Hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum materil.
Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan, bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain dengan tujuan untuk
melaksanakan berjalannya peraturan peraturan hukum (hukum materiel)
Hukum Acara di lingkungan Peradilan Agama Hukum Acara Perdata (karena yang
diselesaikan di PA adalah perkara perdata.
Dalam Pasal 54 UUPA diatur bahwa: “Hukum Acara yang berlaku di lingkungan pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam uu
ini”
B.Rv (Reglementop de Burgelijke Rechtsvordering) => Hk Acara untuk gol. Eropa yang
sudah tidak berlaku, namun karena masih relevan dan untuk mengisi kekosongan hokum,
maka masih dipakai, antara lain dalam hal : formulasi surat gugatan, perubahan surat
gugatan, intervensi dll.
IR (Inlandsh Reglement) yang kemudian dirubah menjadi HIR (Het Herzience Indonesia
Reglement) yakni hokum acara yang diiperuntukkan bagi golongan bumi putra dan timur
asing yang berada di Jawa dan Madura.
BW (Burgelijk Wetbook voor Indonesia) atau KUHP yang pada buku ke IV memuat
tentang pembuktian.
WvK (Wetboek van Koophandel) adalah KUHD.
Undang Undang Nomer 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman.
Undang Undang Nomer 5 tahun 2004 tentang mahkamah Agung.
Undang Undang Nomer 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang Undang Nomer 2
tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Untuk PA, ditambah dengan yang diatur secara khusus antara lain termuat dalam:
Undang undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU. No. 3 tahun 2006 jo.
UU no 50 tahun 2009 tentang perubahan atas UU no 7 tahun 1989 ttg PA.
Yurisprudensi
Surat Edaran MA
1. Asas legalitas
Asas legalitas ini tergambar dalam :
(Pasal 58 ayat (1) UU No. 7/1989): “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”. Ketentuan ini dapat dimaknai bahwa setiap orang
mendapatkan :
Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan
kewenangan peradilan harus berdasar atas hukum, mulai dari tindakan :
a) pemanggilan,
b) persidangan,
c) putusan yang dijatuhkan ,
d) penyitaan dan
e) eksekusi putusan.
UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama.
Asas ini juga terlihat dalam Undang Undang No 4 tahun 2004 ttg Kekuasaan
Kehakiman, yakni:
1) pasal 3 (2):” Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila”.
1) pasal 6 (1):” Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain
daripada yang ditentukan oleh undang-undang”.
2) Asas Personalitas Ke-islaman
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-
islaman adalah :
a) Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu
acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
3) Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
setiap putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat “Bismillahirrahmanir rahim” dan
diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Asas ini tergambar dalan ketentuan (Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU No.7/1989, yang
berbunyi:
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Hal ini memberi pengertian bahwa Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya
selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan
ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-
irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Peradilan Agama dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan atau Asas
Fleksibelitas.
Sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta
tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan.
Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara
lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan
dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan
transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak
dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan
bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
6) Pemeriksaan perkara dilakukan dalam persidangan Majelis sekurang-kurangnya tiga
orang Hakim (salah satunya Menjadi Ketua Majelis) dan dibantu Panitera sidang.
2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai
ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan
pekerjaan panitera.
7) Asas Non Ekstra Yudisial/Peradilan Agama dilakukan bebas dari pengaruh dan campur
tangan dari luar .
Asas ini dapat dilihat pada ketentuan dalam :
Psl.5 ayat (2) UU. No. 3/2006 :” Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.”
jo. Psl. 4 ayat (3) UU. No. 4/2004):” Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Hal ini mengandung pengertian di dalamnya bahwa dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya Peradilan Agama bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya,
dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra
yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
7) Persidangan dilakukan terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain.
Sebagaimana diatur dalam:
Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989: ”Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum,
kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan
secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup”.
Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) :” Sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Pengecualian dimaksud adalah:
Seperti untuk Pemeriksaan perkara perceraian dilakukan secara tertutup. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Undang Undang no 7 tahun 1989::
1) Pasal 68 hurup b:” Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
tertutup.
2) pasal 80 hurup b :” Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang
tertutup”
Akan tetapi pada saat pembacaan putusan atau penetapan dilakukan dengan terbuka
untuk umum, hal ini sebagaimana diatur dalam :
1) Pasal 60 UU No.7/1989:” Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
2) Psl. 20 UU No.4/2004):” Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
IV. Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Agama
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dikenal dua corak atau sifat pengajuan permintaan
pemeriksaan perkara kepada pengadilan, yakni :
Perkara Kontensius adalah perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih
dan merupakan tuntutan hak serta adanya kepentingan hukum.
Contoh perkara sengketa harta waris, perkara perceraian dan lain-lain.
1) BerupaTuntutan, yaitu merupakan suatu aksi atau tindakan hukum yang bertujuan untuk
memperoleh perlindungan hukum dari Pengadilan dan untuk mencegah tindakan main
hakim sendiri.
2) Ada Kepentingan Hukum, maksudnya yaitu setiap gugatan harus merupakan tuntutan hak
dan mempunyai kepentingan hukum yang cukup.
3) Sengketa, yaitu tuntutan hak tersebut harus merupakan sengketa. Tidak ada sengketa
maka tidak ada perkara (geen belang, geen actie)
4) Dibuat dengan Cermat dan Terang, Yaitu dengan alasan atau dasar hukumnya harus jelas
dan dapat dibuktikan apabila disangkal, pihak-pihaknya juga harus jelas demikian juga
obyeknya. Jika tidak jelas maka surat gugatan tersebut akan dinyatakan gugatan kabur
(Obscure Libel).
FORMULASI (ISI) DAN SISTEMATIKA PERMOHONAN/ GUGATAN
1) Pencantuman tanggal Permohonan/Gugatan (bagian depan halaman pertama atau
halaman akhir di atas tanda tangan
2) Pencantuman alamat ketua pengadilan
3) Pencantuman identitas dan kedudukan para pihak. Menurut ketentuan pasal 67
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Identitas seseorang adalah :
nama lengkap,
umur dan
tempat tinggal,
jenis kelamin,
agama dan
Pekerjaan
4) Posita/ Fundamentum Fetendi /dalil gugatan (hubungan hukum dan peristiwa), yaitu
penjelasan tentang keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan hukum yang
dijadikan sebagai landasan atau dasar dari gugatan tersebut serta dibuat dengan jelas
dan terang.
Terdiri dari dua bagian;
=> Feitelijke gronden, yakni bagian yang menguraikan latar belakang peristiwa,
sehingga ia mengajukan Permohonan/Gugatan.
Penggabungan gugatan adalah menyatukan beberapa masalah hokum dalam satu surat
gugatan.
Tujuannya adalah: => agar dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna menghindari adanya
putusan yang saling bertentangan.
Fungsinya
mempermudah jalannya pemeriksaan
menghemat biaya, tenaga dan waktu
Bentuk Penggabungan gugatan
Penggabungan antara perkara dengan acara khusus (perceraian) dengan perkara dengan
acara biasa (perjanjian).
penggabungan tuntutan yang salah satunya hakim tidak berwenang secara relative.
Perubahan Gugatan
Perubahan menjadi hak penuh pengguggat kalau dilakukan pada saat sebelum surat gugatan
didaftarkan dalam buku rigester perkara.
Akan tetapi jika perubahan dilakukan setelah didaftarkan, bahkan salinannya sudah
diserahkan kepada tergugat, atau pada saat proses pemeriksaan, maka ini menjadi masalah
hokum.
Pada saat pemeriksaan berlansung dan tergugat sudah memberikan jawaban maka
perubahan harus atas persetujuan tergugat, dengan syarat:
a) Tidak menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak, terutama tergugat.(misalnya pada
gugat waris dan pembagian harta gono gini)
b) Memberikan kesempatan kepada tergugat untuk membela diri.
c) Tidak merubah dasar tuntutan.
Bentuk perubahan:
1. Persiapan Persidangan
Sebelum memeriksa perkara, Majelis Hakim harus membaca dan mepelajari berkas
perkara.
Dalam persidangan Ketua Majelis berada di tengah/diantara dua hakim anggota lalu
membuka sidang dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim diiringi dengan
mengetukkan palu sebanyak 3 (tiga) kali,
Selanjutnya Para pihak dipanggil masuk ke ruang sidang, kemudian Majelis Hakim
memeriksa identitas para pihak, jika diwakili oleh kuasanya, maka penerima kuasa
tersebut harus diperiksa identitasnya dan juga surat kuasanya.
Secara teoritis pemeriksaan suatu perkara dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Sidang pertama usaha Perdamaian.
2. Sidang kedua Pembacaan surat gugatan.
3. Sidang ketiga Jawaban Tergugat.
4. Sidang keempat Replik Penggugat.
5. Sidang kelima Duplik Tergugat.
6. Sidang keenam Pembuktian dari Penggugat.
7. Sidang ketujuh Pembuktian dari Tergugat.
8. Sidang kedelapan Kesimpulan pihak-pihak berperkara.
9. Sidang kesembilan Pembacaan putusan.
Catatan: Tahapan-tahapan seperti diuraikan di atas (1 s/d 9 ) tidak bersifat baku bisa lebih
singkat dan bisa juga lebih lama, cepat dan lamanya penyelesaian suatu perkara sangat
tergantung dari kehadiran dan kesiapan pihak-pihak berperkara karena pada dasarnya dalam
perkara perdata hakim bersifat pasif.
Perkara perdata pada peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding harus sudah selesai
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak didaftarkan. (SEMA RI No. 6 Tahun 1992 tanggal 21
Oktober 1992, Jo SEMA Nomor 3 Tahun 1998).
Sidang pertama
Sebelum memeriksa pokok perkara Hakim wajib mendamaikan pihak-pihak berperkara.
=> Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemerikasaan pokok perkara, hakim wajib
mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, tidak boleh langsung
memeriksa pokok perkara. Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg)
Jika perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatkan akta perdamaian (Acta van vergelijk)
(isinya menghukum kedua belah pihak untuk melaksanakan isi perdamaian.)
Hakim tanpa diminta oleh pihak berperkarapun sebenarnya harus mengundurkan diri dari
perkara apabila:
1) Ia secara pribadi mempunyai kepentingan baik langsung atau tidak langsung dalam perkara
itu.
2) Suami/Isteri, keluarga atau keluarga semendanya dalam garis keturunan lurus, atau sampai
derajat ke empat ke samping tersangkut dalam perkara itu.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak. (Pasal 374
HIR/702 RBg.
Sidang Kelima Duplik tergugat, pada tahapan ini majelis hakim mengadakan dialog dengan
tergugat untuk menggali pernyataan tergugat menanggapi isi gugatan penggugat.
Sidang keenam Pembuktian dari Penggugat, pada tahapan ini penggugat diminta majelis
hakim membuktikan dalil gugatannya.
Sidang ketujuh Pembuktian dari tergug, pada tahapan ini tergugat diminta majelis hakim
membuktikan dalil bantahannya.
Sidang kedelapan Kesimpulan pihak-pihak berperkara., dalam tahapan ini para pihak
diminta oleh majelis hkim untuk menyampaikan kesimpulan masing masing pihak atas
jalannya pemeriksaan perkara.
Sidang kesembilan Pembacaan putusan, dalam tahap ini majelis hakim akan
menyampaikan hasil akhir dari persisangan, sidang dinyatakan terbuka untuk umum.
Eksepsi dan Rekonpensi
1. Eksepsi (Pasal 136 HIR/Pasal 162 RBg Pasal 356 R.V.)
Pengertian Eksepsi => Eksepsi adalah: “sanggahan terhadap suatu gugatan atau
perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara”.
Tujuan Eksepsi untuk menghindari gugatan agar Hakim menetapkan gugatan tidak dapat
diterima atau ditolak.
1) Eksepsi tentang kewenangan absolut, yakni Eksepsi tidak berwenang secara absolut,
eksepsi menyangkut kewenangan mutlak yaitu sanggahan tentang kewenangan absolute
pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara tersebut melainkan menjadi
wewenang Pengadilan lain.
2) Eksepsi tentang kewenangan relatif, yakni tangkisan akibat adanya kesalahan terkait tepat
tidaknya pengajuan gugatan berdasarkan alamat masing masing pihak dikaitkan dengan
wilayh hukum pengadilan yang bersangkutan.
3) Eksepsi tentang nebis is idem (eksepsi van gewisde zaak), yakni tangkisan akibat adanya
suatu perkara yang sudah pernah diputus oleh pengadilan lain. Karena pada dasarnya
perkara tidak dapat diputus dua kali .
5) Eksepsi gugatan kabur (obscure libel), yaitu karena gugatan kabur, tidak jelas, tidak dapat
dipahami baik mengenai susunan kalimatnya, formatnya atau hubungan hukumnya satu
sama lain yang tidak saling mendukung/bertentangan sama sekali.
1) Dilatoir eksepsi. (Belum waktunya diajukan), yakni tangkisan yang menyatakan bahwa
perkara tersebut bersifat prematur, belum waktunya diajukan, misalnya mengenai
perjanjian belum habis waktunya.
Gugat rekonvensi adalah gugatan balasan yang diajukan oleh tergugat asli (penggugat
dalam rekonvensi) yang digugat adalah penggugat asli (tergugat dalam rekonvensi) dalam
sengketa yang sedang berjalan antara mereka.
Penggugat rekonvensi dapat juga menempuh jalan lain yakni dengan mengajukan gugatan
baru dan tersendiri, lepas dari gugat asal.
Gugat rekonpensi/ balasan diajukan bersama dengan jawaban, baik itu berupa jawaban
lisan atau tertulis.
Dalam praktik gugat balasan dapat diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan
bukti, artinya belum sampai pada pendengaran keterangan saksi.
3) Baik gugat asal (konvensi) maupun gugatan balik (rekonvensi) pada umumnya
diselesaikan secara sekaligus dengan satu putusan, dan pertimbangan
hukumnya memuat dua hal, yakni pertimbangan hukum dalam konvensi dan
pertimbangan hukum dalam rekonvensi.
Menurut ketentuan pasal 132 (a) HIR dan pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat
dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu: 241.
Upaya memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan.
Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya
keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan
alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang
dan siapa yang kalah.
Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil
saja
B. Dasar Pembuktian
Pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia
mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa
itu; sebaliknya barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak
orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.
C. Tujuan Pembuktian
Sedang tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa atau
hak yang diajukan kepada hakim.
Karena
“Jalannya acara pembuktian di persidangan Pengadilan Perdata akan menentukan hasil
akhir perkara”
Dalam sengketa antara pihak-pihak berperkara tersebut dan sedang diperiksa dimuka
persidangan, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan.
Hakim harus memeriksa dalil-dalil mana yang benar dan tidak benar.
Dengan demikian diharapkan akan diperoleh putusan hakim yang benar dan adil.
Hakim dilarang dan tidak boleh menjatuhkan putusan suatu perkara sebelum
fakta/peristiwa yang diajukan itu benar-benar terjadi yaitu dibuktikan kebenarannya.
Secara teori dalam hukum perdata, Hakim yang memeriksa perkara perdata berpedoman
kepada kebenaran formil sedangkan dalam hukum pidana, Hakim berpedoman kepada
kebenaran materil. “
Dalam praktek peradilan sebenarnya seorang Hakim dituntut mencari kebenaran materil
terhadap perkara yang sedang diperiksanya karena tujuan pembuktian itu adalah untu
meyakinkan Hakim atau memberikan kepastian kepada Hakim tentang adanya peristiwa-
peristiwa tertentu sehingga Hakim dalam mengkonstatir, mengkwalifisir dan
mengkonstituir serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut.
Kebenaran formil yang dicari oleh Hakim dalam arti Hakim tidak boleh melampaui batas
batas yang diajukan oleh pihak berperkara.
Jadi baik kebenaran formil maupun kebenaran materil hendaknya harus dicari secara
bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepadanya.”
Teori Pembuktian.
Ada 3 (tiga) teori pembuktian yaitu :
Menurut ketentuan pasal 163 HIR/ Pasal 283 RBg yang wajib membuktikan atau
mengajukan alat-alat bukti adalah para pihak yaitu Penggugat dan Tergugat yang
berkepentingan di dalam suatu perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Dalam soal pembuktian Hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat
sebelah.
Ketentuan pembuktian sebagaimana tersebut di atas diatur dalam pasal 163 HIR/ Pasal 283
RBg azas yaitu yang wajib membuktikan adalah :
orang yang mempunyai hak ( orang yang mendalilkan mempunyai hak tetapi hak
tersebut dibantah orang lain).
orang yang membantah hak orang lain ( harus membuktikan bantahannya), jika hak
atau dalil tersebut tidak dibantah maka hak dan atau dalil tersebut dianggap telah terbukti
dan tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.
Maka apabila:
Penggugat maupun Tergugat saling membantah maka kepada keduanya harus diberikan
kesempatan untuk mengajukan bukti-buktinya masing-masing secara berimbang.
Terhadap hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal tidak perlu
dibuktikan
Hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (umum) yang
dalam istilah hukum disebut fakta notoir tidak harus dibuktikan..
A l a t B u k t i.
Alat bukti adalah :”segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai
membuktikan sesuatu.
Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk
menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan.
1. S u r a t
2. S a k s i
3. Persangkaan
4. Pengakuan.
5. S u m p a h
1. BUKTI SURAT
Bukti surat adalah => bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu
peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu.
Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian .
Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat sebagai berikut.
a. Surat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti.
Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang termasuk
surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan korespondensi, dll.
a. Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat
dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dll.
(Pasal 1868 BW).
b. Akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak, apabila
isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak yang mengajukan bukti harus
menambah dengan bukti lain misalnya saksi.
Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga) yaitu :
1. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
2. Dibuat dalam bentuk sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu.
3. Dibuat di tempat di mana pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.
Pejabat yang dimaksudkan itu antara lain ialah Notaris, Hakim, Panitera, Jurusita, Pegawai
Pencatat Sipil, Pegawai Pencatat Nikah, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Akta Ikrar
Wakaf dan sebagainya.
a. Akta yang dibuat oleh pejabat (acta ambleijk, process verbal acte) ialah akta yang dibuat
oleh pejabat berwenang untuk itu karena jabatannya tanpa campur tangan pihak lain,
dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat, didengar serta apa yang
dilakukannya.
b. Akta yang dibuat di hadapan pejabat (partij acte) ialah akta yang dibuat oleh para pihak di
hadapan pejabat yang berwenang untuk itu atas kehendak para pihak, dengan mana pejabat
tersebut menerangkan juga yang dilihat dan dilakukannya.
Akta di bawah tangan ialah akta yang dibuat oleh para pihak dengan sengaja untuk
pembuktian, tetapi tanpa bantuan dari seseorang pejabat.
Dalam praktik beracara di pengadilan bukti surat yang akan digunakan sebagai bukti di
persidangan haruslah :
di foto copy lalu
dibubuhi meterai yang cukup dan dilegalisasi di Kantor Pos
didaftarkan di Kepaniteraan pengadilan
diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim dan dicocokkan dengan aslinya .
Jika sesuai dengan aslinya maka dapat digunakan sebagai bukti yang sah.
Jika tidak cocok dengan aslinya atau tidak ada aslinya maka tidak mempunyai kekuatan
pembuktian sama sekali.
BUKTI SAKSI
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu
peristiwa.
Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa
dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.
1) Dewasa
2) Berakal sehat.
3) Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak,
kecuali undang-undang menentukan lain.
4) Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun telah bercerai (Pasal
145 HIR/Pasal 172RBg.).
5) Tidak ada hubungan kerja kecuali undang-undang menentukan lain. (Pasal 145 HIR)
6) Saksi sekurang-kurangnya 2 (dua) orang. (Pasal 169 HIR) = Keterangan satu orang saksi
saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung
dengan alat bukti lain.
7) Menghadap di persidangan.
8) Memberikan keterangan secara lisan.
Syarat-syarat materil seorang saksi :
1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu
pihak.
3) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15
(lima belas) tahun.
Persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang
dan nyata ( pasal 1915 KUH Perdata ):
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari
satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”.
Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian
atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal
yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua
dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala
hal dalil bantahan yang diajukan tergugat.
a) Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
a) Pengakuan tegas baik secara tertulis dan lisan di depan persidangan (expressis verbis),
• Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) dan “tambahan” (supletoir eed)
a) Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh
salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri
perkara yang sedang diperiksa oleh hakim.
Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak
yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia
tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.
sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal
156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW}
Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak
yang harus bersumpah disebut delaat.
Inisiatif untuk membebani sumpah decisoir ini datang dari salah satu pihak
Bila yang bersangkutan menolak untuk melakukan sumpah pemutus, maka ia akan
dinyatakan kalah.
Dan apabila ia mengembalikan (kepada pihak yang memintanya bersumpah/ deferent)
untuk bersumpah dan pihak deferent menolaknya maka pihak deferent yang
dikalahkan.
Bila sudah diucapkan sumpah pemutus tidak diperlukan lagi bukti bukti lain.
Bila ada penyangkalan terhadap sumpah pemutus, maka harus dibuktikan lewat
persidangan pidana.
Sumpah yang bersifat menentukan yang dimintakan oleh pihak lawan karena tidak ada
alat bukti lain dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara”.
b) Suatu Supletoir “sumpah tambahan”, adalah :
suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara
apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu
“permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena
dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti
yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Sumpah supletoir :
Dasar => Pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW
Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah
satu pihak
Untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya.
Salah satu pihak harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tetapi belum
mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya . misalnya apabila hanya ada seorang saksi
saja.
Pihak yang diperintahkan untuk melakukan sumpah suplatoir tidak boleh
mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan,
ia hanya dapat menolak atau menjalankannya. (Pasal 1943 BW)
c) Sumpah aestimatoir (penaksiran)
Selain kedua macam sumpah tersebut dikenal juga sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam
rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang
tertentu yang disengketakan
• Sumpah penaksir ini barulah dapat dibebankan oleh hakim kepada Penggugat apabila
Penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya
masih belum pasti
• Jika tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersbut kecuali dengan
taksiran.
• Hakim tidak wajib untuk membebani sumpah penaksir ini kepada Penggugat.
• Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir; bersifat
sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
• Hanya dalam perkara gugatan ganti rugi.
• Penyebabnya adalah adanya nilai ganti rugi yang tidak jelas
• Diawali dengan pembuktian adanya hak atas ganti kerugian dari sesuatu yang
dituntut.
Pemeriksaan setempat (descente)
Ketentuan pasal 164 HIR (Pasal 284 RBg, 1866 BW sepertinya bersifat limitative akan
tetapi selain 5 (lima) macam alat bukti tersebut masih ada alat bukti yang dapat
dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang
menjadi sengketa yaitu descente atau pemeriksaan setempat.
Apabila dalam satu perkara terdapat barang tetap yang dipersengketakan tentu tidak
mungkin membawa barang tersebut ke muka persidangan oleh karena itu hukum
mengatur dibolehkannya pemeriksaan setempat (Pasal 153 HIR/ Pasal 180 RBg dan Pasal
211 RV)
Bila objek sengketa berada di luar wilayah pengadilan ybs, maka pemeriksaan
dilakukan dengan bantuan pegadilan dimana objek sengketa berada. Pemeriksaan
meliputi:
Wujud objek sengketa
Batas-batas objek sengketa
Kondisi terakhir objek sengketa
Lokasi objek sengketa.
Keterangan Ahli (deshundigenbericht – experte), yakni :
Penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli di depan sidang atas dasar permintaan
salah satu pihak atau karena jabatannya.
Keterangan diberikan di bawah sumpah
Keterangan diberikan secara lisan di depan sidang atau tertulis yang diserahkan secara
langsung kepada majelis hakim.
Tidak ada halangan sebagai saksi
3 . Bukti Bebas
Diserahkan kepada hakim.
Hakim tidak (dapat menerima atau mengesampingkan)
Dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan
Contoh : saksi, saksi ahli.pengakuan di luar sidang.
4. Bukti Permulaan
Alat bukti sah yg belum mencukupi syarat formal
Masih membutuhkan bukti lain.
Hakim bebas dan tdak terikat.
Contoh : satu orang saksi, akte di bawah tangan dll.
A. Pengertian
Musyawarah Majelis Hakim adalah: “Tahapan persidangan dimana majelis hakim
melakukan perundingan guna mengemukakan pendapat hukumnya tentang perkara
yang mereka selesaikan secara rahasia”.
Pada dasarnya panitera yang ikut bersidang tidak dibenarkan untuk mengikuti rapat
musyawarah Majelis Hakim. Alasannya adalah karena musyawarah itu bersifat rahasia.
Namun kemungkinan Panitera pengganti ikut dalam musyawarah Majelis, bisa saja
dibenarkan dengan catatan Majelis Hakim memandang kehadiran panitera sidang itu
diperlukan.
**Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka
perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak.
**Pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia sebagai Ketua Majelis, harus
menyesuaikan dengan pendapat mayoritas.
**Dan untuk itu pendapat yang kalah suara tadi harus di catatkan dalam satu buku khusus
yang dikelola oleh Ketua Pengadilan.
P u t u s a n.
Putusan adalah :
“ Produk Hakim dari hasil pemeriksaan dan penyelesaian perkara di persidangan”.
Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(kontensius)
Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
permohonan (volunteer)
Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan
antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku
sebagai putusan.
Macam dan Jenis Putusan
2. Putusan sela => putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan
perkara.
dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan,
putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh
terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.
Putusan sela ini dibuat seperti putusan biasa lengkap dengan identitas
pihak-pihak, duduk perkara dan pertimbangan hukum tetapi tidak
terpisah dari berita acara persidangan dan ditandatangani oleh Majelis
Hakim serta Panitera sidang.
Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan
maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
1. Putusan gugur
2. Putusan verstek
3. Putusan conntradictoir
Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir
meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya
yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak
mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)
Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam
sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam
pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir.
Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :
1. Putusan Diklatoir
2. Putusan Konstitutif
3. Putusan Kondemnatoir.
Putusan Diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu
yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan gugatan cerai dengan alasan ta’lik talak.
Putusan Konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan
(isbat nikah)
Putusan Kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak
lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan
seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.
Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu :
2. Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.
3. Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.
4. Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak
menerima atau menolak sebagian.
Dilihat dari segi isinya terhadap gugatan/perkara, putusan dibagi menjadi 4 macam yaitu:
2. Putusan menolak gugatan penggugat, yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah
menempuh semua tahap pemeriksaan, tetapi ternyata dalil- dalil penggugat tidak
terbukti (putusan negatif).
3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak tidak menerima
selebihnya, yaitu putusan akhir yang dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak
terbukti atau tidak memenuhi syarat ( putusan campuran positif dan negatif).
1) Kepala Putusan
2) Identitas Para Pihak
3) Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya dan Pertimbangan
Hukum
4) Amar atau dictum putusan
a. Perlawanan/verzet =>
Yaitu upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya
Tergugat (verstek). Psl 125 ayat (3) dan/149 ayat (3) RBg ( Bila dijatuhkan putusan
verstek hrs diberitahukan kepada tergugat dan ia punya hak untuk verzet dalam
waktu yang ditentukan UU)
Syaratnya : Menurut pasal 129 HIR/153 ayat 1 RBg, jangka waktu pengajuan
perlawanan (yg dpt diterima)adalah dalam waktu:
14 hari setelah verstek diberitahukan
8 hari setelah dilakukan peneguran
14 hari setelah surat perintah eksekusi dikeluarkan.
Resiko diajukan verzet adalah:
- tidak memungkinnya dilakukan eksekusi (kecuali putusan tersebut dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun ada verzet, banding atau kasasi / psl 153 ayat 4 RBg / 159 ayat
4 RBg.
Pendaftaran perlawanan/verzet
Prosedur pendaftaran perkara verzet sama dengan prosedur pendaftaran biasa.
Penyampaian memori banding adalah hak, bukan kewajiban hukum bagi Pemohon
banding.
Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding, berkas perkara harus sudah dikirim
ke Panitera Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun 1947).
Syarat-syarat banding;
1. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
3. Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
4. Membayar panjar biaya banding.
5. Membuat akta permohonan banding dengan menghadap kepaniteraan pengadilan.
Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau
pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat kasasi
1. Diajukan oleh yang berhak.
2. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
3. Putusan pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4. Membuat memori kasasi.
5. Membayar panjar biaya kasasi.
6. Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan
Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru
yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim.
Syarat-syarat permohonan PK
1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
2. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
4. Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
5. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
6. Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
7. Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.
Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai
ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan
Kembali dikirim ke Mahkamah Agung
Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.
Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan atau yang lebih dikenal dengan eksekusi ialah :
Putusan yang dapat dieksekusi ialah putusan yang bersifat => komdemnatoir yaitu :
1) Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang. (Pasal
196HIR/208 RBg)
2) Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. (Pasal
225 HIR/259 RBg)
3) Putusan yang menghukum salah satu pihak mengosongkan suatu benda tetap. (Pasal
1033 RV)
4) Eksekusi riil dalam bentuk lelang. (Pasal 200 ayat (1) HIR/218 RBg.)
Adapun tatacara eksekusi ialah :