Anda di halaman 1dari 33

Fiqh Muamalah Kontemporer

“IJARAH DAN WADHIAH”

Diajukan seabagi salah satu pemenuhan tugas dengan mata kuliah Fiqh Muamalah
Kontemporer

Di Susun Oleh :
Siti Aisyah : 30122030
Tisa Amelia : 30122032
Selvi Purwaningsih : 30122015

Dosen Pengampu :
Dr. Aidil Alfin, M. Ag. Ph.D

PROGRAM STUDI PASCASARJANA EKONOM SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM (UIN) SJECH M.DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
1444 H / 2023 M
2
Kata Pengantar
Segala pujian dan rasa syukur kita persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah
menurunkan al-Quran kepada manusia sebagai petunjuk, pedoman, dan penerang
bagi kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Atas karunia Allah, makalah
sederhana ini dapat pemakalah selesaikan. Shalawat beriring salam mari sama-sama
kita persembahkan kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya sekalian. Dari merekalah yang telah mewariskan dan mengajarkan al-
Quran sehingga sampai kepada kita pada hari ini.
Makalah yang membahas tentang harta dan hak milik ini merupakan tugas
pada matakuliah Fiqh Muamalah. Selanjutnya, kami memberikan apresiasi yang luar
biasa kepada dosen pengampu, Bpk Dr. Aidil Alfin, M. Ag. Ph.D. yang telah
meluangkan sedikit waktunya dan berkenan memberikan arahan dan dorongan, baik
berupa kritikan atau saran kepada kami dalam penyusunan untuk mencapai
kesempurnaan makalah ini.
Meskipun kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan
Tulisan ini, namun kami yakin masih banyak kekurangan, kejanggalan, bahkan
mungkin ada kesalahan didalamnya karena kesempurnaan hanyalah milik Allah
semata. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian, atas perhatiannya kami mengucapkan
terimakasih dan semoga Allah membalasnya.
Akhirnya, kami sangat menginginkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan khususnya untuk kami sendiri. Kepada Allah jualah kami serahkan
segalanya. Semoga kiprah dan pengabdian kita semua bermakna disisi-Nya, Amin.

Bukittinggi, Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1.Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah ................................................................................ 1
1.3.Tujuan Makalah.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Ijarah..................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah ....................... 4
2.1.2 Menyewakan Barang Sewaan ..................................................... 5
2.1.3 Aplikasinya di Bank Syariah ...................................................... 6
2.1.4 Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik dan Aplikasinya di Bank Syariah8
2.1.5 Fatwa MUI-DSN tetang IMBT dan Obligasi Ijarah ................. 11
2.1.6 Beda Ijarah dan Leasing............................................................ 13
2.1.7 Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah .......................................... 16
2.2 Wadhiah.............................................................................................. 17
2.2.1 Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Wadiah .................. 17
2.2.2 Rukun dan Syarat Akad Wadhiah ............................................. 19
2.2.3 SWBI dan Fatwa DSN tentang Wadiah. Aplikasi
di Bank Syariah dan LKS ......................................................... 20
2.2.4 Jaminan Wadiah Menurut 4 Mazhab ........................................ 21
2.2.5 Beda Bonus dengan Bunga ....................................................... 22
2.2.6 Pergeseran dari SWBI ke SBIS................................................. 23
2.2.7 Konsep Ju’alah dalam Fiqh dan SBI Syariah ........................... 24
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................
3.2 Saran .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Pengertian ijarah secara terminologi dikemukakan oleh ulama fiqh, yang
pertama adalah ulama Hanafiyah yang mendifinisikan ijarah dengan transaksi atau
akad terhadap suatu manfaat dengan disertai ganti/imbalan. Menurut ulama Syafi’iyah
ijarah adalah akad/transaksi atas suatu manfaat yang diinginkan, bersifat mubah dan
boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sedangkan ulama Malikiyah dan
Hanabilah memberi pengertian ijarah sebagai pemilikan manfaat sesuatu yang
diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan.
Dalam perbankan Ijarah adalah salah satu akad pembiayaan syariah yang diterapkan
bank syariah. Dalam ijarah, bank syariah membeli aset dan menyewakan kepada
nasabah dengan harga yang disepakati ditambah keuntungan untuk periode tertentu
dengan biaya sewa tetap.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ijarah adalah suatu akad yang
digunakan untuk suatu manfaat dengan memberikan imbalan tanpa memindahkan hak
milik dari aset tersebut.
2.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah
2. Bagaiman Cara menyewakan barang Sewaan
3. Bagaimana Aplikasi Ijarah Di Bank Syariah
4. Fatwa MUI-DSN tentan IMBT dan obligasi ijarah
5. Beda Ijarah dan Leasing
6. Bagaimana Aplikasi Ijrah di LKS lainnya (Leasing, Takaful,, BMT)
7. Apa itu Obligasi Ijarah dan SBSN
8. Penyebab Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
9. Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Wadiah
10. Hukum-hukum Wadhiah
11. SWBI dan Fatwa DSN tentang Wadiah. Aplikasi di Bank Syariah dan LKS
12. Jaminan Wadiah Menurut 4 Mazhab
13. Beda Bonus dengan Bunga
14. Pergeseran dari SWBI ke SBIS

1
15. Konsep Ju’alah dalam Fiqh dan SBI Syariah

2.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah
2. Untuk mengeahui Bagaiman Cara menyewakan barang Sewaan
3. Untuk mengetahui Bagaimana Aplikasi Ijarah Di Bank Syariah
4. Untuk mengetahui Fatwa MUI-DSN tentan IMBT dan obligasi ijarah
5. Untuk mengetahui Beda Ijarah dan Leasing
6. Untuk mengetahui Bagaimana Aplikasi Ijrah di LKS lainnya (Leasing, Takaful,,
BMT)
7. Untuk mengetahui Apa itu Obligasi Ijarah dan SBSN
8. Untuk mengetahui Penyebab Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
9. Untuk mengetahui Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Wadiah
10. Untuk mengetahui Hukum-hukum Wadhiah
11. Untuk mengetahui SWBI dan Fatwa DSN tentang Wadiah. Aplikasi di Bank Syariah
dan LKS
12. Untuk mengetahui Jaminan Wadiah Menurut 4 Mazhab
13. Untuk mengetahui Beda Bonus dengan Bunga
14. Untuk mengetahui Pergeseran dari SWBI ke SBIS
15. Untuk mengetahui Konsep Ju’alah dalam Fiqh dan SBI Syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ijarah
2.1.1 Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah
1 Pengertian Ijarah
Kata ijarah berasal dari kata al-ajryang mempunyai arti balasan atau ganjaran
atas suatu pekerjaan. Ijarah berasal dari bahasa Arab yang merupakan akar kata
ajara yang mempunyai beberapa arti; pertama akra artinya menyewakan, kedua
a’thahu ajran berarti dia memberinya upah; dan yang ketiga atsabahu artinya
memberinya pahala atau ganjaran atas suatu pekerjaan (Anis, 1972).
Dengan kata lain ijarah adalah suatu akad penjualan manfaat tertentu yaitu
dengan memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam jangka
waktu tertentu dengan pembayaran upah tanpa disertai pemindahan kepemilikan
atas barang sewa.1 Menurut Sayyid Sabiq ijarah merupakan salah satu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan penggantian (Sabiq, 1983).
Pengertian ijarah secara terminologidikemukakan oleh ulama fiqh, yang
pertama adalah ulama Hanafiyah yang mendifinisikan ijarah dengan transaksi atau
akad terhadap suatu manfaat dengan disertai ganti/imbalan. Menurut ulama
Syafi’iyah ijarah adalah akad/transaksi atas suatu manfaat yang diinginkan, bersifat
mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sedangkan ulama
Malikiyah dan Hanabilah memberi pengertian ijarah sebagai pemilikan manfaat
sesuatu yang diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan.2
Dalam perbankan Ijarah adalah salah satu akad pembiayaan syariah yang
diterapkan bank syariah. Dalam ijarah, bank syariah membeli aset dan menyewakan
kepada nasabah dengan harga yang disepakati ditambah keuntungan untuk periode
tertentu dengan biaya sewa tetap.3

1
Ahmad Syaichoni, ‘Ijarah Maushufah Fi Al-Dzimmah Dalam Kajian Muamalah Kontemporer’, Jurnal Syntax
Transformation, 1.10 (2020), 668–75 <https://doi.org/10.46799/jst.v1i10.173>.
2
Ahmad Syaichoni.
3
Ibraheem Alani Abdul Kareem, Mohd. Sadad Bin Mahmud, and Abdul Fattah Abdul Ganiyy, ‘Thematic Review
of Sukuk Ijarah Issued in Nigeria: An Opportunity for Economic Development’, Jurnal Iqtisaduna, 1.1 (2020),
61 <https://doi.org/10.24252/iqtisaduna.v1i1.15851>.
3
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ijarah adalah suatu akad
yang digunakan untuk suatu manfaat dengan memberikan imbalan tanpa
memindahkan hak milik dari aset tersebut.
2 Dasar Hukum
a Al-Qur’an
QS. Ath-Thaalaq (65): 6
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya.”
QS Al-Qashash (28): 26
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
peling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya.”
b Al-Hadits
Hadits riwayat Ibnu Majah:
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum
keringatnya kering.”
c Undang-Undang Nasional dan fatwa Dewan Syariah Nasional
o Undang-undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
o Fatwa NO: 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syari’ah Ijarah
o Fatwa NO: 69/DSN-MUI/VI/2008tentang Surat Berharga Syariah Negara;
o Fatwa No 71/DSN-MUI/IV2008 tentang akad sale and lease back;
o Fatwa No: 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
ijarah sale and lease back;
o Fatwa No: 76/DSN-MUI/ VI/2010 tentang SBSN ijarah asset to be leased;
o Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiyah
Bit at-Tamlik (IMBT);
o Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
o Fatwa DSN-MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiyah
Bit at-Tamlik (IMBT).4

4
Lanang Sakti and Nadhira Wahyu Adityarani, ‘Tinjauan Hukum Penerapan Akad Ijarah Dan Inovasi Dari Akad
Ijarah Dalam Perkembangan Ekonomi Syariah Di Indonesia’, Jurnal Fundamental Justice, 1.2 (2020), 39–50
<https://doi.org/10.30812/fundamental.v1i2.900>.
4
3 Pembagian Ijarah
Ijarah terdiri dari dua macam5:
a Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa dalam ijarah bagian pertama
ini objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda.
b Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah bagian kedua
ini objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang.
2.1.2 Menyewakan Barang Sewaan
Dalam fiqih, menyewakan barang atau benda sewaan hukumnya boleh. Kita
tidak dilarang untuk menyewakan barang sewaan kepada orang lain dengan syarat
barang tersebut sudah diterima atau akadnya sudah selesai dengan pemilik barang.
Sebaliknya, jika belum diterima atau akadnya belum selesai dengan pemilik barang,
maka tidak boleh menyewakan barang tersebut.
Dalam kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan beberapa ulama yang
berpendapat boleh menyewakan barang sewaan. Di antaranya adalah Imam Ahmad,
Sa’id bin Musayyab, Ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Al-Nakha’i, Al-Tsauri dan Imam
Syafii. Ibnu Qudamah berkata;

“Boleh bagi orang yang menyewa untuk menyewakan barang sewaan jika sudah
menerima barang tersebut. Ini ditegaskan oleh Imam Ahmada, dan juga pendapat dari
Sa’id bin Musayyab, Ibnu Sirin, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Salamah bin Abdurrahman,
al-Nakha’i, al-Sya’bi, al-Tsauri, al-Syafii dan ashab al-Ra’yi.”
Dalam kitab al-Muhazzab, Imam Syairazi menjelaskan alasan kebolehan
menyewakan barang sewaan ini. Menurut beliau, barang sewaan yang sudah diterima
atau akadnya sudah selesai dihukumi seperti jual beli. Ketika akad jual beli sudah
selesai dilakukan, maka barang hasil transaksi jual beli tersebut boleh dijual. Begitu
juga dengan barang sewaan. Setelah selesai akadnya, ia boleh disewakan kepada orang
lain.6

5
Devianita Devianita, ‘Penerapan Akad Ijarah Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah’, MUTAWAZIN (Jurnal
Ekonomi Syariah), 2.1 (2021), 43–55 <https://doi.org/10.54045/mutawazin.v2i1.236>.
6
Moh Juriyanto, ‘Hukum Menyewakan Barang Dalam Islam’, Bincang Syariah, 2019.
5
Imam Syairazi berkata sebagai berikut;

“Boleh bagi penyewa untuk menyewakan barang sewaan jika barang tersebut
diterima oleh penyewa. Hal ini karena akad sewa seperti akad jual beli. Menjual
barang hasil jual beli boleh dilakukan setelah barang itu diterima. Begitu juga boleh
menyewakan barang sewaan bagi penyewa.”
Musta‟zir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain
dengan
syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad,
seperti penyewa seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk
membajak di sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta‟zir
kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewa yang kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar,
lebihkecil, atau seimbang. Apabila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang
bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu‟zir) dengan syarat kecelakaan itu
bukan akibat dari kelalaian musta‟zir. Apabila kerusakan atau kecelakaan barang yang
disewa akibat kelalaian musta‟zir maka yang bertanggung jawab adalah musta‟zir itu
sendiri, misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan
bukan pada tempat yang layak7.
2.1.3 Aplikasinya di Bank Syariah
a Perbedaan al-Ijarah dengan Bunga
Dipandang dari hukum Islam, tampaknya pembayaran sewatidaklah
bertentangan dengan etika ekonomi Islam, karena adanya perbedaan besar antara
sewa dan bunga. Tetapi sepintas lalu baik sewa maupun bunga kelihatannya
adalah satu dan sama, karena konon sewa atas tanah, atau harta benda, sedangkan
bunga atas modal, yang mempunyai potensi untuk dialihkan menjadi harta benda
atau kekayaan apa saja. Demikianlah dikemukakan bahwa hak “pemilikan tanah
tidaklah mengandaikan adanya hak tidak terbatas untuk menyewakan tanah itu

7
Mawar Jannati Al Fasiri, ‘Penerapan Al Ijarah Dalam Bermuamalah’, Ecopreneur : Jurnal Program Studi
Ekonomi Syariah, 2.2 (2021), 236 <https://doi.org/10.47453/ecopreneur.v2i2.446>.
6
sebagaimana juga hak memiliki uang tidak mengandung arti hak untuk memungut
riba.” Walupun sepintas lalu ada kesamaan, tetapi dalam beberapa segi, pada
kedua hal itu, transaksi dan keuntungan sangat berbeda.
Pertama, sewa adalah hasil inisiatif usaha dan efisiensi. Iadihasilkan
sesudah suatu proses menciptakan nilai yang pasti. Karena pemilik harta benda
atau kekayaan tetap terlibat dan berkepentingan dengan seluruh pemakaian si
pemakai. Tidak demikian halnya dengan bunga, karena yang meminjamkan tidak
berkepentingan lagi dengan penggunaan pinjaman, setelah pinjaman diperoleh dan
bunganya terjamin.
Kedua, mengenai sewa usaha produktif sangat diperlukan dalam proses
menciptakan nilai, karena upaya ekonomik dilakukan pemilik modal dengan
merubahnya menjadi milik atau kekayaan. Demikian maka unsur kewira-usahaan
tetap jelas dan aktif dalam memproduksi barang dan jasa. Sedangkan bunga
mungkin memperlambat proses menciptakan nilai. Karena yang meminjamkan
tetap tidak berkepentingan dengan penggunaan pinjaman itu, maka unsur
wirausaha hilang sama sekali.
Ketiga, dalam hal sewa, pemilik modal sendiri menentukanpola, ukuran
dan manfaat produk. Karena itu terbatas pada penggunaannya yang pasti dan
bertujuan. Sedangkan dalam hal bunga pemilik yang sebenarnya tampaknya tidak
berkepentingan dengan penggunaan ekonomik dari modal, karena itu besar
kemungkinan modal dapat disalahgunakan.
Keempat, karena dalam masalah sewa banyak unsur kerugiannya, maka
penggunaan modal oleh sipemilik untuk mendapatkan sewa tidak menciptakan
timbulnya kelas bermalas- malasan dalam masyarakat sedangkan unsur kerugian
tidak terdapat sama sekali dalam soal bunga yang dapat membuat si kaya menjadi
lebih kaya dan si miskin menjadi lebih miskin8
Dengan demikian dalam sewa-menyewa tidak terdapat unsureksploitasi
sebagaimana terjadi dalam bunga. Karena itu dalam sewa menyewa dimensi
insaninya lebih dominan dibandingkan dengan dimensi ilahinya. Sebab sewa
menyewa sebagai bagian dari fiqh muamalah berkaitan erat dengan kepentingan
manusia.
8
Dara Fitriani, ‘Ijarah Dalam Sistem Perbankan Syariah’, Al-Hiwalah: (Sharia Economic Law), Volume 1.1
(2022), 37–52 <https://doi.org/10.47766/alhiwalah.v1i1.895>.
7
b Jenis-Jenis al-Ijarah Dalam Perbankan Syariah
1) Ijarah Mutlaqah
Ijarah mutlaqah atau leasing, adalah proses sewa menyewa yang yang
biasa kita temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari. Ijarah berarti lease
contract dan juga hire contract. Dalam konteks perbankan Islam, ijarah adalah
suatu lease contract dimana suatu bank atau lembaga keuangan menyewakan
peralatan (equipment), sebuah bangunan atau barang-barang, seperti mesin-
mesin, pesawat terbang, dan lain- lain, kepada salah satu nasabahnya
berdasarkan pembebanan biaya yang sudah ditentukan secara pasti sebelumnya
(fixed charge).
2) Al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik
Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik(IMBT)
adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya
akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
Ijarah yang juga disebut ijarah wa iqtina ini merupakan konsep hire purchase,
yang oleh lembaga- lembaga keuangan Islam disebut lease-purchase financing.
Ijarah wa iqtina adalah suatu gabungan dari kegiatan leasing atas barang-
barang bergerak (movable) dan barang- barng tidak bergerak (immovable)
dengan memberikan kepada penyewa (lessee) suatu pilihan atau opsi (option)
untuk akhirnya membeli barang yang disewa.
2.1.4 Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik dan Aplikasinya di Bank Syariah
a Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
Al-Ijarah Al Muntahiyah Bi At-tamlik (IMBT) merupakan akad yang
muncul pada era modern ini dan salah satu bentuk pengembangan dari akad ijarah
yang telah ada sejak awal perkembangan Islam. IMBT termasuk salah satu bentuk
produk multi akad. Pada awal perjanjian akad yang digunakan kedua belah pihak
adalah akad ijarah sehingga terjadi pemindahan hak guna manfaat dari pihak
pemberi sewa (mu’jir/muajir) kepada pihak penyewa (Musta’jir) dengan disertai
peindahan hak milik dari mu’jir kepada muajir dengan landasan janji9.

9
Nilatus Salamah and Miftahur rahman, ‘Analisis Akad Ijarah Muntahiah Bi At Tamlik Dalam Praktik Perbankan
Syariah’, An-Nawa : Jurnal Studi Islam, 4.1 (2022), 1–10 <https://doi.org/10.37758/annawa.v4i1.367>.
8
Pengertian akad pembiayaan Ijarah Muntahiya Bitamlik menurut undang-
undang. Berdasarkan penjelasan pasal 19 ayat (1) UU perbankan syariah yang
dimaksud dengan akad Ijarah Muntahiya Bittmlik adalah akad penyediaan dana
dalam rangka memindahkan hak atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Pembiyaan Ijarah Muntahia Bi at tamlik merupakan salah satu bentuk kegiatan
usaha bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip syari’ah.
Berdasarkan lampiran surat edaran Bank Indonesia No. 5/26/BPS/2003
tentang pedoman akuntansi perbankan syariah Indonesia tentang ijarah muntahiya
bittamlik adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang antara pemberi sewa
dengan penyewa yang diakhiri dengan perpindahan hak milik objek siswa
(Indonesia, 2006).
b Aplikasinya di Bank Syariah
Rekonstruksi akad syariah kesepakatan sangat diperlukan, mengingat
kemurnian perbankan syariah telah dirusak oleh hal-hal tertentu tidak lagi sejalan
dengan Al-Qur'an dan alHadits serta ijtihad para ahli hukum Islam di Selain itu,
akad syariah harus memiliki semangat memelihara agama, jiwa, akal dan harta
benda, dan keturunan, karena hal-hal tersebut adalah bagian dharuri dari Islam,
oleh karena itu akad harus berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah prinsip keadilan
kontraktual, keadilan sosial dan kebolehan harus terkandung di dalamnya kontrak,
tidak hanya dibungkus dengan bundel syariah bila isinya bertentangan dengan
syariat ajaran syariah. Aqad harus dibuat dalam bentuk suatu akta notaris menjadi
lebih kuat dan sah kepastian.10
Dalam perbankan syariah aplikasi produk ijarah dan IMBT pihak
bankberfungsi sebagai investor/penyedia dana dan pemberi janji. Bank Syariah
dalam mengaplikasikan IMBT sebagai produk mereka dalam pembiayaan jangka
menengah dan jangka panjang diperuntukan untuk; a) Pembiayaan Investasi
bahwa bank menyalurkan pembiayaan untuk pengadaan barang- barang modal

10
Bustamar, Zainuddin and Aidil Alfin, “Sharia Banking Law Reconstruction in Indonesia” Bustamar, .,
Zainuddin, . and Alfin, A. Sharia Banking Law Reconstruction in Indonesia. DOI: 10.5220/0009924211621168
In Proceedings of the 1st International Conference on Recent Innovations (ICRI 2018), pages 1162-1168 ISBN:
978-989-758-458-9 Copyright c 2020 by SCITEPRESS – Science and Technology Publications, Lda. All rights
reserved
9
produktif seperti mesin, b) Pembiayaan Konsumer seperti pembelian rumah,
mobil dll.
Contoh Praktik Al-Ijarah Al Muntahiyah Bi At-tamlik diPerbankan
Syari’ah
IMBT dengan janji untuk menjual seperti jika Bapak Hasan hendakmenyewa
sebuah ruko selama 1 tahun mulai dari tanggal 1 Agustus 2004, sampai 31 Juli
2005 dan bermaksud membelinya mengindi akhir masa sewa. Pemilik ruko
menginginkan pembayaran sewa secara tunai di muka sebesar Rp. 2 Milyar di
akhir masa sewa (31 Juli 2005) untuk membeli ruko tersebut. Apabila ruko
tersebut dibeli langsung pada tanggl 1 Agstus 2004, pemilik ruko bersedia
menjualna dengan harga Rp. 3,5 Milyar. Dengn pola pembayaran seperti diatas,
kemampuan keuangan Bapak Hasan tidak memungkinkan. Bapak Hasan hanya
dapat membayar sewa secara ciciln sebesr Rp. 300.000.00 perbulan dan membeli
ruko di akhir masa sewa. Oleh karena itu Bapak Hasan meminta pembiayaan dari
bank syari’ah sebesar Rp. 2 Milyar di awal masa sewa dan 2 milyar di akhir masa
sewa. Bank syari’ah menginginkan prosentase keuntungan sebesar 20% dan
pembiayaan yang diberikan.
Analisa bank;
Harga barang :
Harga beli tunai : Rp. 3.500.000.000,00
Keuntungan bank ketika menyewakan (2,857% x Rp. 3,5 miliar) : Rp.
100.000.000,00
Harga barang :
Keuntungan bank ketika menyewakan (2,857% x Rp. 3,5 miliar) : Rp.
100.000.000,00
Keuntungan bank ketika menjual (17,143% x Rp 3,5 miliar) : Rp.
600.000,00 Total harga barang : Rp. 4.200.000.000,00
Kemampuan membayar Nasabah:
Pembayaran sewa cicilan Rp. 300.000.000/bulan :Rp. 3.600.000.000
Pembelian ruko di akhir masa sewa : Rp. 600.000.000
Total kemampuan membayar : Rp. 4. 200.000.000

10
Dalam proses IMBT tersebut terjadi dua tahap akad; 1) Akad Ba’i.
Pelakudalam tahapan ini adalah bank sebagai pembeli dan pemilik barang sebagai
penjual. Ketentuannya: Bank membeli barang dari pemilik barang dengan
pembayaran tunai. Dengan kondisi ini bank mengeluarkan uang sebesar Rp. 3,5
miliyar sebagai pembayaran tunai atas ruko. Kemudian bank dapat menyewakan
ruko tersebut selama 12 bulan, 2) Akad IMBT, dalam akad ini terdapat dua pelaku
yaitu bank sebagai pemberi sewa dan nasabah sebagai penerima sewa. Setelah
bank menyewakan barang kepada nasabah maka bank akan menerima cash inRp.
300 juta setiap bulannya selama 12 bulan dari nasabah. Kemudian di akhir masa
sewa, bank menerima uang pembelian barang dari nasabah Rp. 0,6 miliar ,
sehingga terjadi perpindahan kepemilikan barang dan sejak itu nasabah seagai
pemilik barang.

2.1.5 Fatwa MUI-DSN tentang IMBT dan Obligasi Ijarah


Fatwa DSN 27/DSN-MUI/III/2002: al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik11
Pertama: Ketentuan Umum:
Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN 09/DSN-
MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
2. Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus
disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Kedua: Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik
1. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan
akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli
atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd
(‫)الوعد‬, yang hukumnya tidak mengikat. Jika janji itu ingin dilaksanakan, maka
harus ada akad transfer kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
11
wikidot, ‘Fatwa DSN 27/DSN-MUI/III/2002: Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik’, Sharialearn, 2019. Diakses
pada 24 Mei 2023
11
Ketiga:
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal yang ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan ditetapkan sebagaimana
mestinya.
Fatwa MUI-DSN Obligasi Ijarah
Pertama: Ketentuan Umum
1. Obligasi Syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang
mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi
syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada
saat jatuh tempo.
2. Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan
memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
3. Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta'jir
(penyewa) dan juga dapat bertindak sebagai Mu'jir (pemberi sewa).
4. Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa
ataupun menyewakan kepada pihak lain dan juga dapat bertindak sebagai
penyewa.
Kedua: Ketentuan Khusus
1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan
memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.
2. Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang diperbolehkan.
3. Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah
dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000
tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor
40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan
Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.

12
4. Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI
baik untuk aset yang telah ada maupun aset yang akan diadakan untuk disewakan.
5. Memiliki OSI sebagai pemilik aset (a'yan) atau manfaat (manafi') dalam
menyewakan (ijarah) aset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain
dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.
6. Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Tiang OSI dapat menyewa untuk
dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
7. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten
wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai
ketidakseimbangan ('iwadh ma'lum) sebagaimana jika persewaan dilakukan
kepada pihak lain.
8. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim
Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi
Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
9. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama
disepakati dalam akad.
Ketiga: Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syariah setelah tidak mencapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat: Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal yang ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan ditetapkan sebagaimana mestinya12.
2.1.6 Beda Ijarah dan Leasing
Ijarah diartikan sebagai akad sewa menyewa yang terjadi diantara mu’jir
(lessor), dan musta’jir (lessee) diatas sebuah objek sewa dan mendapatkan imbalan
upah sewa atas barang yang disewakan. Ijarah juga berarti memindahkan dari manfaat
suatu barang. Jika sudah memasuki masa akhir sewa, penyewa dapat memilih opsi
untuk membeli barang yang disewa, dan akad ini akan menjadi akad Ijarah
Muntahiyah Bittamlik, yaitu terjadinya pemindahan kepemilikan.

12
wikidot.
13
Pada sistem konvensional, ijarah adalah bentuk pembiayaan tanpa adanya hak
opsi sama dengan jenis sewa operating lease. Dan ijarah muntahiyah bittamlik dapat
diartikan sama dengan financial lease karena adanya hak opsi untuk lessee atau
musta’jir yang dapat memindahkan kepemilikannya pada akhir masa sewa. Pada
penerapan akad sewa syariah, terdapat beberapa cara untuk pemindahan kepemilikan
aset yang terjadi pada ijarah muntahiyah bittamlik bisa dilakukan dengan hibah, jual
beli dan hadiah.
Ijarah dalam islam dan leasing mempunyai persamaan. Leasing dan sewa
menyewa adalah sebuah perjanjian yang terjadi diantara dua belah pihak, yang mana
salah satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk menggunakan sebuah
barang sewaan yang terikat pada jangka waktu tertentu. Tentunya diantara perjanjian
ini diperlukan kesepakan bersama. Selain dari pada itu, transaksi leasing dan sewa
menyewa dalam penerapannya sama-sama mengambil manfaat dari suatu barang tanpa
harus memilikinya, namun dengan cara membayarkan upah sewa secara berkala.
Uang sewa yang dibayarkan tersebut adalah bentuk bayaran atau imbalan jasa
atas penyewaan barang yang diberikan oleh lessee (penyewa) kepada lessor (pemilik
barang). Kedua pihak saling terikat pada kontrak perjanjian yang sudah disepakati
bersama pada awal masa pengajuan permintaan. Disamping dari beberapa kesamaan
antara kedua transaksi, terdapat juga sebuah perbedaan antara sistem leasing
konvensional dan syariah.
Pada akad sewa menyewa ijarah, tidak diperbolehkan terjadinya dua transaksi
dalam satu akad. Hal ini melarang kententuan syariah pada HR. Ahmad al-Bazar dan
ath-Thabrani, Rasulullah SAW melarang terjadinya dua transaksi didalam satu akad.
Pada akad ijarah, adanya kesepakan untuk pemindahan kepemilikan dilakukan
langsung pada saat jangka waktu leasing atau pembayaran sewa sudah lunas. Hal ini
sangat jelas berbeda dengan leasing dalam sistem konvensional.
Selanjutnya, pada akad ijarah muntahiyah bittamlik baik hadiah, hibah, atau jual
beli dilarang berupa al-‘aqd al-mu’allaq (akad yang berkaitan dengan syarat) maupun
al-‘aqd al mudhaf (akad yang berkaitan dengan waktu mendatang). Namun praktiknya
pada transaksi leasing, akad ini dikaitkan dengan adanya syarat dan juga waktu yang
mendatang. Selain itu terdapat juga kemungkinan di dalam leasing, kemungkinan
terjadi dan kemungkinan tidak terjadi. Akad itu dapat terjadi jika lessee telah melunasi

14
segala pembayaran sewa dan tidak akan terjadi jika lessee tidak bisa melunasi
pembayaran sewa tersebut sesuai ketentuan.
Perbedaan pada keduanya juga terdapat pada perbedaan jangka waktu
perjanjian, dalam leasing terdapat batasan pada jangka waktu tertentu, tetapi pada akad
sewa menyewa ijarah jangka waktunya bisa tidak menentu. Pada akad leasing, jika
adanya keterlambatan pembayaran angsuran maka lessee akan dikenakan denda.
Denda keterlambatan dari angsuran tersebut disebut dayn yaitu adanya tambahan dan
diperpanjangnya jangka pembayaran. Dalam islam, ini disebut riba nasiah karena
adanya tambahan dari pembayaran utang.
Dalam berlangsungnya kegiatan sewa menyewa ini juga terdapat adanya sisi
perbedaan. Pada leasing, seluruh resiko dari barang yang disewakan telah menjadi
tanggung jawab lessee tanpa adanya campur tangan oleh lessor. Hal ini sangat berbeda
dengan sewa menyewa ijarah. Yang diterapkan pada akad ijarah adalah barang yang
disewakan tersebut adalah milik lessor, dan berada dibawah tanggungannya atas
semua yang diluar biaya operasional. Pada leasing, lessor hanya menjadi penyedia
dana dan bukan pemilik dari barang sewaan tersebut pada masa perjanjian. Sedangkan
pada akad sewa menyewa ijarah, barang yang telahdimiliki oleh pihak yang
menyewakan akan disewakan kembali oleh pihak penyewa dengan adanya
pembayaran upah sewa.13
Ijarah dan Leasing dari segi maknanya memiliki pengertain yang sama yaitu
sewa menyewa. Tetapi Ijarah dan Leasing juga memiliki perbedaan antara lain sebagai
berikut:
1 Objek yang Disewa
Objek yang disewakan dalam leasing hanya menyewakan barang saja.
Namun, jasa tidak menjadi objek yang disewakan. Sedangkan dalam objek ijarah
lebih luas, yaitu barang dan jasa. Seperti tenaga kerja, upah-mengupah, maupun
sewa-menyewa barang.
2 Metode Pembayarannya

13
Kurnia Utami Pasi, Teguh Haikal Fitra, and Maryam Batubara, ‘Analisis Perbedaan Antara Pembiayaan
Leasing Konvensional Dan Syariah (Ijarah)’, As-Syirkah: Islamic Economic & Financial Journal, 2.1 (2022), 1–12
<https://doi.org/10.56672/syirkah.v2i1.28>.
15
Leasing memiliki metode pembayaran yang digunakan tidak tergantung
pada kinerja objek yang disewa. Jadi penting atau tidak, bermanfaat atau tidak,
nilai sewanya tidak berpengaruh pada seberguna apa barang yang disewakan.
Sedangkan untuk ijarah terbagi menjadi dua yaitu pertama, tergantung pada
kinerja objek sewa. Semakin tinggi nilai guna pada objek yang disewakan, maka
semakin tinggi pula nilai sewa yang didapat. Sedangkan yang kedua, pembayaran
tidak tergantung pada kinerja objek sewa, seperti contoh pada sewa menyewa ruko
untuk berdagang. Biaya sewa tidak bergantung pada hasil penjualan, tetapi
berdasarkan jangka waktu penyewaan.
3 Perpindahan Kepemilikan
Pada leasing memiliki dua istilah. Pertama yaitu operating lease yang
artinya tidak ada perpindahan kepemilikan atas objek sewa. Sedang istilah yang
lainnya yaitu financial lease yang berarti ada opsi atau pilihan kepemilikan objek
sewa di akhir. Dimana prakteknya sudah disepakati di awal.
Ijarah sama dengan operating lease yang tidak ada perpindahan
kepemilikan. Tetapi, berbeda lagi jika penyewa berkeinginan memiliki objek
sewa. Maka dari awal akad pemberi sewa dapat menjanjikan perpindahan
kepemilikan objek sewa
4 Sewa-Beli
Terdapat varian baru dari leasing yaitu Sewa-beli, dimana terdapat dua
kontrak yang berjalan bersamaan yakni kontrak sewa sekaligus beli. Sedangkan di
dalam akad ijarah tidak dikenal skema ini, karena itu tidak sesuai dengan prinsip
syariah dan menimbulkan Gharar. Haram hukumnya apabila terdapat dua kontrak
dalam satu akad.
5 Beli dan Sewa Kembali
Skema yang diperbolehkan dalam akad syariah yaitu Jika : A menjual
barang X ke B, tetapi karena A masih ingin memiliki barang X, maka B
menyewakannya kembali ke A dengan kontrak financial lease atau IMBT. Skema
yang dilarang dalam akad syariah yaitu skema bai' Inah dimana, jika untuk
memiliki barang X, B menjual ke A.
2.1.7 Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

16
Adapun hal-hal yang yang bisa menyebabkan batal atau berakhirnya akad Ijarah,
yaitu14:
a Salah satu pihak meninggal dunia Ini merupakan pendapat ulama mazhab Hanafi.
Bagi mazhab ini manfaat yang diperoleh dari ijarah adalah sesuatu yang terjadi
secara bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak
ada dan tidak sedang dimilikinya. Maka mustahil untuk bisa diwariskan. Sedangkan
menurut Jumhur Ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang
yang berakad, karena menurut Jumhur Ulama manfaat itu boleh diwariskan dan
Ijarah sifatnya mengikat kedua belah pihak.
b Terjadinya kerusakan pada barang sewaan, seperti: Rumah terbakar atau mobil
hilang.
c Tenggang waktu yang disepakati dalam akad Ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya dan apabila
yang disewa itu jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya.
d Menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad Ijarah itu hanyalah
apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju dalam akad itu
hilang, seperti kebakaran atau dilanda banjir.
e Berakhir dengan Iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara kedua
belah pihak.
Wadiah
A. Pengertian, Dasar Hukum dan pembagian Wadiah
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip
al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki.1
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip
al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki.2DalambahasaIndonesiawadi’ahberarti“titipan”.Akad
wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesame manusia.
Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan,

Saprida Saprida, Zuul Fitriani Umari, and Zuul Fitriana Umari, ‘Sosialisasi Ijarah Dalam Hukum Islam’,
14

AKM: Aksi Kepada Masyarakat, 3.2 (2023), 283–90 <https://doi.org/10.36908/akm.v3i2.647>.


17
“Mengikutsertakanoranglaindalammemeliharaharta,baikdenganungkapanyangjelas,mel
aluitindakan,maupunmelaluiisyarat”.15
Dasar Hukum
AL Qur’an
QSAnNissa’:58
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.”
Hadist
Dalam hadist Rasulallah SAW. disebutkan , “Serahkanlah amanat kepada
orang yang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati anda.” (H.R.
Abu Dawud,Tirmidzi, Dan Hakim).
Sabda Nabi Saw : ”Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai anda dan
janganlah anda mengkhianati orang yang mengkhianati anda”
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “
Tunaikanlah amanat ( titipan ) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah
membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”(H.R. ABU DAUD dan
TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
“Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi
yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI).
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung
jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada
Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk
menyerahkannya kepada yang berhak.”
Ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah Sunah. Dalam
kitab Mubdi disebutkan: “ijma’dalam setiap masa memperbolehkanWadi’ah. Dalam

15
Dr.MuhammadSyafi’IAntonio,M.Ec.BankSyariah:DariTeorikePraktik,Jakarta:GemaInsani,h.85,2001
15
Prof.Dr.SutanRemySjahdeini,S.H.,PerbankanIslam:DanKedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007

18
kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwawadi’ah termasuk ibadah Sunah dan
menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.
Macam-macamWadiah
Macam-macamwadi’ahdibedakanmenjadi2yaitu:
1. Wadi’ah Yad amanah merupakan titipan murni, yakni pihak yang dititipi tidak
boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipi tidak
bolehmemanfaatkandanaataubarang yangdititipkanberhakmeminta biaya
penitipan. Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh, baik nilai
maupun fisik barang. Jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak
yang menerima titipan dibebani tanggungjawab.
2. Wadi’ah Yad Dhamanah titipan yang penerima titipan diperbolehkan
memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan tersebut.
Dari keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan barang titipan ini dapat
diberikan sebagian kepada pihak yang menitipkan dengan syarat tidak
diperjanjikan sebelumnya.
B. Rukun Akad Wadi’ah dan Syarat-Syaratnya
a. Rukun Akad Wadi’ah
Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafi adalah ijab dan qabul,
yaitu penitip berkata kepada orang lain, sedangkan Menurut jumhur ulama, rukun
akad wadi’ah ada emapat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang titip
dan orang yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijabqabul).Qabul dari
orang yang dititipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya. Bisa juga suatu
tindakan yang menujukan hal itu, seprti ada orang meletakan harta di tempat orang
lain, lalu orang itu diam saja, maka diamnya orang kedua tersebut menempati
posisi qabul, sebagaimana dalam jual beli muathah.
b. Syarat-syarat Akad Wadi’ah
Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:
1) Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan qabultermasuk
rukun. Sekedar izin dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup.
Untuk itu, harus terdapat kesepakatan antara kehendaknya dan kehendak
penjaga untuk menjaga harta akad akan terjadi.

19
2) Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang
berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang balig dan berakal menerima titipan
dari anak kecil atau orang gila maka dia harus menjamin barangtersebut
meskipun bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Menurut para ulama hanafi. Dua orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan
harus berakal, sehingga tidak sah penitipan anak kecil yang tidak berakal dan orang
gila. Sebagaimana tidak sah juga menerima titipan dari orang gila dan anak kecil
yang tidak berakal. Tidak disyaratkan sifat bilang dalam hal ini, sehingga sah
penitipan dari anak kecil yang dibolehkan untuk berjualan, karena penitipan ini
termasuk yang diperlukan oleh seorang penjual. Sebagaimana sah juga penitipan
kepada anak kecil yang telah diperbolehkan melakukan jual beli, karena ia termasuk
yang biasa melakukan penjagaan.
Adapun anak kecil yang mahjur dihalangi untuk membelanjakan harta, maka tidak
sah menerima titipan darinya, karena umumnya anak kecil tersebut tidak mampu
menjaga harta. Menurut jumhur ulama, dalam akad wadi’ah disyaratkan pula hal-hal
yang disyaratkan dalam wakalah, seprti balig, berakal, dan bisa mengatur
pembelanjaan harta.
Dalam akad wadi’ah sesuatu yang dititipkan disyaratkan dapat diterima,
sehingga jika seorang menitipkan budak yang sedang melarikan diri untuk burung
yang sedang terbang di udara atau harta yang jatuh didalam laut maka orang yang
dititipi tidak wajib memberikan gnati jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan pada
titipan itu.16
FatwaMUIiniberdasarkanfatwaDSN02/DSN-MUI/IV/2000: Tabungan
Ketentuanumum tabunganberdasarkan wadi’ah:
1. Bersifatsimpanan.
2. Simpananbisadiambilkapansaja(oncall)atauberdasarkan kesepakatan.
3. Tidakadaimbalanyangdisyaratkan,kecualidalambentuk pemberian yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
C. Penerapan Wadiah dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia
Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah.
Berdasarkan sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat

16
5Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, Jakarta: Penerbit Lentera, h. 616, 2009.20
20
dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/ Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir
keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan ini
mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan,
pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa
ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan
dengan giro dan tabungan.17
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana
pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab
menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian uang tersebut bila terjadi tuntutan
dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah semua
keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank
(demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat
jaminan keamanan terhadap harta dan fasilitas-fasilitas giro lain. Berdasarkan pada
aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini teraplikasi dalam kegiatan
penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi : 1)Giro
2)Tabungan 3)Deposito 3)Dan bentuk lainnya. Adapun ketentuan umum dari prinsip
ini adalah: 1)Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau
tanggungan bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kepada pemilik dana
sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan
di muka. 2)Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat
memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card. 3)Terhadap pembukaan rekening ini
bank dapat mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar
– benar terjadi. 4)Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan
tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.18
D. Jaminan Wadiah Menurut 4 Mazhab
Jaminan Wadiah Menurut Hanabilah
1. Menitipkan pada orang lain tanpa uzur

17
http://tugasmakalahmuamalah.blogspot.co.id/2012/07/makalah-wadiah.html (Diakses pada tanggal 1 Juli
2018).
18
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2012, hal 284
21
2. Melalaikan pemeliharaan
3. Menyalahi cara pemeliharaan seperti yang telah disepakati
4. Mencampurnya dengan yang lain sehingga tidak dapat dibatalkan
5. Pemamfaatan wadiah
Jaminan Malikiyah
1. Menitipkan barang pada selain penerima titipan tanpa ada uzur sehingga ketika
minta dikembalikan wadiah sudah hilang
2. Pemindahan wadiah dari satu negara ke negara lain berbeda dengan pemindahan
dari rumah ke rumah
3. Mencampurkan wadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan
4. Pemamfaatan wadiah
5. Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang dan rusak
6. Menyalahi cara pemeliharaan
Jaminan Syafiiyah
Menurut Syafiiyah sebab-sebab adanya jaminan dalam wadiah adalah:
1. Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin
2. Meletakkan pada tempat yang tidak aman
3. Memindahkan ke tempat yang tidak aman
4. Melalaikan kewajiban menjaganya
5. Berpaling dari penjagaan yang diperintahkan sehingga barang menjadi rusak
6. Pemamfaatan wadiah
E. Beda Bonus dengan Bunga
Pandangan para Filosof Yunani tentang praktek bunga; a). Plato mengecam
sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan
perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya
untuk mengeksploitasi golongan miskin, dan b). Aristoteles menyatakan bahwa
fungsi uang adalah sebagai alat tukar, bukan sebuah alat untuk menghasilkan
tambahan melalui sistem bunga, karena keberadaannya berasal dari sesuatu yang
belum pasti dan merupakan sesuatu yang tidak adil. Pandangan para Filosof Romawi
tentang praktek bunga; a). Cicero memberikan nasihat kepada putranya agar
menjauhi dua perkara, yakni memungut bea cukai dan memberi pinjaman dengan
tambahan bunga. dan b). Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan

22
antara perniagaan dan memberi pinjaman, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang
mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang
tidak pantas
Sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank syari‟ah kepada nasabah
pemegang rekening tabungan wadi’ah, bank syariah memberikan jasa berupa bonus.
Penentuan besarnya bonus tabungan wadi’ah dan cara perhitungannya tergantung
masingmasing bank syari‟ah. Namun pada umumnya bank 37 syari‟ah memberikan
bonus tabungan wadi’ah lebih tinggi dibandingkan dengan bonus untuk giro wadi’ah.
Hal ini disebabkan karena stabilitas dana giro lebih labil dibanding dengan tabungan
wadi’ah, sehingga bonusnya lebih kecil. Tabungan wadi’ah walaupun dapat ditarik di
mesin ATM bank lain, namun jumlah penarikannya dibatasi. Bonus tabungan
wadi’ah tidak diperjanjikan sebelumnya, akan tetapi tergantung pada kinerja bank
syari‟ah.

F. Pergeseran dari SWBI ke SBIS


Pengertian SBIS. Menurut Arifin (2009:198) Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti
penitipan dana jangka pendek. Sertifikat Bank Indonesia Syariah merupakan piranti
moneter yang sesuai dengan prinsip pada bank syariah yang diciptakan dalam rangka
pelaksanaan pengendalian moneter. Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter
berdasarkan prinsip syariah dan dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk
mengatasi bila terjadi kesalahan pada tingkat likuiditas. Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI tentang
SBIS berlaku per 31 Maret 2008 sebagai pengganti SWBI. SBIS adalah surat
berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan oleh BI. Ketentuan tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah
ini diterbitkan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian
moneter berdasarkan prinsip Syariah melalui operasi pasar terbuka Syariah dalam
upaya mendukung tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter yang bermuara pada terpenuhinya tujuan Bank Indonesia dalam
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Frequently Asked Question
(FAQS)) atas Peraturan Bank Indoneisa Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat

23
Bank Indonesia Syariah dan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/36/PBI/2008 Operasi Moneter Syariah). 46 Penerbitan Peraturan Bank
Indonesia ini mempunyai dasar pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia Nomor 63/DSN- MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonsia Syariah
(SBIS) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
64/DSN- MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah untuk
menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) berdasarkan akad Ju’alah. Hal
ini ditegaskan kembali pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/36/PBI/2008
tentang Operasi Moneter Syariah pada Pasal 4 ayat (2) yang menerangkan bahwa
“Pemenuhan prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam
bentuk pemberian fatwa dan atau opini Syariah oleh otoritas fatwa yang berwenang”.
Dengan akad tersebut, maka bank syariah yang menempatkan dana pada SBIS
berhak mendapatkan upah (u’jrah) atas jasa membantu pemeliharaan keseimbangan
moneter Indonesia. Tujuan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah ini ditujukan sebagai salah satu instrumen operasi
pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan
prinsip Syariah (Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peserta SBIS wajib memiliki financing to deposit
ratio (FDR) minimal 80% peserta yang dibolehkan ikut hanya Bank Umum Syariah
(BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang memiliki FDR sesuai dengan yang
ditetapkan. Mekanisme penerbitan SBIS menggunakan sistem lelang.
Karakteristik SBIS
Dalam kegiatannya Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), memiliki karakteristik
sebagai berikut
a) Menggunakan akad ju'alah (Berdasarkan fatwa DSN-MUI, SBIS juga dapat
diterbitkan dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, wadiah,
qardh, dan wakalah).
b) Satuan unit sebesar Rp1 juta.
c) Berjangka waktu paling kurang satu bulan dan paling lama 12 bulan.
d) Diterbitkan tanpa warkat (scripless).
e) Dapat diagunkan kepada Bank Indonesia.
f) Tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.

24
Tapi sepatutnya Sertifikat Bank Indonesia Syariah hanya sebagai instrumen
alternatif sementara ketika bank mengalami over likuiditas
G. KonsepJualah dalam Fiqh dan SBI Syariah
Kata ju,alah secara bahasa artinya mengupah, secara syar‟i sebagaimana
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq: Artinya: “sebuah akad untuk mendapatkan materi
(upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”. Istilah ju‟alah dalam kehidupan sehari-
hari diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat
menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang yang sakit, atau seseorang
yang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ju‟alah bukanlah hanya terbatas pada
barang yang hilang namun setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian ijarah secara terminologi dikemukakan oleh ulama fiqh, yang pertama
adalah ulama Hanafiyah yang mendifinisikan ijarah dengan transaksi atau akad
terhadap suatu manfaat dengan disertai ganti/imbalan. Menurut ulama Syafi’iyah
ijarah adalah akad/transaksi atas suatu manfaat yang diinginkan, bersifat mubah dan
boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sedangkan ulama Malikiyah dan
Hanabilah memberi pengertian ijarah sebagai pemilikan manfaat sesuatu yang
diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan.
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip
al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun semoga dapat bermamfaat bagi kita
semua. Adapun saran yang penulis sampaikan dalam makalah ini yaitu, dalam

25
pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Dan sebab itu penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.

26
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syaichoni, ‘Ijarah Maushufah Fi Al-Dzimmah Dalam Kajian Muamalah
Kontemporer’, Jurnal Syntax Transformation, 1.10 (2020), 668–75
<https://doi.org/10.46799/jst.v1i10.173>
1
Bustamar, Zainuddin and Aidil Alfin, “Sharia Banking Law Reconstruction in
Indonesia” Bustamar, ., Zainuddin, . and Alfin, A. Sharia Banking Law Reconstruction in
Indonesia. DOI: 10.5220/0009924211621168 In Proceedings of the 1st International
Conference on Recent Innovations (ICRI 2018), pages 1162-1168 ISBN: 978-989-758-458-
9 Copyright c 2020 by SCITEPRESS – Science and Technology Publications, Lda. All
rights reserved

Devianita, Devianita, ‘Penerapan Akad Ijarah Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah’,
MUTAWAZIN (Jurnal Ekonomi Syariah), 2.1 (2021), 43–55
<https://doi.org/10.54045/mutawazin.v2i1.236>
Al Fasiri, Mawar Jannati, ‘Penerapan Al Ijarah Dalam Bermuamalah’, Ecopreneur : Jurnal
Program Studi Ekonomi Syariah, 2.2 (2021), 236
<https://doi.org/10.47453/ecopreneur.v2i2.446>
Fitriani, Dara, ‘Ijarah Dalam Sistem Perbankan Syariah’, Al-Hiwalah: (Sharia Economic
Law), Volume 1.1 (2022), 37–52 <https://doi.org/10.47766/alhiwalah.v1i1.895>
Juriyanto, Moh, ‘Hukum Menyewakan Barang Dalam Islam’, Bincang Syariah, 2019
Kareem, Ibraheem Alani Abdul, Mohd. Sadad Bin Mahmud, and Abdul Fattah Abdul
Ganiyy, ‘Thematic Review of Sukuk Ijarah Issued in Nigeria: An Opportunity for
Economic Development’, Jurnal Iqtisaduna, 1.1 (2020), 61
<https://doi.org/10.24252/iqtisaduna.v1i1.15851>
Pasi, Kurnia Utami, Teguh Haikal Fitra, and Maryam Batubara, ‘Analisis Perbedaan Antara
Pembiayaan Leasing Konvensional Dan Syariah (Ijarah)’, As-Syirkah: Islamic
Economic & Financial Journal, 2.1 (2022), 1–12
<https://doi.org/10.56672/syirkah.v2i1.28>
Sakti, Lanang, and Nadhira Wahyu Adityarani, ‘Tinjauan Hukum Penerapan Akad Ijarah
Dan Inovasi Dari Akad Ijarah Dalam Perkembangan Ekonomi Syariah Di Indonesia’,
Jurnal Fundamental Justice, 1.2 (2020), 39–50
<https://doi.org/10.30812/fundamental.v1i2.900>
Salamah, Nilatus, and Miftahur rahman, ‘Analisis Akad Ijarah Muntahiah Bi At Tamlik
Dalam Praktik Perbankan Syariah’, An-Nawa : Jurnal Studi Islam, 4.1 (2022), 1–10

27
<https://doi.org/10.37758/annawa.v4i1.367>
Saprida, Saprida, Zuul Fitriani Umari, and Zuul Fitriana Umari, ‘Sosialisasi Ijarah Dalam
Hukum Islam’, AKM: Aksi Kepada Masyarakat, 3.2 (2023), 283–90
<https://doi.org/10.36908/akm.v3i2.647>
wikidot, ‘Fatwa DSN 27/DSN-MUI/III/2002: Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik’,
Sharialearn, 2019

28
29

Anda mungkin juga menyukai