Anda di halaman 1dari 34

DALIL PERNIKAHAN DALAM ISLAM

1. QS An-Nisa' 4:3)

Artinya: Maka, nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau tempat. Tetapi jika
kamu khawatur tidak berlaku adil, maka (nikahilan) seorang saja.(QS An-Nisa' 4:3)
2. Hadits:

Artinya: Menikahlah dengan perempuan subur dan disenangi. Karena aku ingin
(membanggakan) banyaknya umatku (pada Nabi-nabi lain) di hari kiamat (Hadits sahih
riwayat Ibnu Hibban, Hakim, Ibnu Majah).
3. Ijmak (kesepakatan) ulama fiqh atas sunnah dan bolehnya menikah.
HUKUM PERNIKAHAN MENURUT ISLAM

1. Hukum perkawinan adalah sunnah bagi yang ingin menikah dalam arti ada kebutuhan
seksual. Dengan syarat, memiliki biaya untuk pernikahan seperti biaya mahar (maskawin)
dan ongkos perkawinan.
2. Hukum nikah makruh bagi yang tidak mempunyai hasrat dan tidak ada biaya mahar dan
ongkos perkawinan.
3. Hukum menikah haram dalam beberapa situasi .
SYARAT NIKAH
1. Wali [2]
2. Dua saksi
3. Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami
4. Ijab qabul yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon mempelai wanita dan jawaban dari
calon pria. Seperti ucapan wali Aku nikahkan putriku denganmu ( ). Dan
jawaban calon su`mi: saya terima nikahnya () .
Syarat Wali dan Saksi: (a) harus muslim; (b) akil baligh dan normal, jadi anak kecil dan orang
gila tidak boleh jadi saksi dan wali; (c) adil yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar.
Khusus untuk saksi ada syarat tambahan yaitu harus normal pendengaran dan penglihatannya.
RUKUN NIKAH
Ada 5 (lima) rukun nikah. Rukun adalah perkara yang harus terpenuhi saat akad nikah

berlangsung.
) 1. Pengantin lelaki (Arab, zauj -
) 2. Pengantin perempuan (Arab, zaujah -
3. Wali pengantin perempuan
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan Qabul
KHUTBAH NIKAH
Membaca khutbah nikah adalah sunnah. Jadi bukan syarat sahnya pernikahan. Boleh
dilakukan boleh ditinggalkan.
Berikut teks khutbah dalam bahasa Arab.
1. Khutbah nikah panjang teks bahasa Arab



.


. .
.
.





. .
:
.


.




: . :


.


:



.

.



.
2. Khutbah Nikah Pendek berdasar hadits Ibnu Masud riwayat Abu Dawud










.

WALI NIKAH
Dalam Islam, calon pengantin perempuan harus dinikahkan oleh walinya. Tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri. Wali nikah yang utama adalah ayah kandung, kalau tidak ada
maka diganti kakek, kemudian saudara kandung, seterusnya lihat keterangan di bawah.
URUTAN WALI NIKAH
Urutan wali dan yang berhak menjadi wali nikah adalah sebegai berikut:
1 - Ayah kandung
2 - Kakek, atau ayah dari ayah

3 - Saudara se-ayah dan se-ibu


4 - Saudara se-ayah saja
5 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7 - Saudara laki-laki ayah
8 - Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
Urutan wali di atas harus dijaga. Kalau wali nomor urut 1 masih ada dan memenuhi syarat,
maka tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh wali nomor urut 2 dan seterusnya.
Wali yang paling berhak juga boleh mewakilkan perwaliannya pada orang lain yang
dipercaya seperti tokoh agama atau petugas KUA.
Apabila perempuan berada di suatu negara yang tidak ada wali hakim, maka sebagai gantinya
adalah tokoh Islam setempat seperti Imam masjid atau ulama yang dikenal.
SYARAT MENJADI WALI NIKAH
Walaupun sudah termasuk golongan yang berhak menjadi wali nikah, belum sah menjadi wali
nikah sampai syarat-syarat berikut terpenuhi:
1. Islam (beragama Islam). Tidak sah wali kafir selain kafir Kitabi (Yahudi dan Kristen boleh
menjadi wali).
2. Aqil (berakal sehat). Tidak sah wali yang akalnya rusak.
3. Baligh (sudah usia dewasa) tidak sah wali anak-anak.
4. Lelaki. Tidak sah wali perempuan.
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menyatakan bahwa sah hukumnya seorang
ayah nonmuslim menjadi wali nikah untuk putrinya yang menikah dengan pria muslim. Hal
ini berdasarkan pendapat dari madzhab Hanafi dan Syafi'i. Ibnu Qudamah berkata:

. . ,
, , , ; ,
. , ,
WALI HAKIM
Wali hakim dalam konteks Indonesia adalah pejabat yang berwenang menikahkan. Yaitu,
hakim agama, petugas KUA, naib, modin desa urusan nikah.(berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 1952)
Wali hakim baru boleh menjadi wali nikah dalam 3 hal sebagai berikut:
WALI DARI ANAK ZINA
Seorang anak zina perempuan nasabnya dinisbatkan pada ibunya. Karena ibu tidak dapat
menikahkan, maka wali hakim yang dapat menjadi walinya.

SEMUA WALI TIDAK ADA


Wali hakim dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah tidak ada.
WALI TIDAK SETUJU TANPA ALASAN SYAR'I
Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila wali dekat (bapak) menolak menikahkan
dengan alasan yang tidak sesuai syariah.[4] Wali ini disebut wali adhol
Dalam mazhab Syafi'i, apabila bapak (wali dekat / aqrob) menolak menikahkan putrinya
tanpa alasan syar'i, maka hak menikahkan berpindah ke wali hakim, bukan ke wali lain yang
jauh (wali ab'ad) seperti paman, saudara, dll. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah
30/144 dijelaskan sbb:

,
,
.
- , :
-
) ( ; :
,
.

Artinya: Ulama ahli fiqih berpendapat apabila wali menolak menikahkan putrinya, maka
hakim memerintahkannya untuk menikahkan. Apabila menolak, maka perwalian pindah pada
yang lain. ... Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki (selain Ibnu Al-Qasim) dan Ahmad
(menurut sebagian riwayat) bahwa perwalian berpindah ke sultan (yakni, wali hakim)
berdasarkan hadis Nabi "Apabila wali menolak maka sultan adalah wali bagi perempuan
yang tidak punya wali". Dan karena wali menolak secara zalim atas kewajiban yang
diamanahkan padanya maka sultan mengganti posisinya untuk menghilangkan kezaliman itu
sebagaimana apabila ia punya hutang dan tidak mau melunasinya. Pendapat utama dalam
mazhab Hanbali apabila wali utama menolak, maka pindah ke wali jauh.
WALI PERGI DALAM JARAK QASHAR
Apabila wali yang terdekat pergi dalam jarak perjalanan qashar (dua marhalah), maka wali
hakim boleh menjadi pengganti wali tersebut.

( ) ( ) ( ) (
(


Artinya: Apabila wali nasab terdekat bepergian dalam jarak dua marhalah (qashar) atau lebih
jauh dan tidak ada status kematiannya serta tidak ada wakilnya yang hadir dalam menikahkan
perempuan di bawah perwaliannya maka Sultan (Wali Hakim) dapat menikahkan perempuan
itu. Bukan wali jauh walaupun kepergiannya lama dan tidak diketahui tempat dan hidupnya.
Hal itu karena tetapnya status kewalian wali yang sedang pergi. Namun yang lebih utama
meminta ijin pada wali jauh untuk keluar dari khilaf ulama.[5]
AKAD NIKAH (IJAB KABUL)
Prosesi akan nikah terpenting adalah ijab kabul (qobul). Di mana wali calon mempelai
perempuan menikahkan putrinya dengan calon pengantin laki-laki (ijab) dan calon pengantin
laki-laki menjawabnya (kabul/qobul) sebagai tanda menerima pernikahan tersebut . Wali juga
dapat mewakilkan pada wakil wali yang ditunjuk wali untuk menikahkan putrinya. Yang
bertindak sebagai wakil biasanya petugas KUA atau tokoh agama setempat.
A. TEKS BACAAN AKAD NIKAH LANGSUNG OLEH WALI DALAM BAHASA
ARAB


. .
.
.

/
Teks latin: Ankahtuka wa zawwajtuka binti [sebutkan namanya] bimahri [sebutkan jumlah
maskawin] hallan.
Artinya: Aku menikahkanmu dengan putriku bernama [sebutkan nama] dengan maskawin
[sebutkan jumlah maskawin].
B. TEKS BACAAN AKAD NIKAH OLEH WAKIL WALI DALAM BAHASA ARAB
Menjadi wakil dari wali teksnya sama saja. Perbedaannya adalah tambahan kata "muwakkili"
(yang mewakilkan padaku)


. .
.
.

/
Teks latin: Ankahtuka wa zawwajtuka binti [sebutkan namanya] muwakkili bimahri
[sebutkan jumlah maskawin] hallan.
Artinya: Aku menikahkanmu dengan perempuan bernama [sebutkan nama] yang walinya
mewakilkan padaku dengan maskawin [sebutkan jumlah maskawin].
C. TEKS KABUL JAWABAN PENGANTIN PUTRA KEPADA WALI
Ketika wali nikah atau wakilnya selesai mengucapkan ijab, maka pengantin laki-laki
langsung merespons/menjawab dengan ucapan berikut:
Teks Arab:
Teks Latin: Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bilmahril madzkur
Artinya: Saya terima nikahnya dengan mahar/maskawin tersebut
DOA SETELAH AKAD NIKAH
Setelah ijab kabul dilaksanakan antara wali atau wakil wali dengan mempelai laki-laki, acara
dilanjutkan dengan membaca doa sebagai berikut (pilih salah satu atau semuanya):
DOA 1

. .
. .
.


. . .


.
.
.
.
. .
DOA 2














UCAPAN DOA UNTUK KEDUA MEMPELAI SETELAH AKAD NIKAH
Masing-masing yang hadir sunnah mengucapkan doa berikut pada penantin laki-laki

Masing-masing yang hadir sunnah mengucapkan doa berikut pada kedua mempelai

.
DOA UNTUK KEDUA MEMPELAI
DOA SAAT BERDUA DI MALAM PERTAMA
Saat kedua mempelai bertemua di dalam kamar di malam pertama, maka mempelai pria
dianjurkan mengusap kepala mempelai wanita sambil membaca doa berikut [7]:



Setelah itu, disunnahkan bagi kedua mempelai untuk melakukan shalat sunnah[8]
DOA SETIAP AKAN BERHUBUNGAN INTIM (JIMAK)


Dan disunnahkan untuk melakukan wudhu sebelum melakukan hubungan badan yang kedua
dan seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadits sahih riwayat Muslim sbb


Artinya: Apabila kalian sudah melakukan hubungan intim dan hendak mengulangi, maka
hendaknya berwudhu.
PERNIKAHAN HARAM (DILARANG) DALAM ISLAM
Pernikahan adakalanya hukumnya haram, dalam situasi berikut:
1. Perempuan menikah dengan orang laki-laki nonmuslim
2. Laki-laki menikah dengan nonmuslim yang bukan ahli kitab (Yahudi, Nasrani).
3. Menikah dengan pelacur, wanita hamil
4. Pernikahan dalam masa idah cerai atau kematian
5. Poliandri (perempuan menikah dengan lebih dari satu laki-laki)
6. Poligami lebih dari empat
6. Laki-laki menikah dengan dua perempuan bersaudara (boleh menikah dengan salah
satunya).
====================

CATATAN DAN RUJUKAN


(Ar-Ramly, Nihayatul Muhtaj, VI/138). ][1
Hadits riwayat Ahmad (hadits nomor 8697), Abu Daud (hadits nomor 2085), ][2
)Tirmidzi (hadits nomor 1101), Hakim (II/185
- [3] Berdasarkan hadits:
hadits riwayat Ahmad (No.4250), Abu Daud
(No.2083), Ibnu Majah (No.1839), Ibnu Hibban (No.4074), Hakim (No.2182). Lihat juga
kitab Subulus Salam (III/118), kitab Fathul Bari (IX/191).
[4] Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala AlMadzahib Al-Arbaah, IV/33.
( [5] Muhammad bin Syihabuddin Ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj

" " ) dalam bab
[6] Kitab Ahkam an-Nikah wama yata'allaqu bihi dalam Fathul Qarib al-Mujib oleh Al-Ghazi
[7] Berdasarkan hadits dalam Sahih Abu Daud




]'Berdasarkan hadits dalam kitab Mukhtasar al-Irwa [8

" :
: :
:! : : :
:

- See more at: http://www.alkhoirot.net/2012/03/pernikahan.html#sthash.pb6QTCQU.dpuf

KUMPULAN
PROBLEMATIKA
MUNAKAHAT
Rukun Nikah
Rukun adalah sebuah prasarat yang harus dipenuhkan dalam pelaksanaan suatu ibadah.
Rukun nikah berarti pilar-pilar yang menjadi bagian penting yang harus dipenuhkan dalam
proses akad nikah. Adapun Rukun nikah yang harus ada dalam sebuah akad nikah adalah:
a. Calon Suami.
b. Calon Isteri.
c. Wali Nikah
d. 2 Orang saksi
e. Sighat Ijab Kabul.
Wali dipenjara
Bila wali dipenjara dan tidak mungkin dihubungi atau tidak boleh dihubungi maka yang
menjadi wali nikah adalah HAKIM yang dalam hal ini KEPALA KANTOR URUSAN
AGAMA. Ketentuan ini berdasar penjelasan MUGHNI AL MUHTAJ ILA MAANI
ALFAADZIL MINHAJ JUZ 3 HAL 159:

( (
) (
: . :
)( .
. ) (
. . :
: .




1
Seandainya wali yang terdekat baik wali nasab maupun wali waris wala' sejauh dua marhalah
(82 km dihitung dari batas kota ke batas kota lain) dan tidak ada wakilnya yang hadir didalam
kota atau kurang dari perjalanan yang memperbolehkan qasr (82 km) maka Hakim yang
menikahkan. Yang dimaksud hakim di sini hakim atau penggantinya dalam wilayah kerjanya
bukan hakim yang diluar wilayah kerjanya juga bukan wali yang jauh, karena orang yang
ghaib itu adalah wali dan menikahkan adalah haknya, apabila wali itu udzur dalam memenuhi

haknya maka yang mengganti adalah HAKIM. Ada sebagian pendapat (Pendapat yang
lemah) wali Abad/yang lebih jauh secara nasab berhak menikahkan seperti bila wali
dekatnya dalam keadaan gila. Al Shaikhan berkata: "yang lebih utama Hakim memberikan
izin kepada wali terjauh untuk menikahkan atau wali terjauh memberikan izin kepada hakim
kemudian hakim menikahkan, hal ini diperuntukkan untuk keluar dari perbedaan."
(Dan apabila kurang dari masafah Qasr/82 km) Hakim tidak dapat menikahkan kecuali
dengan izin wali menurut pendapat yang kuat, karena jarak tempuh yang dekat, maka
perwalian harus dikembalikan kepada wali tersebut, kemudian wali menghadirinya atau
mewakilkan seperti halnya kalau wali itu menetap. Adapun pendapat kedua, Hakim tetap
menikahkan agar pengantin putri tidak merasa rugi sebab tidak adanya kesetaraan (kafaah)
harapannya hal itu seperti jarak tempuh yang jauh. Sebagaimana permasalahan pertama (wali
berada pada jarak tempuh yang kurang 82 km) seandainya tidak dimungkinkan mencapai atau
menemui wali karena alasan fitnah atau ketakutan maka Hakim boleh menikahkan tanpa izin
wali, ini adalah pendapat Imam Royani. Imam adzra'i berkata : Pendapat yang dzahir,
sesungguhnya bila wali ada diwilayah dimana perempuan itu tinggal, (tetapi) di dalam
penjara pemerintah dan tidak mungkin menemuinya maka Qadli/Hakim yang menikahkan,
dan Hakim pula yang menikahkan bila wali tidak ada dan tidak diketahui tempatnya, tidak
jelas mati atau hidupnya. karena menjadi udzurnya pernikahannya dari sisi sang wali, maka
hal ini seperti ketika wali adlah / membangkang. Hal ini apabila wali tidak
dihukumi/diputuskan mati, apabila diputuskan secara hukum telah mati maka yang
menikahkan adalah wali Abad/terjauh. Hakim harus pula meneliti atas pengakuan seorang
perempuan bahwa walinya ghaib/tidak diketahui rimbanya dan atas pengakuan bahwa dirinya
sepi dari ikatan pernikahan dan iddah (masa tunggu) karena sebuah akad kembali kepadanya
dan atas pengakuannya namun disunnahkan 'mencari' kesaksian/bukti tentang hal itu dan
pengakuannya tidak diterima begitu saja kecuali dengan kesaksian yang ditinjau dari gelagat
(ketika melakukan pengakuan)nya.
2
Wali Ghoib (tidak diketahui rimbanya).
Seorang wali nikah tidak ada karena tidak diketahui tempatnya (ghaib), atau bertempat
tinggal ditempat yang jauh hingga kira-kira sejauh masafah qosr (82 km) perwaliannya
berpindah kepada wali hakim tidak kepada wali yang jauh (abad). Tetapi tetap dianjurkan
untuk meminta idzin kepada sang wali, sebagai bentuk penghormatan terhadap orang tua.
Penjelasan ini berdasar Kitab BUGHOYAH ALMUSTARSYIDIN hal 203 dan kitab
MUGHNI AL MUHTAJ ILA MAANI ALFAADZIL MINHAJ JUZ 3 HAL 159:






( (


(


Seorang wali perempuan ghaib hingga masafah qosr, perwalian berpindah kepada hakim
tidak kepada wali yang jauh menurut pendapat yang kuat, tetapi dianjurkan meminta izin
kepadanya atau izin kepadanya, hal ini untuk menghindari perbedaan pendapat tentang hal ini
dari
imam
tiga.
wali anak zina .
Wali bagi anak hasil Zina yang lahir setelah perkawinan.
Apabila seorang perempuan melahirkan anak setelah sembilan bulan dari ijtimauz zaujain,
(kumpulnya suami isteri), kemudian isteri mengaku, bahwa sebelum kawin dia telah berbuat
zina dengan orang lain dan suami tidak mengakui anak tersebut, bahkan ada sebagian dukun

bayi yang mengatakan bahwa pada waktu perkawinan si isteri sudah hamil. Meski demikian,
anak ini tetap intisab (diakui anak kandung) dari suami sahnya tersebut karena suamilah yang
dianggap shahibul firasy. Bila mengikuti pendapat ini berarti anak perempuan hasil zina yang
lahir lebih dari 6 bulan setelah pernikahan sepasang suami isteri, maka wali nikahnya tetap
sang
suami.
Dasar Hukum GHAYATUT TALKHIS 246:

3
Seseorang menikahi wanita hamil, kemudian anaknya lahir setelah masa yang
memungkinkan seorang suami menggauli isteri dengan gambaran isteri melahirkan setelah 6
bulan lebih sedikit dari akadnya dan memungkinkan berhubungan sebagai hak suami. Dalam
sebuah hadis disebutkan :


Anak itu menjadi hak orang yang menjadi shahibul firasy (memiliki isteri)
Catatan : pendapat ini ditolak oleh al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel dengan alasan bahwa
pendapat itu dirumuskan disebabkan karena sulitnya mendeteksi kehamilan pada zaman
dahulu, sementara sekarang sudah dapat dideteksi dengan mudah. Batas waktu terpendek dari
sebuah kehamilan yang 6 bulan yang memungkinkan seorang bayi lahir dengan selamat itu
dihitung dari hubungan bukan dari akad nikah. Bila nyata-nyata seorang anak perempuan itu
hasil dari hubungan yang tidak sah/zina, maka pernikahan anak perempuan ini, menurut
sebagian ulama walinya adalah HAKIM. Namun bila tidak secara nyata diketahui hasil zina
maka bisa mengikuti ketentuan diatas.
Wali bagi anak Hasil Wathi Syubhat.
Wathi Syubhat adalah hubungan suami istri yang tidak bisa dipastikah halal dan haramnya,
Wathi SYUBHAT dapat diartikan pula dengan perbuatan senggama
seseorang atas wanita yang dalam prasangkaanya halal baginya, seperti
hubungan suami istri dalam perkawinan sah, ternyata dikemudian
diketahui suami istri tersebut masih semahrom. Menurut Syafiiyyah Wathi
syubhat terbagi atas tiga macam :
Syubhatul Khukmiyah (hukum), semisal orang yang menjima perempuan
yang dianggap isterinya.
2. Syubhatul machal (perempuannya), semisal orang yang menjima budak
perempuan yang musytarokah (milik bersama).
3. Syubhatut thoriq, semisal jima dari pernikahan tanpa wali (karena ada
ulama yang memperbolehkannya).
1.

Wali nikah dari anak yang hasil wathi syubhat tersebut adalah orang yang mewathi itu
sendiri. Dasar Hukum SYARQAWY II/328:




...

berbeda dengan seseorang yang berzina karena dipaksa untuk tunduk, sesungguhnya dia tidak
wajib menjalani iddah, dan tidak tetap sebab hubungan badan tersebut. Berbeda dengan
hubungan badan secara syubhat (wathi syubhat), sesungguhnya nasabnya di tetapkan karena
dilihat dari persangkaan orang yang menyetubuhi.
Anak
yang
dilahirkan dari
pernikahan syubhat
seperti
pernikahan semahrom yang sebelumnya tidak diketahui, maka anak
tersebut ada hubungan nasab pada bapaknya, anak tersebut berhak
mendapatkan waritsan dari bapaknya karena di anatara sebab menerima
waritsan adalah ada hubungan nasab, sebagaimana disebutkan :


: .
/ .
/ . ____
Orang yang berhak menjadi Wali Hakim
Wali Hakim, menjadi hak orang yang berkuasa didaerah calon pengantin
putri baik secara umum seperti imam atau secara khusus (terbatas)
seperti qadli dalam konteks Indonesia, berdasar undang-undang yang
berlaku di Indonesia wali hakim dikuasakan kepada kepala kantor urusan
agama di wilayah kecamatan masing-masing. Dasar Hukum Ianatuth
Thalibin III/314 :



:





...
(




(


5
(penjelasan maksudnya) yang dimaksud sulton adalah orang yang
memiliki wilayah baik wilayah secara umum atau khusussampai pada
pernyataan: kesimpulannya adalah yang dimaksud dengan sulton adalah
setiap orang yang memiliki kekuasaan dan perwalian atas perempuan
baik secara umum seperti Imam atau spesifik seperti hakim dan orang
yang diberi kuasa untuk menjalankan beberapa akad nikah atau satu
pernikahan tertentu.
Penggantian posisi wali hakim yang berhalangan ini disyahkan pula dalam tinjauan fiqh
sebagaimana disebutkan dalam kitab Zaitunah al Ilqah halaman 169 :





*













*









Ulama Syafiiyah menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti
(posisi) hakim apabila pemerintah mengizinkan dengan penetapan yang
tidak tertolak. Apabila izin bagi pengganti hakim dalam menikahkan
didapatkan, kemudian pengganti hakim ini menikahkan, maka sah akad
nikahnya tanpa ada halangan. Ibarat kitab ini, disamping menguatkan
pembolehan mengganti posisi wali hakim yang lowong oleh sebab-sebab
tertentu, juga menafikan keabsahan wakalah wali hakim yang tidak
dilakukan Ka Sie Urais untuk atas nama Menteri Agama, sebagaimana
dalil diatas; orang lain boleh mengganti posisi hakim apabila pemerintah
selaku sulthan mengizinkan. PMA no. 30 tahun 2005 bab 3 pasal 3 ayat 2
menyatakan yang berhak menunjuk penghulu untuk mengganti jabatan
Kepala KUA yang berhalangan untuk menjadi wali hakim adalah Ka Sie
Urais. Dengan demikian penunjukan langsung oleh Kepala KUA selaku wali
hakim kepada penghulu untuk mewakili menjadi wali hakim, menjadi tidak
sah, karena fiqh menuntut izin/kewenangan dalam pemberian hak
mewakilkan dari sulton atau dalam bentuk aturan perundangan.
Kehadiran wali dalam akad nikah sesudah pasrah wali.
Apabila seorang wali nikah telah mewakilkan akad nikah kepada orang
lain, kemudian ikut hadir dalam majlis akad tersebut, maka akad itu
dihukumi sah, apabila hadirnya si wali tersebut tidak untuk menjadi saksi
nikah.
Dasar Hukum Hasyiyah al Bajuri II/102:
6



.






Seandainya bapak atau saudara sendiri/pribadi mewakilkan dalam akad,
dan hadir beserta yang lain agar keduanya menjadi saksi, maka
pernikahan tersebut tidak sah karena saksi itu menegaskan keberadaan
akad, maka wali tidak dapat menjadi saksi.
Akan tetapi dalam permasalahan ini, ada pendapat yang menyatakan
ketidak bolehan kehadiran wali dalam majlis akad tersebut setelah pasrah,
sebagaimana disebutkan dalam kifayatul ahyar hal 51 :


...
Seandainya telah pasrah seorang wali dan (calon) suami atau salah satu
diantaranya, atau hadir wali (tersebut) dan wakilnya dan wakil tersebut

mengakadkan, maka tidak sah nikahnya karena wakil adalah pengganti


wali (tersebut)...
Maka untuk kehatia-hatian, alangkah lebih baiknya seorang wali yang
sudah
pasrah
untuk
meninggalkan
majlis
akad
untuk
menghindaripendapat diatas.
Wakalah secara umum bukan termasuk wakalah nikah.
Ada orang menyerahkan anak perempuannya kepada Kyai secara total
atau pasrah bongkoan. Dengan penyerahan ini, tidak cukup bagi Kyai
menikahkan anak perempuan tersebut tanpa ada akad wakalah. Karena
penyerahan secara total itu termasuk akad wakalah yang rusak (tidak
sah) sebab perkara yang diwakilkan tidak diketahui/maklum. Dasar
Hukum. Madzahibul Arbaah III/182:

7
Dan adapun sesuatu yang diwakilkan, sesungguhnya ada beberapa syarat
didalamnya. Salah satunya, keberadaan perkara yang diwakilkan itu
sudah diketahui meski dari salah satu sudut pandang saja. Apabila hal
yang diwakilkan itu tidak diketahui pasti, maka pemasrahan perkara/wakil
itu tidak sah. Adapun contoh yang tidak diketahui itu, seperti seseorang
yang berkata:saya mewakilkan kepadamu atas segala perkaraku atau
disetiap hal yang banyak maupun kecil maka proses wakil ini tidak sah
karena terdapat kebodohan yang menipu yang dapat mendatangkan
perselisihan.
.
Muhakkam ketika hakim menolak.
Seorang wanita meminta Hakim untuk menikahkannya, karena walinya
pergi dalam jarak dua marhalah (82 km), akan tetapi Hakim tidak mau
sehingga akhirnya ia meminta seorang Kyai untuk menikahkan.
Pernikahan yang diijabkan Kyai tersebut sah apabila dia termasuk orang
yang adil. Hal ini menurut pendapat yang lebih mendekati
kebenaran.Dasar Hukum Al Anwar II/54;

Seandai seorang perempuan meminta, sementara qadli/hakim tidak


meluluskannya, apakah perempuan itu boleh meminta perwalian
muhakkam yang adil untuk menikahkannya dalam keadaan seperti itu
karena alasan darurat atau karena qadli menolaknya. dalam hal ini ada
pembahasan. mungkin yang pertama yang lebih dekat (menikahkan)
apabila hakim setempat tidak berkehendak dengan itu, agar tidak
mendatangkan kerusakan bagi wanita itu.
wali jauh vs wali dekat
Bila seorang wali aqrob tidak mau menikahkan anak wanitanya, wali yang
lebih jauh tidak boleh menikahkan anak wanitanya tersebut tanpa seizin
wali terdekat bahkan dia berdosa. Tetapi apabila penolakannya
menimbulkan kefasikan dan kemaksiatannya lebih banyak dari
ketaatannya maka hukumnya boleh. Dasar Hukum Ianatut Tholibin
III/316-317:
8






Begitu juga Hakim yang menikahkan, apabila wali yang dekat, orang yang
memerdekakan atau waris ashobah (orang yang berhak mendapatkan
waris ashobah) membangkang/menolak menikahkan (adlol) menurut
pendapat mayoritas ulama, tetapi setelah mendapatkan penetapan
(pengadilan agama) atas adlolnya wali tersebut dengan penolakan,
diamnya wali ketika orang yang melamar, perempuan, wakilnya datang
atau ada bukti ketika menolak atau sindiran.... ya (tetapi) apabila wali
yang menolak itu fasiq karena sering menolak besertaan kuantitas
ketaatannya tidak lebih baik dari kemaksiatan yang dilakukan. atau kita
katakan
sesuatu
yang
disampaikan
mayoritas
ulama,
bahwa
sesungguhnya dosa besar apabila wali jauh menikahkan, namun bila tidak
ada masalah kefasikan maka hakim.
Pengantin tidak sederajat.
Pernikahan Pasangan Yang Tidak Sederajat seorang gadis terhormat dan
pemuda rendahan (tidak kufu=sederajat) ingin menjalin hidup bersama,
tetapi ayah gadis itu tidak merestuinya, kemudian mereka melarikan diri
sejauh dua marhalah (82 km penghitungan jarak yang lebih berhati-hati
adalah dihitung dari batas kota ke batas kota yang lain). Dalam masalah
ini terjadi perbedaan pendapat, menurut pendapat yang kuat dan bisa
dijadikan pegangan, kedua orang tersebut tidak bisa melangsungkan
rencana pernikahan tersebut, bahkan hakim tidak sah menikahkannya.

Menurut pendapat muqabil muktamad pendapat yang lemah, mereka bisa


melangsungkan pernikahan tersebut. Dasar Hukum :
-Fathul Muin:


.






9
Adapun qadli (hakim) maka tidak sah baginya menikahkan (seorang
perempuan) dengan orang yang tidak sederajat meski sang perempuan
itu rela. Hal ini menurut pendapat yang bisa digunakan pegangan,
meskipun wali dari seorang perempuan ini ghaib ataupun tidak ada wali
sama sekali.
-Ianah al Thalibin juz 3 halaman 339:







(







(



(Penjelasan atas pendapat yang muktamad)sampai pada pernyataan
adapun pendapat yang lemah menyatakan sesungguhnya pernikahan itu
sah sebagaimana dijelaskan dalam kitab tuhfah, dan banyak ulama atau
lebih banyak lagi menyatakan sah. Ulama periode terakhir (mutaakhir)
mengunggulkan pendapat pertama dan menganggap pendapat yang
pertama lebih indah tidak sebagaimana pendapat kebanyakan ulama.
Pengarang kitab ini menjelaskan tentang tarjih (pengunggulan salaha satu
pendapat) oleh ulama mutaakhir, saya melihat di sebagian penjelasan
kitab fathul jawad (atas) sesuatu yang ditetapkan oleh sebagian murid
Imam Syafii, ada pendapat yang menyatakan sah secara mutlak, diantara
mereka yang menyatakan hal ini adalah; Sheikh Abu Muhammad, al Imam
(haramain), al Farali, al Ubbadi. Imam al Subuki condong pada pendapat
ini, Al Bulqini dan lainnya (malah) mengunggulkannya. Pendapat ini bisa
digunakan.
Menikahi mantan anak tiri dan mertua.
Seseorang diharamkan mengawini anak dari isteri yang telah ditalak
(bekas anak tirinya) yang tidak dipelihara, apabila sudah pernah
bersetubuh dengan ibunya anak, karena anak tersebut termasuk mahram,
maka
haram
dinikahi.
Dasar Hukum Ianatut Thalibin III/291:;




( )
(

)









10

Begitu juga anak isterinya, Sebagaimana haram menikahi orang tua dari
isteri, diharamkan juga menikahi anaknya apabila sudah pernah
bersetubuh dengan isterinya.
Mewakilkan qabul nikah melalui tulisan, Email, Telpon.
Mewakilkan Qabul lewat e-mail, telepon, telegram, atau surat mandat
hukumnya sah-sah saja apabila pada waktu melakukan (menulis) disertai
dengan niat. Sebab mewakilkan (akad wakalah) melalui media tersebut
termasuk kinayah, dan sudah maklum bahwa setiap akad kinayah bisa
ada legalitas dari syara apabila disertai dengan niat. Dasar hukum
Hasyiyah al-Syarwani bab Wakalah Juz 5 hal 374:

) (

Tulisan bukan pada sesuatu yang cair atau diudara adalah termasuk
kinayah (sindiran) maka sah akad wakil dengan tulisan itu apabila
besertaan niat (pendapatnya dan tulisan) dan diantaranya adalah kabar
berjalan yang terbaru (seperti email) pada masa kini, maka hukum
akadnya seperti kinayah dalam hal-hal yang sudah jelas.
Menikah dengan wanita ahli kitab.
Bagi pengikut madzhab Al Imam al Syafii, menikahi perempuan dari ahli
kitab zaman sekarang tidak diperbolehkan, karena menurut Imam al Syafii
pengertian ahli kitab adalah pengikut ajaran taurat dan injil sebelum
turunnya al Quran. Dasar Hukum Tafsir al Munir Juz I halaman 192:

11
Mayoritas fuqoha berkata: hanya diperbolehkan menikahi wanita ahli
kitab yang memeluk ajaran taurat dan injil, sebelum turunnya al Quran.
Barangsiapa berpegang pada kitab tersebut setelah turunnya al Quran,
maka dia tidak tergolong Ahli Kitab. Pendapat ini adalah madzhab Imam al
Syafii. Adapun para pemilik madzhab tiga tidak sependapat dengan
pendapat ini. Mereka justru memutlakkan pendapat yang menghalalkan
sembelihan Ahli Kitab dan juga menikahi perempuan-perempuan Ahli
Kitab, meskipun mereka itu memeluk agama Ahli Kitab setelah kitabnya di
nasakh (dihapus).

Menikahi perempuan pezina.


Menikahi perempuan pezina disikapi para ulama dengan dua pendapat
yang
berbeda:
1. Haram.
2. Diperbolehkan.
Dasar Hukum Rowai al Bayan Juz II halaman 49:
:
















Hukum ketigabelas mengenai apakah sah menikahi perempuan pezina?
Ulama salaf dalam
menyikapi masalah ini, terpecah menjadi dua
pendapat: Pertama, Haram menikahi perempuan pezina. Pendapat ini
dikutip dari Sayidina Ali, Al Barra, Aisyah dan Ibn Masud. Kedua,
Diperbolehkan menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Abu
Bakar, Umar dan Ibn Abbas. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas dan
didukung Madzhab Empat yaitu para imam mujtahid kenamaan.
Kawin lari.
Ada dua sejoli (Arif dan Desy) sepakat untuk menikah dan keluarga
masing-masing merestuinya, kemudian Arif mengedarkan undangan yang
hari dan tanggalnya telah disepakati oleh keluarga Desy. Namun karena
satu dan lain hal keluarga Desi minta agar acara tersebut diundur. Karena
undangan terlanjur beredar akhirnya pada saat pelaksanaan acara
tersebut Arif menculik Desy untuk diakadkan dengan menggunakan wali
seorang Kyai.
12
Mengenai kasus ini ulama berbeda pendapat tentang keabsahan
pernikahan tersebut. Ada yang mengatakan sah dengan catatan tidak ada
hakim atau ada tetapi memungut bayaran. Ada yang mengatakan sah
secara mutlak baik ada hakim atau tidak dengan syarat Kyainya harus
adil. Dasar Hukum Bughyatul Mustarsyidin halaman 207:










(





)









kesimpulan dalam masalah tahkim-permohonan wali muhakkam- bahwa
penetapan hukum seorang mujtahid pada selain masalah uqubatillah
diperbolehkan secara mutlak meskipun ada hakim yang mujtahid disana,
seperti penetapan hukum seorang ahli fiqh yang bukan mujtahid
besertaan ketiadaan qadli/hakim yang mujtahid, dan penetapan hukum

orang yang adil besertaan ketiadaan hakim sama sekali atau hakim yang
ada meminta uang meski hanya sedikit, tetapi tidak sah bila penetapan
hukum itu besertaan adanya hakim yang mujtahid dan tidak memungut
uang.
Masalah orang yang ditunjuk jadi saksi.
Saksi dalam Pernikahan tidak harus orang-orang yang telah ditunjuk
sebelum akad, bahkan boleh secara umum (tidak ditentukan) yaitu orangorang yang hadir dalam majlis akad, yang mendengar ijab dan qabul.
Dasar Hukum:









)




(











(







]



[
(tidak sah) pernikahan (kecuali dihadapan dua orang saksi) secara
sengaja atau mufakat dengan gambaran kedua saksi itu mendengar ijab
kabul yaitu sesuatu yang wajib dari keduanya yang terkait dengan
keabsahan akad nikah tidak termasuk mengucapkan mahar sebagaimana
hal itu telah jelas.
13
Memperbaharui Akad untuk legalitas.
Praktek memperbaharui akad nikah dalam pandangan fiqih disebut tajdid
nikah atau pembaruan nikah.
Hukum memperbarui akad nikah ini
terdapat Khilaf (perbedaan pendapat Ulama') diantaranya :
1. Boleh/Jawaz Menurut Qaul shahih (pendapat yang benar) , tidak merusak
pada 'Akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui 'Aqad itu hanya
sekedar keindahan (al-Tajammul) atau berhati-hati (al-Ihtiyath). Dasar :
-Kitab Hasyaih al-Jamal ala al-Minhaj juz IV hal 245:






-Fathul Baari XIII/159:

.


(
(























(bab tentang orang yang melakukan transaksi jual beli dua kali) bercerita
kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn Abi Ubaidah dari
Salmah RA. Salmah berkata : saya melakukan transaksi jual beli dengan
Nabi Muhammad SAW di bawah pohon, kemudian Rasul berkata padaku,
apakah kamu tidak melakukan akad transaksi? Saya telah melakukan
akad wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada
waktu yang kedua. Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat :
Dari hadits ini dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa
mengulangi akad nikah atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang
pertama berbeda dengan orang yang menyangka bahwa hal itu dari
ulama as Syafii. Penyusun kitab Fathul Bari berkata : pendapat yang
benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak merusak
sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.
14
Karena pendapat pertama memperbolehkan Tajdidun nikah, maka akad
nikah kedua tersebut tidak merusak akad pertama, sebab akad yang
kedua hanyalah akad nikah yang dalam bentuknya saja, dan hal tersebut
bukan berarti merusak akad yang pertama. Pendapat ini merupakan
pendapat yang Shohih dalam madzhab Syafi'i, sebagaimana dijelaskan
oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari Juz : 13, Hal : 199:

:
: :
... :
:


Kami melakukan baiat kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu,
Nabi SAW menanyakan kepadaku : Ya Salamah, apakah kamu tidak
melakukan baiat ?. Aku menjawab : Ya Rasulullah, aku sudah melakukan
baiat pada waktu pertama (sebelum ini). Nabi SAW berkata : Sekarang
kali kedua.
Syarah Minhaj Li Shihab Ibn Hajar Juz 4 halaman 391:

Sesungguhnya murninya kecocokan suami pada kasus akad yang kedua


misalnya, bukanlah pengakuan atas rusaknya penjagaan atas akad yang
pertama, bahkan hal itu bukan sindiran untuk itu, dan ini jelas. Karena
akad kedua itu hanyalah untuk memperbarui sebagai tuntutan pada
suami untuk memperindah (hubungan) dan berhati-hati.
15
Karena akad yang kedua tidak merusak akad nikah yang pertama, maka
akad yang kedua juga tidak mengurangi jatah talak suami, jika
sebelumnya belum menjatuhkan talak, maka jatah talaknya masih 3, dan
bila sudah menjatuhkan talak satu, maka jatah talaknya tinggal 2 dan
seterusnya. Begitu juga pihak laki-laki tidak perlu memberikan mahar lagi.
2. Tidak Boleh, menurut Syekh Ardabili, dengan melakukan tajdid nikah,
maka akad nikah yang pertama menjadi rusak, dan tajdid nikah itu
dianggap sebagai pengakuan (iqror) perpisahan, dan tajdid nikah tersebut
mengurangi jatah talak suami, dan diharuskan memberikan mahar lagi.
-Al anwar li amalil abrar Juz 7 hal 88 :



.
Seandainya seseorang memperbaharui nikah dengan istrinya maka wajib
baginya membayar mahar lagi karena hal tersebut merupakan penetapan
didalam perceraian (al-Firqati).
-Tuhfatul Muhtaj, Juz : 7 Hal : 391:

(
)
(







16
Sering orang melakukan nikah sirri, tidak melalui KUA. Dikemudian hari,
dia meresmikan pernikahannya melalui KUA dan dalam peresmian
tersebut dia melakukan akad nikah lagi. Hukum akad nikah yang kedua ini

mengambil pendapat pertama adalah MUBAH dan dalam akad nikah


kedua ini pengantin pria tidak wajib membayar mahar lagi. Nikah kedua
ini juga tidak mempengaruhi terhadap haqqut thalaq menurut pendapat
yang shahih.
Akan tetapi perlu diketahui, untuk penetapan legalitas nikah lebih baik
menggunakan Itsbat di PA sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum
Islam. Pembaharuan Nikah yang dilakukan di KUA, apabila sudah
mempunyai anak akan bermasalah dikemudian hari terhadap status anak,
karena tanggal kelahiran anak dengan surat nikah tidak akan sesuai, ini
akan menjadi masalah dikemudian hari.
Kekeliruan menyebut nama dalam akad .
Dalam sebuah pernikahan, tidak jarang kita menemui seorang wali, wakil
wali atau pengantin pria keliru dalam mengucapkan sighat ijab kabul,
sehingga seringkali dipaksa hadirin untuk diulang ijab kabulnya.
Sebenarnya ada beberapa toleransi kekeliruan yang tidak mempengaruhi
keabsahan sebuah akad. Salah satu contohnya adalah kekeliruan
penghulu atau orang yang mendapat wakalah menikahkan, menyebutkan
nama wali, seperti Fatimah binti Utsman diucapkan Fatimah binti Umar,
maka pernikahan itu hukumnya tetap sah apabila pada waktu akad tadi
wali atau penghulu memberi isyarat kepada calon isteri atau wali atau
penghulu menyengaja terhadap calon isteri yang dimaksud seperti kata
ya muhammad hadza (wahai muhammad ini/yang ada dihadapanku)
meski ternyata namanya abdullah misalnya, ijab kabul tetap sah karena
ada penyebutan hadza/orang ini atau diniatkan orang yang ada
dihadapannya. ketentuan ini sesuai dengan paparan dalam kitab
Bughyatul Mustarsyidin halaman 200:
















17
(masalah sy) engkau mengganti nama pengantin putri atau nasabnya
ketika meminta izin dalam pernikahan dan hakim menikahkannya dengan
nama itu ternyata nama dan nasabnya itu bukan nama atau nasab yang
engkau sebutkan. Bila akad itu diisyaratkan kepadanya dengan gambaran
hakim berkata saya nikahkan engkau dengan orang ini, atau meniatkan
kepada sang pengantin putri ketika menyatakan nama yang keliru itu,
maka pernikahannya tetap sah, baik perubahan nama itu disengaja atau
karena lupa nasab dan namanya, karena acuan hukum yang digunakan
adalah penyengajaan wali, meski wali hakim dan penyengajaan suami,
sebagaimana perkataan wali saya nikahkan kamu dengan hindun dan
meniatkan dakdan, hal ini juga berdasar niat pengantin perempuan.

Akad melalui telepon/teleconference.


Sesungguhnya dalam tinjauan fiqh syafi Ijab qabul dalam akad nikah
melalui telepon atau teleconfrence hukumnya tidak sah, sebab tidak ada
pertemuan langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah.
Keharusan para pihak, calon pengantin harus dalam satu majelis ini untuk
meminimalisir penipuan atau untuk meyakinkan terjadinya pernikahan.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar II/51 dijelaskan :




( )








.


(cabang) disyaratkan dalam keabsahan nikah, hadirnya 4 orang: wali,
calon suami dan dua orang saksi yang adil.
Begitu juga dalam kitab Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib III.335
disampaikan





(






)




















.

Dan sebagian dari hal-hal yang diabaikan dari syarat saksi dalah
mendengar, melihat dan cermat (pernyataan penyusun : dan cermat)
maksudnya cermat atas ucapan wali pengantin putri dan pengantin putra.
Tidak cukup mendengar ucapan mereka di kegelapan karena mengandung
keserupaan.

18
Ketidak absahan ini bukan berarti hukum Islam mengesampingkan
teknologi, namun dibalik kecanggihan teknologi juga ada kemudahan
dalam memanipulasi. bisa saja suaranya dirubah, didubling oleh suara
orang lain, pastinya kita sudah mengetahui banyak tentang hal ini.
Sebuah pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan
kemaksiatan, setiap kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan
perzinaan diantara dua orang. karena itu harus dijalankan secara berhatihati
dan
tidak
sembrono.
Bagaimana bila salah satunya berhalangan hadir? perlu diketahui pula,
bahwa ketidak mampuan hadir dapat diganti dengan cara mewakilkan
baik melalui surat, utusan orang atau telepon. Dalam Kantor Urusan
Agama biasanya juga disediakan blangko tauliyah bil kitabah.
Pernikahan sesama murtad.
Pernikahan orang yang murtad tidak sah. Orang yang murtad tidak dapat
menikah dengan orang muslim, kafir atau bahkan dengan sesama murtad.
Dasar Hukum. Bughyatul Mustarsyidin 205:




...





wanita yang murtad, tidak diperkenankan kepada siapapun menikah


dengannya
baik
orang
kafir
atau
sesama
murtad.
Qulyubi wa Amirah juz 3 halaman 253:


)
















(


Dan seorang wanita murtad tidak halal bagi siapapun juga, tidak dengan
orang muslim karena wanita itu orang kafir dan tidak diakui, juga tidak
dengan orang kafir, (termasuk juga orang murtad) karena tetapnya
hubungan keislaman didalam wanita itu.
19
Pernikahan muslim dan kafir.
Seorang muslim tidak sah menikah dengan orang kafir. Dasar Hukum
Kitab Syarqawi II/237:


)
(







Artinya : (dan tidak sah) pernikahan orang muslim dengan orang kafir
yang bukan kitabiyah murni.
Nikah Paksa Oleh Polisi .
Pernikahan yang dilakukan karena dipaksa (seperti karena berbuat zina)
oleh polisi atau hakim, maka pernikahan itu tidak sah! Karena syarat
sahnya nikah, harus dengan kemauan si calon suami. Dasar Hukum Kitab
Tanwirul Qulub:
Artinya: dan (orang yang hendak menikah itu) haruslah dengan
kemauan sendiri, maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa.
Mendahulukan pihak lelaki dalam akad nikah.
Dalam akad nikah tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu
pihak. Jadi mendahulukan pihak lelaki atau pihak perempuan itu sama
saja (sah). Contoh: Aku mengawinkan kamu dengan anak perempuanku
atau aku mengawinkan anak perempuanku kepadamu. Keabsahan

mendahulukan salah
(mewakilkan
Kitab Sarh Raudloh:

satu pihak
wali).

ini

juga

berlaku
Dasar

dalam

wakalah
Hukum

Artinya:Karena sesungguhnya kekeliruan dalam pengucapan (ijab qabul)


ketika tidak merusak makna, sebaiknya pengertian itu disamakan dengan
kesalahan dalam Irab (bacaan huruf terakhir), maksudnya (hal itu tidak
menjadi
masalah).

20
Walimah rasulululullah.
Mengadakan walimatul ursy bagi pengantin memang disunnahkan
sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian Rasulullah
sama sekali tidak pernah menganjurkan untuk berlebihan atau harus
berhutang kepada orang lain sebagaimana sampaikan Rasulullah dalam
haditsnya. Tafsir al Tsa'labi:

:
. : :

Sunan al Kubra lil Baihaqie juz 11 halaman 57:




Mewakilkan orang menghadiri walimah.
Mendatangi undangan walimah yang wajib dihadiri hukumnya Fardlu Ain,
dan ada yang mengatakan Fardlu Kifayah. Apabila seseorang berhalangan
dan mewakilkan kepada orang lain, secara hukum Islam itu tidak
termasuk udzur yang bisa menggugurkan kewajiban. Lebih jelasnya;
mendatangi undangan walimah yang sudah memenuhi persyaratan,
hukumnya fardlu ain. Dengan demikian, kewajiban tersebut tidak bisa
gugur dengan datangnya wakil, kecuali udzur atau mengutarakan alasan
yang kemudian diridloi oleh orang yang mengundang. Namun sebagian
ulama ada yang mengatakan hukumnya fardlu kifayah, konsekwensinya
kewajiban mendatangi undangan tersebut gugur dengan datangnya
sebagian
undangan.
Dasar
Hukum
Kifayatul Akhyar II/71:

21
Kalau orang yang diundang meminta izin ke pengundang dan dia rela
diwakilkan kepada orang lain, maka kewajiban hadirnya gugur.
Masalah batasan nusuz.
Batasan Nusyuz Isteri Sudah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa yang
memasak mencuci dan menyapu adalah isteri. Sebenarnya rutinitas
tersebut adalah kewajiban suami. Andai rutinitas ini diperintahkan suami
kepada isteri, maka isteri tidak wajib memenuhinya. Pengingkaran atas
perintah ini tidak termasuk nusyuz/melawan. Adapun batasan ketaatan
yang harus dijalani seorang isteri terhadap suami adalah sepanjang
kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami selama tidak berupa maksiat
dan diluar kemampuan. Dasar Hukum Hasyiyah al Bajuri Juz 129:

(










)



.











Dan yang kedua dari sisi isteri dan arti dari perlawanan isteri adalah
pengingkaran dari menjalankan kewajibannya. (pernyataan penyusun;
pengingkaran dari menjalankan kewajibannya) maksudnya, ketaatan,
interaksi yang baik, penyerahan diri isteri dan menetap dirumah).
Seorang isteri dapat bekerja dan memberi nafkah suaminya dengan izin
sang suami, suami juga dapat bekerja kepada isterinya. Nafkah yang
diberikan isteri ini halal di makan suami dengan catatan suami
berkeyakinan atau ada tanda-tanda bahwa isteri senang hati untuk
memberi nafkah, dan bekerja. Hal ini disamakan dengan mahar yang
disebut dalam firman Allah yang artinya: Jikalau mereka para isteri
senang hati untukmu, maka makanlah Mahar itu dengan baik dan tulus.
Demikian pula, halal bagi isteri bekerja dengan seizin suami. Dasar Hukum
Keputusan
muktamar
NU
Ke
14,
(1
Juli
1939)
Al Quran, an Nisa ayat 4:
q?#uur u!$|iY9$# `kJs%| \'s#tU 4 b*s t N3s9#)
`t &x mZiB $TtR nq=3s $\Zyd $\D
22
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan[ 267]. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap
lagi
baik
akibatnya.

pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas


persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan
ikhlas.
Menggantungkan nikah pada kesejahteraan.
Menggantungkan Pernikahan Pada Kesejahteraan ada seseorang
mengatakan; jika perkawinan saya ini sejahtera maka akan saya
teruskan tetapi jika tidak maka tidak saya teruskan. Perkataan yang
seperti ini tidak termasuk taliquth thalaq (menggantungkan perceraian)
atau unsur-unsur talak. Hanya saja meski tidak ada masalah, seorang
suami tetap harus berhati-hati mengucapkan hal yang terkait dengan
pernyataan talak. Dasar Hukum As Syarqawi II/253,259:


.








Rukunnya talak ada 4 ; orang yag mentalak, sighat/ucapan, niatan
mentalak,
dan
isteri
Pesangon untuk yang diceraikan .
Memberikan
Uang
Pesangon
Untuk
Isteri
Yang
Diceraikan
Memberikan mutah (uang pesangon) kepada isteri yang dicerai
hukumnya wajib dengan ketentuan sebagai berikut :
-

Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian
salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang
mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum
adanya penentuan mahar.
Dasar Hukum Ianah al Tolibin Juz 3 Hal. 356:
23



(








)





:






































Penyempurna: Seorang suami wajib memberikan mut'ah (pesangon)
kepada isteri yang sudah pernah dikumpuli meskipun seorang budak.
sebab menceraikannya yang sebab perceraian itu bukan dari pihak isteri

dan bukan karena kematian salah satu dari suami isteri (Pernyataan:
kepada Isteri yang pernah dikumpuli) begitu juga wajib diberi mut'ah isteri
tercerai yang belum pernah dikumpuli yang suami tidak memiliki
kewajiban apapun, perempuan itu menyerahkan (nilai mahar yang
diberikan) dan diceraikan sebelum nilai maharnya ditentukan dan belum
dikumpuli. maka wajib memberikan pesangon karena Firman Allah : Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah
(pemberian) kepada mereka). Adapun bagi isteri yang wajib bagi
suaminya yang mentalak memberikan separuh mahar maka isteri yang
tertalak tersebut tidak berhak mendapat mut'ah, karena separuh mahar
itu menutupi rasa duka yang dihasilkan tersebab talak besertaan
selamatnya keperawanannya. 'adapun bila suami menyatakan sesuatu
yang juga disampaikan kepada orang lain kepada isterinya maka suami
tidak wajib memberikan separo mahar saja karena tidak wajib
memberikan mahar sama sekali atau suami wajib memberikan mahar
penuh maka hal ini lebih utama karena penjelasannya menghilangkan
kesamaran.
Iddah yang haid berhenti.
Seorang perempuan dalam masa iddah tiga sucian menjalani operasi yang
menyebabkan berhentinya haid selama dua tahun, padahal dia belum
mencapai umur yasi /menopause. Bila dia hendak menikah, dia harus
menunggu haid lagi sebagai kelanjutan iddah yang telah dijalani. Apabila
sudah tidak haid lagi, maka harus menungggu sampai batas umur yasi
dan beriddah tiga bulan, dengan cara meneruskan iddah yang lampau,
upama yang dijalani sudah satu sucian, maka tinggal meneruskan dua
bulan hilali. Dasar Hukum Al Mahalli IV/42:
24

(







)







(dan wanita-wanita yang terputus haidnya karena suatu sebab) sebab itu
dapat diketahui seperti karena menyusui dan sakit, maka wanita itu harus
bersabar( menunggu) hingga haid(nya keluar) kemudian wanita itu ber
iddah dengan menghitung sucinya atau menopause maka beriddah
dengan hitungan bulan.
Dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Dasar Hukum. Ianah al Tolibin Juz 3 Hal. 356:


(

:

Penyempurna: Seorang suami wajib memberikan mut'ah (pesangon) kepada isteri yang sudah
pernah dikumpuli meskipun seorang budak. sebab menceraikannya yang sebab perceraian itu
bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu dari suami isteri (Pernyataan:
kepada Isteri yang pernah dikumpuli) begitu juga wajib diberi mut'ah isteri tercerai yang
belum pernah dikumpuli yang suami tidak memiliki kewajiban apapun, perempuan itu
menyerahkan (nilai mahar yang diberikan) dan diceraikan sebelum nilai maharnya ditentukan
dan belum dikumpuli. maka wajib memberikan pesangon karena Firman Allah : Tidak ada
kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka). Adapun bagi isteri yang wajib bagi
suaminya yang mentalak memberikan separuh mahar maka isteri yang tertalak tersebut tidak
berhak mendapat mut'ah, karena separuh mahar itu menutupi rasa duka yang dihasilkan
tersebab talak besertaan selamatnya keperawanannya.
26
adapun bila suami menyatakan sesuatu yang juga disampaikan kepada orang lain kepada
isterinya maka suami tidak wajib memberikan separo mahar saja karena tidak wajib
memberikan mahar sama sekali atau suami wajib memberikan mahar penuh maka hal ini
lebih utama karena penjelasannya menghilangkan kesamaran.
Syarat Shighat Ijab Qobul.
Syarat Shighat/lafal Ijab Qobul adalah :
1

1.Ijab hendaknya menggunakan lafal Ankahtuka/zawajtuka (aku


nikahkan/aku kawinkan engkau), maka tidak sah jika menggunakan kata
lain seperti lafal akhlaltuka Ibnaty (aku halalkan kepadamu anak
perempuanku) atau aku ikat engkau atau Aku jodohkan engkau dll,
sebagaimana keterangan dalam Fatkhul Muin hal 99 :

) ( ) ( ....
.....

...Ijab dari wali, yaitu seperti lafal zawajtuka wa ankahtuka mauliyata


fulanah.. maka tidak sah ijab kecuali dengan kedua lafal ini....
L2. lafal Ijab Qobul boleh menggunakan bahasa arab atau bahasa lain yang
makna dan artinya merupakan terjemah dari lafal Nikah/Tazwij
sebagaimana dalam fatkhul muin hal 99:

)( )(

......
Dan sah nikah dengan menggunakan terjemah, artinya terjemah dari
kedua lafal (Ankahtuka/zawajtuka) dengan bahasa manapun, walaupun
orang (yang akan melakukan ijab qobul) tersebut bagus bahasa arabnya,
akan tetapi dalam hal ini disyaratkan supaya menggunakan bahasa yang

yang sudah diakui oleh ahli bahasa sebagai bahasa yang benar (untuk
menikah)....
27
33. Ijab Mesti Tayin (jelas) yaitu harus disebutkan nama anak perempuan
yang dinikahkan, tidak boleh menyebut anak perempuan tanpa kepastian
dan kejelasan, seperti menggunakan kata-kata Aku nikahkan engkau
dengan
salah
seorang
anak
perempuanku
ijab
seperti
ini
batal.sebagaiamana dalam Fatkhul muin hal 100 :
...... ) ( ...
....Dan Tayin (jelas/nyata) untuk wanita (yang akan dinikahi), maka (jika
dikatakan ) saya nikahkan engkau dengan salah seorang anak
perempuanku maka batal, walaupun diringi dengan isyarat....
44. Ijab hendaknya diikuti dengan Qabul dari pengantin laki-laki dengan
segera (Muttashil) dan dalam satu majlis/tempat, sehingga tidak
diperbolehkan ijab diikuti dengan qobul oleh pengantin laki-laki setelah
berpindah majlis.
55. Ijab dan qobul hendaklah didengar dan dipahami dengan jelas oleh Wali,
Calon Pengantin dan dua orang saksi.
66. Ijab tidak diperbolehkan dengan bertaklik (menggantungkan lafal ijab
dengan sesuatu kejadian), seperti lafal Aku Nikahkan dan Kawinkan
engkau dengan anakku Zainab jika anakku diceraikan dan selesai
idahnya atau aku kawinkan dan Nikahkan engkau dengan anakku
Zainab jika rumahku terjual atau lainya. Sebagaimana dalam fatkhul
Muin hal 100:

)( ) (
....

...tidak sah nikah dengan taliq (menggantungkan ijab dengan


sesuatu kejadian) seperti dalam jual beli, akan tetapi nikah lebih utama
karena khusus di dalam nikah dituntut kehati-hatian, seandainya seorang
Bapak berkata kepada seseorang :Jika anakku di talaq dan habis
iddahnya maka aku nikahkan dengamu..
77. Lafal Ijab hendaknya tidak menunjukkan perkawinan atau pernikahan
yang terbatas dan tertentu (di hadkan masanya). Umpamanya wali
berkata :Aku Nikahkan dan Kawinkan engkau dengan anakku Zainab
dalam masa sepuluh tahun sebagaimana dalam fatkhul muin hal 100:
28

)( ) (
....

...dan (tidak boleh) ijab berserta taqib bagi Nikah dengan


menggantungkan batas waktu yang diketahui atau tidak diketahui, maka
hal tersebut merusak sah dan memberi faedah larangan pada nikah
mutah, yaitu nikah dengan batasan waktu walau batasan waktu tersebut
seribu tahun...
89. Lafal Ijab harus diucapkan oleh Wali / Wakilnya (setelah menerima pasrah
Wali) atau Wali hakim

L10. Lafal Qobul hendaknya sesuai dengan lafal Ijab dengan menyebut Nama
Calon mempelai wanita, seperti :Aku terima Nikahnya/Kawinnya Fulanah
binti Fulan...
111. Qobul harus segera diucapkan setelah Ijab (tidak berselang lama) dan
tidak diselingi dengan perkataan lain diantara Ijab dan Qobul.
12. Lafal Qobul harus jelas, terang dan nyata, bukan kalimat sindiran.
113. Lafal Qobul tidak boleh bertaklik (menggantungkan dengan sesuatu)
dan tidak boleh terbatas waktu, misalnya dengan perkataan aku terima
Nikah dan kawinya Fulanah binti Fulan jika mobilku terjual... atau Aku
terima Nikah dan Kawinya Fulanah binti Fulan selama 10 tahun..
Hukum Menyebut mahar dalam akad.
Pembayaran mahar sangat Fleksibel, boleh tunai saat akad nikah, boleh ditunda hingga
setelah akad nikah, boleh dibayar sebagian di muka dan sebagian di belakang, sebagian tunai
dan sisanya dicicil, dan seterusnya sesuai kesepakatan suami istri itu. Cara apa pun yang
dilakukan tidak mengganggu kesahan akad nikah. Hukum menyebut mahar adalah
Sunah karena rosulullah tidak pernah meninggalkan dari menyebut mahar
semasa akad. Sebagaimana disebutkan dlam nihayatuzzain hal 314 :

) (

....
29
....Mahar menurut asalnya adalah sunah untuk menyebutkan kesesuain
(kadarnya) di dalam akad, karena Rosululloh SAW tidak pernah
meninggalkan menyebut mahar dalam akad, menyebut mahar itu juga
untuk menghindari pertentangan, begitulah...jika seorang menikahkan
budaknya (lk) dengan budak perempuan kitabiyahya maka tidak
disunahkan menyebutkan mahar, karena tidak ada faedah didalamnya.
Adapun menyebut mahar terkadang diwajibkan karena ada suatu
penyebab yang dituju, akan tetapi akad tidak batal dengan tidak
disebutkanya mahar....
Dalam Kifayatul akhyar 60/2 disebutkan:


Dan disunahkan menyebut mahar di dalam akad nikah, akan tetapi jika
tidak disebut akad nikah menjadi sah.."
Salah sebut mahar dalam akad.
Ulama-ulama mazhab Syafii mendefinisikan mahar sebagai m wajaba binikhin aw
wathin aw tafwti bidhin qahran. (Lihat: Al-Mawsah al-Fiqhiyyah). Tetapi, walaupun
hukumnya wajib, mahar tidak harus disebut (kadarnya, bentuk barangnya, dsb.) pada saat
akad nikah. Semua mazhab fikih sepakat bahwa penyebutan mahar bukan syarat sahnya akad
nikah. Nah, kalau tidak disebut saja boleh, maka tentu kalau keliru menyebutnya pun bisa
dimaklumi tanpa menggugurkan kewajiban suami untuk membayarnya.
Namun pertanyaan yang timbul adalah, Jika salah sebut, mana yang harus dibayar oleh
mempelai laki-laki, yang tertulis dalam akad nikah atau yang terucap? dalam hal ini, Jika
tidak terjadi perselisihan, kedua calon mempelai redha dan sudah maklum dengan mahar
yang sudah disepakati sebelumnya, maka pihak laki-laki membayar sesuai kesepakatan.
Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah (tdk musamma), kemudian terjadi perselisihan
antara keduanya, maka wajib atas laki-laki membayar mahar mitsil (mahar yang menjadi
ukuran keluarga mempelai wanita yang dijadikan standar akad nikah/mahar yang ditentukan

oleh keluarga mempelai wanita berdasarkan adat yang berlaku di kelurga dan lingkunganya) .
adapun Nikahnya tetap sah.
30
Sebagaimana disebutkan dalam Nihayatuzzain 315 :

( ) ( )(
()( )
)(
)( )( )(

.... ) (
Ketika terjadi perselisihan antara dua orang suami istri terhadap ukuran mahar yang telah
disebutkan, (seperti) ketika istri mengatakan engkau nikahi saya dengan mahar seribu,
kemudian suami mengatakan: (bukan seribu) tapi lima ratus.... Atau kedua berselisih pada
sifatnya, seperti seorang istri mengatakan:Kamu nikahi saya dengan mahar 1000 dinar..
tetapi suami mengatakan: dengan 1000 dirham... atau istri mengatakan:dengan seribu
benar/penuh... suami mengatakan:dengan seribu yang terpecah-pecah (terbagi/bukan
sekaligus).... dan (kadar mahar) yang tidak jelas antara keduanya, atau sudah jelas tapi
kemudian keduanya berselisih sesudahnya, sebagaimana perselisihan dalam jual beli. Dan
nyata disana suami kuat menentangnya dengan tetapnya perkataanya pada mahar. Kemudian
setelah keduanya berselisih, dihapuslah mahar musamma (yg sudah disebutkan) karena sebab
tidak diketahuinya (mahar), atau keduanya menghapuskanya/salah satu dari keduanya/
hakim, dan habislah dengan pembatalan didalamnya dari orang yang seharusnya berhak
karena adanya perselisihan yang tidak diketahui,dan dari kebohongan dibatalkan oleh hakim,
dan (akan tetapi) tidak dibatalkan mahar musamma dengan sebab perselisihan itu seperti
halnya dalam jual beli (gagal). Dan (akan tetapi) Wajib bagi seorang suami untuk membayar
Mahar Mitsil atau lebih sesuai dengan permintaan pihak mempelai wanita...

Anda mungkin juga menyukai