Dosen Pengampu:
Zuraidah.M.Ag.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala
Puji bagi Allah yang telah memberikan taufik dan hidayahnya. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada suri teladan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan para sahabatnya yang membawa kebenaran bagi kita semua.
Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yakni Ibu
Zuraidah.M.Ag. yang telah membimbing serta mengajarkan kami, dan mendukung
kami sehingga terselesaikan makalah yang berjudul “SEWA MENYEWA (IJARAH)
DAN UPAH MENGUPAH” dan juga terima kasih yang sebesar-besarnya kami
ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga terselesaikan
makalah ini.
Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan, sebagai wujud rasa syukur dengan
tersusunnya makalah ini kepada semua pihak yang telah berpartisipasi selama
penyusunan makalah ini, yang telah dengan tulus ikhlas membantu baik secara moril
maupun materiil, terutama kepada Dosen Pembina dan teman-teman sekalian.
Pemakalah
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan seseorang dengan orang lain
dengan menggunakan ketentuan syariat islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan kita sehari – hari baik di lingkungan keluarga maupun
masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu, penting untuk kita mengetahui apa pengertian
dari ijarah sebenarnya, rukun dan syaratnya serta bagaimana dalil yang mengatur
ijarah dalam islam. Yang mana hal – hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan
makalah berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, kami telah menuliskan rumusan masalah yaitu
sebagai berikut:
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti ganti.
Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.1
Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan oleh para
ulama fiqh. Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi
terhadap suatu manfaat denganimbalan.2
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT alMa’arif,
2007), h. 15
2
Al-Kasani, al-Bada’i’u al-Sana’i, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 174
3
Al-Syarbaini al-Khathib, Mugni al- Muhtaj, Jilid II ( Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.233
Ketiga, ulama Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.4
Pada dasarnya keempat pendapat ulama di atas memiiliki pandangan yang sama
terhadap pengertian al-ijarah.
- Landasan Syariah
a. Al-Qur’an
Dalil tentang kebolehan transaksi al-ijarah dapat dipahami dari nash al-Qur’an
di antaranya QS. Ath-Thalaq: 6
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “berikanlah kepada
mereka upahnya, ungkapan tersebut menunjukan adanya jasa yang diberikan sehingga
berkewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya
jasa penyewaan atau leasing. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk umum,
mencakup semua jenis sewa-menyewa (ijarah).
b. Al-Hadis
Artinya:
‘Nabi saw bersama Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang mahir
dari Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.’ (HR Bukhari)5
Hadis ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa atau ijarah hukumnya boleh. Hal
itu dipahami dari hadis fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan memberikan upahnya
kepada penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau bersama Abu Bakar ra.
Sebab Nabi Muhammad saw merupakan suri teladan yang baik untuk diikuti.
5
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz IV (Beirut: Dal-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 442
a. Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur
ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu:
(b) sewa/imbalan,
(c) manfaat,
b. Syarat Ijarah
1. Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal
(Mazhab Syafi’i dan Hambali). Dengan demikian, apabila orang itu belum
atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila, maka ketika melakukan
Ijārah maka akadnya tidak sah. Berbeda dengan Madzhab Hanafi dan Maliki
mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia
baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad Ijārah
dengan catatan disetujui walinya.
2. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaanya untuk
melakukan akad Ijārah itu. Apabila salah seorang di antara keduanya terpaksa
maka akadnya tidak sah.
3. Manfaat yang menjadi obyek Ijārah harus diketahui secara jelas, sehingga
tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Jika manfaat itu tidak jelas maka
tidak sah.
4. Obyek Ijārah dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung. Oleh karena
itu, ulama’ fiqh sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu
yang tidak dapat diserahkan.
5. Obyek Ijārah haruslah sesuatu yang dihalalkan olehsyara’.7
6. Obyek Ijārah merupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti rumah, mobil,
motor dan lain-lain.
7. Upah/sewa dalam akad Ijārah harus jelas, tertentu dan bernilai harta Namun
tidak boleh barang yang diharamkan oleh syara’.
C. Pembagian Ijarah
Dilihat dari obyeknya, akad al-ijarah oleh para ulama dibagi menjadi dua yaitu:
6
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 231
7
Ibid. hlm. 232-233.
1. Al-Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa menyewa rumah, toko,
kendaraan, pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat
yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat
menyatakan boleh dijadikan obyek sewamenyewa.8
2. Al-Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-Ijarah seperti ini menurut para ulama
fiqh hukumnya boleh, apabila jenis pekerjaan itu jelas.
D. Berakhirnya Ijarah
1. Terjadinya ‘aib pada barang sewaan, misalnya terjadi kerusakan obyek sewa-
menyewa yang disebabkan penggunaan barang sewa oleh penyewa tidak
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pihak yang menyewakan (mu’jir) dapat
meminta pembatalan atas perjanjian sewa- menyewa tersebut.
2. Rusaknya barang yang disewakan. Yaitu ketika barang yang menjadi obyek
sewa-menyewa mengalami kerusakan, sebab dengan kerusakannya atau
musnah, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa yang
diperjanjikan. Misalnya yang menjadi obyek sewa-meyewa adalah rumah,
kemudian rumah yang diperjanjiakan tersebut terbakar.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur‘alaih). Maksudnya barang yang
menjadi sebab terjadinya hubungan sewa-menyewa mengalami kerusakan,
sebab dengan rusaknya atau musnahnya barang maka akad tidak mungkin
terpenuhi lagi, misalnya pejanjian sewa-menyewa karya, untuk menjahit bakal
celana, kemudian bakal celana itu mengalami kerusakan, maka perjanjian
sewa-menyewa karya itu berakhir.
4. Terpenuhinya manfaat yang di akad kan. Dalam hal ini yang di maksudkan
adalah apa yang menjadi tujuan dalam perjanjian sewa-menyewa tersebut
telah tercapai, atau masa perjanjian sewa-menyewa telah berakhir sesuai
dengan ketentuan yang telah disepakati.
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijārah dari salah satu pihak seperti yang
menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka
ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.9
8
Wahhab al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid IV (Beirut: Dar al Fikr, 1984),h.
9
Suhendi, Fiqh Muamalah. Cet. 8, 122
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al’iwadhu atau berarti ganti.
Dalam Bahasa Arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.
Secara terminologi, ada beberapa defenisi al-ijarah yang dikemukakan oleh para
ulama fiqh. Pertama, ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: “transaksi
terhadap suatu manfaat denganimbalan.
Dapat dikatakan bahwa al-ijarah adalah pemindahan hak guna atau manfaat
terhadap suatu barang atau jasa dari seseorang kepada orang lain dalam kurun
waktu tertentu sesuai kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jilid 13, Diterjemahkan oleh Kamaludin A. danMarzuki,
Khathib, asy-Syarbaini. Mugni al- Muhtaj, Jilid II Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007