MAKALAH
(Makalah Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Peradilan
Agama di Indonesia Pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu)
Oleh Kelompok 11 :
1. Salman Umala (213090053)
2. Syahrul Cahya Wardana (213090039)
ِ لى أ َ ْش َر
ف َ ع َ سالَ ُم َّ صالَة ُ َوال
َّ َوال،ين ِ علَى أ ُ ُم
ِ ور الدُّ ْنيَا َوال ِد َ َوبِ ِه نَ ْست َ ِعي ُْن، َب ْال َعالَ ِمين
ِ ْال َح ْمدُ ِللَّ ِه َر
ُ أ َ َّما بَ ْعد، َصحْ بِ ِه أَجْ ـ َمـعِين
َ لى آ ِل ِه َو
َ عَ سلِينَ َو َ الـ ُم ْر
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kesehatan, bimbingan dan kesegaran pikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini, sebagai proses pemenuhan salah satu tugas mata kuliah peradilan
agama di Indonesia pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu.
Salawat serta salam penulis kirimkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad saw. bersama keluarga dan para sahabatnya sekalian yang telah
membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Selain itu, kita juga berharap agar
mendapatkan syafa’atnya di hari kiamat kelak. Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin.
1. Kedua orang tua yang telah membesarkan, mendidik dengan penuh kasih
sayang dan ketulusan, serta melimpahkan doa bagi penulis hingga dapat
menyelesaikan studi dari jenjang Pendidikan Dasar hingga saat ini yang
tengah berjuang menyelesaikan pendidikan pada Perguruan Tinggi.
2. Bapak Muhammad Syarief Hidayatullah, S.H.I., M.H. selaku dosen
pengampu mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia pada Progran Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN)
Datokarama Palu.
3. Rekan berpikir dan bekerja kelompok sebelas (11) yang mana telah
bersama-sama menyelesaikan makalah karya tulis ilmiah ini.
4. Seluruh teman-teman lingkungan kelas Akhwal Syakhsiyyah 2 yang turut
berpartisipasi dan memberikan motivasi sehingga penulisan makalah ini
dapat diselesaikan.
ii
Semoga segala amal kebaikan seluruh pihak dalam membantu penulis tersebut
akan mendapat ridha, balasan, serta berkah dari Allah Swt.
Penyusun 1 Penyusun 2
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. I. Cahyani, “Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia,” Jurnal
Al Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 6, no. 1 (2019): 120.
2
Ibid.
3
Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, pasal 18.
4
Nasaruddin, Peradilan Agama di Indonesia dan Sengketa Ekonomi Syariah (Cet. I;
Bandung: PT. Refika Aditama, 2020), 10.
1
2
menyelesaikan kasus atau perkara secara formal dan terpusat dalam suatu
pemerintahan atau negara.
Dalam mengadili suatu perkara, pengadilan Agama memiliki dua
macam kewenangan, yakni kewenangan absolut dan kewenangan relatif5.
Yang dimaksud kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah untuk
mengadili perkara-perkara tertentu yang sesuai dengan Undang-Undang
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Adapun kewenangan
absolut perkara-perkara tertentu menurut Pasal 49 UndangUndang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama adalah perkara tingkat pertama untuk orang-
orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, shadaqah, infak, zakat, dan ekonomi syari‘ah.
Dalam mengadili suatu perkara, pengadilan memiliki panduan
terkait tata cara pelaksanaannya. Terlepas dari hukum formil yang telah
menjadi acuan, perlu juga adanya hukum materiil dalam hal ini hukum acara
untuk memandu agar dalam melakukan peradilan dapat dipandu
pelaksanaannya. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah
hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undangan
undangan peradilan agama6
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, penulis terdorong
untuk menuliskan karya tulis ilmiahnya dalam bentuk makalah seputar
permasalahan yang berkenaan dengan hukum acara peradilan agama, alasan
dipilihnya penulisan makalah terkait hukum acara peradilan agama adalah
guna memberikan pengetahuan secara deskriptif tentang pelaksanaan
pengadilan pada lembaga peradilan agama di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis
membagi sub-sub masalah yang hendak dipaparkan dalam makalah karya
tulis ilmiah ini adalah :
5
U. Latifah, “Efektivitas Pelayanan Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Kendal Tahun
2020” (Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, 2021),
2.
6
Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, bab IV, pasal 54.
3
PEMBAHASAN
1
E. Hadrian & L. Hakim, Hukum Acara Perdata Di Indonesia: Permasalahan Eksekusi
Dan Mediasi (Cet. I; Yogyakarta: Deepublish, 2020),1.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, bab IV, pasal 54.
4
5
3
Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama (cet. I; Parepare: IPN Press, 2021),21.
4
Ibid.,23.
6
D. Pengertian Berperkara
Dalam suatu kehidupan tentu tidak terlepas dari yang namanya
masalah. Masalah-masalah tersebut terkadang dapat diselesaikan sendiri
dan ada yang perlu diselesaikan pada pihak lain yang dianggap memberikan
solusi yang adil dan bijaksana. Nah, untuk mewadahi orang yang ingin
menyelesaikan masalahnya, Negara Indonesia menyediakan lembaga
khusus untuk melaksanakan fungsi mengadili suatu permasalahan atau
perkara tertentu demi memberikan keadilan, kemanfaatan serta kepastian
hukum. Lembaga khusus tersebut yaitu lembaga peradilan, yang terbagi atas
peradilan umum untuk perkara umum dan lembaga peradilan agama untuk
perkara khusus bagi umat Islam. Dalam hal untuk melakukan proses
penyelesaian masalah dalam lembaga peradilan tersebut itulah yang
7
5
Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, 29.
6
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. I; Solo: CV Mandar
Maju, 2014),1. Dikutip dalam Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, 29.
8
1. Surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi buta huruf dapat
mengajukannya secara lisan di pengadilan agama kepada ketua hakim,
contohnya seperti gugatan cerai. Surat gugatan atau permohonan ini
ditujukan ke pengadilan yang berwenang.
2. Foto copy identitas seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk)
3. Vorscot biaya perkara dan bagi yang tidak mampu dapat mengajukan
dispensasi biaya dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari
kelurahan atau kecamatan tempat asalnya.
4. Surat keterangan akta kematian bagi perkara waris
5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi
PNS (untuk perkara poligami).
6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara
poligami)
7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami)
8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai,
permohonan cerai, gugatan nafkah istri, dan lain-lain)
9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan
tentang mut’ah)
10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan (untuk perkara
perceraian).
7
Ibid., 36.
9
8
Ibid., 40.
9
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2008),28. Dikutip dalam Sudirman L., Hukum Acara Peradilan Agama, 40.
11
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah pembahasan pokok isi makalah karya tulis ilmiah berakhir
di akhir uraian ini, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hukum acara peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
diberlakukan pada pengadilan di lingkungan peradilan umum terkecuali
yang telah di atur khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama
2. Sumber hukum acara peradilan agama perlu memperhatikan UU No.
7/1989 , aturan hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum,
serta perundang-undangan yang berlaku sama tersebut. Selain itu,
peradilan agama juga memperhatikan hukum menurut Islam. Kombinasi
dari semua inilah yang menjadi sumber hukum acara pada peradilan
agama.
3. Hukum acara peradilan agama memiliki tujuan sebagaimana telah di
atur dalam UU No.7/1989 jo. UU No.3/2006 tentang Perubahan Atas
UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama yakni meliputi perkara-perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
Ekonomi Syariah.
4. Hukum acara peradilan agama memiliki fungsi mengadili (judicial
power), pembinaan, pengawasan, administratif, nasehat, dan fungsi
lainnya.
5. Berperkara adalah hal untuk melakukan proses penyelesaian masalah
dalam lembaga peradilan.
6. Gugatan merupakan surat yang diajukan oleh penggugat kepada ketua
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan dasar landasan
pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Sedangkan permohonan merupakan surat permohonan yang memuat
tuntutan hak perdata suatu pihak yang berkepentingan kepada suatu hal
yang tidak mengandung sengketa.
7. Dalam pembuatan gugatan, harus diajukan secara tertulis baik oleh
penggugat sendiri ataupun kuasanya, dan bagi buta huruf dapat
mengajukannya secara lisan. Sedangkan untuk permohonan, dalam
pembuatan surat permohonannya tidak begitu jauh berbeda dengan isi
surat gugatan. Yaitu terdapat identitas, petita, dan posita. Namun yang
membedakan, dalam surat permohonan tidak terdapat kalimat
12
13
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan:
1. Kepada khususnya lingkungan mahasiswa kelas Akhwal Syakhsiyyah
dua (2), dapat menjadikan makalah karya tulis ilmiah ini sebagai sumber
referensi dan rujukan pembelajaran terkait tata cara berperkara pada
badan peradilan agama sesuai metode deskriptif hukum acara peradilan
agama di Indoensia.
2. Kepada umumnya mahasiswa fakultas hukum dapat menjadikan
makalah karya tulis ini sebagai rujukan untuk kemudian
diimplementasikan atau diterapkan dalam tata cara berperkara pada
badan pengadilan agama ketika kelak menjadi bagian dari lembaga
peradilan agama di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
L, Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. I; Parepare: IPN Press, 2021
Wahyudi, Abdullah Tri. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. I; Solo: CV Mandar
Maju, 2014. Dikutip dalam L, Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama.
Cet. I; Parepare: IPN Press, 2021.
14