Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“KONSEP HARTA”

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu; Muhammad Syafi’i, M.E.I

Disusun Oleh:
Siti Nur Aisyah (2210922012)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2022-2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang Konsep Harta.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan segala
kekurangan dalam makalah ini kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Konsep Harta ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Jember, 24 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I .............................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan ................................................................................................... 2

BAB II ............................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................. 3

1.1 Pengertian Harta .................................................................................. 3


1.2 Status dan fungsi harta ........................................................................ 5
1.3 Memperoleh harta ............................................................................... 8
1.4 Memiliki harta ..................................................................................... 9
.............................................................................................................
1.5 Pemanfaatan harta ............................................................................... 11
1.6 Distribusi harta .................................................................................... 13

BAB III............................................................................................................ 15

PENUTUP ....................................................................................................... 15

2.1 Kesimpulan ......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Al Quran, kata al-Mal dengan berbagai bentuk kata disebut tidak kurang dari 87
kali yang terdapat dalam 79 ayat di 38 surat. Penyebutan beberapa kali di dalam alQur’an
menunjukkan adanya perhatian khusus dalam sesuatu tersebut. Begitu juga dengan harta,
yang mana harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dan manusia tidak akan bisa
terpisah darinya.

Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta
sebagai sesuatu yang lazim. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk
memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai
dengan naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.

Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah
kenikmatan materi dan religi. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan aturanaturan Allah
yang harus diperhatikan oleh manusia agar dalam proses baik pencarian, pemilikan dan
pemanfaatan harta tersebut tidak menimbulkan kekacauan dalam kehidupan. Karena pada
dasarnya aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan

manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama , keselamatan diri,
keselamatan akal, keselamatan harta benda maupun keselamatan keturunan.

Namun sebaliknya kondisi pada saat ini, motivasi untuk memperoleh harta tersebut banyak
keluar dari aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sehingga baik dalam proses pencarian,
kepemilikan maupun pemanfaatannya ada pihak-pihak yang terdholimi dan menjadikan
pelaksanaan Islam sebagai way of life yang diharapkan melahirkan tatanan hayatan thayyibah
tidak bisa terwujud dengan sepenuhnya.

Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini diharapkan bisa membuka lebar-
lebar pikiran kita bagaimana sebenarnya konsep harta menurut Islam. Sehingga dalam
pencarian, kepemilikan dan pemanfaatan harta kita tidak melanggar aturanaturan yang
ditetapkan pemilik harta yang haqiqi yaitu Allah Swt.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian harta ?

2. Apakah fungsi harta?

3. bagaimana memperoleh harta?

D. Tujuan Masalah

1. Untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dosen pengajar.

2. Untuk memperluas pengetahuan bagi para mahasiswa khususnya penulis.

3. Untuk mengetahui apa itu pengertian serta fungsi harta.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 HARTA
• Pengertian harta

Harta dalam bahasa arab di sebut dengan al-mal, yang secara etimologi berarti condong,
cenderung, atau miring. Al-mal juga di artikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan
manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat. Sedangkan secara
terminologi ada dua definisi yang dikemukakan oleh para ulama. Pertama: Ulama hanafiyah
mendefinisikan al- Mal sebagai: segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika
diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Kedua:
Jumhur ulama (selain ulama Hanafiyah) mengartikan al-mal (harta) adalah segala sesuatu
yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau
melenyapkannya.

Dalam kandungan kedua definisi diatas, terdapat perbedaan esensi harta yang dikemukakan
Ulama Hanafiyah dan jumhur ulama. ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang dimaksud
dengan harta itu hanya bersifat materi. Adapun manfaat termasuk ke dalam pengertian milik.
Sedangkan menurut jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga
termasuk manfaat dari suatu benda.

Implikasi dari perbedaan pendapat ini terlihat dalam contoh berikut ; Apabila seseorang
menggunakan kendaraan orang lain tanpa izin, menurut jumhur, orang itu dapat dituntut ganti
rugi, karena manfaat kendaraan itu mempunyai nilai harta. Mereka berpendirian bahwa
manfaat suatu benda merupakan unsur terpenting dalam harta, karena nilai harta diukur pada
kualitas dan kuantitas manfaat benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah mengatakan bahwa
penggunaan kendaraan orang lain tanpa izin, tidak dapat dituntut ganti rugi, karena orang itu
tidak mengambil haknya, tetapi hanya sekadar memanfaatkan kendaraan; sementara
kendaraanya tetap utuh. Namun demikian ulama Hanafiyah tetap tidak dapat membenarkan
pemanfaatan milik orang lain tanpa izin. Manfaat sebagai hak milik menurut mereka tetap
boleh dijadikan mahar dalam perkawinan dan manfaat wajib dizakatkan.

Lebih lanjut ulama Hanafiyah membedakan harta dengan milik. Menurutnya milik adalah
sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang
lain. Adapun harta adalah sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan.

3
Dalam penggunaannya, harta dapat dicampuri oleh orang lain. Jadi menurut ulama
Hanafiyah, yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).

Akan tetapi Mustafa Ahmad al-Zarqa dan wahbah al-Zuhaili yang termasuk ulama’
Hanafiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa definisi harta yang diungkapkan oleh
pendahulunya dianggap tidak konprehensif dan kurang akomodatif, karena dalam surat
alBaqarah, 2: 29 Allah menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakanNya di bumi adalah
untuk dimanfaatkan umat manusia. Mereka lebih cenderung mengggunakan definisi Jumhur
Ulama diatas. Karena persoalan al-Mal terkait dengan persoalan adat kebiasaan, situasi dan
kondisi masyarakat. Menurut mereka, pada zaman ini kadangkala manfaat suatu benda lebih
banyak menghasilkan penambahan harta dibanding wujud bendanya sendiri, seperti
perbandingan harga antara mengontrakkan rumah dalam beberapa tahun dengan menjualnya
secara tunai. Atas dasar itu Mustafa Ahmad al-Zarqa mendefinisikan al-mal (harta) dengan:
segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang beredar diantara manusia.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, Hasbi Ash Shiddieqy mengomentari
sebagai berikut:

1. Harta (mal) adalah “nama” bagi selain manusia yang ditetapkan untuk kemaslahatan
manusia dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dikelola (tasharruf) dengan jalan
ikhtiar.
2. Benda yang dijadikan harta itu, dapat dijadikan harta oleh umumnya manusia atau oleh
sebagian mereka.
3. Sesuatu yang tidak dipandang harta tidak sah kita menjualnya.
4. Sesuatu yang dimubahkan walaupun tidak dipandang harta, seperti sebiji beras. Sebiji
beras tidak dipandang harta walaupun dia boleh kita miliki.
5. Harta itu wajib mempunyai wujud, karenanya manfaat tidak masuk ke dalam bagian
harta.
6. Harta yang dapat dijadikan harta dapat disimpan untuk waktu tertentu, atau untuk waktu
yang lama dan digunakan di waktu dia dibutuhkan.

Dari beberapa kutipan tersebut dapat dipahami bahwa para fuqaha masih berbeda pendapat
dalam menentukan definisi harta. Namun Hasbi Ash Shiddieqy menyimpulkan dari
perbedaan pendapat tersebut bahwa harta merupakan nama bagi selain manusia, dapat
dikelola, dimiliki, diperjualbelikan dan berharga. Konsekuensi perumusan ini sebagai berikut
:

4
1. Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud.
2. . Babi bukanlah harta karena babi bagi kaum muslimin haram diperjualbelikan.
3. Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut
‘urf.
1.2 Status dan Fungsi Harta
Pada dasarnya semua harta yang ada di tangan manusia mutlak kepunyaan Allah.
Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah
yang dipercayakan kepadanya untuk mengelola dan memanfaatkannya pada hal-hal yang
baik.10 Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Hadid (57) ayat :
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.
Dari keterangan ayat di atas jelaslah bahwa pemilik mutlak atas harta yang ada adalah
Allah Swt. Akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya.
Oleh karena itu, kepemilikan pribadi, baik atas barang-barang konsumsi ataupun
barangbarang modal, sangat dihormati walaupun hakikatnya tidak mutlak, dan
pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan dengan
ajaran Islam. Sementara itu dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan bersifat mutlak dan
pemanfaatannya pun bebas. sedangkan dalam ekonomi sosialis justru sebaliknya,
kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada hanyalah milik negara.
Salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta terutama dalam hal
pemanfaatan atau distribusi yang tidak terdapat dalam ekonomi kapitalis maupun sosialis
adalah zakat. Sistem perekonomian di luar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada
pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat
kikir, dengki, dendam dan sifat buruk lainnya . jika dalam ekonomi konvensional
pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai, dan pungutan, maka
Islam memperolehnya dengan zakat, jizyah dan juga kharaj.
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya segala sesuatu adalah milik Allah Swt.
Dan semuanya akan kembali kepada Allah, sehingga aktivitas ekonomi baik produksi,
konsumsi dan distribusi harus senantiasa dikembalikan kepada aturan-aturan yang telah
ditetapkan baik dalam al-Quran maupun sunnah sebagaimana firman Allah dalam al-
Quran surah al-Nur (24) ayat 64:
Ketahuilah Sesungguhnya kepunyaan Allahlah apa yang di langit dan di bumi.
Sesungguhnya Dia mengetahui Keadaan yang kamu berada di dalamnya (sekarang). dan
5
(mengetahui pula) hati (manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya
kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. dan Allah Maha mengehui segala
sesuatu.
Allah menutup surat al-Nur ini setelah menerangkan bahwa Dialah pemberi cahaya bagi
langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dan memberi petunjuk kepada
hamba-Nya dengan melalui Rasul-Rasul-Nya, kemudian mengancam orang-orang yang
melanggar perintahNya dengan menegaskan bahwa milik-Nyalah semua yang ada di
langit dan di bumi dan Dia mengetahui keadaan semua hambaNya dan akan
memperhitungkan semua amal perbuatan mereka serta membalasnya.
Selain, statusnya menjadi milik mutlak Allah al-Quran juga memberikan penjelasan
bahwa status harta juga merupakan:
1. Perhiasan kehidupan dunia, Allah berfirman dalam Surat Al-Kahfi : 46 : Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.
2. Cobaan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat At-Taghaabun : 15 : Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang
besar.
3. Sarana untuk memenuhi kesenangan, Allah berfirman : Surat Ali-Imron : 14: Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-
lah tempat kembali yang baik (surga).
4. Sarana untuk menghimpun bekal menuju kehidupan akhirat, Allah berfirman : Surat
Al-Baqarah : 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. Firman-Nya lagi dalam Surat At-Taubah : 41.
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu, adalah lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.
Sedangkan fungsi harta dapat dijelaskan sebagai berikut :
1 Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab
untuk beribadah diperlukan alat-alat, seperti alat untuk menutup aurat dalam pelaksanaan

6
shalat, pendaftaran dan bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah, dan
hibah, wakaf.
2. Untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt, sebab kefakiran
cenderung dekat kepada kekafiran, sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya, sebagaimana
firman Allah : Surat An-Nisa : 9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka
khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.
4. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat, Nabi
saw, bersabda : Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk
masalah akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga
seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia
kepada masalah akhirat.
5. Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu jelas
membutuhkan biaya.
6. Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan
tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusunlah
masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7. Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan, misalnya,
Bandung merupakan daerah penghasil kain, Cianjur merupakan daerah penghasil beras;
maka orang Cianjur yang membutuhkan kain akan membeli produk orang Bandung, dan
orang Bandung yang membutuhkan beras akan membeli produk orang Cianjur. Dengan
cara begitu akan terjadilah interaksi dan komunikasi silaturahmi dalam rangka saling
mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu, perputaran harta dianjurkan oleh Allah,
sebagaimana firman-Nya : Surat AlHasyr : 7.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya.
7
Secara garis besar, menurut Mustafa Ahmad Zarqa’ bahwa dalam pemilikan dan
penggunaan harta, di samping untuk kepentingan pribadi pemilik harta, juga harus dapat
memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain. Inilah diantaranya fungsi sosial
dari harta itu, karena suatu harta sebenarnya adalah milik Allah yang dititipkan ke
tangantangan manusia yang tidak hanya diperuntukkan kepada orang yang memegang
amanah itu saja. Di samping itu, penggunaan harta dalam ajaran islam harus senantiasa
dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik
harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama
manusia.16 Berkaitan dengan masalah ini Rasulullah menegaskan dalam hadisnya:
“Bahwa pada setiap harta seseorang itu ada hak (orang lain) selain zakat”. (HR.
alTirmidzi).
1.3 Memperoleh Harta
Sebagaimana telah di jelaskan pada uraian yang lalu bahwa harta merupakan salah satu
kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Allah
swt, memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Tetapi
dalam pencarian itu harus memperhatikan usaha-usaha yang baik dan halal. Banyak ayat
al-Qur’an dan hadis yang memerintahkan hal tersebut, antara lain : Firman Allah dalam
surat al-Jumu’ah ayat 10 : Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah
kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah…
Setelah seseorang berusaha mencari karunia Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah
menyuruh kepada orang tersebut untuk memohon kepada Allah agar Allah melimpahkan
karunianya itu dalam bentuk rezeki. Hal ini disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 32 :
…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui segala sesuatu.
Bila telah berusaha memperoleh rezeki Allah dan telah meminta pula perkenan dari
Allah, maka Allah akan memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Jumu’ah ayat 4 : Demikianlah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang
besar.
Dalam mencari dan memperoleh harta, Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam
mencari dan memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip
umum yang berlaku, yaitu Halalan Thoyyibah. Hal ini berarti Islam tidak melarang
seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin. Karena bagaimanapun yang
8
menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah swt sendiri. 17 Di
samping itu, dalam pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi, merupakan alat
untuk menyempurnakan kehidupan dan untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk
dimiliki oleh manusia untuk menunjang kehidupannya, secara garis besarnya ada dua
bentuk :
a. Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Bentuk
yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik oleh siapapun adalah
menghidupkan (menggarap) tanah mati yang belum dimiliki yang disebut ihya al-
mawat. Ihya al-mawat dalam bentuk asalnya ialah membuka tanah yang belum
menjadi milik siapa pun, atau telah pernah dimiliki namun telah ditinggalkan sampai
telantar dan tak terurus. Siapa yang memperoleh tanah dalam bentuk demikian dia
berhak memilikinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berasal dari Sa’id bin
Zubeir yang mengatakan : “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati maka ia
berhak memilikinya”.
Menghidupkan tanah mati sebagaimana disebutkan diatas termasuk usaha
memperoleh dengan tangan dan tenaga sendiri. Usaha ini termasuk yang paling baik.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Rufa’ah bin Rafi’ :
“Bahwa Nabi saw, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik. Nabi
menjawab : “setiap usaha seseorang dengan tangannya (tenaganya) sendiri, dan
setiap jual beli yang baik (jujur)”.
b. Memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui transaksi. Bentuk ini
dipisahkan dari dua cara : Pertama, peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau
yang disebut ijbary yang siapa pun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti
melalui warisan. Kedua, peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya, dalam arti
atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyary, baik melalui kehendak
sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbal
balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli. Kedua cara memperoleh harta ini
harus selalu dilakukan dengan prinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan diridhai
Allah swt.
1.4 Memiliki harta
Agama Islam memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia untuk
memiliki harta karena hal itu merupakan sunnatullah. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam firman Allah surah Ali ‘Imran (3) ayat 14:
9
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Islam memiliki pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan harta di mana
semua bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah Swt demikian juga harta atau
kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia
sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia sesuai dengan
kehendak Allah Swt.
Berbeda dengan pandangan kapitalisme maupun sosialisme, yang keduanya berakar pada
pandangan yang sama yaitu materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa
kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian
melahirkan pandangan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi
manusia. Di mana manusia bebas menentukan cara memperoleh dan memanfaatkannya.
Dari pandangan inilah yang mendorong manusia berusaha menciptakan suatu metode atau
teknologi produksi yang modern untuk dapat memperoleh keuntungan dan pendapatan
yang sebesar-besarnya.
Disisi lain, Islam juga tidak sepakat dengan pandangan sosialisme yang tidak
menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui
adanya hak milik individu. Semua kekayaan adalah milik negara dan negara akan
memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Individu akan diberikan sebatas yang diperlukan
dan dia akan bekerja sebatas kemampuannya. Hal ini justru memudahkan praktek korupsi
dan penyalagunaan wewenang yang menimbulkan kerugian bagi negara dan rakyat.
Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap
perilaku manusia harus dalam kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam
mengatur cara perolehan dan pemanfaatan kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-
Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu:
a. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah), adalah idzin syariat pada individu untuk
memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab altamalluk) individu
yaitu: 1). Bekerja (al-’amal), 2). Warisan (al-irts), 3). Keperluan harta untuk
mempertahankan hidup 4). Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk
kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, 5). Harta yang

10
diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang
temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
b. Kepemilikan Umum (Milkiyah ’Ammah), adalah idzin syariat kepada masyarakat
secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang
mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik,
gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan, barang yang tidak mungkin dimiliki oleh individu
seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb., dan
barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb..
c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah), adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak
pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam
kategori ini adalah harta ghanimah (pampasan perang), Fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 rikaz
(harta temuan), ’ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah
hak milik negara.
1.5 Pemanfaatan harta
Jika harta dicari dan diperoleh sesuai dengan aturan Allah yang tersimpul dalam prinsip
halalan Thoyyibah, maka harta yang telah diperoleh itu pun harus digunakan dan
dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah. Tujuan utama dari harta itu diciptakan Allah
yaitu untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena itu, harta itu harus digunakan
untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan harta yang telah diperoleh itu ada beberapa
petunjuk dari Allah sebagai berikut :20 a. Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup
sendiri. Penggunaan harta untuk kebutuhan hidup dinyatakan oleh Allah dalam firman-
Nya pada beberapa ayat alQur’an, di antaranya pada surat al-Mursalat ayat 43 : Dikatakan
kepada mereka makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu
kerjakan”. meskipun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun
yang dimaksud di sini adalah semua kebutuhan hidup, seperti pakaian dan perumahan.
Hal ini berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup di dunia.
Namun, dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa hal yang dilarang untuk
dilakukan oleh setiap muslim :
1) Israf, yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan
hidup sendiri. Yang dimaksud dengan israf atau berlebih-lebihan itu ialah
menggunakannya melebihi ukuran yang patut, seperti makan sampai kekenyangan,
mempunyai mobil lebih dari yang diperlukan, dan mempunyai rumah melebihi yang
dibutuhkan. Larangan hidup berlebih-lebihan itu dinyatakan Allah dalam surat al-

11
A’raf 31 : Makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan.
2) Tabzir (boros), artinya menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan untuk
menghambur-hamburkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Bedanya dengan israf,
sebagaimana telah disebutkan di atas, ialah bahwa israf itu untuk kepentingan diri
sendiri, sedangkan boros untuk kepentingan lain, seperti memiliki motor balap yang
mahal padahal dia sendiri bukan pembalap. Larangan Allah terhadap pemborosan ini
terdapat di dalam surat al-Isra’ ayat 26 dan 27 :
Janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat
kafir (ingkar) terhadap Tuhannya.
b. Digunakan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban terhadap
Allah itu ada dua macam :
1) Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan
utang terhadap Allah, seperti untuk keperluan membayar zakat atau nazar atau
kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan
untuk manusia. Kewajiban dalam bentuk ini dinyatakan Allah beberapa ayat al-
Qur’an, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 257 : Wahai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (zakatkanlah) dari yang baikbaik dari apa yang kamu
usahakan dan apa-apa yang Kami keluarkan untukmu dari dalam bumi.
2) Kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga, yaitu istri, anak, dan
kerabat. Tentang kewajiban materi untuk istri dan anak dijelaskan Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 233 :
…kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk istri dan anaknya secara
makruf (patut).
Adapun kewajiban memberi nafkah untuk kerabat terlihat dalam firman Allah surat
al-Baqarah ayat 215
: … mereka bertanya kepadamu (ya Muhammad) apa-apa yang akan mereka
nafkahkan, katakanlah : Apa saja harta yang akan kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu bapak dan karib kerabat.
b. Dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua
orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidaklah
sama untuk setiap orang. Ada yang mendapat banyak sehingga melebihi keperluan
hidupnya sekeluarga; tetapi ada pula yang mendapat sedikit dan kurang dari
12
keperluan hidupnya. Yang mendapat rezeki yang sedikit ini memerlukan bantuan dari
saudaranya yang mendapat rezeki yang berlebih dalam bentuk infak. Kenyataan
berbedanya rezeki ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya pada surat al-Nahl ayat 71:
… dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian lain dalam hal rezeki. Orang
yang mendapat kelebihan rezeki ini dituntut untuk menafkahkan sebagian dari
perolehannya itu, sebagaimana disebutkan Allah dalam banyak ayat, di antaranya
dalam surat al-Munafiqun ayat 10 .
… dan infaqkanlah sebagian apa yang Allah telah memberi rezeki kepadamu
sebelum maut mendatangimu.
Di samping Allah memberi pedoman pemanfaatan harta yang telah diperoleh
seseorang dalam bentuk rezeki sebagaimana telah disebutkan di atas, Allah melarang
umat Islam menggunakan hartanya untuk tujuan yang negatif yang dapat menyulitkan
kehidupan orang, menyakiti orang, dan menjauhkan orang dari melaksanakan
perintah agama. Hal ini tampak dalam beberapa firman Allah sebagai berikut :
Larangan penggunaan harta untuk menjauhkan orang dari ajaran agamanya
tergambar dalam celaan Allah dalam surat al-Anfal ayat 36 : Sesungguhnya orang-
orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari
jalann Allah …
Larangan Allah menggunakan harta untuk menyakiti orang dapat dipahami dari
firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 262 :
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan
dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhan mereka.
1.6 Distribusi Harta
Agar tercipta keadilan dan kesejahteraan, Islam telah mengatur mengenai proses dan
mekanisme distribusi kekayaan diantara seluruh lapisan masyarakat. Instrumen distribusi
kekayaan yang ditetapkan oleh Islam adalah sebagai berikut :
1. Wajibnya muzakki membayar zakatnya dan diberikan kepada mustahiq utamanya
kalangan fakir miskin.
2. Hak setiap warga negara untuk memanfaatkan kepemilikan umum. Negara berhak
mengelola secara optimal dan efisien serta mendistribusikannya kepada masyarakat
secara adil dan proporsional.

13
3. Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal bagi yang
memerlukannya.
4. Pemberian harta waris kepada ahli warisnya.
5. Larangan menimbun emas dan perak sekalipun telah dikeluarkan zakatnya.
Pemberlakuan aturan dalam pendistribusian kekayaan secara adil akan menghindari
terjadinya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat. Di satu sisi ada kesempatan dan
peluang bagi individu yang kreatif dan punya potensi untuk dapat memiliki kekayaan
dalam jumlah yang banyak tanpa harus melakukan praktek ekonomi yang dilarang. Disisi
lain negara akan menjaga jangan sampai diantara mayarakatnya yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokoknya.
Mekanisme yang mengatur persoalan distribusi kekayaan diantara manusia tidak
terlepas dari pandangan ideologis bahwa semua kekayaan yang ada di alam semesta ini
pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. Sehingga harus diatur sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah. Manusia tidak punyak hak untuk mengklaim bahwa semua harta miliknya
adalah miliknya secara absolut karena sebenarnya manusia diberikan wewenang untuk
mengelola dan memanfaatkan harta yang ada di dunia dan pada saatnya harus
dikembalikan kepada pemilik mutlaknya yaitu Allah Swt. Oleh karena itu Islam
mendorong sifat dan sikap kepemilikan yang dapat meningkatkan kemanfaatan suatu
barang melalui dorongan semangat etos kerja sama antara pemilik modal dengan
pengusaha, pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dengan
mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan keadilan disamping harus memperhatikan
dimensi keberlanjutan lingkungan ekologi.
Islam mencela sikap dan sifat yang hanya memperhatikan kepentingan individu
tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Gejolak sosial dan berbagai tindak kriminalitas
seringkali dipicu oleh adanya faktor kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat.
Semangat mencari kekayaan harus diimbangi dengan semangat sosial untuk membantu
orang lain yang membutuhkan, sehingga akan terwujud keseimbangan sosial. Kebijakan
ekonomi melalui instrumen moneter dan fiskal merupakan alat untuk mendorong
peningkatan produksi dan distribusi barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat.

14
BAB III

PENUTUP

2.1 Kesimpulan

Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan


harta sebagai sesuatu yang wajar. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga
eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi. Akan tetapi islam
memberikan aturan-aturan dari motivasi tersebut agar tidak terjadi kedholiman di bumi
ini.

Islam sebagai way of life telah memiliki konsep yang jelas tentang harta. Hakikat harta
adalah mutlak kepunyaan Allah dan manusia hanyalah memiliki kewenangan berupa hak
pakai/hak guna pemanfaatan atas semua karunia Allah dan itupun akan dipertanggung
jawabkan kelak di akhirat. Oleh karena itu manusia harus berhati-hati dalam memperoleh,
memiliki, memanfaatkan dan mendistribusikan harta.

Dalam memperoleh harta, Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam mencari dan
memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang
berlaku, yaitu Halalan Thoyyibah. Dalam masalah kepimilikan dan pemanfaatan, Islam
memandang bahwa semua bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah Swt.

Demikian juga harta atau kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk
semua manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk
dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi dirinya, keluarganya dan kesejahteraan umat
manusia sesuai dengan kehendak Allah Swt. Sedangkan dalam masalah distribusi harta,
Islam mencela sikap dan sifat yang hanya memperhatikan kepentingan individu tanpa
memperhatikan keadaan sekitarnya. Gejolak sosial dan berbagai tindak kriminalitas
seringkali dipicu oleh adanya faktor kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat.
Semangat mencari kekayaan harus diimbangi dengan semangat sosial untuk membantu
orang lain yang membutuhkan, sehingga akan terwujud keseimbangan sosial.

Demikian konsep yang diberikan oleh Islam berkaitan dengan harta. Jika konsep ersebut
benar-benar dijalankan di lapisan masyarakat maka tidak akan terjadi kedholiman yang
kadang-kadang menimbulkan pertengkaran ditengah masyarakat. Justru sebaliknya
kesejahteraanlah yag akan dirasakan oleh masyarakat

15
DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007


Ismail Nawawi, (2009), Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum, Putra
Media Nusnatara (PMN), Surabaya.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2002

16

Anda mungkin juga menyukai