Anda di halaman 1dari 19

FIQH MUAMALAH IJARAH "SEWA-MENYEWA"

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : Evi Sopiah, M.Ag

Disusun oleh :
Kelompok 8

1. Muhsin Ali Khawaji (1173060059)


2. Syakir fadlullah (1173060088)
3. Yuli setiana (1173060093)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan
dengan cukup baik. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Fiqh Muamalah pada semester 2, dengan judul ”Ijarah”.
Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk mengetahui
pembahasan mengenai Ijarah. Makalah ini meliputi pengertian ijarah, macam-
macam ijarah, dasar hukum ijarah, syarat dan rukun ijarah, ijarah muntahiya bit
tamlik sebagainya.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun,
adanya kerja sama dan bantuan dari pihak lain, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Karena itu, sudah sepantasnya kami mengucapkan terima kasih
kepada seluruh anggota kelompok 8.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa/i yang masih dalam proses
pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan makalah yang lebih baik lagi. Harapan kami, semoga makalah yang
sederhana ini dapat berguna bagi kita semua.

Bandung, Mei 2018

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI……………………………………………………………................ii
BAB I.........................................................................................................................................
PENDAHULUAN.....................................................................................................................
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................
PEMBAHASAN.......................................................................................................................
A. Pengertian Ijarah..............................................................................................3
B. Dasar Hukum Ijarah.........................................................................................4
C. Syarat dan Rukun Ijarah..................................................................................5
D. Macam-macam Ijarah......................................................................................6
E. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik...........................................................................6
F. Ijarah Maushufah Fi Dzimmah........................................................................8
G. Akibat Hukum Akad Ijarah terhadap Pihak-Pihak yang Melakukan Akad. .13
BAB III....................................................................................................................................
PENUTUP...............................................................................................................................
A. Kesimpulan.................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Seluruh aktifitas di dalamnya telah
diatur dengan hukum Islam, baik itu dalam hal ibadah, munkahat, muamalah
maupun jinayat. Dalam karya ilmiah ini, penulis akan mendeskribsikan kajian
tentang bab Ijarah (sewa-menyewa / upah-mengupah). Ijarah merupakan salah
satu pokok pembahasan yang masuk dalam wilayah fiqh muamalah.
Muamalah sendiri berarti “saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik.
Sederhananya dapat diartikan dengan “hubungan antar orang dengan orang”.
Maka, dalam kajian fiqh mengandung arti aturan yang mengatur hubungan
antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia (dalam
bagian ini berkaitan dengan harta).
Hubungan antara sesama manusia berkaitan dengan harta ini dibicarakan
dan diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecenderungan manusia kepada harta
itu begitu besar dan sering menimbukan persengketaan sesamanya, sehingga
jika tidak diatur, dapat menimbulkan ketidak stabilan dalam pergaulan hidup
sesama manusia. Di samping itu penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila
digunakan sesuai dengan kehendak Allah, yang berkaitan dengan harta
itu(garis-garis besar fiqh: Amir Syarifuddin).
Hal ini adalah yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam
mengenai muamalah, khususnya bab Ijarah. Keterangan lebih lanjut akan
penulis paparkan pada bab pembahasan.
2

1.2 Tujuan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah :
Dengan memahami ilmu pengelolaan harta, dalam hal ini pembahasan
Ijarah, semoga senantiasa dapat menjadikan kita lebih berhati-hati dalam
menggunakan harta yang kita miliki. Sehingga ilmu tersebut dapat
menuntun kita agar tidak jatuh pada hal yang syubhat, terlebih pada yang
haram.
Tujuan disyariatkannya ijarah sendiri adalah untuk memberikan
keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai
uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di lain pihak ada yang mempunyai
tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling
mendapat keuntungan

1.3 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1) Apa pengertian ijarah?
2) Bagaimana hukum Ijarah dalam Islam?
3) Apa saja yang menjadi rukun dan syarat dalam Ijarah?
3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
1)
Menurut etimologi, ijarah adalah ‫بيع المنفعة‬  (menjual manfa’at). Al-ijarah
berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam
bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab
ijarah berasal dari kata ‫اجر‬ yang sinonimnya:
1. ‫ اكوى‬yang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat ‫اجرالشئ‬ (menyewakan
sesuatu)
2. ‫ اعطا ه اجرا‬yang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat ‫اجرفالناعلى كذا‬
(ia memerikan kepada si fulan upah sekian)
3. ‫اثابه‬yang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimat‫(اجرهللا عبده‬Allah
memberikan pahala kepada hamba-Nya).
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara
2)

lain adalah sebagai berikut:


A. Ulama Hanafiyah
Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari
suatu zat yang disewa dengan imbalan.
B. Ulama Malikiyah
Akad adalah nama nagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiwai dan
untuk sebgaian yang dapat dipindahkan.
membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.
C. Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib
Ijarah ialah Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.
D. Menurut Sayyid Sabiq
Bahwa Ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian.

E. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie


4

Bahwa ijarah adalah akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa
tertentu, yaitu  pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah
menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa menyewa adalah menjual manfaat.
Sedangkan upah mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.

B. Dasar Hukum Ijarah


Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah Al-qur’an, Al-sunnah dan Al-ijma’
3)

Dasar hukum ijarah dalam Alqur’an adalah


)‫فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطالق‬
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah
mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum ijarah dari Al-hadits adalah
‫اعطو ااالجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه‬
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu
Majah).
Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka
yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap1)

1)
www.baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2017/08/makalah-fikih-muamalah-tentang-al-
ijarah.html
Suhendi Hendi,Fiqh Muamalah(Jakarta:PT Raja Grafindo
2)

Persada,2011),hlm. 113
5

3)
Ibid.,hlm.116

C. Syarat dan Rukun Ijarah


1. Mu’jir(orang/barang yang disewa).

Mu’jir adalah orang yang memberikan upah dan yang menyewakan atau mu’jir
adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan suatu
pekerjaan tertentu.

2. Musta’jir (orang yang menyewa).

Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu atau
musta’jir adalah orang yang menyumbangkan tenaganya, atau orang yang menjadi
tenaga kerja dalam suatu pekerjaan dan mereka menerima upah dari pekerjaannya itu.

3. Objek transaksi (manfaat)

Pekerjaan dan barang yang akan dijadikan objek kerja harus memiliki manfaat yang
jelas, seperti mengerjakan proyek, membajak sawah dan sebagainya.

4. Sighat (ijab dan qabul).

Sighat merupakan suatu bentuk persetujuan dari kedua belah pihak untuk
melakukan ijarah. Ijab merupakan pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk
menyewakan barang atau jasa. Sedangkan Qabul adalah jawaban persetujuan dari
pihak kedua untuk menyewakan barang atau jasa yang dipinjamkan oleh mu’jir.

5. Imbalan atau Upah.

Upah sebagaimana terdapat dalam kamus umum Bahasa Indonesia adalah uang dan
sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga
yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
6

Syarat Ijarah

1. Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal.


2. Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna.
4. Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
bercacat.
5. Manfaat dari objek yang di ijarahkan harus yang dibolehkan agama, maka tidak
boleh ijarah terhadap maksiat. Seperti mempekerjakan seseorang untuk
mengajarkan ilmu sihir atau mengupah orang untuk membunuh orang lain.
6. Upah/sewa dalam akad harus jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai
dengan uang sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

D. Macam-macam Ijarah
Perspektif objek dalam kontrak sewa (al-ma'qud ‘alaih), ijarah terbagi menjadi 3:

1) IJARAH ‘AIN adalah akad sewa-menyewa atas manfaat yang bersinggungan


langsung dengan bendanya, seperti sewa tanah atau rumah 1 juta sebulan
untuk tempo setahun.
2) IJARAH ‘AMAL(  ‫ )إجارة العمل‬apa yang dijadikan‫ود عليه‬z‫ المعق‬adalah kerja itu
sendiri, yaitu upah kepakarannya dalam kerja, seperti dokter, dosen, lawyer,
tukang dll.
3) IJARAH MAWSHUFAH FI AL-ZIMMAH / IJARAH AL-ZIMMAH (‫اإلجارة‬
‫وفة في الذمة‬zzz‫ )الموص‬yaitu akad sewa-menyewa dalam bentuk tanggungan,
misalnya menyewakan mobil dengan ciri tertentu untuk kepentingan tertentu
pula. 

E. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik


1. Definisi Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik
Ijarah muntahiya bi al-tamlik merupakan salah satu kegiatan muamalah
1)

kontemporer. Definisi ijarah muntahiya bi –al-tamlik tidak ditemukan dalam kitab-


kitab fikih klasik (turats). Bahkan dalam kajian fikih muamalah kontemporer pun
sedikit ulama yang mendefinisikannya. Salah satu ulama kontemporer yang
mendefinisikan ijarah muntahiya bi al-tamlik adalah Khalid al-Kafi. Ia menyatakan,
bahwa ijarah muntahiya bi al-tamlik adalah suatu akad antara dua pihak dimana salah
7

satunya menyewakan barang kepada pihak lainnya dengan pembayaran secara angsur
dalam jangka waktu tertentu, pada akhir masa sewa, kepemilikan barang tersebut
berpindah kepada pihak penyewa dengan akad baru. Fahd al-Hasun dalam bukunya
“al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik fi al-Fiqh al-Islam” mendefinisikan ijarah
muntahiya bi al-tamlik adalah kepemilikan manfaat suatu barang dalam jangka waktu
tertentu disertai pemindahan kepemilikan barang tersebut kepada penyewa dengan
pengganti tertentu.
Ijarah muntahiya bi al-tamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak
jual-beli dan sewa, atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barang di tangan si pembeli. Menurut Kamus Ekonomi Syariah, ijarah muntahiya bi
al-tamlik adalah ijarah dengan jani (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan
untuk menjadikan kepemilikan kepada penyewa.
Dengan demikian, ijarah adalah sewa murni (lease contract), sedangkan IMBT (lease-
purchase financing) adalah sewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan
kepada lessee.
2. Bentuk-Bentuk Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik
Menurut Imam Mustofa, ijarah muntahiya bi al-tamlik memiliki lima bentuk, yaitu :
pertama, akad ijarah yang sejak awal akad dimaksudkan untuk memindahkan
kepemilikan barang sewa kepada pihak penyewa. Kedua, akad ijarah dari awal
dimaksudkan hanya untuk sewa, tetapi si penyewa diberi hak untuk memiliki barang
sewaan dengan memberikan uang pengganti dalam jumlah tertentu. Ketiga, akad
ijarah dimaksudkan untuk sewa suatu barang, yaitu pada saat akad pihak penyewa dan
pemberi sewa membuat perjanjian yang mengikat untuk melakukan akad jual-beli
barang objek sewa. Keempat, akad ijarah dimaksud untuk sewa sutau barang, yaitu
pada saat akad pihak penyewa dan pemberi sewa membuat perjanjian yang mengikat
untuk melakukan hibah barang objek sewa. Kelima, akad ijarah dimaksudkan untuk
sewa suatu barang dalam janka waktu tertentu dengan pembayaran dalam jumlah
tertentu. 2)

3. Implementasi Ijarah Muntahiya Bi Al-Tamlik di Lembaga Keuangan


Syariah
Akad ijarah diaplikasikan dalam perbankan syariah pada pembiyaan ijarah dan IMBT
(ijarah muntahiya bi al-tamlik). Pada umumnya bank syariah lebih banyak
menggunakan IMBT (ijarah muntahiya bi al-tamlik) karena lebih sederhana dalam
8

pembukuannya. Selain itu, bank tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset,
baik pada saat leasing maupun sesudahnya. 3)

Sementara itu, operasional IMBT (ijarah muntahiya bi al-tamlik) secara khusus


didasarkan pada fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang ijarah muntahiya
bi al-tamlik. Dalam pelaksanaan akad IMBT ada ketentuan yang harus dipenuhi,
yakni ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan
yang bersifat umum, yaitu :

1) rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam akad IMBT ;

2) perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah
ditandatangani ;

3) hak dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam akad.

Adapun yang bersifat khusu, yaitu :

a) pihak yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan, baik dengan jual-beli maupun hibah hanya dapat dilakukan
setelah masa ijarah selesai ;

b) janji pemidahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’ad
(janji) yang hukumnya tidak mengikat. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES), ketentuan mengenai ijarah muntahiya bi al-tamlik diatur dalam bab
kesembilan Pasal 322-329. Rukun dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam
pelaksanaan ijarah muntahiya bi al-tamlik. Dalam akad ini, perjanjian antara mu’jir
(pihak yang menyewakan) dengan musta’jir (pihak penyewa) diakhiri dengan
pembelian ma’jur (objek ijarah) oleh pihak peneyewa.

Kemudian, ijarah muntahiya bi al-tamlik harus dinyatakan secara eksplisit dalam


akad. Akad pemindahan kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa sewa
berakhir. Aplikasi IMBT (ijarah muntahiya bi al-tamlik) dalam perbankan syariah
berupa : pertama, pembiayaan investasi; seperti untuk pembiyaan barang-barang
modal, seperti mesin-mesin; kedua, pembiyaan konsumer, seperti untuk pembelian
mobil, rumah, dan sebagainya.
9

F. Ijarah Maushufah Fi Dzimmah


1. Definisi Ijarah Maushufah Fi Dzimmah

Akad ijarah maushufah fi adz-dzimmah adalah gabungan dari akad ijarah dan akad
salam, tetapi yang paling dominan adalah akad ijarah. Ada beberapa karakteristik
ijarah maushufah di dzimmah (IMFZ). Pertama, akad itu adalah akad ijarah dengan
harga (upah) dibayar tunai, sedangkan objek sewa diserahkan pada waktu yang
disepakati. Kedua, akad IMFZ itu kombinasi dari dua akad yaitu akad ijarah dan akad
salam.

Disebut akad ijarah karena yang diperjual belikan adalah jasa, dan disebut akad salam
karena objek ijarah diserahkan tidak tunai. Rukun dan syarat ijarah ada tigas yaitu
pihak-pihak akad (penyewa dan pihak yang menyewakan), shigat dan objek ijarah
(upah dan jasa). Syarat ijarah yang berkaitan erat dengan pembahasan ijarah
maushufah di adz-dzimmah adalah syarat yang berkaitan dengan manfaat dan upah,
diantaranya objek ijarah (baik manfaat ataupun layanan) itu harus tersedia saat akad,
karena tujuan penyewa adalah mendapatkan manfaat barang. 4)

2. Hukum Akad Al-Ijarah Al-Mausfufah Fi Al-Dzimmah

Mayoritas ahli fikh berpendapat bahwa IMFZ itu boleh karena mereka membolehkan
ijarah dan salam. Sedangkan Hanafah berpendapat bahwa IMFZ itu tidak boleh
karena mereka tidak membolehkan ijarah dan salam.

Transaksi IMFZ boleh jika memenuhi empat syarat. Pertama, objek ijarah jelas
diketahui spesifikasinya. Jika objek ijarahnya, tidak jelas tidak bisa dituliskan ciri-ciri
dan spesifikasinya, maka akad IMFZnya tidak sah, karena objek yang tidak jelas
adalah salah satu unsur gharar.

3. Al-Ijarah Al-Maushufah Fi Al-Dzimmah dalam Fatwa DSN-MUI

Ketentuan Fatwa DSN MUI tentang Akad IMFZ. Dalam Fatwa DSN MUI No. 101
Tahun 2016 tentang akad Al-ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah (IMFZ) diatur terkait
ketentuan-ketentuan akad IMFZ sebagai berikut : 5)
10

Ketentuan Hukum

 Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh dilakukan dengan


mengikuti ketentuan dalam fatwa ini.
 Akad al-Ijarah al –Maushufah fi AL-Dzimmah berlaku secara efektif dan
menimbulkan akibat hukum, baik berupa akibat hukum khusus (tujuan akad)
maupun akibat hukum umum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban sejak akad
dilangsungkan.

Ketentuan terkait Manfaat Barang (‘Ain) dan Pekerjaan (‘Amal)

Manfaat barang (‘Ain) dan pekerjaan (‘Amal) dalam akad al-ijarah al-maushufah fi
al-Dzimmah, harus :

 Diketahui dengan jelas dan terukur spesifikasinya (ma’lum mundhabith)


supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa (al-niza’);
 Dapat diserahterimakan, baik secara hakiki maupun secara hukum, dan sesuai
dengan prinsip syariah.

Ketentuan terkait Barang Sewa

 Krtiteria barang sewa yang dideskripsikan harus jelas dna terukur


spesifikasinya;
 Barang sewa yang dideskripsikan belum menjadi milik pemberi sewa pada
saat akad dilakukan;
 Pemeberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan
dan menyerahkan barang sewa;
 Barang sewa diduga kuat dapat diwujudkan dan diserahkan pada waktu yang
disepakati;
 Para pihak haru sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa; dan
 Apabila barang yang diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria pada saat
aka dilakukan, penyewa berhak menolaknya dan meminta ganti sesuai kriteria
atau speifikasi yang disepakati.
11

Ketentuan terkait Ujrah

 Ujrah boleh dalam bentuk uang dan selain uang;


 Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan berdasarkan
kesepakatan; dan
 Ujrah boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai
kesepakatan.

Ketentuan terkait Uang Muka dan Jaminan

Dalam akad al-ijarah al-maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya uang


muka (uang kesungguhan [hamisy jiddiyah]) yang diserahkan oleh penyewa kepada
pihak yang menyewakan.

Uang muka dapat dijadikan gantu rugi (al-ta’widh) oelh pemberi sewa atas
biaya-biaya/kerugian yang timbul dari upaya mewujudkan barang sewa apabila
peneyewa melakukan pembatalan sewa, dan menjadi pembayaran sewa (ujrah)
apabila akad al-ijarah al-maushufah fi al-Dzimmah dilaksanakan sesuai kesepakatan.

Pemberi sewa dapat dikenakan sanksi apabila menyalahi substansi perjanjian


terkait spesifikasi barang sewa dan jangka waktu.

Apabila jumlah uang muka lebih besar daripada jumlah kerugian, uang muka
tersebut harus dikembalikan kepada penyewa.

Dalam akad al-ijarah al-maushufah fi al-dzimmah dibolehkan adanya jaminan


(al-rahn) yang dikuasai oleh pemberi sewa, baik secara hakiki (qabdh haqiqi) maupun
secara hukum (qabdh hukm).

IMFZ pada Produk PPR Inden Syariah

Implementasi akad IMFZ dapat diterapkan pada produk Pembiayaan Pemilikan


Rumah (PPR) Inden Syariah. PPR Inden Syariah merupakan produk pembiayaan bank
syariah dalam rangka pembelian rumah, ruko, rukan, rusun/apartemen secara inden
(atas dasar pesanan) menggunakan prinsip syariah dengan akad MMQ atau IMBT.

Dalam Fatwa DSN MUI No. 102 diatur ketentuan syariah terkait Penerapan Akad
IMFZ pada produk PPR Inden Syariah sebagai berikut :

 Ketentuan terkait manfaat barang (manfaat ‘ain)


12

 Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diketahui spesifikasinya (ma’lum)


supaya terhindar dari perselisihan dan sangketa (al-niza’);
 Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diserahterimakan, baik secara
hakiki maupun secara hukum;
 Jangka waktu penggunaan manfaat (masa ijarah) harus disepakati pada saat
akad;
 Manfaat harus berupa manfaat yang boleh berdasarkan syariah; dan
 Manfaat yang diharapkan adalah manfaat yang dimaksud dalam akad yang
dapat dicapai melalui akad al-ijarah al-maushufah fi al-Dzimmah.

Ketentuan terkait Barang Sewa Inden (PPR-Inden)


 Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus terukur spesifikasinya;
 Barang sewa yang dideskripsikan BOLEH belum menjadi milik pemberi sewa
pada saat akad dilakukan;
 Ketersediaan barang sewa wajib diketahui dengan jelas serta sebagian barang
sewa sudah wujud pada saat akad dilakukan;
 Wujud barang sewa yang dimaksud pada angka 3 harus jelas, siap dibangun,
milik pemberi sewa atau pengembang yang bekerja sama dengan pemberi sewa, dan
bebas sengketa;
 Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan
barang sewa;
 Para pihak harus meyakini, bahwa barang sewa dapat diwujudkan pada waktu
yang disepakati;
 Para pihak harus sepakat terkait waktu serah terima barang sewa; dan
 Apabila pemberi sewa menyerahkan barang sewa, tetapi tidak sesuai dengan
spesifikasi yang disepakati atau gagal serah pada waktu yang disepakati, maka
penyewa berhak :
 Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari pemberi sewa,
atau
 Membatalkan akad dengan meminta pengembalian dana sesuai dengan jumlah
yang telah diserahkan.
13

1) Abdurrahman, Fiqh Muamalah Maliyah, (Bandung:PT Refika


Aditama,2017),hlm.213-214
2) Ibid.,hlm.215-220
3) Ibid.,hlm.221-223
4) Ibid.,hlm.224
5) Ibid.,hlm.228

G. Akibat Hukum Akad Ijarah terhadap Pihak-Pihak yang Melakukan Akad


Pembatalan dan berakhirnya ijarah

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh
pada salah satu pihak, karena ijarah merepukan akad pertukaran, kecuali bila didapati
hal-hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :

1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya.
3. Rusaknya barang yang di upahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang di
upahkan untuk di jahitkan.
4. Terpenuhinya manfaat yang di akadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.

Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa
toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan
memfasakhkan sewaaan itu.

Pengembalian Sewaan
14

Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang


sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada
pemiliknya, dan jika bentuk barang sewan adalah benda tetap (‘iqar), ia wajib
menyerahkan kembali dalam keadaan kosong , jika barang sewaan itu tanah, ia wajib
menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila
ada kesulitan untuk menghilangkannya.

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa


harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk
menyerah terimakannya, seperti barang titipan.
15

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah.
Ijarah sering diterjemahkan dengan “sewa-menyewa”. Menurut Ulama Hanafiyah
Ijarah adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan. Dasar hukum ijarah terdapat
dalam Alqur’an Surat Al-Thalaq ayat 6.
Rukun Ijarah ada lima, yakni Mu’jir (orang/barang yang disewa), Musta’jir
(orang yang menyewa), Objek transaksi (manfaat), Sighat (ijab dan qabul), dan
Imbalan atau Upah. Sedangkan syaratnya adalah kedua orang yang berakad harus
baligh dan berakal, adanya kerelaan kedua pihak, manfaat objek ijarah harus diketahui
secara sempurna dan harus yang dibolehkan agama, objek ijarah boleh diserahkan dan
dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat, dan upah/sewa dalam akad harus
jelas dan sesuatu yang berharga atau dapat dihargai dengan uang sesuai dengan adat
kebiasaan setempat. Terdapat tiga macam Ijarah, yaitu Ijarah ‘Ain, Ijarah ‘Amal, dan
Ijarah Mawshufah fi Al-Zimmah / Ijarah Al-Zimmah.

Adapun akad ijarah muntahiya bi al-tamlik, yaitu suatu akad antara dua pihak
dimana salah satunya menyewakan barang kepada pihak lainnya dengan pembayaran
secara angsur dalam jangka waktu tertentu, pada akhir masa sewa, kepemilikan
barang tersebut berpindah kepada pihak penyewa dengan akad baru. Adapula Ijarah
maushufah fi adz-dzimmah, yaitu gabungan dari akad ijarah dan akad salam, disebut
akad ijarah karena yang diperjual belikan adalah jasa, dan disebut akad salam karena
objek ijarah diserahkan tidak tunai.
16

DAFTAR PUSTAKA

Hendi, Suhendi.2011.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Abdurrahman.2017.Fiqh Muamalah Maliyah.Bandung:PT Refika Aditama

http://baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2017/08/makalah-fikih-muamalah-tentang-al-ijarah.html

http://hukumijarah.blogspot.co.id/2012/12/hukum-sewa-menyewa-al-ijarah.html

Anda mungkin juga menyukai