Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AKAD ‘ARIYAH

DiajukanUntuk Memenuhi Salah Satu Tugas

“Fiqih Muamalah”

Dosen Pengampu: Mugni Muhit, S.Ag, M.Ag

NIDS : 2114097901

Disusun oleh :

Nama :Rian Maulani

NIM : 20201016

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MA’ARIF

CIAMIS

2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji Syukur Kehadirat Allah Subhanahuwata’ala Atas Rahmatnya,


Karunianya, Serta Inayahnya Sehiangga Penulis Dapat Menyelesaikan Makalah Ini
Dengan Judul “ Akad ‘Ariyah“.

Semoga Makalah Ini Dapat Membantu Wawasan Penyusun Dan Juga Pembaca Dalam
Bidang Pendidikan Yang Luas.

Penulis Menyadarai Bahwa Makalah Ini Jauh Dari Kata Sempurna Baik Dari Segi
Penulisan, Bahasan, Ataupun Penyusunannya. Oleh Karena Itu Penulis
Mengharapakan Kritik Atau Saran, Khususnya Dari Dosen Mata Kuliah Agar Penulis
Dapat Memperbaiki Makalah Ini dan menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Ciamis, Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................
1.1 Latar Belakang...............................................................................
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................
BAB II .................................................................................................
2.1 Hukum ‘Ariyah...........................................................................................
2.2 Rukun dan Syarat-syarat ‘Ariyah...............................................................
2.3 Tanggungjawab peminjam.........................................................................
2.4 Kode Etik Berutang ...................................................................................
BAB III PENUTUPAN.......................................................................
3.1 Kesimpulan.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fiqih menurut bahasa berarti al-fahm (pemahaman), yang pada hakikatnya adalah
pemahaman terhadap ayat-ayat ahkam yang terdapat dalam Alqur’an dan hadits-hadits
ahkam. Fiqih merupakan interperetasi Ulama terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits ahkam.
Para fuqoha meneluarkan hukum dari sumbernya dan tidak disebut membuat hukum,
sedangkan yang membuat hukum adalah Allah swt. Fiqih dalam pengertian sederhana
adalah ketentuan-ketentuan hukum syara’ mengenai perbuaatan manusia mengatur
hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, digali
dari-dalil dalil terperinci. Hukum yang dibahas dalam fiqih menyangkut ‘amaliyyi atau
hukum mengenai perbuatan manusia , menyangkut bidang ibadah, bidang muamalah,
perkawinan, mawaris, jinayah, siasyah dan yang lainnya.

Fiqih sebagai ilmu, yang merupakan interperetasi para Ulama terhadap garis hukum
yang difahami dari sumbernya yaitu Alqur’an dan hadits, sedangkan Ijma dan Qiyas
adalah merupakan hasil ijtihat para ulama yang telah disusun secara sistematis dalam
bentuk buku teks yang merupakan bangunan pengetahuan darierbagai madzhab. Para
ulama madzhab berbeda dalam metode istimbat hukum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian Hukum ‘Ariyah?
2. Apa saja Rukun ‘Ariyah?
3. Apa saja syarat-syarat ‘Ariyah?
4. Apakah maksud dari Tanggungjawab peminjam?
5. Bagaimana Kode Etik dalam Berutang ?

1.2 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Hukum ‘Ariyah

2. Mengetahui Rukun ‘Ariyah


3. Mengetahui Syarat-Syarat ‘Ariyah

4. Mengetahui Tanggungjawab Peminjam

5. Mengetahui cara utang-piutang yang baik


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hukum Ariyah

Secara etimologis, term ‘ariyah berasal dari ‘aara’ yang berarti telah datang.
Sebagian ulama berpendapat, ‘ariyah berasal dari kata ‘at-tha’awuru yang memiliki
makna sama dengan at-tanawalu atau al-tanaasabu, yang berarti saling melakukan
penukaran dan saling mengganti satu sama lain dalam konteks pinjam meminjam barang
atau benda, baik bergerak maupun tidak bergerak.

Dalam pendekatan terminologis, para ulama fiqih berbeda pendapat dalam


mendefinisikan akad ‘ariyah. Menurut pendapat ulama malikiyah sebagaimana yang
dijelaskan wahbah al-Zuhaili, akad ‘ariyah pemilikan atas manfaat atau barang tanpa
adanya imbalan ibnu Rifah berpendapat, bahwa akad ‘ariyah adalah perjanjian
pengmbilan manfaat atas suatu barang tertentu dengan cara yang halal serta tetap zatnya,
dan dikembalikan kepada pemiliknya.

Adapun ulama safi’iyah dan hanabilah mengatakan : akad ariyah adalah akad yang
membolehkan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa danya imnbalan. Imam
thanthawi berpendapat bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa
imbalan, dalam arti sederhana ‘ariiyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk
dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan (‘iwadh).

Wahbah Zuhaili menginformasikan bahwa akad ini berbeda dengan hibah, karena
tujuan ariyah hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang, sementara hibah
mengambil zat dan manfaat sekaligus. Menurut pendapatWhbah Zuhaili, tolong
menolong dalam bentuk ariyah atau meminjamkan sesuatu hukumnya sunnah, sedangkan
menurut imam Thanthawi, transaksi seperti ini hkumnya boleh atau mubah sepanjang
dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’.

Adapun dasar hukum dibolehkannya bahkan disunatkannya ‘ariyah adalah ayat-


ayat alquran dan hadits-hadits sebagai berikut;
a. Al-qur’an surat Al-maidah ayat 2
b. Al-qur’an surat An-Nisa ayat 58
c. Hadits riwayat Abu Daud
d. HR. Abu daud dan Turmudzi
e. Hadits riwayat Abu Daud
f. Hadits riwayat Al-Bukhari
g. HR. Al-Bukhari dan Muslim

2.2 Rukun dan Syarat-syarat ‘Ariyah

Dalam sebuah ariyah tentunya harus ada rukun yang harus terpenuhi. Rukun ‘ariyah
menurut jumhur ulama ada empat, yaitu: 1) orang yang meminjamkan atau mu’ir, 2) orang
yang meminjam atau musta’ir, 3) barangbyang dipinjam atau mu’ar, 4) sighat pinjaman.
Para ulama mengharuskan akad atau transaksi ‘ariyah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan Syara’. Adapun syarat-syarat ariyah sebagai berikut:

Pertama, orang yang meminjam itu ialah orang yang telah berakal dan cakap
bertindak hukum karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercaya memegang
amanah.

Kedua, barang yang dipinjam bukan jenis barang yang jika dimanfaatkan akan habis
sperti makanan ringan atau yang mudah membusuk.

Ketiga, barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh
peminjam.

Keempat, manfaat barang yang dipinjam termasuk manfaat yang mubah atau
dibolehkan oleh syara’.

2.3 Tanggung Peminjam

Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang
tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan
aniaya. Hal ini sebagaimana rasulullah saw. bersabda yang artinya “orang kaya yang
memperlambat atau melalaikan kewajiban membayar utang adalah dzalim atau berbuat
aniaya”. ( Hadits Riwayat bukhari dan muslim).

Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, dengan syarat


kelebihan itu merupakan kehendak (niat) dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang membayar utang. Seperti dalam Hadits Rasulullah saw. yang artinya
“sesungguhnya diantara yang baik diantara kamu ialah orang yang memiliki i’tikad baik
untuk membayar utang”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Menurut Hanafiyah, akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah
menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sabagai berikut:

1. Jika barang secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.


2. Jika barang tidak dipelihara sama sekali.
3. Jika pemanfaatan barang pinjaman tidak seuai dengan adat yang berlaku, atau tidak
sesuai dengan syarat yang disepakati bersama saat akad.
4. Jika pihak peminjam melakuakan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan
sejak semula dalam akad.
Menurut Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang
itu rusak atau hilang. Seperti dalam hadits Rasulullah saw. yang artinya “orang yang
mengambil barang orang lain bertanggungjawab atas resikonya sampai ia
menggantikannya.” (Hadits riwayat Ahamad dan Hakim).
2.5 Kode Etik Berutang
Mengacu kepada nilai-nilai ilahiyah yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits nabi Saw yang terkait dengan ariya’ ada beberapa yang harus diperhatikan dalam
pinjam-meminjam atau utang piutang mengenai tatakram yng terkandung, antara lain
sebagai berikut:
1. Pinjam hendaknya dilakuakan atrasa dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai
niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
2. Orang yang berpiutang hendaknya beraksud memberi pertolongan kepada pihak yang
berutang. Jika yang meminjam belum mampu mengembalikannya, maka pihak yang
memberikan uatang mengizinkan adanya waktu penundaan untuk membayarnya. Dan
jika yang meminjam benar-benar tidak mampu mengembalikan, maka yang
meminjamkan hendaknya membebaskannya.
3. Demi terjaganya hubungan baik hendaknya utang-piutang diperkuat dengan tulisan
dari kedua belah pihak dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan
seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita.
4. Ketika mengembalikan utang atau pinjam hendaknya peminjam mengembalikan
pinjaman sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam dan kalau
mungkin sebagai rasa terimakasih peminjam mengembalikan pinjaman dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
5. Pihak yang berutang seandainya telah mampu membayar pinjaman atau utangnyan,
hendaklah mempercepat membayar utangnya sebab sebagaimana dijelaskan dalam
hadits, melalaikan dalam membayar pinjaman atau utang, berarti ia telah berbuat
dzalim kepada pemberi pinjaman atau hutang padahal ia telah menolongnyaa.
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Simpulan

Secara etimologis, term ‘ariyah berasal dari ‘aara’ yang berarti telah datang.
Sebagian ulama berpendapat, ‘ariyah berasal dari kata ‘at-tha’awuru yang memiliki
makna sama dengan at-tanawalu atau al-tanaasabu, yang berarti saling melakukan
penukaran dan saling mengganti satu sama lain dalam konteks pinjam meminjam barang
atau benda, baik bergerak maupun tidak bergerak.

Dalam pendekatan terminologis, para ulama fiqih berbeda pendapat dalam


mendefinisikan akad ‘ariyah. Menurut pendapat ulama malikiyah sebagaimana yang
dijelaskan wahbah al-Zuhaili, akad ‘ariyah pemilikan atas manfaat atau barang tanpa
adanya imbalan ibnu Rifah berpendapat, bahwa akad ‘ariyah adalah perjanjian
pengmbilan manfaat atas suatu barang tertentu dengan cara yang halal serta tetap zatnya,
dan dikembalikan kepada pemiliknya.Dan dalm akad ‘ariyah harus memenuhi rukun dan
Syarat-syarat ‘ariyah yang benar menurut syara.

Anda mungkin juga menyukai