanya. 38

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra.:


‫سلَّ َم عَنْ بَ ْي ِع ا ْل َغ َر ِر‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫نَ َهى َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
Rasulullah Saw. melarang dari jual beli (dengan cara) gharar.

2.4.3 Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw), dan meningkat (al-
irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan
orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada
'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat
unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara
37
Achmad Hijri Lidinillah, Praktik Gharar pada Hubungan Bisnis UMKM-Eksportir Furnitur di
Jepara, hal. 113-114
38
Ibid., hal. 114

14
minhu dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang
diberikan). Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus
yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba
sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara',
baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan
banyak.39
Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam
dosa besar. Tetapi Allah Swt. dalam mengharamkan riba menempuh metode
secara gredual (step by step). Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara
temporer yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui
empat tahapan:40
Tahap pertama. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara
nasihat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk
mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan riba. Di sini, Allah
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong
manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan
harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan berkah-Nya dan
melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan
belum mengharamkannya.
Tahap kedua. Allah menurunkan surat An-Nisa ayat 160-161. Riba
digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini
Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini
juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang
Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi
ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan
riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya yang
akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.

39
Wasilul Chair, Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah, Pamekasan, Iqtishadia Vol. 1 No. 1,
2014, hal. 100-101
40
Ibid., hal. 106-107

15
Tahap ketiga. Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan
riba secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini
menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah
daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi
sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap
menerimanya.
Tahap keempat. Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang
pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya
dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang
melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika
ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah Swt. dan
Rasul-Nya.
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu:41
a. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qardh, yaitu suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar
dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
b. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang
dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi, dan Riba Nasi’ah,
yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
nasi’ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian.

2.4.4 Sariqah (Pencurian)


Sariqah (atau saraqah) merupakan masdar (asal kata) saraqa, yasriqu,
sariqun. Proses pencurian disebut sariqah, kata kerjanya adalah saraqa, yasriqu,
sementara pelakunya disebut sariqun (untuk laki-laki) dan sariqatun (untuk
perempuan). Ahmad Warson Munawwir dalam kamusnya “al-Munawwir”

41
Wasilul Chair, Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah, hal. 107-108

16
mengartikan kata sariqah dengan beberapa arti; pertama diartikan mencuri
(akhada al-mala lilghairi khufyatan), kedua diartikan merampok (nahaba), ketiga
diartikan menculik (khathafa) dan keempat diartikan mencopet (saraqa syaian
qalilan). Atabik Ali juga secara umum mengartikan sama yaitu mencuri,
merampok dan menculik, namun dia juga memberi tambahan arti membajak,
menjiplak dan melakukan plagiat. Kedua kamus besar tersebut memiliki
kesamaan menempatkan arti mencuri bagi sariqah pada arti utama dengan cara
meletakkannya paling depan. Juga dapat dikatakan bahwa arti sariqah secara
bahasa juga bisa diartikan selain mencuri, seperti merampok, menculik, mencopet,
membajak, menjiplak dan melakukan plagiat.42
Kata al-sariq (pencuri) menurut orang Arab sendiri adalah orang yang datang
ke sebuah penyimpanan harta secara sembunyi-sembunyi lalu dia mengambil
suatu barang yang bukan miliknya. Apabila seseorang itu mengambil secara
terang-terangan maka orang tersebut dinamakan muhtalis (pencopet), mustalib
(perampok), muntahib (perampas) dan mukhtarisy (perampas). Dalam arti ini
pencuri hanya diartikan untuk suatu pekerjaan mengambil harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi bukan terang-terangan. Pengertian sangat sempit semacam
ini terjadi karena dibatasi oleh sifat dan cara melakukannya dengan sembunyi.
Para ulama fiqih, secara umum, mendefinisikan kata sariqah juga dengan
pengertian di atas.43
Ibnu Qudamah menyatakan bahwa sariqah adalah mengambil harta orang lain
dengan cara sembunyi (khufyah) dan tidak kelihatan (istitar). Seperti kata istiraqu
al-sam’a (mencuri pendengaran) dan musaraqatu alnadhara (mencuri pandangan)
itu boleh dikatakan demikian apabila terjadi secara sembunyi dan tidak kelihatan.
Karena itu ikhtalasa (mencopet) dan ikhtathafa (menculik) tidak dikatakan sariqa
(mencuri) dan menurut pandangan mayoritas ulama mereka tidak terkena had
potong tangan.44
Menurut Abu Syuhbah, secara bahasa, sariqah adalah mengambil sesuatu
secara sembunyi (akhdu al-syai’ khufyatan). Sedangkan secara syari’ah, sariqah
adalah seorang mukallaf (seorang yang telah cakap hukum karena telah baligh dan
42
Ghoffar Ismail, Konsep Sariqah (Pencurian) dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta, Laporan Penelitian Reguler Dosen, 2006, hal. 27
43
Ibid., hal. 27-28
44
Ibid., hal. 28

17
berakal) mengambil harta orang lain secara sembunyi, sampai kadar nishab, dari
tempat penyimpanan dan harta yang dicuri secara jelas dan tidak ragu bukan
miliknya.45
Pengertian tidak berbeda juga diungkapkan oleh al-Qurtubi, sariqah adalah
mengambil harta orang lain secara sembunyi (mustatirron) tanpa amanah.46
Selain beberapa pengertian para ahli hukum yang secara jelas mensifati
sariqah dengan sifat sembunyi-sembunyi, ada yang menempatkan arti sembunyi
itu pada syarat cara yang dilakukan. Seperti al-Jazairi, menyatakan bahwa rukun
sariqah di antaranya adalah bahwa cara melakukannya dengan. Syarat dan rukun
pencurian secara sembunyi itu juga diungkapkan oleh ‘Abd al-Qadir ‘Audah.47
Dari pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa sebuah pencurian itu
dikatakan sariqah dan bisa dikenai had sariqah apabila pelaksananaan pencurian
itu dilakukan secara sembunyi. Dan sifat “sembunyi” tersebut menjadi salah satu
syarat dan rukun yang harus terpenuhi ketika seorang disebut pencuri dan dikenai
had potong tangan. Ini berarti bahwa seorang tidak dikatakan mencuri dan tidak
dikenai had pencurian apabila syarat dan rukun pencurian, seperti pelaksanaannya
secara sembunyi, tersebut tidak terpenuhi. Berikut ini syarat dan rukun pencurian
yang bisa dikenai had potong tangan. Syarat dan rukun tersebut terkait dengan
tiga hal; pelaku pencurian, barang yang dicuri dan sifat pencurian.48

2.4.5 Penundaan Pembayaran Utang


Utang berasal dari kata qarad secara bahasa berarti ‫( الڦطع‬potongan). Harta
yang di bayarkan kepada muqtaid (yang diajak akad qarad) dinamakan qarad,
sebab merupakan potongan dari harta muqrid (orang yang membayar). Adapun
utang piutang secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang
akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut
Firdaus, al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat di tagih
atau di minta kembali. Dalam literatur fiqih, qardh dikategorikan dalam akad
tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.49
45
Ghoffar Ismail, Konsep Sariqah (Pencurian) dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer,
hal. 28
46
Ibid., hal. 28-29
47
Ibid., hal. 29
48
Ibid.
49
Tri Yuliyanti, Tinjauan Hukum Islam tentang Penundaan Pembayaran Hutang Setelah Jatuh
Tempo (Studi pada Lembaga BMT Sepakat Pringsewu Kecamatan Pringsewu Kabupaten

18
Utang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak
yang lainnya dan objek yang di perjanjikan pada umumnya adalah uang.
Kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang memberikan pinjaman, sedangkan
pihak yang lain menerima pinjaman uang.50
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, utang piutang adalah uang yang
dipinjam dari orang lain dan yang di pinjamkan kepada orang lain. Sedangkan
piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).51
Pengertian utang piutang sama dengan pinjam meminjam yang di jumpai
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 yang
berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu
dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.”52
Dalam hutang piutang telah dilakukan akad atau perjanjian di awal sehingga
harus memenuhi syarat- syarat dalam berakad, yakni:53
a. Para pihak yang berakad mampu bertindak sesuai dengan hukum
(mukallaf).
b. Akad tidak dilarang oleh nash syara’.
c. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad
yang bersangkutan.
d. Akad tersebut bermanfaat.
e. Ijab tetap utuh sampai qabul dan dilakukan dalam satu majlis yaitu suatu
keadaan yang menggambarkan proses atau transaksi.

Adapun dasar hukum utang piutang yang di syariatkan dalam Islam yang
bersumber dari al-Qur’an yaitu firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat
245.54

Pringsewu), Lampung, Skripsi, 2018, hal. 17


50
Ibid.
51
Ibid., hal. 17-18
52
Ibid., hal. 18
53
Ibid., hal. 21
54
Tri Yuliyanti, Tinjauan Hukum Islam tentang Penundaan Pembayaran Hutang Setelah Jatuh
Tempo (Studi pada Lembaga BMT Sepakat Pringsewu Kecamatan Pringsewu Kabupaten
Pringsewu), hal. 22

19
ۖ
‹ُُۣ ‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ ٓ اَضْ َعافًا َكثِ ْي َرةً ۗ َوهّٰللا ُ يَ ْقبِضُ َويَ ْب‬
‫ۣصطُ َواِلَ ْي ِه‬ ٰ ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
َ‫تُرْ َجعُوْ ن‬
Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah
melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Ayat di atas menjelaskan akan pentingnya orang yang selalu menafkahkan


hartanya di jalan Allah dan memberi pinjaman kepada seseorang yang
membutuhkan pinjaman. Barang siapa yang memberi pinjaman maka Allah akan
melipat gandakan hartanya. Hal yang menarik dari ayat ini adalah penyebutan
bagi orang menafkahkan hartanya di jalan Allah dengan sebutan “memberi
pinjaman kepada Allah”. Maksudnya adalah Allah mengumpamakan pemberian
seseorang kepada hambanya dengan tulus sebagai pinjaman maka Allah akan
menggantinya di hari kiamat kelak.55
Penundaan pembayaan hutang (suspension of payment atau surseance van
betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan
hakim niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur
diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya
dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya,
termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi
penundaan kewajiban pembayaran hutang sebenernya merupakan sejenis
moratorium, dalam hal ini legal moatoium.56
Hukum menunda pembayaran hutang dapat di bagi menjadi 2, yaitu:57
a. Hukum menunda pembayaran utang adalah haram, jika orang yang
berhutang tersebut telah mampu membayar utang dan tidak memiliki
udzur yang dibenarkan oleh agama setelah orang yang memberikan
utang memintanya atau setelah jatuh tempo.
b. Hukum menunda pembayaran utang adalah mubah, apabila orang yang
berhutang memang benar-benar belum mampu membayarnya atau ia
telah mampu membayarnya namun masih berhalangan untuk

55
Ibid., hal. 22-23
56
Ibid., hal. 41
57
Ibid., hal. 43-46

20
membayarnya, misal uang yang ia miliki belum berada ditangannya
atau alasan-alasan lain yang dibenarkan agama.

2.4.6 Sumpah Palsu


Sumpah palsu dikenal dengan istilah al Yamin al Ghamus, yaitu sengaja
bersumpah untuk mengelabui orang lain dan dengan sumpahnya itu dusta,
misalnya seseorang mengatakan, "Demi Allah saya tidak berbuat hal yang
demikian." padahal sebenamya ia berbuat. Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum sumpah palsu ini, jumhur ulama berpendapat: "sumpah palsu termasuk
sumpah tipuan, tipu daya, dan dusta, maka dianggap tidak sungguh-sungguh
(tidak sah).”58
Sedang Imam Syafi'i memandangnya sebagai sumpah yang sah, karena di
niatkan dalam hati, diikat dengan suatu berita dan disertai dengan menggunakan
Asma Allah.59
Sumpah palsu termasuk dosa yang sangat besar, berarti terang-terangan
menghina akan keagungan Allah.60

2.4.7 Kecurangan dalam Takaran dan Timbangan


Kecurangan dalam menakar dan menimbang mendapat perhatian khusus
dalam al-Qur’an karena praktek seperti ini telah merampas hak orang lain. Selain
itu, praktek seperti ini juga menimbulkan dampak yang sangat vital dalam dunia
perdagangan yaitu timbulnya ketidak percayaan pembeli terhadap para pedagang
yang curang. Oleh karena itu, pedagang yang curang pada saat menakar dan
menimbang mendapat ancaman siksa di akhirat. Allah berfirman dalam surat al-
Muthaffifin ayat 1-6:

َ‫) َواِ َذا َكالُوْ هُ ْم اَوْ َّوزَ نُوْ هُ ْم ي ُْخ ِسرُوْ ۗن‬2( َ‫اس يَ ْستَوْ فُوْ ۖن‬ِ َّ‫) الَّ ِذ ْينَ اِ َذا ا ْكتَالُوْ ا َعلَى الن‬1( َ‫َو ْي ٌل لِّ ْل ُمطَفِّفِ ْي ۙن‬
ٰۤ ُ ُ
)6( َ‫) يَّوْ َم يَقُوْ ُم النَّاسُ لِ َربِّ ْال ٰعلَ ِم ْي ۗن‬5( ‫َظي ۙ ٍْم‬
ِ ‫) لِيَوْ ٍم ع‬4( َ‫ول ِٕٕىِ‹كَ اَنَّهُ ْم َّم ْبعُوْ ثُوْ ۙن‬ ‫) اَاَل يَظ ُّن ا‬3(

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang


apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
58
Fajar Hidayanto, Nilai Filosofis Kafarat Sumpah dalam Syari’at Islam, Yogyakarta, Al-Mawarid
Edisi Kedua, 1993, hal. 55
59
Ibid.
60
Ibid.

21
Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap
Tuhan semesta alam?61

Kata wailul itu memiliki arti azab, kehancuran, atau sebuah lembah di neraka
Jahannam. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang yang melakukan kecurangan
dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan azab sehingga ditempatkan di
lembah neraka Jahannam. Oleh karena itu, setiap pedagang hendaknya berhati-
hati dalam melakukan penakaran dan penimbangan agar ia terhindar dari azab.62
A. Ilyas Ismail menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa
yang terjadi di Madinah. Setibanya di Yathrib (Madinah), Nabi Muhammad Saw.
banyak mendapat laporan tentang para pedagang yang curang. Abu Juhaynah
salah seorang dari mereka. Ia dikabarkan memiliki dua takaran yang berbeda, satu
untuk membeli dan yang satu lagi untuk menjual. Lalu, kepada Abu Juhaynah dan
penduduk Madinah yang lain, Rasulullah Saw. membacakan ayat di atas.63
Ayat ini memberi peringatan keras kepada para pedagang yang curang.
Mereka dinamakan mutaffifin. Dalam bahasa Arab, mutaffifin berasal dari kata
tatfif atau tafafah, yang berarti pinggir atau bibir sesuatu. Pedagang yang curang
itu dinamai mutaffif, karena ia menimbang atau menakar sesuatu hanya sampai
bibir timbangan, tidak sampai penuh hingga penuh ke permukaan. Dalam ayat di
atas, perilaku curang dipandang sebagai pelanggaran moral yang sangat besar.
Pelakunya diancam hukuman berat, yaitu masuk neraka wail. Ancaman ini pernah
mengagetkan seorang Arab (Badui). Ia kemudian menemui Abdul Malik bin
Marwan, khalifah dari Bani Umayyah. Kepada khalifah ia menyampaikan
kegalauannya. Katanya, ''Kalau pencuri kecil-kecilan saja (korupsi timbangan)
diancam hukuman berat, bagaimana dengan para penguasa yang suka mencuri dan
makan uang rakyat dalam jumlah besar, bahkan tidak terhitung lagi jumlahnya
alias tanpa takarannya?'' Khalifah menjawab bahwa korupsi timbangan itu
dianggap sebagai kejahatan besar, karena ia menyangkut sosial ekonomi

61
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam, Lampung, ASAS Vol. 7 No. 1, 2015,
hal. 46
62
Ibid.
63
Ibid.

22
(mu’amalah) yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Korupsi semacam itu bisa
terjadi sepanjang waktu.64
Pada masa lalu, masa Rasulullah, pedagang tradisional mencuri kecil-kecilan
dengan korupsi timbangan. Pada masa sekarang, selain mengurangi takaran dan
timbangan, para pedagang mencuri dengan teknik yang lebih canggih dan dalam
skala yang lebih besar. Praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran, mark
up, dan proyek-proyek fiktif, semuanya tergolong perilaku tercela yang
dinamakan tatfif. Kecurangan pada dasarnya tidak hanya dalam bidang ekonomi,
tapi dalam semua bidang. Kecurangan adalah simbol kebohongan. Setiap
pembohong berarti telah berbuat curang. Orang yang tidak suka melihat orang lain
memperoleh kesuksesan, berarti ia curang. Orang yang hanya melihat aib
saudaranya dan tidak pernah melihat aib dirinya, ia juga curang. Begitu pula,
orang yang hanya menuntut haknya dan tidak pernah mampu melaksanakan
kewajiban-kewajibannya, ia juga dinilai curang.65
Kecurangan merupakan sebab timbulnya ketidakadilan dalam masyarakat,
padahal keadilan diperlukan dalam setiap perbuatan agar tidak menimbulkan
perselisihan. Pemilik timbangan senantiasa dalam keadaan terancam dengan azab
yang pedih apabila ia bertindak curang dengan timbangannya itu. Pedagang beras
yang mencampur beras kualitas bagus dengan beras kualitas rendah, penjual
daging yang menimbang daging dengan campuran tulang yang menurut kebiasaan
tidak disertakan dalam penjualan, pedagang kain yang ketika kulakan membiarkan
kain dalam keadaan kendor, tetapi pada saat menjual ia menariknya cukup kuat
sehingga ia memperoleh tambahan keuntungan dari cara pengukurannya itu,
semua itu termasuk kecurangan yang akan mendatangkan azab bagi pelakunya.66
Penghargaan ajaran Islam terhadap mekanisme pasar berangkat dari ketentuan
Allah bahwa perniagaan harus dilaksanakan secara baik atas dasar suka sama
suka. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa orang beriman dilarang memakan harta
sesama manusia dengan cara yang batil kecuali dengan cara perdagangan atas
dasar suka sama suka yang dengan jelas disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 29.

64
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam, hal. 46-47
65
Ibid., hal. 47
66
Ibid.

23
‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل‬
ٍ ‫ارةً ع َْن ت ََر‬ ِ َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
َ ‫اط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ تِ َج‬
‫تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.67

Hendaknya orang beriman menyempurnakan takaran dan timbangan. Allah


berfirman dalam surat al-An’am ayat 152.

‫ال ْاليَتِي ِْم اِاَّل بِالَّتِ ْي ِه َي اَحْ َسنُ َح ٰتّى يَ ْبلُ َغ اَ ُش َّد ٗه َۚواَوْ فُوا ْال َكي َْل َو ْال ِم ْي َزانَ بِ ْالقِ ْس ِۚط اَل‬
َ ‫َواَل تَ ْق َربُوْ ا َم‬
ّ ٰ ‫نُ َكلِّفُ نَ ْفسًا اِاَّل ُو ْس َعهَ ۚا َواِ َذا قُ ْلتُ ْم فَا ْع ِدلُوْ ا َولَوْ َكانَ َذا قُرْ ٰب ۚى َوبِ َع ْه ِد هّٰللا ِ اَوْ فُوْ ۗا ٰذلِ ُك ْم َو‬
‫صى ُك ْم بِ ٖه‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ۙن‬
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah
kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.68

Karena menyempurnakan takaran dan timbangan dengan jujur merupakan cara


terbaik dalam melakukan transaksi. Sedangkan orang yang suka mengurangi
takaran dan timbangan akan mendapatkan siksa neraka. Dengan demikian seluruh
ayat tersebut menekankan pada pentingnya kejujuran dalam menakar dan
menimbang pada saat melakukan transaksi perdagangan sehingga tidak ada pihak
yang merasa dirugikan.69
Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta,
karena dusta itu merupakan bahaya bagi pedagang. Dusta itu sendiri dapat
membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada
neraka. Karena setiap darah dan daging yang tumbuh dari barang haram maka

67
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam, hal. 47
68
Ibid.
69
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam, hal. 48

24
neraka adalah tempat yang tepat baginya. Selain itu hindari pula banyak sumpah,
khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda:

Tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat dan
tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih, yaitu orang
yang sombong, orang yang suka mengungkit-ungkit kembali pemberiannya, dan
orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli) dengan sumpah
palsu.70

Selain itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu
dapat keluar dari lingkungan umat Islam. Hindari pula pengurangan timbangan
dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran itu membawa celaka. Oleh
karena itu, sikap kehati-hatian dalam menakar dan menimbang ini perlu dilakukan
karena kecurangan merupakan tindak kezaliman yang sulit ditebus dengan taubat.
Hal ini disebabkan kesulitan mengumpulkan kembali para pembeli yang pernah
dirugikan dengan mengembalikan hak-hak mereka.71
Selain kecurangan dalam penakaran dan penimbangan, pengawasan muhtasib
juga diarahkan kepada praktek penipuan kualitas barang. Pedagang seharusnya
menunjukkan cacat barang yang dijualnya. Jika ia menyembunyikan cacat barang
yang dijualnya maka ia dapat dikategorikan sebagai penipu, sedangkan penipuan
itu diharamkan. Kondisi seperti inilah yang disaksikan oleh Rasulullah Saw.
ketika suatu hari menginspeksi pasar Madinah. Abu Hurairah meriwayatkan
inspeksi pasar yang dilakukan Rasulullah sebagai berikut:

Hadis tersebut menyatakan bahwa Rasulullah pada suatu hari berjalan ke pasar,
kemudian beliau melihat pedagang menjual setumpuk kurma yang bagus,
Rasulullah tertarik dengan kurma tersebut, tetapi ketika beliau memasukkan
tangan ke dalam tumpukan kurma itu ternyata di bagian bawahnya busuk,
kemudian Rasulullah menanyakan kepada pedagangnya mengapa kurma yang
dibawahnya basah. Pedagang menjawab bahwa kurma yang basah tersebut
karena hujan. Kemudian Rasulullah bertanya lagi mengapa kurma yang basah

70
Ibid.
71
Ibid.

25
tersebut tidak diletakkan di atas supaya orang bisa melihatnya. Rasulullah
menyatakan bahwa orang yang menipu dalam berdagang bukan umatnya.72

Inspeksi yang dilakukan Rasulullah menunjukkan bahwa dalam transaksi itu


diperlukan kerelaan antara pedagang dan pembeli, sehingga tidak ada pihak yang
merasa dirugikan. Perbuatan menyembunyikan cacat pada barang dagangan
sebenarnya tidak akan menambah rizki, bahkan bisa menghilangkan keberkahan
sebab harta yang dikumpulkan dengan penipuan sangat dimurkai oleh Allah.
Rasulullah bersabda:

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harta tidak akan bertambah karena
tindak kecurangan, sebagaimana harta tidak akan berkurang karena
disedekahkan. Bagi orang yang yang tidak mengenal pertambahan dan
pengurangan harta kecuali melalui ukuran material niscaya sulit menerima
paham tentang keberkahan rizki. Sedangkan orang yang meyakini adanya
keberkahan rizki niscaya akan dengan mudah meninggalkan tindak kecurangan
karena bisa menghilangkan keberkahan rizkinya.73

Penipuan dalam perdagangan merupakan perbuatan yang dilarang. Oleh


karena itu tidak sepatutnya seorang pedagang bersikap kurang peduli dengan
kualitas barang yang diperdagangkannya. Hal ini tentu saja dapat dikiaskan
kepada pedagang sendiri, bagaimana apabila ditipu oleh pedagang lain, tentu saja
ia tidak mau menerimanya. Pemberitahuan cacat suatu barang, dengan demikian,
menjadi suatu keharusan bagi pedagang untuk menjaga kepercayaan pembeli demi
kelangsungan usaha mereka sendiri.74

72
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam, hal. 48-49
73
Ibid., hal. 49
74
Ibid.

26
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Batil (al-Bathil), berasal dari kata bathala, yabthulu yang berarti rusak, salah,
palsu, tidah syah, tidak memenuhi syarat dan rukun, keluar dari kebenaran,
terlarang atau haram menurut ketentuan agama. Islam tidak membatasi mencari
harta dengan cara apapun, selama tidak melanggar prinsip-prinsip yang telah
ditentukan syara’. Karena hukum asal dalam bermu’amalah adalah mubah.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem
bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan)
dan zulum (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Landasan
hukumnya terdapat dalam surat an-Nisa ayat 29, at-Taubah ayat 34, dan al-
Baqarah ayat 188.
Adapun contoh-contoh perbuatan mengambil harta secara batil diantaranya,
risywah (suap-menyuap), gharar (tipuan dalam jual beli), riba, sariqah
(pencurian), penundaan pembayaran utang, sumpah palsu, dan kecurangan dalam
takaran dan timbangan.
Ketahuilah, pemberian terbaik yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba
adalah keimanan dan ketakwaan. Kekayaan dan kecukupan hidup, hendaknya
tidak menjadi kendala seseorang untuk bertakwa. Dia juga harus yakin, bahwa
iman dan takwa merupakan nikmat dan karunia Allah semata.

27
DAFTAR PUSTAKA
Chair, W. (2014, Juni). Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah. Iqtishadia, 1,
100-108.
Haryono. (2017). Risywah (Suap-Menyuap) dan Perbedannya dengan Hadiah
dalam Pandangan Hukum Islam (Kajian Tematik Ayat dan Hadis tentang
Risywah). Al Maslahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 431-432.
Hidayanto, F. (1993, November). Nilai Filosofis Kafarat Sumpah dalam Syari'at
Islam. Al-Mawarid Edisi Kedua, 55.
Ismail, G. (2006, September). Konsep Sariqah (Pencurian) dalam Perspektid
Ulama Klasik dan Kontemporer. Laporan Penelitian Reguler Dosen, 27-
29.
Khoiruddin. (2015, Januari). Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam. ASAS, 7,
46-49.
Lidinillah, A. H. (2015, Februari). Praktik Gharar pada Hubungan Bisnis UMKM-
Eksportir Furnitur di Jepara. JESTT, 2, 113-122.
Rizal. (2015, Februari). Eksistensi Harta dalam Islam (Suatu Kajian Analisis
Teoritis. Jurnal Penelitian, 9, 95-98.
Sudarmoko, I. (2014, Juni). Keburukan dalam Perspektif al-Qur'an (Telaah
Ragam, Dampak, dan Solusi terhadap Keburukan). Dialogia, 12, 28.
Taufiq. (2018, Desember). Memakan Harta secara Batil (Perspektif Surat an-Nisa:
29 dan at-Taubah: 34). Jurnal Ilmiah Syari'ah, 17, 245-253.
Wahab, A. (2015, Juli). Aktualisasi Syariah dan Fikih dalam Menyelesaikan
Pelbagai Persoalan Hukum. Ahkam, XV, 244.
Yuliyanti, T. (2018, April). Tinjauan Hukum Islam tentang Penundaan
Pembayaran Hutang Setelah Jatuh Tempo (Studi pada Lembaga BMT
Sepakat Pringsewu, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Pringsewu).
Skripsi, 17-46.

28

Anda mungkin juga menyukai