Anda di halaman 1dari 28

TRANSAKSI JUAL BELI, SEWA MENYEWA, UPAH MENGUPAH DAN

UTANG PIUTANG DALAM HUKUM PERDATA ISLAM


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata IslamDi
Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Yuliatin , S. Ag., M. HI

Di susun Oleh Kelompok 9


1. Gusti Rangga (101200047)
2. M. Farhan Akhwan (101200028)
3. Nur Azizah (101200014)
4. Rossa Olivia Putri (101200003)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM 5A


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAH SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2022

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah. Makalah ini
juga disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Dan
judul dari makalah kelompok kami adalah “Transaksi Jual beli, Sewa Menyewa, Upah
Mengupah, Utang Piutang Dalam Hukum Perdata Islam” ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yuliatin, S. Ag., M. HI selaku dosen
pengampu Hukum Perdata Islam di Indonesia yang memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya bagi
pihak-pihak yang mendukung tersusunnya makalah ini.
Penulis berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca dan
rekan-rekan kiranya dapat menambah khazanah pengetahuan bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan dan berterimakasih apabila ada yang memberikan
kritik dan saran atas makalah ini, sehingga hal tersebut dapat memotivasi penulis agar
dapat berkarya dengan lebih baik lagi, demi kesempurnaan makalah penulis dimasa yang
akan datang.

Jambi, 9 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Pengertian Jual Beli, Unsur-Unsur, Bentuk Pilihan,
dan Hal-hal yang Perlu di Perhatikan ................................................... 3
B. Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya .............................................. 7
C. Pengertian Ji’alah Dan Dasar Hukumnya ............................................. 10
D. Pengertian Hiwalah Dan Dasar Hukumnya ......................................... 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 24
A. Kesimpulan ......................................................................................... 24
B. Saran ................................................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk sosial yang berarti tidak bisa hidup
sendiri, karena manusia yang satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan
sesuai dengan kodratnya. Manusia harus bermasyarakat dan saling menolong antara
satu dengan yang lainnya. Sebagai mahluk sosial, manusia menerima dan memberikan
andilnya kepada manusia lain, saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhannya dan
memcapai kemajuan dalam hidupnya. Untuk menyempurnakan dan mempermudah
hubungan antara mereka banyak sekali cara yang dilakukan, salah satunya untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melakukan jual-beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, hutang piutang dan lain sebagainya. Semenjak manusia berada dimuka
bumi ini sudah memerlukan bantuan orang lain dan tidak sanggup berdiri sendiri
untuk memenuhi kebutuhannya yang setiap hari semakin bertambah. Oleh karena itu
hukum Islam mengadakan aturan-aturan bagi keperluan manusia dan membatasi
keinginannya hingga memungkinkan manusia memperoleh kebutuhannya tanpa
memberi madharat kepada orang lain dan mengadakan hukum tukar menukar
keperluan antara anggota masyarakat dengan jalan adil, agar manusia melepaskan
dirinya dari kesempitan dan memperoleh keinginannya tanpa merusak kehormatan.
Dalam Islam hubungan antara manusia satu dengan yang lain disebut dengan istilah
muamalah. Menurut pengertian umum muamalah berarti perbuatan atau pergaulan
manusia diluar ibadah mahdah. Muamalah merupakan perbuatan manusia dalam
menjalin hubungan atau pergaulan manusia dengan manusia. Sedangkan ibadah
mahdah merupakan hubungan atau pergaulan manusia dengan Tuhan

1
B . Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Jual Beli, Unsur-Unsur, Bentuk Pilihan, dan Hal-hal yang
Perlu di Perhatikan
2. Jelaskan Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya
3. Jelaskan Ji’alah Dan Dasar Hukumnya
4. Jelaskan Pengertian Hiwalah Dan Dasar Hukumnya

A. Tujuan
1. Memahami dan mempelajari tentang Jual Beli, Unsur-Unsur, Bentuk Pilihan,
dan Hal-hal yang Perlu di Perhatikan
2. Memahami dan mempelajari tentang Ijarah Dan Dasar Hukumnya
3. Memahami dan mempelajari Ji’alah Dan Dasar Hukumnya
4. Memahami dan mempelajari Hiwalah Dan Dasar Hukumnya

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Sebelum mengkaji secara luas dalam kehidupan sehari-hari, salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan adalah dengan usaha perdagangan atau jual beli, untuk terjadinya
usaha tersebut diperlukan adanya hubungan timbal balik antara penjual dan pembeli.Jual
beli adalah saling tukar menukar antara benda dengan harta benda atau harta benda dengan
uang ataupun saling memberikan sesuatu kepada pihak lain, dengan menerima imbalan
terhadap benda tersebut dengan menggunakan transaksi yang didasari saling ridha yang
dilakukan secara umum. Berdasarkan penjabaran di atas terdapat beberapa masalah
tentang jual beli, maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian jual beli
baik secara etimologi maupun secara terminologi. Jual beli menurut istilah atau etimologi
Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak. Berdasarkan
pengertian tersebut maka jual beli adalah tukar menukar apa saja, baik antara barang
1
dengan barang, barang dengan uang atau uang dengan uang. Untuk lebih jelas tentang
pengertian jual beli dapat dilihat dibawah ini:
a. Menurut Hanafiah sebagaimana dikemukakan oleh Ali Fikri, menyatakan bahwa jual beli
memiliki dua arti yaitu arti khusus dan arti umum.
1). Arti khusus yaitu.
Artinya: Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata uang (emas dan perak) dan
semacamnya, atau tukar-menukar barang dengan uang atau semacam menurut cara yang
khusus.
2). Arti Umum Yaitu.
Artinya: Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut cara yang khusus,
harta mencakup zat (barang) atau uang.

1
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986)
3
Dapat disimpulkan akad yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu penjual dan pembeli
yang objeknya bukan manfaat yakni benda, dan bukan untuk kenikmatan seksual.Menurut
syafi’iyah memberikan definisi jual beli sebagai berikut :
Artinya: Jual beli menurut syara’ adalah suatu aqad yang mengandung tukar menukar
harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh
kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.
b. Menurut Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai berikut.
Artinya: Pengertian jual beli menurut syara’ adalah tukar-menukar harta dengan harta
tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya,
bukan riba dan bukan hutang.
c. Menurut Hasbi ash-shiddiqie adalah:
Artinya: Aqad yang tegak atas dasar pertukaran harta dengan harta, maka jadilah harta
penukaran milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai, secara sukarela
diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerima
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan kehidupan
ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan kita jadikan sebagai rujukan dalam
menyelesaikan permasahan yang akan dihadapi. Jual beli sudah dikenal masyarakat sejak
dahulu yaitu sejak zaman para Nabi.Sejak zaman itu jual beli dijadikan kebiasaan atau
tradisi oleh masyarakat hingga saat ini. Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual
beli dalam Islam yaitu:
a. Al-Qur’an
Manusia hidup di dunia secara individu mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus
dipenuhi, baik itu berupa sandang, pangan papan dan lain sebagainya.kebutuhan seperti itu
tidak pernah terputus dan tidak pernah terhenti selama manusia itu hidup. oleh karena itu,
tidak ada satu hal pun yang lebih sempurna dalam memenuhi kebutuhan itu selain dengan
cara pertukaran, yaitu dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan.
Jual beli ini adalah suatu perkara yang telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu yaitu
sejak zaman para Nabi hingga saat ini. dan Allah mensyariatkan jual beli ini sebagai
pemberian keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba- hamba-Nya itu dalam surat
4
tentang diperbolehkan jual beli ini didasarkan pada Firman Allah yang berbunyi: Q.S. al-
Baqarah ayat: 275

Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Maksud dari potongan ayat ini yaitu bisa jadi merupakan bagian dari perkataan mereka
(pemakan riba) dan sekaligus menjadi bantahan terhadap diri mereka sendiri. Artinya,
mereka mengatakan hal tersebut (Innam al-bai’u matsalu al-riba) padahal sebenarnya
mereka mengetahui bahwasanya terdapat perbedaan antara jual beli dan riba.
Dia maha mengetahui lagi maha bijaksana, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-
Nya dan Allah tidak dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang maha mengetahui segala
hakikat dan kemaslahatan persoalan apa yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya maka
dia akan membolehkannya bagi mereka. kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya lebih
besar daripada sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya. Kemudian di dalam surat An-
Nisa ayat 29 Allah SWT berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu.

Ayat ini memberikan kesan bahwa dikehidupan konsekuensi iman dan konsekuensi
sifat, yang dengan sifat itu Allah memanggil mereka untuk dilarang dari memakan harta
sesama secara batil, meliputi semua cara mendapatkan harta yang tidak diizinkan atau
tidak diberkenankan Allah. yakni dilarang olehnya diantara dengan cara menipu,
menyuap, berjudi, menimbun barang-barang kebutuhan pokok untuk menaikkan harganya,
serta sebagai pemukanya adalah riba. Terdapat ayat lain dalam Qur’an Surat Al-Jumuah
ayat 10:
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Makabertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.
Maksud dari potongan ayat ini, Inilah keseimbangan yang menjadi ciri khas dari
manhaj Islami. Yaitu keseimbangan antara tuntutan kehidupan dunia yang terdiri dari
pekerjaan, kelelahan, aktivitas dan usaha dengan proses ruh yang denan berserah diridalam
beribadah dan meninggalkan sejenak suasana yang menyibukkan dan melalaikan itu

5
disertai dengan konsentrasi hati dan kemurniannya dalam berzikir. Ia sangat penting bagi
kehidupan, hati, dimana tanpanya hati tidak mungkin memiliki hubungan, menerima, dan
menunaikan beban-beban amanat yang besar itu. yaitu berzikir kepada allah di selah-selah
aktivitas. Jadi, ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT, memperbolehkan
kepada manusia untuk melaksanakan transaksi jual beli demi memenuhi kebutuhan
hidupnya.Akan tetapi tentu saja transaksi jual beli itu harus sesuai dengan koridor atau
ketentuan yang telah Allah SWT berikan.Dan Allah menyerukan kepada manusia agar
mencari karuniannya dan selalu ingat kepadanya

b. Dasar Hukum Ijma’

Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah sepakat bahwa :

Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.

Kaidah yang telah diuraikan di atas dapat dijdikan dasar atau hujjah dalam
menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan keuangan syariah. Dari dasar
hukum sebagaimana tersebut di atas bahwa jual beli itu adalah hukumnya mubah.Artinya
jual beli itu diperbolehkan asal saja di dalam jual beli tersebut memenuhi ketentuan yang
telah ditentukan di dalam jual beli dengan syarat-syarat yang sesuaikan dengan hukum
Islam.

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan
transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan
tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan
manusia semenjak masa Rasulullah saw, hingga saat ini menunjukan bahwa umat telah
sepakat akan disyariatkannya jual beli.

Agama Islam melindungi hak manusia dalam pemilikan harta yang dimilikinya dan
memeberi jalan keluar untuk masing-masing manusia untuk memiliki harta orang lain
dengan jalan yang telah ditentukan, sehingga dalam Islam perinsip perdagangan yang
diatur adalah kesepakatan keduabelah pihak yaitu penjual dan pembeli. sebagaimana yang
telah digariskan oleh prinsip muamalah adalah sebagai berikut.

1. Prinsip Kerelaan.

2. Prinsip bermanfaat.

3. Prinsip tolong menolong.

4. prinsip tidak terlarang.

6
B. Rukun dan Syarat Jual Beli
Sebagai salah satu dasar jual beli, rukun dan syarat merupakan hal yang
terangat penting, sebab tanpa rukun dan syarat maka jual beli tersebut tidak sah
hukumnya. Oleh karena itu Islam telah mengatur tentang rukun dan syarat jual beli
itu, antara lain.

1.Rukun Jual Beli


Jual beli dianggap sah apabila sudah terpenuhi rukun dan
syaratnya.Maksudnya adalah, apabila seseorang akan melakukan Jual beli harus
memenuhi syaratsyarat tertentu. Unsur-unsur yang menyebabkan sahnya jual beli
terpenuhi. Adapun rukun yang dimaksud dapat dilihat dari pendapat ulama di bawah
ini adalah:
a. Adanya penjual dan pembeli
b. adanya barang yang diperjualbelikan
c. Sighat (kalimat ijab qabul)
Jadi sebagaiman yang telah disebutkan di atas bahwa jika suatu pekerjaan tidak
terpenuhi rukun-rukunnya maka pekerjaan itu akan batal karena tidak sesuai dengan
syara’ begitu juga dalam hal jual beli harus memenuhi ketiga rukun-rukun tersebut.

2. Syarat Jual Beli


Dari ketiga rukun jual beli yantg telah penulis uraikan di atas masingmasing
mempunyai persyaratansebagai berikut.

a. Al-Muta’aqidain (penjual dan pembeli)

Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan aqad jual beli (penjual dan
pembeli) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1. Baligh
Baligh berarti sampai atau jelas, yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia
tertentu yang menjadi jelas baginya segala urusan atau persoalan yang dihadapi.
Pikirannya telah mampu mempertimbangkan atau memperjelas mana yang baik dan
mana yang buruk. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang
gila hukumnya tidak sah.adapun anak kecil yang mumayyiz, menurut ulama
Hanafiah, jika akad yang dilakukan membawa keuntungan bagi dirinya, maka
akadnya sah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus
baligh dan berakal, bila orang yang berakad itu belum balikh, maka jual belinya tidak
sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
Bahwa jual beli diperintahkan dalam Islam, namun bukan berarti jual beli
boleh dilakukan siapa saja, melainkan mempunyai syaratsyarat tertentu, seperti
dijelaskan dalam hadis di atas: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga
ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal (sembuh dari gilanya). Maksud tiga
perkara ini adalah sahnya dalam jual beli, apabila penjual dan pembeli dalam keadaan
sadar, tidak tidur, anak yang sudah cukup umur, karena apabila diperbolehkannya
7
anak kecil melakukan jual beli, dia akan membuat kerusakan, seperti menjual barang
cacat, karena anak kecil tidak mengerti aturan dalam Islam. Begitu juga sebaliknya
orang gila yang tidak berakal dilarang melakukan jual beli. Dapat disimpulkan jual
beli boleh dilakukan olehorang-orang dalam keadaan sadar.

2. Tidak Pemboros

Dalam hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam Firman-Nya dalam surat Al-Isra’
ayat 27.

Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudarasaudara syaitan dan


syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Maksud pada ayat di atas, Allah telah melarang hambanya melakukan suatau
pekerjaan dengan tujuan untuk menghamburhamburkan hartanya, karena perbuatan
tersebut merupakan sebuah pemborosan, yang telah dijelaskan pada ayat di atas bagi
orang yang melakukannya, merupakan perbuatan syaitan. Maksud pemborosan di sini,
suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat.

3. Dengan Kehendak Sendiri (bukan paksaan)

Artinya yaitu, prinsip jual beli adalah suka sama suka antara penjual dan
pembeli, bila perinsip ini tidak tercapai jual beli itu tidak sah.Sebagai mana firman
Allah Surat Q.S. An-Nisa ayat 29:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

A. Syarat untuk barang yang diperjual belikan


Untuk barang yang diperjual belikan hendaklah barang tersebut bersih barangnya,
dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan aqad, antara lain, mampu
menyerahkan mengetahui dan barang yang di akadkan ada di tangan.
B. Shighat atau lafaz ijab qabul.
Ijab adalah perkataan penjual seperti saya jual barang ini harga sekian.Qabul
adalah perkataan pembeli, sepertisaya beli dengan harga sekian. Ijab qabul adalah
yang dilakukan oleh orang yang melakukan tindakan aqad, lafal aqad berasal dari
bahasa arab “Al-aqdu” yang berarti perikatan atau perjanjian dan pemufakatan
“Al-ittifaq” secara bahasa atau etimologi fiqih aqad didefinisikan dengan pertalian
ijab (pernyatan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syari’ah yang berpengaruh pada obyek perikatan,
maksudnya adalah seluruh perikatan yang di lakukan oleh kedua belah pihak atau
lebih, tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’ . Jumhur
ulama menyatakan bahwa rukun aqad terdiri atas empat macam.Pertama,
pernyataan untuk mengikat diri (pernyataan aqad) kedua, pihak-pihak yang
beraqad, ketiga, obyek aqad, empat, tujuan aqad.

8
Adapun syarat-syarat umum suatu aqad adalah sebagai berikut.

1) Pihak-pihak yang melakukan aqad telah cukup bertindak hukum.

2) Objek aqad diakui oleh syara’

3) Aqad itu tidak dilarang syara’

4) Aqad itu bermanfaat

5) pernyataan ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabul

6) ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu keadaan yang
menggambarkan proses suatu transaksi.

7) Tujuan aqad jelas diakui syara’ dalam jual beli tujuannya memindahkan hakmilik
penjual ke pembeli.

8) Tujuan aqad tidak bertentangan dengan syara’.

Berdasarkan syarat umum di atas, jual beli dianggap sah jika terpenuhi syarat-syarat khusus
yang disebut dengan syarat Ijab dan Qabul sebagai berikut.

1) orang yang mengucapkan telah balikh dan berakal

2) Qabul sesuai dengan ijab

3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.

Ulama Hanafiah dan Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan qabul boleh diantarai
waktu yang telah disepakati sehingga pihak pembeli sempat berfikir.30Namun Ulama
safiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa antara ijab dan qabul tidak terlalu lama yang
dapat menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan tersebut berubah.

Pada zaman modern, perwujudan ijab dan kabul tidak lagi diucapkan tetapi dilakukan dengan
sikap mengambil barang membayar uang dari pembeli, serta menerima uang dan
meneyerahkan barang tanpa ucapan apapun. Contohnya jual beli yang berlangsung di pasar
swalayan.Dalam fiqih muamalah jual beli semacam ini disebut dengan bai’al-muathah,
namun jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh jika hal itu
sudah menjadi kebiasaan masyarakat.

1. Ada barang yang diperjual belikan.

a. Barang yang ada di dalam kekuasaan penjual (milik sendiri).

Barang atau benda yang akan diperjual belikan adalah milik seseorang atau milik sendiri
bukan milik orang lain, barang yang sifatnya belum dimiliki oleh seseorang tidak boleh
diperjualbelikan. Memperjual belikan ikan yang masih di dalam laut atau burung yang
masih di alam bebas, karena ikan atau burung itu belum dimiliki oleh penjual, tentang

9
larangan menjual sesuatu yang bukan miliknya, tanpa seizin pemilik barang tersebut jual
beli yang demikian adalah haram.

b. Barang yang jelas zatnya, ukuran dan sifatnya (dapat diketahui)

Hendaklah yang menjual dan membeli mengetahui jenis barang dan mengetahui
harganya.Hal ini untuk menghindari kesamaran baik wujud sifat dan kadarnya.34Jual beli
yang mengandung kesamaran adalah salah satu jual beli yang diharamkan oleh Isalam.
Boleh menjual barang yang tidak ada di tempat aqad dengan ketentuan dijelaskan sifatnya
yang mengakibatkan ciri-ciri dari barang tersebut dapat diketahui, jika ternyata barang
tersebut sesuai dengan barang yang disepakati, maka wajib membelinya, tapi jika tidak
sesuai dengan yang disifatkan maka dia mempunyai hak memilih untuk dilansungkan akad
atau tidak.

c. Barang yang dapat diserahkan.

Barang atau benda diserahkan pada saat aqad berlangsung atau pada waktu yang telah
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

d. Suci Bendanya

Diantara benda yang tergolong najis adalah bangkai, darah, daging Babi, para ulama
sepakat tentang keharamannya dengan berdalil pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 173 :

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi.

Juga dalam firmannya pada surat Al-Maidah ayat: 3

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi

Maksud ayat di atas dapat disimpulkan bahwa tentang bangaki, darah dan daging
babi, sangat dilarang untuk diperjual belikan, (Haram) barang yang tidak suci sebagai
mana yang telah di cantumkan di atas.Maksudnya Allah melarang hambanya melakukan
jual beli, sesuatu barang yang haram, atau melakukan sebuah penipuan.Jelas hal ini
bertentangan dengan rukun dan syarat jual beli itu sendiri.

C. Macam-macam Jual Beli


Secara garis besar dalam Islam, dikenal beberapa bentuk dan jenis jual beli, adapun
secara gelobalnya jual beli itu dibagi kedalam dua bagian besar yaitu:

1. Jual beli shahih.

Jual beli sahih yaitu apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat
yang telah ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak tergantung pada hak khiyar
lagi.Jual beli yang telah memenuhi rukun dan syarat adalah boleh atau sah dalam Agama
Islam, selagi tidak terdapat padanya unsur-unsur yang dapat membatalkan kebolehan

10
kesahannya.Adapun hal-hal yang menggugurkan kebolehan atau kesahan jual beli pada
umumnya adalah sebagai berikut.

a. Menyakiti si penjual

b. Menyempitkan gerakan pasar

c. Merusak ketentuan umum.

2. Jual beli yang batal atau fasid. Batal adalah tidak terwujud

Batal adalah tidak terwujudnya pengaruh amal pada perbuatan di dunia karena
melakukan perintah syara’ dengan meninggalkan syarat dan rukun yang mewujudkannya,
Jual beli yang batal adalah apabila salah satu rukunnya dan syaratnya tidak terpenuhi,
atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyaratkan, seperti jual beli yang
dilakukan anak kecil, orang yang gila atau barang yang diperjual belikan adalah barang-
barang yang diharamkan syara’ seperti bangkai, darah, babi dan khamr. Jual beli yang
batal ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya adalah.

a. Jual beli buah yang belum muncul di pohonnya.

Memperjual belikan yang putiknya belum muncul di pohonnya, atau anak sapi
yang belum ada, sekalipun di perut induknya telah ada. Maksudnya adalah
melarang memperjual belikan yang putiknya belum muncul di pohonnya, atau anak
sapi yang belum ada, sekalipun diperut induknya telah ada karena jual beli yang
demikian adalah jual beli yang tidak ada, atau belum pasti baik jumlah maupun
ukurannya.

b. Menjual barang yang tidak bisa diserahkan pada pembeli.

Seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di
udara atau juga seperti menjual ikan yang masih ada di dalam air yang kuantitasnya
tidak diketahui, hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw berikut ini.

Artinya: Ibnu Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah Saw bersabda janganlah membeli ikan
dalam air karena itu gharar.(HR Bukhori)

Maksud dari hadis di atas adalah menjual barang yang tidan jelas baik itu ukuran,
bentuk, dan jenis barang yang akan dijadikan objek jual beli, dengan adanya
larangan hadis tersebut, maka haram bagi orang yang melakukan jual beli yang
bendanya tidak dapat diserahkan.

c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan

Jual beli yang mengandung unsur penipuan yang pada lahirnya baik, tapi
dibalik itu terdapat unsur penipuan, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah
Saw tersebut di atas. Contohnya yang lain juga dikategorikan jual beli yang
mengandung unsur penipuan adalah jual beli al-Mazabanah (barter yang diduga

11
keras tidak sebanding), contohnya menukar buah yang basah dengan buah yang
kering, karena yang dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli tidak
seimbang. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulallah Saw berikut ini.

Artinya: Dari Jabir r.a., Rasulallah saw, melarang menjual setumpuk tamar yang
tidak diketahui takarannya dengan tamar yang diketahui takarannya (HR
BUkhari-Muslim)

Maksud hadis di atas adalah melarang jual beli dengan cara menukar antara barang
yang sejenis dan barang yang sudah di takar dengan barang yang belum di takar
karena jual beli yang demikian adalah mengandung unsur penipuan, atau menjual
barang yang takarannya tidak sesuai dengan aqadnya atau mengurangi takarannya.

C. Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya


1. Pengertian Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad atau upah, sewa, jasa atau imbalan. Al-
Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, menjual jasa dan sebagainya. Al-Ijarah secara bahasa
merupakan pecahan dari kata alajr yang bermakna iwad atau kompensasi. Al-Ijarah merupakan
kata yang di khususkan pada konpensasi dari manusia, sedangkan konpensasi dari Allah sebagai
balasan atau ketaatan hambanya disebut al-ajr atau al-tsawab dalam istilah fikih. Ijarah secara
etimologi adalah masdar dari kata (ajara – ya‟jiru), yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi
sebuah pekerjaan. Al-ajru makna dasarnya adalah pengganti, baik yang bersifat materi maupun
immateri. Alif al-Khafif mengartikan, al-Ijarah adalah transaksi terhadap sesuatu yang bermanfaat
dengan imbalan. Menurut ulama syafi‟iyah, Ijarah adalah transaksi terhadap sesuatu manfaat yang
dimaksud, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Menurut
ulama malikiyah dan hanabilah, Ijarah adalah pemiilikan suatu manfaat yang diperbolehkan dalam
waktu tertentu dengan imbalan. Sedangkan Menurut MA. Tihami, mengatakan bahwa al-Ijarah
(sewa-menyewa) ialah akad (perjanjian) yang berkenaan dengan kemanfaatan (mengambil manfaat
sesuatu) tertentu, sehingga sesuatu itu legal untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan
pembayaran (sewa tertentu). Menurut fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, yang dimaksud dengan
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Al-
Ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan muamalah
yang telah di syari‟atkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau
boleh bila di laksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan oleh syara‟ berdasarkan
ayat AlQur‟an, hadis-hadis Nabi, dan ketetapan ijma ulama. Ijarah adalah akad atas manfaat
dengan adanya kompensasi tertentu. Syafi‟iyah menjelaskan Ijarah adalah akad atas manfaat

12
tertentu yang diperbolehkan dengan nilai kompensasi tertentu. Malikiyyah Mengatakan Ijarah
adalah pemindahan kepemilikan manfaat tertentu yang diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu,
dengan kompensasi tertentu. 2

2. Dasar Hukum Ijarah


Al-Ijarah merupakan akad yang di perbolehkan, hal ini berlandaskan dalil-dalil yang
terdapat pada Al-qur‟an, Hadits maupun ijma ulama. Namun demikian terdapat ulama
yang tidak membolehkannya, diantaranya Abu Bakar Al Ashamm, Ismail bin‟Aliyah,
Hasan Basri dan lainnya, dengan alasan, jika di gunakan qiyas (analog) akad al-Ijarah
identik dengn ba‟i al ma‟dum yang dilarang, manfaat sebagai objek tidak bisa dihadirkan
ketika akad, akan tetapi pendapat ini disanggah Ibnu Rusyd dengan mengatakan bahwa
walaupun manfaat tidak bisa dihadirkan ketika akad, namun akan bisa terpenuhi ketika
akad telah berjalan.

a. Rukun ijarah
Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu
pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan.29 Sedangkan menurut jumhur
ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang yang berakad),
sighat, upah, dan manfaat. Ada beberapa rukun ijarah di atas akan di uraikan sebagai
berikut:
1) Aqid (Orang yang berakad)
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir. Mu’jir
adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan Musta’jir
adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa
sesuatu.30 Bagi yang berakad ijarah di syaratkan mengetahui manfaat barang yang di
jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak
yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat
membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak kecil yang belum dapat
membedakan baik ataupun buruk , maka akad menjadi tidak sah.
2) Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah. Dalam Hukum Perikatan Islam, ijab

2
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer
13
diartikan dengan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan qobul adalah suatu pernyataan
yang diucapkan dari pihak yang berakad pula (musta’jir) untuk penerimaan kehendak
dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab.
Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan
qabul dalam ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.
3) Ujroh (upah) Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah
diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Dengan syarat hendaknya :
a. Sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah akad timbal balik, karena itu
iijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
b. Pegawai khusus seperti hakim tidk boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena
dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari
pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu
pekerjaan saja.
c. Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang disewa. Jika
lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus lengkap.
4) Manfaat Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan
menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah
atas pekerjaan atau jasa seseorang. Semua harta benda boleh diakadkan ijarah di atasnya,
kecuali yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus diketahui secara jelas. Hal ini dapat
dilakukan, misalnya dengan memeriksa atau pemilik memberika informasi secara
transparan tentang kualitas manfaat barang.
b. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak
mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas
harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
c. Objek ijarah dan manfaatnya tidak bertentangan dengan Hukum Syara‟. Misalnya
menyewakan VCD porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan maksiat tidak sah.
d. Objek yang disewakan manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya, sewa rumah
untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak dibenarkan sewa-
menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung. Seperti, sewa pohon
mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak untuk diambil keturunannya,
telurnya, bulunya ataupun susunya.

14
e. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isty’mali,
yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan
zat dan pengurusan sifatnya. Sedangkan harta benda yang bersifat istihlaki adalah harta3
benda yang rusak atau berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis,
tidak sah ijarah diatasnya 4
b. Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah :
1) Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab
Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak berakal
seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka sebagai buruh
(tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarah nya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab
Hanafi dan maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh ,
tetapi anak yang telah mumayiz pun boleh melakukan akad Ijarah dengan ketentuan
disetujui oleh walinya.
2) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan
akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya
tidak sah.
3) Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi
perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka, akad itu tidak sah.
4) Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Oleh sebab itu, ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa tidak boleh menyewa
sesuatu yang tidak dapat diserahkan, dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya
rumah atau took harus siap pakai atau tentu saja sangat bergantung kepada penyewa
apakah dia mau melanjutkan akad itu atau tidak, sekiranya rumah itu atau toko itu disewa
oleh orang lain maka setelah itu habis sewanya baru dapat disewakan oleh orang lain.
5) Objek Ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara. Oleh sebab itu ulama fikih
sependapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk
membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi
atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan rumah
kepada non-muslim untuk tempat mereka beribadat.

c. Syarat Ijarah

3
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Diponogoro, Bandung, 2006
4
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah alJa'fai, Op.cit.,h.12
15
Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini,
objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah . Dalam ijarah bagian kedua ini,
objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Al-ijarah yang bersifat manfaat,
umpamanya adalah sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila
manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara‟ untuk dipergunakan, maka para
ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa. Al-ijarah yang
bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu
pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti
buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang salon, dan tukang sepatu. Al-ijarah
seperti ini biasanya bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga,
dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit.
Kedua bentuk ijarah terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqh hukumnya boleh.

D. Pengertian Ji’alah Dan Dasar Hukumnya


1. Pengertian Jia’lah
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT,
berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan
mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu
melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah
bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya
kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan
oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah
manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil
terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-
menolong dengan sesamanya.
Agama Islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya
yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut
telah dijelaskan dalam ilmu fiqh muamalah. Kata muamalah secara bahasa sama dan
semakna dengan al-mufa‟alah (saling brbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktifitas
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan
16
masing-masing. Secara singkat, fiqh mu‟amalah secara terminologi didefinisikan
sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam
persoalan-persoalan keduniaan. Kajian fiqh mu‟amalah adalah aspek Hukum Islam 5
yang ruang lingkupnya luas. Pada dasarnya aspek Hukum Islam yang bukan ibadah
seperti, sholat, puasa, zakat dan haji di golongkan muamalah. Karena itu masalah
pidana dan perdata juga digolongkan hukum muamalah. Namun perkembangan
selanjutnya Hukum Islam dibidang muamalah dapat dibagi menjadi dua garis besar
secara umum yakni munakahat dan jinayat. Sementara itu muamalah dalam arti yang
lebih sempit atau dalam arti yang khusus hanya membahas tentang hukum ekonomi
dan bisnis Islam.
Pengertian muamalah secara khusus dibahas berbagai macam transaksi yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari terutama dari aspek hukumnya. Transaksi-transaksi
tersebut dibahas dan dipelajari dari sudut pandang fiqh muamalah. Sehingga semua
transaksi yang dibahas dalam fiqh muamalah dapat ditentukan hukumnya. Apakah
suatu transaksi itu halal ataupun haram.
Fiqh muamalah dibahas banyak tantang transaksi, yang salah satu babnya
membahas tentang transaksi secara umum atau biasa disebut akad. Dalam akad
terdapat banyak sekali rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan agar
akad yang dilakukan itu sah, dan menghasilkan produk hukum yang halal. Dalam
menggapai produk hukum yang halal, maka syarat dan rukun seperti yang disebutkan
di atas harus dipahami serta selalu terpenuhi dalam setiap melakukan kegiatan
transaksi.
Inti terdalam dari tujuan agama Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
kehidupan manusia. Karena itu para rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk
mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti
dilaksanakan, tidak ada pilihan bagi seorang mu‟min untuk tidak mengamalkannya
agar akad yang dilakukan itu sah, dan menghasilkan produk hukum yang halal. Dalam
menggapai produk hukum yang halal, maka syarat dan rukun seperti yang disebutkan
di atas harus dipahami serta selalu terpenuhi dalam setiap melakukan kegiatan
transaksi.
Inti terdalam dari tujuan agama Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
kehidupan manusia. Karena itu para rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk

5
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012)
17
mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti
dilaksanakan, tidak ada pilihan bagi seorang mu‟min untuk tidak mengamalkannya
Akad ji‟alah, ju‟l atau ju‟liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang
disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan
tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena
telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji‟alah dapat
dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji‟alah
adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara‟,
akad ji‟alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan
tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.
Adapun definisinya dari Ji‟alah adalah komisi yang diberikan kepada seseorang
karena sesuatu yang ia lakukan. Seperti seseorang berkata, “barangsiapa melakukan
hal ini, maka ia mendapatkan uang sekian”. Orang tersebut memberikan harta (uang
atau yang lainnya) dengan jumlah tertentu, kepada orang yang melakukan suatu
pekerjaan tertentu, seperti membangun pasar dan lainnya.
Secara terminologi fiqih ji‟alah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk
janji memberikan imbalan atau upah tertentu secara suka rela terhadap orang yang
berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
Ji‟alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja‟l) kepada orang yang telah
melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat
(dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian,
dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, ji‟alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama
kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak
kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Akad ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang
belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan, maka ia berhak
mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah, ji‟alah bermakna sesuatu yang
dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan
kepada seseorang untuk dijalankan. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menjelaskan
ji‟alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu yang diduga kuat akan diperolehnya

18
2. Rukun Dan Syarat Ji’alah
a. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang lain
yang mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan, atau memiliki pekerjaan.
b. Pekerja, yaitu mencari barang yang hilang yang mempunyai izin untuk bekerja dari
orang yang punya harta, jika dia bekerja tanpa ada izin darinya seperti ada harta yang
hilang lalu dia menemukannya atau hewan tersesat lalu dia mengembalikan kepada
pemiliknya, maka dalam hal ini dia tidak berhak mendapat ji‟alah, sebab dia
memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah itu,
adapun jika diizinkan oleh si pemilik harta dan disyaratkan ada ji‟alahnya lalu dia
bekerja, maka dia berhak mendapat ji‟alah, sebab si pemilik harta menerima manfaat
dari usahanya dengan akad ji‟alah, maka si pekerja pun berhak dengan ji‟alah itu
sama seperti orang yang disewa.
Kedua, hendaklah si pekerja orang yang ahli dengan pekerjaan itu jika memang
dijelaskan bentuknya, maka sah akad ji‟alah dengan orang yang memang ahlinya
walaupun masih anak-anak.
Ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja,
jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari lalu dia mengembalikannya
sampai ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi
ji‟alah, maka dia tidak berhak mendapatkan sesuatu dari ji‟alah yang ada sebab
maksud dari akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini
tidak ada hasil.
c. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang atau benda yang tertentu. Kalau
yang kehilangan itu berseru: “Barangsiapa yang mendapat barang atau bendaku, akan
saya beri uang sekian. Kemudian dua orang pekerja mencari barang itu, sampai
keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan
itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).
d. Shighat, Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji‟alah sedangkan dari pihak
pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan
ucapan walaupun barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaanya sama
dengan akad perwakilan, dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya dia
berkata kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat
bayaran datu dinar kemudian si pemberi ja‟alah berkata ya atau menjawabnya, maka
sudah dianggap cukup.
19
Adapun yang menjadi syarat ji‟alah yaitu:

a. Pihak-pihak yang berji‟alah wajib memiliki kecakapan bermu‟amalah (ahliyyah


al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak dalam perwalian). Jadi ji‟alah
tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
b. Upah yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak
jelas, maka akad ji‟alah batal adanya, karena ketidakpastian kompensasi, Upah yang
tidak jelas akan menimbulkan perselisihan dimasyarakat, maka dari itu syarat dari
upah yaitu, pertama: harus sesuai dengan apa yang dijanjikan, yaitu jika seseorang
mengadakan sebuah sayembara pemberian upahnya harus ada di awal perjanjian
sebelum sayembara dilaksanakan. Kedua: berupa materi atau uang, yaitu didalam
sebuah sayembara upahnya yang diberikan haruslah berupa materi, tidak boleh berupa
jasa atau yang lain yang tidak ada manfaatnya. Ketiga: jelas bentuknya. Seperti jika
seseorang mengatakan “Barang siapa yang menemukan mobil saya maka dia akan
mendapat pakaian”. Dalam keadaan ini, maka orang yang menemukannya atau yang
mengembalikannya berhak mendapatkan upah umum yang berlaku. Dan jika upah itu
berupa barang haram, seperti minuman keras atau barang yang terghasab (diambil
oleh orang lain tanpa hak), maka akadnya juga batal karena kenajisan minuman keras
dan ketidakmampuan untuk menyerahkan barang yang terghasab. Keadaan upah itu
hendaklah ditentukan, uang atau barang, sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan
itu. Selain itu, upah upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti
minuman keras.36
c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktifitas yang mubah, bukan yang
haram dan diperbolehkan secara syar‟i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga
paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya.
Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam
akad ji‟alah.
d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya
(ma‟lum), di samping itu tentunya harus halal. 6

6
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986), h. 306.

20
3. Dasar Hukum Jia’lah
Menurut ulama Hanafiah, akad ji‟alah tidak dibolehkan karena di dalamya terdapat
unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini
diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam
pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi, mereka hanya
membolehkan dengan dalil istihsan memberikan hadiah kepada orang yang dapat
mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih,
walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi
biaya selama perjalanan.
Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah
disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan.
Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia
mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu
hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya
kurang dari satu hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah
disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah
dapat mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah
tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, akad ji‟alah
dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama saudara-
saudaranya.7
E. Pengertian Hiwalah dan Dasar Hukumnya.
1. Pengertian Hiwalah

Hiwalah adalah Secara etimologi, pengertian hiwalah adalah istilah dari kata tahawwul
artinya berpindah atau tahwil berarti pengalihan. Sederhananya, pengertian hiwalah
adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak kreditur kepada pihak penanggung
pelunasan hutang.

Konsep hiwalah adalah memindahkan utang dari muhil sebagai peminjam pertama
kepada pihak muhal’alaih sebagai peminjam kedua. Proses pengalihan tanggung jawab
ini harus disahkan melalui akad hiwalah atau kata-kata.

7
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 433.

21
2. Dasar Hukum Hiwalah

Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-quran dan hadist. Berdasarkan Q.S.
Al-Baqarah [2]: 282 mengatakan bahwa Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar.

Sementara dasar hukum hiwalah dari hadist yaitu "Menunda-nunda pembayaran


hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika
seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihiwalahkan) kepada
pihak yang mampu (terimalah) (HR. Bukhari).

Kemudian dasar hukum hiwalah tersebut diikuti oleh ijma ulama yang
hukumnya sunnah. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia mengatur akad hiwalah dengan mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-
MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, dan Fatwa DSN-MUI No.
58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.

3. Rukun dan Syarat Hiwalah

Sesuai kaidahnya, transaksi skema hiwalah dalam perbankan syariah wajib


memenuhi beberapa rukun dan syarat. Selengkapnya tentang syarat dan rukun
hiwalah adalah sebagai berikut.

Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum akad hiwalah terjadi.
Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad hiwalah tidak dapat dilakukan. Rukun-
rukun tersebut antara lain:

 Muhil
Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai hutang.
Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai kemampuan
melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau muhil
menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak lain.
 Muhal
Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang. Sama seperti syarat
muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, berakal sehat dan melaksanakan
akad ini secara sukarela tanpa paksaan. Ijab qabul hiwalah yang dikatakan
oleh muhal harus berada dalam majelis akad disaksikan pihak terkait, dan
dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
 Muhal'alaih
Rukun hiwalah ketiga yakni muhal'alaih sebagai orang pemilik hutang dan
bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak ini harus mempunyai akal
sehat, baligh, kemampuan finansial, dan memahami pelaksanaan akad, serta
pengucapan ijab qabul dalam majelis akad dengan kehadiran peserta terkait.

22
 Hutang yang Diakadkan
Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang dilakukan
oleh muhil dari muhal, dan dinyatakan akan dilunasi oleh muhal’alaih. Hutang
tersebut boleh berupa uang, aset, dan benda-benda berharga lainnya.

Meski demikian, sesuai dengan hukum syariah, hutang tersebut tidak boleh
berbentuk benda setengah jadi atau belum ada nilainya (misal bibit tanaman yang
belum berbuah, janji bantuan hibah belum di tangan, dan sebagainya). 8

8
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/15/hiwalah-
adalah#:~:text=Sederhananya%2C%20pengertian%20hiwalah%20adalah%20pengalihan,muhal'alaih%20sebagai%20p
eminjam%20kedua.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jual beli adalah peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang
diperbolehkan oleh syara’. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (‫ )جواز‬atau (‫)مباح‬.
Rukun jual beli ada tiga yaitu, adanya ‘aqid (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaih
(barang yang diperjual belikan), dan sighat (ijab qobul). Syaratnya ‘aqid baligh dan
berakal, islam bagi pembeli mushaf, dan tidak terpaksa, syarat bagi ma’qud ‘alaih
adalah suci atau mungkin disucikan, bermanfaat, dapat diserah terimakan secara cepat
atau lambat, milik sendiri, diketahui/dapat dilihat. Syarat sah shighat adalah tidak ada
yang membatasi (memisahkan), tidak diselingi kata-kata lain, tidak dita’likkan
(digantungkan) dengan hal lain, dan tidak dibatasi waktu. Jual Beli ada tiga macam
yaitu, menjual barang yang bisa dilihat hukumnya boleh/sah, menjual barang yang
disifati (memesan barang) hukumnya boleh/sah jika barang yang dijual sesuai dengan
sifatnya (sesuai promo), menjual barang yang tidak kelihatan Hukumnya tidak
boleh/tidak sah.
B. SARAN
1. Saran Bagi Konsumen dan Pelaku Usaha
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini masih didapati kendala yang
terjadi dalam transaksi jual beli online seperti penipuan, dan kerugian konsumen
yang disebabkan kesalahan dari pihak pelaku usaha yang tidak memberikan
informasi yang jelas dan benar terhadap barang yang diperjualbelikan, maka dari
itulah penulis menghimbau kepada konsumen agar lebih cermat dan berhati-hati
sebelum melakukan transaksi, memilih sistem pembayaran yang minim resiko,
ada baiknya juga bertanya kepada yang lebih ahli demi menghindari kerugian di
kemudian hari.
Bagi pelaku usaha seyogyanya lebih memperhatikan akan hakhak konsumen
dan kewajiban serta larangan dalam bertransaksi. Sebagai pelaku usaha juga
semestinya mengetahui akan adanya aturan tentang perlindungan konsumen yang
ada dalam hukum Islam dan Undang-undang demi terciptanya keseimbangan dan
kemaslahatan bersama.
2. Saran Bagi Instansi
Melalui penelitian ini penulis merekomendasikan kepada Program Studi Ahwal
Syakhsiyah agar memberikan perhatian lebih terhadap mahasiswa tentang jual beli
24
online, melihat semakin berkembangnya media informasi dan teknologi semakin
banyak pula kemungkinan terjadinya tindak kejahatan atau penipuan yang
menimbulkan kerugian terutama bagi pihak konsumen.

25

Anda mungkin juga menyukai