Anda di halaman 1dari 17

RHAN (GADAI)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

VIDYAH FADILAH SIKUMBANG


NIM. 2020300034

DOSEN PENGAMPU
ZILFARONI, S.Sos.I., M.A.

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS DAKWEAH DAN ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2022
KATA PENGANTAR
‫ٱلرِنَٰمۡح ه‬ ‫ه‬
‫ٱَّللِ ه‬
‫يم‬
ِ ‫ح‬ِ ‫ٱلر‬ ‫ِمۡسِب‬

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul“ Gadai (Rahn)”. Shalawat dan salam

kharibaan junjungan Nabi Muhammad SAW.

Penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak terutama kepada Bapak


Dosen Mata Kuliah Fiqih Muamalah yang telah membimbing penulis dalam
menyelesikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
titik kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
untuk kesempurnaan makalah ini
Akhir kata penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Padangsidimpuan, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................3
A. Pengertian Rahn ......................................................................................3
B. Sifat Rahn ................................................................................................4
C. Dasar Hukum Rahn ................................................................................4
D. Rukun dan Syarat Gadai..........................................................................5
E. Pengambilan Manfaat Barang Gadai ......................................................6
F. Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai ............................................7
G. Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal ..........10
H. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai ...............................12
BAB III PENUTUP.............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-
macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai /
rahn(‫)السهه‬. Para ulama‟ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak
termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak
sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari
mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar
gadai tersebut. Dalam syari‟at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya
mampu melaksanakan syari‟at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan
syari‟at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam
perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah
mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi
perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah
penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui
lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut .Selain daripada
itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat
mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala,
misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam
diberlakukan syari‟at gadai.
Gadai secara umum berupa transaksi peminjaman sejumlah uang
dengan memberikan jaminan berupa perhiasan (emas, perak platina), barang
elektronik (TV, kulkas, radio, tape, video), kendaraan (sepeda, motor, mobil),
barang-barang pecah belah, mesin jahit, mesin motor kapal, tekstil (kain
batik, permadani) dan barang lainnya yang dianggap bernilai. Adapun
pengertian hukum dan syaratnya akan dibahas dalam makalah ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Hakekat / pengertian rahn ?
2. Bagaimana sifat rahn ?
3. Apa yang mendasari diadakannya rahn ?
4. Apa rukun dan syarat rahn?
5. Bagaimana cara mengambil manfaat rahn ?
6. Bagaimana pandangan Ulama tentang rahn?
7. Apa perbedaan dan persamaan antara gadai syariah dengan gadai
konvensional?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Rahn
Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (‫ )السهه‬berarti al-stubut dan al-habs
yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn
(‫ )السهه‬adalah terkurung atau terjerat.1
Menurut istilah syara‟, yang dimaksut dengan rahn adalah:
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran dengan sempurna darinya. 2
2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara‟ sebagai
jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang
itu atau mengambil sebagian benda itu.3
3. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat
kepercayaan dalam hutang-piutang. 4
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara‟
sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima. 5
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafi‟iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat
dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang.
2. Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga
(nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar)
hutangnya kepada pemberi pinjaman.6

1 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo: Dar al-fath lil I‟lam al-
„Arabi, 1990), h. 123
2 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), h. 86-
87
3 Sayyid Sabiq, Op.Cit, h. 187
4 Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta: al-Tahiriyah, 1973), h. 295.
5 Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, (Bandung:Al-
Ma‟arif,1983), h. 50

3
B. Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma
sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai
(murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada
rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat „ainiyah, yaitu dikatakan
sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti
hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
C. Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan
jaminan (brog) adalah firman Allah Swt.

            

             

         


Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;
dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan. ( Al-Baqarah 283).

Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur‟an


tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila
seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka
waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada
orang yang berpiutang rahn (‫)السهه‬.

6 Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 159-160.

4
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas
r.a berkata:

ُّ ِ‫ لَقَدْ َزهَهَ الىَّث‬: ‫ع ْه أَو ٍَس – زضً هللا عىه – قال‬


– ‫ً – صل هللا عليه وسلم‬ َ
‫يسا‬
ً ‫ش ِع‬ ّ ٍ ‫عا لَهُ تِ ْال َمدِيىَ ِة ِع ْىدَ يَ ُهىد‬
َ ُ‫ِي َوأ َ َخرَ ِم ْىه‬ ً ‫د ِْز‬
Artinya : “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang
Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum)
dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”.
(HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga


dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak
ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang.
Para ulama‟ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya
mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002,
Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan
dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab
Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama)
membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan
dalam hadist di atas. 7
D. Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa
rukun, antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu
mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi‟iyah
ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam
mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.

7 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), h. 139.

5
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang
dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji
utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual
belikan boleh dijadikan barang gadai”
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
1. Dapat diperjual belikan
2. Bermanfaat
3. Jelas
4. Milik rahin
5. Bisa diserahkan
6. Tidak bersatu dengan harta lain
7. Dipegang oleh rahin
8. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila
memenuhi empat syarat, yaitu:
1. Orangnya sudah dewasa.
2. Berpikiran sehat.
3. Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan
barang gadaian itu dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4. Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas,
berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga (
surat tanah atau surat rumah).
E. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para
ulama‟ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil
suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin
mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.

6
Rasul bersbada: “Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk
riba” ( riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang
gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang
dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari
kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang
dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai
oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang
gadai tersebut.
Rasul bersabda:

‫ة ِإذَا َكانَ َم ْسهُىوًا َولَثَ ُه الد ِ َّّز ي ُ ْش َسب‬ َّ


ُ ‫الظ ْه ُس يُ ْس َك‬
ُ ‫ب وَفَقَتُه‬
ُ ‫ة َويَ ْش َس‬ ُ ‫علًَ الَّرِي يَ ْس َك‬ َ ‫ُُ ِإذَا َكانَ َم ْسهُىوًا َو‬
Artinya : “ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya
apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk
diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang
yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan
pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang
barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan.
Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Jadi yang di bolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap
barang gadaian yang ada pada dirinya. 8
F. Pandangan Ulama Mengenai Rukun Gadai
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid,
Maqud alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam
kitabnya menjabarkan secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para
imam madzhab. Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga bagian:

8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002), h. 108-
109

7
1. Orang yang menggadaikan
Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang
menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi
hutang. Washi (orang yang dipesan untuk mengurus wasiat) boleh
menggadaikan untuk kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya
manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan memang
diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafi‟i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada
kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang
berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang yang
diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang
menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh,
maka dalam hal ini Syafi‟i juga mengemukakan pendapat yang sama.
Malik dan Syafi‟i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh
menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu
tidak ada pendapat yang tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang
habis hartanya karena hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam
arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat
Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia
menjadi bangkrut.
2. Akad gadai
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah
dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena
hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang
digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik membolehkan
penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya.
Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang
digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh
dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak
dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk

8
melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah
yang belum layak dipanen, dari Syafi‟i ada dua pendapat, boleh
menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat
yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan
barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah
dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi‟i, kepemilikan penggadai atas barang
yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya
membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha
sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa
barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian
mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang
tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas
barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang
ada di tangannya. Dalam hal ini imam Malik membolehkan pemindahan
barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan
gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap barangnya
tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima
barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi‟i, tidak boleh,
bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika
orang yang dirampas menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini
pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang penggadaian bagian barang
dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut
Malik dan Syafi‟i boleh.
3. Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat
dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan
kecuali jual beli mata uang itu harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa

9
menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam, meski pun menurut
Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya
berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan
dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang dagangan, dan
menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada
salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak
kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara sengaja
yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma‟mumah dan al-Jaifah.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh
tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di
bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan pada sewa menyewa.
Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan sebelumnya.
Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh
pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi‟iyah, barang
yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena
barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena
sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima
gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik
membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang
dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti
gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki. 9
G. Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal
1. Pengertian
a. Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang
sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai

9 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, (Bairut: Dar al-Jiil, 1990), h.
204

10
menutrut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga
dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang
dapat diterima. 10
b. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang
diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang
atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, dan
yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu
digadaikan.
2. Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah
seperti berikut:
a. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;
b. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang;
c. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai;
d. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di
gadaikan bole di jual atau di lelang
3. Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal
Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah
sebagai berikut:
a. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan,
seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong-
menolong tetapi juga menarik keuntungan.
b. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan
benda tidak bergerak)

10 Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 78

11
c. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan
gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum
pegadaian)
H. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai
Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada
dasranya adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang
dilarang oleh syara‟. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan
bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu
dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang
telah ditentukan oleh murtahin ( ‫)مرتحن‬. Hal ini lebih sering disebut bunga
gadai dan perbuatan yang dilarang syara‟. Karena itu aktivitas perjajian gadai
dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena
larangan syara‟, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak penggadai akan merasa
dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan utangnya, dia juga
masih berkewajiban untuk membayar bunganya. 11
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang
telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut
tentu sudah bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh
pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga
pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah
sebagai imbalan jasa. Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional
gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya
beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu
persoalan riba, yang dilarang oleh syara‟ menurut A.A. Basyir.
Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi,
memberikan pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga
unsur berikut
1. Kelebihan dari pokok pinjaman
2. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran;
3. Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi.

11 Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Salemba Diniyah. 2003, h. 3

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat „ainiyah, yaitu dikatakan sempurna
apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam
meminajam, titipan dan qirad.
Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di
perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur‟an dan hadis.
Rukun gadai yaitu akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan
jaminan (borg). Syarat gadai Orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat,
barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang
dapat dijadikan jaminan.
Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan
kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga
bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban
tambahan.
Menurut pendapat ulama Syafi‟iyah, barang yang digadaikan itu
memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu
tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak
dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan
sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini.
Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang
akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini
mirip dengan madzab Maliki.
Perbedaan rahn dengan gadai yaitu gadai syariah dilakukan secara
suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional dilakukan
dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan
persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang jaminan) sebagai
jaminan utang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah.Cet.I, Alfabeta. Bandung. 2011

Ahmad Azhar Basyir, Riba,Utang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, Al- Ma‟arif.


Bandung. 1983

Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Dar al-Jiil. Birut.


1990

Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006

Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, Al-Tahiriyah. Jakarta. 1973

14

Anda mungkin juga menyukai