Disusun Oleh :
2021
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan ....................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Mudharabah .............................................................................................3
1. Pengertian Mudharabah .....................................................................3
2. Landasan Hukum .................................................................................3
3. Jenis Mudharabah ...............................................................................4
4. Rukun dan Syarat ................................................................................4
B. Wakalah ....................................................................................................5
1. Pengertian Wakalah .............................................................................5
2. Landasan Hukum..................................................................................6
3. Jenis Wakalah ......................................................................................7
4. Rukun dan Syarat ................................................................................7
C. Wadi’ah ....................................................................................................8
1. Pengertian Wadi’ah .............................................................................8
2. Landasan Hukum .................................................................................8
3. Jenis Wadi’ah ......................................................................................9
4. Rukun dan Syarat ................................................................................9
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................11
B. Saran ........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, dianataranya adalah Mudharabah
yaitu akad antara pemilik modal (harta) denagan pengelola modal tersebut, dengan syarat
bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan, Wakalah secara
singkat adalah penitipan dan Wadi’ah adalah barang titipan.
B. RUMUSAN MASALAH
1
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan selain memenuhi tugas kuliah dan dengan tujuan agar
Mahasiswa mengetahui apa itu Mudharabah, Wakalah dan Wadi’ah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa
penduduk Hijaz. Namun, pengertian mudhrabah dan qiradh satu makna. Mudharabah berasal
dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Sebagaimana
firman Alloh :
Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Alloh (Al-Muzamil : 20)
Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-Qardhu bararti al-qath’u
(potongan) karena pemilik memeotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah dengan
muamalah. Secara terminologi mudharabah adalah akad anatara dua pihak (orang) saling
menanggung salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan
dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Ulama Syafi’i berpendapat bahwa mudharabah ialah :
ص ِالخ ََر َما الً ِل َيت َّ ِج َرفِيْه َ ع ْقد ٌ َي ْقت َِضى أ َ ْن َيدْ فَ َع
ٌ ش ْخ َ
“Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk
diijarahkan.”
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan di atas, kiranya dapat dipahami
bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) denagan pengelola
modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah
kesepakatan.
2. Landasan Hukum
“Ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan
mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
3
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada
seseorang, dia mensyaratkan; “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu
bawa ke laut, dan jangan dibawa menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari
larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku.”
Mudharabah atau qiradh sudah ada sejak zaman Rasul dan ia telah tahu dan mengakui
adanya hal tersebut. Kesimpulan hadist tersebut bahwa akad mudharabah dibolehakan dalam
syariat Islam, dan akan membawa keberkahan dari Alloh Swt.
3. Jenis Mudharabah
Mudharabah dibagi menjadi dua macam yakni, mudharabah mutlak (al-muthlaq) dan
mudharabah terikat (al-muqayyad).
Mudharabah mutlak adalah usaha diajukan oleh mudharib kepada shahibul maal. Dalam
akad ini, pemeberi modal tidak menentukan jenis usaha apa yang dilakukan, dan hanya
memberikan modal usaha. Nantinya pemberi modal akan menerima nisbah bagi hasil dari
usaha yang berjalan. Sedangkan mudharabah muqayyat (terikat) adalah usaha ditentukan oleh
pemberi modal (shahibul maal), sedangkan pihak yang menerima pembiayaan (mudharib)
hanya sebagai pengelola yang menjalankan usaha.
Dalam pembahasan mudharabah muqayyat terdapat perbedaan antara ulama Hanafi dan
Imam Ahmad dengan Syafiiyah dan Malikiyah. Menurut ulama Hanafi dan Imam Ahmad
memperbolehkan adanya ikatan dalam mudharabah muqayyat. Hal yang diperbolehkan adalah
batasan waktu dan orang dan memperbolehkan akad bila dikaitkan dengan masa yang akan
datang. Sementara ulama Syafiiyah dan Malikiyah tidak memperbolehkan.
4
Kesepakatan rasio prosentase harus dicapai melalui negoisasi dan dituangkan
dalam kontrak.
Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan
seluruh atau sebagian modal kepada shahib al-mal.
Sedangkan menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu :
Sedangkan menurut jumhur Ulama’ Syafi’iyah lebih merinci lagi menjadi tiga yaitu :
a. Modal
b. Pekerjaan
c. Laba
d. Shighat
e. Dan 2 orang akad
B. Wakalah
1. Pengertian Wakalah
Wakalah merupakan isim mashdar yang secara etimologis bermakna taukil, yaitu
menyerahkan atau mewakilkan dan menjaga. Adapun secara terminologis yaitu mewakilkan
yang dilakukan orang yang punya hak tasharruf kepada orang yang juga memiliki tasharruf
tentang sesuatu yang boleh diwakilkan.
Menurut kalangan Syafi’iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-
muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya melaksanakan sesuatu dari pekerjaan yang bisa
digantikan (an-naqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan
pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup. Menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 20 ayat (19), Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak
lain untuk mengerjakan sesuatu.
5
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah akad yang
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi
kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah
akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan
sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk melaksanakannya.
2. Landasan Hukum
a. Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah SWT yang berkenaan
dengan kisah Ash-habul Kahfi.
Artinya : “Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di
antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka : sudah berapa
lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau
setengah hari”. Berakata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa
lamanya kamu berada (disini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi
ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan
yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.” (Qs. Al-Kahfi :19)
b. Hadist
عن جابررض قال اردت الخروج الى خيبرفاتيت النبى ص م فقال اذاتيت وكيلى بخيبرفخذ منه خمسة عشروسقا
)(رواه الوداود
“Dari Jabir r.a ia berkata : Aku keluar pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah
Saw, maka beliau bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah
darinya 15 wasaq”. (HR Abu Dawud).
)عن جابررض ان النبى ص م نحر ثالثا وستين وامرعليارض ان يذ بح البا قى (رواه مسلم
“Dari Jabir r.a bahwa Nabi Saw, menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali
r.a menyembelih binatang kurban yang belum disembelih”. (HR Muslim)
Dari hadist diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad wakalah itu dibolehkan dalam
syariat islam, karena telah dipratikkan oleh Rasulullah Saw.
c. Ijma’
Para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka
mensunnahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk jenis ta’awun atau
tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.
6
3. Jenis Wakalah
a. Rukun Wakalah
Orang yang memeberi kuasa (al-Muwakkil
Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)
Perkara atau hal yang dikuasakan (al-Taukil)
Pernyataan kesepakatan (Ijab dan Qabul)
b. Syarat Wakalah
Pekerjaan atau urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain.
Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah
seperti sholat, puasa, dan membaca al-qur’an.
Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu,
tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu
yang masih samar seperti “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk
mengawini salah satu anakku”.
Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang
diiringi kerelaan dari muwakkil seperti “saya wakilkan atau serahkan
pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini” kemudian
7
diterima oleh wakil. Dalam shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya
seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah.
C. Wadi’ah
1. Pengertian Wadi’ah
Secara bahasa al wadiah adalah titipan atau simpanan, yaitu titipan murni dari suatu
pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki. Al Syarwani mendefenisikan wadiah secara etimologi adalah
barang yang yang diletakkan atau diserahkan kepada orang lain untuk dijaga. Menurut Syafi’i
dan malikiyyah, wadi’ah adalah pemberian amanat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki
atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara-cara tertentu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian diatas yaitu apabila seseorang hendak
melakukan transaksi penitipan harta, maka ada beberapa ketentuan, yaitu pertama pilihlah
orang yang dapat dipercaya saat menitipkan harta sehingga orang yang dipercaya tersebut
dapat lebih amanah. Kedua, jika perjanjian sdah disepakati, maka diwajibkan bagi kedua belah
pihak untuk bertakwa dengan jalan tidak saling merugikan.
2. Landasan Hukum
Wadi’ah adalah suatu akad yang dibolehkan oleh syariat berdasarkan Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’. Al-Qur’an dalam surah al Baqarah (2) ayat 283 Allah berfirman :
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
“Tidak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat.” (HR al-Baihaqi)
Dari kedua hadist di atas dapat disimpulkan bahwa wadi’ah hukumnya adalah boleh,
dan wadi’ah merupakan amanat yang harus dijaga.
8
Dijelaskan oleh Sulaiman Rasyid bahwa hukum menerima benda-benda titipan ada
empat macam, yaitu :
1. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia
sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. al wadiah adalah salah satu
bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, tolong
menolong secara umum hukumnya sunat. Hal ini dianggap Sunnah menerima benda
titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.
2. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain
tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
3. Haram, apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihra benda-benda
titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan
menerima benda-benda titipan, berarti memberikan kesempatan kepada kerusakan
atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
4. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga
benda-benda titipan, tetapi dia kurang yakin ( ragu) pada kemampuannya, maka bagi
orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia
akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan
atau menghilangkannya.
3. Jenis Wadi’ah
a. Wadi’ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunakan
oleh pihak yang menerima titipan, sehingga dengan pihak demikian pihak yang
menerima titipan tidak bertanggung jawab terhadap resiko yang menimpa barang yang
dititipkan. Penerima titipan hanya punya kewajiban mengembalikan barang yang
dititipkan pada saat diminta oleh pihak yang menitipkan secara apa adanya.
b. Wadi’ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang yang dapat dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh penerima titipan. Sehingga pihak penerima titipan bertanggung
jawab terhadap resiko yang menimpa baranf sebagai akibat dari penggunaan atas suatu
barang, seperti resiko kerusakan dan sebagainya. Tenttu saja penerima titipan wajib
mengembalikan barang yang dititipkan pada saat dminta oleh pihak yan menitipkan.
9
rukun al-wadi’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan yang lainnya termasuk syarat dan
tidak termasuk rukun. Menurut Hanafiyah, dalam shighah ijab dianggap sah apabila ijab
tersebut dilakukan denagn perkataan yang jelas (shahih) maupun dengan perkataan samaran
(kinayah). Hal ini berlaku juga untuk kabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi
barang dengan mukalaf. Tidak sah apabila yang menitipkan dan yang menerima benda titipan
adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (shabiy).
a. Barang yang dititipkan : syarat yang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan
sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’.
b. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan : disyaratkan bagi penitip dan
penerima titipan sudah balig, serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat
berwakil.
c. Pernyataan serah terima disyaratkan pada ijab qabul ini dimengerti oleh kedua belah
pihak, baik dengan jelas maupun samar.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan qiradh atau muqaradhah bahasa penduduk
Hijaz. Namun, pengertian mudharabah dan qiradh satu makna. Mudharabah berasal dari kata
dharb, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan. Diriwayatkan dari
Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia
mensyaratkan; «harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke
laut, dan jangan dibawa menyebrangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-
larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pada hartaku. Mudharabah atau
qiradh sudah ada sejak zaman Rasul dan ia telah tahu dan mengakui adanya hal tersebut.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Pasal 20 ayat , Wakalah adalah pemberian kuasa
kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu. Secara bahasa al wadiah adalah titipan atau
simpanan, yaitu titipan murni dari suatu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khusunya untuk penyusun. Dan
penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran nya agar makalah yang kami susun
kedepannya jauh lebih baik.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdulllah Muhammad bin Thayyar et.al., Ensiklopedia Fiqh Mu’amalah dalam pandangan
empat mazhab, (Yogyakarta : Al-Hanif, 2009), hlm. 251.
Dwi Suwikyo, Kompilasi Tafsir Ayat Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm.
303.
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20
Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 19, Yayasan Penyelanggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an,
Al-Quran dan Terjemahan, Kementrian Agama Republik Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 411. 6Al
Darsono, DKK, Perbankkan Syariah di Indonesia, ( Jakarta : PT Raja Grafino Persada, 2017) h.
217.
12