Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUKUM KONTRAK SYARI’AH

Makalah Ini Dibuat Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Dosen Pengajar:Lahmudinnur, SHI.,MH.

Mata Kuliah : Hukum Ekonomi Syari’ah

Di susun oleh : Kelompok 2


Nensi Sriwahyuni 2021110856
Siti Noorhidayah 2021110862

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN

TAHUN 2023 M / 1444 H


KATA PENGANTAR

Assalamu’Alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana
berkat rahmat, taufiq, serta hidayah-nya kita masih diberi nikmat sehat dan nikmat
iman serta nikmat yang besar lainnya oleh Allah SWT. Shalawat beserta salam
selalu kita haturkan kepada junjungan kita yang mulia Nabi besar, Nabi akhir
zaman, Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau yang telah menuntun kita ke
jalan yang benar.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah “Hukum Ekonomi Syari’ah”. Makalah ini kami susun untuk
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang hukum kontrak syariah.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari


kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif dari para pihak
sangat diharapkan demi sempurnanya tulisan ini. Akhirnya penulis berharap,
semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis.

Terima Kasih

Wassalamu Alalikum Wr. Wb.

HSS, Senin 19 Maret 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Pengertian Kontrak ................................................................................... 3
B. Asas Perjanjian (Kontrak) Dalam Hukum Islam ...................................... 5
C. Rukun Akad dan Syarat-Syarat Akad....................................................... 9
D. Berakhirnya akad .................................................................................... 13
BAB III ................................................................................................................. 14
PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ............................................................................................. 14
B. Saran ....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan kita bermasyarakat. Akad merupakan “dasar dari sekian


banyak aktifitas keseharian kita.” Melalui akad seseorang lelaki disatukan dengan
seorang wanita dalam suatu kehidupan bersama, dan melalui akad juga berbagai
kegiatan bisnis dan usaha kita dapat dijalankan. Akad menfasilitasi setiap orang
dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya
sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenannya dapat dibenarkan bila
dikatakan bahwa akad (perjanjian) merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh
peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.

Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat) yang memusatkan


perhatiannya pada pemenuhan kewajiban antar individu yang tertuang dalam
lembaran-lembaran klausula kontrak. Disebut sebagai bagian dari hukum perdata
karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak,
murni menjadi urusan para pihak yang terikat dalam kontrak atau para pihak yang
namanya disebut dalam kontrak tersebut. Disamping itu hukum kontrak senantiasa
berkembang mengikuti perkembangan waktu, meningkatnya kebutuhan berbagai
macam pihak di berbagai bidang bisnis apapun dan arus globalisasi dewasa ini.

Untuk mengahindari adanya kekeliruan dalam berkontrak maka perlu juga


di pahami bagaimana hukum Kontrak menurut Syariah, agar setaip akad atau
kontrak yang di lakukan bisa menjadi pahala, kebaikan dan menguntungkan bagi
dirinya maupun dan bagi orang-orang yang ber kotrak.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di jelaskan di atas maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:

1. Apa pengertian Hukum Kontrak Syari’ah ?


2. Apa saja asas perjanjian Hukum Kontrak Syari’ah ?
3. Apa saja rukun dan syarat dalam Hukum Kontrak Syari’ah ?
4. Kapan berakhirnya akad kontrak ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa pengertian hukum kontrak Syariah


2. Untuk mengetahui asas perjanjian hukum ekonomi Syariah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat hukum kontrak Syariah
4. Untuk mengetahu kapan berakhirnya akad kontrak

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kontrak

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum


Islam. Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung
atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa
definisi yang diberikan kepada akad (perjanjian):

1. Menurut Pasal 262 Mursyid al-Hairan, akad merupakan, “pertemuan


ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak yang
lain yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.”
2. Menurut Prof. Syamsul Anwar, akad adalah “pertemuan ijab dan kabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan
suatu akibat hukum pada objeknya.”1

Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissyi) maupun tidak nampak (ma’nawy).
2
Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau
kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu
kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua
pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya.

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract


of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.
Michael D. Bayles mengartikan contract of law atau hukum kontrak adalah “Might

1
Miftahus Salam, Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Syari’ah, Asy-Syari’ah,
(Volume III, Nomer II, Juni 2017). hlm, 2-3

2 Muhammad Ardi, Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum Kontrak Syariah dalam

Penerapan Salam dan Istisna,( Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016).
hlm, 267

3
then be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement”
yaitu sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau
persetujuan. Lebih lengkap lagi Salim.H.S mengartikan hukum kontrak sebagai
“keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah
perjanjian. Kontrak dengan perjanjian merupakan istilah yang sama karena intinya
adalah adanya peristiwa para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan dan berkewajiaban untuk menaati dan melaksanakanya sehingga
perjanjian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat
kontrak tersebut dan karena itulah kontrak yang dibuat dipandang sebagai sumber
hukum yang formal.3 Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para
pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Menurut Subekti,
perjanjian adalah peristiwa ketika seseorang atau lebih berjanji melaksanakan
perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Hukum kontrak Indonesia masih menggunakan peraturan Pemerintah


Hindia Belanda yang terdapat dalam Buku Ketiga KUH Perdata. Kontrak dalam
bahasa Belanda disebut overeenkomst yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
adalah perjanjian. KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian dalam Pasal 1313
KUH Perdata yang berbunyi:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang atau lebih”. 4

Hukum kontrak Islam merupakan bentuk tertulis dari ketentuan-ketentuan


hukum Islam dibidang perikatan. Ketentuan-ketentuan ini diatur dalam hukum

3
Ibid. hlm, 266-267
4 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis, (Semarang: UNDIP PRESS, 2017). hlm. 6.

4
perikatan Islam yang mengatur prilaku manusia dalam menjalankan hubungan
ekonomi, perdagangan maupun perbankan.

Adapun yang dimaksud dengan hukum Kontrak Syari’ah adalah


keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum di bidang
mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara
tertulis berdasarkan hukum Islam.

B. Asas Perjanjian (Kontrak) Dalam Hukum Islam

Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi.
Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah
prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak
dan sebagainya.5 Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan
dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Dari
definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah
adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum
Kontrak Syari’ah.

Adapun asas-asas perjanjian tersebut adalah, sebagai berikut

1. Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah)


Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muammalat
secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu
itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan
kebalikan dari asas yang berlaku bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah

5 RAMZIATI, SULAIMAN dan JUMADIAH, KONTRAK BISNIS: Dalam Dinamika


Teoritis Dan Praktis, (Sulawesi: Unimal Press, 2019). hlm. 17.

5
bentuk-bentuk yang disebutkan dalil-dalil syariah, orang tidak dapat membuat
bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi Saw. Bentuk-bentuk
ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi Saw. Itu disebut bid’ah dan
tidak sah hukumnya. 6

Dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa


segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atau tindakan
itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khusus perjanjian, maka ini berarti
bahwa tindakan hukum dan perjanjian apapun dapat dibuat sejauh tidak ada
larangan khusus mengenai perjanjian.

2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at- Ta’aqud)

Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang
menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat
kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang Syariah dan
memasukkan klausal apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil.
Namun demikian, di lingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan
pendapat mengenai luas dan sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas al-Quran dan
Sunnah Nabi Saw. serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan bahwa hukum
Islam menganut kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan
konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah
dalam muamalat.7

3. Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian


cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya
formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-
perjanjian itu bersifat konsensual. 8

6 Miftahus Salam, op cit, hlm. 5


7 Muhammad Ardi, op cit, hlm. 268
8 Miftahus Salam, op cit, hlm. 8

6
Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari
dalil-dali hukum berikut :

Firman Allah, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu makan harta


sesamamu dengan jalan batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu sungguh, Allah maha penyayang kepadamu”. (QS. 4: 29).

4. Asas Janji itu Mengikat

Dalam al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji.
Dalam kaidah usul fikih, “ Perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini
berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis
dimaksud adalah.

Firman Allah, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan
pertanggungjawabannya” (QS. 17:34). 9

5. Asas Keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al- Mu’ awdhah)

Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak


dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menerapkan
keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transaksi (antara
apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu
akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas
keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi
riba, dimana dalam konsep riba itu hanya debitur yang memikul segala risiko atas
kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan harus mendapat
prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif. 10

6. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)

Asas kemaslahatan ini dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para
pihak bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak menimbulkan

9 Miftahus Salam, op cit, hlm. 9.


10 Miftahus Salam, op cit, hlm. 10.

7
kerugian (mudharat) atau memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan
akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta
membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan dan memberatkan, maka
kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal. 11

7. Asas Amanah

Dengan asas amanah dimaksudkan masing-masing pihak haruslah beritikad baik


dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak
mengeksploitasi ketidak tahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak
sekali obyek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang
spesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain
yang menjadi mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena
itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya. Profesi kedoteran,
terutama dokter spesialis, misalnya hanya diketahui dan dikuasai oleh para dokter
saja. Masyarakat umum tidak mengetahui seluk beluk profesi tersebut. Oleh karena
itu, ketika seorang pasien sebagai salah satu pihak transaksi, akan diterapkan suatu
metode pengobatan dan penanganan penyakitnya, sang pasien sangat tergantung
kepada informasi dokter untuk menganbil keputusan menjalani metode tersebut.
Begitu pula terdapat barang-barang canggih, tetapi juga mungkin menimbulkan
risiko berbahaya bila salah penggunaanya, dalam hal ini, pihak yang bertransaksi
dengan objek barang tersebut sangat bergantung kepada informasi yang
menawarkan barang tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan ini dalam hukum
perjanjian Islam dituntut adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya
untuk member informasi yang sejujurnya kepada pihak lain yang tidak banyak
mengetahuinya.

8. Asas Keadilan
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang

artinya "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa

11 Muhammad Ardi, op cit, hlm. 269-270

8
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan

Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan". Selain itu

disebutkan pula dalam QS.A1 Araf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh

supaya berlaku adil". Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut

untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi

perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. 12

9. Asas Tertulis (Al Kitabah)

Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan


sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.al-
Bagarah (2); 282-283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada
manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan
diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi
saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak
secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.13

C. Rukun Akad dan Syarat-Syarat Akad

Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat.
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut, dengan
demikian rukun merupakan pondasi dalam setiap akad. Sedangkan syarat yaitu hal-
hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu
perbuatan hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan atau peristiwa hukum
tersebut dapat dibatalkan.

12Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, KONTRAK BISNIS: Dalam Dinamika Teoritis Dan
Praktis. hlm. 19.
13 Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, Kontrak Bisnis, hlm, 20.

9
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu
itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya.
Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang
membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang
membentuk akad itu ada empat, yaitu:
1. Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan).
2. Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-‘aqd).
3. Objek akad (mahallul-‘aqd) .
4. Tujuan akad (maudhu’al-‘aqd).14

Terbentuknya suatu akad (perjanjian) yang sah dan mengikat dalam


hukum Islam harus memenuhi rukun dan syarat akad. Syarat akad
dibedakan menjadi 4 (empat) macam, sebagai berikut:

Syarat terbentuk akad (syuruth al-in’iqad) Masing-masing rukun


(unsur) yang membentuk akad diatas memerlukan syarat-syarat (syuruthal-
in’iqad) agar unsur itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya
syarat, rukun akad tidak dapat membentuk akad.

1) rukun pertama yaitu para pihak yang berakad harus memenuhi


syarat yaitu tamyiz, cakap hukum dan terbilang (peroarangan,
berkelompok, persekutuan atau badan hukum).
2) rukun kedua yaitu pernyataan kehendak dan harus memenuhi
dua syarat, yaitu adanya persesuaian ijab dan kabul (tercapainya
kata sepakat) dan kesatuan majelis akad.
3) rukun ketiga yaitu objek akad yang harus memenuhi syarat, yaitu
objeknya dapat diserahkan, dibenarkan oleh syara’ dan tertentu
atau dapat ditentukan. (berbentuk harta, dimiliki seseorang dan
bernilai harta menurut syara’).
4) Rukun keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak
bertentangan dengan syara’.

14 Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, Kontrak Bisnis. hlm. 27.

10
Adapun syarat sahnya kontrak sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320
KUH Perdata dapat dikemukakan sebagai berikut: 15

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


Sepakat di sini merupakan kedua subyek atau lebih yang mengadakan
kontrak harus sepakat, setuju dan seia sekata mengenai hal-hal yang pokok
dari kontrak yang diadakan itu apa yang dikehendaki pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan adalah persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
Sesuai dalam hal ini adalah pernyataanya, karena kehendak itu tidak dapat
dilihat atau diketahui orang lain. Tujuan pembuatan perjanjian secara
tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan
sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa dikemudian hari.
16

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.


Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-
undang. Dapat dikatakan bahwa kecakapan bertindak merupakan kecakapan
atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum
adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang
akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana
yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dalam hal ini adalah orang
yang sudah dewasa.17

15 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika

Bisnis. hlm. 16
16
Ibid. hlm. 16
17 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika

Bisnis, hlm. 17.

11
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata. Pengertian
tertentu di sini mengandung suatu pengertian paling sedikit ditentukan jenis
dari benda itu, sedangkan jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja
kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal
1333 KUH Perdata, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Pasal
1333 KUH Perdata mempertegas bahwa dalam suatu kontrak harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Selanjutnya Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata menetapkan bahwa
diperbolehkan mengadakan kontrak dengan jumlah barang belum
ditentukan atau dihitung (jo Pasal 1334 KUH Perdata). Pasal 1333 ayat (2)
KUH Perdata tersebut menetapkan bahwa diperbolehkan mengadakan
perjanjian jumlah barang belum ditentukan, asal saja jumlah itu kemudian
dapat ditentukan atau dihitung.18
4. Suatu causa yang halal.
Pengertian ”causa yang halal” disebutkan secara contrario dalam Pasal
1337 KUH Perdata yaitu sebagai berikut: ”Suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Keempat syarat sahnya kontrak
menurut KUH Perdata di atas harus dipenuhi di dalam membuat suatu
kontrak. Dua syarat yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan
diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut 21 sebagai syarat
subyektif sedangkan mengenai hal tertentu dan sebab yang halal disebut
sebagai syarat obyektif. Sebab atau causa yang halal dari suatu perjanjian
adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Pengertian sebab yang halal dapat
diketahui dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu sebab yang tidak halal
adalah apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata,

18 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis, hlm. 19

12
perjanjian tanpa sebab yang halal atau telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu tidak mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum.19

D. Berakhirnya akad

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika memenuhi tiga hal
berikut:

1. Berakhirnya masa berlaku akad

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak, biasanya telah ditentukankan


perjanjian tersebut akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu akan
secara otomatis perjanjian akan berakhir kecuali ditentukan lain oleh para
pihak.

2. Dibatalkan oleh para pihak yang berakad

Akad yang telah dibuat oleh para pihak yang bertransaksi juga dapat
berakhir apabila salah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian, atau salah
satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur
kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan dapat menyangkut obyek perjanjian
(errorin objecto), maupun mengenai orangnya (error in persona).

3. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia

Ketentuan ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang


membutuhkan adanya kompetensi khas, sedangkan jika perjanjian dibuat
dalam hal memberikan sesuatu, seperti uang atau barang, maka perjanjian
tetap berlaku bagi ahli warisnya sehingga akad tidak akan berakhir. Salah
satu contoh dalam hal ini yaitu ketika orang yang membuat perjanjian
pinjam meminjam uang kemudian meninggal, maka kewajiban untuk
mengembalikan hutang menjadi kewajiban ahli waris dari pihak yang
berhutang.20

19 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis, hlm.20-21
20 Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, Kontrak Bisnis. hlm. 30

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum


Islam. Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung
atau menghubungkan (ar-rabt). Sebagai suatu istilah hukum Islam. Hukum kontrak
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht. Michael D. Bayles
mengartikan contract of law atau hukum kontrak adalah “Might then be taken to be
the law pertaining to enporcement of promise or agreement” yaitu sebagai aturan
hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan. Lebih
lengkap lagi Salim.H.S mengartikan hukum kontrak sebagai “keseluruhan dari
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi.
Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat. Asas-asas dalam hukum kontrak syari’ah adalah: 1). Asas Ibahah
(Mabda’ al-Ibahah), 2). Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at- Ta’aqud),
3). Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah), 4). Asas janji itu mengikat, 5).
Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah), 6). Asas Kemaslahatan (Tidak
Memberatkan), 7). Asas Amanah, 8). Asas keadilan, 9). Asas Tertulis (Al Kitabah).

Rukun dan syarat akad adalah:

1. rukun pertama yaitu para pihak yang berakad harus memenuhi syarat yaitu
tamyiz, cakap hukum dan terbilang (peroarangan, berkelompok, persekutuan
atau badan hukum).
2. rukun kedua yaitu pernyataan kehendak dan harus memenuhi dua syarat, yaitu
adanya persesuaian ijab dan kabul (tercapainya kata sepakat) dan kesatuan
majelis akad.

14
3. rukun ketiga yaitu objek akad yang harus memenuhi syarat, yaitu objeknya
dapat diserahkan, dibenarkan oleh syara’ dan tertentu atau dapat ditentukan.
(berbentuk harta, dimiliki seseorang dan bernilai harta menurut syara’).
4. Rukun keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan
syara’.

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika memenuhi tiga hal
berikut:

1. Berakhirnya masa berlaku akad


2. Dibatalkan oleh para pihak yang berakad
3. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia

B. Saran

Kami sangat menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah ini sehingga kami
berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar kami
bisa lebih menyempurnakan tulisan ini agar menjadi lebih baik dan lebih
sempurna,sehingga tulisan kami bisa menjadi manfaat dan bisa menambah ilmu
bagi semua orang, baik bagi pembaca maupun penulis. Aamin Ya Rabbal
Alaminnn.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ardi Muhammad, Asas-Asas Perjanjian (Akad), Hukum Kontrak Syariah dalam


Penerapan Salam dan Istisna, Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor
2, Desember 2016.

Salam Miftahus, Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Syari’ah, Asy-


Syari’ah, Volume III, Nomer II, Juni 2017.

RAMZIATI, SULAIMAN dan JUMADIAH, KONTRAK BISNIS: Dalam


Dinamika Teoritis Dan Praktis, Sulawesi: Unimal Press, 2019.

Wiwoho Jamal dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan
Etika Bisnis, Semarang: UNDIP PRESS, 2017.

16

Anda mungkin juga menyukai