Anda di halaman 1dari 24

15

MAKALAH
HUKUM PERIKATAN / PERADILAN
KONTRAK

Dosen pengampu :
Dewi Ulfa Lailatul Fitria, MH

Disusun oleh :
Rr. Annisa Novia Kartika Sari
(2020114290819/32)

PRODI EKONOMI SYARIAH 6 (B)


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN
DIPONEGORO NGANJUK
2023
i

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puja dan puji syukur atas kehadirat Allah swt., yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah Hukum Perikatan yang membahas tentang subjek, objek, syarat sah, sumber-sumber
serta macam-macam kontrak.

Adapun makalah ini telah penyusun usahakan semaksimal mungkin dan tentunya
dengan bantuan berbagai pihak, untuk itu penyusun tidak lupa menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Untuk itu
penyusun sangat mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan di
masa-masa yang akan datang.

Akhir kata penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya sehingga dapat memberikan pengetahuan dan inspirasi terhadap pembaca.

Nganjuk, 27 April 2023

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................1
C. Tujuan ..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kontrak atau Perjanjian .........................................................................3
B. Subjek Perjanjian ........................................................................................................4
C. Objek Perjanjian .........................................................................................................5
D. Syarat Sah Perjanjian .................................................................................................6
E. Sumber-Sumber Kontrak..........................................................................................11
F. Macam-macam Perjanjian .......................................................................................12
G. Penyusunan, Struktur, Dan Anatomi Kontrak.......................................................15
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN...................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 18
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini perjanjian atau kontrak berkembang pesat sebagai konsekuensi dari
berkembangnya kerja sama atau bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama bisnis
dilakukan oleh pelaku bisnis dalam bentuk kontrak atau perjanjian tertulis. Bahkan dalam
praktek bisnis, telah berkembang pemahaman bahwa kerja sama bisnis harus diadakan
dalam bentuk tertulis. Perjanjian dalam bentuk tertulis merupakan dasar bagi para pelaku
bisnis untuk melakukan suatu penuntutan apabila terjadi wanprestasi.
Sebenarnya secara yuridis selain kontrak yang dibuat secara tertulis, para pelaku
bisnis dapat melakukan pembuatan kontrak secara lisan. Namun, kontrak yang dibuat
secara lisan mengandung risiko yang sangat tinggi karena akan mengalami kesulitan
dalam pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari.
Dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak, sangat diperlukan pemahaman akan
ketentuan-ketentuan hukum perikatan, selain itu juga diperlukan keahlian para pihak
dalam pembuatan kontrak agar terhindar dari sengketa yang sulit diselesaikan. Oleh
karena itu menjadi sangat penting mengetahui hal-hal mendasar terkait perjanjian atau
kontrak. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pengertian, subjek, objek, syarat
sah, sumber-sumber, macam-macam, penyusunan, struktur, dan anatomi yang terdapat
dalam kontrak.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan perikatan, perjanjian dan kontrak?
2. Apa yang dimaksud dengan subjek dalam kontrak?
3. Apa yang dimaksud dengan objek kontrak?
4. Apa saja syarat sahnya suatu kontrak?
5. Apa saja sumber-sumber kontrak?
6. Apa saja macam-macam kontrak?
7. Apa saja penyusunan, struktur, dan anatomi kontrak?
C. Tujuan
2

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan, perjanjian dan kontrak
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan subjek dalam kontrak.
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan objek kontrak.
4. Mengetahui hal-hal yang menjadi syarat sahnya suatu kontrak.
5. Mengetahui sumber-sumber kontrak.
6. Mengetahui macam-macam kontrak.
7. Mengetahui penyusunan, struktur, dan anatomi kontrak
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perikatan, Perjanjian Dan Kontrak


Ketika kita akan membuat kontrak sering kali kita dihadapkan pada istilah-istilah
membingungkan dan sering tertukar, yaitu antara kata perikatan, perjanjian, dan kontrak.
Ketiga istilah tersebut pengertiannya dijelaskan sebagai berikut.
Perikatan adalah sebuah hubungan hukum. Prof. Subekti menyebutnya
“perhubungan hukum”, yaitu hak si berpiutang terhadap kewajiban si berhutang dijamin
oleh hukum, dan apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela oleh si berhutang
maka si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.1 Perikatan di antara para pihak
ini dapat bersumber dari perjanjian maupun undang-undang. Hal ini terdapat di dalam
KUH Perdata Pasal 1233: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik
karena undang-undang.”
Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “suatu perbuatan yang mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”.
Perjanjian ini merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum
“perikatan” di antara para pihak sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan hukum
perikatan muncul karena adanya perbuatan hukum perjanjian. Ketika para pihak
menandatangani perjanjian, maka mereka sedang melakukan perbuatan hukum sehingga
setelah perjanjian itu ditandatangani maka para pihak terikat satu sama lain dalam suatu
hubungan hukum perikatan.
Pada kontrak, terdapat juga pengertian mengenai hukum kontrak. Hukum kontrak
merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu contract of law. Hukum kontrak itu
sendiri merupakan peraturan hukum dalam masyarakat atau serangkaian kaidah hukum
yang mengatur berbagai persetujuan sehingga menimbulkan hubungan hukum antara
para pihak didasari oleh kesepakatan sehingga timbulnya akibat hukum antara pembuat
kontrak tersebut.2 Perjanjian dan kontrak mengandung pengertian yang sama, yakni suatu
perbuatan hukum yang saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu hubungan hukum,
perikatan. Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktik, umumnya praktik bisnis.
1
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2005).

2
I Gst. Agung Rio Diputra, “Pelaksanaan Perancangan Kontrak dalam Pembuatan Struktur Kontrak Bisnis,”
Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 3 No. 3 (Bali: 2018), h.550
4

Kontrak bisnis biasanya dibuat secara tertulis sehingga kontrak dapat pula disebut
dengan ”perjanjian yang dibuat secara tertulis”. Singkatnya, kontrak adalah perjanjian
tertulis – hal ini mengingat bahwa perjanjian dapat dibuat baik secara lisan maupun
tulisan.3
Suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat memberikan kenyamanan dalam
menjalankan bisnis, karena di dalam kontrak telah tertulis secara jelas tentang hak dan
kewajiban para pihak, dengan demikian para pihak tidak dapat menghindar dari isi
kontrak yang telah ditandatanganinya. Jika di antara para pihak terdapat sengketa maka
kontrak tersebut dapat diajukan sebagai alat bukti.

B. Subjek Kontrak
Dalam kitab-kitab Fiqh ataupun ushul Fiqh istilah subyek hukum menggunakan istilah
mahkum alaih dan mukalaf. Mukalaf menurut istilah orang-orang muslim yang sudah
dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.
Menurut Prof. Dr. H Rachmat Syafi’i dalam bukunya mengatakan Mahkum Alaih adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum dan layaknya mendapatkan beban
hukum (taklif), baik yang berhubungan dengan perintah Allah atau larangan Allah.
Dalam pasal 2 ayat 1 KHES seseorang dipandang memiliki kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum dalam hal telah mencapai umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun
atau pernah menikah. 4
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja uang
dikehendaki sepanjang orang tersebut sudah dewasa, berakal dan mencapai setidaknya
berumur 18 tahun atau pernah menikah.
Pihak-pihak dalam kontrak ini dapat berupa orang perorangan atau badan usaha
yang bukan badan hukum atau badan hukum.
Dalam melakukan kontrak, pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut dapat
bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri, namun dapat pula bertindak atas
nama sendiri, namun untuk kepentingan dan atas nama orang lain.

3
Dadang Sukandar, Membuat Surat Perjanjian, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2011), hlm.6.

4
Nurhaeti, “Konsep Ilzam Dan Iltizam, Subyek Hukum, Forcemajeure, Majhur, Dan Wanprestasi, “Jurnal Ilmu
Akuntansi dan Bisnis Syariah, Vol. I No.01 (Bandung: 2019), h. 87
5

Apabila pihak yang berkontrak adalah badan usaha yang bukan merupakan badan
hukum, maka yang mewakili badan usaha tersebut tergantung dari bentuk badan
usahanya. Kalau yang merupakan pihak adalah persekutuan firma (Fa), secara hukum
setiap anggota sekutu berhak mewakili firma tersebut, kecuali kalau para sekutu itu
sendiri menentukan lain, sedangkan dalam persekutuan komanditer (CV) yang berhak
mewakili persekutuan tersebut dalam membuat kontrak adalah para sekutu pengurusnya.
Apabila yang melakukan kontrak adalah badan hukum, yang mewakili adalah siapa
yang ditentukan dalam undang-undang untuk mewakili badan hukum tersebut atau siapa
yang ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.
Dalam melakukan kontrak seseorang dilarang untuk membebani kewajiban kepada
pihak ketiga dalam kontrak yang dibuatnya, namun tidak dilarang untuk memberikan hak
kepada pihak ketiga dalam kontrak tersebut. Pemberian hak untuk pihak ketiga inilah
yang sering disebut dengan janji untuk pihak ketiga.5

C. Objek Kontrak
Objek hukum adalah segala sesuatu yang menjadi objek dalam hubungan hukum dan
harus ditunaikan oleh subjek hukum yaitu berupa prestasi. Prestasi dalam hukum
perikatan adalah objek perikatan yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu”. 6
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu kontrak.
Prestasi pokok tersebut dapat berwujud:
1. Benda;
2. Tenaga atau keahlian;
3. Tidak berbuat sesuatu
Prestasi yang berupa benda harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda
tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut
berkewajiban merawat benda tersebut sebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau
yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”. Sebagai konsekuensi

5
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.7 –
8

6
Abdul Hakim Siagian, Hukum Perjanjian, (Medan: Penerbit UMSU Press, 2014), hlm.7
6

dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi,
apabila kalau ia lalai menyerahkannya.
Antara prestasi yang berupa tenaga dan yang berupa keahlian terdapat perbedaan
karena prestasi yang berupa tenaga dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang
melakukannya hasilnya akan sama sedangkan prestasi yang berupa keahlian
pemenuhannya tidak dapat diganti orang lain karena hasilnya pasti akan berbeda.
Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak atau
para pihak karena dia tidak diperbolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang
diperjanjikan.
Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak,
prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau
undang-undang.
Oleh karena itu, prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak telah ditentukan
dalam perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan atau undang-undang, tidak
dilakukannya prestasi tersebut berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.
Apa yang merupakan prestasi dari para pihak pada umumnya dicantumkan dalam
kontrak yang dengan jelas menerangkan tentang apa yang harus dilakukan oleh para
pihak dalam memenuhi kontrak tersebut, namun kadang-kadang rumusan dalam suatu
kontrak tidak begitu jelas sehingga masih perlu penafsiran-penafsiran.7

D. Syarat Sah Kontrak


Suatu kontrak atau perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para
pihak yang membuatnya. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata (Suharnoko, 2008 : 1). Dalam Pasal 1320 tersebut menentukan empat syarat
sahnya perjanjian, yaitu :
a. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat
perjanjian (toestemming);
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid);
c. Mengenai suatu hal atau obyek tertentu (bepaalde onderwerp);
d. Adanya sebab (kausa) yang dibenarkan (georloofde oorzak).8
Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
7
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.68-
70
7

a. Syarat subjektif, yaitu suatu syarat yang menyangkut pada subjek subjek perjanjian
itu, yang meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan
pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif
dapat dibatalkan.
b. Syarat objektif, yaitu syarat yang menyangkut pada objek perjanjian. Ini meliputi
suatu hal tertentu dan suatu sebab sebab yang halal. Apabila syarat objektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 9
Keempatnya syarat tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a. Adanya kesepakatan
Kesepakatan atau konsensus diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Kesepakatan para pihak ini dapat terjadi
dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan
permintaan atas penawaran tersebut.
Cara-cara penawaran dan penerimaan penawaran harus dapat dipahami atau
dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan permintaan. Contoh
cara terjadinya kesepakatan atau terjadinya penawaran dan permintaan adalah:
1) Dengan cara tertulis;
2) Dengan cara lisan;
3) Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan
4) Dengan berdiam diri.
Berdasarkan berbagai cara terjadinya kesepakatan di atas, dapat disimpulkan
bahwa terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis.
Kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta di bawah tangan
maupun dengan akta autentik.
Di samping dengan akta otentik dan akta di bawah tangan, dapat pula terjadinya
suatu kesepakatan dengan perantara elektronik yang walaupun kesepakatan terjadi
secara tertulis (dapat dibaca), namun kedudukannya berbeda dengan kontrak

8
Novi Ratna Sari, “Komparasi Syarat Sah Nya Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dan
Hukum Islam” Jurnal Repertorium Volume IV No. 2, (Surakarta: 2017) h. 81

9
Dwi Ratna Indri Hapsari, “Kontrak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam”, jurnal
repetorium edisi I, (Surakarta: 2014) h. 85
8

berbentuk akta, karena tulisan tersebut tujuannya tidak dibuat untuk pembuktian di
kemudian hari, tetapi hanya merupakan sarana untuk menyampaikan isi penawaran
dan penerimaan antara para pihak.
Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi
dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai
suatu perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya.
Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering
terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, misalnya penjual
bakso, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka, penjual akan
mengantarkan satu mangkuk bakso.
Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal
perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil angkutan umum,
kita biasanya tanpa bertanya mau ke mana tujuan mobil tersebut dan berapa
biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai di tempat tujuan kita pun
turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita tidak pernah
mengucapkan sepatah kata pun kepada sopir mobil, namun pada dasarnya sudah
terjadi perjanjian pengangkutan.
Walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat
kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai mengalami kecacatan atau yang
biasa disebut dengan cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga
memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa
dirugikan.
Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapa terjadi karena terjadinya hal-hal
sebagai berikut:
1) Kekhilafan atau kesesatan (Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW)
Terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak
lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.
2) Paksaan (Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW)
Terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan
(dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan
9

fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada
kesepakatan.
3) Penipuan (Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW)
Terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain sehingga
pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.
4) Penyalahgunaan keadaan (perkembangan hukum kontrak)
Terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi
ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah
menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.10
Pitlo membagi kekhilafan atau kesesatan menjadi dua, yaitu kesesatan semu dan
kesesatan sesungguhnya. Kesesatan semu terjadi jika cetusan dari kehendak tidak
sesuai dengan kehendaknya, sedangkan kesesatan sesungguhnya terjadi jika cetusan
dari kehendak itu sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendak itu tidak ditentukan
secara murni.11
Paksaan juga merupakan alasan kedua yang dapat digunakan sebagai alasan untuk
meminta pembatalan perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Paksaan yang
dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian adalah ancaman psikologis yang
berupa ancaman tertentu yang melanggar hukum. Ancaman yang melanggar hukum
dapat terjadi dalam dua hal, yaitu sebagai berikut.
1) Sesuatu yang diancamkan itu sendiri memang sudah melanggar hukum,
misalnya pembunuhan dan penganiayaan.
2) Sesuatu yang diancamkan tidak melanggar hukum, namun ancaman itu
bertujuan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.12
Penipuan dapat menyebabkan seorang yang tertipu sesat tentang barang yang
menjadi objek perjanjian. Dapat dilihat dalam Pasal 1328 BW.
b. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
akibat hukum.13 Para pihak yang mengadakan kontrak harus cakap hukum dan
10
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.14
– 18
11
Pitlo, A, Tafsiran Singkat tentang Beberapa Hal dalam Hukum Perdata, Alih bahasa, M. Moerasad, (Jakarta,
Intermasa, 1979)
12
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.25
13
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.33
10

mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap


hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran dewasa adalah 21 tahun atau sudah
menikah sebelum umur 21 tahun. Dapat juga dikatakan bahwa seseorang dianggap
cakap hukum apabila:
1) Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;
2) Telah berusia 21 tahun namun gelap mata, sakit ingatan, atau dungu.
Dalam Pasal 1330 BW, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian
adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang;
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus poin ke-3, mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam
undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki
telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Sedangkan untuk orang-orang yang
dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak
tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat
perjanjian tertentu.
c. Hal tertentu
Objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian
dapat berupa barang atau jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal
tertentu ini disebut juga prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur
dan menjadi hak kreditur.
Dalam BW dan pada umumnya sarjana hukum berpendapat bahwa prestasi itu
dapat berupa:
 Menyerahkan atau memberikan sesuatu;
 Berbuat sesuatu; dan
 Tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan
berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur atau menakar. Sementara
11

itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah
satu pihak.
Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga
harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar
pembatas antara dua rumah yang bertetangga.”
d. Sebab yang halal
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian sebab yang halal. Di
dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan sebab yang terlarang. Suatu sebab
adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.

E. Sumber-sumber Kontrak
Sumber perikatan ada 2 (dua) yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian dan
perikatan yang lahir karena undang-undang. Hal ini diatur dalam KUH Perdata Pasal
1233.
Berdasarkan Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang lahir dari undang-undang
adalah perikatan yang bersumber dari undang-undang saja, dan perikatan yang
bersumber dari undang-undang karena perbuatan manusia.
Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dibagi menjadi 2
(dua) yaitu perikatan yang terbit dari perbuatan yang halal (rechtmatig) diatur dalam
Pasal 1357 KUH Perdata dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Pembentuk undang-undang menentukan figur dari perikatan yang lahir dari undang-
undang karena perbuatan manusia yang halal, antara lain perbuatan mewakili orang lain
(zaakwarneming), pembayaran hutang yang tidak diwajibkan (onverschuldigde petaling),
dan perikatan wajar (naturlijke verbintenis)
Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai perbuatan manusia yang melawan
hukum ditetapkan bukan saja karena salahnya orang melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang juga karena perbuatan dari orang tersebut
bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
Persyaratan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata adalah:
1) Harus terdapat perbuatan subjek hukum baik yang bersifat positif atau negatif;
12

2) Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum;


3) Harus ada kerugian;
4) Harus ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan ganti
kerugian;
5) Harus ada kesalahan.
Untuk perikatan yang lahir karena perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yaitu “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang yang lain atau lebih”.
Tindakan atau perbuatan yang menciptakan perjanjian berisi pernyataan kehendak
antara para pihak, akan tetapi meskipun Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa
perjanjian adalah tindakan atau perbuatan, tindakan yang dimaksud dalam hal ini adalah
tindakan atau perbuatan hukum, sebab tidak semua tindakan atau perbuatan mempunyai
akibat hukum.14
Apabila digambarkan sebagai berikut:

Sumber
Perikatan
(Pasal 1233)

Perjanjian Undang-undang
(Pasal 1313) (Pasal 1352)

Perbuatan Undang-undang
Manusia Saja
(Pasal 1353) (Pasal 1352)

Sesuai Hukum
Melawan Hukum
(Pasal 1354,
(Pasal 1365)
1359)

F. Macam-macam Kontrak
Macam-macam kontrak yaitu;
1. Kontrak Bersyarat

14
Abdul Hakim Siagian, Hukum Perjanjian, (Medan: Penerbit UMSU Press, 2014), hlm.8 – 10
13

Adalah kontak yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan
peristiwa tersebut belum tentu akan terjadi. Kontrak bersyarat ini dapat dibagi dua,
yaitu kontrak dengan syarat tangguh dan kontak dengan syarat batal.
Suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat tangguh jika untuk lahirnya
kontrak tersebut digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yang akan datang dan
belum tentu akan terjadi sedangkan suatu kontrak disebut kontrak dengan syarat
batal jika untuk batalnya atau berakhirnya kontrak tersebut digantungkan pada suatu
peristiwa yang akan datang dan belum tentu akan terjadi.
Kalau barang yang dibeli tersebut berfungsi sebagaimana mestinya, jual beli
tersebut terjadi, sebaliknya kalau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jual beli
tersebut tidak terjadi.
Walaupun dimungkinkan untuk membuat suatu kontrak yang lahirnya atau
batalnya digantungkan pada suatu peristiwa tertentu, namun kalau peristiwa yang
dimaksud adalah suatu peristiwa yang tidak mungkin terjadi atau terlaksana atau
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan, atau semata-mata
digantungkan pada kehendak pihak yang terikat, hal tersebut adalah batal dan
kontrak tersebut tidak berkekuatan hukum, sebaliknya kalau syarat yang dimaksud
untuk tidak melaksanakan sesuatu yang tidak mungkin terlaksana, kontrak tersebut
tetap mengikat.
2. Kontrak dengan Ketetapan Waktu
Kontrak ini menangguhkan pelaksanaan kontrak. Sebagai contoh, bahwa dalam
suatu kontrak para pihak menetapkan suatu waktu untuk melakukan pembayaran. Ini
berarti kontraknya sudah lahir hanya pembayarannya yang ditentukan pada suatu
waktu yang akan datang. Dengan demikian, pihak kreditur tidak boleh menagih
pembayaran tersebut sebelum jangka waktu tersebut telah sampai, pembayaran
tersebut tidak dapat ditarik kembali.
3. Kontrak mana suka atau Alternatif
Dalam hal terjadi kontrak mana suka, debitur diperkenankan untuk memilih
salah satu dari beberapa pilihan yang ditentukan dalam kontrak, misalnya yang
menjadi pilihan dalam kontrak tersebut adalah apakah debitur akan menyerahkan
dua ekor kuda atau tiga ekor kerbau atau tiga ekor sapi.
14

Hak untuk memilih dalam kontrak mana suka ini selalu dianggap diberikan
kepada debitur, kecuali kalau secara tegas hak memilih tersebut diberikan kepada
kreditur.
Walaupun ada pemenuhan prestasi yang dapat dipilih, jika prestasi tersebut
tidak termasuk prestasi pokok, kontrak tersebut tidak digolongkan sebagai kontrak
mana suka, demikian pula jika satu di antara dua pilihan musnah atau hilang.
Sementara itu, apabila semua barang yang akan dipilih untuk diserahkan tersebut
musnah, debitur wajib mengganti kepada kreditur harga dari barang yang terakhir
hilang.
4. Kontrak Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung
Suatu kontrak dikatakan tanggung menanggung jika dalam kontrak tersebut
terdiri atas beberapa orang kreditur, dan dalam kontrak tersebut secara tegas
dinyatakan bahwa masing-masing kreditur berhak untuk menagih seluruh utang atau
pembayaran seluruh utang kepada salah seorang kreditur akan membebaskan debitur
pada kreditur lainnya. Dengan demikian, apabila debitur belum digugat di depan
pengadilan, debitur berhak memilih kepada siapa dia akan membayar utangnya.
Di samping kontrak tanggung menanggung dapat terjadi jika banyak kreditur
berhadapan dengan seorang debitur, juga kontrak tanggung menanggung ini dapat
terjadi jika seorang kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Hal ini
berarti bahwa jika salah seorang debitur telah melunasi seluruh utang tersebut,
debitur lainnya sudah bebas.
5. Kontrak yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu kontrak digolongkan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi tergantung pada
kontrak yang prestasinya berupa barang atau jasa yang dapat dibagi atau tidak dapat
dibagi, baik secara nyata maupun secara perhitungan. Namun demikian, walaupun
barang atau jasa tersebut sifatnya dapat dibagi, suatu kontrak dianggap tidak dapat
dibagi jika berdasarkan maksud kontrak penyerahan barang atau pelaksanaan jasa
tersebut tidak dapat dibagi.
Walaupun terdapat pembagian atas kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat
dibagi, bagi debitur dan kreditur, semua kontrak pelaksanaannya dianggap tidak
dapat dibagi karena hal dapat dibaginya suatu prestasi kontrak hanya belaku bagi
ahli waris kedua belah pihak yang tidak dapat menagih utangnya atau tidak
15

berkewajiban membayar utangnya melainkan hanya untuk bagian masing-masing


ahli waris. Hal yang sama berlaku bagi orang yang mewakili debitur atau kreditur.
6. Kontrak dengan Ancaman Hukuman
Ancaman hukuman merupakan suatu klausul kontrak yang memberikan jaminan
kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan ketika debitur tidak
memenuhi prestasi tersebut, debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau
menyerahkan sesuatu.
Ancaman hukuman ini boleh diubah oleh hakim manakala debitur telah
memenuhi sebagian prestasinya. Ancaman hukuman ini hanya merupakan prestasi
tambahan jika debitur wanprestasi. Karena itu, sifatnya yang hanya tambahan,
apabila kontraknya batal, ancaman hukumannya pun batal, sebaliknya, apabila
ancaman hukumannya batal, tidak secara otomatis membatalkan kontraknya.15

G. Penyusunan, Struktur, Dan Anatomi Kontrak


Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, kontrak yang dibuat oleh para
pihak mengikat mereka selayaknya mentaati suatu peraturan peundang-undangan. Oleh
karena itu, untuk membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak
yang membuat suatu perjanjian atau kontrak.
Adapun dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak ada beberapa hal yang
minimal harus dicantumkan dalam kontrak tersebut:
a. Adanya para pihak (disebutkan kedudukan masing-masing);
b. Obyek perjanjian (hal apa yang yang menjadi dasar kerja sama);
c. Hak dan kewajiban para pihak;
d. Jangka waktu perjanjian atau kapan perjanjian dikatakan berakhir;
e. Ketentuan tentang ingkar janji dan akibatnya;
f. Ketentuan tentang keadaan memaksa atau hal-hal diluar dugaan (overmacht);
g. Ketentuan penyelesaian perselisihan,
h. Tandatangan para pihak.16

15
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.53
– 61

16
Muhammad Noor, “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam Pembuatan Kontrak, “Mazahib, Vol.
XIV, No. 1 (Juni 2015) h. 95
16

Adapun mengenai anatomi suatu perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak
secara strukturnya adalah sebagai berikut:
a. Bagian Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian.
a. Subbagian pembuka (description of the instrument).
Subbagian ini memuat tiga hal berikut, yaitu
(1) sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan)
yang dilakukan,
(2) tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani, dan
(3) tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.
b. Subbagian pencantuman identitas para pihak {caption).
Dalam subbagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikat diri
dalam kontrak dan siapa-siapa yang menandatangani kontrak tersebut. Ada
tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas para pihak, yaitu
(1) para pihak harus disebutkan secara jelas;
(2) orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa;
(3) pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak,
c. Subbagian penjelasan.
Pada subbagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan
kontrak (sering disebut bagian premis).
2. Bagian Isi
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi.
a. Klausula definisi (definition)
Dalam klausula ini biasanya dicantumkan berbagai definisi untuk keperluan
kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai
arti dari pengertian umum. Klausula definisi penting dalam rangka mengefisienkan
klausula-klausula selanjutnya karena tidak perlu diadakan pengulangan.
b. Klausula transaksi (operative language)
Klausula transaksi adalah klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang
akan dilakukan. Misalnya dalam jual beli aset maka harus diatur tentang
objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu
kontrak usaha patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam
17

kontrak tersebut.
c. Klausula spesifik
Klausula spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya
klausula tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda.
d. Klausula ketentuan umum
Klausula ketentuan umum adalah klausula yang seringkah dijumpai dalam
berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain
mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum,
pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.
3. Bagian Penutup
Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup.
a. Subbagian kata penutup (closing), kata penutup biasanya menerangkan bahwa
perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki
kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan
terikat dengan isi kontrak.
b. Subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak
menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak
yang terlibat dalam kontrak, nama jelas orang yang menandatangani dan
jabatan dari orang yang menandatangani.
Di dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi telah ditentukan uraian-uraian yang harus dimuat dalam Kontrak
Kerja Konstruksi. Uraian-uraian tersebut adalah sebagai berikut;

1. Para pihak, yang memuat secara jelas para pihak. Yang dimaksud dengan
identitas para pihak adalah nama, alamat, kewarganegaraan, wewenang
penanda tangan, dan domisili.
2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Lingkup kerja meliputi:
a. volume pekerjaan, yakni besarnya pekerjaan yang harus dilaksanakan,
termasuk volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan
pembahan volume pekerjaan, perlu ditetapkan besarnya pembahan volume
yang tidak memerlukan persetujuan para pihak terlebih dahulu;
18

b. persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para


pihak dalam mengadakan interaksi;
c. persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh
penyedia jasa;
d. pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara
lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan
bagi tenaga kerja dan masyarakat. Perlindungan tersebut dapat berupa
antara lain asuransi atau jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga
bukan bank;
e. laporan hasil pekerjaan konstruksi.
3. Nilai pekerjaan, yakni jumlah besarnya biaya yang akan diterima oleh penyedia
jasa untuk pelaksanaan lingkup pekerjaan. Batas waktu pelaksanaan adalah
jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk
masa pemeliharaan.
4. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
penyedia jasa.
5. Tenaga ahli, yang memuat tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga
ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.
6. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh
hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan
yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan
imbalan serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi.
7. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna
jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi.
8. Cedera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal
salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
9. Penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian akibat ketidaksepakatan.
10. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang
pemutusan kontrak kerja kontruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban
salah satu pihak.
19

11. Keadaan memaksa (force majeur), yang memuat ketentuan tentang kejadian
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak.
12. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak
dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial.
13. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan
ketentuan tentang lingkungan.
Di samping itu, di dalam kontrak kerja konstruksi dapat juga dimasukkan
tentang:
1. kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif,
2. subpenyedia jasa, dan
3. pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang
harus memenuhi standar yang berlaku.
Untuk kontrak kerja konstruksi pekerjaan perencanaan harus memuat tentang
hak atas kekayaan intelektual. Hak atas kekayaan intelektual adalah hasil inovasi
perencanaan konstruksi dalam suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik
bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang kepemilikannnya
dapat diperjanjikan. Ini berarti bahwa atas kekayaan intelektual itu dapat dimiliki
oleh pemberi jasa atau penyedia jasa. Dengan demikian, salah satu pihak, baik
pemberi jasa maupun penyedia jasa dapat mengajukan haknya kepada Pemerintah.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ketika ada pihak yang ingin membuat kontrak, maka harus mengetahui terlebih
dahulu mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kontrak seperti subjek yang
terdiri dari orang dan badan hukum, objek yaitu prestasi yang harus dilaksanakan, syarat
sahnya suatu perjanjian yaitu, kesepakatan para pihak; kecakapan para pihak; adanya
objek tertentu; dan suatu sebab yang halal.
Selain itu para pihak yang akan melakukan perjanjian juga perlu mengetahui
sumber-sumber perikatan yang bersumber dari perjanjian juga undang-undang beserta
pembagiannya lebih dalam, serta macam-macam perjanjian atau kontrak.
Dengan mengetahui semua itu, para pihak diharapkan dapat menghindari sengketa
yang dapat terjadi di kemudian hari.
21

DAFTAR PUSTAKA

H.S., Salim. 2003. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Pitlo, A. 1979. Tafsiran Singkat tentang Beberapa Hal dalam Hukum Perdata, Alih bahasa, M.
Moerasad. Jakarta: Intermasa.

Siagian, Abdul Hakim. 2014. Hukum Perjanjian. Medan: Penerbit UMSU Press.

Sukandar, Dadang. 2011. Membuat Surat Perjanjian. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

I Gst. Agung Rio Diputra, “Pelaksanaan Perancangan Kontrak dalam Pembuatan Struktur Kontrak
Bisnis,” Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 3 No. 3 (Bali: 2018), h.550

Nurhaeti, “Konsep Ilzam Dan Iltizam, Subyek Hukum, Forcemajeure, Majhur, Dan Wanprestasi,
“Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah, Vol. I No.01 (Bandung: 2019), h. 87

Novi Ratna Sari, “Komparasi Syarat Sah Nya Perjanjian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dan Hukum
Islam” Jurnal Repertorium Volume IV No. 2, (Surakarta: 2017) h. 81

Dwi Ratna Indri Hapsari, “Kontrak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam”, jurnal repetorium
edisi I, (Surakarta: 2014) h. 85

Muhammad Noor, “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam Pembuatan Kontrak, “Marahin, Vol. XIV, No. 1
(Juni 2015) h. 95

Anda mungkin juga menyukai