Anda di halaman 1dari 2

C.

Dasar Hukum Fasakh


Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh ataupun
dilarang. Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami istri merasa
dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena ia tidak memperoleh hak-
hak yang telah ditentukan oleh syarak sebagi seorang suami atau sebagai seorang istri.
Akibatnya salah seorang atau kedua suami istri tidak sanggup lagi melanjutkan
perkawinannya atau kalaupun perkawinan tersebut dilajutkan juga keadaan kehidupan
rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah buruk
keadaannya,1 sedang Allah SWT tidak menginginkan terjadinya keadaan demikian. Allah
SWT berfirman:

َ َ َ ‫وإذ َا طَل َّ ۡقتم ٱلنسٓا َء فَبل َ ۡغ‬


ٖ ۚ ‫م ۡع ُرو‬
....‫ف‬ َ ِ‫ن ب‬
َّ ُ‫حوه‬ َ ‫وف أ ۡو‬
ُ ‫س ِّر‬ ٍ ‫م ۡع ُر‬ َّ ُ‫سكُوه‬
َ ِ‫ن ب‬ َّ ُ‫جلَه‬
ِ ‫ن فَأ ۡم‬ َ ‫نأ‬َ َ َ ِّ ُ ُ َِ
٢٣١

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir


iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma'ruf (pula). (Q.S Al-Baqarah: 231)

Tedapat suatu riwayat dari Aisyah ra, bahwasannya anak perempuan al-Jaun
tatkala dipersatukan dia kepada Rasulullah saw dan ia hampir kepadanya. Ia berkata:
“Aku berlidung kepada Allah dai padamu”. Maka Rasulullah bersabda: “Kembalilah
kepada keluargamu”. (HR. Ibnu majah)

Hadist diatas menunjukan adanya pembatalan perkawinan yang telah dipraktekkan


dalam Islam, bahkan oleh Rasulullah saw sendiri. Bahkan dalam Islam sudah sangat jelas
bahwa segala sesuatu akad, termasuk akad perkawinan yang tidak memenuhi syarat atau
menyalahi aturan yang telah ditetapkan, secara otomatis batal, sekalipun tidak dibatalkan
secara resmi oleh pihak yang berwenang.

Pembatalan perkawinan (fasakh) memiliki dasar hukum yang tegas dalam Pasal
22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa: “Perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan”. Selai pasal 22, terdapat juga pada pasal 24 undang-undang tersebut, bahwa:
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan
1
Sudarto, Ilmu Fikih (Refleksi Tentang: Ibadah, Muamalah, Munakahat, dan Mawaris),
(Yogyakarta:Deepublish, 2018), hlm 210
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal (2) dan pasal (4) undang-undang ini.
Pernyataan tersebut menunjukan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam
undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.2

2
Sudarto, Ilmu Fikih (Refleksi Tentang: Ibadah, Muamalah, Munakahat, dan Mawaris),
(Yogyakarta:Deepublish, 2018), hlm 211

Anda mungkin juga menyukai