Anda di halaman 1dari 25

Makalah Kelompok

“Peradilan Agama dalam sistem hukum di Indonesia”

Dosen Pengampu : Fatrulah Puspitasari, S.H., M.H.

Disusun oleh :

1. Johannes Arling 2101191317

2. Timbul Simanjuntak 2101200232

3. Hanifah Liontin Salsabila 2101211309

Kelas K-90/Semester 6

FAKULTAS HUKUM

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih bagi Maha
Penyayang, dan tak lupa pula kami memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia serta petunjuk-nya saya dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama ini dengan sebaik-baiknya.

Peradilan agama adalah peradilan yang khusus mengadili perkara-perkara


perdata dimana para pihaknya beragama Islam. sangat menarik untuk pelajari dan
mudah dipahami karena akan memberikan wawasan baru bagi pembaca umumnya
dan khusus-nya bagi mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama.

Adapun makalah Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya ini telah kami


usahakan semaksimal mungkin. Saya menyadari bahwa makalah yang kami susun
ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saya sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

Jakarta, 05 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 3

A. Pengertian Hukum Peradilan Agama............................................................ 3


B. Dasar Hukum Peradilan Agama.................................................................... 4
C. Komponen Struktur Peradilan Agama.......................................................... 6
D. Proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan Agama................................... 18

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 21

A. Kesimpulan.................................................................................................. 21
B. Saran........................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................iii

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasar hukum (rechtstat ) tidak


berdasarkekuasaan belaka (machtstaat ). Dalam negara hukum, hukumlah yang
memegangsupermasi di atas kekuasaan yang ada di dalam negara. Dalam setiap
pelaksanaantindakan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara harus berdasar
hukum. Agar dapat mewujudkan negara yang berdasar hukum memerlukan lembaga
atau badan dan tata cara yang mengatur penegakan hukum. Penegakan hukumme
mpunyai tujuan untuk tercapainya penegakan keadilan, kebenaran, ketertiban,dan
kepastian hukum agar tercipta masyarakat yang aman, tentram, dan tertiib. 1

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan


kehakimanyang berada di bawah Mahkamah Agung selain Peradilan Umum,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama islam yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa perkara-perkara perdata islam tertentu yaitu perkawinan, waris,
wasiat,hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqoh, dan muamalah.2

Pengadilan agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan


kehakiman yang memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 3 tahun 2006 dan UU No.50 tahun 2009.Untuk melaksanakan tertib
administrasi perkara di pengadilan Agama dandalam rangka penyelenggaraan
administrasi peradilan yang seragam, baik dantertib. Ketua Mahkamah Agung RI
dengan suratnya tertanggal 24 Januari 1991 No. KMA/001/SK/1991 telah
menetapkan pola-pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara.1

1
Abdullah Tri Wahyudi. Peradilan Agama di Indonesia(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2004) hlm. 51.2 
Ahmad r, “Peradilan Agama Di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum
Islam,YUDISIA, Vol. 6, No. 2, (Desember 2015), hlm. 1
1
Untuk dapat mengetahui proses penyelesaian perkara yang diajukankepada
Pengadilan Agama, dalam tulisan ini pembahasan akan difokuskan padatata cara
pengajuan perkara di pengadilan Agama.
Oleh karena itu untuk mewujudkan suatu keadilan, ketertiban, kebenaran dan
kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan hukum demi terciptanya suasana
berkehidupan yang aman, tertib, dan tentram. Maka dibutuhkan adanya lembaga
yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegkan
hukum dan keadilan dengan baik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan  sebagai berikut :
1. Apa pengertian hukum peradilan agama?
2. Bagaimana struktur organisasi Pengadilan Agama ?
3. Bagaimana Proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan Agama?

C.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud
dan tujuan sebagai berikut :
1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
2. Untuk megetahui pengertian hukum peradilan agama.
3. Untuk mengetahui struktur organisasi Pengadilan Agama
4. Untuk mengetahui Proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan Agama.

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Peradilan Agama

Kata peradilan bersal dari akar kata adil, dengan awalan per dan dengan imbuhan
aw. Kata peradilan sebagi terjemahan dart qua yang berarti memutuskan
melaksanakan menyelesaikan. Ada pula yang menyatakan bahwa umumnya kamu
tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.

Peradilan berasal dari bahasa Arab, adil yang sadah diserap menjadi bahasa
indonesia yang artinya proses mengadili atau suatu upaya unak mencari keadilan
atau penyelesaian sengketa hukum dihadapan hadany perudian menurut peraturan
yang berlaku. Peradilan merupakan suat pengertian yang umum dalam bahasa arab
disebut al-Qadhiu, artinya proses mengadili dan proses mencari keadilan.

Jika ditinjan dari bahasa Belanda. Peradilan Agama merupakan terjemahan dan
Godsdienstige Rechspraak. Peradilan agama adalah daya upaya untuk mencari
keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut pensturan-
peraturan dalam agama Peradilan Agama diatur dalam UU No.7 Tahun 1999
tentang Peradilan Ana Peradilan Agama adalah peradilan khusus bagi orang-orang
yang beragama islam dan mengadili perkara-perkara tertentu al 2). Dalam Undang-
undang diatur susunan, kekuasaan, hukum acam, dan kedudukan hakim serta segi-
segi administratif pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama sedangkan
Pengadilan merupakan penyelenggaraan Peradilan. Atau dengan perkataan lain,
pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Susunan hierarki peradilan agama secara
instansional  diatur dalam pasal 6 UU Nomor 7 Tahun1989 menurut ketentuan pasal
ini secara instansional lingkugan peradilan agama terdiri dari dua tingkat :
1. Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama
2.  Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. 2

2
Pengadilan Agama Erfaniah Zuhriah. Peradilan Agama Indonesia Sejarah, Konsep
dan Praktik di Pengadilan Agama, cet ke 2. Setara Press, Malang 2016, hlm. 1
Abdullah Tri Wahyudi. Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) hlm. 54-55-
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama
berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten dan daerah bukunya meliputi
wilayah Kotamadya dan Kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan d
Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provin tetapi tidak map
kemungkinan adanya pengecualian (pasal 4).

B. Dasar Hukum Peradilan Agama

Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 adalah diatur


oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.  Dasar hukum peradilam agama tertuang dalam
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa kekeuasan
hakiman dalakukan oleh sebuah mahkamah Agung dan Peradilan yangberda di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum. Lingkungan Peradilan agama,
Lingkungan Peradilan Militer. Lingkungan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.”

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok


kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) menyebutkan:”

Kekuasaan dalam lingkup kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam linkungan:

1. Peradilan umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 12 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa susunan. Kekuasaan serta


acara dari badan-badan peradilan diatur dalam Undang- Undang tersendiri. Khusus
mengenai Peradilan Agama diatur dalam Undang- Undang nomor 3 tahun 2006
yang memeuat dalam lembaran negara nomor 49 tahun 1999 dan terakhir diubah
dengan undang-undang.

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.

4
HIR/RBg (Hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan)

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4/2004;

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No.5 Tahun
2004;

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 2006;

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947;

PP Nomor 9 Tahun 1975;

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.

Surat Edaran Mahkamah Agung;

Ilmu Pengetahuan Hukum/Kitab-kitab Fiqih

Sumber utama Hukum Materil Peradilan Agama

 Hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits;


 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989;
 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI;

C. Komponen Struktur Peradilan Agama

Sebagaimana penyusun sebutkan, bahwa istilah lain dari sub sistem adalah
komponen, sehingga apabila dalam makalah ini disebut komponen. Yang dimaksud
adalah sub sitem dari sistem Peradilan Agama. Seperti penjelasan sebelumnya
bahwa suatu sistem hukum terdiri dari beberapa sub sistem atau beberapa

5
komponen, maka Peradilan Agama sebagai suatu sistem hukum terdiri dari
beberapa komponen.

Menurut Rochmat Sumitro,komponen peradilan terdiri dari 4 anasir, yakni:

1. Adanya aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum dan dapat
diterapkan pada suatu persoalan.
2. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit,
3. Ada sekurang-kurangnya dua pihak.
4. Adanya aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.

1. Aturan hukum

Aturan hukum yang ada di Peradilan Agama dari segi fungsinya terdiri dari hukum
materiil dan hukum formil. Hukum formil adalah hukum yang mengatur bagaimana
cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau sering disebut hukum
acara.” Mengenai hukum formil yang berlaku di Pengadilan Agama disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 7 1989 sebagai berikut:

Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah dian secara klausus dalam undang-undang ini,3

Problem hukum acara Peradilan Agama adalah belum dimilikinya hukum acara
tersendiri. Selama ini hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang
berlaku di Peradilan Umum, padahal jenis perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama tidak sedikit yang bersifat spesifik yang penyelesaiannya tidak
mungkin dengan menggunakan hukum acara di Peradilan Umum kemudian
disamping terdapat hukum formil yang berlaku di Pengadilan Agama terdapat juga
3
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah, Konsep dan Praktik di
Pengadilan Agama, cet ke 2. Setara Press, Malang 2016, hlm. 5

Hid, hlm. 5

Marwan Mas, Pengatar mu Hukum (Bogor Ghalia Indonesia, 2004), him. 70,
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Agama, UU No. 34 tahun 1989, Pasal
54

6
hukum materiil. Sumber hukum dari hukum materiil Pengadilan Agama adalah
bersumber dari hukum Islam Hukum materiil yang bersumber dari hukm Islam ini
ada yang sudah menjadi hukum tertulis dan ada yang belum. Adapaun hukum
materiil yang sudah menjadi hukum tertulis terdiri dari:

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun


1954 Tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk.
b. Undang-Undang Nomor Tahun 1975 Tentang Perkawinan
c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor Tahun 1974,
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia,
f. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat,
g. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakať,
h. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah
Negara,
i. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
k. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
l. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
m. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
n. Yursiprudensi o. Qonun Acch

Adapun yang belum menjadi hukum tertulis adalah:

a. Kompilasi Hukum Islam,


b. b. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Jenis hukum materiil yang paling banyak digunakan oleh hakim sebagai dasar
pertimbangan putusan di Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam. Tetapi

7
Kompilasi Hukum Islam tersebut meskipun sudah ditulis tetapi belum merupakan
hukum tertulis karena Kompilasi Hukum Islam tidak ditetapkan oleh Negara.4

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara, seharusnya hukum materiil yang


digunakan adalah hukum yang dibentuk oleh Negara. Hal tersebut merupakan salah
satu problem hukum materiil di Peradilan Agama.5

2. Aparat Hukum Peradilan Agama

Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam lingkungan internal organisasi pengadilan ada


tiga jabatan yang bersifat fungsional yakni, hakim, panitera dan pegawai adminsitrasi
lainnya. Untuk lingkungan Peradilan Agama aparat peradilannya terdiri dari pejabat
fungsional dan pejabat struktural. Aparat peradilan agama yang terkait langsung
dengan bidang yudisial adalah hanya para pejabat fungsional yakni hakim, panitera
dan juru sita. Oleh karenanya yang akan penulis bahas dalam tulisan ini hanya
ketiga pejabat tersebut.

a. Hakim

Hakim menurut ketentuan pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang- undang. Istilah pejabat disini dipakai untuk
menegaskan status hukum hakim sebagai pejabat negara. Oleh karenanya tidak
boleh diberlakukan seperti pegawai negeri pada umumnya. Dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan: Hakim adalah pejabat yang
melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu wajar apabila undang-
undang menentukan syarat, pengangkatan, pemberhentian serta sumpah yang
sesuai dengan jabatan tersebut.

Mengenai persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi hakim
di Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
4
A.Hamid S.Attamimi, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional.” Dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, ed.
Amrullah Ahmad (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 153.

5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama
Jakarta Prenada Media, 2005), him 450

8
Ketentuan persyaratan tersebut sama dengan persyaratan menjadi hakim di
Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Hanya terdapat variasi
kecil dibidang disiplin kesarjanaan. Pada lingkungan Peradilan Umum dan Tata
Usaha Nagara, disyaratkan sarjana hukum atau sarjana yang memiliki keahlian di
bidang tata, usaha Negara. Sedang syarat kesarjanaan di Pengadilan Agama adalah
sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Syarat yang
paling berbeda dengan hakim di lingkungan peradilan lain adalah adanya syarat bagi
hakim Peradilan Agama harus beragama Islam. Pada peradilan lain, agama tidak
dijadikan sebagai syarat.6

Tentang syarat beragama Islam bagi hakim Pengadilan Agama, ada yang
beranggapan sebagai syarat yang mengandung cacat diskriminasi. Sebab dengan
syarat tersebut, hukum telah menutup pintu bagi yang non Islam untuk menjadi
hakim di lingkungan Peradilan Agama. Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, termasuk
Peradilan Negara. Dengan demikian Peradilan Agama adalah milik semua bangsa
tanpa kecuali. Wajar dan semestinya terbuka untuk setiap warga negara. Dari satu
segi pandangan tersebut memang benar, akan tetapi ditinjau dari sudut pendekatan
“kekhususan” yang didasarkan pada undang-undang. Peradilan Agama memiliki ciri
khusus yang sangat erat dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama faktor
personalitas ke-Islaman, kedua faktor hukum. Yang diterapkan, yakni khusus hukum
Islam.

Berdasarkan kedua faktor tersebut maka wajar jika orang yang akan
menegakkan hukum dalam Peradilan Agama disyaratkan beragama Islam.
Kemudian dari segi etika, rasanya janggal jika hukum yang akan diterapkan adalah
hukum Islam dan hukum tersebut akan diperlakukan bagi yang beragama Islam,
sedang Hakim yang menerapkan hukum itu tidak beragama Islam.

Syarat-syarat selengkapnya untuk menjadi hakim Pengadilan Agama adalah


sebagai berikut:

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi


6

(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 543 M.Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 117.

9
a. warga negara Indonesia,
b. beragama Islam,
c. bertakwa kepada Than Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar
d. Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
e. sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai
hukum Islam.
f. lulus pendidikan hakim,
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban,
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela,
i. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun, dan paling tinggi 45 (empat
puluh lima) tahun, dan
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Selain syarat ke-Islaman, tidak ada perbedaan dengan persyaratan hakim pada
umumnya, terutama di lingkungan Peradialn Umum dan Tata Usaha Negara. Semua
syarat yang ditentukan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,
merupakan syarat yang bersifat kumulatif. Semua harus terpenuhi, tidak boleh
kurang. Satu saja syarat tidak terpenuhi maka pengangkatan hakim menjadi batal.

Selanjutnya mengenai pengangkatan hakim. Pengangkatan yang dimaksud


dengan pengangkatan dalam tulisan ini adalah berhubungan dengan instansi yang
berwenang menetapkan pengangkatan hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 yang isinya sama dengan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian maka pengangkatan
hakim di Peradilan Agama sama persis dengan pengangkatan hakim di lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah satu
isyarat tentang kesamaam derajat antara semua lingkungan peradilan sebagai
peradilan negara.

Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berwenang


mengangkat hakim di Lingkungan Peradilan Agama ialah Presiden selaku kepala

10
Negara atas usulan Mahkamah Agung. Pengangkatan oleh Presiden dalam kualitas
kedudukan selaku Kepala Negara.

Dari prosedur tersebut, maka terlihat bahwa yang berwenang mengangkat


hakim melibatkan dua unsur aparat negara. Hal ini memperlihatkan betapa
terhormatnya kedudukan jabatan hakim. Sudah selayaknya para hakim menjunjung
tinggi kehormatan dan kepercayaan tersebut.

Berikutnya mengenai pemberhentian hakim. Mengenai pemberhentian hakim,


sama prosedurnya dengan pengangkatan hakim. Pemberhentian hakim dilakukan
oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.

Undang-undang mengenal dua macam jenis pemberhentian, yakni


pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Setiap
juenis pemberhentian didasarkan pada alasan-alasan tertentu.

1) Pemberhentian dengan hormat. Pemberhentian dengan hormat diatur dalam


Pasal 18 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Alasan pemebrehentian
hakim dari jabatannya dengan hormat adalah:
a) Atas permintaan sendiri secara tertulis; b) sakit jasmani atau rokhani
secara terus menerus;
b) Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi hakim Tingkat pertama
dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi hakim Pengadilan Tinggi Agama;
c) Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
2) Pemberhentian tidak dengan hormat.

Alasan pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang


Nomor 50 tahun2009. Alasan tersebut adalah:

a) Dipidana penjara karena bersalah melakukan kejahatan berdasarkan putusan


pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
b) melakukan perbuatan tercela;
c) Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus
selama 3 (tiga) bulan:
d) melanggar sumpah atau janji jabatan;
e) melanggar larangan sebagaimana dimaksud Pasal 17:

11
f) melanggar kode etik dan Pedoman Prilaku Hakim.

Larang bagi hakim menurut Pasal 17 adalah: (1) hakim tidak boleh merangkap
sebagai pelaksana putusan (2) hakim dilarang merangkap menjadi wali pengampu,
dan jabatan yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya. (3)
merangkap sebagai pengusaha, (4) tidak boleh merangkap sebagai penasehat
hukum.

Usul pemberhentian yang disebabkan hakim dipidana penjara diajukan oleh


Ketua Mahkamah Agung. Usul pemberhentian disebabkan hakim melakukan
perbuatan tercela diusulkan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial. Usul
pemberhentian disebabkan hakim melalaikan kewajiban, melanggar sumpah atau
janji jabatan dan melanggar larangan diajukan oleh Mahkamah Agung. Usul
pemberhentian yang disebabkan hakim melanggar kode etik dan pedoman prilaku
hakim diajukan oleh Komisi Yudisial.

Mengenai tata cara pemberhentian tidak dengan hormat terdapat ketentuan


bahwa sebelum Mahkamah Agung dan atau Komisi Yudisial mengajukan usul
pemberhentian, hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.

Hakim sebagai salah satu komponen Peradilan Agama bertugas untuk


memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama Tugas pokok hakim adalah: mengadili, memeriksa dan memutus
perkara yang yang dihadapkan kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi hakim
untuk menolak perkara dengan alasan hukumnya belum ada atau tidak jelas.

Ada tiga tahapan yang harus dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan
mengadili serta menjatuhkan putusan, yakni sebagai berikut:le

1) Tahap mengkonstatir.
Pada tahap ini. Hakim mengkonstatir atau melihat untuk menentukan ada
tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepada hakim. Untuk memastikan hal
tersebut, maka diperlukan pembuktian, dan oleh karena itu hakim harus
bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut hukum. Alat bukti dalam
perkara perdata diatur dalam pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg. Menurut pasal

12
tersebut alat bukti terdiri dari bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan
dan sumpah.
2) Tahap mengkualifikasi
Pada tahap ini hakim mengkualifisir dengan menilai peristiwa kongret
yang telah dianggap benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum apa
atau hubungan yang bagaimana atau menemukan hukum untuk peristiwa-
peristiwa tersebut. Dengan kata laian mengkwalifisir berarti mengelompokan
atau menggolongkan peristiwa kongkret tersebut masuk dalam kelompok atau
golongan peristiwa hukum.

Jika peristiwanya sudah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas,
maka penerapan hukumnya akan mudah, tetapi jika hukumnya tidak jelas
atau tidak tegus hukumnya maka hakim bukan lagi harus menemukan
hukumnya saja, tetapi lebih dari itu hakim haris menciptakan hukum, yang
tentu saja tidak boleh bertentangan dengan keseluruhan sistem hukum
perundang- undngan dan memenuhi pandangan serta kebutuhan
masyarakat.7

3) Tahap mengkonstituir

Pada tahap ini, hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa tersebut


dan memberi keadilan pada para pihak yang bersangkutan. Keadilan yang
diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intlektualitas hakim, tetapi
merupakan semangat hakim itu sendiri.

Dalam mengadili suatu perkara, hakim harus menentukan hukumnya in


konreto terhadap peristiwa tertentu sehingga putusan hakim tersebut dapat
menjadi hukum (judge) made law). Disini hakim menggunakan silogisme, yaitu
menarik suatu kesimpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya dan
premis minor berupa perbuatan atau tindakan. Sebagai konklusinya adalah
hukumannya.

7
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 100 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum
Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 92-94

13
Problem hakim dalam melaksanakan tugas adalah masih banyaknya hakim
yang tidak mau berfikir falsafati, hakim hanya memahami teks-teks hukum yang
nomatif, hakim tidak memperhatikan filsafat hukum yang melatari dan. Menjadi
inti dari adanya hukum tersebut, yakni keadilan,

b). Panitera

Kedudukan Panitera merupakan unsur pembantu ketua dan bertanggungjawab


atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya
perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang
disimpan di Kepaniteraan, membuat salinan putusan. Menerima dan mengirimkan
berkas perkara, melaksanakan eksekusi putusan perkara perdata yang
diperintahkan oleh Ketua Pengadilan dalam jangka waktu yang ditentukan

Panitera adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan fungsional


sebagai administratur perkara yang bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk
menjaga kerahasiaan setiap perkara.

1) Fungsi Panitera

Pada prinsipnya managemen peradilan di Indonesia dipimpin oleh seorang panitera.


Oleh karena itu seorang panitera harus mampu menjalankan fungsi managerial dan
fungsi operatif. Fungsi managerial mengatur semua kegiatan dan keikutsertaan
karyawan dalam kegiatan organisasi. Sedangkan fungsi operatif menentukan jumlah
dan mutu tenaga kerja sesuai dengan Kebutuhan untuk mencapai tujuan organisasi.

Fungsi Panitera pada dasarnya mencakup lima hal:

a) Menyusun kegiatan administrasi perkara serta melaksanakan kordinasi dan


sinkronisasi yang berkaitan dengan persidangan.
b) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara, administrasi keuangan
perkara dan administrasi pelaksanaan putusan perkara perdata.
c) Menyusun stastistik perkara, dokumentasi perkara, laporan perkara dan
yurisprudensi
d) Lain-lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2). Tugas Panitera

14
Tugas Panitera sesuai dengan ketentuan Pasal 98 Undang- Undang Nomor
50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, adalah sebagai berikut: (1)
melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan, (2) membuat daftar semua
perkara yang diterima di kepanitraan, (3) membuat salinan atau turunan
penetapan atau putusan Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tugas lain seorang panitera adalah membantu hakim
dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.””

Berdasarkan uraian tersebut maka tugas Panitera secara lebih rinci adalah sebagai
berikut:

a) Tugas Panitera Bidang Persidangan


Tugas dalam sidang, Panitera bertugas mengikuti dan mencatat jalannya
persidangan. Panitera yang berhalangan untuk mengikuti persidangan dapat
diganti oleh seorang Panitera Pengganti. Sebagai pejabat yang mengikuti dan
mencatat jalannya persidangan Panitera Pengganti tidak berada di lini
komando Panitera, akan tetapi akan melaksanakan perintah Hakim/Majelis
Hakim yang bersidang

Adapun tugas-tugas penitera di bidang persidangan meliputi hal-hal sebagai


berikut:

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panitera Pengadilan. Tugas. Fungsi, Dan


Tanggung Jawab (Jakarta: Mahkamah Agung, 2007), hlm. 19. 20 Direktorat Jenderal
Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pembinaan
Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007), hlm. 34:

(1) Membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang


pengadilan.
(2) Menyusun berita acara persidangan.
(3) Memberitahukan putusan verstek dan putusan di luar hadir.
(4) Melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti dalam persidangan
(5) Mengirimkn berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi dan
peninjauan kembali.

15
b) Tugas Panitera Bidang Eksekusi
Sebagai pejabat yang melaksanakan eksekusi perkara perdata, Panitera
hanya mempunyai hubungan dengan Ketua Pengadilan untuk melaksnakan
perintah yang diwujudkan dalam bentuk penetapan Ketua Pengadilan, dan
dalam hal Panitera berhalangan maka akan diganti oleh Juru Sita.. Dalam hal
ini Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan.

Tugas Panitera dalam bidang eksekusi diatur dalam Pasal 98 Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1989. Untuk melaksanakan putusan pengadilan ekseksui
Panitera harus memperhatikan asas-asas eksekusi 2¹

c) Juru Sita

Ketentuan mengenai syarat-syarat juru sita diatur dalam pasal 39 UU Nomor 50


Tahun 2009, yakni:
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam 
c. Bertakwa Kepada Tuhan YME 
d. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
e. Berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) 
f. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai juru sita pengganti

Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya juru sita dan juru sita
pengganti Tugas Juru Sita sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

(1) Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang.


(2) Menyampaikan pengumuman, teguran, dan pemberitahuan putusan
Pengadilan berdasarkan Ketentuan undang-undang.
(3) Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan.
(4) Membuat berita acara, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan.8

8
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, Dan
Tanggung Jawab, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2007), hlm, 40

16
Juru sita berwenang untuk melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan
Agama dimana Juru Sita tersebut bertugas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 103
ayat 2 Undang- Undang Nomor 7 tahun 1989. Dengan demikian ketika Juru Sita
harus memanggil orang yang berada di wilayah luar Pengadilan Agama dimana dia
bertugas, maka ia harus minta bantuan ke juru sita Pengadilan Agama wilayah
lain.Prosedur yang sperti ini akan memakan waktu yang cukup lama sehingga akan
menghambat penyelesaian perkara.

Juru Sita/Jurusita pengganti dalam kontek kelembagaan bertanggung jawab


kepada Ketua Pengadilan Agama, sedangkan secara administratif Juru Sita/Juru
Sita Pengganti bertanggung jawab kepada Panitera. Hal tersebut diatur dalam Pasal
8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
KMA/055/SK/X/1996 yang menentukan sebagai berikut:

(1) Dalam hal ditunjuk melakukan ekseksusi Juru Sita atau Juru Sita
Pengganti bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan.
(2) Dalam hal melaksanakan perintah pemanggilan/penyampaian
pengumuman, teguran, protes-protes dan pemberitahuan, Juru Sita
atau Juru Sita Pengganti bertanggung jawab kepada Ketua
Pengadilan Ketua Sidang Dalam hal melakukan sita, Juru Sita atau
Juru Sita Pengganti bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan
Ketua Sidang.

D. Proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan Agama

1. Pengajuan Perkara di Kepaniteraan


Berdasarkan ketentuan HIR dan RBg, pengajuan perkara dilakukan secara
tertulis dan dapat pula dilakukan secara lisan bagi yang tidak bisa baca tulis
atau bagi orang yang tidak memiliki keahlian untuk membuatnya secara
tertulis. Dan dalam mengajukan perkara pengadilan berwenang memberi
nasihat dan bantuan kepada pihak dalam mengajukan perkara, mengenai
bagaimana mengajukan dan mengformulasi suatu tuntutan hak.”

17
Surat gugatan permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke
Kepaniteraan Peradilan Agama. Surat gugatan diajukan pada Sub Kepaniteraan
Gugatan. Sedang permohonan pada Sub Kepaniteraan Permohonan. Sesuai
9
dengan asas hukum acara Peradilan Agama, “Berperkara harus dengan biaya”.
Maka Pemohon atau Penggugat harus membayar biaya panjar perkara. Besarnya
panjar biaya perkara berdasarkjan penaksiran yang dilakukan oleh petugas
kepaniteraan. Hasil penaksiran tersebut dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar.

Sewaktu kepaniteraan Pengadilan Agama menerima berkas, surat gugatan atau


permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut dua Hal:

a. Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar tidak tukar
balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang petitanya,
apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita dan sebagainya,
b. Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik
kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut.”
Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan pasal 193 R.Bg/pasal 182 ayat
(1) HIR/pasal 90 ayat (1) UU-PA, meliputi:
a. Biaya Kepaniteraan dan biaya materai.
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan Hakim yang lain.
d. Biaya panggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang
berkenaan dengan perkara itu.

Biaya yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (Cuma-
Cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan
dari Lurah Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Perkara prodeo
didaftarkan setelah mendapatkan surat penetapan bahwa perkara yang diajukan
adalah perkara prodeo.”

9
Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta PT Rajagrafinda
Persada 2015) hlm. 10

18
2. Pembayaran Panjar Biaya Perkara
Calon penggugat/pemohon kemudian menghadap kepada Kasir dengan
menyerahkan surat gugat permohonan tersebut dan SKUM. Ia membayar panjar
biaya perkara sesuai dengan yang tertera pada SKUM tersebut. Kasit Kemudian:
a. Menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara.
b. Menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada SKUM
tersebut.
c. Mengembalikan surat gugat/permohonan dan SKUM kepada calon penggugat
pemohon. 10
d. Menyerahkan uang panjar tersebut kepada Bendaharawan perkara.
3. Pendaftaran Perkara
Calon penggugat/pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan
menyerahkan Surat Gugatan/Permohonan dan SKUM yang telah dibayar tersebut.
Kemudian Meja II:
a. Memberi nomor pada Surat Gugatan/Permohonan sesuai dengan nomor
yang diberikan oleh Kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka petugas
Meja II membubuhkan paraf.
b. Menyerahkan satu lembar surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar
bersama satu helai SKUM kepada penggugat/pemohon.
c. Mencatat Surat Gugatan/Permohonan tersebut pada Buku Register Induk
Perkara Permohonan atau Register Induk Perkara Gugatan sesuai
dengan jenis perkaranya.
d. Memasukkan Surat Gugatan/Permohonan tersebut dalam Map Berkas
Perkara dan menyerahkan kepada Wakil Panitera untuk disampaikan
kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.

10
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-
surat Dalam Praktik Hukum Acura di Peradilan Agama (Bandung Mandar Maju,
2018) hlm. 115. Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh
al-Qadha (Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2013).

19
BAB III

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Peradilan Agama adalah peradilan khusus bagi orang-orang yang beragama
islam dan mengadili perkara-perkara tertentu (pasal 2).
2. Proses Pendaftaran perkara di Pengadilan Agama
a. Pengajuan perkara di Kepaniteraan
b. Pembayaran Panjar Biaya Perkara
c. Pendaftaran Perkara

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan


di kotamadya atau Ibukota kabupaten dan mempunyai daerah hukum meliputi
wilayah kotamadya atau kabupaten tersebut. Sedangkan pengadilan Tinggi Agama
berkedudukan di ibukota provinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi
yang bersangkutan.
Berdasarkan perintah Hakim Ketua Majelis didalam PHS. Jurusita/jurusita
pengganti melaksanakan pemanggilan kepada para pihak supaya hadir
dipersidangan pada hati, tanggal dan jam sebagaimana tersebut dalam PHS
ditempat persidangan yeng telah ditetapkan.

Tata cara pemanggilan diataur dlam pasal 390 jo pasal 389 dan 122 HIR atau diatur
dalam pasal 26 sampai 28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979.. b. Aturan
Pemanggilan Khusus

B. Saran

Sebagai warga negara Indonesia yang bermasyarakatr dan berorganisasi


perlu memahami sekaligus mengaplikasikan ilmu hukum yang didapat dari
pembahasan formal maupun informal. Terkhusus kita bagi seorang mahasiswa
maupun mahasiswi dianjurkan dan diharapkan oleh para pemimpin negeri ini untuk
dapat menjadi generasi milenial yang dapat berfikir secara instan tidak hanya
memakai secara instan disemua segi kehidupan bermasyarakat mauoun bernegara.
Karena bernegara membutuhkan korelasi yang baik antara pemimpin negara

20
dengan yang dipimpin yaitu masyarakat, maka tanggap dengan positif dan
berperilaku sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengkritisi pemerintah dengan
terstruktur dan baik. Menjadi WNI yang tanggap dan peduli akan kemakmuran
negara dan masyarakat didalamnya

1. Agar pelaksanaan Administrasi Peradilan di Peradilan Agama dapat dipercaya


oleh masyarakat sebaiknya menerapkan asas administrative self
regulation sesuai dengan yang dikemukakan oleh M.E Dimock L.W Koenig
2.  Sebaiknya proses perekrutan pegawai yang ada dalam lingkup Peradilan
Agama dilaksanakan pada sistem karier sehingga Peradilan Agama dapat
menjadi organisasi yang ideal dan menjadikan aparat penegak hukum yang
bersih, transparan dan akuntabel

21
DAFTAR PUSTAKA

http://lispedia.blogspot.com/2011/03/makalah-sistem-peradilan-agama-di.html (Diaks
es pada hari Kamis, 3 Oktober 2013 pada pukul 12.22 WIB)

http://insanulahsan.blogspot.com/2013/06/susunan-badan-peradilan-agama.html 
(Diakses pada hari Selasa, 8 Oktober 2013 Pukul 10.57 WIB)

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah, Konsep dan Praktik di


Pengadilan Agama

Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta PT Rajagrafinda


Persada 2015

M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta:


Sinar Grafika, 2007

Pengadilan Agama Erfaniah Zuhriah. Peradilan Agama Indonesia Sejarah, Konsep


dan Praktik di Pengadilan Agama, cet ke 2. Setara Press, Malang 2016

Abdullah Tri Wahyudi. Peradilan Agama di Indonesia(Yogyakarta: Pustaka


Pelajar,2004

iii

Anda mungkin juga menyukai