Anda di halaman 1dari 21

AL – WADI’AH DAN AL – JU’ALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu : Dr. H. Solikhul Hadi, M.Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 12

1. Fika Wahyuningsih (2250510048)


2. Tiyas Ayu Pratiwi (2250510064)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah
melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Fiqih
Muamalah dengan judul “Al – Wadi’ah Dan Al – Ju’alah” dengan tepat waktu. Makalah ini
`disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Fiqih Muamalah.

Kami berterima kasih kepada Bapak Dr. H. Solikul Hadi, M.Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah Fiqih Muamalah yang telah membimbing dalam penyusunan tugas ini.
Tidak lupa, kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tugas ini, terutama kepada Orang Tua yang senantiasa mendo’akan kami.

Apabila ada kesalahan dalam penulisan tugas ini, baik dari segi penulisan maupun
dari isi kami meminta maaf sebesar-besarnya. Kami juga berharap pembaca mampu
memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat
untuk menambah wawasan pemahaman ilmu pengetahuan dan menjadi acuan untuk
penulisan tugas atau makalah selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kudus, 30 Mei 2023

Hormat kami,

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1 Pengertian Al – Wadi’ah.............................................................................................3
2.2 Jenis – Jenis Wadi’ah.......................................................................................................3
1. Wadiah Yad Al-Amanah.............................................................................................3
2. Wadiah Yad Adh-Dhamanah..........................................................................................4
2.3 Dasar Hukum Al – Wadi’ah........................................................................................4
2.4 Rukun Wadi’ah............................................................................................................5
2.5 Syarat Wadi’ah............................................................................................................5
2.6 Aplikasi AL – Wadi’ah...............................................................................................6
2.7 Pengertian Ju’alah.......................................................................................................8
2.8 Dasar Hukum Al - Ju’alah..........................................................................................9
2.9 Rukun Ju’alah............................................................................................................10
2.10 Syarat Ju’alah............................................................................................................11
2.11 Aplikasi Ju’alah.........................................................................................................12
BAB III PENUTUP................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah- kaedah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu'amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti membutuhkan berinterakasi dengan lainnya
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.

Wadi'ah merupakan simpnan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang
bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi'ah adalah akad penitipan dari pihak yang
mempunyai uang atau barang kepada pihak yang menerima titipan, dengan catatan kapan pun
titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali titipan tersebut dan yang
dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.

Sifat ju'alah jika dilihat secara eksplisit merupakan janji (al-wa'd) untuk memberikan
awards, hal itu berarti bahwa ju'alah bukan akad atau perjanjian. Akan tetapi, jika dilihat dari
segi substansinya, ju'alah termasuk perjanjian (akad atau perikatan) karena melahirkan hak
dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Oleh karena itu, dalam fatwa DSN-MUI Nomor 62
Tahun 2007 tentang Akad Ju'alah dijelaskan bahwa ju'alah adalah janji atau komitmen
(iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil yang ditentukan dari suatu
pekerjaan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju'alah adalah perjanjian
imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu pekerjaan
yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang menjadi
bahan kajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengertian, Jenis-jenis, Dasar hukum, Rukun-syarat, serta Aplikasi


Wadi’ah dalam Perbankan Syariah.
2. Bagaimana Pengertian, Dasar hukum, Rukun-Syarat, serta Aplikasi Ju’alah dalam
Perbankan Syariah.

1
1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari perumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:

1. Untuk menggambarkan Pengertian, Landasan Hukum, Jenis-jenis, Rukun-syarat,


serta Aplikasi Wadi’ah dalam Perbankan Syariah.
2. Untuk menggambarkan Pengertian, Dasar Hukum, Jenis-jenis, Rukun-Syarat, serta
Aplikasi Ju’alah dalam Perbankan Syariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al – Wadi’ah

Kata dari Wadi’ah adalah wada’a asy-sya’a yang artinya meninggalkan sesuatu yang
dititipkan oleh seseorang kepada orang lain agar dijaga. Dinamakan Wadi’ah karena dia
meninggalkannya pada orang yang menerima titipan tersebut.

Secara teknis maka akad Wadi’ah diartikan akad titipan baik barang maupun uang
anatara pihak penitip yang memiliki titipan tersebut dengan pihak yang dipercaya menerima
titipan yang harus dijaga dan dikembalikan kapanpun pihak penitip memintanya kembali.

Wadi’ah dalam Islam merujuk pada konsep menyimpan dan menabung untuk jangka
waktu tertentu. Istilah Wadia’ah berasal dari kata kerja Wada’a, yang berarti
meninggalkan,mengajukan atau menyimpan.

Secara Etimologi Wadi’ah berarti titipan murni (amanah). Wadiah dikatakan


bermakna amanah karena Allah menyebut Wadi’ah dengan kata amanah dibeberapa ayat
Al-Qur’an, sedangkan secara terminologi ada beberapa pendapat dari para ulama,
diantaranya :

a. Hanafiah: Wadi’ah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk dipeliharakan


kepada orang lain.
b. Malikiah: Wadi’ah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang lain untuk
dipeliharakan.
c. Syafi’iah: Wadi’ah adalah sesuatu harta benda yang disimpan ditempat orang lain
untuk dipeliharakan.
d. Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk memeliharanya
tanpa adanya ganti rugi.

3
2.2 Jenis – Jenis Wadi’ah

1. Wadiah Yad Al-Amanah


Wadi’ah yad al-amanah (tangan amanah) adalah akad penitipan dengan pihak yang
menerima titipan adalah penerima kepercayaan yang tidak diharuskan untuk menanggung
resiko, baik kerusakan atau kehilangan titipan tersebut dengan menggantinya jikahalnya
terjadi kecuali memang kerusakan atau kehilangan titipan tersebut terjadi dikarenakan
atau kecerobohan si penerima titipan. Pihak menerima titipan tidak diperkenankan untuk
mempergunakan titipan tersebut, melainkan hanya menjaganya sesuai kelaziman. Dalam
praktiknya di Bank Syariah, bank diperbolehkan membebankan biaya sebagai biaya
penitipan kepada penitip.

Wadi’ah yad al-amanah merupakan titipan murni dari pihak yang menitipkan
barangnya kepada pihak penerima titipan. Pihak penerima titipan harus menjaga dan
memelihara barang titipan dan tidak diperkenankan untuk memanfaatkannya. Penerima
titipan akan mengembalikan barang titipan dengan utuh kepada pihak yang menitipkan
setiap barang itu dibutuhkan. Dalam aplikasi perbankan syariah, produk yang dapat
ditawarkan dengan menggunakan akad al-wadiah yad al-amanah adalah save deposit box.

Dalam produk save deposit box, bank menerima titipan barang dari nasabah untuk
ditempatkan di kotak tertentu yang disediakan oleh bank syariah. Bank syariah wajib
menjaga dan memelihara kontak itu. Bank syariah perlu tempat dan petugas untuk menjaga
dan memelihara titipan nasabah, sehingga bank syariah akan membebani biaya administrasi
yang besarnya sesuai dengan ukuran kotak itu . Pendapatan atas jasa save deposit box
termasuk dalam fee based income

a. Save Deposit Box

Save deposit box merupakan jasa yang diberikan oleh bank dalam
penyewaan Box atau kotak pengaman yang dapat digunakan untuk menyimpan
barang atau surat-surat berharga milik nasabah. Nasabah memanfaatkan jasa
tersebut untuk menyimpan surat berharga maupun perhiasan untuk keamanan,
karena bank wajib menyimpan save deposit box di dalam ruang dan dalam lemari
besi yang tahan api. Atas pelayanan jasa save deposit box, bank akan mendapat
fee/upah. Besar kecilnya fee tergantung pada besar kecilnya ukuran box dan pada
umumnya fee atas sewa box ini diberikan setiap tahun.

4
Dokumen yang dapat disimpan dalam save deposit box yaitu :

a. Sertifikat Tanah.
b. Sertifikat deposito, bilyet deposito, surat berharga.
c. Saham, obligasi.
d. Ijazah, paspor, surat nikah, dan surat-surat lainnya.
e. BPKB.
f. Perhiasan, emas, berlian, permata, dan perhiasan lainnya.
g. Uang rupiah maupun mata uang asing.

Keuntungan bagi bank syariah :


a. Fee/Upah atas penyimpanan
b. Dapat menarik dana nasabah dengan memberikan pelayanan yang
memuaskan

Keuntungan bagi nasabah :


a. Jaminan atas kerahasiaan baarang yang disimpan, karena bank tidak
dapat mengetahui isi Save deposit box.
b. Jaminan keamanan barang yang disimpan.
c. Biayanya relatif murah.

b. Karakteristik Wadiah Yad Al-Amanah


a. Barang yang dititpkan oleh nasabah tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak
penerima titipan. Penerima titipan dilarang untuk memanfaatkan barang titipan.
b. Penerima titipan berfungsi sebagai penerima amanah yang harus menjaga dan
memelihara barang titipan.
c. Penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya atas barang yang
dititipkan. Hal ini karena penerima titipan perlu menyediakan tempat untuk
menyimpan dan membayar biaya gaji pegawai untuk menjaga barang titipan,
sehingga boleh meminta imbalan jasa.
2. Wadiah Yad Adh-Dhamanah
Wadi’ah pada dasarnya bersifat amanah, kemudian dalam perkembangannya pada
perkembangannya pada perekonomian modern, untuk menghindari tindakan
menganggurkan harta tanpa dimobilisasi untuk sesuatu yang bermanfaat, muncullah
istilah Wadi’ah yad dhamanah. Wadi’ah yad dhamanah (tangan penanggung) adalah

5
akad penitipan dengan pihak yang menerima titipan diperbolehkan memanfaatkan titipan
tersebit dengan konsekuensi menerima dan menanggung segala resiko yang mungkin
terjadi, baik itu kerusakan atau kehilangan dan wajib menggantinya jika halnya resiko itu
benar-benar terjadi. Disyaratkan pula sewaktu-waktu penitip perlu dan meminta titi[annya
dikembalikan maka harus dikembalikan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh
dari penggunaan titipan tersebut menjadi hak penerima titipan

Wadiah yad dhamanah adalah akad antara dua pihak, satu pihak sebagai pihak yang
menitipkan (nasabah) dan pihak lain sebagai pihak yang menerima titipan. Pihak penerima
titipan dapat memanfaatkan barang yang dititipkan. Penerima titipan wajib mengembalikan
barang yang dititipkan dalam keadaan utuh. Penerima titipan diperbolehkan memberikan
imbalan dalam bentuk bonus yang tidak diperjanjikan sebelumnya.
Dalam aplikasi perbankan, akad wadi’ah yad dhamanah dapat diterapkan dalam produk
penghimpunan dana pihak ketiga antara lain giro dan tabungan. Bank syariah akan
memberikan bonus kepada nasabah atas dana yang dititipkan di bank syariah. Besarnya
bonus tidak boleh diperjanjikan sebelumnya, akan tetapi tergantung pada kebijakan bank
syariah. Bila bank syariah memperoleh keuntungan, maka bank akan memberikan bonus
kepada pihak nasabah

Giro dan simpanan tabungan disusun berdasarkan konsep Wadi’ah, dimana bank akan
menjamin kembalinya barang/uang kepada nasabah ketika diminta. Dan bank bisa
memberikan hadiah kepada para nasabah secara berkala sebagai bentuk apresiasi

Menurut Adiwarman A. Karim, Perbankan syariah yang berada di Arab terkadang


memberikan bonus kepada pelanggannya berupa sebuah mobil. Bonus ini berbeda dari hadiah
yang sering dilakukan oleh bank konvensional untuk menarik perhatian pelanggan untuk
menabung di bank syariah.

2.3 Dasar Hukum Al – Wadi’ah

Dasar hukum Wadi’ah ada didalam Al-qur’an, Hadits, dan Ijma.


b. Al-Quran.
Q.S. An-Nisa : 58

6
ٓ ِ ‫اِنَّ هّٰللا يَْأم ُر ُكم اَنْ تَُؤ دُّوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِ َه ۙا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَيْنَ النَّا‬
ْ‫س اَن‬ ْ ُ َ
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫س ِم ْي ًع ۢا ب‬
‫ص ْي ًرا‬ َ َ‫ت َْح ُك ُم ْوا بِا ْل َع ْد ِل ۗ اِنَّ َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِنَّ َ َكان‬

Artinya :

”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesunggunya Allah maha memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengan lagi Maha
Melihat”

c. Hadits

HR. Abu Daud

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda "Sampaikanlah


(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat
kepada orang yang telah menghianatimu"

Hadits diatas menjelaskan bahwa orang yang diberi amanah harus bisa menjaga
amanah tersebut dengan baik dan jangan sampai menghianati orang yang telah memberikan
amanah.
HR. Bukhari – Muslim
”Tanda-tanda munafik ada tiga : bila berkata bohong, bila berjanji ingkar, dan
bila dipercaya khianat”
d. Ijma’

Para tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan ijma’ , karena kebutuhan manusia
terhadap hal tersebut (Wadi’ah) jelas terlihat (Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al- Islami wa
Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuthli Imam
Sarakhsy.
2.4 Rukun Wadi’ah

Menurut Hanafiah : Rukun Wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu adanya


pernyataan kehendak (Sighat : ijab (ungkapan kehendak menitipkan barang dari
pemiliknya) dan Qabul (ungkapan kesiapan menerima titipan tersebut oleh pihak yang
dititipi). Namun menurut Jumhur Ulama Fiqh, Rukun Wadi’ah ada tiga :
1. Ada Pelaku Akad (Muwaddi’ dan Mustawda’)

7
2. Barang titipan (Wadi’ah bih)
3. Pernyataan kehendak/akad (Ijab dan Qabul)
2.5 Syarat Wadi’ah

1. Pelaku Akad
Ulama : Para pihak boleh bertasharruf dan syarat lain untuk berwakil. Tidak sah
menitipkan atau menerima titipan dari anak kecil dan orang gila. KHES : Pasal 371, Para
pihak yang melakukan akad wadi’ah harus memiliki kecakapan hukum.

2. Barang Titipan

Ulama : Harta Wadi’ah harus dapat dikuasai dan diserah terimakan. KHES : Pasal
372, Harta wadi’ah harus dapat dikuasai dan diserah terimakan

3. Akad
Ulama : Sighat yang dimengerti para pihak dan disyaratkan datang dari penitip
dengan ucapan yang menunjukkan arti meminta penjagaan seperti “Aku titipkan atau aku
minta penjagaanmu”. Kabul tidak disyaratkan dengan lafal bisa dengan menerimanya saja.
Kabul bisa dengan lafaz, misalnya saya terima atau tersirat saja, misalnya ada seseorang
yang menitipkan hartanya kepada orang lain dan orang itu diam saja, maka diamnya ini
sama dengan persetujuannya, sama seperti saling memberikan pada jual beli. KHES : Pasal
370 (2), akad dapat dinyatakan dengan lisan,tulisan,atau isyarat. Pasal 373, Muwaddi’ dan
Mustawdi’ dapat membatalkan akad wadi’ah sesuai kesepakatan.
4. Menurut Hanafiah

Pihak pelaku akad disyaratkan harus orang yang berakal, sehingga sekalipun anak
kecil namun sudah dianggap telah berakal dan mendapat izin dari walinya, akad Wadi’ah
nya dianggap sah.

2.6 Aplikasi AL – Wadi’ah

Ada dua jenis pendanaan dengan prinsip wadi'ah, yaitu giro wadi'ah dan tabungan wadi'ah.
Berikut ini penjelasan mengenai jenis pendaan tersebut.

A. Rekening Giro

Giro Wadi'ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi'ah, yakni titipan
murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Sarana penyimpanan

8
dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip al-Wadi 'ah Yad Dhomanah yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan media cek atau bilyet giro.
Dengan prinsip tersebut titipan akan dimanfaatkan dan diinvestasikan Bank secara produktif
dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah
sampai pada tingkat korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank
menjamin keamanan dana secara utuh dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu
kelancaran transaksi.

Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi'ah.
Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini
bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi'ah
Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas
pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan
komersial. Pemilik simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik
sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau
keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadi 'ah, dan sebaliknya pemegang
rekening juga tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas
rekening wadi'ah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba.
Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus
(hibah) kepada pemilik dana. (pemegang rekening wadi ah).

a. Ciri-ciri giro wadiah adalah sebagai berikut:

1) Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasi kan rekeningnya.

2) Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank,
dan menyetor sejumlah dana minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-
masing bank) sebagai setoran awal.

3) Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia.

4) Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi
tertulis lainnya.

b. Tipe rekening:

1) Rekening perorangan.

2) Rekening pemilik tunggal.

9
3) Rekening bersama (dua orang individu atau lebih).

4) Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan.

5) Rekening perusahaan yang berbadan hukum.

6) Rekening kemitraan.

7) Rekening titipan.

c. Servis lainnya:

1) Cek istimewa.

2) Instruksi siaga (standing instruction).

3) Transfer dana otomatis.

4) Kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account)


dengan rincian transaksi setiap bulan.

5) Konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap
enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.

Dewan Syari'ah Nasional telah mengeluarkan ketentuan mengenai giro yang dapat
diterapkan dengan sistem wadiah yaitu pada Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000. Pada
fatwa ini, giro yang berdasarkan wadi'ah ditentukan bahwa: (1) dana yang disimpan pada
bank adalah bersifat titipan. (2) titipan (dana) ini bisa diambil kapan saja (on call). (3) tak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
B. Tabungan Wadiah

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro, dan atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Bank syariah menawarkan rekening tabungan dengan tujuan menarik dan membujuk
para calon nasabah untuk menikmati fasilitas penyimpanan yang aman, karena sejalan
dengan konsep Wadi’ah. Para nasabah bank biasanya memilih rekening tabungan karena
motif kehati-hatian dan bersamaan disebabkan oleh motif investasi. Dari tabungan nasabah
bisa dimobilisasi dananya untuk tujuan produktif, seperti untuk membiayai proyek dan
berbagai transaksi bisnis.

10
Ada dua kategori titipan dalam prakteknya di bank syariah yaitu :

1) Wadiah jariyah ( tahta tholab ) yaitu suatu titipan, di mana penyimpan


berhak mengambilnya kapan saja baik secara tunai, cek ataupun melalui
nasabah pihak ketiga. Bentuk tabungan ini murni titipan, sehingga danya
tidak boleh digunakan oleh pihak bank untuk keperluan investasi.

2) Wadiah Iddikhoriyah ( at taufir ) yaitu simpanan nasabah disalurkan bank


untuk investasi dengan akad mudhorobah muthlaqoh. Tabungan dalam
bentuk ini dapat dikelola oleh pihak bank untuk berinvestasi atau dengan
kata lain dana yang telah dititipkan tersebut dapat diputar oleh pihak untuk
meningkatkan pendapatannya.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan Tabungan Wadiah


sebagai berikut :

1. Bersifat Simpanan
2. Simpanan bisa diambil kapan saja atau berdasarkan kesepakatan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang
bersifat sukarela dari pihak bank.

Tujuan dan manfaat :

a. Bagi Bank

1. Sumber pendanaan, baik Rupiah maupun Valuta Asing


2. Salah satu sumber pendapatan dalam bentuk jasa ( Fee Base Income ) dari
aktifitas lanjutan pemanfaatan rekening giro oleh nasabah

b. Bagi Nasabah

1. Kemudahan dalam pengolaan likuiditas, baik dalam hal penyetoran,


penarikan, transfer, dan pembayaran transaksi yang fleksibel.
2. Dapat memperoleh bonus
Di Indonesia produk tabungan yang berakad Wadi’ah yad dhamanah biasanya ada
pada produk dengan nama ”tabunganku” di beberapa Bank Syariah di Indonesia.

11
Tabunganku adalah tabungan untuk perorangan dengan persyaratan mudah dan ringan
yang diterbitkan secara bersama oleh bank-bank di Indonesia guna menumbuhkan budaya
menabung serta meningkatkan kesejahteraan masuarakat. Jadi tabunganku merupakan
sebuah program untuk lebih memasyarakatkan budaya menabung dengan setoran yang
lebih terjangkau.
Dalam praktiknya di Indonesia, tabungan Wadi’ah memiliki setoran awal minimun,
setoran minimum, dan saldo minimun yang lebih rendah dibandingkan dengan tabungan
mudharabah.

Menabung di bank syariah cukup murah. Banyak bank syariah yang membebaskan
biaya administrasi, salah satunya adalah Bank BRI Syariah. Ini membudahkan penabung
yang nilai setorannya kecil. Namun kurangnya publisitas yang dilakukan oleh bank
mengakibatkan ketidaktahuan calon nasabah mengenai produk ini.
2.7 Pengertian Ju’alah

Kata ju,alah secara bahasa artinya mengupah, secara syar‟i sebagaimana


dikemukakan oleh Sayyid Sabiq: Artinya: “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah)
yang diduga kuat dapat diperoleh”.

Istilah ju‟alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi
upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang
yang sakit, atau seseorang yang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ju‟alah bukanlah
hanya terbatas pada barang yang hilang namun setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan
seseorang.

Mazhab Maliki mendefinisikan ju‟alah sebagai suatu upah yang di janjikan sebagai
imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang. Madzab
Syafi‟i mendefinisikan ju‟alah dengan “seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada
orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”. Definisi yang di kemukakan
Mazhab Maliki menekankan ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan,
sedangkan madzhab Syafi‟i menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan
pekerjaan yang diharapkan. Mazhab Hanafi dan Hambali tidak membuat definisi tertentu
terhadap ju‟alah, meskipun mereka melakukan pembahasan tentang ju‟alah dalam kitab-
kitab fikih.2 Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju‟alah adalah perjanjian
imbalan dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan
yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

12
2.8 Dasar Hukum Al - Ju’alah

Para ualama berbeda pendapat mengenai dilarangnya atau diperbolehkannya ju‟alah


diantaranya adalah:

a. Malik berkata, “Hal tersebut diperbolehkan dalam perkara yang ringan dan dua
syarat: yang pertama tidak memberikan batas tempo, dan kedua adalah harganya(upahnya)
jelas.

b. Abu Hanifah berkata. “Tidak boleh”. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan
oleh ulama yang melarang ju`alah adalah resiko yang ada padanya, yang diqiyaskan kepada
sewaan yang lain.

c. Syafi`i memiliki dua pendapat (diatas).

Dalil yang dijadikan landasan hukum ulama yang membolehkan akad ju‟alah adalah firman
Allah SWT, al-Qur‟an surat Yusuf ayat: 72

‫ير َوَأنَا بِ ِه َز ِعي ٌم‬ ِ ِ‫قَالُوا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْال َمل‬


ٍ ‫ك َولِ َم ْن َجا َء بِ ِه ِح ْم ُل بَ ِع‬
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.

Para ulama sepakat tentang kebolehan ju‟alah, karena memang diperlukan untuk
mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak
ada orang yang bisa membantu secara sukarela.

Para ulama sepakat tentang kebolehan ji`alah, karena memang diperlukan untuk
mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak
ada orang yang bisa membantu secara sukarela. Pekerjaan itu tidak dapat dilakukan dengan
akad ijarah karena tidak jelas batas pekerjaan, waktu, dan sebagainya sehingga yang boleh
dilakukan dengan memberinya ji`alah seperti akad sewa dan bagi hasil. Dalam hadis Nabi
dijelaskan :

،‫ ع َْن َأبِي المتَ َو َّك ِل‬،‫ ع َْن َأبِي بِ َش ٍر‬،ُ‫ َح َّدثَنَا ُش ْعبَة‬،ٌ‫ َح َّدثَنَا ُغ ْن َدر‬،‫ار‬
ٍ ‫َح َّدثَنِي ُم َح َّم ُد ب ُْن بَ َّش‬
‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأتَوْ ا‬َ ‫ب النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َأ َّن نَاسًا ِم ْن َأصْ َحا‬ ِ ‫ع َْن َأبِي َس ِعي ٍد ال ُخ ْد ِريِّ َر‬
‫ هَلْ َم َع ُك ْم‬:‫ فَقَالُوا‬،‫ك‬ َ ‫ ِإ ْذ لُ ِد َغ َسيِّ ُد ُأولَِئ‬،‫ك‬ ِ ‫َعلَى َح ٍّي ِم ْن َأحْ يَاء ال َع َر‬
َ ِ‫ فَبَ ْينَ َما هُ ْم َك َذل‬،‫ب فَلَ ْم يَ ْقرُوهُ ْم‬
ٍ ‫ِم ْن د ََوا ٍء َأوْ َرا‬
‫ َواَل تَ ْف َع ُل‬،‫ ِإنَّ ُك ْم ثُ َّم تَ ْفرُونَا‬:‫ق؟ فَقَالُوا‬

13
‫ َويَجْ َم ُع‬،‫ فَ َج َع َل يَ ْق َرُأ بُِأ ِّم القُرْ آ ِن‬،‫ فَ َج َعلُوا لَهُ ْم قَ ِطيعًا ِمنَ ال َّشا ِء‬، ‫َحتَّى تَجْ َعلُوا لَنا ُج ْعاًل‬

،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫ ال تَْأ ُخ ُذهُ َحتَّى نَ ْسَأ َل النَّب‬:‫ فَبَ َرَأ فََأتَوْ ا بِال َّشا ِء فَقَالُوا‬،ُ‫بُزَاقَهُ َويَ ْتفِل‬
َ ‫ي‬
‫ « َو َما َأ ْد َراكَ َأنَّهَا ُر ْقيَةٌ ُح ُدوهَا َواضْ ِربُوا لِي بِ َسهُم‬:‫ال‬ َ َ‫فَ َسَألُوهُ ف‬
َ َ‫ض ِحكَ َوق‬

[۷/۱۳۱ ،‫ صحيح البخاري‬،‫]البخاري‬


“Dari Abu Said al-khudri r.a sesungguhnya sekelompok sahabat Nabi Saw. melintasi
salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan
makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung di sengat kalajengking. Mereka lalu
bertanya pada para sahabat apakah kalian mempunyai obat,atau adakah yang dapat
meruqyah? Para sahabat menjawab: ‟Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau
mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.‟ Kemudian para penduduk
berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat al-
fatihah dan menggumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung
tersebut;ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambimg. Para sahabat
berkata,‟Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertannya kepada Nabi
Saw.‟Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda,Tahukah
anda sekalian, bahwa itu adalah ruqyah. Ambillah kambing itu dan berilah saya bagian”.

Dasar dari logikannya adalah bahwa kebutuhan manusia menuntut diberlakukannya


ju‟alah untuk mengembalikan harta yang hilang atau suatu pekerjaan yang tidak mampu
dikerjakan oleh orang yang menyuruh (ja‟il), sementara tidak ada orang yang melakukannya
secara suka rela dan juga tidak dapat dilakukan dengan transaksi ijarah karena pekerjaannya
tidak jelas. Ju‟alah dibolehkan secara syar‟i karena adanya kebutuhan untuk itu, seperti
halnya mudharabah.
2.9 Rukun Ju’alah

Rukun ju’alah ada empat yaitu:

a. Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak
ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seizin orang yang menyuruh
(punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu
ditemukan. Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu:

1.) Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang
yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas.

14
2.) 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu
orang-orang tertentu (bebas).

b. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang kehilangan
barang atau orang lain.

c. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam
sayembara tersebut).

d. Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum
melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
2.10 Syarat Ju’alah

Syarat ju’alah sebagai berikut:

a. Pihak penyelenggara merupakan orang yang tidak terikat dalam mengelola harta
benda. Maka tidak boleh jika pelaku dari kelompok anak kecil, gila ataupun orang
yang terbatasi oleh sebab tidak bisa dalam mengelola harta.

b. Inisiatif dari pihak penyelenggara acara, tidak dalam unsur pemaksaan.

c. Peserta sayembara mengetahui dengan jelas adanya sayembara tersebut.

d. Peserta sayembara yang ditentukan termasuk dalam golongan orang yang tanggap
dalam melakukan pekerjaan.

Selain itu ada juga ketentuan lainnya akan akad ju’alah ini, akad ju’alah diperbolehkan
dikerjakan dalam memenuhi kebutuhan pekerjaan dalam bidang jasa sebagaimana yang
dimaksud dalam penjelasan di atas dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pihak Ja’il wajib mempunyai ketanggapan hukum dan kewenangan (muthlaq al-
tasharruf) untuk mengerjakan akad.

b. Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) wajib berupa pekerjaan yang dibolehkan
oleh syariah, serta tidak mempunyai dampak akibat yang dilarang.

c. Hasil dari pekerjaan (natijah) harus jelas dan telah diketahui oleh pihak pada saat
penawaran.

d. Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l) wajib ditentukan semua besarannya oleh Ja’il


dan diketahui semua pihak pada saat penawaran.

e. Tidak dibolehkan adanya syarat imbalan diserahkan di muka (sebelum pelaksanaan

15
objek Ju’alah).
2.11 Aplikasi Ju’alah

Pelaksanaan pengaplikasian atau operasional pengupahan (ju'alah) yaitu sebagai berikut:

a. Pengupahan (ju'alah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak yang
bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembetalan
terjadi sebelum pekerjaan dimulai maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika
pembatalan terjadi di tengah- tengah proses pekerjaan maka pekerja berhak
mendapatkan upah atas pekerjaan.

b. Dalam pengupahan (ju'alah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui.. Jika


seseorang berkata," Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia akan
mendapatkan hadiah satu dinar". Orang yang berhasil menemukannya berhak atas
hadiah tersebut walaupun menemukannya setelah sebulan atau setahun.

c. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi secara
merata antara mereka. Pengupahan Qu'alah) tidak boleh pada hal-hal yang
diharamkan. Jadi, seseorang tidak boleh berkata, "Barang siapa menyakiti atau
memukuli si Fulan atau memakinya. ia mendapatkan upah (ju'alah) sekian.

d. Barang siapa menemukan barang tercecer atau barang hilang atau mengerjakan suatu
pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalua di dalamnya terdapat upah
(ju'alah), ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang yang
tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal.
Jadi, ia tidak berhak mendapatkan ju'alah tersebut kecuali jika ia berhasil
menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya, sebagai balas budi atas
perbuatannya tersebut.

e. Jika seseorang berkata, "Barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia
berhak atas upah(ju 'alah)," maka ju'alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia
berkata, "Barang siapa makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak
atas ju'alah," ju'alah seperti ini tidak sah.

f. Jika pemilik ju'alah dan pekerja tidak sependapat tentang diterima dengan disuruh
adalahucapan pemilik ju'alah bersumpah jika kedua berbeda pendapat tentang pokok
ju 'alah maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja.

16
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Wadi'ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang atau barang kepada
pihak yang menerima titipan, dengan catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima
titipan wajib menyerahkan kembali titipan tersebut dan yang dititipi menjadi penjamin
pengembalian barang titipan. Secara teknis maka akad Wadi’ah diartikan akad titipan baik
barang maupun uang anatara pihak penitip yang memiliki titipan tersebut dengan pihak yang
dipercaya menerima titipan yang harus dijaga dan dikembalikan kapanpun pihak penitip
memintanya kembali.

Abu Daud Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda "Sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada
orang yang telah menghianatimu" Hadits diatas menjelaskan bahwa orang yang diberi
amanah harus bisa menjaga amanah tersebut dengan baik dan jangan sampai menghianati
orang yang telah memberikan amanah.

Istilah ju‟alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi
upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang
yang sakit, atau seseorang yang menang dalam sebuah kompetisi. Sedangkan dalil yang
dijadikan landasan oleh ulama yang melarang ju`alah adalah resiko yang ada padanya, yang
diqiyaskan kepada sewaan yang lain.

Dasar dari logikannya adalah bahwa kebutuhan manusia menuntut diberlakukannya


ju‟alah untuk mengembalikan harta yang hilang atau suatu pekerjaan yang tidak mampu
dikerjakan oleh orang yang menyuruh (ja‟il), sementara tidak ada orang yang melakukannya
secara suka rela dan juga tidak dapat dilakukan dengan transaksi ijarah karena pekerjaannya
tidak jelas.

17
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, A., & Saepudin, A. (2018). Implementasi Akad Ju’alah Dalam Lembaga Keuangan
Syariah. EKSISBANK (Ekonomi Syariah dan Bisnis Perbankan), 2(2), 59-63.

Desminar. “AKAD WADIAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH MUAMALAH” 13, no. 3


(2019):35.
Hidayatullah, Muhammad Syarif. Perbankan Syariah Pengenalan
Fundamental dan Pengembangan Kontemporer. Banjarbaru:
CV Dreamedia, 2017.

Nadiyah Rahmalia, 2023, “Wadiah: Definisi, Rukun, Syarat, Jenis, dan Peraturannya”
https://glints.com/id/lowongan/wadiah-adalah/ , 26 Mei 2023 pukul 03.53

Susanto, Burhanuddin. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press,


2008.

Syauqoti, R. (2018). Aplikasi akad Murabahah pada lembaga keuangan syariah. Jurnal


Masharif al-Syariah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 3(1).

Tabungan Syariah. 2022. “Wadiah-Pengertian, Jenis, dan Bedanya dengan Mudharabah”.


https://lifepal.co.id/media/wadiah/ , 26 Mei 2023 pukul 04.00

Wardani, D. K. (2020). Analisis Praktik Penukaran Kupon Makan Warung Puji Lesehan di


Jalan Sunan Ampel I Kelurahan Rejomulyo Kota Kediri Menurut Hukum
Islam (Doctoral dissertation, IAIN Kediri).

Widayatsari, Any. “Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak
Ketiga Bank Syariah” 3, no. 1 (2013): 21.

18

Anda mungkin juga menyukai