Anda di halaman 1dari 74

BAHAN AJAR

Hukum Acara Perdata


di Peradilan Agama

DOSEN : HJ. YUSNA ZAIDAH


Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama

I. Pengertian Hukum Acara

 Serangkaian aturan yang membahas cara cara menyelesaikan perselisihan lewat


pengadilan .

 Hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum materil.

 Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan, bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain dengan tujuan untuk
melaksanakan berjalannya peraturan peraturan hukum (hukum materiel)

Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama  Hukum Acara Perdata (karena yang
diselesaikan di PA adalah perkara perdata.

Hukum Acara Perdata adalah mengatur:


Cara mengajukan gugatan ke pengadilan (penggugat)]
Cara mempertahankan diri dari gugatan (tergugat)
Cara penegak hukum bertindak sebelum dan selama persidangan berlangsung, serta cara
memutus dan melaksanakan putusan.(Aparat pengadilan /hakim, panitera dan juru sita)
II. Sumber Hukum Acara Perdata di PA

Dalam Pasal 54 UUPA diatur bahwa: “Hukum Acara yang berlaku di lingkungan pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam uu
ini”

Sumber Hukum Acara Perdata di Peradilan Umum, al:

 B.Rv (Reglementop de Burgelijke Rechtsvordering) => Hk Acara untuk gol. Eropa yang
sudah tidak berlaku, namun karena masih relevan dan untuk mengisi kekosongan hokum,
maka masih dipakai, antara lain dalam hal : formulasi surat gugatan, perubahan surat
gugatan, intervensi dll.

 IR (Inlandsh Reglement) yang kemudian dirubah menjadi HIR (Het Herzience Indonesia
Reglement) yakni hokum acara yang diiperuntukkan bagi golongan bumi putra dan timur
asing yang berada di Jawa dan Madura.

 RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) yakni hokum acara yang diperuntukkan


bagi golongan bumi putra dan timur asing yang berada di luar Jawa dan Madura.

 BW (Burgelijk Wetbook voor Indonesia) atau KUHP yang pada buku ke IV memuat
tentang pembuktian.
 WvK (Wetboek van Koophandel) adalah KUHD.
 Undang Undang Nomer 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.
 Undang Undang Nomer 5 tahun 2004 tentang mahkamah Agung.
 Undang Undang Nomer 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang Undang Nomer 2
tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
 Undang undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Untuk PA, ditambah dengan yang diatur secara khusus antara lain termuat dalam:

 Undang undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU. No. 3 tahun 2006 jo.
UU no 50 tahun 2009 tentang perubahan atas UU no 7 tahun 1989 ttg PA.

 Inpres no 1 tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan KHI.

 UU. No 40 tahun 1999 tentang wakaf

 Yurisprudensi

 Surat Edaran MA

 Doktrin atau Ilmu Pengetahuan (Kitab kitab fiqh)


III. Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Agama :

1. Asas legalitas
Asas legalitas ini tergambar dalam :
 (Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989): “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”. Ketentuan ini dapat dimaknai bahwa setiap orang
mendapatkan :

 hak perlindungan hukum


 hak persamaan hukum.

 Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan
kewenangan peradilan harus berdasar atas hukum, mulai dari tindakan :
a) pemanggilan,
b) persidangan,
c) putusan yang dijatuhkan ,
d) penyitaan dan
e) eksekusi putusan.

UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama.
Asas ini juga terlihat dalam Undang Undang No 4 tahun 2004 ttg Kekuasaan
Kehakiman, yakni:

1) pasal 3 (2):” Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila”.

2) Pasal 5 (2):” Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-


bedakan orang”.

1) pasal 6 (1):” Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain
daripada yang ditentukan oleh undang-undang”.
2) Asas Personalitas Ke-islaman

Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-
islaman adalah :

a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islamdan atau bg


mereka yang menundukkan diri pada hukum Islam (khusus perkara ES)

a) Perkara perdata yang disengketakan adalah mengeni perkara yang didasarkan


kepada hk Islam.

a) Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu
acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
3) Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanir rahim” dan
diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Asas ini tergambar dalan ketentuan (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989, yang
berbunyi:

(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM


diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

Hal ini memberi pengertian bahwa Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya
selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan
ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-
irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan atau Asas
Fleksibelitas.

 Asas ini tergambar dalam ketentuan :

1) pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 :” Peradilan dilakukan dengan sederhana,


cepat, dan biaya ringan”.

2) Pasal 4 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman:” Peradilan


dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

3) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman :”


Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan”.
Yang dimaksud dengan :

 Sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta
tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan.

 Cepat yang dimaksud adalah :

 Dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris


persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut
untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali
lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada.

 Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara
lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan
dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.

 Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan
transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak
dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan
bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
6) Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-kurangnya tiga
orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan dibantu Panitera sidang.

Hal ini dapat dilihat pada ketentuan dalam UU No.4/2004 :

 Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3):


1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai
ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.

3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan
pekerjaan panitera.
7) Asas Non Ekstra Yudisial/Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur
tangan dari luar .
Asas ini dapat dilihat pada ketentuan dalam :

 Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 :” Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.”
 jo. Psl. 4 ayat (3) UU. No. 4/2004):” Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Hal ini mengandung pengertian di dalamnya bahwa dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya Peradilan Agama bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya,
dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra
yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
7) Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain.
Sebagaimana diatur dalam:

 Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989: ”Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum,
kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan
secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup”.

 Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) :” Sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Pengecualian dimaksud adalah:
 Seperti untuk Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Undang Undang no 7 tahun 1989::
1) Pasal 68 hurup b:” Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup.
2) pasal 80 hurup b :” Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup”

Akan tetapi pada saat pembacaan putusan atau penetapan dilakukan dengan terbuka
untuk umum, hal ini sebagaimana diatur dalam :
1) Pasal 60 UU No.7/1989:” Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
2) Psl. 20 UU No.4/2004):” Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
IV. Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Agama

Menurut pasal 55 UU. No. 7 tahun 1989 tentang Peradlan Agama :


"Pemeriksaan perkara di pengadilan baru dapat dimulai sesudah di ajukan permohonan atau
gugatan"

Berdasarkan ketentuan pasal di atas dikenal dua corak atau sifat pengajuan permintaan
pemeriksaan perkara kepada pengadilan, yakni :

1. Permohonan (gugat permohonan/ gugat volunter.


Perkara Volunter adalah perkara yang tidak mengandung sengketa tetapi ada kepentingan
hukum serta diatur dalam Undang-undang.

Ciri gugat volunteer adalah sbb:


Gugatan bersifat sepihak (ex parte)
Permintaan dan putusan bersifat deklarator (penetapan/ pernyataan).

Kekuatan hukumnya bersifat sepihak,


artinya kebenaran yang terkandung hanyalah kebenaran sepihak atau kebenaran menurut
versi pemohon sendiri. Ia tidak dapat mengikat orang lain di luar pemohon.
Contoh :
Permohonan penetapan ahli waris,
Permohonan wali adhal,
Permohonan penetapan asal usul anak, dll.
2) Perkara Gugatan/Kontensius

Perkara Kontensius adalah perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih
dan merupakan tuntutan hak serta adanya kepentingan hukum.
Contoh perkara sengketa harta waris, perkara perceraian dan lain-lain.

=>Ciri gugat konentius adalah sbb:


Gugatan bersifat partai, artinya ia menarik orang lain sebagai pihak kedua (lawan) yang
diantara mereka ada mempunyai hubungan hokum.
Contoh :
 perkara sengketa harta waris,
 perkara perceraian dan lain-lain.
V. TATA CARA MEMASUKKAN GUGATAN/PERMOHONAN
(Pasal 119 HIR/143 RBG)

 Permohonan/gugatan diajukan kepada ketua pengadilan, dengan permintaan agar


pengadilan :
 menentukan hari persidangan
 memanggil penggugat dan tergugat
 memeriksa perkara yang diajukan penggugat kepada tergugat
 Permohonan/Gugatan disampaikan kepada kepaniteraan pengadilan
 Pemohon /Penggugat bayar ongkos biaya perkara.

CARA PENGAJUAN GUGATAN/ PERMOHONAN


(pasal 118 ayat (1) dan pasal 120 HIR/ pasal 142 dan pasal 144 (1) Rbg:

 Bentuk tertulis atau surat gugatan harus :


1) memenuhi syarat formil
2) dibuat dengan jelas dan terang serta
3) ditanda tangani oleh yang mengajukan (Penggugat/Pemohon) atau kuasanya yang telah
mendapat surat kuasa khusus.
 Bentuk lisan;
1) Jika penggugat/pemohon buta huruf
2) Diajukan langsung kepada ketua pengadilan.
3) Ketua Pengadilan mencatat atau menyuruh mencatat, kemudian catatan tersebut
diformulasikan menjadi surat gugatan atau permohonan. (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat (1) RBg.)
>Syarat-syarat Gugatan

1) BerupaTuntutan, yaitu merupakan suatu aksi atau tindakan hukum yang bertujuan untuk
memperoleh perlindungan hukum dari Pengadilan dan untuk mencegah tindakan main
hakim sendiri.
2) Ada Kepentingan Hukum, maksudnya yaitu setiap gugatan harus merupakan tuntutan hak
dan mempunyai kepentingan hukum yang cukup.
3) Sengketa, yaitu tuntutan hak tersebut harus merupakan sengketa. Tidak ada sengketa
maka tidak ada perkara (geen belang, geen actie)
4) Dibuat dengan Cermat dan Terang, Yaitu dengan alasan atau dasar hukumnya harus jelas
dan dapat dibuktikan apabila disangkal, pihak-pihaknya juga harus jelas demikian juga
obyeknya. Jika tidak jelas maka surat gugatan tersebut akan dinyatakan gugatan kabur
(Obscure Libel).
FORMULASI (ISI) DAN SISTEMATIKA PERMOHONAN/ GUGATAN
1) Pencantuman tanggal Permohonan/Gugatan (bagian depan halaman pertama atau
halaman akhir di atas tanda tangan
2) Pencantuman alamat ketua pengadilan
3) Pencantuman identitas dan kedudukan para pihak. Menurut ketentuan pasal 67
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Identitas seseorang adalah :
 nama lengkap,
 umur dan
 tempat tinggal,
 jenis kelamin,
 agama dan
 Pekerjaan

4) Posita/ Fundamentum Fetendi /dalil gugatan (hubungan hukum dan peristiwa), yaitu
penjelasan tentang keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan hukum yang
dijadikan sebagai landasan atau dasar dari gugatan tersebut serta dibuat dengan jelas
dan terang.
Terdiri dari dua bagian;
=> Feitelijke gronden, yakni bagian yang menguraikan latar belakang peristiwa,
sehingga ia mengajukan Permohonan/Gugatan.

 Rechtelijke gronden, yakni bagian yang menguraikan tentang hukumnya dan


hubungan hokum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan.
5) Petita/diktum (tuntutan), yakni apa yang diminta atau yang diharapkan penggugat untuk
diputuskan hakim di persidangan. Suatu petitum harus didukung dengan posita dan suatu
petitum yang tidak didasarkan pada posita maka petitum tidak akan dikabulkan oleh hakim.
Petitum terdiri dari:

 tuntutan pokok (primer)

 tuntutan tambahan, pelengkap. Biasanya berupa, :


- agar tergugat bayar biaya perkara
- uitvoerbaar bij vooraad
- provisional
- nafkah iddah, dll.

 Tuntutan subsider/ pengganti (mohon putusan seadil-adilnya, dll).


v. Hal hal yang mungkin terjadi dalam pengajuan perkara perdata

1) Penggabungan (kumulasi) gugatan/permohonan.

Penggabungan gugatan adalah menyatukan beberapa masalah hokum dalam satu surat
gugatan.

Syarat => Ada hubungan erat atau koneksitas.

Tujuannya adalah: => agar dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna menghindari adanya
putusan yang saling bertentangan.

Fungsinya
 mempermudah jalannya pemeriksaan
 menghemat biaya, tenaga dan waktu
Bentuk Penggabungan gugatan

1. Perbarengan ( concursus, samenloop, coincidence), yakni penggabungan beberapa


tuntutan yang menuju satu akibat hukum saja. Jadi bila satu tuntutan terpenuhi
otomatis tuntutan yang lain terpenuhi juga. Misalnya perkara wali adhol, dispensasi
kawin, dan izin kawin. Akibat hukumnya sama yakni terlaksananya akad perkawinan.

2. Penggabungan subyektif ( Subjektive comulatif, Subjekve semenhang, Subjektive


connection ), yakni penggabungan beberapa penggugat melawan satu orang tergugat
atau sebaliknya".

3. Penggabungan obyektif ( objektive comulatif, objekve semenhang, objektive


connection), yakni :”penggabungan objek gugatan (tuntutan) dalam satu perkara
sekaligus". Dalam hal ini tidak disyaratkan bahwa tuntutan itu harus ada keterkaitan.
Misalnya penggabungan antara perkara cerai dengan nafkah anak dan nafkah iddah.

Komulasi objektif ini tidak diperkenankan dalam hal:

 Penggabungan antara perkara dengan acara khusus (perceraian) dengan perkara dengan
acara biasa (perjanjian).

 penggabungan tuntutan yang salah satunya hakim tidak berwenang secara relative.
Perubahan Gugatan

 Perubahan menjadi hak penuh pengguggat kalau dilakukan pada saat sebelum surat gugatan
didaftarkan dalam buku rigester perkara.

 Akan tetapi jika perubahan dilakukan setelah didaftarkan, bahkan salinannya sudah
diserahkan kepada tergugat, atau pada saat proses pemeriksaan, maka ini menjadi masalah
hokum.

 Pada saat pemeriksaan berlansung dan tergugat sudah memberikan jawaban maka
perubahan harus atas persetujuan tergugat, dengan syarat:

a) Tidak menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, terutama tergugat.(misalnya pada
gugat waris dan pembagian harta gono gini)
b) Memberikan kesempatan kepada tergugat untuk membela diri.
c) Tidak merubah dasar tuntutan.

 Bentuk perubahan:

a. Dirubah sama sekali baik posita maupun petita.


b. Diperbaiki, karena kesalahan penulisan.
c. Dikurangi atau ditambah, baik posita maupun petita.
Pencabutan gugatan.

Pencabutan gugatan diperkenankan dengan cara:

 Sebelum gugatan diperiksa (dilakukan oleh panitera dengan mengeluarkannya dari


register perkara)

 Sebelum tergugat memberikan jawaban, `Bila sudah diperiksa dan tergugat


memberikan jawaban, maka harus ada persetujuan tergugat.

 jika tergugat tidak setuju, maka pemeriksaan dilanjutkan.


 jika tergugat setuju, maka dibuat penetapan oleh hakim dan dicantumkan dalam
berita acara persidangan
VI. PEMERIKSAAN PERKARA

1. Persiapan Persidangan

a. Pemanggilan para pihak.


(Dasar hukumnya :
• Pasal 145 dan pasal 718 RBg,
• Pasal 121 dan Pasal 390 HIR,
• Pasal 26 dan 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

=> Pemanggilan para pihak adalah merupakan tugas jurusita


=> Pemanggilan dilakukan dengan menggunakan surat panggilan (relaas) yang dibuat dua
rangkap (untuk diserahkan kepada para pihak dan majelis hakim)

Tehnis pemanggilan adalah sebagai berikut:

a) Pemanggilan dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya, dengan ketentuan:


 Harus dilakukan secara resmi dengan rellas panggilan.
 Harus memenuhi tenggang waktu yang patut ( minimal disampaikan tiga hari sebelum
persidangan dan mempertimbangkan jarak tempat tinggal masing-masing pihak)
 Pemanggilan disampaikan langsung kepada pribadi ybs.
 Kalau perkara dikuasakan, pemanggilan disampaikan kepada kuasa hukumnya.
 Bila yang bersangkutan tidak dijumpai di alamatnya, pemanggilan disampaikan melalui
kepala desa/ lurah (RT,RW).
b) Pemanggilan ke luar wilayah yurisdiksi

Dilakukan dengan memohon bantuan kepada Pengadilan dimana tergugat berada.

c) Pemanggilan ke luar negeri, Dilakukan dengan memohon bantuan kepada Dirjen


Protokol dan konsuler Deplu .
d) Pemanggilan tergugat ghaib (tidak diketahui tempat tinggal)tergantung jenis perkara:

Perkara perkawinan, dipanggil dengan cara mengumumkan melalui mass media


sebanyak dua kali dengan tenggang waktu:
 satu bulan antara panggilan pertama dan kedua.
 tiga bulan antara panggilan kedua dan hari sidang pertama.

Perkara kewarisan dan perdata Islam lainnya:


 dipanggil melalui bupati/walikota dalam wilayah yurisdiksi PA ybs.
 Jika yang dipanggil meninggal dunia, pemanggilan diserah kan kepada ahli warisnya.
 Pemanggilan juga dilakukan dengan menempelkan panggilan pada papan pengumuman
pengadilan ybs.

e) Pemanggilan dalam perkara prodeo


 dilakukan seperti acara biasa dan biaya ditanggung pengadilan (setelah ada izin dari
pengadilan )
 panggilan di luar yurisdiksinya panggilan dilakukan dengan melampirkan keterangan
miskin (sebelum ada izin) atau melampirkan putusan sela mengenai izin prodeo tsb).
Tahap-Tahap Pemerikasaan.

 Sebelum memeriksa perkara, Majelis Hakim harus membaca dan mepelajari berkas
perkara.

 Dalam persidangan Ketua Majelis berada di tengah/diantara dua hakim anggota lalu
membuka sidang dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim diiringi dengan
mengetukkan palu sebanyak 3 (tiga) kali,

 Selanjutnya Para pihak dipanggil masuk ke ruang sidang, kemudian Majelis Hakim
memeriksa identitas para pihak, jika diwakili oleh kuasanya, maka penerima kuasa
tersebut harus diperiksa identitasnya dan juga surat kuasanya.

Secara teoritis pemeriksaan suatu perkara dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Sidang pertama usaha Perdamaian.
2. Sidang kedua Pembacaan surat gugatan.
3. Sidang ketiga Jawaban Tergugat.
4. Sidang keempat Replik Penggugat.
5. Sidang kelima Duplik Tergugat.
6. Sidang keenam Pembuktian dari Penggugat.
7. Sidang ketujuh Pembuktian dari Tergugat.
8. Sidang kedelapan Kesimpulan pihak-pihak berperkara.
9. Sidang kesembilan Pembacaan putusan.
Catatan: Tahapan-tahapan seperti diuraikan di atas (1 s/d 9 ) tidak bersifat baku bisa lebih
singkat dan bisa juga lebih lama, cepat dan lamanya penyelesaian suatu perkara sangat
tergantung dari kehadiran dan kesiapan pihak-pihak berperkara karena pada dasarnya dalam
perkara perdata hakim bersifat pasif.

 Perkara perdata pada peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding harus sudah selesai
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak didaftarkan. (SEMA RI No. 6 Tahun 1992 tanggal 21
Oktober 1992, Jo SEMA Nomor 3 Tahun 1998).

Uraian Tahapan Persidangan.

Sidang pertama
 Sebelum memeriksa pokok perkara Hakim wajib mendamaikan pihak-pihak berperkara.

=> Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemerikasaan pokok perkara, hakim wajib
mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, tidak boleh langsung
memeriksa pokok perkara. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg)

=>Perdamaian didasarkan Perma No 3 tahun 2008 ttg Prosedur Mediasi di pengadilan.

 Jika perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatkan akta perdamaian (Acta van vergelijk)
(isinya menghukum kedua belah pihak untuk melaksanakan isi perdamaian.)

 Perkara perceraian tidak dibuatkan akta perdamaian melainkan perkara dicabut.


 Dalam pemeriksaan suatu perkara, para pihak mempunyai hak ingkar yang dalam istilah
hukum disebut ”wraking”. Wraking atau hak ingkar ialah hak seseorang yang sedang diadili
untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang Hakim
yang mengadili perkaranya.

 Hakim tanpa diminta oleh pihak berperkarapun sebenarnya harus mengundurkan diri dari
perkara apabila:

1) Ia secara pribadi mempunyai kepentingan baik langsung atau tidak langsung dalam perkara
itu.

2) Suami/Isteri, keluarga atau keluarga semendanya dalam garis keturunan lurus, atau sampai
derajat ke empat ke samping tersangkut dalam perkara itu.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak. (Pasal 374
HIR/702 RBg.

Sidang kedua Pembacaan surat gugatan


Pada tahapan ini majelis hakim akan membacakan surat gugatan dengan diawali kofirmasi
identitas masing masing fihak.

Sidang ketiga Jawaban Tergugat.


Pada tahapan ini tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi/menjawab surat gugatan.
Disamping itu tergugat juga mempunyai kesempatan melakukan eksepsi dan rekonpensi.
Sidang keempat Replik Penggugat, pada tahapan ini majelis hakim mengadakan dialog
dengan penggugat untuk menggali pernyataan penggugat untuk mempertegas
gugatannya.

Sidang Kelima Duplik tergugat, pada tahapan ini majelis hakim mengadakan dialog dengan
tergugat untuk menggali pernyataan tergugat menanggapi isi gugatan penggugat.

Sidang keenam Pembuktian dari Penggugat, pada tahapan ini penggugat diminta majelis
hakim membuktikan dalil gugatannya.

Sidang ketujuh Pembuktian dari tergug, pada tahapan ini tergugat diminta majelis hakim
membuktikan dalil bantahannya.

Sidang kedelapan Kesimpulan pihak-pihak berperkara., dalam tahapan ini para pihak
diminta oleh majelis hkim untuk menyampaikan kesimpulan masing masing pihak atas
jalannya pemeriksaan perkara.

Sidang kesembilan Pembacaan putusan, dalam tahap ini majelis hakim akan
menyampaikan hasil akhir dari persisangan, sidang dinyatakan terbuka untuk umum.
Eksepsi dan Rekonpensi
1. Eksepsi (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBg Pasal 356 R.V.)

 Pengertian Eksepsi => Eksepsi adalah: “sanggahan terhadap suatu gugatan atau
perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara”.

 Tujuan Eksepsi untuk menghindari gugatan agar Hakim menetapkan gugatan tidak dapat
diterima atau ditolak.

Pada dasarnya eksepsi terbagi 2 (dua) yaitu:

Eksepsi Formil /Prosesual Eksepsi yaitu eksepsi berdasarkan hukum formil .


Eksepsi formil ini terbagi 5 macam yaitu :

1) Eksepsi tentang kewenangan absolut, yakni Eksepsi tidak berwenang secara absolut,
eksepsi menyangkut kewenangan mutlak yaitu sanggahan tentang kewenangan absolute
pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara tersebut melainkan menjadi
wewenang Pengadilan lain.

2) Eksepsi tentang kewenangan relatif, yakni tangkisan akibat adanya kesalahan terkait tepat
tidaknya pengajuan gugatan berdasarkan alamat masing masing pihak dikaitkan dengan
wilayh hukum pengadilan yang bersangkutan.
3) Eksepsi tentang nebis is idem (eksepsi van gewisde zaak), yakni tangkisan akibat adanya
suatu perkara yang sudah pernah diputus oleh pengadilan lain. Karena pada dasarnya
perkara tidak dapat diputus dua kali .

4) Eksepsi diskwalifikator, yaitu eksepsi yang menyatakan Penggugat tidak mempunyai


kedudukan/hak untuk mengajukan gugatan atau Pengugat salah menentukan Tergugat
baik mengenai orangnya maupun identitasnya.

5) Eksepsi gugatan kabur (obscure libel), yaitu karena gugatan kabur, tidak jelas, tidak dapat
dipahami baik mengenai susunan kalimatnya, formatnya atau hubungan hukumnya satu
sama lain yang tidak saling mendukung/bertentangan sama sekali.

Eksepsi Materil yaitu eksepsi berdasarkan hukum materil yang meliputi :

1) Dilatoir eksepsi. (Belum waktunya diajukan), yakni tangkisan yang menyatakan bahwa
perkara tersebut bersifat prematur, belum waktunya diajukan, misalnya mengenai
perjanjian belum habis waktunya.

2) Prematoir eksepsi. (Terlambat mengajukan), yakni tangkisan yang menyatakan gugatan


terlambat diajukan karena sudah kadaluwarsa.
2. Gugat Rekonpensi (gugat balik) = (Pasal. 132 (a) dan Pasal 132 (b) HIR)

 Gugat rekonvensi adalah gugatan balasan yang diajukan oleh tergugat asli (penggugat
dalam rekonvensi) yang digugat adalah penggugat asli (tergugat dalam rekonvensi) dalam
sengketa yang sedang berjalan antara mereka.

 Penggugat rekonvensi dapat juga menempuh jalan lain yakni dengan mengajukan gugatan
baru dan tersendiri, lepas dari gugat asal.

 Gugat rekonpensi/ balasan diajukan bersama dengan jawaban, baik itu berupa jawaban
lisan atau tertulis.

 Dalam praktik gugat balasan dapat diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan
bukti, artinya belum sampai pada pendengaran keterangan saksi.

 Tujuan diperbolehkan mengajukan gugatan rekonpensi/balasan adalah:


1. Bertujuan menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan.
2. Mempermudah prosedur.
3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
4. Menetralisir tuntutan konvensi.
5. Acara pembuktian dapat disederhanakan.
6. Menghemat biaya.
Syarat gugat rekonvensi :
1) harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama oleh tergugat baik
tertulis maupun dengan lisan, minimal sebelum acara pembuktian.

2) Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.

3) Baik gugat asal (konvensi) maupun gugatan balik (rekonvensi) pada umumnya
diselesaikan secara sekaligus dengan satu putusan, dan pertimbangan
hukumnya memuat dua hal, yakni pertimbangan hukum dalam konvensi dan
pertimbangan hukum dalam rekonvensi.
Menurut ketentuan pasal 132 (a) HIR dan pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat
dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu: 241.

a. Penggugat dalam kualitas berbeda.Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat


bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa hukum), sedangkan rekonvensinya
ditujukan kepada diri sendiri pribadi penggugat (pribadi kuasa hukum tersebut).

b. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa gugatan rekonvensi.


Gugatan rekonvensi tidak diperbolehkan terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang
Pengadilan Agama, seperti suami menceraikan istri, istri mengajukan rekonvensi , mau
cerai dengan syarat suami membayar hutangnya kepada orang tua istri tersebut. Masalah
sengketa hutang piutang bukan kewenangan pengadilan agama.

c. Perkara mengenai pelaksanaan putusan.Gugatan rekonvensi tidak boleh dilakukan dalam


hal pelaksanaan putusan hakim. Seperti hakim memerintahkan tergugat untuk
melaksanakan putusan, yaitu menyerahkan satu unit mobil Daihatsu Taruna kepada
penggugat, kemudian tergugat mengajukan rekonvensi supaya penggugat membayar
hutangnya yang dijamin dengan mobil tersebut kepada pihak ketiga, rekonvensi seperti ini
harus dittolak
VII. Pembuktian
A. Pengertian Pembuktian
Pembuktian Secara umum adalah : “upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan
hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang
bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang”.

 Upaya memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan.

 Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya
keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan
alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang
dan siapa yang kalah.

 Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil
saja

B. Dasar Pembuktian
Pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia
mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa
itu; sebaliknya barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak
orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.
C. Tujuan Pembuktian
Sedang tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa atau
hak yang diajukan kepada hakim.
Karena
“Jalannya acara pembuktian di persidangan Pengadilan Perdata akan menentukan hasil
akhir perkara”

 Dalam sengketa antara pihak-pihak berperkara tersebut dan sedang diperiksa dimuka
persidangan, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan.

 Hakim harus memeriksa dalil-dalil mana yang benar dan tidak benar.

 Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/ peristiwa


berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian yang berlaku.

 Dengan demikian diharapkan akan diperoleh putusan hakim yang benar dan adil.

 Hakim dilarang dan tidak boleh menjatuhkan putusan suatu perkara sebelum
fakta/peristiwa yang diajukan itu benar-benar terjadi yaitu dibuktikan kebenarannya.

 Secara teori dalam hukum perdata, Hakim yang memeriksa perkara perdata berpedoman
kepada kebenaran formil sedangkan dalam hukum pidana, Hakim berpedoman kepada
kebenaran materil. “
 Dalam praktek peradilan sebenarnya seorang Hakim dituntut mencari kebenaran materil
terhadap perkara yang sedang diperiksanya karena tujuan pembuktian itu adalah untu
meyakinkan Hakim atau memberikan kepastian kepada Hakim tentang adanya peristiwa-
peristiwa tertentu sehingga Hakim dalam mengkonstatir, mengkwalifisir dan
mengkonstituir serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut.

 Kebenaran formil yang dicari oleh Hakim dalam arti Hakim tidak boleh melampaui batas
batas yang diajukan oleh pihak berperkara.

 Jadi baik kebenaran formil maupun kebenaran materil hendaknya harus dicari secara
bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepadanya.”
Teori Pembuktian.
Ada 3 (tiga) teori pembuktian yaitu :

1. Teori pembuktian bebas.


Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat Hakim sehingga
penilaian pembuktian diserahkan kepada Hakim.

2. Teori pembuktian negative.


Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative
sehinga membatasi Hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh undang-
undang.

3. Teori pembuktian positif.


Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada Hakim dan
diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang
oleh undang-undang.

 Menurut ketentuan pasal 163 HIR/ Pasal 283 RBg yang wajib membuktikan atau
mengajukan alat-alat bukti adalah para pihak yaitu Penggugat dan Tergugat yang
berkepentingan di dalam suatu perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.

 Dalam soal pembuktian Hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat
sebelah.
Ketentuan pembuktian sebagaimana tersebut di atas diatur dalam pasal 163 HIR/ Pasal 283
RBg azas yaitu yang wajib membuktikan adalah :

 orang yang mempunyai hak ( orang yang mendalilkan mempunyai hak tetapi hak
tersebut dibantah orang lain).

 orang yang membantah hak orang lain ( harus membuktikan bantahannya), jika hak
atau dalil tersebut tidak dibantah maka hak dan atau dalil tersebut dianggap telah terbukti
dan tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.

Maka apabila:
 Penggugat maupun Tergugat saling membantah maka kepada keduanya harus diberikan
kesempatan untuk mengajukan bukti-buktinya masing-masing secara berimbang.

 Terhadap hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal tidak perlu
dibuktikan

 Hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (umum) yang
dalam istilah hukum disebut fakta notoir tidak harus dibuktikan..
A l a t B u k t i.

 Alat bukti adalah :”segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai
membuktikan sesuatu.

 Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap


pembuktian.

 Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk
menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan.

 Tujuan pembuktian adalah meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.

Berdasarkan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/ Pasal 1866 BW,


dalam hukum perdata ada 5 (lima macam) alat bukti yaitu :

1. S u r a t
2. S a k s i
3. Persangkaan
4. Pengakuan.
5. S u m p a h
1. BUKTI SURAT
 Bukti surat adalah => bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu
peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu.

 Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian .

Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat sebagai berikut.

a. Surat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti.
Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang termasuk
surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan korespondensi, dll.

a. Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat
dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dll.
(Pasal 1868 BW).

b. Akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak, apabila
isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak yang mengajukan bukti harus
menambah dengan bukti lain misalnya saksi.
Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga) yaitu :
1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
2. Dibuat dalam bentuk sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu.
3. Dibuat di tempat di mana pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.

Pejabat yang dimaksudkan itu antara lain ialah Notaris, Hakim, Panitera, Jurusita, Pegawai
Pencatat Sipil, Pegawai Pencatat Nikah, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Akta Ikrar
Wakaf dan sebagainya.

Akta otentik ada 2 (dua) macam yaitu :

a. Akta yang dibuat oleh pejabat (acta ambleijk, process verbal acte) ialah akta yang dibuat
oleh pejabat berwenang untuk itu karena jabatannya tanpa campur tangan pihak lain,
dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat, didengar serta apa yang
dilakukannya.

b. Akta yang dibuat di hadapan pejabat (partij acte) ialah akta yang dibuat oleh para pihak di
hadapan pejabat yang berwenang untuk itu atas kehendak para pihak, dengan mana pejabat
tersebut menerangkan juga yang dilihat dan dilakukannya.
Akta di bawah tangan ialah akta yang dibuat oleh para pihak dengan sengaja untuk
pembuktian, tetapi tanpa bantuan dari seseorang pejabat.
Dalam praktik beracara di pengadilan bukti surat yang akan digunakan sebagai bukti di
persidangan haruslah :
 di foto copy lalu
 dibubuhi meterai yang cukup dan dilegalisasi di Kantor Pos
 didaftarkan di Kepaniteraan pengadilan
 diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim dan dicocokkan dengan aslinya .

Jika sesuai dengan aslinya maka dapat digunakan sebagai bukti yang sah.

Jika tidak cocok dengan aslinya atau tidak ada aslinya maka tidak mempunyai kekuatan
pembuktian sama sekali.
BUKTI SAKSI

 Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu
peristiwa.

 Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa
dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.

Syarat-syarat formil seorang saksi:

1) Dewasa
2) Berakal sehat.
3) Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak,
kecuali undang-undang menentukan lain.
4) Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun telah bercerai (Pasal
145 HIR/Pasal 172RBg.).
5) Tidak ada hubungan kerja kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 145 HIR)
6) Saksi sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. (Pasal 169 HIR) = Keterangan satu orang saksi
saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung
dengan alat bukti lain.
7) Menghadap di persidangan.
8) Memberikan keterangan secara lisan.
Syarat-syarat materil seorang saksi :

1. Menerangkan apa yang dilihat, dengar dan alami sendiri.


2. Mengetahui sebab-sebab terjadinya peristiwa yang diterangkan.
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan.
4. Saling bersesuaian satu sama lain.
5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut:

1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu
pihak.

2) Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.

3) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15
(lima belas) tahun.

4) Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.


3. Bukti Persangkaan

Persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang
dan nyata ( pasal 1915 KUH Perdata ):

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.

Persangkaan dapat dibagi menjadi dua :

1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)


Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang
disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan
adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran
sebelumnya telah dibayar.

2). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)


Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya
perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan
ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya
mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah
tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi
hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus.
4. Bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah :


“alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak
kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam
sidang pengadilan”.

Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian
atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).

Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal
yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua
dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala
hal dalil bantahan yang diajukan tergugat.

Pengakuan tersebut dapat berupa


1) Pengakuan yang berkenaan dengan hak,
2) Pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang
memberi pengakuan adalah sebagai berikut:

a) Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);

b) Kuasa hukum penggugat atau tergugat.

Bentuk pengakuannya (Pasal 1972 KUH Perdata):

a) Pengakuan tegas baik secara tertulis dan lisan di depan persidangan (expressis verbis),

b) Pengakuan diam diam yakni dengan cara :


 tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan
 mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.[
5. Bukti Sumpah

 Sumpah sebagai alat bukti ialah:


“ suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar
orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong”.

• Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.

Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) dan “tambahan” (supletoir eed)

a) Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri
perkara yang sedang diperiksa oleh hakim.

Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak
yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia
tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.
 sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal
156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW}

 Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak
yang harus bersumpah disebut delaat.

 Sumpah decisoir dapat diperintahkan atau dibebankan meskipun tidak ada


pembuktian sama sekali sehingga pembebanan sumpah decesoir ini dapat dilakukan
pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. (Pasal 156, 183 RBg, 190 BW)

 Inisiatif untuk membebani sumpah decisoir ini datang dari salah satu pihak

 Bila yang bersangkutan menolak untuk melakukan sumpah pemutus, maka ia akan
dinyatakan kalah.
 Dan apabila ia mengembalikan (kepada pihak yang memintanya bersumpah/ deferent)
untuk bersumpah dan pihak deferent menolaknya maka pihak deferent yang
dikalahkan.

 Bila sudah diucapkan sumpah pemutus tidak diperlukan lagi bukti bukti lain.
 Bila ada penyangkalan terhadap sumpah pemutus, maka harus dibuktikan lewat
persidangan pidana.

 Sumpah yang bersifat menentukan yang dimintakan oleh pihak lawan karena tidak ada
alat bukti lain dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara”.
b) Suatu Supletoir “sumpah tambahan”, adalah :
suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara
apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu
“permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena
dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti
yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

Sumpah supletoir :
 Dasar => Pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW
 Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah
satu pihak
 Untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.
 Salah satu pihak harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tetapi belum
mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya . misalnya apabila hanya ada seorang saksi
saja.
 Pihak yang diperintahkan untuk melakukan sumpah suplatoir tidak boleh
mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan,
 ia hanya dapat menolak atau menjalankannya. (Pasal 1943 BW)
c) Sumpah aestimatoir (penaksiran)

Selain kedua macam sumpah tersebut dikenal juga sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam
rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang
tertentu yang disengketakan

• Sumpah penaksir ini barulah dapat dibebankan oleh hakim kepada Penggugat apabila
Penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya
masih belum pasti
• Jika tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersbut kecuali dengan
taksiran.
• Hakim tidak wajib untuk membebani sumpah penaksir ini kepada Penggugat.
• Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir; bersifat
sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
• Hanya dalam perkara gugatan ganti rugi.
• Penyebabnya adalah adanya nilai ganti rugi yang tidak jelas
• Diawali dengan pembuktian adanya hak atas ganti kerugian dari sesuatu yang
dituntut.
Pemeriksaan setempat (descente)

Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah :


• pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar
gedung atau tempat kedudukan pengadilan,
• agar Hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang
memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa

 Ketentuan pasal 164 HIR (Pasal 284 RBg, 1866 BW sepertinya bersifat limitative akan
tetapi selain 5 (lima) macam alat bukti tersebut masih ada alat bukti yang dapat
dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang
menjadi sengketa yaitu descente atau pemeriksaan setempat.
 Apabila dalam satu perkara terdapat barang tetap yang dipersengketakan tentu tidak
mungkin membawa barang tersebut ke muka persidangan oleh karena itu hukum
mengatur dibolehkannya pemeriksaan setempat (Pasal 153 HIR/ Pasal 180 RBg dan Pasal
211 RV)
 Bila objek sengketa berada di luar wilayah pengadilan ybs, maka pemeriksaan
dilakukan dengan bantuan pegadilan dimana objek sengketa berada. Pemeriksaan
meliputi:
Wujud objek sengketa
Batas-batas objek sengketa
Kondisi terakhir objek sengketa
Lokasi objek sengketa.
Keterangan Ahli (deshundigenbericht – experte), yakni :

 Penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli di depan sidang atas dasar permintaan
salah satu pihak atau karena jabatannya.
 Keterangan diberikan di bawah sumpah
 Keterangan diberikan secara lisan di depan sidang atau tertulis yang diserahkan secara
langsung kepada majelis hakim.
 Tidak ada halangan sebagai saksi

Perbedaannya dengan saksi adalah:


 Ahli dapat diganti dengan orang yang memiliki keahlian yang sama, saksi tidak bias
diganti.
 Ahli memberikan keterangan berdasarkan apa yang dilihat dan diawasi selama
persidangan sedangkan saksi memberikan keterangan berdasarkan peristiwa sebelum
sidang berlangsung.
 Keterangan ahli didasarkan pada ilmu pengetahuan dan pikiran, sedangkan saksi
berdasarkan panca inderanya.
 Tujuan keterangan ahli untuk memberikan keterangan terhadap sesuatu yang tidak
diketahui hakim, sedangkan saksi bertujuan untuk memperjelas atau melengkapi
peristiwa yang sudah ada.

Keterangan ahli kekuatan pembuktiannya sama dengan pembuktian saksi yang


berkedudukan sebagai alat bukti.
Kekuatan Pembuktian

Tiap tiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri, yakni:

1. Bukti Mengikat dan menentukan (bindend and beslissend)=>


Meskipun hanya satu alat bukti
Hakim terikat dan tidak dapat memutus lain dari apa yang telah terbukti
Tidak dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan
Contoh: Sumpah pihak dan pengakuan

2. Bukti Sempurna (volleding)


Meskipun hanya satu alat bukti
Hakim terikat dan tidak dapat memutus lain dari apa yang telah terbukti
Dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan
Contoh akte autentik.

3 . Bukti Bebas
Diserahkan kepada hakim.
Hakim tidak (dapat menerima atau mengesampingkan)
Dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan
Contoh : saksi, saksi ahli.pengakuan di luar sidang.
4. Bukti Permulaan
Alat bukti sah yg belum mencukupi syarat formal
Masih membutuhkan bukti lain.
Hakim bebas dan tdak terikat.
Contoh : satu orang saksi, akte di bawah tangan dll.

5. Bukti bukan bukti


Dapat memberi keterangan
Mendukung peristiwa
Tidak memenuhi syarat formal sbg bukti yg sah
Contoh: saksi y tidak disumpay, saksi yg belum cukup umur, foto foto rekaman, video dll,
MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM

A. Pengertian
 Musyawarah Majelis Hakim adalah: “Tahapan persidangan dimana majelis hakim
melakukan perundingan guna mengemukakan pendapat hukumnya tentang perkara
yang mereka selesaikan secara rahasia”.

B. Dasar Musyawarah Majelis Hakim.

 HIR.. Dalam HIR pasal 178 ayat (1)


 UU No. 7 tahun 1989 pasal 59 ayat (3)
 UU No. 4 tahun 2004 pasal 19
 Buku II. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan

C. Tujuannya Musyawarah Majelis Hakim adalah :

1) Untuk menyamakan persepsi hakim


2) Untuk menentukan putusan yang adil
3) Untuk menerapkan ketentuan/hukum yang berlaku.
D. Teknis/Prosedur Musyawarah Majelis Hakim adalah:

 Ketua Majelis Hakim memimpim musyawarah.


 Kesempatan pertama mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota II atau
Hakim yang paling yunior.
 Berikutnya kesempatan mengemukakan pendapat diberikan kepada Hakim Anggota I (
Hakim yang agak senior
 Terakhir Ketua Majelis akan menyampaikan pendapat hukumnya.

 Pada dasarnya panitera yang ikut bersidang tidak dibenarkan untuk mengikuti rapat
musyawarah Majelis Hakim. Alasannya adalah karena musyawarah itu bersifat rahasia.

 Namun kemungkinan Panitera pengganti ikut dalam musyawarah Majelis, bisa saja
dibenarkan dengan catatan Majelis Hakim memandang kehadiran panitera sidang itu
diperlukan.

**Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka
perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak.

**Pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia sebagai Ketua Majelis, harus
menyesuaikan dengan pendapat mayoritas.

**Dan untuk itu pendapat yang kalah suara tadi harus di catatkan dalam satu buku khusus
yang dikelola oleh Ketua Pengadilan.
P u t u s a n.
Putusan adalah :
“ Produk Hakim dari hasil pemeriksaan dan penyelesaian perkara di persidangan”.

Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu :


1. Putusan.
2. Penetapan.
3. Akta Perdamaian.

Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(kontensius)

Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan (volunteer)

Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan
antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku
sebagai putusan.
Macam dan Jenis Putusan

Dari segi fungsinya :


1. Putusan Akhir => putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui
semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan
pemeriksaan.

2. Putusan sela => putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan
perkara.
 dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan,
 putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh
terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.
 Putusan sela ini dibuat seperti putusan biasa lengkap dengan identitas
pihak-pihak, duduk perkara dan pertimbangan hukum tetapi tidak
terpisah dari berita acara persidangan dan ditandatangani oleh Majelis
Hakim serta Panitera sidang.
Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan
maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :

1. Putusan gugur
2. Putusan verstek
3. Putusan conntradictoir

 Putusan Gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur


karena penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut
dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu
bukan karena halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)

 Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir
meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya
yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak
mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)

 Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam
sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam
pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir.
Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :

1. Putusan Diklatoir
2. Putusan Konstitutif
3. Putusan Kondemnatoir.

 Putusan Diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu
yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan gugatan cerai dengan alasan ta’lik talak.

 Putusan Konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan
(isbat nikah)

 Putusan Kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak
lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan
seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.

 Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu :
2. Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.
3. Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.
4. Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak
menerima atau menolak sebagian.
Dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/perkara, putusan dibagi menjadi 4 macam yaitu:

1. Putusan tidak menerima penggugat, yaitu gugatan penggugat/permohonan pemohon


tidak diterima karena tidak terpenuhinya syarat hokum baik formil maupun materil
(putusan negatif).

2. Putusan menolak gugatan penggugat, yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah
menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi ternyata dalil- dalil penggugat tidak
terbukti (putusan negatif).

3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak tidak menerima
selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak
terbukti atau tidak memenuhi syarat ( putusan campuran positif dan negatif).

4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, yaitu putusan yang terpenuhinya


syarat gugat dan terbuktinya dalil- dali gugat (putusan positif).
Susunan dan Isi Putusan
 Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis.
 Diitanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim termasuk Panitera/Panitera Pengganti.

Suatu putusan hakim terdiri dari :

1) Kepala Putusan
2) Identitas Para Pihak
3) Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya dan Pertimbangan
Hukum
4) Amar atau dictum putusan

Secara detail suatu putusan harus memuat hal-hal berikut :


a) Judul dan Nomor Putusan (Nomor Putusan sama dengan Nomor perkara)
b) Khusus putusan/penetapan Pengadilan Agama diawali dengan kalimat :
BISMILLAHIRRAHMANIR RAHIEM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ES
c) Nama dan tingkat pengadilan yang memutus.
d) Identitas dan kedudukan pihak-pihak berperkara (termasuk nama kuasa hukum apabila
ada)
e) Tentang duduk perkara yaitu memuat kronlogis duduk perkara mulai dari usaha
perdamaian, dalil-dalil penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti-bukti dan saksi
serta kesimpulan para pihak.
f) Tentang hukumnya yaitu memuat bagaimana Hakim mengkwalifisir fakta atau kejadian
dan mempertimbangkanya secara baik dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan dalam
menilai fakta dan memutus perkara.
g) Amar putusan yaitu merupakan kesimpulan akhir oleh hakim atas perkara yang
diperiksanya, dalam amar putusan memuat juga pembebanan biaya perkara.
h) Tanggal putusan yaitu memuat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang yang
dinyatakan dalam akhir putusan.
i) Hadir tidaknya para pihak ketika putusan dibacakan.
j) Nama Hakim/Majelis Hakim yang memutus perkara termasuk Panitera/PP.
k) Rincian biaya perkara.
Upaya Hukum
A. Pengertian upaya hukum.
Upaya hukum adalah :
• Sarana yang diberikan undang undang
• Kepada para pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan/produk pengadilan,
• Untuk meminta agar perkara tersebut diperiksa kembali oleh pengadilan. Yang
memutus atau pengadilan yang lebih tinggi.
B. Jenis Upaya Hukum
Menurut sifatnya upaya hukum terbagi 2, yakni:
1. Upaya hukum Biasa
2. Upaya hukum luar biasa

1. Upaya Hukum Biasa

a. Perlawanan/verzet =>
 Yaitu upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya
Tergugat (verstek). Psl 125 ayat (3) dan/149 ayat (3) RBg ( Bila dijatuhkan putusan
verstek hrs diberitahukan kepada tergugat dan ia punya hak untuk verzet dalam
waktu yang ditentukan UU)
 Syaratnya : Menurut pasal 129 HIR/153 ayat 1 RBg, jangka waktu pengajuan
perlawanan (yg dpt diterima)adalah dalam waktu:
 14 hari setelah verstek diberitahukan
 8 hari setelah dilakukan peneguran
 14 hari setelah surat perintah eksekusi dikeluarkan.
 Resiko diajukan verzet adalah:
- tidak memungkinnya dilakukan eksekusi (kecuali putusan tersebut dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun ada verzet, banding atau kasasi / psl 153 ayat 4 RBg / 159 ayat
4 RBg.

 Pendaftaran perlawanan/verzet
Prosedur pendaftaran perkara verzet sama dengan prosedur pendaftaran biasa.

 Upaya hukum terhadap putusan perlawanan adalah banding.


b. Banding
 Yaitu pengajuan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan
pemeriksaan ulangan, apabila para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat
pertama.

 Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun 1947


tentang peradilan ulangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15
Untuk Jawa Madura dan 199 – 205 Rbg (Untuk di luar Jawa Madura) dinyatakan :
 Tenggang waktu permohonan banding :
- 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak
Pemohon banding hadir sendiri dipersidangan.
- 14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila Pemohon banding tidak hadir
pada saat putusan diucapkan di persidangan.
- jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan
prodeo dari Pengadilan Tinggi kepada Pemohon banding.
 Pengajuan permohonan banding disampaikan kepada Panitera pengadilan yang
memutus perkara di tingkat pertama.

 Penyampaian memori banding adalah hak, bukan kewajiban hukum bagi Pemohon
banding.

 Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding, berkas perkara harus sudah dikirim
ke Panitera Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun 1947).

Syarat-syarat banding;
1. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
3. Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
4. Membayar panjar biaya banding.
5. Membuat akta permohonan banding dengan menghadap kepaniteraan pengadilan.

Masa Pengajuan banding :


 Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus
perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan
atau diberitahukan kepada yang bersangkutan.
 Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara
tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan
disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)
Pengajuan Kasasi
Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan
pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena
kesalahan dalam penerapan hukum.

Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau
pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat kasasi
1. Diajukan oleh yang berhak.
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
3. Putusan pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4. Membuat memori kasasi.
5. Membayar panjar biaya kasasi.
6. Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan

 Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.


 Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak
dikirim ke Mahkamah Agung
 Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa
permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal.
 Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan
ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001)
Peninjauan Kembali.

 Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru
yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim.

 Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.

Syarat-syarat permohonan PK
1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
2. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
4. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
5. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
6. Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
7. Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.

 Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai
ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan
Kembali dikirim ke Mahkamah Agung

 Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.
Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan atau yang lebih dikenal dengan eksekusi ialah :

 tindakan yang dilakukan secara paksa


 terhadap pihak yang kalah dalam perkara
 apabila pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan secara sukarela
 putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
 telah ditegur atau dianmaning untuk melaksanakan secara sukarela.

Putusan yang dapat dieksekusi ialah putusan yang bersifat => komdemnatoir yaitu :

1) Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. (Pasal
196HIR/208 RBg)
2) Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. (Pasal
225 HIR/259 RBg)
3) Putusan yang menghukum salah satu pihak mengosongkan suatu benda tetap. (Pasal
1033 RV)
4) Eksekusi riil dalam bentuk lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR/218 RBg.)
Adapun tatacara eksekusi ialah :

1) Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang bersangkutan.


2) Eksekusi atas dasar perintah Ketua Pengadilan Agama, surat perintah ini dikekluarkan
setelah Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan (anmaning) tanpa alasan
yang sah dan Tergugat tidak mau melaksanakan amar putusan selama masa
peringatan.
3) Dilaksanakan oleh Panitera atau Juru Sita dengan dibantu 2 (dua) orang saksi
4) Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek sengketa.
5) Membuat berita acara sita eksekusi.

Anda mungkin juga menyukai