Anda di halaman 1dari 31

Makalah

AKAD WAKALAH DAN APLIKASINYA

Dosen Pengampu:Husnul Hidayati M.Ag

Disusun Oleh:

Kelompok I D/II

1. Parman Negara : (220201107)


2. Izattil Hasanah : (220201128)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “” ini dengan baik dan tepat

waktu. Sholawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan alam Nabi besar

Muhammad Saw. Karena atas petunjuknyalah yang telah membawa kita dari alam kegelapan

menuju alam yang terang benderang seperti saat ini. Sehingga kita dapat merasakan

nikmatnya iman dan manisnya menuntut ilmu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fikih Muamalah”. Dalam

penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan baik dalam segi

penulisan maupun isi. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk kami. Sehingga, untuk kedepannya kami dapat menyusun makalah dengan

lebih baik lagi.

Kami mengharapkan, semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat baik

bagikami pribadi, maupun untuk orang lain. Semoga isi dari makalah ini dapat menambah

wawasan kita mengenai.

Mataram, 15 Maret 2023

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4

C. Tujuan ............................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5

A. Pengertian Wakalah........................................................................................................5

B. Dasar hukum Wakalah....................................................................................................7

C. Rukun dan Syarat Wakalah.............................................................................................9

D. Macam-macam Wakalah...............................................................................................12

E. Mengaplikasikan akad Wakalah...................................................................................14

BAB III PENUTUP.................................................................................................................21

A. Kesimpulan ..................................................................................................................21

B. Saran..............................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melihat kehidupan sekarang perlu kiranya kita mengetahui akad dalam

muammalah yang sekarang ini akan kita bahas adalah wakalah (perwakilan), yang

semuanya itu sudah ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab

klasik yang telah dibuat oleh ulam terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukm wakalah,

sumber-sumber hukum wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan dalam

kehidupan kita.

Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah

dapat membantu seesorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh

orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah

direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap

tolong-menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan.

C. Rumusan Masalah

1. Apa itu Wakalah ?

2. Apa saja dasar hukum Wakalah ?

3. Apa saja rukun dan syarat-syarat Wakalah ?

4. Apa saja Macam-macam Wakalah ?

5. Bagaimana cara mengaplikasikan akad Wakalah ?

4
B. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu Wakalah.

2. Untuk mengetahui dasar hukum Wakalah.

3. Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat Wakalah.

4. Untuk mengetahui macam-macam Wakalah.

5. Untuk mengetahui cara mengaplikasikan akad Wakalah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. WAKALAH

Manusia adalah makhluk yang dibebani oleh berbagai kewajiban dan hak. Dalam

penunaian kewajiban, seseorang dituntut supaya menunaikan kewajibannya itu secara

langsung, sebab hal itu termasuk ke dalam tanggung jawabnya. Demikian pula halnya

dalam penerimaan hak-hak. Manusia pribadi diminta pula secara langsung menerima hak-

hak yang dia miliki. Keperluan akan hal semacam ini semakin terasa urgensinya, terutama

dalam lapangan muamalat yang menuntut peran aktif setiap pemilik hak atau setiap

pemikul tanggung jawab.

Di sisi lain, manusia selalu berhadapan dengan kenyataan bahwa kadangkala

mereka tidak dapat menunaikan kewajiban atau menerima haknya secara langsung yang

disebabkan oleh halangan- halangan tertentu. A, umpamanya, sudah sepakat dengan B

untuk melakukan transaksi sewa menyewa sebuah rumah pada suatu waktu yang sudah

ditentukan. Sampai saat yang sudah disepakati, A tidak bisa hadir karena sesuatu uzur.

Bagaimana jalan keluar dari kondisi yang seperti ini? Apakah akad yang akan dilakukan

harus diundurkan waktunya? Bisalah akad itu dilangsungkan tanpa kehadiran salah satu

pihak atau keduanya secara pribadi? Kalau bisa, bagaimana caranya?

Dalam agama Islam dikenal adanya lembaga wakalah yang berfungsi memberikan

kemudahan kepada pihak-pihak yang akan melakukan sesuatu tugas di mana ia tidak bisa

secara langsung dijalankan tugas itu, yakni dengan jalan mewakilkan atau memberik men

kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas nama yang mewad kan atau pemberi kuasa.

Karena itu, wakalah ini merupakan s persoalan yang penting, apalagi pada masa sekarang.

6
Wakalah itu berarti perlindungan (al-bifzh), pencukupan (a kifayab), tanggungan

(al-dhaman), atau pendelegasian (al-tafwidb) yang diartikan juga dengan memberikan

kuasa atau mewakilkan Al-Qur'an juga memakai akar kata yang sama pada beberapa ayat.

D antara contohnya dapat dilihat firman Allah dalam surat Ali Imran ayat

173 yang berbunyi:"Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Allah adalah

sebaik- baik penolong"Atau firmanNya dalam surat al-Syura ayat 6 yang berbunyi:"Dan

orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi

(perbuatan) mereka; dan kamu (ya Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi

mereka".

Adapun pengertian wakalah menurut istilah, para ulama merumuskannya dengan

redaksi yang amat bervariasi. Hashbi AshShiddieqy mengatakan bahwa wakalah adalah

"akad penyerahankekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai

penggantinya dalam bertindak (bertasbarruf)"

mengatakan bahwa wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada

orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Senada dengan rumusan tersebut, ulama

Malikiah berpendapat bahwa wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya

kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang

tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati,' sebab bila dikaitkan

dengan tindakan setelah mati berarti su- dah berbentuk wasiat. Dengan istilah lain,

kelompok Hanafiah meru- muskan bahwa wakalah itu berarti seseorang mempercayakan

orang lain menjadi ganti dirinya untuk bertasbarruf pada bidang-bidang tertentu yang

boleh diwakilkan. Ulama Syafi'iah mengatakan bahwa wakalah adalah suatu ungkapan

yang mengandung maksud pende- legasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain

supaya orang lain itu melaksanakan apa yang dikuasakan atas nama pemberi

kuasaRasanya, dengan mengemukakan beberapa rumusan di atas para pembaca tentu bisa

7
mengambil pengertian tentang wakalah. Namun, untuk lebih jelasnya, dapat diturunkan

beberapa catatan penting, ya- itu dalam wakalah adanya perjanjian antara satu orang

dengan orang lain, isi perjanjian itu berupa pendelegasian tugas oleh pemberi kuasa

kepada yang menerima kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan sesuatu

tindakan tertentu, dan obyek yang dikuasakan mestilah berupa sesuatu yang boleh

dikuasakan atau diwakilkan.Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu

tindakan tertentu kepada orang lain di mana orang lain itu bertindak atas nama pemberi

kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan

oleh agama. Dalil yang di- pakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara

lain, firman Allahdalam surat al-Kahfi ayat 19 yang menceritakan adanya salah seorang

dari ashbab al-kabf itu dipercayakan oleh yang lain untuk mencan makanan. Ayat itu

selengkapnya berbunyi:"Dan demikianlah, Kami bangunkan mereka agar mereka saling

bertanya di antara mereka sendiri". Berkata salah seorang di antara mereka; "Sudah

berapa lamakah kamu berada di sini"? Mereka menjawab. "Kita berada di sini satu hari

atau setengah bari" Yang lain berkata, "Tuhanmu yang paling tabu tentang sudah berapa

lamanya kamu berada di sini". Maka surublah salah seorang di antara kamu pergi ke kota

dengan membawa uang perakmu ini dan bendaklah ia mencari makanan yang lebih baik

untuk kamu makan. Maka hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali

menceritakan halmu kepada siapapun".

Disyari'atkan wakalah, juga dapat dipahami secara firman Allah dalam surat al-

Nisa' ayat 35, yakni"Maka utuslah olehmu seorang bakam dari keluarga suami dan

seorang bakam dari keluarga isteri" Dari sunnah nabi, cukup banyak riwayat yang

menceritakan kebolehan wakalah ini, termasuk diantaranya tindakan nabi SAW sendiri

mewakilkan beberapa hal kepada pihak lain. Diantaranya ialahriwayat

yang menyebutkan:"Rasulullah SAW telah mewakilkan dirinya kepada Umar bin Umay-

8
wab al-Dhamiriy ketika melakukan akad nikah dengan Ummi Habibah

binti Abi Sufyan."Bahwasanya nabi SAW telah mengutus Abu Rafi' seorang budaknya

dari kaum Anshar sebagai wakilnya ketika melakukan akad de- ngan Maimunah binti

Haris.Berdasarkan hal-hal di atas, umat Islam telah sepakat akan kebo- lehan wakalah,

karena hajat memang menghendakinya.1

B. DASAR HUKUM WAKALAH

Wakalah dibolehkan oleh Islam karena sangat dibutuhkan oleh manusia. Dalam

kenyataan hidup sehari-hari tidak semua orang mampu melaksanakan sendiri semua

urusannya sehingga diperlukan seseorang yang bisa newakilinya dalam menyelesaikan

urusannya.

Dasar hukum dibolehkannya wakalah, antara lain tercantum dalamAlquran:

1. Surah Al-Kahfi (18) ayat 19 yang menceriterakan tentang kisah Ashhabul Kahfi:

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara

mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka "Sudah berapa

lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab. "Kita berada (di sini) sehari

atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui

berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara

kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia

lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan

itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali

menceritakan halmu kepada seorang pun."

2. Surah Yusuf (12) ayat 55:Berkata Yusuf:

1
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar FIQH MUAMALAH (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008), Hlm. 19-
23.

9
"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesung guhnya aku adalah orang

yang pandai menjaga, lagi berpengetahuanDari ayat yang pertama (QS. Al-Kahfi

(18) ayat 19) dapat dipahami bahwa untuk membuktikan mereka (ashhabul kahfi)

telah tidur bertahun- tahun, mereka mengutus satu orang (sebagai wakil) untuk

pergi ke kota dan membeli makanan dengan uang yang mereka miliki. Sedangkan

dalam ayat yang kedua (QS. Yûsuf (12) ayat 55), Nabi Yusuf meminta untuk

diberi kuasa guna menjadi bendahara negara. Dengan demikian, dalam kedua

ayat tersebut terdapat bentuk pemberian kuasa atau wakalah.

Di samping Alquran, dasar hukum wakalah terdapat juga dalam hadis Nabi. Di antara

hadis tersebut adalah sebagai berikut.

1. Hadis Urwah Al-Bariqi:

Dari Urwah bin Abi Al-Jaad Al-Bariqi"bahwa Nabi memberinya uang satu dinar

untuk membeli seekor kambing untuk Nabi. Urwah lalu membelidua ekor

kambing untuk Nabi dengan uang satu dinar tersebut. Ia menjual salah satunya

dengan harga satu dinar, lalu ia datang menghadap Nabi dengan membawa uang

satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi lalu mendoakannya supaya diberi

keberkahan dalam jual belinya. Andaikata ia membeli debu (tanah) sekali pun, ia

pasti akan beruntung". (HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Abu Dawud)'

2. Hadis Abu Rafi':

Berkata Abu Rafi': "Nabi berutang seekor unta perawan, kemudian datanglah

unta hasil zakat, Nabi kemudian memerintahkan saya untuk membayar unta

tersebut kepada laki-laki (pemiliknya). (HR. Jama'ah kecuali Al-Bukhari).

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa Nabi memberi kuasa kepada dua

orang sahabat untuk melakukan transaksi. Dalam hadis pertama Nabi memberi

kuasa kepada Urwah Al-Bariqi untuk membeli sekor kambing. Sedangkan dalam

10
hadis kedua Nabi memberi kuasa kepada Abu Rafi' untuk membayar utang seekor

unta kepada seseorang. Dengan demikian, wakalah atau pemberian kuasa pernah

dilaksanakan oleh Nabi, dan ini menunjukkan bahwa wakalah hukumnya

dibolehkan.

Di samping Alquran dan sunnah, semua ummat Islam sepakat tentang

dibolehkannya wakalah. Bahkan menurut Al-Qadhi Husain dan lainnya, wakalah

hukumnya mandub, berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-

Ma'idah (5) ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat

berat siksa-Nya.”2

C. RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WAKALAH

1. Rukun Wakalah

Menurut Hanafiah, rukun wakalah hanya satu, yaitu sighat atau ijab dan qabul.

Sedangkan jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa rukun wakalah ada

empat, yaitu

a. muwakkil atau orang yang mewakilkan,

b. muwakkal atau wakil,

c. muwakkal fih atau perbuatan yang diwakilkan,

d. shighat atau ijab dan qabul

Untuk terwujudnya wakalah tidak disyaratkan shighat yang mencakup qabul dari

wakil. Akan tetapi apabila wakil menolak maka wakalah tidak jadi dilakukan.

Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan: "Jualkan barang saya ini" lalu wakil

diam saja, tetapi ia menjual barang tersebut maka jual belinya hukumnya sah.

Akan tetapi, jika wakil mengatakan: "Saya tidak mau," lalu ia menjual barang
2
Drs. H. Ahmad Waedi Muslich, FIQH MUAMALAT (Jakarta: KREA SINDO MEDIA CITA, 2022), Hlm.419

11
tersebut, maka jual belinya tidak sah, karena ia dengan tegas menyatakan

penolakannya.

2. Syarat-Syarat Wakalah

a. Menurut Hanafiyah

Syarat wakalah berkaitan dengan muwakkil, muwakkal (wakil), perbuatan

yang diwakilkan dan shighat.Syarat muwakkil Sarat untuk muwakkil atau

orang yang mewakilkan adalah:Orang yang mewakilkan harus orang yang

dibolehkan melakukan sendiri perbuatan yang diwakilkannya kepada

orang lain. Apabila muwakkil tidak boleh melakukan perbuatan tersebut,

misalnya karena gila, atau masih di hwah umur, maka wakalah hukumnya

tidak sah. Adapun anak yang sudah nemasuki masa tamyiz, maka tasarruf-

nya terbagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

1. Tasarruf yang betul-betul merugikan seperti talak, hibah, dan

wasiat. Dalam hal ini tasarruf-nya tidak sah sama sekali, dan oleh

karenanya tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.

2. Tasarruf yang betul-betul menguntungkan, seperti menerima

hibah, atau wasiat. Dalam hal ini tasarruf-nya hukumnya sah,

walaupun tidak di- izinkan oleh walinya, dan oleh karenanya maka

sah pula diwakilkan.Tasarruf yang mungkin menguntungkan dan

mungkin pula merugikan, misalnya melakukan jual beli dan ijarah.

Dalam hal ini tasarruf-nya hukumnya sah apabila diizinkan oleh

walinya, dan oleh karenanya maka bisa diwakilkan. Akan tetapi,

apabila walinya tidak mengizinkan maka hukum tasarruf-nya

mauquf (ditangguhkan) sampai ada izin walinya. Demikian pula

wakalah-nya. Adapun Islam bukan merupakan syarat untuk

12
muwakkil. Dengan demikian, seorang kafir dzimmi boleh

mewakilkan kepada orang Islam.

1. Syarat wakil

Syarat untuk wakil ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

 Orang yang mewakili (wakil) harus orang yang berakal.

Dengan demikian, apabila seseorang memberikan kuasa

kepada orang gila atau anak di bawah umur yang tidak

berakal maka wakalah tidaksah. Adapun baligh dan

merdeka tidak menjadi syarat untuk wakil.

 Orang yang mewakili (wakil) harus mengetahui tugas atau

perkara ya diwakilkan kepadanya. Dengan demikian,

apabila wakil tidak mengetahu perkara yang ditugaskan

kepadanya, maka wakalah-nya tidak sah.

2. Syarat perkara yang diwakilkan (muwakkal fih)

Syarat perkara yang diwakilkan adalah sebagai berikut.

 Perkara yang diwakilkan bukan meminta utang (istiqradh).

Dengan demikian, apabila perkara tersebut berupa

permintaan utang maka utang tersebut berlaku untuk wakil,

bukan untuk muwakkil

 Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had

yang tidak disyaratkan pengaduan, seperti had zina. Dalam

hal ini untuk membuktikan tindak pidana zina tidak perlu

adanya pengaduan, sehingga tidak sah untuk diwakilkan.

Adapun hukuman had yang memerlukan pengaduan,

seperti had qadzaf dan had sirqah, maka dalam keabsahan

13
wakalah diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Imam

Abu Hanifah dan Muhammad, wakalah dalam kasus

tersebut hukumnya sah Sedangkan menurut Abu Yusuf

hukumnya tidak sah.

 Selain perkara-perkara yang disebutkan di atas, wakalah

hukumnya sah Misalnya jual beli, sewa-menyewa, nikah,

talak, hibah, shadaqah, khulu', shul (perdamaian), dan

sebagainya. Hanya saja dalam beberapa akad, shighat yang

dinyatakan oleh wakil, harus disandarkan kepada orang

yang diwakili Sebagai contoh dalam akad nikah, wakil

mempelai laki-laki harus menyatakan dalam qabul-nya,

"Saya terima nikah atas nama Si Fulan dengan Fulanah

dengan maskawin sekian."

3. Syarat yang berkaitan dengan shighat

Shighat wakalah terbagi kepada dua bagian:

 Shighat yang khusuS

Shighat yang khusus adalah shighat atau lafal yang

menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang

khusus. Misalnya ucapan seorang muwakkil: "Saya wakil

kepadamu untuk membeli rumah ini.”

 Sighat yang umum

Shighat yang umum adalah setiap lafal yang menunjukkan

pemberian kuasa dalam perkara yang umum. Misalnya

ucapan seorang muwakkil "Kamu adalah wakilku dalam

segala sesuatu." Redaksi yang digunakan tidak terbatas

14
kepada satu bentuk kata atau kalimat tertentu, melainkan

semua kata atau kalimat yang umum yang berisi pemberian

kuasa kepada orang lain. Misalnya: "Saya ingin agar kamu

menempati tempat saya." Dengan demikian tidak ada

syarat tertentu untuk shighat yang digunakan dalam

wakalah.

b. Menurut Malikiyah

ulama-ulama Malikiyah menyatakan bahwa syarat-syarat yang berkaitan

dengan wakil dan muwakkil ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.

1. Merdeka. Dengan demikian, wakalah tidak sah antara hamba

dengan orang merdeka dan antara hamba dengan hamba.

2. Cerdas (ar-rusyd). Dengan demikian, wakalah tidak sah antara

orang yang safih dan orang yang cerdas atau antara safih dengan

safih.

3. Baligh (dewasa). Dengan demikian, wakalah tidak sah antara anak

di bawah umur dan orang dewasa, dan antara anak di bawah umur

dengan anak di bawah umur, kecuali apabila ia seorang wanita

yang masih kecil dan sudah menikah, dan ia ingin menggugat

suaminya atau walinya. Dalam hal ini wakalah-nya bisa diterima.

Adapun Islam tidak menjadi syarat untuk muwakkil (orang

yang mewakilkan). Dengan demikian seorang kafir dzimmi boleh

mewakilkan kepada seorang muslim dan hukum wakalah-nya sah.

Akan tetapi sebaliknya, seorang muslim yang mewakilkan kepada

kafir dzimmi hukumnya tidak sah.

15
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan perkara yang

diwakilkan wakkal fih) hanya satu macam, yaitu bahwa perkara-

perkara tersebut harus berupa perkara yang diterima oleh syara'

dan tidak harus dilakukan sendiri.3

D. MACAM-MACAM WAKALAH

Akad wakalah dapat dibedakan menjadi al-wakalah al 'ammah dan al-

khosshoh. Al wakalah al-khosshoh adalah akadwakalah di mana prosesi

pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan bersifat

spesifik. Arti- nya perwakilan yang dibutuhkan dijelaskan dengan spesifikasi tertentu,

seperti halnya membeli mobil honda tipe X, menjadi advokat untuk menyelesaikan

kasus tertentu, dan lain-lain.

Sedangkan al-wakalah al-'ammah adalah akad wakalah di mana prosesi

pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Prosesi

pendelegasian tersebut meliputi segala transaksi yang bersangkutan dengan diri

muwakkil. Seperti, Anda adalah wakil saya dalam setiap aktivitas yang menjadi

tanggung jawab saya, belikanlah mobil apa saja yang engkau temui, dan lain-lain.

Wakil me- miliki hak dan wewenang untuk menjalankan tugas yang menjadi

wewenang diri muwakkil.

Selain itu, akad wakalah juga bisa dibagi menjadi al- wakalah al-muqayyadah

dan al-wakalah al-muthlaqah. Al-wakalah al muqayyadah adalah akad wakalah di

mana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.

Misalnya, juallah mobilku ini seharga Rp. 100 juta jika kontan, dan Rp. 150 juta, jika

3
Drs. H. Ahmad Waedi Muslich, FIQH MUAMALAT (Jakarta: KREA SINDO MEDIA CITA, 2022), Hlm.
419-425

16
kredit. Dalam konteks ini, wakil hanya bisa melaksanakan perwakilan sebatas

persyaratan yang disebutkan muwakkil, tidak lebih.

Al-wakalah al-muthlaqah adalah akad wakalah di mana wewenang dan

tindakan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu. Misalnya, juallah

mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan, ataupun mekanisme

pembayarannya. Menurut Abu Hanifah, diri wakil memiliki kewenangan mutlak

untuk menjual mobil, baik harganya lebih besar atau kecil. Wakil tetap dalam

kemutlakannya, sepanjang tidak ditemukan bukti, dalil, atau indikasi yang

membatasi kewenangannya.

1. Wakalah Paralel

Bolehkah seorang wakil, kembali mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk

menjadi wakilnya? Jika akad wakalah yang digunakan adalah al-wakalah al-khosshoh

dan al-muqayyadah, di mana diri wakil dibatasi bahwa hanya dirinya yang berhak

melaksanakan mandat, maka ia tidak boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain.

Jika akad wakalah yang digunakan adalah al-'ammah dan al muthlaqah, maka

diri wakil bisa mewakilkan dirinya kepada orang lain sebagai wakilnya, dan status

wakil pertama dan kedua, menjadi wakil dari pihak muwakkil. Ini menurut pendapat

Hanafiyyah. Menurut Syafiiyyah dan Hanabalah, wakil tidak boleh mewakilkan

dirinya kepada orang lain tanpa mendapat izin dari muwakkil, terlebih jika ia mampu

menjalankan mandat yang diberikan. Jika ia tidak mampu melaksanakan mandat,

maka ia boleh mewakilkan kepada pihak lain.

Ulama fiqh sepakat bahwa hukum akad yang dilakukan oleh pihak wakil,

secara otomatis akan kembali kepada diri muwakkil. Artinya, kesepakatan yang

dibentuk, mencermin kan keinginan diri muwakkil, sehingga akad tersebut akan

17
kembali kepada muwakkil. Kesepakatan dan akad yang di- bangun oleh pihak wakil

dengan pihak ketiga, secara otomatis akan menjadi kesepakatan dan akad muwakkil.

Jika transaksi yang dilakukan harus disandarkan kepada muwakkil, maka

wakil tidak boleh menyandarkan transaksi tersebut kepada pribadinya. Jika hal itu

dilakukan, maka transaksi akan menjadi milik wakil, tidak kembali kepada muwakkil.

Misalnya dalam akad pernikahan, talak, khulu, hibah, 'ariyah,

wadi'ah, qardh dan rahn.

Untuk itu, ketika wakil melaksanakan akad, maka harus disandarkan kepada

diri muwakkil, misal, aku terima nikahnya Raihana binti Abdillah untuk Faiq

Abdurrahman, aku hibah- kan harta Ali kepada engkau, dan lain-lain. Jika dalam akad

ini disandarkan kepada diri wakil, misal, aku terima nikahnya Raihana binti Abdillah,

maka Raihana akan resmi menjadi isteri wakil, bukan muwakkil.

Jika transaksi yang dilakukan tidak ada kewajiban untuk disandarkan kepada

muwakkil, maka transaksi akan kembali kepada pihak yang melakukan akad. Jika

dalam akad, transaksi disandarkan kepada diri wakil, maka akad akan kembali kepada

wakil. Seluruh hak dan kewajiban yang terkait dengan akad, akan kembali kepada

wakil, dan berlaku sebaliknya (vice versa). Seperti halnya dalam transaksi jual beli,

ijarah, dan yang sejenis (al mu'awadlat al-maliyah).

Hal ini dikarenakan, pihak yang terlibat secara langsung dalam akad adalah

diri wakil, dan ia yang paling tahu segala konsekuensi yang ada dalam akad. Ini

menurut pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafiiyyah, dengan alasan, hak dan

kewajiban dalam akad, berhubungan langsung dengan diri wakil.

Berbeda dengan Hanafiyyah, walaupun akad disandar- kan kepada diri wakil,

segala kesepakatan dan konsekuensi yang ada dalam akad, tetap kembali kepada diri

muwakkil. Dengan alasan, wakil merupakan representasi dari pihak muwakkil yang

18
bertugas mengungkapkan segala hal yang diinginkannya. Jika tetap kembali kepada

wakil, maka hal ini akan menafikkan substansi diadakannya akad wakalah. Di mana,

akad ini dibentuk untuk meringankan beban dan tugas yang tidak bisa

dikerjakan oleh muwakkil.4

E. MENGAPLIKASIKAN AKAD WAKALAH

1. Analisis Penerapan Akad Wakalah Pada Bank Syariah

Perbankan syariat menjalankan sistem operasionalnya dengan memberlakukan

sistem bagi hasil (profit and lost sharing) dan berbagi risiko (risk sharing) dengan

nasabahnya yang memberikan penjelasan atas setiap perhitungan keuangan atas

transaksi yang dilakukan sehingga akan menimalkan kegiatan spekulatif dan tidak

produktif.5

Pada perbankan syariah akad wakalah memiliki berbagai bentuk dalam

pelayanan jasa perbankan yang dapat berbentuk sebagai berikut: (Indah Nuhyatia,

2013)

2. Tranfer

Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad

wakalah, pada prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-

Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan

kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian

bank mendebet rekening nasabah (jika transfer dari rekening), dan proses yang

terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan.

3. Collection (Inkaso)

kegiatan jasa bank untuk melakukan amanat dari pihak ke-3 berupa penagihan

sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu dikota lain yang telah ditunjuk
4
Drs. H. Ahmad Waedi Muslich, FIQH MUAMALAT (Jakarta: KREA SINDO MEDIA CITA, 2022), Hlm.242-
245
5
Syipa Paujiah, Implementasi Akad Wakalah dalam BANK Syariah.

19
oleh si pemberi amanat. Bank diperbolehkan melakukan penagihan dan menerima

pembayaran tagihan untuk kepentingan nasabah.

4. Penitipan akad pendelegasian pembelian barang

sebagai contoh bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang,

dengan menggunakan akad wakalah dan akad murabahah bisa dilakukan secara

prinsip apabila barang yang sudah dibeli melalui wakalah telah menjadi milik bank.

5. Letter of Credit (L/C)

Adalah surat pernyataan akan membayar kepada yang diterbitkan oleh bank untuk

kepentingan Importir/Eksportir, dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai

dengan prinsip syariah L/C syariah dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akad-

akad: Wakalah bil Ujrah Qardh, Murabahah,Salam/Istishna’, Mudharabah,

Musyarakah, dan Hawalah, Ijarah.

a. Letter of Credit Import Syariah

Akad untuk transaksi ini menggunakan akad wakalah bil ujrah. Memiliki

definisi nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan

pemberian ujrah.

b. Letter of Credit Eksport Syariah

Akad transaksi ini menggunakan akad wakalah.

memiliki definisi bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar

kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport.

6. Kliring

Adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik (DKE) antar peserta kliring

baik nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya

diselesaikan pada waktu tertentu. Dalam transaksi kliring antara lain: cek, bilyet giro,

dan surat berharga lainnya.

20
7. Wali Amanat

Dalam layanan bank dipercayakan untuk mewakilkan seluruh pemegang

obligasi atau medium term notes baik didalam maupun diluar pengadilan

mengenai pelaksanaan hak-hak berdasarkan peraturan perundang undangan

yang berlaku.

8. Anjak Piutang ( Factoring)

Kegiatan penagihan piutang dagang jangka waktu pendek suatu perusahaan berikut

pengurusan atas piutang berdasarkan akad wakalah.

9. Payment

Merupakan layanan jasa dari bank dalam mempermudah pembayaran

nasabah, beberapa layanan jasanya:

a. Pembayaran telepon

b. Pembayaran rekening listrik

c. Pembayaran pajak, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, bank syariah mempraktekan murabahah yang sudah

dimodifikasi yaitu murabahah dengan kuasa membeli. Bertujuan untuk menghindari

yang haram oleh syariat.

21
10. Analisis Penerapan Akad Wakalah bil Ujrah pada Layanan Go-Food

Layanan yang ditawarkan pihak go-jek kepada masyarakat luas sudah sangat

beragam, mulai dari transportasi roda dua, roda empat, jasa kirim barang, kecantikan,

pemesanan dan pembelian makanan dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa

pihak go-jek telah berusaha menyasar semua kalangan dan lapisan masyarakat dan ini

membawa dampak kepada pengguna layanan mereka yang mencapai 50 juta jika

dilihat dari jumlah unduhan aplikasi mereka di playstore. 6

Setiap layanan yang disediakan tentunya memiliki syarat dan ketentuan serta

pelayanan yang berbeda sesuai dengan kebijakan perusahaan. Go-food sebagai salah

satu layanan yang disediakan oleh go-jek merupakan sebuah layanan yang berbasis

kepada pemesanan dan pembelian makanan melalui driver go-jek dan langsung

diantarkan ke lokasi pembeli.

Mekanisme go-food ini tentunya belum ada pada zaman Rasulullah saw.

maupun juga di dalam pembahasan kitab-kitab fiqh klasik sehingga memerlukan

proses pengkajian yang lebih terfokus dan mendalam. Langkah pertama yang

mungkin diperlukan sebelum membahas akad wakalah dalam layanan ini adalah

memahami terlebih dahulu tatacara dan akad-akad yang terjadi dalam layanan ini,

yaitu:

a. Akad Ijarah, hal ini terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini

yaitu: Penjual, Driver dan Pembeli. Ketiga pihak ini sama-sama menggunakan

flatform aplikasi Go-jek sebagai tempat bermitra dalam hal segala pelayanan

yang disediakan.

b. Akad Wakalah, terjadi ketika driver mewakili pembeli untuk bertemu dengan

penjual dalam hal melakukan transaksi pembelian makanan pesanan pembeli.

6
Mujahid, “Analisis Penerapan akad Wakalah bil ujrah pada layanan Go-Food”, At-Taradhi: Jurnal Studi
Ekonomi 10, No.1

22
c. Akad jual-beli, terjadi ketika driver melakukan transaksi pembelian makanan

pesanan pembeli di toko atau restoran penjual.

Berfokus kepada akad wakalah yang mensyaratkan adanya pihak yang

mewakili dan diwakili dan jika beracuan kepada definisi wakalah yang dikemukakan

oleh ulama Syafi’iyah yang mengartikan wakalah adalah suatu ibarat seseorang

menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika dia hidup, maka

dalam hal ini ketika pihak go-jek menerima pesanan dari pembeli untuk membelikan

makanan/minuman lalu mereka meneruskannya kepada driver terdekat dengan lokasi

pembeli dan ketika driver melakukan pembelian makanan/minuman itu dia bertindak

sebagai wakil dari pembeli yang mengakibatkan seluruh biaya dan resiko yang terjadi

selama proses pembelian ini menjadi tanggung jawab dari pembeli selama driver

tidak lalai dan melampaui batas.

Akad wakalah pada layanan ini terjadi ketika pembeli melakukan pemesanan

makanan kepada pihak gojek melalui drivernya dan kemudian driver tadi pergi

langsung ke tempat yang menjual makanan tersebut dan beberapa saat kemudian

mengantarkan pesanan ke tempat pemesanan. Setelah pesanan tadi sampai, maka

pelanggan akan melakukan dua jenis pembayaran, yaitu: Harga makanan/minuman

yang dipesan tadi sesuai dengan nota yang tertera dari pihak restoran.

 Ongkos kirim pesanan.

Hal diatas sesuai dengan pernyataan dari Muhammad Sadriyannor, (21 th)

seorang driver gojek yang juga sering menerima pesanan go-food untuk

membelikan makanan/minuman di berbagai restoran yang ada di daerah

Banjarmasin. Dia mengatakan juga bahwa:

“Ketika menerima orderan go-food dia akan langsung menuju kepada lokasi tempat

makanan orderan itu dijual dan akan membelikannya tanpa harus mengambil uang

23
harga makanan terlebih dahulu kepada si pembeli dan akan meminta uang seharga

yang distruk makanan ditambah dengan ongkos antarnya.”

Jika ditinjau dari akad yang terjadi antara pelanggan dan driver, maka akan terjadi

dua jenis akad yang telah dilakukan, yaitu:

 Akad wakalah pada proses pembelian makanan/minuman yang dipesan.

 Akad Qardh (Utang) dikarenaka proses pembelian makanan tadi pada

awalnya menggunakan uang driver demi kemudahan dan kelancaran proses

transaksi.

Pada poin yang kedua ini, ada beberapa pendapat ulama yang mengkategorikan ini

transaksi go-food ini merupakan sebuah pekerjaan yang menggabungkan antara akad

utang dan jualbeli dan itu merupakan sebuah pekerjaan terlarang berdasar kepada

salah satu hadist dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a, beliau mengatakan: .

‫بيع وال ربح ما لم تضْ من وال بي ٌع ما ليس عندك‬ ٌ


ٍ ‫سلف وبي ٌع وال شرطا ن فى‬ ُّ‫ال يح ل‬

“Tidak halal menggabungkan antara salaf (utang) dengan jual-beli, tidak pula

keuntungan tanpa ada pengorbanan, dan tidak pula menjual barang yang tidak kamu

miliki.” (H.R Ahmad)

Berkaitan dengan hadist ini Imam Turmudzi dalam kitabnya sunan Turmudzi

memuat keterangan perihal hadist diatas, beliau mengutip keterangan dari Imam

Ahmad yaitu pada suatu kejadian Imam Ahmad pernah ditanya oleh Ishaq bin

Manshur tentang makna larangan menggabungkan utang dengan jual beli, lalu Imam

Ahmad menjawab bentuknya adalah ketika si A memberikan utang kepada si B

kemudian mereka melakukan transaksi jual beli sebagai syarat tambahannya.

Transaksi go-food terjadi karena konsumen dan driver tidak mau repota,

khususnya driver yang mendatangi pembeli dua kali, yaitu untuk mengambil uang

belanja dan mengantarkan lagi belanjaan yang tadi dibelikannya. Melalui mekanisme

24
transaksi ini, maka kedua pihak akan mendapatkan kemudahan walaupun jika dikaji

lebih mendalam akan terjadi dua akad yang berlangsung dalam proses ini yaitu

pertama, ketika pembeli ingin mendapatkan layanan pembelian makanan dan driver

ingin mendapatkan upah atas layanan jasa yang dia berikan dan kedua, uang talangan

(hutang) yang diberikan oleh driver diakibatkan karena akad yang pertama.

Melalui transaksi ini bisa dipahami bahwa adanya akad qardh ini sebagai

konsekuensi dari proses pemesanan ditahap pertama, jika setelah menerima orderan

tadi si driver mendatangi pembeli dulu guna mendapatkan uang untuk membelikan

pesanan tadi dan nantinya akan kembali lagi untuk mengantarkan pesanan, maka

proses ini akan memakan banyak waktu dan membuat prosesnya menjadi ribet.

Jika diperhatikan kembali, utang yang terjadi dalam proses pemesanan go-food

sama sekali bukan tujuan dari transaksi ini atau bisa dikatakan suatu akibat yang

terjadi dikarenakan proses transaksi pertama. Sebenarnya si pembeli juga tidak ingin

berhutang, karena dia mampu membayarnya, sementara itu sang driver juga tidak

membuka penyediaan utang untuk pembelian makanan sehingga utang yang terjadi

disini hanyalah efek samping yang terjadi tanpa diharapkan oleh kedua belah pihak.

Andai tidak ada utang, proses perwakilan mereka tidak akan terjadi.

TINJAUAN UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 DAN Q.S. AL-KHAFI {18}:19

TENTANG KONSEP DASAR WAKALAH DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH

1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebelum UU Perbankan Syariah dikenal dengan

Bank Prekreditan Rakyat Syariah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) juga

merupakan lembaga intermediasi keuangan, akan tetapi tidak diperbolehkan

melakukan kegiatan usaha dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan Usaha yang dapat

25
dilakukan oleh BPRS versi UU Perbankan Syariah diatur dalam pasal 21 7, yaitu

bahwa kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

 Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan

Akad Wadi’ah atau Akad lainya yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah, dan;

 Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudhaarabah atau Akad lain

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

b. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

 Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;

 Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna;

 Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;

 Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada

Nasabahberdarakan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah

muntahiya bittamlik; dan Pengambialihan utang berdasarkan Akad hawalah;

c. Menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad

Wadi’ah atau investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syriah;

d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan

Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum

Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS, dan;

e. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syriah lainnya yang sesuai

dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

7
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008) Cet Pertama, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), 57-58.

26
Kegiatan usaha BPRS secara teknis oprasional berkaitan dengan produk-

produknya mendasrkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang

Pelaksanaan Prisnsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran

Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, serta SEBI No. 10/14/DPbS Jakarta, 17

Maret 2009 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana

dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang telah

dipaparkan di muka.

Berikutnya perlu ditekankan disini bahwa setiap pihak dilarang melakukan

kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasrkan

Prinsip Syariah tanpa seizin lebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam

undang-undang lain.Dengan demikian untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan

sebagaimana dimaksud diatas harus ada izin terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

Q.S. Al-Khafi {18}:19

Ulama bersepakat untuk mengatakan bahwa Al-Quran adalah sumber utama

islam. Sebagai sumber utama, maka sumber ajaran islam yang lain seperti ijma, qiyas,

dan lainya, harus bermuara pada sumber utamanya yaitu Al-Quran.

Sebagai sumber utama, Al-Quran memuat nilai-nilai atau tataaturan dasar.

Penjabar dari nilai-nilai dasar itu dapat berupa nilai-nilai hadits, ijma, qiyas, dan

sebagainya. Tetapi, semuanya harus berlandaskan pada sumber dasarnya, yaitu Al-

Quran.

Oleh karena itu, validitas Al-Quran sebagai hujjah adalah mutlak dan
َُّ ‫طع‬
bersifat pasti benarnya (qathi’iyyatud dilalah/ ‫ ِّد َ َل ل ت‬t ‫يت ال‬ ِ ‫)َ ق‬, sehingga

menggunakan Al-Quran sebagai dasar hukum tidak membutuhkan bukti,

alasan, atau keterengan apapun dari yang lain.

27
Ayat dibawah ini adalah salah satu dari sekian banyak yang menjelaskan

tentang konsep dasar jual beli yang erat kaitannya dengan akad wakalah dalam

pembiayaan murabahah, yaitu sebagai berikut:

٩١َ...
َ ‫ت‬ ٌَ ‫ب ِرق ُِك ۡنَ ٰ َ ٍَِِٓۦذ إ لِ َى ۡٱل و ِد‬
ََِ ‫ي‬ ُ ‫ٱب‬
ِ ‫عث ٓ اَ أ ح د ُكن‬ ۡ َ‫ف‬

“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan

membawa uang perakmu ini, ....” (Q.S. Al-Khafi {18}: 19)

Surat ini terdiri atas 110 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.

Dinamai “Al-Khafi” artinya “Gua” dan “Ashabul Khafi” yang artinya:

“penghunipenghuni gua”. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat

dalam sudat ini pada ayat 9 samapi dengan 26, tentang beberapa orang pemuda

yang tidur dalam gua bertahun-tahun lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat

pula beberapa buah dalam cerita surat ini, yang ke semuanya mengandung

i’tibar dan pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia.

Ayat diatas memang tidak menyebutkan wakalah secara eksplisit, namun apa

yang tertulis dan dikisahkan dalam ayat di atas adalah terkait masalah wakalah.

Lafaz-lafaz yang berupa kata perintah dalam ayat di atas menunjukkan adaanya

perwakilan atau wakalah.

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Manusia adalah makhluk yang dibebani oleh berbagai kewajiban dan hak.

Dalam penunaian kewajiban, seseorang dituntut supaya menunaikan kewajibannya itu

secara langsung, sebab hal itu termasuk ke dalam tanggung jawabnya. Demikian pula

halnya dalam penerimaan hak-hak. Manusia pribadi diminta pula secara langsung

menerima hak-hak yang dia miliki. Keperluan akan hal semacam ini semakin terasa

urgensinya, terutama dalam lapangan muamalat yang menuntut peran aktif setiap

pemilik hak atau setiap pemikul tanggung jawab.

Wakalah dibolehkan oleh Islam karena sangat dibutuhkan oleh manusia.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak semua orang mampu melaksanakan sendiri

semua urusannya sehingga diperlukan seseorang yang bisa newakilinya dalam

menyelesaikan urusannya, sedangkan Menurut Hanafiah, rukun wakalah hanya satu,

yaitu sighat atau ijab dan qabul.

Akad wakalah dapat dibedakan menjadi al-wakalah al 'ammah dan al-

khosshoh. Al wakalah al-khosshoh adalah akad wakalah di mana prosesi

pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan bersifat

spesifik. Arti- nya perwakilan yang dibutuhkan dijelaskan dengan spesifikasi tertentu,

seperti halnya membeli mobil honda tipe X, menjadi advokat untuk menyelesaikan

kasus tertentu, dan lain-lain.

Perbankan syariat menjalankan sistem operasionalnya dengan memberlakukan

sistem bagi hasil (profit and lost sharing) dan berbagi risiko (risk sharing) dengan

nasabahnya yang memberikan penjelasan atas setiap perhitungan keuangan atas

29
transaksi yang dilakukan sehingga akan menimalkan kegiatan spekulatif dan tidak

produktif.

B. Saran

Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi

bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena

terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh

hubungannya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca

memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya

makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

30
DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, D. (2008). FIQH MUAMALAH. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.


Muslich, D. H. (2022). FIQH MUAMALAT. Jakarta: KREA SINDO MEDIA CITA.
Paujiah, S. (t.thn.). Akad Muamalah. Akad Muamalah, 7.
Mujahid, “Analisis Penerapan akad Wakalah bil ujrah pada layanan Go-Food”, At-
Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi 10, No.1
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008) Cet Pertama,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 57-58.

31

Anda mungkin juga menyukai