Anda di halaman 1dari 15

KONSEP HUTANG DAN MODAL DALAM AKUNTANSI SYARIAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah:


Teori Akuntansi Syariah
Dosen Pengampu:
Eka Nur Rofik, S.E., M.Ak

Disusun oleh:
KELOMPOK 10

1. Roisatul Malikah (126403202168)


2. Alinda Oris Wahyu Maunti (126403203176)
3. Hanes Dyah Ayu Rahmawati (126403203187)
4. Nurwulan Maghfiroh (126403203197)

KELAS AKS-6D

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Konsep Hutang dan Modal dalam
Akuntansi Syariah".
Selain itu Kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak Eka Nur
Rofik S.E., M.Ak karena dengan diberikannya tugas ini kita dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang kami tuliskan. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuan dan telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas bapak Eka Nur Rofik, S.E., M.Ak pada
mata kuliah : Teori Akuntansi Syariah UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung. Selain itu,
kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembacanya.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

Tuluangagung, 30 Maret 2023

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan.............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hutang dalam Tinjauan Syariah......................................3

B. Rukun, Syarat dan Prinsip Berhutang dalam Tinjauan Syariah......................................4

C. Kewajiban Mencatat Transaksi Hutang dalam Tinjauan Syariah...................................6

D. Pengertian Modal dalam Konsep Islam..........................................................................7

E. Pendayagunaan dan Pengembangan Modal dalam Tinjauan Syariah.............................8

BAB III PENUTUP .................................................................................................................11

A. Kesimpulan...................................................................................................................11

B. Saran..............................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Suatu entitas bisnis ataupun lainnya memerlukan tambahan modal ataupun
hutang kepada pihak lain dalam hal mempertahankan entitasnya.Termasuk entitas
perbankan syariah. Begitupun dengan Manusia sebagai makhluk sosial tentu
membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Hal semacam ini berlaku
dalam segala hal,termasuk dalam pemenuhan rezeki. Banyak cara yang dilakukan
Allah Swt. dalam menyampaikan rezeki pada hambanya, Di antaranya melalui
disyariatkannya praktik transaksi hutang piutang sebagai salah satu aspek pemenuhan
hajat hidup manusia.
Konsep hutang piutang dalam keilmuan akuntansi syariah berdimensi tolong
menolong (ta`awun). Dengan demikian, hutang piutang dapat dikatakan sebagai
ibadah sosial yang dalam pandangan Islam memiliki keutamaan yang mulia.Olehnya
itu penting memahami dengan baik apa esensi konsep hutang piutang dalam suatu
entitas bisnis maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Hutang piutang muncul
disebabkan bahwa entitas maupun manusia (stakeholders) dalam keadaan tertentu,
bisa jadi mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya maupun
hidupnya. Sehingga dengan meminjam uang kepada orang lain merupakan suatu
penyelesaiannya. Atas dasar ini, Islam tentu membolehkan seseorang meminjam
sejumlah hutang untuk kemudian dikembalikan kepemiliknya.
Kebutuhan hidup yang banyak, mendesak dan pendapatan yang kurang sering
mendorong seseorang untuk menutupi kebutuhannya dengan cara berhutang.
Begitupun dengan suatu entitas seperti perusahaan,toko,perbankan ataupun entitas
lainnya. Sumber dana (pendanaan) berupa hutang ataupun modal harus mampu
dipastikan agar entitas tersebut tidak kesulitan operasional, sedangkan adapun bagi
kalangan masyarakat yang bertransaksi hutang piutang ataupun mencari modal, guna
memastikan agar tetap produktif dan bisa memenuhi kebutuhan sehari harinya.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian dan Dasar Hukum Hutang dalam Tinjauan Syariah?
2. Bagaimana Rukun, Syarat, dan Prinsip Berhutang dalam Tinjauan Syariah?
3. Bagaimana Kewajiban Mencatat Transaksi Hutang dalam Tinjauan Syariah?
4. Bagaimana Pengertian Modal dalam Konsep Islam?
5. Bagaiamna Pendayagunaan dan Pengembangan Modal dalam Tinjauan Syariah?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Pengertian dan Dasar Hukum Hutang dalam Tinjauan Syariah
2. Untuk mengetahui Rukun, Syarat, dan Prinsip Berhutang dalam Tinjauan Syariah
3. Untuk mengetahui Kewajiban Mencatat Transaksi Hutang dalam Tinjauan Syariah
4. Untuk mengetahui Pengertian Modal dalam Konsep Islam
5. Untuk mengetahui Pendayagunaan dan Pengembangan Modal dalam Tinjauan
Syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hutang dalam Tinjauan Syariah


Dalam Akuntansi secara umum Hutang merupakan sesuatu yang
dipinjam,baik berupa uang maupun benda itu sendiri.Didalam Akuntansi Seseorang
atau badan usaha yang berhutang disebut debitur,dan Entitas yang memberikan
pinjaman disebut kreditur. menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hutang
adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak
peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam dalam jangka
waktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah bersifat apikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga
Keuangan Syariah.1
Hutang dalam bahasa arab Ad-dain adalah transaksi yang dilakukan oleh dua
belah pihak, dimana salah satu pihak memberikan kewajibannya secara kontan
(langsung) sedangkan pihak kedua menyerahkan kewajibannya pada kesempatan lain.
Ad-dain (utang) adalah ketika sebagian dari kalian memberi sejumlah uang kepada
sebagian yang lain untuk dikembalikan kemudian (waktu yang ditentukan) dengan
menggunakan hari, bulan, dan tahun, bukan menggunakan waktu panen, waktu
datangnya jamaah haji, dan sebagainya.
Ad-dain (utang) maknanya lebih luas lagi karena kata ini bisa berarti al-qordh
(pinjaman), As-salam (pemesanan barang dengan uang yang diberikan terlebih
dahulu), dan as-salaf (memberi barang tertentu dengan memberikan uangnya terlebih
dahulu, sedangkan barangnya akan datang beberapa waktu kemudian). Sedangkan Al-
qordh (pinjaman) adalah harta yang diberikan kreditor (pemberi pinjaman) kepada
debitor (yang berutang) untuk dikembalikan kepadanya sama dengan yang diberikan
pada saat debitor mampu mengembalikannya. Secara bahasa makna asalnya adalah al-
qoth’u (memutus). Harta yang diambil oleh debitor disebut pinjaman (al-qordh)
karena debitor memotongnya dari harta miliknya. Al qordh merupakan salah satu
aktivitas taqorrub kepada Allah swt karena didalamnya terdapat unsur kelembutan dan

1
Riadus Sholihin,"Kedudukan pencatatan Hutang perspektif Fiqh Muamalah", Jurnal Al mudharobah, Volume
1. No.2 (2020). hal. 149. dalam https://journal.ar-raniry.ac.id/index.php/mudharabah/article/view/823/543,
diakses 27 Maret 2023

3
kasih sayang kepada manusia, mempermudah urusan dan meringankan beban
kesulitan mereka2
Hukum utang perspektif Islam diakui dan dibolehkan menurut Alquran,
sunnah dan ijmak ulama. Hal ini telah disinggung oleh para ulama semisal Ibn
Qudāmah (w. 620 H).9 Bahkan, al-Syīrāzī (w. 476 H), salah seorang ulama mazhab
al-Syafi'i menuturkan akad utang-piutang adalah akad yang di dalamnya masuk dalam
kriteria salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan sesuatu yang
diperintahkan namun tidak sampai pada hukum wajib.
Kebolehan melakukan akad utang piutang mengacu pada beberapa dalil Alquran dan
hadis. dalil Alquran yang dimaksud di antaranya mengacu ketentuan QS. al-Baqarah
ayat 245 yang artinya:"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu
dikembalikan"3

B. Rukun, Syarat, dan Prinsip Berhutang dalam Tinjauan Syariah


Adapun yang menjadi syarat dan rukum yang harus dipenuhi dalam utang-piutang
adalah sebagai berikut:
a. Sighat
Yang dimaksud sighad akad adalah ijab dan kabul. Tidak ada perbedaan diantara
fukaha bahwa ijab kabul itu sah dengan lafaz utang dan dengan satu lafaz yang
menunjukan maknanya, seperti kata, “aku memberimu utang”, atau “aku
mengutangimu. Demikian pula kabul sah dengan semua lafaz yang menunjukkan
kerelaan, seperti “aku berutang”, “aku menerima” atau “aku ridha”.
b. Akad
Akad yang dimaksud adalah akad kedua belah pihak yang melakukan teransaksi
yang memberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat bagi pengutang adalah
merdeka, balig, berakal sehat dan pandai yang bisa membedakan baik dan buruk
c. Harta yang Dihutangkan

2
Dede Andriyana," Konsep Utang Dalam Syariat Islam", Jurnal Al-Fatih Global Mulia. Volume.2.(2020). hal.52.
dalam https://jurnalglobalmulia.or.id/index.php/alfatih/article/download/22/22, diakses 27 Maret 2023.
3
Riadus Sholihin, Op.cit., hal.145.

4
Harta yang akan dipinjamkan harus berupa harta (aset) yang ada takarannya, baik
yang bisa ditimbang, diukur, maupun dihitung. Sebagai wujud bntuk implementasi
dari paradigma dan asas yang telah di tetapkan.
Rukun harta yang diutangkan adalah sebagai berikut:
o Harta yang berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang satu
sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan
perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang ditukar, ditimbang,
ditanam dan yang dihitung.
o Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda,tidak sah jika
mengutangkan manfaat (jasa).
o Harta yang diutangkan diketahui,maksudnya yaitu yang diketahui kadarnya
dan diketahui sifatnya.4

Utang merupakan suatu yang biasa terjadi dalam kehidupan begitu pula dalam
ajaran Islam. Hal ini merupakan sunatullah yang sudah digariskan oleh Allah. Bahkan
pada awal ayat surat Al-Baqarah/2: 282, disebutkan bahwa jika seorang yang beriman
ingin berutang kepada pihak lain dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah ia
mencatatnya. Hal ini menunjukan bahwa utang adalaha hal yang diperbolehkan
selama memenuhi sejumlah prinsip dan etika pokok.

Adapun prinsip-prinsip utang yang harus diperhatikan ialah:

a) Harus disadari bahwa utang itu merupakan alternatif terakhir ketika segala usaha
untuk mendapatkan dana secara halal dan tunai mengalami kebuntuan. Ada unsur
keterpaksaan di dalamnya dan bukan unsur kebiasaan. Ini merupakan dua hal yang
berbeda. Keterpaksaan mencerminkan semangat membangun kemandirian dan
berusaha mengoptimalkan potensi yang ada semaksimal mungkin. Namun karena
keterbatasan yang tidak sanggup diatasi, akhirnya terpaksa memilih jalan utang.

b) Jika terpaksa berutang, jangan berutang di luar kemampuan. Inilah yang dalam
istilah syariah disebut dengan ghalabatid dayn atau terbelit utang. Ghalabatid dayn ini
akan menimbulkan efek yang besar, yaitu gharir rijal atau mudah dikendalikan pihak
lain. Oleh karena itu Rasulullah saw. selalu memanjatkan doa agar beliau senantiasa

4
Abdul Aziz,Ramdansyah,"Esensi Utang Dalam konsep Ekonomi Islam", dalam
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/viewFile/1689/1503, diakses 27 Maret 2023

5
dilindungi dari penyakit ghalabatid dayn yang menyebabkan harga diri atau izzah
menjadi hilang.

c) Jika utang telah dilakukan, harus ada niat untuk membayarnya. Harus memiliki
komitmen untuk mengembalikan utang. Memperlambat membayar utang bagi yang
mampu merupakan sebuah kezaliman, sehingga diperbolehkan untuk
mempermalukannya. Dalam konteks mikro, akan sangat mudah akan sangat mudah
menerapkan prinsip ini. Misalnya, pengusaha yang tidak mau membayar utang boleh
saja dipermalukan dengan cara menyita asetnya,

C. Kewajiban Mencatat Transaksi Hutang dalam Tinjauan Syariah


Dalam ajaran Islam, orang yang berhutang dan memberi hutang diwajibkan
untuk menulis atau mencatat dengan baik agar tidak terjadi masalah dikemudian hari.
Selain itu, orang yang berhutang harus memiliki niat yang kuat atau komitmen untuk
mengembalikannya. Jika tidak bisa melunasinya, maka hendaklah kedua belah pihak
untuk mufakat sehingga tidak terjadi konflik dikemudian hari. Hal itu Dijelaskan
dalam QS. Al-Baqarah ayat 280. Didalam Ayat tersebut terdapat anjuran untuk
memberikan kelonggaran waktu kepada orang yang berutang dan mengikhlaskan
utang apabila orang tersebut benar-benar tidak mampu mampu membayarnya,hal itu
dinilai sebagai kebaikan dan Shadaqah.5
Selain ayat diatas juga terdapat Perintah Allah Swt. melalui QS. Al-Baqarah
ayat 282 tentang pentingnya pencatatan dan akuntansi (proses akuntansi) sebagai
bukti transaksi. Selain itu, akuntansi syariah adalah sebagai bentuk akuntabilitas yang
terpercaya dan sebagai pondasi etika informasi laporan suatu entitas. Sebagaimana
perintah agama yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 yang Artinya: “Dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu”.
Simpulan dari makna ayat diatas yaitu "menulis hutang tanpa jemu-jemunya” pada
ayat ini, dapat diartikan sebagai petunjuk untuk mencatat transaksi secara konsisten,
terus menerus dan berkesinambungan.
Sebagai contoh, pedagang atau pemilik toko pada umumnya mempunyai mitra
dagang yang berfungsi sebagai pemasok barang. Pelunasan kepada pemasok ini
5
Eny Latifah,dkk."Dasar-Dasar Akuntansi Syariah", (Purbalingga: Eureka Media Aksara, 2022), hal. 39

6
biasanya dilakukan secara bertahap atau berangsur-angsur, sehingga saldo utang si
pedagang berubah dari waktu ke waktu. Dengan pembukuan yang akurat, maka
perubahan saldo utang tetap terpantau sebagaimana mestinya. Dari bagian ayat
tersebut di atas, terungkap pula bahwa perintah melakukan pembukuan dilandasi oleh
tiga hal, yaitu: Pertama: “Lebih adil di sisi Allah”. Ungkapan ini menyiratkan makna
bahwa pembukuan sebagaimana diperintahkan Allah SWT lebih menjamin
tercatatnya semua transaksi secara benar dan akurat,sehingga potensi terjadinya
kekeliruan atau ketidakadilan (moral hazard) pada kedua pihak dapat dihindari.
Dengan pembukuan yang teratur dan konsisten, maka pada tanggal jatuh tempo atau
pada tanggal angsuran, pihak berhutang tidak membayar jumlah yang lebih kecil dari
semestinya; begitu pula sebaliknya, pihak berpiutang tidak melakukan penagihan
melebihi haknya. Untuk mewujudkan kondisi ini, kedua belah pihak dengan
sendirinya harus melakukan pembukuan secara teratur dan dapat dipertanggung-
jawabkan. Kedua : “Lebih dapat menguatkan persaksian” mengandung makna bahwa
keterangan dalam suatu persaksian semakin kuat dan meyakinkan apabila didukung
oleh pembukuan yang akurat. Ketiga : “Lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu” bermakna bahwa adanya pembukuan yang bisa dilihat wujudnya,
bahkan bisa dibaca serta dipelajari isinya, pada akhirnya dapat menghilangkan
perasaan ragu terhadap ada tidaknya utang piutang itu. Berdasarkan hal-hal tersebut di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perintah menulis transaksi di dalam Al-Qur‟an
memang menyangkut dua hal yaitu membuat “perjanjian tertulis” sebagai aspek
hukum yang kemudian ditindaklanjuti dengan “pencatatan transaksi” sebagai aspek
akuntansi.6

D. Pengertian Modal dalam Konsep Islam


Pengertian modal dalam konsep ekonomi Islam berarti semua harta yang
bernilai dalam pandangan syar'i, dimana aktivitas manusia ikut berperan serta dalam
usaha produksinya dengan tujuan pengembangan. Istilah modal tidak harus dibatasi
pada harta- harta ribawi saja, tetapi ia juga meliputi semua jenis harta yang bernilai

6
Ahmad Musaddad, "Konsep Hutang Piutang Dalam Al-Qur'an", Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Islam, volume
6. No.2 (2019), hal.76 ,dalam https://journal.trunojoyo.ac.id/dinar/article/download/6600/4164, diakses 27
Maret 2023

7
yang terakumulasi selama proses aktivitas perusahaan dan pengontrolan
perkembangan pada periode-periode lain. Dalam firman Allah yang artinya: "Orang-
orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."7
Dalam konsep Islam, pendayagunaan modal dalam suatu usaha yang
dilakukan secara bersama-sama, minimal dua orang atau lebih yang dikenal dengan
istilah syirkah atau Dana Syirkah Temporer (DST). Di dalam syirkah, para pihak
menyertakan setoran modal untuk menjalankan suatu usaha. Tambahan setoran modal
(ekuitas) merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan dan kemajuan
suatu entitas sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat.
Dalam kaidah Islam, pemberi pinjaman tidak boleh meminta imbalan atas
pemberian pinjaman tersebut, karena setiap pemberian pinjaman yang disertai dengan
permintaan imbalan termasuk kategori riba. Penerima pinjaman wajib menjamin
pengembalian pinjaman tersebut pada saat jatuh tempo. Dengan demikian, pinjaman
subordinasi tidak dapat dipertimbangkan untuk diperhitungkan sebagai modal kerja
bank syariah. Secara landasan filosofis, perbankan syariah memiliki tujuan lain selain
profit, yakni kinerja syariah yang berbasis maslahah.

E. Pendayagunaan dan Pengembangan Modal dalam Tinjauan Syariah


Para ulama menyebutkan empat syarat agar harta bisa menjadi modal usaha.
Keempat syarat tersebut meliputi:
a) Harus berupa uang atau barang-barang yang bisa dinilai dengan uang. Para ulama
berjima` bahwa yang dijadikan modal usaha adalah uang.
b) Harus nyata ada dan bukan hutang.
c) Harus diketahui nilai harta tersebut.
d) Harus diserahkan kepada pengusaha.

Dalam sistem ekonomi Islam modal diharuskan terus berkembang agar sirkulasi
uang tidak berhenti. Dikarenakan jika modal atau uang berhenti (ditimbun). maka
harta itu tidak dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain, namun seandainya jika
uang diinvestasikan dan digunakan untuk melakuakan bisnis maka uang tersebut akan

7
An-Nabhani, Taqyuddin,Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,(Surabaya: Risalah Gusti.
1996)., hal. 41

8
mendatangkan manfaat bagi orang lain, termasuk di antaranya jika ada bisnis berjalan
maka akan bisa menyerap tenaga kerja.

Beberapa ketentuan hukum Islam mengenai modal sebagai berikut:

a) Islam mengharamkan penimbunan modal.


b) Modal yang mencapai nisab, zakatnya wajib dikeluarkan.
c) Modal tidak boleh digunakan untuk memproduksi dengan cara yang boros.
d) Pembayaran gaji (upah) harus sesuai dengan ketentuan gaji dalam Islam

Dalam mengembangkan modal berbagai upaya yang halal, baik melalui produksi
maupun investasi. Semua itu bertujuan agar harta bisa bertambah sesuai yang
diinginkan. Adapun bentuk-bentuk pengembangan modal menurut ketentuan Syari'ah
Mu'amalah, dapat dilakukan dalam bentuk atau pola sebagai berikut: Transaksi akad
jual-beli, yaitu pengembangan modal usaha di mana seseorang berada dalam posisi
sebagai penjual dan yang lainnya sebagai pembeli.

Berkaitan dengan ketentuan pembagian hasil usaha perbankan syariah dalam


fatwa DSN MUI No. 14 Tahun 2000 tentang Mekanisme Sistem Distribusi Hasil
Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah (Suwandi, 2019), yaitu:

a) Pada prinsipnya, Lembaga Keuangan Syariah boleh menggunakan sistem accrual


basic maupun cash basic dalam administrasi keuangan.
b) Dilihat dari kemaslahatan (al-ashlah), dalam pencatatan sebaiknya digunakan
sistem accrual basic, akan tetapi dalam distribusi bagi hasil usaha hendaknya
ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basic).
c) Penetapan sistem yang dipilih harus disepakati dalam akad.

Transaksi ini dapat dilihat dalam akad-akad bagi hasil seperti dalam akad as-
syirkah seperti akad al-Mudharabah dan akad as-Syirkah. Dari Hakim Ibnu Hizam
bahwa diisyaratkan “bagi seseorang yang memberikan modal sebagai qiradl, yaitu:
jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya
kelaut, dan jangan membawanya ditengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan
salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku”.

Hadist ini menerangkan bahwa maksud dari ketiga syarat tersebut (jangan engkau
gunakan modalku pada barang berjiwa dan tidak juga dibawa melintasi laut dan
melintasi lembah yang berair) adalah dalam perbuatan seperti yang disyaratkan tadi

9
(ketiga perkara tadi) ada bahaya yang tidak terduga lebih dahulu, yaitu apabila
seseorang menggunakan modalnya itu dengan bebas dalam artian tidak memikirkan
madhoratnya, maka itu akan berbahaya karena ada sesuatu yang tidak terduga yang
bisa saja datang kepada sipemilik modal. Apabila syarat tersebut dilanggar, maka
kerugian yang akan terbit dari padanya adalah atas tanggungan penerima modal itu,
maksudnya adalah apabila terjadi kerugian yang disebabkan kecerobohan salah satu
pihak, maka ia harus menanggung kerugiannya sendiri. Tetapi apabila kerugian
tersebut karena kecelakaan atau unsur kecelakaan, maka kerugian tersebut ditanggung
bersama

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Semua aktifitas yang dilakukan oleh seorang muslim, hendaklah dilakukan
secara sungguh-sungguh, agar apa yang dilakukannya akan mendapatkan nilai yang
sempurna di dunia dan akherat. Dalam kegiatan muamalah yang dilakukan, hendaklah
memperhatikan utang, utang adalah sebagai metode terakhir dalam meraih nilai dan
bila mengandung nilai keterpaksaan dan idealnya berusaha agar jangan terlibat di
dalamnya. Utang dayn tidak ada tambahan dan murni dikembalikan sebagaimana
pada saat dipinjam, sedangkan utang qardh adalah utang piutang yang dilakukan pada
perbankan, hal ini merupakan pembiyaan yang memiliki unsur bisnis. Bagi seorang
muslim yang terpaksa berutang karena suatu hal, maka hendaklah memperhatikan
utang, jangan utang dijadikan faktor utama yang bisa menyengsarakan kita di dunia
dan akherat, karena tidak jarang kita jumpai karena persoalan utang, kehidupan
seseorang menjadi tidak bahagia dan bahkan menjadi permasalahan yang tidak
selesai-selasai. Padahal utang itu akan dipertanggungjawabkan dari diri kita sejak
hidup hingga kita mati.

B. Saran
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini banyak kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila
pembaca kurang merasa puas denga hasil yang kami sajikan, tentunya penulis akan
terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang telah di dapat. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan
makalah yang ada diatas.

11
DAFTAR PUSTAKA

Andriyana, Dede. 2020. Konsep Utang Dalam Syariat Islam. Jurnal Al-Fatih Global Mulia.
Vol.2: 52.
An-Nabhani, Taqyuddin. 2009. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.
Surabaya: Risalah Gusti
Latifah, Eny dkk. 2022. Dasar-dasar Akuntansi Syariah. Purbalingga: penerbit Eureka Media
Aksara.
Musaddad, Ahmad. 2019. Konsep Hutang Piutang Dalam Al-Qur'an. Jurnal Ekonomi Dan
Keuangan Islam. vol.6 (2): 76.
Ramdyansyah, Abdul Azizi. Esensi Utang Dalam Konsep Ekonomi Islam. dalam
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/viewFile/1689/1503, diakses 27
Maret 2023
Sholihin, Riadus. 2020. Kedudukan Pencatatan Hutang Perspektif Fiqh Muamalah. Jurnal Al
mudharobah, Vol.1 (2): 149.

12

Anda mungkin juga menyukai