Anda di halaman 1dari 11

Perjanjian Perkawinan

Apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum, maka dapatlah


dikatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum, sehingga akibat dari
perkawinan tersebut adalah tidak dilindungi oleh hukum yang berlaku, baik pihak
suami-isteri yang terikat perkawinan maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan
tersebut.
Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, karena
didalamnya ada unsur-unsur hak dan kewajiban masing-masing pihak, menyangkut
masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami
isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan, dan faktor
kependudukan di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan
manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan
keturunan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak
tersebut menjadi anggota-anggota masyarakat yang sempurna (volwaardig).71 Salah
satu hal penting dalam sebuah pernikahan adalah mengenai perjanjian kawin. Selama
ini baru sebagian kecil masyarakat Indonesia melakukan perjanjian kawin. Anggapan
bahwa setelah menikah segala sesuatu melebur menjadi satu membuat setiap
pasangan merasa enggan untuk membuat perjanjian tersebut. Perjanjian kawin tak
hanya memuat urusan harta benda saja, tetapi juga pembagian peran dan pengasuhan
anak. Pendeknya, perjanjian kawin dianggap materialistik, tidak etis dan tidak sesuai
adat ketimuran.
Perjanjian pranikah sering juga disebut dengan perjanjian perkawinan. Jika
diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian
dan pernikahan. Dalam bahasa Arab, janji atau perjanjian biasa disebut dengan
atau,72 yang dapat diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan
yang telah dibuat bersama.
Perjanjian perkawinan sendiri telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut sistem KUH Perdata, maka harta kekayaan
harta bersama yang menyeluruh (algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat
yang normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap
kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian
kawin.1
1
Persepetif H A K Perempuan, Widya Sari, and Muhammad Arif, “Syaksia PERJANJIAN
PERKAWINAN SEBAGAI SYARAT MUTLAK POLIGAMI ( STUDI TERHADAP PEMIKIRAN
IBRAHIM HOSEN ‫عابرو ثالثو^ ىنثم ءاسنال نم مكل باط ام اوحكناف ىماتيال يف اوطسقت الأ متفخ نإو اولوعت الأ ىندأ كلذ‬
23 ”‫مكناميأ تكلم ام وأ ةدحاوف اولدعت الأ متفخ نإف‬, no. 1 (2022): 30–52.
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu:
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dalam
pembuatannya harus mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Apabila perjanjian perkawinan telah dibuat sesuai dengan
syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dan tidak melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan seperti tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perjanjian tersebut sudah dapat
dikatakan sah. Namun sahnya suatu Perjanjian Perkawinan seperti yang tercantum
dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon
suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-
akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.75 Perjanjian perkawinan
adalah suatu kesepakatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang akan
melangsungkan perkawinan untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang,
dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera
rumah tangga.2
Perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian kawin yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, dimana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak
ketiga tersangkut. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Anak-anak perlu mendapatkan perlindungan hukum demi menjamin hak-hak
mereka. Mereka adalah aset negara yang penting untuk diperhatikan, mereka adalah
2
Skripsi Oleh, “TIDAK DIPOLIGAMI (Suatu Perjanjian Nikah Di Desa Masjid Lama Kecamatan
Talawi Kabupaten Batubara),” 2020.
penerus cita-cita perjuangan bangsa kepadanya digantungkan dimasa yang kan
datang. Jadi seharusnya seorang suami untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, harus terpenuhi syarat-syaratnya yaitu: adanya persetujuan istri-istri,
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-
anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Disamping persyaratan itu semua Pengadilan Agama sebagai lembaga yang
memeriksa, memutus sebuah perkara sudah semestinya mempertimbangkan dampak
dari poligami khususnya bagi anak-anak yang terlahir dari perkawinan sebelumnya.
Namun pada kenyataannya itu semua dianggap sebagi hal yang biasa, pada dasarnya
kalau dilihat dampaknya terhadap perkembangan anak baik mental, psikologi anak
itu bisa saja terpukul akibat dari orang tuanya poligami. Kebahagiaan itu tidak akan
terwujud dengan materi yang melimpah namun kebahagian seorang anak akan
terwujud salah satunya apabila orangtuanya mampu memberikan perhatian dan kasih
sayang yang tak terbatas padanya.
Perjanjian dalam perkawinan poligami tidak diatur apakah perjanjian tersebut
berupa perjanjian lisan maupun perjanjian tulisan, akan tetapi perjanjian tersebut
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa: Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik
perjanjian lisan maupun tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan,
perjanjian itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
Perkawinan dalam hukum islam ialah sebuah kontrak, dan seperti kontrak-
kontrak yang lain, perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran
(ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (kabul) oleh pihak yang lain.
Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya
dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas (sah).3
Pengertian mengenai perkawinan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang namanya perkawinan adalah suatu kontrak/perjanjian antara seorang
pria (ijab) dengan seorang wanita (kabul) untuk melaksanakan ibadah terhadap Allah
SWT serta dalam melaksanakan suatu perkawinan harus memenuhi akadakad
perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi jelas (sah).
Pada perkawinan poligami, perjanjian perkawinan ini merupakan salah satu
bentuk perlindungan terhadap isteri dalam menjaga hak-haknya sebagai salah satu
pihak dalam perkawinan poligami yang mungkin merasa dirugikan dengan adanya
praktek poligami yang dilakukan pihak suami. Misalnya akta perjanjian kawin di luar
3
Abstrak Perkawinan et al., “Dita Dwi Kurnia Sari Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya Jalan Semolowaru 45 , Surabaya 60118 , Indonesia 1 .
persekutuan harta benda dalam perkawinan yang isinya antara lain tidak ada
percampuran harta benda sehingga hutang yang dibuat masing-masing pihak menjadi
tanggungan masing-masing pihak. Selain itu misalnya semua pengeluaran biaya
pendidikan, pemeliharaan anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka seluruhnya
menjadi tanggungan pihak suami.
Untuk memberikan perlindungan hukum bagi istri dan anak dalam
perkawinan poligami, maka suami harus mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka sulit untuk memberikan ukuran-ukuran yang objektif, konkrit,
dan pasti. Pada Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi
ukuran objektif mengenai ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
kehidupan istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Jika dalam menentukan mengenai kemampuan suami untuk menjamin
keperluan istri-istri dan anak-anaknya maka dapat ditentukan mengenai jumlah
kekayaan suami pada saat pengajuan permohonan ijin poligami. Jumlah kekayaan
suami pada saat diajukan permohonan ijin poligami itu bersifat relatif, artinya jumlah
kekayaan suami dapat berubah sewaktu-waktu dalam jangka waktu ke depan.
Perlindungan terhadap hak-hak anak dan isteri pada perkawinan poligami
melalui perjanjian perkawinan didasarkan pada pengertian tanggung jawab dalam
perjanjian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal
1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-
undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan.
Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara
sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus
dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal
salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam
perjanjian berhak untuk memaksa pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur
hukum yang berlaku.4
Salah satu teori hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori
kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para
pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak
terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan
terhadap para pihak.

4
Beny Boy R. Nababan, “Bab I Pendahuluan ٰ ‫ﻟ ِ إ َ نو د ﱡ ﺮ َ ُ ﺘ ﺳ َ و‬,” no. 7 (2007): 1–11.
Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak,
dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau
kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian sebagai sumber
perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, berdasarkan pada sifat kesukarelaan
dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya
dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu
prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu, dengan
menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk
menyelaraskan dengan hak yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan
bagaimana ia akan memenuhi prestasinya.
Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki
oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat
bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan
pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan
membentuk perjanjian yang akan dibuat, hingga pada akhirnya menjadi perikatan
yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau
pemenuhannya.
Menurut bentuknya, ada perjanjian yang berbentuk baku dan ada berbentuk
timbal balik. Dimaksud perjanjian baku adalah suatu perjanjian dibuat hanya oleh
salah satu pihak dalam kontrak, sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian
yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta
kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya.
Anak-anak perlu mendapat perlindungan hukum demi menjamin hak-hak
mereka. Mereka adalah aset negara yang paling penting untuk diperhatikan. Mereka
adalah penerus cita–cita perjuangan bangsa. Kepadanyalah digantungkan segala
harapan bangsa di masa yang akan datang. Karena itu perhatian yang besar sudah
sepantasnya diberikan dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik.
Tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak adalah tanggung jawab semua pihak
(pemerintah, masyarakat, dan keluarga ). Keluarga (orang tua ) adalah pihak pertama
dan utama yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak, yang tersebut
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak. Pada
hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai tindakan yang
menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan
dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan agar
tidak mengalami kerugian, baik mental, fisik, maupun sosial.
Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosial. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup
yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dengan wajar.5

Kawin Hamil
Kawin hamil yang dimaksud dalam tulisan ini ialah perkawinan yang
dilakukan oleh wanita yang hamil di luar nikah baik itu dengan pria yang
menghamilinya maupun dengan pria yang bukan menghamilinya. Tulisan ini hanya
akan membahas perkawinan wanita hamil yang disebabkan oleh hubungan seks
pranikah dengan pria atas dasar suka sama suka, bukan wanita hamil yang
merupakan korban pemerkosaan. Selain itu, batasan lainnya adalah kawin hamil
yang dimaksud di sini adalah kawin hamil yang dilakukan oleh dua orang yang
beragama Islam saja, bukan agama lainnya.
Pada dasarnya menurut pendapat sebagian ulama asal hukum melakukan
perkawinan jika dihubungkan dengan al-ahkam al-khamsah adalah kebolehan atau
ibahah. Dasar dari pendapat ini adalah Q.S. An-Nisa (4):1, 3, dan 24 juga hadits
Rasul.
Q.S. An-Nisa (4):1
ۚ ‫ث ِم ْنهُ َما ِر َجااًل َكثِ ْيرًا َّونِ َس ۤا ًء‬
َّ َ‫ق ِم ْنهَا زَ وْ َجهَا َوب‬ َ َ‫اح َد ٍة َّو َخل‬
ِ ‫س َّو‬ٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْ ا َربَّ ُك ُم الَّ ِذيْ خَ لَقَ ُك ْم ِّم ْن نَّ ْف‬
‫َواتَّقُوا هّٰللا َ الَّ ِذيْ تَ َس ۤا َءلُوْ نَ بِ ٖه َوااْل َرْ َحا َم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِ ْيبًا‬

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Q.S. An-Nisa (4):1


َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
‫ث َور ُٰب َع ۚ فَا ِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا‬ َ ‫ط‬ َ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا ِفى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما‬
‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذلِكَ اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬
ْ ‫اح َدةً اَوْ َما َملَ َك‬
ِ ‫فَ َو‬

5
Dian Ety Mayasari et al., “Tinjauan Yuridis Tentang Perjanjian Perkawinan Setelah Adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor Pendahuluan Manusia Sebagai Makhluk Sosial Membutuhkan Orang
Lain Dalam Menjalani Kehidupannya.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”6

Hadits-hadits Rasul itu antara lain:

1) Hadits riwayat Bukhari-Muslim “Hai golongan pemuda, barang siapa


diantara kamu telah sanggup kawin, maka kawinlah, karena kawin itu
lebih menundukkan mata dan lebih memelihara faraj/kehormatan dan
barang siapa yang belum sanggup maka berpuasa itu melemahkan
syahwat.”
2) Hadits riwayat Bukhari-Muslim “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa,
berbuka, dan kawin. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia
bukan umatku.”

Namun kebolehan ini dapat berubah menjadi sunnah, meningkat menjadi


wajib atau dapat juga turun menjadi makruh ataupun haram. Perubahan ini dapat
terjadi karena berubahnya illah. Perubahan itu terjadi apabila14:

1) Hukum beralih menjadi sunnah. Dengan illah: seorang apabila dipandang


dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk
kawin serta sekedar biaya hidup telah ada.
2) Hukum beralih menjadi wajib. Bila seseorang dipandang dari segi biaya
kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan
jasmaninya sudah sangat mendesar untuk kawin, sehingga kalau dia tidak
kawin dia akan terjerumus kepada penyelewengan.
3) Hukumnya beralih menjadi makruh. Bila seseorang yang dipandang dari
sudut jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat
mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga jika ia kawin akan
membawa kesengsaraan hidup bagi istri dan anak-anaknya.
4) Hukumnya juga dapat beralih menjadi haram. Bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung
jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga

6
Fahrul Fauzi, “Tinjauan Kawin Hamil Dalam Perspektif Hukum Islam,” Journal of Islamic Law Studies
3, no. 2 (2021): 22, https://scholarhub.ui.ac.id/jilsAvailableat:https://scholarhub.ui.ac.id/jils/vol3/
iss2/7.
sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya
dan istrinya.7

Beristri lebih dari satu (poligami)

Poligami diberikan tempat dalam peraturan perundangan bukan berarti


poligami dijadikan asas atau sesuatu yang mendasar dalam undang-undang
perkawinan, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Poligami merupakan pengecualian saja, yang diberikan kepada orang yang menurut
hukum dan agamanya diperbolehkan. Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan
jalan untuk penyatuan antara dua jiwa (laki-laki dan perempuan) yang sebelumnya
hidup sebagai individu, begitu perkawinan sudah dilakukan maka, individu-individu
tersebut memikirkan tujuan visi misi dari keluarga secara bersama. Berdasarkan
ketentuan tersebut, hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami.

Poligami sulit dihindari, sebab poligami terjadi karena berbagai macam


sebab, antara lain adanya kekurangan pada Pihak isteri sementara pihak suami
enggan menceraikan isterinya karena berbagai alasan. Di samping itu juga
disebabkan isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, seperti cacat
fisik atau mental dan tidak dapat memberikan keturunan.

Pasal-pasal dalam perundang-undangan Indonesia tentang poligami


sebenarnya sudah cukup berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami
adalah laki-laki yang benar-benar mampu berbuat adil dan mampu menafkahi istri-
istri dan anak-anaknya. Selain itu, perundang-undangan Indonesia berupaya
menghargai isteri sebagai pasangan hidup. Terbukti bahwa untuk berpoligami suami
harus mendapat persetujuan isteri. Untuk mencapai tujuan ini, perundang-undangan
Indonesia memberikan kepercayaan yang besar kepada hakim pengadilan agama.8

Poligami juga tidak menutup kemungkinan menjadi sesuatu yang diminati


oleh masyarakata Indonesia. Mulai dari permasalahan nafsu hypersex, pertengkaran
dalam rumah tangga, perselingkuhan sampai keadaan dimana istri yang tidak bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. Meskipun dalam Islam ada lampu kuning untuk
melakukan poligami, namun jika tidak bisa untuk berlaku adil maka diwajibkan
untuk menikahi satu orang istri saja. Dari persyaratan “keadian” inilah yang masih
7
Zaida Victoria Narcisa Betancourth Aragón,
https://repositorio.flacsoandes.edu.ec/bitstream/10469/2461/4/TFLACSO-2010ZVNBA.pdf.
8
Andi Intan Cahyani, “Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam,” Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan
Hukum Keluarga Islam 5, no. 2 (2018): 271, https://doi.org/10.24252/al-qadau.v5i2.7108.
dikesampingkan oleh sebagian banyak orang. Untuk itu lahirlah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai bentuk respon yang positif untuk
mengatur seorang suami yang ingin menikah lebih dari satu orang. Tentunya dengan
berdasarakan pada ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Poligami adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri
dalam waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu seorang
istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.101 Seorang laki-laki
yang beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama memang
diperbolehkan dalam hukum islam. Tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu
pengecualian. Pembolehan diberikan dengan batasan-batasan yang berat, berupa
syarat-syarat dan tujuan yang mendesak.

Pengertian umum poligami dimana seorang suami memiliki lebih dari


seorang isteri. Namun dalam praktiknya, awalnya seorang pria kawin dengan seorang
wanita seperti layaknya perkawinan monogami, kemudian setelah berkeluarga dalam
beberapa tahun pria tersebut kawin lagi dengan isteri keduanya tanpa menceraikan
isteri pertamanya.9

Peristiwa perkawinan poligami banyak terjadi di masyarakat, maka muncul


beberapa pendapat dan pemahaman terhadap perkawinan poligami, baik itu datang
dari kalangan masyarakat awam maupun dari kalangan intelektual. Dimana
umumnya mereka masih banyak yang menganggap bahwa perkawinan poligami
tidak menunjukkan keadilan dan rasa manusiawi. Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, tersebut mengatur tentang azas yang dianutnya, yaitu azas monogami, bahwa
baik untuk pria maupun wanita hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
karena hukum dan agama yang mengizinkannya, seorang suami dapat beristerikan
lebih dari seorang isteri, meskipun hal tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa persyaratan
tertentu dan diputuskan di pengadilan.

Persyaratan-persyaratan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan adalah persyaratan pilihan, artinya bagi yang akan menjalankan
poligami harus menjelaskan alasan di antara ketiga alasan tersebut. Namun
sebelumnya pemohon diharuskan memenuhi persyaratan kumulatf, seluruh
persyaratan yang dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sebelum diajukan ke pengadilan, sesuatu yang hampir
mustahil teraksana.
9
Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan,” Sawwa: Jurnal Studi
Gender 7, no. 2 (2012): 1, https://doi.org/10.21580/sa.v7i2.646.
Selanjutnya Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam, juga digambarkan betapa
besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam memberikan keizinan. Sehingga bagi
isteri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami,
persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama. Pengadilan dapat
menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang
bersangkutan di persidangan pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau
suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Pada sisi lain peranan Pengadilan
Agama untuk mengabsahkan praktik poligami menjadi sangat menentukan bahkan
dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengizinkan
poligami.

Pengadilan Agama sangat menentukan mengabsahkan praktik poligami


karena dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk
mengizinkan poligami. Diperbolehkannya poligami itupun dengan batas sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka. Poligami boleh dilakukan
jika keadaan benar-benar darurat.

Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi penganut agama Islam.
Walaupun pada dasarnya asas yang melekat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tersebut merupakan asas monogami. Namun asas hukum
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidaklah
berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka.10

10
Agus Sunaryo, “Poligami Di Indonesia (Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis),” Yinyang: Jurnal Studi
Islam Gender Dan Anak 5, no. 1 (2010): 143–67,
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/265.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, Andi Intan. “Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Al-Qadau:
Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 5, no. 2 (2018): 271.
https://doi.org/10.24252/al-qadau.v5i2.7108.
Fauzi, Fahrul. “Tinjauan Kawin Hamil Dalam Perspektif Hukum Islam.” Journal of
Islamic Law Studies 3, no. 2 (2021): 22.
https://scholarhub.ui.ac.id/jilsAvailableat:https://scholarhub.ui.ac.id/jils/vol3/
iss2/7.
Hikmah, Siti. “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.”
Sawwa: Jurnal Studi Gender 7, no. 2 (2012): 1.
https://doi.org/10.21580/sa.v7i2.646.
Mayasari, Dian Ety, Fakultas Hukum, Universitas Katolik, and Darma Cendika.
“Tinjauan Yuridis Tentang Perjanjian Perkawinan Setelah Adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor Pendahuluan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Membutuhkan Orang Lain Dalam Menjalani Kehidupannya , Secara Khusus
Dalam Hal Ini Membutuhkan Pasangan Hidup Agar Da” 51, no. 1 (2017).
Nababan, Beny Boy R. “Bab I Pendahuluan ٰ ‫ﻟ ِ إ َ نو د ﱡ ﺮ َ ُ ﺘ ﺳ َ و‬,” no. 7 (2007): 1–11.
Oleh, Skripsi. “TIDAK DIPOLIGAMI (Suatu Perjanjian Nikah Di Desa Masjid Lama
Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara),” 2020.
Perempuan, Persepetif H A K, Widya Sari, and Muhammad Arif. “Syaksia
PERJANJIAN PERKAWINAN SEBAGAI SYARAT MUTLAK POLIGAMI
( STUDI TERHADAP PEMIKIRAN IBRAHIM HOSEN ‫عابرو ثالثو ىنثم ءاسنال نم‬
‫مكل باط ام اوحكناف ىماتيال يف اوطسقت الأ متفخ نإو اولوعت الأ ىندأ كلذ مكناميأ تكلم ام وأ ةدحاوف‬
23 ”‫اولدعت الأ متفخ نإف‬, no. 1 (2022): 30–52.
Perkawinan, Abstrak, Undang-undang No, Ketuhan Yang, Maha Esa, Undang-
undang No, Kata Kunci, and Harta Bersama. “Dita Dwi Kurnia Sari Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Jalan Semolowaru 45 , Surabaya
60118 , Indonesia 1 . Latar Belakang Masalah Manusia Adalah Makhluk Sosial
Yang Memilki Kecenderungan Hidup Bermasyarakat ( Zoon Politikon ). 1 Yaitu
S,” 1974, 1–19.
Sunaryo, Agus. “Poligami Di Indonesia (Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis).”
Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender Dan Anak 5, no. 1 (2010): 143–67.
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/265.
Zaida Victoria Narcisa Betancourth Aragón. “No Title2010 ,‫” بیماریهای داخلی‬.‫ئئئئئ‬.
https://repositorio.flacsoandes.edu.ec/bitstream/10469/2461/4/TFLACSO-
2010ZVNBA.pdf.

Anda mungkin juga menyukai