Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH


‘IJARAH’

DISUSUN OLEH :

Hengky 17330402
Herman 17330402
Karen 17330402
Natalya 173304020108
Rina Yustito. S 173304020120

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA


MANAJEMEN KEUANGAN
FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
2020
DAFTAR ISI
Contents
DAFTAR ISI................................................................................................................................. 1
KATA PENGANTAR..................................................................................................................... 2
BAB I .......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 3
A. Rumusan Masalah............................................................................................................ 4
B. Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 4
BAB II ......................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 5
A. Pengertian Ijarah.............................................................................................................. 5
B. Dasar Hukum Ijarah.......................................................................................................... 7
C. Rukun dan Syarat Ijarah ................................................................................................... 8
D. Macam-Macam Ijarah.................................................................................................... 12
E. Upah untuk Jasa yang Berkaitan dengan Ibadah ........................................................... 13
F. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah .............................................................................. 17
BAB III ...................................................................................................................................... 18
PENUTUP ................................................................................................................................. 18
A. Kesimpulan..................................................................................................................... 18
B. Saran .............................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 21

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan
manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Didalamnya termasuk
kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas
didalam fiqih muamalah ialah ijarah.
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan
ijarah ini, yang menjadi obyek transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah
zat. Ijarah sering disebut dengan ‘upah’ atau ‘imbalan’. Ijarah yang sering kita kenal
dengan persewaan, sangat sering membantu kehidupan, karena dengan adanya ijarah
ini, seseorang yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan hidupnya,
maka bisa diperbolehkan dengan cara menyewa.
Sebagaimana transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu.
Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan
kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku.

3
A. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Ijarah ?


2. Bagaimana dasar hukum berlakunya Ijarah ?
3. Apa saja rukun dan syarat Ijarah ?
4. Apa saja macam-macam Ijarah ?
5. Bagaimana penentuan upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah ?
6. Faktor apa saja yang menyebabkan Ijarah itu batal dan berakhir ?

B. Tujuan Penulisan

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Ijarah dari berbagai pandangan


2. Mahasiswa dapat mengetahui sumber hukum yang mendasari Ijarah
3. Mahasiswa dapat mengetahui syarat dan rukun dari Ijarah
4. Mahasiswa mengetahui macam-macam Ijarah yang sering kita temukan di
lingkungan sekitar
5. Mahasiswa memahami apa yang harus dilakukan ketika di hadapkan dengan
upah yang berkaitan dengan ibadah
6. Mahasiswa mengetahui gambaran hal-hal yang menyebabkan suatu Ijarah batal
atau berakhir

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al- ajru”yang berarti “al-
iwadu” (ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah).
Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-
ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi keperluan hidup
manusia, seperti sewa-meyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Ijarah menurut arti lughat adalah balasan, tebusan, atau pahala. Menurut
syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang
lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan
syarat-syarat tertentu pula.
Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para
ulama fiqh. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan
dengan pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk membolehkan
pemilikan manfaat yang di ketahui dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan
imbalan. Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Selain itu ada yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah- mengupah),
yakni mengambil mengambil manfaat tenaga manusia, yang ada manfaat dari barang.
Menurut Syafi‟i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui sewa tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.
Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya wakaf, al- ijarah syirkah
mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti balasan atau timbangan yang diberikan
sebagai upah atas pekerjaan. Secara istilah ijarah berarti suatu perjanjian tentang
pemakaian atau pemungutan hasil suatu benda, binatang atau tenaga manusia.
Misalnya menyewa rumah untuk tinggal, menyewa kerbau untuk membajak sawah,
menyewa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan sebagainya.

5
Menurut Gufron A. Mas‟adi dalam bukunya Fiqh muamalah kontekstual
mengemukakan, ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa jasa atau imbalan.
Sesungguhnya merupakan transaksi yang memperjualbelikan suatu harta benda.
Menurut Helmi Karim, ijarah secara bahasa berarti upah atau ganti atau
imbalan, karena itu lafadz ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah
atas kemanfaatan suatu benda atau imbalan suatu kegiatan atau upah karena
melakukan aktifitas.10 Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi
penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu,
hal ini sama artinya dengan menjual manfaat suatu benda, bukan menjual „ain dari
suatu benda itu sendiri.
Ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa arab ke bahasa Indonesia,
antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional. Sewa biasanya
digunakan untuk benda, seperti seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat
tinggal selama kuliah, sedangkah upah digunakan untuk tenaga, seperti karyawan
yang berkerja di pabrik di bayar gajinya (upahnya.) satu kali dalam dua minggu, atau
sekali dalam sebulan, dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.11 Dalam
konteks substansi pembahasan ini yang dimaksud dengan ijarah adalah upah. Definisi
upah menurut Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tercantum
pada Pasal 1 ayat 30 yang berbunyi :
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada perkerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Manurut Dewan Peneliti Perubahan Nasional, upah adalah suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa
yang telah dan akan di lakukan, befungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup layak
bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan yang di
bayarkan atas suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima.

6
Menurut PP No. 5 tahun 2003 upah memiliki hak pekerja yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas
suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan ,atau peraturan perundang-undangan termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upah adalah suatu bentuk
hak pekerja untuk mendapatkan imbalan yang bernilai dalam bentuk uang yang
dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau jasa yang telah ditetapkan menurut
persetujuan dan kesepakatan atas dasar perjanjian kerja.

B. Dasar Hukum Ijarah


Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa Ijarah disyariatkan dalam
Islam. Walaupun ada beberapa golongan yang tidak menyepakatinya. Ibn Rusyd
berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat
pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an,
As sunnah dan ijma’.
a. Al-Qur’an
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka
upahnya.” Dalam QS. Thalaq : 6
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “ Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya bermaksud menikahkan kamu dengan salah
satu dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun,.
Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari
kamu.” Dalam QS. Al- Qashash : 26-27

b. As Sunnah

7
“ Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn
Umar)
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beri tahukanlah upahnya.”
(HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c. Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i dari
Sa’id ibn Abi Waqash)

C. Rukun dan Syarat Ijarah


a. Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan
qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan.29 Sedangkan
menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang
yang berakad), sighat, upah, dan manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di atas akan di
uraikan sebagai berikut:
1. Aqid (Orang yang berakad) Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu
mu’jir dan mustajir.
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan.
Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu
dan yang menyewa sesuatu.30 Bagi yang berakad ijarah di syaratkan mengetahui
manfaat barang yang di jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya
perselisihan.
Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan,
yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika salah seorang yang berakal
itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan baik ataupun buruk , maka
akad menjadi tidak sah.

8
2. Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.
Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji
atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.33
Sedangkan qobul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad
pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya
ijab.
Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab
dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.

3.Ujroh (upah)
Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya :
 Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik,
karena itu iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
 Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari pekerjaannya,
karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia
mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan
hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.
 Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang
disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus
lengkap.
4.Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika
ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
Semua harta benda boleh diakadkan ijarah di atasnya, kecuali yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

9
a) Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal ini
dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberika
informasi secara transparan tentang kualitas manfaat barang.
b) Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan
tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan
transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
c) Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara‟.
Misalnya menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan
maksiat tidak sah.
d) Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, sewa
rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak
dibenarkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung.
Seperti, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa
ternak untuk diambil keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.
e) Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat
isty’mali, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulangkali tanpa
mengakibatkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta
benda yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau berkurang
sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah
diatasnya.
Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu
syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat
sah dan syarat lazim.

1. Syarat Terjadinya Akad


Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah,
‘aqid (orang yang melakukan akad disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal
7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang
miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan
walinya.

10
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-
beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak
mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama Hababilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus
mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat
dikategorikan ahli akad.

2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)


Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki
kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau diizinkan oleh
pemiliknya)tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

3. Syarat Sah Ijarah


Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud
‘alaih(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-a’aqad),
yaitu :
a. Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu
dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama
suka ” (QS. An-Nisa’:29)
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran
harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.

b. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas


Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan di
antara ‘aqid.
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu. Atau menjelaskan jenis pekerjaan jika
ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

11
4. Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut :
-Ma’qud alaih (barang sewaan ) yang terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat pada ma’qud alaih (barang sewaan), penyewa boleh
memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
-Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akaq

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Ijarah batal karena adanya uzur sebab
kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksudkan adalah
sesuatu yang baru yang menyebabkan kemadaratan bagi yang akad.

5. Ujrah (Upah)
Para Ulama telah menetapkan syarat upah :
a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak
b. Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa
rumah dengan menempati rumah tersebut. Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan
membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu
dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)

D. Macam-Macam Ijarah

1. Ijarah ‘Ala Al-Manfi’


Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat atau benda. Seperti contoh,
menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan rumah dan lain-lain, Yang perlu di
perintahkan adalah tidak boleh menjadikan obyek sebagai tempat yang manfaatnya
dilarang oleh syara’

2. Ijarah ‘Ala Al-‘Amal ijarah

12
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah jasa atau pekerjaan. Contohnya
adalah penjahit atau jasa insiyur dalam pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya
manfaat yang diberikan tidak keluar atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait
erat dengan masalah upah mengupah. Ajir dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
- Ajir Khass (pekerjaan khusus) : pekerja atau buruh yang melakukan suatu
pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditentukan. Contoh : pembantu
rumah tangga. Menyusui anak (seperti zaman Rasulullah).

- Ajir Musytarak : orang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terkait oleh
orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan penyerahan dirinya
terhadap pihak lain. Contoh insiyur atau pengacara.

E. Upah untuk Jasa yang Berkaitan dengan Ibadah


Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan
membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulana karena berbeda
cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti
menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang tertenu seperti kepada ibu bapak dari yang
menyewa, adzan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari
pekerjaan tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, “ Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu
(cari) makan dengan jalan itu”
Rasulullah SAW bersabda “ Jika kamu mengangkat seseorang menjadi
mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah.”
Perbuatan seperti adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan
dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh
mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seseorang
muslim wafat, maka keluarganya menyusurh para santri atau muslim lainnya untuk

13
membaca Al-Qur’an di rumhanya selama beberapa malam, dan ketika selesai pada
waktu yang telah ditentukan , mereka diberi upah.
Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan
untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang dihadiahkan
kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala
pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada
orang lain.

Allah SWT berfirman, “ Ia mendapat pahal (dari kebajikan) yang


diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-
Baqarah 2 :286)

Beberapa pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :


1.Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an
dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau
ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan
pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai
imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan
perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat,
mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh,
diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika
termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan
haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an,
shalat dan ibadah yang lainnya.
4. Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung,
khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan,
memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.

14
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan
dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak
boleh.

Ø PEMBAYARAN UPAH dan SEWA


Jika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada
waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah
berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan
penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur
sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu
sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa),
ia berhak menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya. Hak
menerima upah musta’jir adalah sebagai berikut :
1. Ketika pekerjaan selesai dikerjakan
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu
mengering”. (HR. Ibnu Majah)
2. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali
bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama
penyewaan berlangsung.

Ø TANGGUNG JAWAB ORANG yang DIGAJI/UPAH


Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat)
harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi
kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur
kelalaian/kesengajaan atau tidak. Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya
dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus
mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya
yang disepakati kedua belah pihak.

15
Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang
jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu
bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti
rugi.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah)
berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik
disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas
kemampuannya seperti banjir, kebakaran, gempa dll.
Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang
itu seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun
tidak, segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.

Ø MENYEWAKAN BARANG SEWAAN


Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain
dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan
ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau
itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan
timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab
adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari
kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat
kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.
Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan
bukan pada tempat yang aman.

16
F. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Di dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu
pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang di
wajibkan fasakh (batal).
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a) Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan
penyewa;
b) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya;
c) Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan
untuk dijahitkan;

d) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan


dan selesainya pekerjaan;
e) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia
dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya
menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
c. Ulama Hanafiyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
d. Ulama Asy-Syafi’iyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung
maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu. “
e. Ulama Malikiyah dan Hanabilah : “ Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. “
Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah),
yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-
menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar.
Kemudian Ijarah akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah
atas benda.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an,
As sunnah dan ijma’.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain
dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra.

Adapun menurut Jumhur ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :


- ‘Aqid (orang yang akad)
- Shighat akad
- Ujrah (uprah)
- Manfaat

18
Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu
syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat
sah dan syarat lazim. Macam-macam Ijarah :
1. Ijarah ‘Ala Al-Manfi’
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat atau benda. Seperti contoh,
menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan rumah dan lain-lain, Yang perlu di
perintahkan adalah tidak boleh menjadikan obyek sebagai tempat yang manfaatnya
dilarang oleh syara’
2. Ijarah ‘Ala Al-‘Amal ijarah
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah jasa atau pekerjaan. Contohnya
adalah penjahit atau jasa insiyur dalam pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya
manfaat yang diberikan tidak keluar atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait
erat dengan masalah upah mengupah.

Beberapa pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :


1. Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-
Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat
atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari
pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah
sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis
imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan,
qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak
boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika
termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan
haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an,
shalat dan ibadah yang lainnya.

19
4. Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung,
khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan,
memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan
dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak
boleh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a) Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
b) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c) Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan
untuk dijahitkan;
d) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan
dan selesainya pekerjaan;
e) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia
dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, ada beberapa poin yang belum kami
sampaikan. Untuk mahasiswa selanjutnya dapat kiranya makalah ini dijadikan
referensi untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

A. S. Hornby, Oxford Advenced Leaner’s Dictionary, (Oxfort: Oxfort University


Press, 1998 )
Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997)
Abu AbdillahMuhammad bin Ismail al-Bukhāri, shahihal-Bukhāri,
(Istambul:DaralSahnun,1992)
Afzalurrahman,DoktrinEkonomiIslam,(Yogyakarta:DanaBaktiWakaf,1995)
AlibinAbiBakaral-Hai£amy,Majma’az-Zawiidwamanba’ualFawāid,(Beirūt:Daral-
Kutubal-
‘Aroby,1407H)
HarunNasrun,FiqihMuamalah,(Jakarta:GayaMediaPratama,2000)
Imam Muslim, Shahih Muslim: Bab Kara al-Ardh bi al-Dzahab wa al-Wariq, hadis
nomer:1548 dan 1549
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah,(Jakarta: PT. Kharisma Utama, 2009)
LouisMa’ luf,Kamusal-Munjid,(Beirut:Daral-Masyrik,1975)
Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2012)
Wahbahaz-Zuhaily,Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997)

21

Anda mungkin juga menyukai