Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana
berkat rahmat, taufiq, serta hidayah-nya kita masih diberi nikmat sehat dan nikmat
iman serta nikmat yang besar lainnya oleh Allah SWT. Shalawat beserta salam
selalu kita haturkan kepada junjungan kita yang mulia Nabi besar, Nabi akhir
zaman, Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau yang telah menuntun kita ke
jalan yang benar.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah “Hukum Ekonomi Syari’ah”. Makalah ini kami susun untuk
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang hukum kontrak syariah.
Terima Kasih
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di jelaskan di atas maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kontrak
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissyi) maupun tidak nampak (ma’nawy).
2
Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau
kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu
kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua
pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya.
1
Miftahus Salam, Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Syari’ah, Asy-Syari’ah,
(Volume III, Nomer II, Juni 2017). hlm, 2-3
Penerapan Salam dan Istisna,( Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, Desember 2016).
hlm, 267
3
then be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement”
yaitu sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau
persetujuan. Lebih lengkap lagi Salim.H.S mengartikan hukum kontrak sebagai
“keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah
perjanjian. Kontrak dengan perjanjian merupakan istilah yang sama karena intinya
adalah adanya peristiwa para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan dan berkewajiaban untuk menaati dan melaksanakanya sehingga
perjanjian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat
kontrak tersebut dan karena itulah kontrak yang dibuat dipandang sebagai sumber
hukum yang formal.3 Perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para
pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu. Menurut Subekti,
perjanjian adalah peristiwa ketika seseorang atau lebih berjanji melaksanakan
perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang atau lebih”. 4
3
Ibid. hlm, 266-267
4 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis, (Semarang: UNDIP PRESS, 2017). hlm. 6.
4
perikatan Islam yang mengatur prilaku manusia dalam menjalankan hubungan
ekonomi, perdagangan maupun perbankan.
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi.
Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah
prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak
dan sebagainya.5 Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan
dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Dari
definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah
adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan
pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum
Kontrak Syari’ah.
5
bentuk-bentuk yang disebutkan dalil-dalil syariah, orang tidak dapat membuat
bentuk baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi Saw. Bentuk-bentuk
ibadah yang dibuat tanpa pernah diajarkan oleh Nabi Saw. Itu disebut bid’ah dan
tidak sah hukumnya. 6
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang
menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat
kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang Syariah dan
memasukkan klausal apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil.
Namun demikian, di lingkungan mazhab-mazhab yang berbeda terdapat perbedaan
pendapat mengenai luas dan sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas al-Quran dan
Sunnah Nabi Saw. serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan bahwa hukum
Islam menganut kebebasan berakad. Asas kebebasan berakad ini merupakan
konkretisasi lebih jauh dan spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah
dalam muamalat.7
6
Para ahli hukum Islam biasanya menyimpulkan asas konsensualisme dari
dalil-dali hukum berikut :
Dalam al-Quran dan Hadis terdapat banyak perintah agar memenuhi janji.
Dalam kaidah usul fikih, “ Perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini
berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Diantara ayat dan hadis
dimaksud adalah.
Firman Allah, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan
pertanggungjawabannya” (QS. 17:34). 9
Asas kemaslahatan ini dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para
pihak bertujuan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak menimbulkan
7
kerugian (mudharat) atau memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan
akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta
membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan dan memberatkan, maka
kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal. 11
7. Asas Amanah
8. Asas Keadilan
Dalam QS. Al-Hadid (57): 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang
8
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan
disebutkan pula dalam QS.A1 Araf (7): 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh
supaya berlaku adil". Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut
Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat.
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut, dengan
demikian rukun merupakan pondasi dalam setiap akad. Sedangkan syarat yaitu hal-
hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu
perbuatan hukum atau peristiwa hukum, namun perbuatan atau peristiwa hukum
tersebut dapat dibatalkan.
12Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, KONTRAK BISNIS: Dalam Dinamika Teoritis Dan
Praktis. hlm. 19.
13 Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, Kontrak Bisnis, hlm, 20.
9
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu
itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya.
Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang
membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang
membentuk akad itu ada empat, yaitu:
1. Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan).
2. Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-‘aqd).
3. Objek akad (mahallul-‘aqd) .
4. Tujuan akad (maudhu’al-‘aqd).14
10
Adapun syarat sahnya kontrak sebagaimana tertuang dalam Pasal 1320
KUH Perdata dapat dikemukakan sebagai berikut: 15
15 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis. hlm. 16
16
Ibid. hlm. 16
17 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
11
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata. Pengertian
tertentu di sini mengandung suatu pengertian paling sedikit ditentukan jenis
dari benda itu, sedangkan jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja
kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal
1333 KUH Perdata, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Pasal
1333 KUH Perdata mempertegas bahwa dalam suatu kontrak harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Selanjutnya Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata menetapkan bahwa
diperbolehkan mengadakan kontrak dengan jumlah barang belum
ditentukan atau dihitung (jo Pasal 1334 KUH Perdata). Pasal 1333 ayat (2)
KUH Perdata tersebut menetapkan bahwa diperbolehkan mengadakan
perjanjian jumlah barang belum ditentukan, asal saja jumlah itu kemudian
dapat ditentukan atau dihitung.18
4. Suatu causa yang halal.
Pengertian ”causa yang halal” disebutkan secara contrario dalam Pasal
1337 KUH Perdata yaitu sebagai berikut: ”Suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Keempat syarat sahnya kontrak
menurut KUH Perdata di atas harus dipenuhi di dalam membuat suatu
kontrak. Dua syarat yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan
diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut 21 sebagai syarat
subyektif sedangkan mengenai hal tertentu dan sebab yang halal disebut
sebagai syarat obyektif. Sebab atau causa yang halal dari suatu perjanjian
adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Pengertian sebab yang halal dapat
diketahui dalam Pasal 1337 KUH Perdata yaitu sebab yang tidak halal
adalah apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata,
18 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis, hlm. 19
12
perjanjian tanpa sebab yang halal atau telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu tidak mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum.19
D. Berakhirnya akad
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika memenuhi tiga hal
berikut:
Akad yang telah dibuat oleh para pihak yang bertransaksi juga dapat
berakhir apabila salah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian, atau salah
satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur
kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan dapat menyangkut obyek perjanjian
(errorin objecto), maupun mengenai orangnya (error in persona).
19 Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan Etika
Bisnis, hlm.20-21
20 Ramziati, Sulaiman dan Jumadia, Kontrak Bisnis. hlm. 30
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi.
Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat. Asas-asas dalam hukum kontrak syari’ah adalah: 1). Asas Ibahah
(Mabda’ al-Ibahah), 2). Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at- Ta’aqud),
3). Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah), 4). Asas janji itu mengikat, 5).
Asas Konsesualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah), 6). Asas Kemaslahatan (Tidak
Memberatkan), 7). Asas Amanah, 8). Asas keadilan, 9). Asas Tertulis (Al Kitabah).
1. rukun pertama yaitu para pihak yang berakad harus memenuhi syarat yaitu
tamyiz, cakap hukum dan terbilang (peroarangan, berkelompok, persekutuan
atau badan hukum).
2. rukun kedua yaitu pernyataan kehendak dan harus memenuhi dua syarat, yaitu
adanya persesuaian ijab dan kabul (tercapainya kata sepakat) dan kesatuan
majelis akad.
14
3. rukun ketiga yaitu objek akad yang harus memenuhi syarat, yaitu objeknya
dapat diserahkan, dibenarkan oleh syara’ dan tertentu atau dapat ditentukan.
(berbentuk harta, dimiliki seseorang dan bernilai harta menurut syara’).
4. Rukun keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan
syara’.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika memenuhi tiga hal
berikut:
B. Saran
Kami sangat menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah ini sehingga kami
berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar kami
bisa lebih menyempurnakan tulisan ini agar menjadi lebih baik dan lebih
sempurna,sehingga tulisan kami bisa menjadi manfaat dan bisa menambah ilmu
bagi semua orang, baik bagi pembaca maupun penulis. Aamin Ya Rabbal
Alaminnn.
15
DAFTAR PUSTAKA
Wiwoho Jamal dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah dan
Etika Bisnis, Semarang: UNDIP PRESS, 2017.
16