Anda di halaman 1dari 18

HALAMAN JUDUL

TATA CARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN AGAMA


(DESKRIPSI TENTANG HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA)

Dosen Pengampu : Muhammad Syarief Hidayatullah, S.H.I., M.H

MAKALAH
(Makalah Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Peradilan
Agama di Indonesia Pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu)

Oleh Kelompok 11 :
1. Salman Umala (213090053)
2. Syahrul Cahya Wardana (213090039)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU
2022
KATA PENGANTAR

‫الر ِحي ِْم‬


َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ‫ِبس ِْم الل ِه‬

ِ ‫لى أ َ ْش َر‬
‫ف‬ َ ‫ع‬ َ ‫سالَ ُم‬ َّ ‫صالَة ُ َوال‬
َّ ‫ َوال‬،‫ين‬ ِ ‫علَى أ ُ ُم‬
ِ ‫ور الدُّ ْنيَا َوال ِد‬ َ ‫ َوبِ ِه نَ ْست َ ِعي ُْن‬، َ‫ب ْال َعالَ ِمين‬
ِ ‫ْال َح ْمدُ ِللَّ ِه َر‬
ُ‫ أ َ َّما بَ ْعد‬، َ‫صحْ بِ ِه أَجْ ـ َمـعِين‬
َ ‫لى آ ِل ِه َو‬
َ ‫ع‬َ ‫سلِينَ َو‬ َ ‫الـ ُم ْر‬
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kesehatan, bimbingan dan kesegaran pikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini, sebagai proses pemenuhan salah satu tugas mata kuliah peradilan
agama di Indonesia pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu.
Salawat serta salam penulis kirimkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad saw. bersama keluarga dan para sahabatnya sekalian yang telah
membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Selain itu, kita juga berharap agar
mendapatkan syafa’atnya di hari kiamat kelak. Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin.

Dalam penulisan dan penyusunan makalah ini, penulis berusaha semaksimal


mungkin untuk menyempurnakannya, akan tetapi sebagai manusia biasa sudah
tentu tidak terlepas dari kesalahan dan kekeliruan. Karena itu penulis harapkan
kritikan dari semua pihak yang sifatnya membangun.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak
mendapatkan bantuan moril dam materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Kedua orang tua yang telah membesarkan, mendidik dengan penuh kasih
sayang dan ketulusan, serta melimpahkan doa bagi penulis hingga dapat
menyelesaikan studi dari jenjang Pendidikan Dasar hingga saat ini yang
tengah berjuang menyelesaikan pendidikan pada Perguruan Tinggi.
2. Bapak Muhammad Syarief Hidayatullah, S.H.I., M.H. selaku dosen
pengampu mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia pada Progran Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN)
Datokarama Palu.
3. Rekan berpikir dan bekerja kelompok sebelas (11) yang mana telah
bersama-sama menyelesaikan makalah karya tulis ilmiah ini.
4. Seluruh teman-teman lingkungan kelas Akhwal Syakhsiyyah 2 yang turut
berpartisipasi dan memberikan motivasi sehingga penulisan makalah ini
dapat diselesaikan.

ii
Semoga segala amal kebaikan seluruh pihak dalam membantu penulis tersebut
akan mendapat ridha, balasan, serta berkah dari Allah Swt.

Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan nilai


tambah dan berguna bagi ilmu pengetahuan, baik di masyarakat, agama, bangsa,
dan negara. Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin.

Palu, 16 Oktober 2022 M


20 Rabi’ul Awal 1444 H

Penyusun 1 Penyusun 2

Syahrul Cahya Wardana Salman Umala


NIM. 21.3.09.0039 NIM. 21.3.09.0053

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 4
A. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama ...................................................... 4
B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ........................................................... 4
C. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Peradilan Agama ........................................ 5
D. Pengertian Berperkara ......................................................................................... 6
E. Gugatan dan Permohonan ................................................................................... 7
F. Pembuatan Surat Gugatan dan Permohonan .................................................... 7
G. Pihak-Pihak Dalam Berperkara dan Kuasa ....................................................... 8
H. Prosedur, Isi, Dan Ciri-Ciri Surat Gugatan dan Permohonan ......................... 9
I. Tata Cara Pengajuan Gugatan dan Permohonan............................................ 10
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 12
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyelesaian suatu masalah perselisihan atau persengketaan
dilakukan melalui kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh Badan
Peradilan1. Badan peradilan adalah badan negara yang memiliki
kemampuan untuk bertindak memberikan keputusannya kepada para
pihak yang bersengketa dengan menggunakan sistem sanksi tertentu.
Lingkungan peradilan sebagai kekuasaan kehakiman terbagi
menjadi empat bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing
lembaga tersebut memiliki ruang lingkup dan wewenangnya yang
diatur dalam perundang-undangan yang keseluruhannya di bawah
naungan Mahkamah Agung. Peradilan Agama merupakan peradilan yang
memiliki kekhususan dalam cakupan serta wewenangnya2.
Prinsip kekuasaan kehakiman diperkuat dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.3

Lembaga Peradilan Agama adalah lembaga dengan kewenangan


menyelesaikan perkara-perkara umat Islam dalam bidang perkara tertentu4.
Hadirnya lembaga peradilan agama adalah sebagai wadah umat muslim
dalam menyelesaikan setiap perkara tertentu yang dialaminya. Dengan
lembaga peradilan agama, hukum islam dapat diimplementasikan dalam

1
A. I. Cahyani, “Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia,” Jurnal
Al Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 6, no. 1 (2019): 120.

2
Ibid.

3
Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, pasal 18.

4
Nasaruddin, Peradilan Agama di Indonesia dan Sengketa Ekonomi Syariah (Cet. I;
Bandung: PT. Refika Aditama, 2020), 10.

1
2

menyelesaikan kasus atau perkara secara formal dan terpusat dalam suatu
pemerintahan atau negara.
Dalam mengadili suatu perkara, pengadilan Agama memiliki dua
macam kewenangan, yakni kewenangan absolut dan kewenangan relatif5.
Yang dimaksud kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah untuk
mengadili perkara-perkara tertentu yang sesuai dengan Undang-Undang
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Adapun kewenangan
absolut perkara-perkara tertentu menurut Pasal 49 UndangUndang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama adalah perkara tingkat pertama untuk orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, shadaqah, infak, zakat, dan ekonomi syari‘ah.
Dalam mengadili suatu perkara, pengadilan memiliki panduan
terkait tata cara pelaksanaannya. Terlepas dari hukum formil yang telah
menjadi acuan, perlu juga adanya hukum materiil dalam hal ini hukum acara
untuk memandu agar dalam melakukan peradilan dapat dipandu
pelaksanaannya. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah
hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undangan
undangan peradilan agama6
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, penulis terdorong
untuk menuliskan karya tulis ilmiahnya dalam bentuk makalah seputar
permasalahan yang berkenaan dengan hukum acara peradilan agama, alasan
dipilihnya penulisan makalah terkait hukum acara peradilan agama adalah
guna memberikan pengetahuan secara deskriptif tentang pelaksanaan
pengadilan pada lembaga peradilan agama di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis
membagi sub-sub masalah yang hendak dipaparkan dalam makalah karya
tulis ilmiah ini adalah :

5
U. Latifah, “Efektivitas Pelayanan Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Kendal Tahun
2020” (Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, 2021),
2.

6
Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, bab IV, pasal 54.
3

a. Apa yang dimaksud dengan hukum acara peradilan agama?


b. Apa saja sumber hukum acara peradilan agama?
c. Apa saja tujuan dan fungsi hukum acara peradilan agama?
d. Apa yang dimaksud dengan berperkara?
e. Apa yang dimaksud dengan gugatan dan permohonan?
f. Bagaimana cara pembuatan surat gugatan dan permohonan?
g. Siapa saja yang menjadi pihak dalam berperkara dan bagaimana cara
pemberian kuasa?
h. Bagaimana prosedur serta isi dan ciri-ciri surat gugatan dan
permohonan?
i. Bagaimana tata cara pengajuan gugatan dan permohonan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana tata cara berperkara sesuai dengan
hukum acara peradilan agama pada lembaga Pengadilan Agama di
Indonesia
2. Manfaat Penulisan
Sebagai seorang manusia yang rindu akan kesempurnaan
pengetahuan, pasti berharap hasil tulisannya bermanfaat terutama bagi
dirinya sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat
penulisan makalah karya tulis ilmiah ini antara lain :
a) Penulisan makalah karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan baru khususnya pada penulis sendiri,
teman-teman mahasiswa lingkaran Program Studi Hukum
Keluarga, teman-teman mahasiswa se- Universitas Islam Negeri
(UIN) Datokarama Palu, dan umumnya kepada seluruh lapisan
masyarakat.
b) Penulisan makalah karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat
menjadi referensi bagi mahasiswa hukum, untuk mengetahui tata
cara berperkara sesuai hukum acara peradilan agama pada
lembaga peradilan agama di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama


Pada dasarnya, di dalam ilmu hukum dapat dibedakan terdapat dua
jenis hukum, yaitu hukum materiil dan hukum formil1. Hukum acara
peradilan agama merupakan hukum perdata formil, yang memiliki fungsi
mempertahankan dan menegakan hukum perdata materiil melalui
pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum perdata materiil
atau bisa juga disebabkan suatu sengketa. Lebih lanjut hukum acara perdata
juga mengatur bagaimana tata cara memperoleh hak dan kepastian hukum
apabila tidak terdapat sengketa melalui jalur “permohonan” ke pengadilan.
Jadi secara umum, hukum acara perdata peradilan agama mengatur proses
penyelesaian perkara perdata kepada hakim di pengadilan dalam hal
penyusunan gugatan, pengajuan gugatan, pemeriksaan gugatan, putusan
pengadilan sampai eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan bagi
orang islam dalam lingkup perkara khusus yang ditangani Pengadilan
Agama.
Hukum acara peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
diberlakukan pada pengadilan di lingkungan peradilan umum terkecuali
yang telah di atur khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama2. Adapun
unsur-unsur dalam peradilan agama itu meliputi kekuasaan negara yang
merdeka, penyelenggara kekuasaan negara (dalam hal ini Pengadilan
Agama), perkara yang menjadi wewenang pengadilan, orang-orang yang
berperkara, hukum yang dijadikan rujukan dalam berperkara, prosedur
dalam menerima memeriksa mengadili, memutus dan menyelesaikan
perkara, penegakan hukum serta keadilan.

B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama


Dalam menjalankan tugasnya, peradilan agama menggunakan
hukum acara yang bersumber pada peraturan perundang-undangan serta
hukum acara yang tidak tertulis(dalam hal ini hukum formil islam yang

1
E. Hadrian & L. Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi
Dan Mediasi (Cet. I; Yogyakarta: Deepublish, 2020),1.

2
Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, bab IV, pasal 54.

4
5

belum diwujudkan dalam aturan perundang-undangan di Negara


Indonesia).3
Berdasarkan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama Pasal 54
dapat diketahui sumber hukum acara peradilan agama (secara garis besar)
yang berlaku di Indonesia sekarang yaitu :
1. Aturan yang terdapat dalam UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama
2. Aturan hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan
umum
3. Peraturan Perundang-undangan tentang acara perdata yang sama
berlaku di lingkungan peradilan umum dan peradilan agama :
a. UU No. 48/2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman
b. UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung
c. UU No.1/1974 dan PP No.9/1975 tentang Perkawinan dan
Pelaksanaannya.

Maka dapat disimpulkan bahwa sumber hukum acara peradilan agama


perlu memperhatikan UU No. 7/1989 , aturan hukum acara perdata di
lingkungan peradilan umum, serta perundang-undangan yang berlaku sama
tersebut. Selain itu, yang menjadikannya istimewa bahwa peradilan agama
juga memperhatikan hukum menurut Islam. Kombinasi dari semua inilah
yang menjadi sumber hukum acara pada peradilan agama4.

C. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Peradilan Agama


1. Tujuan Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum acara peradilan agama memiliki tujuan sebagaimana telah di
atur dalam UU No.7/1989 jo. UU No.3/2006 tentang Perubahan Atas
UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama yakni meliputi perkara-perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
Ekonomi Syariah.
Selain daripada kewenangan tersebut, peradilan agama juga
memiliki kewenangan sesuai dengan pasal 52A UU No.3/2006 berbunyi
“Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”.
2. Fungsi Hukum Acara Peradilan Agama
Hukum acara peradilan agama memiliki fungsi sebagai berikut :

3
Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama (cet. I; Parepare: IPN Press, 2021),21.

4
Ibid.,23.
6

a. Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili


perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di
wilayah hukum masing-masing ; (vide: Pasal 49 UU No.7/1989 jo.
UU No.3/2006)
b. Fungsi Pengawasan, yakni memberikan pengawasan atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera/sekertaris, dan
seluruh jajarannya ; (vide: Pasal 53 ayat (1) UU No.7/1989 jo. UU
No.3/2006), serta terhadap pelaksanaan administrasi umum ; (vide:
UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
c. Fungsi Pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan dan
petunjuk kepada jajarannya baik yang menyangkut tugas teknis
yudisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum ; (vide:
Pasal 53 ayat (3) UU No.7/1989 jo. UU No.3/2006).
d. Fungsi Administratif, yaitu memberi pelayanan administrasi
kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan
eksekusi, perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta
administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan
administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan
Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang
Umum).
e. Fungsi Nasehat, yakni memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah
hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat
(1) UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
f. Fungsi Lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset
dan penelitian, serta lain sebagainya, seperti di atur dalam
Keputusan Mahkamah Agung RI. Nomor:KMA/004/SK/II/1991.

D. Pengertian Berperkara
Dalam suatu kehidupan tentu tidak terlepas dari yang namanya
masalah. Masalah-masalah tersebut terkadang dapat diselesaikan sendiri
dan ada yang perlu diselesaikan pada pihak lain yang dianggap memberikan
solusi yang adil dan bijaksana. Nah, untuk mewadahi orang yang ingin
menyelesaikan masalahnya, Negara Indonesia menyediakan lembaga
khusus untuk melaksanakan fungsi mengadili suatu permasalahan atau
perkara tertentu demi memberikan keadilan, kemanfaatan serta kepastian
hukum. Lembaga khusus tersebut yaitu lembaga peradilan, yang terbagi atas
peradilan umum untuk perkara umum dan lembaga peradilan agama untuk
perkara khusus bagi umat Islam. Dalam hal untuk melakukan proses
penyelesaian masalah dalam lembaga peradilan tersebut itulah yang
7

dimaksud dengan berperkara. Dalam berperkara terdapat dua indikator yaitu


gugatan dan permohonan. Gugatan dilakukan oleh penggugat kepada
tergugat dan permohonan dilakukan oleh pemohon kepada suatu masalah
tertentu yang berkepentingan kepada suatu hal.

E. Gugatan dan Permohonan


Gugatan merupakan surat yang diajukan oleh penggugat kepada
ketua pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan
perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak5. Sedangkan
permohonan merupakan surat permohonan yang memuat tuntutan hak
perdata suatu pihak yang berkepentingan kepada suatu hal yang tidak
mengandung sengketa.6
Dari sini dapat kita melihat apa perbedaan dari gugatan dan
permohonan, jika gugatan terdapat suatu perkara sengketa antara penggugat
dan tergugat, sedangkan permohonan hanya satu pihak saja yang
berkepentingan dan tanpa sebuah perkara atau sengketa. Dalam gugatan
terdapat istilah penggugat dan tergugat, yang keduanya dapat terdiri dari
satu atau lebih sehingga terdapat istilah Penggugat I, II, III dan seterusnya,
begitupula dengan tergugat. Lain halnya dengan permohonan yang hanya
terdiri dari satu pihak karena bukan suatu kasus perkara.

F. Pembuatan Surat Gugatan dan Permohonan


Untuk gugatan, harus diajukan secara tertulis baik oleh penggugat
sendiri ataupun kuasanya, dan bagi buta huruf dapat mengajukannya secara
lisan. Adapun isi surat gugatan diantaranya yaitu :
1. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar jika ada, julukan, bin atau
binti, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai
penggugat atau tergugat)
2. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi
antara dua belah pihak)
3. Petita atau petitum ( Isi tuntutan)

Sedangkan untuk permohonan, dalam pembuatan surat permohonannya


tidak begitu jauh berbeda dengan isi surat gugatan. Yaitu terdapat identitas,
petita, dan posita. Namun yang membedakan, dalam surat permohonan

5
Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, 29.

6
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. I; Solo: CV Mandar
Maju, 2014),1. Dikutip dalam Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, 29.
8

tidak terdapat kalimat “berlawanan dengan”, “duduk perkara” dan


“permintaan membayar biaya perkara kepada pihak lain”.

Dalam pembuatan surat gugatan dan surat permohonan perlu


melengkapi hal-hal di bawah ini, yakni :

1. Surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi buta huruf dapat
mengajukannya secara lisan di pengadilan agama kepada ketua hakim,
contohnya seperti gugatan cerai. Surat gugatan atau permohonan ini
ditujukan ke pengadilan yang berwenang.
2. Foto copy identitas seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk)
3. Vorscot biaya perkara dan bagi yang tidak mampu dapat mengajukan
dispensasi biaya dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari
kelurahan atau kecamatan tempat asalnya.
4. Surat keterangan akta kematian bagi perkara waris
5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi
PNS (untuk perkara poligami).
6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara
poligami)
7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami)
8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai,
permohonan cerai, gugatan nafkah istri, dan lain-lain)
9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan
tentang mut’ah)
10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan (untuk perkara
perceraian).

G. Pihak-Pihak Dalam Berperkara dan Kuasa


Dalam berperkara di Pengadilan Agama, setiap orang yang memiliki
kepentingan dapat menjadi pihak7. Adapun rinciannya sebagai berikut :
1. Pihak yang secara langsung memiliki kepentingan terhadap perkara
yang diajukan di pengadilan
2. Pihak yang secara tidak langsung mempunyai kepentingan sendiri tetapi
dianggap sebagai pihak yang berkepentingan
3. Pihak yang merupakan wakil atau utusan dari pihak yang
berkepentingan

Dalam menentukan pihak yang berperkara perlu dilakukan dengan


berhati-hati, karena pihak kedua dari tergugat harus benar-benar

7
Ibid., 36.
9

mempunyai hubungan hukum dengan perkara yang disengketakan. Jika


gugatan dilakukan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan hukum,
maka akan mengakibatkan gugatan cacat formil karena error in personal
atau alamat salah sasaran atau orang yang digugat keliru sehingga dapat
merugikan biaya, waktu, dan tenaga.

Untuk pemberian kuasa, dapat dilakukan sebelum atau saat sidang


berjalan. Pemberian kuasa secara lisan harus dinyatakan saat persidangan
dan dicatat dalam berita acara sidang. Sedangkan pemberian kuasa secara
tertulis dilakukan dalam surat kuasa khusus yang didalamnya dijelaskan
khusus mewakili pihak yang berperkara untuk melangsungkan persidangan.
Adapun orang yang dapat menjadi kuasa atau mewakili dalam persidangan
adalah advokad/pengacara atau yang mempunyai izin khusus untuk
beracara dalam persidangan, seperti orang yang masih mempunyai
hubungan keluarga dengan para pihak (disertai surat dari kelurahan yang
bersangkutan).

H. Prosedur, Isi, Dan Ciri-Ciri Surat Gugatan dan Permohonan


Dalam gugatan atau permohonan yang diajukan ke Pengadilan
Agama perlu memperhatikan prosedur yang berlaku. Gugatan atau
permohonan diajukan dan didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan
Agama yang memiliki wewenang memeriksa dan kemudian membayar
biaya perkara. Biaya perkara yang diberikan antara lain :
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
2. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan
sumpah
3. Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang diperlukan
pengadilan
4. Biaya panggilan, pemberitahuan, dan lain-lain.

Untuk membuat surat gugatan dan permohonan perlu pula


memperhatikan isi dan ciri-cirinya. Adapun isi dan ciri surat gugatan dan
permohonan akan termuat dalam uraian berikut :

1. Isi dan ciri-ciri surat permohonan


a. Dalam membuat surat permohonan pada dasarnya memiliki isi yang
memuat :
1) Identitas pemohon;
2) Uraian kejadian (posita);
3) Permohonan (petitum).
b. Ciri-ciri permohonan yaitu memiliki garis besar meliputi :
10

1) Masalah yang diajukan pada permohonan merupakan


kepentingan sepihak
2) Permasalahan yang diselesaikan di Pengadilan Agama untuk
permohonan biasanya tidak berisi perkara sengketa
3) Tidak terdapat pihak lain atau pihak ketiga yang menjadi
lawan.
2. Isi dan ciri-ciri surat gugatan
a. Isi dari surat gugatan secara garis besar memuat hal-hal berikut :
1) Identitas para pihak, meliputi nama, alamat, umur,
pekerjaan, agama, dan kewarganegaraan.
2) Uraian kejadian (Posita), berisi uraian kejadian atau fakta-
fakta yang menjadi dasar perkara sengketa tersebut terjadi
dan adanya hubungan hukum yang mendasari gugatan
tersebut. Posita juga biasa disebt fundamentum petendi.
3) Permohonan (petitum), dalam petitum berisi rincian tuntutan
apa saja yang diminta dan diharapkan penggugat untuk
dinyatakan dalam putusan penetapan kepada para pihak
terutama pihak tergugat dalam putusan perkara8.

b. Ciri-ciri surat gugatan antara lain :


1) Terdapat pihak yang bertindak sebagai penggugat dan
tergugat
2) Pokok permasalahan hukum yang diajukan mengandung
sengketa diantara para pihak9

I. Tata Cara Pengajuan Gugatan dan Permohonan


Untuk mengetahui tata cara pengajuan gugatan dan permohonan,
terdapat beberapa tahapan berikut, yaitu :
1. Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan
perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a. Pihak yang berperkara, yaitu setiap orang yang mempunyai
kepentingan dapat menjadi pihak dalam berperkara di pengadilan

8
Ibid., 40.

9
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2008),28. Dikutip dalam Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, 40.
11

b. Kuasa, dalam persidangan pihak yang berperkara dapat menghadiri


dan melaksanakannya sendiri atau melalui kuasa atau diwakilkan
oleh orang lain
c. Kewenangan pengadilan, dalam membuat gugatan atau permohonan
perlu memperhatikan kewenangan relatif dan absolut pengadilan.
2. Tahap Pembuatan Permohonan atau Gugatan
Pembuatan permohonan atau gugatan dibuat dalam bentuk surat
tertulis oleh pihak yang berkepentingan, apabila buta huruf maka dapat
diajukan kepada pengadilan langsung secara lisan yang kemudian
dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan yang
kemudian ditandatangani oleh ketua pengadilan.
3. Tahap Pendaftaran Permohonan atau Gugatan
Setelah permohonan atau gugatan dibuat, langkah selanjutnya yaitu
mendaftarkannya di kepaniteraan Pengadilan Agama yang berwenang
memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Setelah proses
pendaftaran ini selesai, pemohon atau penggugat akan mendapatkan
nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan sidang.
4. Tahap Pemeriksaan Permohonan atau Gugatan
Saat hari sidang telah ditentukan kemudian salah satu pihak dari
kedua belah pihak tidak hadir (dalam hal ini gugatan), maka persidangan
akan ditunda dan pengadilan akan menetapkan hari sidang berikutnya.
Kepada yang hadir akan diperintahkan untuk menghadiri sidang
berikutnya tanpa diberi panggilan atau undangan, bagi yang tidak hadir
akan mendapatkan panggilan sidang sekali lagi.
Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan
maksimal tiga kali, apabila :
a. Apabila penggugat tidak hadir maka gugatan gugur, sedangkan
apabila tergugat tidak hadir maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak
tergugat.
b. Apabila tergugat lebih dari satu dan beberapa tergugat hadir dan
ada yang tidak hadir, maka pemeriksaan akan tetap dilakukan
dan bagi tergugat yang tidak hadir dianggap tidak melakukan
pembelaan diri.
c. Apabila penggugat dan tergugat hadir maka pemeriksaan
dilanjutkan sesuai dengan ketentuan hukum yang belaku.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah pembahasan pokok isi makalah karya tulis ilmiah berakhir
di akhir uraian ini, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum acara peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
diberlakukan pada pengadilan di lingkungan peradilan umum terkecuali
yang telah di atur khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama
2. Sumber hukum acara peradilan agama perlu memperhatikan UU No.
7/1989 , aturan hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum,
serta perundang-undangan yang berlaku sama tersebut. Selain itu,
peradilan agama juga memperhatikan hukum menurut Islam. Kombinasi
dari semua inilah yang menjadi sumber hukum acara pada peradilan
agama.
3. Hukum acara peradilan agama memiliki tujuan sebagaimana telah di
atur dalam UU No.7/1989 jo. UU No.3/2006 tentang Perubahan Atas
UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama yakni meliputi perkara-perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
Ekonomi Syariah.
4. Hukum acara peradilan agama memiliki fungsi mengadili (judicial
power), pembinaan, pengawasan, administratif, nasehat, dan fungsi
lainnya.
5. Berperkara adalah hal untuk melakukan proses penyelesaian masalah
dalam lembaga peradilan.
6. Gugatan merupakan surat yang diajukan oleh penggugat kepada ketua
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan permohonan merupakan surat permohonan yang memuat
tuntutan hak perdata suatu pihak yang berkepentingan kepada suatu hal
yang tidak mengandung sengketa.
7. Dalam pembuatan gugatan, harus diajukan secara tertulis baik oleh
penggugat sendiri ataupun kuasanya, dan bagi buta huruf dapat
mengajukannya secara lisan. Sedangkan untuk permohonan, dalam
pembuatan surat permohonannya tidak begitu jauh berbeda dengan isi
surat gugatan. Yaitu terdapat identitas, petita, dan posita. Namun yang
membedakan, dalam surat permohonan tidak terdapat kalimat

12
13

“berlawanan dengan”, “duduk perkara” dan “permintaan membayar


biaya perkara kepada pihak lain”.
8. Dalam menentukan pihak yang berperkara perlu dilakukan dengan
berhati-hati, karena pihak kedua dari tergugat harus benar-benar
mempunyai hubungan hukum dengan perkara yang disengketakan. Jika
gugatan dilakukan kepada pihak yang tidak memiliki hubungan hukum,
maka akan mengakibatkan gugatan cacat formil karena error in
personal atau alamat salah sasaran atau orang yang digugat keliru.
Untuk pemberian kuasa, dapat dilakukan sebelum atau saat sidang
berjalan. Pemberian kuasa secara lisan harus dinyatakan saat
persidangan dan dicatat dalam berita acara sidang. Sedangkan
pemberian kuasa secara tertulis dilakukan dalam surat kuasa khusus
yang didalamnya dijelaskan khusus mewakili pihak yang berperkara
untuk melangsungkan persidangan.
9. Dalam gugatan atau permohonan yang diajukan ke Pengadilan Agama
perlu memperhatikan prosedur yang berlaku. Gugatan atau permohonan
diajukan dan didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Agama yang
memiliki wewenang memeriksa dan kemudian membayar biaya
perkara.
10. Tata cara pengajuan gugatan dan permohonan, terdapat beberapa
tahapan berikut, yaitu tahap persiapan, tahap pembuatan permohonan
atau gugatan, tahap pendaftaran permohonan atau gugatan, tahap
pembuatan permohonan atau ggatan, dan tahap pemeriksaan
permohonan atau gugatan.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan:
1. Kepada khususnya lingkungan mahasiswa kelas Akhwal Syakhsiyyah
dua (2), dapat menjadikan makalah karya tulis ilmiah ini sebagai sumber
referensi dan rujukan pembelajaran terkait tata cara berperkara pada
badan peradilan agama sesuai metode deskriptif hukum acara peradilan
agama di Indoensia.
2. Kepada umumnya mahasiswa fakultas hukum dapat menjadikan
makalah karya tulis ini sebagai rujukan untuk kemudian
diimplementasikan atau diterapkan dalam tata cara berperkara pada
badan pengadilan agama ketika kelak menjadi bagian dari lembaga
peradilan agama di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyani, A. I. “Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia.”


Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 6, no. 1 (2019):
119-132.

Hadrian, E., & Hakim, L. Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan


Eksekusi Dan Mediasi. Cet. I; Yogyakarta: Deepublish, 2020.

Latifah, U. “Efektivitas Pelayanan Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Kendal


Tahun 2020.” Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Islam
Sultan Agung, Semarang, 2021.

L, Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. I; Parepare: IPN Press, 2021

Mukti Arto, A. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Cet. I;


Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008. Dikutip dalam L, Sudirman. Hukum
Acara Peradilan Agama. Cet. I; Parepare: IPN Press, 2021.

Nasaruddin. Peradilan Agama di Indonesia dan Sengketa Ekonomi Syariah. Cet. I;


Bandung: PT. Refika Aditama, 2020.

Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan


Agama.

Republik Indonesia. Undang-Undang R. I. Nomor 48 Tahun 2009 Tentang


Kekuasaan Kehakiman.

Wahyudi, Abdullah Tri. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. I; Solo: CV Mandar
Maju, 2014. Dikutip dalam L, Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama.
Cet. I; Parepare: IPN Press, 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai