Anda di halaman 1dari 17

HAKIKAT AKAD AHDU DAN WA’DU DALAM PERJANJIAN

SYARIAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian
Syariah
Dosen Pengampu :
Mugni Muhit., S.Ag., M.Ag.
NIDN: 2114097901

Disusun oleh :

Rifa Rihadatulaisy S 20201018

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH SEMESTER 5


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-MAARIF CIAMIS
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya. Sholawat sert salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada junjungan kita yakni Nabi besar Muhammad Saw. Karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya alhamdulillah kami bias menyelesaikan makalah
yang berjudul “hakikat akad ahdu dan wadu dalam perjanjian syariah“ ini tepat
waktu. Adapun tujuan dari penyusunan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah bapak Mugni Muhit., S.Ag., M.Ag.sebagai dosen mata kuliah
Hukum Perjanjian Syariah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca juga bagi para penyusun. Kami menyadari, makalah
yang telah di susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang telah membangun kami nantikan demi kesempurnaan makalah.

Ciamis, 24 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................................2
1.4 Tujuan Penulisan..................................................................................................................2

BAB II IMPLEMENTASI AKAD AHDU DAN WA’DU..........................................................3

2.1 Definisi Akad/Perjanjian......................................................................................................2


2.2 Rukun Perjanjian..................................................................................................................7
2.3 Macam-macam Akad Perjanjian..........................................................................................8
2.4 Unsur dan objek Akad dalam Perjanjian..........................................................................10

BAB III Penutup..........................................................................................................................12

3.1 Kesimpulan........................................................................................................................12

3.2 Saran..................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Akad atau perjanjian dalam kehidupan masyarkat menduduki posisi


yang sangat penting. Akad merupakan salah satu dasar dari sekian banyak
aktivitas keseharian manusia. Melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan
usaha manusia dapat dijalankan. Akad memfasilitasi setiap orang dalam
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Karena akad itulah yang
membatasi hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam usaha
tersebut dan akan mengikat hubungan itu dimasa sekarang maupun masa
yang akan datang. Warisan ilmu fikih memuat berbagai rincian dan
penetapan dasar perjanjian usaha tersebut sehingga dapat merealisasikan
tujuannya, memenuhi kebutuhan umat pada saat yang sama, serta
melahirkan beberapa kaidah dan pandangan bagi umat islam untuk
digunakan memenuhi kebutuhan modern saat ini. Semakin jelas rincian dan
kecermatan dalam membuat akad, maka semakin kecil pula adanya konflik
dan pertentangan antara kedua belah pihak di masa yang akan datang. Akad
menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul
dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan adanya akibat-
akibat hukum pada obyeknya.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini akan dibahas:
1. Apakah yang dimaksud akad ahdu dan wa’du ?
2. Apa saja yang menjadi rukun perjanjian/perikatan?
3. Apa saja macam-macam akad perjanjian ?
4. Bagaimana unsur-unsur dan objek akad dalam perjanjian?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian akad ahdu dan wadu
2. Untuk memahami rukun akad perjanjian
3. Untuk memahami macam-macam akad perjanjian
4. Untuk mengetahui unsur-unsur dan objek akad perjanjian
1.4 Metode Penulisan

Metode yang kami lakukan adalah metode diskusi.

2
BAB II

AKAD AHDU DAN WA’DU DALAM PERJANJIAN SYARIAH

2.1 Definisi Akad/ Perjanjian


Pengertian akad dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah janji, perjanjian,
kontrak.(KBBI:2001,hal 18). Istilah perjanjian menurut hukum Islam disebut “akad”.
Secara etimologi akad berarti ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik
ikatan secara nyata maupun ikatan secara abstrak dari satu sisi atau dari dua sisi.
Sedangkan menurut M. Hasbi Ash- Shiddieqy akad adalah mengikat, yaitu
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga
bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda. (M. Hasby Ash-Shiddieqy:2002,hal
12). Secara terminologi umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasar
keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya
membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan
gadai. Adapun menurut Syamsul Anwar memberikan pengertian bahwa ‘aqad adalah
pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyatan kehendak dua belah pihak atau lebih untuk
melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.(Samsul Anwar:2007,hal 68).
Istilah dalam Al- Qur‟an yang berhubungan dengan perjanjian adalah al-„aqdu
(akad) dan al- „ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat.
Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua
ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Kata al-ahdu terdapat dalam al-quran hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Kata al-ahdu terdapat
dalam al-quran surat al-Maidah Ayat 1, yang berbunyi :

3
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan
bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum
sesuai dengan yang Dia kehendaki”(Q.S AL-MAIDAH 1).

Menurut Fathurrahman Djamil istilah al- „aqdu ini dapat disamakan dengan istilah
verbentanis dalam KUH Perdata.(Faturrahman Djamil:2001, hal 247-248) Sedangkan
istilah al-„ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu
pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain. Istilah ini terdapat dalam Al- Qur‟an bahwa sebenarnya
siapa yang menepati janjinya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaqwa.

Kesepakatan Ahli hukum Islam (Jumhur Ulama) mendefinisikan ‘aqad adalah


suatu perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang dibenarkan syar’i yang
menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.(Ahmad Azhar Basyir:2000, hl
68). Menurut Abdurrauf, al-‘aqdu (perikatan Islam) bisa terjadi dengan tiga tahap, yaitu:

1. Tahap Pertama

Al-‘ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan tidak
untuk melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain.
Syarat sahnya suatu al-ahdu (perjanjian) adalah: tidak menyalahi hokum syari’ah yang
disepakati adanya. Maksudnya adalah perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan
hukum syari’ah sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah
adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain
apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah, maka
perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum. Syarat selanjutnya, ‘aqad
yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah

4
pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isinya ‘aqad tersebut, atau dengan
perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Syarat yang
terakhir sahnya perjanjian, apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang
apa yang menjadi isi ‘aqad, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalah pahaman di
antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.(Chairuman
Pasaribu:2004, hal 2-4)

2. Tahap Kedua

Persetujuan pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Perjanjian
tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

3. Tahap Ketiga

Al-‘aqdu (‘aqad/perikatan Islam) yaitu pelaksanaan dua buah janji tersebut.


(Abduuraoef:1970, hal 122-123).

Terjadinya suatu perikatan Islam (al-‘aqdu) ini tidak terlalu jauh berbeda dengan
terjadinya perikatan yang didasarkan dengan buku III KHUPerdata, yang mana definisi
hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain
berhak atas sesuatu. Perbedaan antara perikatan Islam (‘aqad) dengan perikatan
KUHPerdata adalah dalam tahapan perjanjiannya di mana dalam hukum perikatan Islam
(‘aqad) janji pihak pertama dan pihak kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam
KUHPerdata hanya satu tahap setelah ada perjanjian maka timbul perikatan

Akad menurut para ahli Hukum Islam didefinikan sebagai pertalian antara ijab dan
kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Sementara itu menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-„aqdu)
melalui tiga tahap, yaitu: (Abduuraoef, 1970, hal 122-123)

1. Al- ‘Ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji
ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut seperti
5
yang difirmankan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 76.
2. Persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak
pertama. Persejutuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan „aqdu‟ oleh Al- Qur‟an yang terdapat dalam surat Al-
Maidah ayat 1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau „ahdu‟ itu, tetapi „aqdu‟. Sebagai contoh, jika A
menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil kemudian B menyatakan janji untuk
menjual sebuah mobil, maka A dan B berada pada tahap „ahdu‟. Apabila merek mobil
dan harga mobil disepakati oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji
tersebut dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh
A, maka terjadi perikatan atau „aqdu‟ di antara keduanya.
Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa “Akad
adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”.
Dari definisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan
keterkaitan atau pertemuan antara ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab
yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak
pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas
lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh
para pihak melalui perbuatan akad.
Tujuan akad untuk akad bernama sudah ditentukan secara umum oleh Pembuat
Hukum Syariah, sementara tujuan akad untuk akad tidak bernama ditentukan oleh para
pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup akad.

Tujuan akad bernama dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu

1. Pemindahan milik dengan imbalan atau tanpa imbalan.


2. Melakukan pekerjaan (al-amal)
3. Melakukan persekutuan (asy-syirkah)
4. Melakukan pendelegasian (at-tafwidh)
6
5. Melakukan penjaminan (at-tautsiq)

Dari uraian tersebut di atas, mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan


kesepakatan kedua belah pihak yang mengikatkan diri pada perbuatan yang akan
dilakukan sebagaimana diperjanjikan. Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa’ad
dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya,
sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak,
yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya.
Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak
lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik
(belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing- masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah
well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yan terikat dalam kontrak itu tidak dapat
memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi yang sudah disepakati dalam
akad.

7
2.2 Rukun Perjanjian/Perikatan
Dalam melaksanakan suatu akad, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.

Hal tersebut karena keduanya sama-sama menetukan sah atau tidaknya sebuah akad

Secara bahasa, rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Rukun

dalam definisi ulama Ushul dari kalangan Hanafiyah adalah sesuatu yang adanya sesuatu

yang lain bergantung kepadanya dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut.

Jadi, rukun ialah unsur-unsur yang membentuk sesuatu. Rukun juga merupakan bagian

tak terpisahkan dari suatu perbuatan yang menentukan ada tidaknya sesuatu itu dan sah

tidaknya perbuatan tersebut. Rukun mengenai perikatan atau akad dalam hukum Islam

beraneka ragam di kalangan ahli fiqih. Di kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa

rukun akad hanyalah sighat al-‘aqd yaitu ijab dan qabul. Sedangkan kalangan selain

Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun:

1. ‘aqid
2. Mauqud aialih (objek yang akan diakadkan)
3. Sighat (pernyataan yang dilakukan)

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dalam Buku II tentang akad Bab III,
bagian pertama Pasal 22 juga menyebutkan rukun akad yaitu sebagai berikut: a) Pihak-
pihak yang berakad; b) Obyek akad; c) Tujuan akad; d) Kesepakatan.

Setiap pembentuk aqad atau akad syarat yang ditentukan syara’ yang wajib
8
disempurnakan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam aqad
yaitu:

1. Kedua orang yang melakukan aqad cakap bertindak (ahli). Tidak


sah akad oranggila, orang yang berada di bawah pengampuan
(mahjur) karena boros atau lainnya.
2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hakmelakukannya walaupun dia bukan aqid yang
memiliki barang.
4. Aqad tidak dilarang oleh syara’.
5. Aqad dapat memberikan faedah.
6. Ijab tersebut berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul.
7. Ijab dan qabul bersambung jika berpisah sebelum adanya qabul
maka batal.

2.3 Macam-macam Akad Perjanjian


Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat di bagi dan di lihat dari
beberapa segi. Jika di lihat dari ke absahannya menurut syara‟, akad di bagi menjadi dua,
yaitu sebagai berikut : (Nasrun, 2007, hal 108)
a. Akad Shahih
Akad shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya.Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang di
timbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafiyah
membagi akad shahih menjadi dua macam, yaitu:
1) Akad nafiz (sempurna untuk di laksanakan), adalah akad yang di langsungkan
dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk
melaksanakannya.
2) Akad mawquf, adalah akad yang di lakukan seseorang yang cakap

9
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang di langsungkan oleh anak kecil
yang mumayyiz.
b. Akad tidak shahih
Akad yang tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syaratsyaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak
mengikat pihak-pihak yang berakad. Akad yang tidak shahih di bagi oleh ulama
Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
1) Akad Bathil Akad bathil adalah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya
atau ada larangan langsung dari syara‟.Misalnya, objek jual beli itu tidak
jelas.Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah
satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
2) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya di syariatkan, akan tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang
tidak di tunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan di jual, atau tidak di
sebut brand kendaraan yang di jual, sehingga menimbulkan perselisihan antara
penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa akad bathil dan akad fasid
mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan
hukum apapun

2.4 Unsur-unsur dan objek Akad dalam Perjanjian


Definisi Akad menurut jumhur ulama bahwa akad adalah suatu perikatan antara
ijab dan qobul dengan cara yang di benarkan syar'i yang menetapkan adanya akibat-akibat
hukum pada obyeknya dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu
sebagai berikut:

1
0
1. Pertalian ijab dan qabul
a. Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib)
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
b. Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui
kehendak mujib tersebut olehpihak lainnya (qobil). Ijab dan Qobul ini
harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan (akad).
2. Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari'ah atau hal-hal
yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur'an dan Nabi Muhammad SAW dalam
Al Hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad,maupun obyek akad tidak boleh
bertentangan dengan syari'ah. Jika bertentangan,akan mengakibatkan akad itu
tidak sah. Sebagai contoh

suatu perikatan (akad) yang mengandung riba atau obyek perikatan yang
tidak halal (seperti minuman keras) mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan
menurut Hukum Islam. (Basyir:2010, hal 77-72
a. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad
menimbulkan akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para
pihakdan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para
pihak.
Mahalllul 'aqdi adalah benda yang berlaku padanya hukum akad, atau disebut juga
sebagian sesuatu yang menjadi objek perikatan dalam istilah Hukum Perdata. Misalnya
benda - benda yang dijual dalam akad jual beli (al buyu'/bai') atau hutang yang dijamin
seseorang dalam akad. Dalam hal ini hanya benda -benda yang halal dan bersih (dari najis
dan maksiat) yang boleh menjadi objek perikatan. Sehingga menurut fikih jual beli buku-
buku ilmu sihir, anjing , babi dan macan bahkan alat - alat musik (alat

1
malahy) adalah tidak sah. Adapun syarat - syarat objek akad,yaitu :

1. Halal menurut syara'


2. Bermanfaat ( bukan merusak atau digunakan untuk merusak)
3. Dimiliki sendiri atau atas kuasa si pemilik
4. Dapat diserah terimakan ( berada dalam kekuasaan )
5. Dengan harga jelas (Gemala,2007,hl 17)

1
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan antara
ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Kedua,
akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah
pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu
pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga,
tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.
Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang
dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui
perbuatan akad.
 Akad memiliki tiga rukun:‘aqid, mauqud aialih (objek yang
akan diakadkan), sighat (pernyataan yang dilakukan)

 Macam-macam Akad
Perjanjian Akad
Shahih
Akad nafiz (sempurna untuk di laksanakan) dan Akad mawquf
Akad tidak shahih
Akad Bathil Akad bathil dan Akad fasid

 Tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:


o Pertalian ijab dan qabul
o Dibenarkan oleh syara’
o Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya

3.2 Saran
Dari uraian pembahasan di atas penulis menyarankan kepada
pembaca sekalian agar manfaat dari pembahasan mengenai
anggaran dapat memberikan wawasan positif. Dimana sisi positif
dari uraian tersebut bisa dijadikan sebagai bahan untuk menambah
pengetahuan tentang anggaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdoerraoef, Al- Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study,


(Djakarta:Bulan Bintang,1970), hal. 122-123.

Adiwarman A. Karim, Bank Islam – Analisis Fiqih dan Keuangan,


(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 65
Muhammad Firdaus NH., dkk., Cara mudah memahami akad-akad Syari‟ah,
(Jakarta:Renaisan, 2005), hal. 158.
M. Hasby Ash- Shiddieqy, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
(Jakarta:Rajawali Press,2002), Cet. I, hal. 12
Nasrun Haroen, fiqih muamalah, (Jakarta: gaya media pratama, 2007)
h. 108

Anda mungkin juga menyukai