SYARIAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian
Syariah
Dosen Pengampu :
Mugni Muhit., S.Ag., M.Ag.
NIDN: 2114097901
Disusun oleh :
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya. Sholawat sert salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada junjungan kita yakni Nabi besar Muhammad Saw. Karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya alhamdulillah kami bias menyelesaikan makalah
yang berjudul “hakikat akad ahdu dan wadu dalam perjanjian syariah“ ini tepat
waktu. Adapun tujuan dari penyusunan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah bapak Mugni Muhit., S.Ag., M.Ag.sebagai dosen mata kuliah
Hukum Perjanjian Syariah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca juga bagi para penyusun. Kami menyadari, makalah
yang telah di susun ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang telah membangun kami nantikan demi kesempurnaan makalah.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................12
3.2 Saran..................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian akad ahdu dan wadu
2. Untuk memahami rukun akad perjanjian
3. Untuk memahami macam-macam akad perjanjian
4. Untuk mengetahui unsur-unsur dan objek akad perjanjian
1.4 Metode Penulisan
2
BAB II
3
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan
bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum
sesuai dengan yang Dia kehendaki”(Q.S AL-MAIDAH 1).
Menurut Fathurrahman Djamil istilah al- „aqdu ini dapat disamakan dengan istilah
verbentanis dalam KUH Perdata.(Faturrahman Djamil:2001, hal 247-248) Sedangkan
istilah al-„ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu
pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain. Istilah ini terdapat dalam Al- Qur‟an bahwa sebenarnya
siapa yang menepati janjinya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaqwa.
1. Tahap Pertama
Al-‘ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan tidak
untuk melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain.
Syarat sahnya suatu al-ahdu (perjanjian) adalah: tidak menyalahi hokum syari’ah yang
disepakati adanya. Maksudnya adalah perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan
hukum syari’ah sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah
adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain
apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah, maka
perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum. Syarat selanjutnya, ‘aqad
yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah
4
pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isinya ‘aqad tersebut, atau dengan
perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Syarat yang
terakhir sahnya perjanjian, apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang
apa yang menjadi isi ‘aqad, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalah pahaman di
antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.(Chairuman
Pasaribu:2004, hal 2-4)
2. Tahap Kedua
Persetujuan pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Perjanjian
tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Tahap Ketiga
Terjadinya suatu perikatan Islam (al-‘aqdu) ini tidak terlalu jauh berbeda dengan
terjadinya perikatan yang didasarkan dengan buku III KHUPerdata, yang mana definisi
hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain
berhak atas sesuatu. Perbedaan antara perikatan Islam (‘aqad) dengan perikatan
KUHPerdata adalah dalam tahapan perjanjiannya di mana dalam hukum perikatan Islam
(‘aqad) janji pihak pertama dan pihak kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam
KUHPerdata hanya satu tahap setelah ada perjanjian maka timbul perikatan
Akad menurut para ahli Hukum Islam didefinikan sebagai pertalian antara ijab dan
kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Sementara itu menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-„aqdu)
melalui tiga tahap, yaitu: (Abduuraoef, 1970, hal 122-123)
1. Al- ‘Ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji
ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut seperti
5
yang difirmankan oleh Allah dalam surat Ali Imran ayat 76.
2. Persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak
pertama. Persejutuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan „aqdu‟ oleh Al- Qur‟an yang terdapat dalam surat Al-
Maidah ayat 1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau „ahdu‟ itu, tetapi „aqdu‟. Sebagai contoh, jika A
menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil kemudian B menyatakan janji untuk
menjual sebuah mobil, maka A dan B berada pada tahap „ahdu‟. Apabila merek mobil
dan harga mobil disepakati oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji
tersebut dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh
A, maka terjadi perikatan atau „aqdu‟ di antara keduanya.
Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa “Akad
adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”.
Dari definisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan
keterkaitan atau pertemuan antara ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab
yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak
pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas
lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh
para pihak melalui perbuatan akad.
Tujuan akad untuk akad bernama sudah ditentukan secara umum oleh Pembuat
Hukum Syariah, sementara tujuan akad untuk akad tidak bernama ditentukan oleh para
pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup akad.
7
2.2 Rukun Perjanjian/Perikatan
Dalam melaksanakan suatu akad, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Hal tersebut karena keduanya sama-sama menetukan sah atau tidaknya sebuah akad
Secara bahasa, rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Rukun
dalam definisi ulama Ushul dari kalangan Hanafiyah adalah sesuatu yang adanya sesuatu
yang lain bergantung kepadanya dan ia merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut.
Jadi, rukun ialah unsur-unsur yang membentuk sesuatu. Rukun juga merupakan bagian
tak terpisahkan dari suatu perbuatan yang menentukan ada tidaknya sesuatu itu dan sah
tidaknya perbuatan tersebut. Rukun mengenai perikatan atau akad dalam hukum Islam
beraneka ragam di kalangan ahli fiqih. Di kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa
rukun akad hanyalah sighat al-‘aqd yaitu ijab dan qabul. Sedangkan kalangan selain
1. ‘aqid
2. Mauqud aialih (objek yang akan diakadkan)
3. Sighat (pernyataan yang dilakukan)
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dalam Buku II tentang akad Bab III,
bagian pertama Pasal 22 juga menyebutkan rukun akad yaitu sebagai berikut: a) Pihak-
pihak yang berakad; b) Obyek akad; c) Tujuan akad; d) Kesepakatan.
Setiap pembentuk aqad atau akad syarat yang ditentukan syara’ yang wajib
8
disempurnakan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam aqad
yaitu:
9
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang di langsungkan oleh anak kecil
yang mumayyiz.
b. Akad tidak shahih
Akad yang tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syaratsyaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak
mengikat pihak-pihak yang berakad. Akad yang tidak shahih di bagi oleh ulama
Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
1) Akad Bathil Akad bathil adalah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya
atau ada larangan langsung dari syara‟.Misalnya, objek jual beli itu tidak
jelas.Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah
satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
2) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya di syariatkan, akan tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang
tidak di tunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan di jual, atau tidak di
sebut brand kendaraan yang di jual, sehingga menimbulkan perselisihan antara
penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa akad bathil dan akad fasid
mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan
hukum apapun
1
0
1. Pertalian ijab dan qabul
a. Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib)
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
b. Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui
kehendak mujib tersebut olehpihak lainnya (qobil). Ijab dan Qobul ini
harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan (akad).
2. Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari'ah atau hal-hal
yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur'an dan Nabi Muhammad SAW dalam
Al Hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad,maupun obyek akad tidak boleh
bertentangan dengan syari'ah. Jika bertentangan,akan mengakibatkan akad itu
tidak sah. Sebagai contoh
suatu perikatan (akad) yang mengandung riba atau obyek perikatan yang
tidak halal (seperti minuman keras) mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan
menurut Hukum Islam. (Basyir:2010, hal 77-72
a. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad
menimbulkan akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para
pihakdan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para
pihak.
Mahalllul 'aqdi adalah benda yang berlaku padanya hukum akad, atau disebut juga
sebagian sesuatu yang menjadi objek perikatan dalam istilah Hukum Perdata. Misalnya
benda - benda yang dijual dalam akad jual beli (al buyu'/bai') atau hutang yang dijamin
seseorang dalam akad. Dalam hal ini hanya benda -benda yang halal dan bersih (dari najis
dan maksiat) yang boleh menjadi objek perikatan. Sehingga menurut fikih jual beli buku-
buku ilmu sihir, anjing , babi dan macan bahkan alat - alat musik (alat
1
malahy) adalah tidak sah. Adapun syarat - syarat objek akad,yaitu :
1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan antara
ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Kedua,
akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah
pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu
pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga,
tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.
Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang
dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui
perbuatan akad.
Akad memiliki tiga rukun:‘aqid, mauqud aialih (objek yang
akan diakadkan), sighat (pernyataan yang dilakukan)
Macam-macam Akad
Perjanjian Akad
Shahih
Akad nafiz (sempurna untuk di laksanakan) dan Akad mawquf
Akad tidak shahih
Akad Bathil Akad bathil dan Akad fasid
3.2 Saran
Dari uraian pembahasan di atas penulis menyarankan kepada
pembaca sekalian agar manfaat dari pembahasan mengenai
anggaran dapat memberikan wawasan positif. Dimana sisi positif
dari uraian tersebut bisa dijadikan sebagai bahan untuk menambah
pengetahuan tentang anggaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA