Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

GADAI (Al-RAHN)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu Bapak Zaini Fajar Sidiq, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Ika Devi Fatkhul Rohmah 225221219

Dian Wahyuningtyas 225221227

Ahmad Dafri Novaldi 225221232

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan berkahnya kami
diberikan kemudahan serta kelancaran dalam menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Gadai” yang di berikan oleh dosen pengampu mata kuliah Pengantar
Bisnis Islam yaitu Bapak Zaini Fajar Sidiq, S.H., M.H.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Fiqih Muamalah Semester 3 dengan Program Studi
Akuntansi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Raden Mas Said
Surakarta. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
mengenai Gadai.

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Zaini Fajar Sidiq, S.H., M.H.
yang telah memberikan arahan dalam menyusun makalah ini, makalah disusun dari
beberapa referensi buku dan dari jurnal yang kemudian kami jadikan sebagai
pembahasan. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca makalah
ini. Semoga makalah ini dapat menjadi bahan referensi maupun kajian akademik.
Mohon maaf apabila dalam penyampaian masih terdapat banyak kekurangan
semoga makalah kami dapat lebih baik lagi dilain hari.

Sukoharjo, 04 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 5
C. Tujuan Masalah..................................................................................................... 5
BAB II ................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
A. Pengertian Gadai .................................................................................................. 6
B. Dasar Hukum Gadai (Rahn) ................................................................................ 7
C. Rukun dan Syarat Gadai...................................................................................... 9
D. Jenis – Jenis Gadai .............................................................................................. 11
E. Pemanfaatan Harta Gadai ................................................................................. 11
F. Berakhirnya Akad Gadai ................................................................................... 15
G. Praktik Gadai Di Indonesia ........................................................................... 16
BAB III............................................................................................................................. 18
PENUTUP ........................................................................................................................ 18
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 18
B. Saran .................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 19

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas mengenai
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dengan sebuah
Masyarakat. Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling
membutuhkan satu dengan lainnya. Di dalamnya termasuk kegiatan
perekonomian Masyarakat. Karena Islam menekannkan pengorganisasian
dan kewenangan urusan public, negara memiliki peran aktif demi
terealisasikan tujuan material dan spiritual.1 Salah satu jenis transaksi
ekonomi yang dibahas di dalam fiqih muamalah adalah gadai.
Masalah kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan hidup pada saat ini
merupakan sesuatu hal yang menjadi perbincangan di lingkungan ekonomi,
baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kebutuhan yang tidak terbatas dan
alat pemenuh kebutusan yang terbatas, akan mengakibatkan munculnya
masalah keuangan bagi Sebagian Masyarakat pada level ekonomi tingkat
menengah kebawah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Sebagian
masyarakaat berusaha untuk mencari jalan keluar dengan menggunakan jasa
perusahaan finansial. Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Perusahaan
jasa finansial kepada masyarakat yang mebutuhkan tambahan modal atau
hanya sekedar untuk keluar dari permasalahan keuangannya adalah dengan
memanfaatkan jasa pegadaian.
Di-Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama islam,
terdapat beberapa permsalahan yang muncul salah satunya yaitu perosalan
Riba. Hal ini dikarenakan dalam praktek gadai terdapat bunga, yaitu adanya
tambahan sejumlah uang dalam transakti tersebut. Sebagian umat muslim
meragukan system pergadaian konvensional, apakah hal tersebut haram atau
tidak dikarenakan adanya penambahan bunga. Dengan keraguan ini,
sekelompok Lembaga-lembaga keuangan membentuk Perusahaan pergadaian

1
Sabahuddin Azmi, “Menimbang Ekonomi Islam: Keuangan publik, Konsep Perpajakan dan Peran
Bait al-Mul”, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2005),hal.60.

4
yang kegiatan operasinya dikaitkan dengan prinsip-prinsip Syari’at Islam,
Lembaga ini disebut dengan gadai Syariah.2 Adapun dalam makalah ini
dijelaskan mengenai pegadaian syariah muali dari pengertian, dasar hukum,
rukun dan syarat gadai.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Alinia di atas, penyajian makalah ini dirumuskan ke dalam
beberapa bagian penting menyangkut paragraf, yaitu sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Gadai?
2. Apa saja dasar hukum Gadai?
3. Apa saja rukun dan syarat Gadai?
4. Apa saja jenis-jenis Gadai?
5. Bagaimana pemanfaatan harta Gadai?
6. Bagaiman berakhirnya akad Gadai?
7. Bagaimana penerapan praktik Gadai di Indonesia?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan alinia di atas , tujuan dari dibentuknya makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Memahami pengertian Gadai.
2. Mengetahui apa saja dasar hukum Gadai.
3. Mengetahui rukun dan syarat Gadai.
4. Mengetahui apa saja jenis-jenis Gajai.
5. Memahami pemanfaatan harta Gadai.
6. Memahami proses berakhirnya akad Gadai.
7. Memahami penerapan praktik Gadai di Indonesia.

2
Yusnedi Ahmad, “Gadai Syariah”, (Yogyakarta: deepublish,2015), Hal.2

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai
Gadai menurut Bahasa adalah tetap dan abadi, seperti perkataan
seseorang, ”ma’un rahman” (air yang tetap), ni matun rahinatun
(kenikmatan yang abadi). Sebagian ulama mengartikan gadai dengan
penahanan atau pertanggungjawaban sebagaimana firman Allah:3

ٌ‫كُ لُّ نَ فْ سٍ ِبَِا كَ سَ بَ تْ رَ هِي نَ ة‬

Artinya: “Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.


(QS. Al-Mudatstsir(74): 38)
Secara etimologi, gadai yaitu pemenjaraan. Ada pula yang menjelaskan
bahwa gadai merupakan terkurung atau terjerat. Sedangkan pengertian gadai
menurut istilah ulama fiqih sebagai berikut:4
1. Menurut ulama Hanafiyah, gadai merupakan kegiatan menjadikan
barang sebagai jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai
pembayaran piutang, baik seluruhnya atau sebagiannya.
2. Menurut Ulama Malikiyah, gadai adalah harta pemilik yang dijadikan
sebagai jaminan utang yang memiliki sifat mengikat. Barang yang
dijadikan jaminan tidak harus diserahkan secara tunai, tetapi juga dapat
diserahkan secara aturan hukum. Sebagai contoh: sebidang tanah
dijadikan sebagai jaminan, maka yang dijadikan jaminan adalah sertifikat
hak atas tanah tersebut.
3. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, gadai adalah menjadikan
barang milik barang pemilik sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
sebagai pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak dapat
melunasi utangnya. Pengertian gadai menurut Syafi’iyah ini memberikan

3
Asmaji Muchtar, “Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah & Muamalah”, (Jakarta: Amzah, 2015), Hal.
509.
4
Abu Azam, “Fikih Muamalah Kontemporer”, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017), hal.160-
161.

6
pengertian bahwa barang yang dapat dijadikan jaminan utang hanyalah
harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang
dikemukakan Ulama Malikiyah.
Menurut syara’ gadai adalah menjadikan barang yang berharga sebagai
jaminan atas utang dan akan dijual bila tidak daapt memnuhi tanggungannya
Penerima gadai berhak menjual marhun (barang yang digadai) apabila rahin
(orang yang menggadaikan) tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat
jatuh tempo.5 Barang tersebut dapat dijual dengan syarat apabila barang yang
dijual harganya melebihi dari utang, maka sisanya harus dikembalikan kepada
orang yang utang (rahin). Sebaliknya apabila barang yang dijadikan jaminan
setelah dijual tidak dapat menutup/melunasi utangnya, maka rahin harus
menambah kekurangannya. Pemanfaatan barang gadai oleh murtahin yang
mengakibatkan turun kualitas marhun tidak diperbolehkan kecuali diizinkan
oleh rahin. Apabila barang yang digadai berupa hewan yang tidak dapat
diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka boleh dijadikan sebagai khadam
(penjaga), akan tetapi apabila harta benda gadai berupa sawah, kebun, dan
semacamnya maka tidak boleh diambil manfaatnya.6

B. Dasar Hukum Gadai (Rahn)


Landasan hukum gadai syariah (rahn) telah disyariatkan dalam Al-
Qur’an dan Hadist. Dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al – Baqarah ayat
283.
‫وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِ ٱلَّذِى‬
ٌ‫ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱَّللََّ رَبَّهُۥ ۗ وََلَ تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱَّللَُّ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيم‬

Referensi : https://tafsirweb.com/1049-surat-al-baqarah-ayat-283.html
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan ber-Muamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian

5
Sulaiman Jajuli, “Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam”, (Yogyakarta: Deepublish, 2015),
hal.11.
6
Ibid, Hal.12.

7
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Baqarah, 2:283)
Kutipan ayat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”
merupakan anjuran memberikan jaminan untuk membina kepercayaan.
Berdasarkan dalil tersebut para ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa akad
rahn itu diperbolehkan, karena mengandung banyak manfaat didalamnya,
terutama sebagai sarana tolong menolong antar sesama manusia.

Dasar hukum gadai juga terdapat dalam Hadist, yaitu:

َ‫حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا اْلَْعْمَشُ قَالَ تَذَاكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْن‬
ِ‫فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ حَدَّثَنَا اْلَْسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ َّللاَُّ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ وَالْقَبِيلَ فِي السَّلَف‬
ُ‫صَلَّى َّللاَُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَىمِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍّ وَرَهَنَهُ دِرْعَه‬

Artinya: ” Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan


kepada kami 'Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Al A'masy berkata,
kami menceritakan di hadapan Ibrahim tentang masalah gadai dan pembayaran
tunda dalam jual beli. Maka Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami
Al Aswad dari 'Aisyah radhiallahu'anha bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah membeli
makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai waktu yang
ditentukan, yang Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau." (HR.
Bukhari nomor 2509 dalam Fathul Bari) . 7

Dalam hadist tersebut Nabi membeli makanan dari seorang Yahudi dan
menjadikannya perisai untuknya. Dalam beberapa kasus, dikatakan “Dia
meninggal dan baju zirahnya digadaikan kepada orang Yahudi dengan

7
Andrian Saputra, ”Nabi Muhammad bermuamalah dengan Yahudi yang Mau Hidup Rukun”, Nabi
Muhammad Bermuamalah dengan Yahudi yang Mau Hidup Rukun | Republika Online, (diakses
pada: 10 Januari 2023,05:26)

8
makanan yang ia beli untuk keluarganya. Hadist ini adalah sahih. Diketahui
bahwa ini terjadi di kota dan orang – orang kota hadir dan tidak dalam
perjalanan. Ini menunjukan bahwa gadai boleh dilakukan dalam perjalanan
maupun dalam perkotaan.8
Selain dalam Al-Qur’an dan Hadist, hukum gadai syariah merujuk pada
fatwa DSN-MUINo.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai syariah (Rahn)
yang mengatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan hutang dalam bentuk Rahn diperbolehkan.9

C. Rukun dan Syarat Gadai


Untuk sahnya perjanjian gadai yang dilakukan oleh pihak yang
berpiutang/murtahin (bank syariah, lembaga pegadaian) kepada pihak yang
berhutang/rahin (nasabah) terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus
dipenuhi.
a. Rukun gadai
Menurut jumhur ulama, rukun gadai terdiri dari:
1. Shigat
2. Orang yang berakad (rahin dan murtahin)
3. Harta/barang yang digadaikan (marhun)
4. Hutang (marhun bih)

b. Syarat gadai
Para ulama fiqih mengemukakan syarat gadai sesuai dengan rukun gadai
itu sendiri.
1. Barang yang dijadikan jaminan (digadaikan)
Kriteria barang yang digadaikan

ُ‫ وكُلُّ مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَرَهْنُه‬: ِ‫شَرَّطُ الْمَرْهُوْن‬

8
Syaikhu, Fiqih Muamalah : Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer, (Yogyakarta: K-
Media, 2020
9
Anis Fitria, Teori Dasar Fiqih Muamalah, Semarang, 2021

9
Barang yang bisa digadaikan / dijadikan jaminan (marhun)
harus bisa diperjual belikan (memiliki nilai ekonomis) menurut
tinjauan syariat.
2. Hutang
Kriteria hutang yang mendapat jaminan
Sedangkan marhun bih-nya (sasaran jaminan/gadai) itu harus
berupa hutang yang diketahui oleh kedua pihak dan sudah sah
ditetapkan sebagai tanggungan yang tetap.

3. Orang yang berakad (rahin dan murtahin)


Kriteria pihak yang bertransaksi
ِ‫وَأَمَّا الْعَاقِدَيْنِ فَيُشْتَرَطَ فِيهِمَا أَهْلِيَةُ التَّبَرُعَ وَإِخْتِيَارُ كَمَا فِي الْبَيْعِ وَنَحْوِه‬
ُ‫ وَهَذَا بَيَان‬,ِ‫(قَوْلُهُ مِنْأَهْلِ تَبَرُّعِ إِلَى أَنَّ قَالَ اي يَصِحُ رَهْنٌ مِنْ أَهْلِ تَبَرُّع‬
ِ‫لِلرُّكْنِ الثَّ فِي وَهُوَالْعَاقِدَنِ مُحِيْبًا كَانَ أَوْقَابِألَ وَالْمُرَادُ بِأَهْلِيَةِ التَّبَرُّعِ الْمُطْلَق‬
ُّ‫وَهِي تَسْتَلْزِمُ الرُّشْدَ وَ اإلِخْتِبَارَ كَمَا تَقَلَّمَ فِي الْقَرْضِ فَيَخْرُجُ الصَّبِي‬
‫وَالْمَجْنُونُ وَالْمَحْجُورُ عَلَيْهِ بِالسَّفَهِ وَالْمُكْرَه‬

Orang yang bertransaksi harus ahli tabarru’ (bukan anak kecil,


orang gila, orang yang tidak mampu mengelola hartanya dan bukan
orang yang terpaksa)

4. Akad ijab qobul


‫ وَيُشْتَرَطُ مَا مَرَّ مِنْ إِنِصَالِ اللَّقْضَيْن‬.ُ‫وَيَصِحُ رَهْنَّ بِإِعْجَابٍ وَقَبُوْلٍ كَرَهَنْتُ وَإِرْقَنْت‬
ً‫وَتَوَافُقِهِمَا مَعْن‬
Ucapan serah terima diharuskan
a. Tidak ada perkataan lain yang memisah antara ucapan
penyerahan (‘Ijab) dan ucapan penerimaan (qabul).
b. Keserasian Ijab dan qabul.
‫ مُسْتَقِراني الذُمَّة‬:‫ وشُرِطَ فِيْهِ كَوْنُهُ دَيْنًا مَعْلُوْمًا ثَابتًا َلزمًا أي‬: ِ‫وَمُرْهُوْنُ بِه‬

10
Contoh shighat : Rahin (pihak yang menggadaikan) berkata,
“saya gadaikan barang ini”. Murtahin (penerima gadaian)
menjawab, “saya terima gadaian ini”10

D. Jenis – Jenis Gadai


Dilihat dari sah tidaknya akad gadai, gadai dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Rahn Shahih/lazim
Yaitu gadai yang benar karena terpenuhi syarat dan rukunnya.
Apabila rukun dan syarat gadai telah terpenuhi maka membawa dampak
yang harus dilakukan oleh murtahin dan rahin, yaitu :
1. Adanya hutang bagi rahin (penggadai)
2. Penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin kepada murtahin
3. Kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin
4. Biaya – biaya pemeliharaan harta gadai menjadi tanggung jawab
rahin, karena itu murtahin berhak untuk memintanya kepada rahin.
b. Rahn Fasid
Yaitu gadai yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya. Dalam hal
ini tidak ada hak ataupun kewajiban yang terjadi, karena akad tersebut
telah rusak/batal. Karena itu ada dampak hukum pada barang gadaian,
dan murtahin tidak boleh menahannya, disini rahin hendaknya meminta
kembali barang gadai tersebut. Jika murtahin menolak
mengembalikannya sampai barang tersebut rusak maka murtahin
dianggap perampas. Jika rahin meninggal sedangkan dia masih memiliki
hutang, maka barang gadaian tersebut menjadi hak murtahin dengan nilai
yang seimbang dengan hutangnya.11

E. Pemanfaatan Harta Gadai


Pemanfaatan barang gadai menjadi pembahasan yang penting. Karena
disinilah kesalahan paling banyak terjadi. Lalu bagaimana sebenarnya hukum
pemanfaatan barang gadai? Dalam hal ini, dapat dibedakan dari siapa yang

10
Subairi, Fiqh Muamalah, (Madura: Redaksi Duta Media, 2021)
11
Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus suriah: darul al fikr)

11
memanfaatkan. Apakah oleh rahin (orang yang berhutang) ataukah oleh
murtahin (orang yang memberi hutang).
1. Oleh Rahin
Ketika seseorang menggadaikan suatu barang, maka barang tersebut
berada di bawah kekuasaan orang lain yaitu murtahin(orang yang
meminjami). Apakah barang tersebut masih bisa dimanfaatkan orang si
rahin yang mana dia masih menjadi pemilik barang tersebut?
a. Boleh jika diizinkan

Pendapat yang pertama mengatakan bahwa masih boleh barang


yang sedang digadaikan dimanfaatkan oleh yang menggadaikan jika
diberi izin oleh orang yang menerima gadai. Pendapat ini dikemukakan
oleh madzhab Hanafi dan Hambali,12

Dalam kitabnya, lbn Abdin mengatakan:

( ‫ وََلَ سُكْنَى وََل‬,ٍ‫َل انْتِفَاعَ بِهِ مُطْلَقًا ( َل بِاسْتِخْدَام‬

ِ‫لُبْسِ وََلَ إِجَارَةٍ وََلَ إِعَارَةٍ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ مُرْتَهِنٍ أَوْ رَاهِنٍ ) إَل بِإِذْنِ ( كُلٌّ لِآلخَر‬

"Tidak boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak, baik (alat)


dipakai, atau (rumah) ditempati, ataupun (pakaian) dipakai, tidak boleh
juga disewakan maupun dipinjamkan. Baik dari pihak pemberi
pinjaman ataupun penerima pinjaman. Kecuali jika mendapatkan izin
dari pihak yang lain"

Sebagaimana juga dikatakan oleh Ibn Qudamah dari mazhab


Hambali:13

‫ وَل سكنى وَل غير ذلك وَل يملك‬،‫بالرهن باستخدام وَل وطء‬، ‫فصل وليس للراهن اَلنتفاع‬
‫ بغير رضا المرتهن‬،‫ وَل إعارة وَل غيرهما‬،‫ بإجارة‬،‫التصرف فيه‬.

12
Muhammad Aqil Haidar, Memanfaatkan Barang Gadai, Boleh kah?, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), hal.20
13
Ibid, hal.21

12
"Tidak diperkenankan bagi rahin memanfaatkan parang gadai. Baik
berupa alat yang dipakai, atau perupa hamba sahaya yang bisa dijimak,
ataupun rumah untuk ditempati dan sebagainya. Dan rahin juga tidak
memiliki hak tasarruf pada barang yang sedang ia gadaikan tersebut.
Baik dengan menyewakanya, meminjamkanya ataupun yang lain.
Semua itu dilarang jika tanpa ridho dari murtahin.”14

b. Tidak Boleh
Di sisi lain terdapat pendapat yang melarang dengan mutlak. Dan
menganggap bahwasanya pemanfaatan barang gadai olrh pihak rahin
menjadikan rahn tidak sah. Hal ini dikarenakan tujuan rahn/gadai tidak
tercapai jika barang masih boleh dimanfaatkan oleh rahin. Bahan jika
diizinkar oleh pihak murtahin,

Sebagaimana disebutkan oleh dr. Wahbah az-Zuhaili;15

‫ فقرروا عدم جواز انتفاع الراهن‬،‫وتشدد المالكية أكثر من المذهبين السابقين‬


‫ ولو لم ينتفع؛‬،‫بالرهن وقرروا أن إذن المرتهن للراهن باَلنتفاع مبطل للرهن‬،
‫ألن اإلذن باَلنتفاع يعد تنازَلً عن حقه في الرهن‬.

Madzhab maliki lebih ketat (di dalam aturan pemanfaatan barang


gadai oleh rahin) dibandingkan madzhab madzhab sebelumnya. Mereka
menetapkan tidak bolehnya memanfaatkan barang gadai oleh pihak
rahin sama sekali. Dan menetapkan bahwasannya hanya dengan
memberi izin oleh murtahin kepada rahin untuk memanfaatkan barang
gadai sudah membatalkan akad gadai. Karena memberikan izin
dianggap tanazul/melepaskan hak atas barang gadai tersebut.16

14
Muhammad Aqil Haidar, Memanfaatkan Barang Gadai, Boleh kah?, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), hal.22
15
Ibid, hal.23
16
Muhammad Aqil Haidar, Memanfaatkan Barang Gadai, Boleh kah?, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), hal.23.

13
2. Oleh Murtahin
Pembahasan kedua adalah hukum pemanfaatan barang gadai oleh
murtahin. Dimana murtahin bertindak selain sebagai penguasa atas barang
gadai juga sebagai orang yang memberi pinjaman. Dalam bahasa lain
sering disebut sebagai muqridh.
Contoh kasus yang sering terjadi di masyarakat adalah, jika ada
seseorang bernama A meminjam uang kepada pihak B. Kemudian pihak A
menggadaikan sawahnya kepada pihak B, sebagai jaminan atas hutangnya.
Apakah selama pihak A belum melunaskan hutangnya, pihak B boleh
memanfaatkan sawah tersebut? Ataukah pemanfaatan sawah oleh pihak B
merupakan sebuah manfaat yang bisa jadi masuk ke dalam riba?
Pembahasan ini menjadi sangat penting terkait dengan kemungkinan
adanya riba yang timbul. Yaitu ketika adanya manfaat ang bersumber dari
muqtaridh(peminjam uang) kepada muqridh. Maka apakah pemanfaatan
muqridh terhadap bparang gadai yang notabene milik (bersumber) dari
muqtaridh adalah bentuk manfaat yang termasuk riba?
Dalam masalah ini ulama telah membahas secara detail akan hal itu.17
a. Hanafi
Dalam salah satu qoul madzhab Hanafi, murtahin boleh memanfaatkan
barang gadai jika diizinkan dan tidak disyaratkan
b. Maliki
Dalam madzhab Maliki disebutkan bahwasannya tidak boleh
memanfaatkan barang gadai bagi murtahin. Dan menyebutnya sebagai
utang yang menimbulkan manfaat. Dan itu merupakan hakikat dari riba.
c. Syafi’i
Dalam madzhab syafii juga melarang murtahin memanfaatkan barang
gadai
d. Hambali

17
Ibid, hal.24-25.

14
Dalam madzhab Hambali, dihukum pemanfaatan barang gadai dibagi
berdasarkan jenis barangnya. Apakah butuh perawatan atau tidak.
• Tidak butuh perawatan: dilarang
• Butuh perawatan: diperbolehkan hanya sebatas untuk mengganti
biaya perawatan18

F. Berakhirnya Akad Gadai


Menurut ketentuan syaratian bahwa apabila masa yang telah
diperjanjikan untuk membayar utang telah terlewati maka si berhutang tidak
punya kemauan untuk mengembalikan pinjaman hendaklah ia memberikan
izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Dan seandaianya
izin tidak diberikan oleh si pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau
memberikan izin kepada si penerima gadai untuk menjual barang gadaian
tersebut.

Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan


ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si penggadai, maka
kelebihan tersebut harus diberikan kepada si penggadai. Sebaliknya sekalipun
barang gadaian telah dijual dan ternyata belum melunasi hutang si penggadai,
maka si penggadai masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.

Sayid Sabiq mengatakan jika terdapat klausula murtahin berhak


menjual barang gadai pada waktu jatuh tempo perjanjian gadai, maka ini
dibolehkan. Argumentasi yang ajukan adalah bahwa menjadi haknya
pemegang gadaian untuk menjual barang gadaian tersebut.

Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam As-Syafi‟I yang


memandang dicantumkan klausula tersebut dalam perjanjian gadai adalah
batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang artinya :

“Janganlah ia (pemegang gadai) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin)


yang menggadaikan. Ia (murtahin) berhak memperoleh bagianya dan dia

18
Muhammad Aqil Haidar, Memanfaatkan Barang Gadai, Boleh kah?, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2019), hal.25-28.

15
(rahin) bekewajiban membayar gharamahnya” (HR. Asy-Syafi‟I, Atsram,
dan Ad-Dharuqutni. Ad-Dharuqutni mengatakan sanadnya hasan muttashil.
Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram mengatakan para parawinya tsiqat, Abu
Daud hadist ini mursal).

“Rahn itu tidak boleh dimiliki. Rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia
berhak atas keuntungan dan kerugiannya,” (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan
sanad yang baik).

Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.


b. Rahin membayar hutangnya.
c. Dijual dengn perintah hakim atas perintah rahin.
d. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan
dari pihak rahin. 19

G. Praktik Gadai Di Indonesia


Setelah kita memahami gadai dalam fiqh Islam, maka bagaimanakah
praktek gadai yang ada di tengah masyarakat pada masa kini? Di Indonesia
banyak lembaga keuangan dan bank yang menyediakan jasa pegadaian,
Beberapa di antaranya adalah Pegadaian, beberapa bank seperti BRI, BNI,
Mandiri dan bank swasta lainnya menyediakan layanan penggadaian.

Proses gadai biasanya melibatkan penjaminan barang barang berharga


seperti emas, perhiasan, elektronik, kendaraan atau dokumen berharga
sebagai jaminan untuk meminjam uang. Prosedur, syarat dan ketentuan untuk
mendapatkan hipotek dapat berbeda-beda tergantung pada lembaga keuangan
yang terlibat. Dan seiring perjalanan waktu dan berkembangnya ekonomi
syariah saat ini telah ada perum (perusahaan umum) penggadaian syariah
yaitu penggadaian dengan prinsip akad rahn yang bebas bunga dan sesuai
dengan prinsip islam. Namun menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional

19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung : Al Maarif, 1987) jilid 13, h.145

16
menyatakan bahwa pinjam meminjam dengan menggadaikan barang sebagai
jaminan atas utang dalam bentuk rahn itu diperbolehkan. Akan tetapi harus
sesuai dengan ketentuan, adapun ketentuan tersebut ialah sebagai berikut :20

1. Murtahin (penerima barang) itu mempunyai hak untuk menahan barang


jaminan sampai rahin melunaskan hutangnya.
2. Marhun (barang) beserta manfaatnya itu tetap menjadi milik seorang
rahin (peminjam). Akan tetapi pada prinsipnya barang serta manfaatnya
itu tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali sudah mendapatkan
izin dari rahin. Tapi dengan syarat tidak mengurangi nilai barang serta
pemanfaatannya itu hanya sekedar sebagi pengganti dari biaya
pemeliharaan perawatannya.
3. Perawatan serta penyimpanan barang itu menjadi dasar akan kewajiban
seorang rahin, namun hal tersebut dapat dilakukan oleh seorang murtahin.
Namun biaya pemeliharaan arsip tetap menjadi tanggung jawab
masyarakat Rahin.
4. Tidak dapat menentukan besaran biaya pengelolaan dan penyimpanan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan barang yang digadaikan:
a. Murtahin harus memberitahukan kepada Rahin agar ia dapat segera
melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.
b. Penjamin wajib menjual apabila rahin tetap tidak mampu membayar
utangnya setelah diperingatkan.
c. Hasil penjualan paksa barang gadai digunakan Murtahin untuk
membayar hutang, biaya pemeliharaan, biaya penyimpanan barang
yang belum dibayar dan biaya penjualan.

20
Juwita Yuyun & Haniffudin Iza, “KETENTUAN PEGADAIAN SYARIAH BERDASARKAN PADA FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA”, Vol.2, No.2 (2021), h.124

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut syara’ gadai adalah menjadikan barang yang berharga sebagai
jaminan atas utang dan akan dijual bila tidak daapt memnuhi tanggungannya
Penerima gadai berhak menjual marhun (barang yang digadai) apabila rahin
(orang yang menggadaikan) tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat
jatuh tempo. Terdapat beberapa rukun gadai yang terdiri dari: Shigat, Rahin
dan Murtahin, Marhun, dan Marhun bih. Jenis gadai terbagi menjadi 2, yang
pertama Rahn Shahin/lazim , dan yang kedua adalah Rahn Fasid.
Di Indonesia banyak lembaga keuangan dan bank yang menyediakan
jasa pegadaian, Beberapa di antaranya adalah Pegadaian, beberapa bank
seperti BRI, BNI, Mandiri dan bank swasta lainnya menyediakan layanan
penggadaian. Proses gadai biasanya melibatkan penjaminan barang barang
berharga seperti emas, perhiasan, elektronik, kendaraan atau dokumen
berharga sebagai jaminan untuk meminjam uang. Menurut Fatwa Dewan
Syariah Nasional menyatakan bahwa pinjam meminjam dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan atas utang dalam bentuk rahn itu
diperbolehkan, tetapi harus sesuai dengan ketentuan, yaitu: Murtahin
mempunyai hak untuk menahan barang jaminan sampai pelunasan; Marhun
beserta manfaatnya tetap menjadi milik seornag peminjam; perawatan dan
pemyimpanan barang menjadi dasar kewajiban seorang rahin.

B. Saran
Demikianlah yang dapat penulis paparkan mengenai materi Fiqih
Muamalah yaitu mengenai Gadai. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan kelemahan pada makalah ini dikarenakan keterbatasan
pengetahuan penulis dan kurangnya referensi atau rujukan pada judul
makalah ini. Penulis mohon maaf atas kekurangan-kekurangan tersebut dan
berharap semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada pembaca,
serta mohon kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sabahuddin Azmi. 2005. Menimbang Ekonomi Islam: Keuangan publik,


Konsep Perpajakan dan Peran Bait al-Mul. Bandung: Nuansa Cendekia.

Yusnedi Ahmad. 2015.Gadai SyariaH. Yogyakarta: Deepublish.

Asmaji Muchtar. 2015. Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah & Muamalah.
Jakarta: Amzah.

Abu Azam. 2017. Fikih Muamalah Kontemporer. Depok: PT RajaGrafindo


Persada.

Sulaiman Jajuli. 2015.Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam.


Yogyakarta: Deepublish.

Andrian Saputra, ”Nabi Muhammad bermuamalah dengan Yahudi yang Mau


Hidup Rukun”, Nabi Muhammad Bermuamalah dengan Yahudi yang Mau
Hidup Rukun | Republika Online, (diakses pada: 10 Januari 2023,05:26)

Syaikhu.2020. Fiqih Muamalah : Memahami Konsep dan Dialektika


Kontemporer. Yogyakarta:K-Media.

Anis Fitria. 2021. Teori Dasar Fiqih Muamalah. Semarang.

Subairi. 2021. Fiqh Muamalah. Madura: Redaksi Duta Media.

Wahbah Zuhaili. Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu. Damaskus suriah: Darul al Fikr.

Muhammad Aqil Haidar. 2019. Memanfaatkan Barang Gadai, Boleh kah?.


Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.

Juwita Yuyun & Haniffudin Iza, “KETENTUAN PEGADAIAN SYARIAH


BERDASARKAN PADA FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA”, Vol.2, No.2 (2021)

19

Anda mungkin juga menyukai