Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KAFALAH DAN ISTISNA’

Mata kuliah : Fiqih Muamalah


Dosen pengampu : Dr. Ibi Satibi, S. H. I., M. Si.

Disusun Oleh:

Silviana Yuninda Nazihah : 23108040024


Luthfiana Azizah : 23108040031

AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"Kafalah dan Istisna" ini tepat pada waktunya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah.
Penulis mengucapkan terima kasih semua pihak yang sudah membantu
menyelesaikan penulisan makalah ini karena tanpa adanya bantuan dari pihak lain penulis
tidak bisa menyelesaikan makalah ini sendiri.
Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, Penulis menantikan kehadiran kritik dan saran yang membangun untuk
meningkatkan kualitas dalam pembuatan makalah. Dengan demikian penulis berharap
dengan kehadiran makalah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 28 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


BAB I ................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 5
BAB II ................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 6
2.1 KAFALAH ................................................................................................................ 6
2.1.1 Pengertian Kafalah.............................................................................................. 6
2.1.2 Dasar Hukum ...................................................................................................... 9
2.1.3 Rukun dan Syarat-syarat Kafalah ..................................................................... 10
2.1.4 Jenis-Jenis Kafalah ........................................................................................... 13
2.1.5 Bentuk Perjanjian Kafalah ................................................................................ 14
2.2 ISTISNA’................................................................................................................. 15
2.2.1 Pengertian Istisna’ ............................................................................................ 15
2.2.2 Dasar Hukum .................................................................................................... 18
2.2.4 Rukun dan Syarat akad Istisna’ ........................................................................ 20
2.2.5 Jenis – jenis akad istisna’.................................................................................. 21
2.2.6 Perbedaan Akad Salam Dengan Akad Istishna' ................................................ 23
2.2.7 Tahapan Pelaksanaan Akad Istisna’ dan Akad Isttisna’ Paralel ....................... 24
BAB III .............................................................................................................................. 26
PENUTUP ......................................................................................................................... 26
3.1 KESIMPULAN ....................................................................................................... 26
3.2 SARAN .................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 27

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat
beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan
harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara manusia satu dengan manusia
lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan.1 Proses untuk membuat kesepakatan
dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk
berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah
ditakdirkan oleh Allah, karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai
mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang universal memberikan aturan yang
cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Dalam
pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat
beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada,"
Lembaga keuangan yang berdasarkan pada prinsip syariat Islam, merupakan
metode baru yang dijadikan alternatif atau solusi untuk mengatasi permasalahan yang
timbul dalam ekonomi. Dimana lembaga keuangan ini beroperasional sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariat Islam, yang didalamnya menyangkut tata cara
bermuamalah yang jauh dari unsur-unsur riba, gharar, maisir, haram, dan zalim. Di
zaman yang serba maju sekarang inipun banyak sekali jenis usaha yang bermunculan
dan dapat berkembang dengan pesat, bukan hanya perusahaan- perusahaan
konvensional akan tetapi perusahaan yang berbasis Islam pun sekarangdapat dilihat
dari menjamurnya berbagai bisnis yang ada di negara kita, sehingga melahirkan para
pembisnis yang berebut tander atau proyek. Hingga dalam setiap hubungan bisnis
melahirkan perikatan perikatan atau perjanjian-perjanjian diantara pelaku bisnis.2
Pembiayaan istishna' adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi
barang atau komoditas tertentu untuk pembeli pemesan. Istishna' merupakan salah satu

1
Ichsan, Nurul. “Akad Bank Syariah”. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah danHukum 50.2 (2016),
hlm 399
2
Ibid, hlm, 400

4
bentuk jual beli dengan pemesan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual
beli forward kedua yang dibolehkan oleh syariah.
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang sangat penting. Modal tersebut
dapat bersifat material atau immaterial. Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang
pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti
bank dengan akad Qardhun. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan
beberapa syarat, diantaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan, dan adanya
jaminan. Berkaitan dengan islam dikenal dengan konsep kajalah yang termasuk juga
didalam jenis dhamman. Untuk itu makalah ini akan membahas dan mengupas tentang
kafalah dan istisna?.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian dari kafalah dan istishna?
2. Apa saja landasan hukum kafalah dan istishna?
3. Apa saja nikun dan syaratkafalah dan istisna?
4. Apa jenis-jenis kafalah dan istishna!

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari kafalah dan istishna
2. Untuk mengetahui landasan hukum kafalah dan istishna
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat kafalah dan istishna
4. Untuk mengetahui jenis-jenis kafalah dan istishna

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KAFALAH
2.1.1 Pengertian Kafalah
Istilah Al-kafalah berasal dari bahasa Arab, yang berarti al-Dhaman (jaminan),
hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Secara terminologi muamalah, pengertian
al-kafalah adalah mengumpulkan tanggung jawab penjamin dengan tanggung jawab yang
dijamin dalam masalah hak atau hutang sehingga hak atau utang itu menjadi tanggung
jawab penjamin. Sedangkan dalam teknis perbankan kafalah adalah pemberian jaminan
kepada nasabah atas usahanya untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain.3
Pengertian kafalah berdasarkan ulama Malikiyah, Syafi iyah dan Hanabilah
adalah mengumpulkan penjamin ke dalam tanggungan orang yang di jamin (yang
berhutang) dalam ketetapan atau kewajiban yang hak dalam masalah hutang, artinya
hutang itu menjadi tetap atas tanggungan mereka berdua. Perbedaan definisi hanya
terletak pada obyek tanggung jawabnya. Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa obyek
kafalah tidak hanya berupa harta, melainkan juga jiwa, materi dan pekerjaan. Sementara
ulama Mazhab yang lain menyatakan bahwa obyek kafalah berkaitan dengan harta,
seperti hutang piutang (Dahlan, dkk, 2003).
Dalam rangka menjalankan usahanya, seseorang sering memerlukan penjaminan
dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung
(kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). Dan untuk memenuhi kebutuhan usaha tersebut,
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berkewajiban untuk menyediakan satu skema
penjaminan (kafalah) yang berdasarkan prinsip-prinsip syar’iah, serta agar kegiatan
kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu
menetapkan fatwa tentang kafalah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

3 Dahlan, Abdul Aziz, dkk. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru.

6
Dalam perjanjian utang piutang, sering sekali terjadi, bahwa yang memberikan
pinjaman (kreditur), selain meminta jaminan yang bersifat kebendaan (dalam syari'at Islam
disebut dengan gadai) juga meminta jaminan perorangan yang sering diistilahkan dengan
penanggungan utang, yang di dalam istilah hukumnya disebut juga dengan bortocht atau
guaranty. Penanggungan utang ini di dalam praktik selain dapat dilakukan oleh perorangan,
sering juga dilakukan oleh Bank, dan yang terakhir ini sering disebut dengan Bank
guaranty. Menurut ketentuan syari'at Islam penanggungan utang ini diistilahkan dengan
"kafalah" (menggabungkan), "dhaman" (jaminan), "hamalah" (beban) dan "za'amah"
(tanggungan).4
Menurut ketentuan syara' kafalah ini diartikan sebagai: "proses penggabungan kafil
menjadi tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau utang, atau
barang atau pekerjaan". Ini adalah definisi yang diberikan oleh ahli fiqih bermazhab
Hanafi.
Sedangkan imam-imam yang lainnya memberikan definisi dengan
"Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan utang". Dalam perjanjian
penanggungan utang ini disyaratkan adanya "Kafiil, ashiil, makfullaahu dan makfulbihi.
Adapun yang dimaksud dengan "kafiil", yaitu seseorang yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan penanggungan.
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga yang memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam
pengertian lain kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin
dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.5
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan
juga zamah (tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang di maksud dengan al-kafalah adalah
proses penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda
(materi) yang sama baik utang barang maupun pekerjaan. Menurut Iman Taqiyyudin yang
dimaksud dengan kafalah adalah mengumpulkan satu beban dengan beban lain. Menurut
Hasbi Ash Shidiqi al-kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam
penagihan. Menurut al-jaziri yang dikutip oleh ismail, bahwa otoritas tindakan (kafalah)

4Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, hlm. 113


5Ichsan, Nurul. “Akad Bank Syariah”. Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah danHukum 50.2 (2016),
hlm. 412

7
ialah orang yang diperbolehkan bertindak (berakal sehat) berjanji menunaikan hak yang
wajib di tunaikan orang lain atau berjanji menghadirkan hak tersebut dari pengadilan.6
Menurut syariah Kafalah dilaksanakan dengan adanya penanggung, penanggung
utama, pihak yang ditanggung haknya, dan tanggung-tanggungan yang terlibat dalam
tuntutan yang berkaitan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Kafiil ini haruslah
merupakan orang yang cakap bertindak untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai
dengan ketentuan syari'at (yaitu balig, berakal, hadir, dan atas kesukarelaannya sendiri),
Sedangkan yang dimaksud dengan "ashiil" adalah orang yang mempunyai utang,
atau orang yang ditanggung. Bagi ashiil tidak ada suatu ketentuan harus balig, berakal,
hadir dan atau didasarkan atas kesukarelaannya. Sebab dapat saja penjaminan utang
terhadap anak kecil dan orang gila.
Adapun yang dimaksud dengan "makfullahu" adalah orang yang memberikan
utang, orang yang memberikan utang disyaratkan harus dikenal oleh kafiil, hal ini
dimaksudkan untuk kemudahan. Sedangkan pengertian "makfulfihi" adalah sesuatu yang
dijadikan sebagai jamin- an atau tanggungan, dalam hal ini dapat berupa jaminan atau tang-
gungan, dalam hal ini dapat berupa jaminan kebendaan atau jaminan perorangan.
Dalam pengertian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata per- janjian
penanggungan utang ini merupakan perjanjian yang bersifat accessoir, maksudnya bahwa
eksistensi penanggungan utang ini ter- gantung kepada perjanjian pokok, yang mana
pemenuhan perjanjian pokok tersebut ditanggung atau dijamin oleh perjanjian
pertanggungan.

Berikut definisi dan pengertian kafalah dari beberapa sumber buku:

• Menurut Djuwaini (2008), kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh


penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memenuhi kewajiban pihak kedua
atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah artinya mengalihkan
tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab
orang lain sebagai penjamin.
• Menurut Sabiq (2009), kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan
orang yang menanggung dengan tanggungan penanggung utama terkait tuntutan
yang berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan.

6Halilah, M. Syaikhul Arif Siti. “Kafalah Dalam Pandangan Islam” Siyasah: Jurnal Hukum Tata
Negara 2.2 (2019), hlm. 55

8
• Menurut Antonio (1999), kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Sedangkan menurut Bank Indonesia, kafalah adalah akad pemberian
jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan
bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu hutang menjadi hak penerima
jaminan.
• Menurut Tim Pengembangan Perbankan Syariah (2001), kafalah adalah jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka
memenuhi kewajiban dari pihak yang ditanggung (makful anhu) apabila pihak
yang ditanggung cedera janji atau wanprestasi.

2.1.2 Dasar Hukum


1. Dasar hukum menurut Al-Quran :
‫علَى َما‬ َ ‫ّللا لَتَأتُنَّنِي بِ ِه إِ َّّل أَن يُ َحا‬
ُ َّ ‫ط بِكُم ۖ فَلَ َّما آتَوهُ َموثِقَ ُهم قَا َل‬
َ ‫ّللا‬ ِ ُ‫قَا َل لَن أُر ِسلَهُ َمعَكُم َحتَّى تُؤت‬
ِ َّ َ‫ون َموثِقًا مِن‬
‫نَقُو ُل َوكِيل‬
"Dia (Ya'qub) berkata, "Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu,
sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan
membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung (musuh)." Setelah
mereka mengucapkan sumpah, dia (Ya'qub) berkata, "Allah adalah saksi terhadap
apa yang kita ucapkan.""
(QS. Yusuf 12: Ayat 66)

ُ ُ‫قَا لُوا نَف ِقد‬


‫ص َوا عَ ال َملِكِ َو ِل َمن َجآ َء بِه حِ م ُل بَعِير َّواَنَا بِه زَ عِيم‬
"Mereka menjawab, "Kami kehilangan piala (tempat minum) raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta,
dan aku jamin itu.""
(QS. Yusuf 12: Ayat 72)

‫ب‬
ِ ‫شدِيدُ ال ِعقَا‬
َ ‫ّللا‬ َ ٰ ‫اّل ث ِم َوا لعُد َوا ِن ۖ َوا تَّقُوا‬
َ ٰ َّ‫ّللا ۗ اِن‬ ِ ‫علَى‬ َ َ‫علَى البِ ِر َوا لتَّقوى ۖ َو َّل تَع‬
َ ‫اونُوا‬ َ َ‫َوتَع‬
َ ‫اونُوا‬
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2

9
2. Dasar hukum menurut as-Sunnah :
Rasulullah SAW banyak menyebutkan mekanisme al-kafalah dalam
beberapa sabdanya. Sabda Beliau adalah sebagai berikut: "Bahwa Nabi SAW tidak
mau shalat mayit pada mayit yang masih punya hutang. Maka berkata Abu
Qatadah: "shalatlah atasnya ya Rasulullah, sayalah yang menanggung hutangnya,
kemudian Nabi menyalatinya." (HR. Bukhari)

Sabda Rasulullah SAW :


“Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”

Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:


“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan
kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

3. Ijma’ Ulama
Syaikh Musthofa Al-Khin dan Syaikh Mustofa Al-Bugha menyebutkan
dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Manhaji, bahwa ulama dan seluruh kaum muslimin di
seluruh tempat dan zaman telah bersepakat (berijma") atas bolehnya akad al-
kafalah (Al-Khin., et all., 2012). Hal ini dibuktikan oleh kutipan dan pembahasan
tentang al-kafalah dalam semua kitab-kitab fikih baik yang tradisional maupun
kontemporer. Aplikasi al-kafalah juga telah lama diterapkan oleh kaum muslimin
di berbagai lembaga keuangan, maupun dalam transaksi sederhana dalam
kehidupan sehari-hari.7

2.1.3 Rukun dan Syarat-syarat Kafalah


Rukun Kafalah
Menurut Suhendi (2002), rukun kafalah adalah sighat kafalah (ijab qabul), makful bih
(objek tanggungan), kafil (penjamin), makful'anhu (tertanggung), dan makful lahu

7 Asra, Moh. “Implementasi Aplikasi al-Kafalah di Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.”


Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4,2 (2020), hlm. 79

10
(penerima hak tanggungan). Adapun penjelasan atas rukun kafalah tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Sighat kafalah (ijab qabul). Sighat atau ijab qabul bisa diekspresikan dengan
ungkapan yang menyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu,
sebuah kesanggupan untuk menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan "aku akan
menjadi penjagamu" atau "saya akan menjadi penjamin atas kewajibanmu atas
seseorang" atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama tidak mensyaratkan kalimat
verbal yang harus diungkapkan dalam akad kafalah, semuanya dikembalikan pada
akad kebiasaan. Intinya, ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk
menjamin sebuah kewajiban.
2. Makful Bihi (objek tanggungan). Objek pertanggungan harus bersifat mengikat
terhadap diri tertanggung, dan tidak bias dibatalkan tanpa adanya sebab syar'i.
Selain itu objek tersebut harus merupakan tanggung jawab penuh pihak
tertanggung. Seperti menjamin harga atas pihak transaksi barang sebelum serah
terima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat terhadap diri seseorang.
Selain itu, nominal objek tertanggung harus jelas, tidak diperbolehkan
menanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul).
3. Kafil (penjamin). Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang
berjiwa filantropi, orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain.
Selain itu, ia juga orang yang baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh
dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih ataupun orang yang terhalang untuk
melakukan transaksi. Karena bersifat charity, akad kafalah harus dilakukan oleh
seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki
kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan. Karena dalam akad ini, kafil
tidak memiliki hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.
4. Makful'Anhu (tertanggung). Syarat utama yang harus melekat pada diri
tertanggung (makful'anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek
pertanggungan, baik dilakukan oleh diri pribadinya atau orang lain yang
mewakilinya. Selain itu makful'anhu harus dikenal baik oleh pihak kafil.
5. Makful lahu (penerima hak tanggungan). Ulama mensyaratkan makful lahu
harus dikenali oleh kafil, guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya
dan mudah untuk memenuhinya. Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri

11
majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan berakal, tidak boleh orang gila atau
anak kecil yang belum berakal.

Syarat Kafalah

Kafalah sebagai suatu jasa penjaminan merupakan salah satu bentuk perikatan dalam Islam.
Menurut Sabiq (2009), syarat sahnya suatu perikatan adalah sebagai berikut:Tindak
hukum syariah yang disepakati. Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para
pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan
hukum syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syariah
adalah tidak sah. Maka dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut. Dengan kata lain segala bentuk
perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah dengan sendirinya batal demi hukum.

1. Harus sama rida dan ada pilihan. Maksudnya perjanjian yang diadakan para
pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-
masing pihak rida atau rela akan isi perjanjian tersebut atau dengan kata lain isi
perjanjian tersebut adalah kehendak para pihak. Dalam hal ini tidak boleh ada
paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Apabila perjanjian terdapat
unsur pemaksaan, maka dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
2. Harus jelas dan gamblang. Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak
harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak
mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang
mereka perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian maka pada saat perjanjian
dibuat maka masing-masing pihak harus mempunyai interpretasi yang sama
tentang apa yang telah mereka perjanjikan baik terhadap isi maupun akibat yang
ditimbulkan oleh perjanjian itu.

12
2.1.4 Jenis-Jenis Kafalah
Pada umumnya kafalah dibagi menjadi 2 (dua) bagian,8 yaitu :
1) Kafalah dengan jiwa
Kafalah dengan jiwa ini dikenal juga dengan kafalah al-wajhi, yaitu
adanya keharusan pada pihak penjamin (kafl, damin atau za 'im) untuk
menghadirkan orang yang ia tanggung pada yang ia janjikan tanggungannya.
Jaminan yang bekaitan dengan manusia hukumnya diperbolehkan. Orang yang
ditanggung tidak pasti mengetahui permasalahanya, karena kafalah mengangkut
bahan/manusia bukan benda/harta penanggungan tentang hak allah swt. Seperti
hukuman meminum khamer dan hukum zina tidak boleh ada orang yang menganti
sebagai jaminannya, tetapi hukuman itu harus dilaksanakan oleh oranya sendiri. Di
samping itu, mengugurkan dan menolak had adalah masalah syubhat. Oleh
karenanya, tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dijadikan acuan dalam masalah
syubhat dan tidak mungkin had (hukuman) dapat dilaksanakan kecuali orang yang
melakukan perbuatan.
Menurut mazhab Syafi'i bahwa kafalah dinyatakan sah dengan
menghadirkan orang yang dimaksud (penjamin) karena berkaitan dengan hak
manusia, seperti hukuman qisas (sepadan) dan qadf (menuduh zina). Kedua macam
hukuman tersebut menurut Syafi'iyah termasuk hak yang biasa berlaku, apabila
terkait dengan hukuman had (yang sudah di tetapkan), maka masalah seperti ini
tidak sah dengan kafalah.

2) Kafalah dengan harta


Kafalah dengan harta yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh damin atau
kafil (penjamin) dengan pembayaran (pemunahan) berupa harta. Kafalah harta
dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
a) Kafalah bin al-dayn (jaminan utang), yaitu keharusan membayar utang
yang menjadi beban orang lain. Dalam hadis salamah bin adwa bahwa nabi
saw. Tidak menyalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar
utang, kemduian Qatadah ra. berkata: "shalatkanlah dia dan saya akan

8Halilah, M. Syaikhul Arif Siti. “Kafalah Dalam Pandangan Islam” Siyasah: Jurnal Hukum Tata
Negara 2.2 (2019), hlm. 56

13
membayar utangnya, rasulullah kemudian menyalatkannya. Dalam
kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:
1. Hendaknya nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya
transaksi jaminan, seperti uang qirad, upah danmahar, seperti
seorang berkata: "juallah benda itu kepada A dan aku
berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harga sekian".
Sehingga harga penjualan benda tersebut jelas. Sementara Abu
Hanifah, Malik dan Ahmad bependapat boleh menjamin sesuatu
yang nilainya belum ditentukan.
2. Hendaknya barang yang dijamin diketahui, menurut Mazhab
Syafi'i dan Ibn Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang
yang tidak diketahui. Sebab perbuatan tersebut adalah gharar
(tipuan). Sementar Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat
bahwa seseorang boeh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.

b) Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyarahkan benda-


benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan
barang yang di ghasab (pinjam tidak memberitahu) dan menyerahkan
barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi tersebut dijamin untuk
asil, seperti dalam ghasab. Namun, bila bukan berbentuk jaminan, kafalah
batal.

c) Kafalah dengan aib (cacat), maksudnya bahwa barang yang didapati


berupa harta terjual dan dapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu
lama atau karena hal-hal lainnya, sehingga ia (pembawa barang) sebagai
jaminan untuk hak pembeli pada penjual, seperti jika terbukti barang yang
dijual adalah milik orang lain atau barang tersebut adalah barang gadai.

2.1.5 Bentuk Perjanjian Kafalah


Menurut Sabiq (2009), kafalah boleh terjadi dengan tanjiz, ta'liq, dan tauqit. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Dengan cara tanjiz (melaksanakan). Perjanjian pertanggungan utang (kafalah)
dengan cara tanjiz ini, yaitu dengan adanya pernyataan dari pihak penanggung
(kafil), seperti: aku jamin si A sekarang, aku menjamin, aku tanggung jawab, aku

14
talangi atau aku sebagai penanggung untukmu. Kafalah dengan cara tanjiz ini
sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan semenjak itu kafil mengikat diri
kepada utang si berhutang baik dalam penyelesaian, penundaan pembayaran
maupun pembayaran pengkreditannya.
2. Dengan cara ta'liq (menggantungkan). Perjanjian pertanggungan utang dengan
cara ta'liq ini, adalah penanggungan oleh seseorang kepada orang tertentu yang
disyaratkan atau digantungkan kepada sesuatu hal tertentu pula. Seperti: jika
engkau memberi kepercayaan kepada si A untuk memimpin usaha itu maka aku
menjadi penjamin untuknya.
3. Dengan cara tauqit. Perjanjian pertanggungan utang dengan cara tauqit ini adalah
pertanggungan yang didasarkan kepada suatu waktu tertentu. Seperti: jika bulan
Ramadan telah datang, maka aku akan menjadi penjamin untukmu, jika telah lewat
dua tahun maka akan menjadi penjaminmu.

2.2 ISTISNA’
2.2.1 Pengertian Istisna’
Akad Istishma' merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan: pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli, mustashni') dan penjual (pembuat, shani).9
Sedangkan menurut Zuhaili akad Istishna adalah akad bersama produsen untuk
suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu barang yang akan dibuat
oleh produsen yang juga menyediakan bahan bakunya, jika baha bakunya dari pemesan,
maka akad ini akan menjadi akad sewa (ijarah) pemesan hanya menyewa jasa produsen
untuk membuat barang10.
Dalam PSAK Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli, mustashni') dan penjual (pembuat, shani'). Pembayaran dalam akad Istishna
dilakukan secara bertahap atau termin, besaran angsuran sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak.

9 Jual Beli Dalam Ekonomi Islam, hlm. 183


10
Jual Beli Dalam Ekonomi Islam, hlm. 183

15
Transaksi dengan akad istishna' hukumnya boleh dan telah dilakukan oleh
masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya. Jual
beli Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas
harga serta sistem pembayaran; apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan,
atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang
Menurut jumhur fuqaha, bai' al-istishna' merupakan suatu jenis khusus dari akad
bai' as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian,
ketentuan bai' al-istishna' mengikuti ketentuan dan aturan akad bai' as-salam. Dalam
literatur fiqih klasik, masalah istishna' mulai mencuat setelah menjadi bahan bahasan
mazhab Hanafi seperti yang dikemukakan dalam Majallat al-Ahkam al-Adliya. Akademi
Fiqih Islami pun menjadikan masalah ini sebagai salah satu bahasan khusus. Karena itu,
kajian akad bai al-istishna' ini didasarkan pada ketentuan yang dikembangkan oleh fiqih
Hanafi, dan perkembangan fiqih selanjutnya dilakukan fuqaha kontemporer.11
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya
dapat dilakukan oleh lembaga keuangan syariah dalam beberapa kali (termin) pembayaran
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Skim istishna dalam pembiayaan
Lembaga Keuangan Syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan
konstruksi.
Dengan demikian Pembaiayaan istishma, pada lembaga keuangan syariah yaitu
pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang
atau jasa yang belum berwujud dan harus dibuat sesuai spesifikasi yang telah ditetapkan
dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut secara menyicil atau dibayar
sekaligus sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Bank
memperoleh margin keuntungan dari taransaksi jual-beli antara bank dengan pemasok dan
antara bank dengan nasabah,12

11
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, hlm. 113
12 Karnanen A. Parwataatmadja dan Heri Tanjung, Bank Syariah.., hlm.78.

16
Istishna' adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual beli salam13 jika ditinjau
dari sisi bahwa objek (barang) yang dijual belum ada. Barang yang akan dibuat sifatnya
mengikat dalam tanggungan pembuat (penjual) saat terjadi transaksi.
Dalam istilah para fuqaha, istishna didefinisikan sebagai akad meminta seseorang
untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu. Atau dapat diartikan sebagai
akad yang dilakukan dengan seseorang untuk membuat barang tertentu dalam tanggungan.
Maksudnya akad tersebut merupakan akad membeli sesuatu yang akan dibuat oleh
seseorang. Dalam istishna bahan baku dan pembuatan dari pengrajin. Jika bahan baku
berasal dari pemesan, maka akad yang dilakukan adalah akad ijaroh (sewa) buka istishna.
Pada dasarnya, pembiayaan istishna' merupakan transaksi jual beli cicilan seperti
transaksi murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah dimana barang
diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna barang
diserahkan dibelakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar cicilan.
Seperti halnya praktik salam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istshna dalam
perbankan syariah cenderung dilakukan dengan format istishna' parallel. 14Hal ini dapat
dipahami karena pertama, kegiatan istishna' oleh bank syariah merupakan akibat dari
adanya permintaan barang tertentu oleh nasabah, dan kedua bank syariah bukanlah
produsen dari barang dimaksud. Secara umum tahapan praktik istishna diperbankan syariah
adalah sama dengan tahapan praktik salam. Perbedaanya terletak pada cara pembayaran
yang tidak dilakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap (angsuran).
Akad jual beli Istishna’ yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)
pada umumnya secara paralel (‫)الموازي اّلستصناع‬, yaitu sebuah bentuk akad Istishna’ antara
nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, LKS
memerlukan pihak lain sebagai Shani’; b. bahwa agar praktek tersebut sesuai dengan
syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna’ paralel untuk
menjadi pedoman.15

13
Mujiatun, , Siti. "Jual Beli dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’." Jurnal Riset Akuntansi
dan Bisnis 13.2 (2014), hlm. 2127
14
Mujaitun, , Siti. "Jual Beli dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’." Jurnal Riset Akuntansi
dan Bisnis 13.2 (2014), hlm. 212
15
Dewan Syariah Nasional, “Jual Beli Istisna”, hlm. 1

17
2.2.2 Dasar Hukum
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-
Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin
1. Dasar hukum menurut A-Quran
➢ Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
‫الربوا َّل يَقُو ُمونَ ا َِّّل َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَتَ َخبَّطُهُ الشَّيط ُن مِنَ ال َم ِس ۗ ذلِكَ بِا َ نَّ ُهم قَا لُ ْۤوا اِنَّ َما البَي ُع‬ِ َ‫اَلَّذِينَ يَأكُلُون‬
‫ف ۗ َواَ م ُر ْۤه اِ َلى‬ َ ‫س َل‬
َ ‫ظة مِن َّر ِبه فَا نتَهى فَلَه َما‬ َ ‫الربوا ۗ فَ َمن َجآ َءه َمو ِع‬ ُ ٰ ‫الربوا ۘ َواَ َح َّل‬
ِ ‫ّللا ال َبي َع َو َح َّر َم‬ ِ ‫مِث ُل‬
َ‫عا دَ فَا ُ ولٓئِكَ اَصحبُ النَّا ِر ۚ هُم فِي َها خ ِلدُون‬ َ ‫ّللا ۗ َو َمن‬
ِٰ

"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata
bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)

➢ Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ ً‫ْۤيـاَيُّ َها الَّذِينَ ا َمنُوا َّل تَأكُلُ ْۤوا اَم َوا لَـكُم بَينَكُم بِا لبَا طِ ِل ا َّ ِّْۤل اَن تَكُونَ تِ َجا َرة‬
‫عن ت ََرا ض مِنكُم ۗ َو َّل تَقتُلُ ْۤوا‬
‫ّللا كَا نَ بِكُم َرحِ ي ًما‬
َ ٰ َّ‫سكُم ۗ اِن‬
َ ُ‫اَنـف‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 29)Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ ‫ْۤيـاَيُّ َها الَّذِينَ ا َمن ُْۤوا اَوفُوا بِا لعُقُو ِد ۗ اُحِ لَّت لَـكُم بَ ِهي َمةُ اّلَ نعَا ِم ا َِّّل َما يُتلى‬
‫علَيكُم غَي َر مُحِ لِى الصَّي ِد َواَ نـتُم‬
ُ‫ّللا َيحكُ ُم َما ي ُِريد‬
َ ٰ َّ‫ح ُُرم ۗ اِن‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan


bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan

18
berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 1)

2. Dasar hukum menurut as-sunnah


"Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab,
lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel
dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau" (HR. Muslim)

➢ Hadist Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:


“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.”

➢ Hadist Nabi :
“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain” (HR,
Ibnu Majah, Al-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri)

➢ Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
“Kesulitan itu dapat menarik kemudahan”
“Keperluan itu dapat menduduki posisi darurat”
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang
berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat)”

3. Dasar hukum al-Ijma' Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat
Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad
istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa
ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak
ada alasan untuk melarangnya.

19
2.2.4 Rukun dan Syarat akad Istisna’
1. Rukun dan syarat jual beli istisna’
Jual beli dengan akad Istishma' merupakan jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli) dan penjual (pembuat).16
Agar transaksi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah maka akad istishna' harus
terpenuhinya Rukun dan Syaratnya. Adapun rukun dan syarat pembiayaan akad istishna
diantaranya adalah:
a) Pelaku Akad Istishna' diantaranya mustashani' (pembeli) pihak yang membutuhkan
dan mesan barang dan shani' (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang
pesanan. Syarat kedua belah pihak (penjual dan pembeli) harus sudah dewasa,
memahami hukum jual beli, dan tidak dalam paksaan.
b) Objek akad istishna' harus memenuhi ketentuan diantaranya adalah (a) Harus jelas
ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. (b) Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya. (c) Penyerahannya dilakukan kemudian. (d) Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. (e) Pembeli
(mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. (1) Tidak boleh
menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. (g) Dalam hal
terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak
khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
c) Harga (Tsaman) dan Pembayaran, artinya harga harus jelas, harga jual tidak boleh
berubah selama masa perjanjian antara pembeli dan penjual, harga jual merupakan
harga yang disepakati bersama pembeli dan penjual. Sedangkan Ketentuan tentang
Pembayaran di dalam akad istishna' diantaranya: (a) Alat bayar harus diketahui
jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. (b) Pembayaran
dilakukan sesuai dengan kesepakatan. (c) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang.
d) Shighat (Ijab qabul) adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak
pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya
dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk

16Upi, Upi.Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Istishna Di Konveksi Rizky And World di
Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang . Diss. Universitas Islam Negeri"SMH" Banten, 2018,
hlm. 44

20
menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu. Pelafalan perjanjian
dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara). tindakan
maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan
menunjukan keridhaan satu pihak untuk menjual barang istishna' dan pihak lain
untuk membeli barang istishna".

2. Syarat-syarat istishna
Adapun syarat-syarat istishna' adalah sebagai berikut:17
a) Produk yang dipesan jelas, yaitu dengan menjelaskan jenis, macam, dan bilangan
(jumlah).
b) Produk yang dipesan biasa berlaku di masyarakat karena sesuatau yang belum
biasa berlaku di masyarakat diqiyaskan kepada jual beli salam dengan keseluruhan
hukumnya.
c) Tidak dibatasi tenggang waktunya. Jika dibatasi tenggang waktu, maka menjadi
jual beli salam karena syarat tenggang waktu adalah salah satu syarat salam. Tidak
ada ketentuan mengenai waktu tempo penyerahan barang yang dipesan. Apabila
waktunya ditentukan, menurut Imam Abu Hanifah, akad berubah menjadi salam
dan akan berlaku syarat-syarat salam. Seperti penyerahan alat pembayaran (harga)
di majelis akad. Sedangkan menurut Imam Abu yusuf dan Muhammad, syarat ini
tidak diperlukan. Dengan demikian menurut mereka, istishna' itu hukumnya sah,
baik waktunya ditentukan atau tidak, karena menurut adat kebiasaan, penentuan
waktu ini biasa dilakukan dalam akad istishna'.

2.2.5 Jenis – jenis akad istisna’


Pembiayaan merupakan penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berupa: (a). transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; (b).
transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik; (c). transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishma';
(d), transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan (e). transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau

17 Ibid, hlm. 45

21
kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ajral, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Pembiayaan jual beli dengan akad istishna merupakan jual beli barang dengan
kreteria dan persyaratan tertentu dan pembayarannya dapat dilakukan secara bertahab atau
termin sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli dengan akad Istishna dapat
dibagi menjadi dua yaitu

Istislima dan Istishna Paralel.


1. Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (mustashni)
dan penjual (shani).
2. Istishna' paralel adalah suatu bentuk akad istishna' antara pemesan (mustashni)
dengan penjual (shani), kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni',
penjual memerlukan pihak lain sebagai shani" (penjual). Ada perbedaan antara akad
Istishna dengan Istishna paralel, dalam akad Istishna paralel harus terpisah akad
pertama (antara penjual, pemesan dan pemasok). Istishna' paralel dapat dilakukan
dengan syarat akad pertama, antara entitas dan pembeli akhir, tidak bergantung
(mu'allaq) dari akad kedua, antara entitas dan pihak lain.

Pada dasarnya akad istishna' tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi: (a)
kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau (b) akad batal demi hukum karena
timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Ada beberapa konsekuensi saat bank syariah menggunakan kontrak istishma' paralel.
Di antaranya sebagai berikut: (a) Bank Islam sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap
merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
kewajibannya. Istishna' paralel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada.
Dengan demikian, sebagai shani' pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas
setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel. (b)
Penerima subkontrak pembuatan pada istishna' paralel bertanggung jawab terhadap bank
Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan
nasabah pada kontrak pertama akad. Bai' al-istishna' kedua merupakan kontrak paralel,
tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian,
kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali. (c) Bank sebagai shani'

22
atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggung jawab kepada
nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya.
Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna' paralel, juga menjadi dasar
bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
Contoh Kasus, Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan
kostum tim sepakbola sebesar Rp 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua
bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum di pasar biasanya Rp 40.000,00 sedangkan
perusahaan itu bisa menjual kepada bank dengan harga Rp 38.000, 00.
Jawaban, Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan
kostum tersebut. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000, 00 per kostum atau
sekitar Rpl juta rupiah (Rp 20.000.000/Rp38000,00 X Rp 2.000,00) atau 5 persen dari
modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada
pembeli dengan harga pasar.

2.2.6 Perbedaan Akad Salam Dengan Akad Istishna'


Menurut mazhab Hanafi, bai' al-istishna' termasuk akad yang dilarang karena
bertentangan dengan semangat bui secara qiyas Mereka mendasarkan pada argumentasi
bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam
istishna', pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak istisna atas dasar istishan
karena alasan-alasan berikut ini: (a) Masyarakat telah mempraktikkan bai al-istishma'
secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan
bai' al: istishna sebagai kasus ijma atau konsensus umum. (b) Di dalam syariah
dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama. (c)
Keberadaan bai'al-istishna' didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang
seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung
melakukan kontrak a orang lain membuatkan barang untuk mereka. Dan (d) Bai' al-istishna
sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan
dengan nash atau aturan syariah.

Walaupun akad istishna' hampir mirip dengan akad salam, namun ada beberapa namun
ada bebeapa perbedaan antara keduanya, diantaranya adalah:

23
a. Objek istishma' selalu baang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi
lebih dahulu.
b. Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga dala akad
isntishna' tidak harus dibayar penuh dimuka, malinkan juga dapat dicicil atau
dibayar di belakang.
Akad salam efektif tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam istishna'
akad dapat diputuskan sebelum prusahaan mulai produksi. Waktu penyerahan tertentu
merupakan bagian penting dari akad salam, namun dalam akad istishna' tidak meupakan
keharusan. Untuk memperjelas perbedaan akad salam dengan akad istisna dapat dilihat dari
tabel dibawah ini :

➢ Pokok Kontrak dalam akad salam muslamfiih, sedangkan dalam akad


istisna’ adalah mashnu’. Dengan aturan barang ditangguhkan dengan
spesifikasi
➢ Harga dalam akad salam dibayar saat kontrak, dan dalam akad istisna’
harga bisa dibayar saat kontrak, bisa dengan diangsur, dan bisa dibayar
dikemudian hari. Cara penyelesaian pembayaran merupakan pebedaan
utama antara akad salam dan akad istisna’
➢ Sifat kontrak akad salam yaitu mengikuti secara asli (thabt’i), sedangkan
akad istisna’ mengikuti secara ikutan (taba’i). Dalam salam mengikat
semua pihak. sejak semula, sedangkan istishna' menjadi pengikat untuk
melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh
konsumen secara tidak bertanggung jawab.
➢ Baik salam paralel maupun istishna' paralel sah asalkan kedua kontrak
secara hukum adalah terpisah.

2.2.7 Tahapan Pelaksanaan Akad Istisna’ dan Akad Isttisna’ Paralel


Seperti halnya praktik salam, secara praktis pelaksanaan kegiatan istisna dalam
perbankan syariah cenderung dilakukan dalam format istishna' pararel. Hal ini dapat
dipahami karena pertama, kegiatan istisna oleh bank syariah merupakan akibat dari adanya
permintaan barang tentunya oleh nasabah, dan kedua, bank syariah bukanlah produsen dari
barang dimaksud. Secara umum tahapan praktik istisna' (dan istisma' pararel) di perbankan

24
syariah adalah sama dengan tahapan paktik salam. Perbedaannya terletak pada cara
pembayaran yang tidak dilakukan secara sekaligus, tetapi dilakukan cara bertahap atau
secara berangsur Tahapan pelaksanaan akad istishna' dan akad istishna' pararel 5 menurut
SOP bank syariah.
Tahapan :
a. Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah
pembeli kepada bank syariah sebagai mustashni".
b. Wa'ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan waktu tangguh
pengiriman barang yang disepakati.
c. Mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang dimaksud (sesuai
batas watu yang disepakati dengan harga yang lebih rendah)
d. Pengikatan I antara bank dan nasabah untuk membeli barang dengan spesifikasi
tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan
e. Pembayaran oleh nasabah dilakukan sebagian diawal akad dan sisanya sebelum
barang diterima (atau sisanya disepakati untuk membeli barang diansur)
f. Pengikatan II antara bank dan produsen untuk membeli barang dengan spesifikasi
tertentu yang akan diserahkan pada waktu yang telah ditentukan.
g. Pembayaran dilakukan secara bertahap bank ke pada produsen setelah pengikatan
dilakukan.
h. Pengiriman barang dilakukan langsung oleh produnen kepada nasabah.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggug (kafil) kepada
pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitor atau yang
ditanggung (makful 'anhu, ashil).
Jenis-jenis kafalah pada umumnya ada 2 yaitu kafalah dengan jiwa dan
kafalah dengan harta (kafalah bin al-dayn, kafalah dengan penyerahan
modal, dan kafalah dengan "aib).
Pembiayaan istishna' merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi
murabahah muajjal. Namun, berbeda dengan jual beli murabahah dimana barang
diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna'
barang diserahkan dibelakang, walaupun uangnya sama-sama dibayar cicilan.
Akad istishna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i diatas peteunjuk
Al-Qur'an, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
Jenis akad istishna' antara lain: Istishna' yang akad jual belinya dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli/mustashni) dan penjual
(pembuat/shani'). Istishna paralel adalah suatu bentuk akad Istishna antara
pemesan (pembeli/mustashni') dengan penjual (pembuat/shani'), kemudian untuk
memenuhi kewajibannya kepada mustashni', penjual memerlukan pihak lain
sebagai shani".

3.2 SARAN
Dengan mengetahui lebih dalam tentang kafalah dan istishna' diharapkan
dapat menjadi pribadi yang lebih beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, Allah Subhanahuwata'ala. Serta setiap menjadi pelopor dalam
memajukan nilai-nilai keislaman dalam perekonomian.

26
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M. S. I. (2001). Bank Syariah: dari teori ke praktik. Gema Insani.
Asra, M. (2020). Implementasi Aplikasi al-Kafâlah di Lembaga Keuangan Syari’ah di
Indonesia. Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, 4(2), 74-84
Dahlan, Abdul Azis. "Ensiklopedi hukum islam." (No Title) (1996).
HALILAH, M. S. A. S. (2019). Kafalah Dalam Pandangan Islam. Siyasah: Jurnal Hukum
Tata Negara, 2(2).
Ichsan, N. (2016). Akad Bank Syariah. Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum,
50(2), 399-423.
Karnaen, A. Perwaatmadja, and Tanjung Hendri. "Bank Syariah Teori, Praktik, dan
Peranannya." Jakarta: Celestial Publishing (2006).
Mujiatun, Siti. "Jual beli dalam perspektif islam: Salam dan istisna’." Jurnal Riset
Akuntansi dan Bisnis 13.2 (2014)
Nugraheni, D. B. (2017). Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wakalah,
Hawalah, dan Kafalah Dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan
Syariah. Jurnal Media Hukum, 24(2), 124-136.
Upi, Upi. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Istishna Di Konveksi Rizky And World
di Kecamatan Majasari Kabupaten Pandeglang. Diss. Universitas Islam Negeri"
SMH" Banten, 2018.

27

Anda mungkin juga menyukai