Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

GUGATAN, PERMOHONAN, DAN PEMERIKSAAN PERKARA DI


PENGADILAN AGAMA

Dosen Pengampu: Dr. Dahlil Marjon, S.H., M.H.

Anggota kelompok 2 :

1. Amelia Azira 2210111012


2. Imelda Wahyuni 2210111030
3. Naura Fatina 2210111035

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatan atas kehadirat ALLAH SWT Tuhan Yang Maha
Kuasa yang telah memberikan rahmat dan hidayatnya kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah “Gugatan, Permohonan, dan
Pemeriksaan Perkara di Pengadilan Agama” ini dengan sebaik mungkin.
Kami dari kelompok dua mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr.
Dahlil Marjon, SH., MH selaku Dosen Hukum Acara Peradilan Agama, yang telah
membimbing dan mengarahkan kami dalam penyusunan makalah ini. Demikian
juga, kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
memberikan masukan dan ide selama kami mengerjakan makalah ini. Makalah
ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
semester 4.
Kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar kami dapat menyusun makalah yang lebih
baik di lain waktu.
Kami berharap dengan disusunnya makalah ini maka dapat dipahami
serta menjadi manfaat bagi para pembaca.

Kelompok 2

Padang, Maret 2024

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 ...............................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................2
BAB II ..............................................................................................................3
PEMBAHASAN ...................................................................................................3
A. Pengertian dan Kewenangan Peradilan Agama Mengenai Gugatan dan
Permohonan .................................................................................................3
B. Proses Pembuatan Permohonan dan Gugatan ..........................................7
C. Prosedur Pengajuan Gugatan dan Permohonan .......................................8
D. Pengertian Pemeriksaan dan Sidang Pertama Pengadilan Agama ..............9
E. Prosedur dan Tahapan Pemeriksaan Peradilan Agama 10
BAB III ........................................................................................................... 15
PENUTUP ....................................................................................................... 15
A. Kesimpulan .......................................................................................... 15
DAFTAR KEPUSTAKAAN .................................................................................. 17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk
mencari keadilan atau menyelesaikan perkara- perkara tertentu bagi orang-
orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan peradilan yang
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, bersama lingkungan peradilan
umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, berada di bawah
Mahkamah Agung (Pasal 24 UUD 1945, Pasal 18 UU No.48 Tahun
2009). Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam (Pasal 1 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989), merupakan salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dengan Undang-Undang
(Pasal 2 UU No, 3 Tahun 2006). Peradilan Agama dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 3 ayat 1 UU No.7
Tahun 1989).
Di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum dalam
konteks sistem penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang
sangat penting dalam mewujudkan suasana kehidupan yang
aman,tenteram, dan tertib. Salah satu lembaga untuk menegakkan
hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, yang masing-masing
mempunyai lingkupkewenangan mengadili perkara atau sengketa di
bidang tertentu dan salah satunya adalah Peradilan Agama.

1
Dalam menghadapi masalah perdata seseorang yang menghadapi
masalah bisa mengajukan surat gugatan perdata kepada pengadilan
setempat (Pengadilan Agama). Masyarakat yang mempunyai permasalahan
atau sengketa mengenai sesuatu yang berkaitan dengan
wewenang Pengadilan Agama dapat mengajukan gugatan atau permohonan
terhadap persoalan yang akan dijadikan sengketa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan kewenangan peradilan agama mengenai gugatan dan
permohonan?
2. Bagaimana proses pembuatan permohonan dan gugatan?
3. Bagaimana proses pengajuan gugatan dan permohonan?
4. Apa pengertian dan sidang pertama tahap pemeriksaan di peradilan
agama?
5. Bagaimana prosedur dan tahap pemeriksaan di peradilan agama?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kewenangan Peradilan Agama Mengenai Gugatan


dan Permohonan
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang
sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara
perdata Islam tertentu, bagi orang-orang islam di Indonesia.1 Dalam Undang-
undang diatur susunan, kekuasaan hukum acara, dan kedudukan hakim serta
segi-segi administrasi pada peradilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh
pengadilan agama dan oleh pengadilan tinggi agama. Pengadilan agama
berkedudukan di ibukota kabupaten, kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi, peradilan agama berwenang memeriiksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama
islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengadilan
tinggi agama merupakan pengadilan tingkat Banding yang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan
agama dan merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakir mengedai
sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan agama di daerah
hukumnya.2
Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan negara maupun dari syariat islam yang mengatur bagaimana cara
bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya,
untuk mewujudkan hukum material islam yang menjadi kekuasaan peradilan
Agama.

1Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (PT RajaGrafindo Persada), Hlm 6.
2Dr. Sudirman L, M.H. 2021, Hukum Acara Peradilan Agama, Parepare, IAIN Parepare Nusantara
Pers, Hlm. 5-6

3
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam pada pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menjadi kewenangan dari pengadilan
agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang :
a) Perkawinan
b) Waris
c) Wasiat
d) Hibah
e) Wakaf
f) Zakat
g) Infaq
h) Shadaqah
i) Ekonomi syariah
Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945
adalah diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
terakhir kalinya dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang dalam
Pasal 2 menegaskan bahwa peradilan agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang undang.
Selanjutnya dalam 2 Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama.

4
Pengertian peradilan dan pengadilan, bahwa Peradilan adalah tugas
atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang dibebankan kepada
pengadilan. Lalu Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan
tugas dan fungsi peradilan tersebut.3 Peradilan Agama juga adalah salah
satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus
karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan
mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur 0rganisasi Peradilan
Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara
langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat pertama dan
banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara- antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur
dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Fungsi
peradilan agama antara lain Fungsi mengadili (judicial power), Fungsi
pembinaan Fungsi pengawasan, Fungsi nasehat, Fungsi administrative dan
fungsi lainnya melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan
rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam
dan lain-lain, serta pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian
dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam era keterbukaan dan Transparansi Informasi Peradilan, sepanjang
diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Kewenangan relatif atau relative competentie adalah kekuasaan dan
wewenangan yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan yang sama
atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antara Pengadilan
Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya antara Pengadilan
Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor.
1. Kewenangan relatif perkara gugatan

3 Hartono 1997, Peradilan dan Pengadilan, Jakarta, Hlm. 95

5
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke pengadilan yang
wilayah hukumnya meliputi:
a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi
wilayah kediaman tergugat.
b. Bila tergugat lebih dari satu orang, maka gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang wilayah hukumnya mengikuti tempat tinggal
penggugat.
c. Bila tempat tinggal tergugat tidal di ketahui maka gugatan diajukan ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
penggugat.
d. Bila objek perkara benda tidal bergerak maka gugatan diajukan ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak
bergerak tersebut.
e. Bila suatu akta tertulis domisili pilihan, gugatan diajukan ke
pengadilan yang domisilinya dipilih.
Terdapat beberapa pengeculian kewenangan relative perkara
gugatan pada Pengadilan Agama diantaranya permohonan cerai talak
yang diatur dalam pasal 66 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989 dan perkara
gugat cerai yang diatur dalam dalam pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989.
2. Kewenangan relatif perkara pemohonan
Adapun kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu dalam
UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut:
a. Izin poligami diajukan di Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi kediamannya pemohon.
b. Permohonan dispensasi pernikahan yang salah satu calon mempelai
atau keduannya belum cukup umur.
c. Permohonan pencegahan perkawinan di ajukan ke Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya
pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.

6
Kewenangan absolut atau absolute competentie adalah kekuasaan
yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan
pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama yaitu
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di
kalangan golongan rakyat tertentu (orang yang beragama Islam).
Kekuasaan absolute Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7
Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006.4

B. Proses Pembuatan Permohonan dan Gugatan


Peradilan Agama memiliki peranan penting dalam masalah hukum
yang terkait di Negara ini salah satunya dalam menangani masalah perdata.
Jika tidak ada Peradilan Agama entah apa yang terjadi dengan suatu negara
tersebut, yang jelas pemerintahan yang berjalan tidak akan seimbang. Akan
banyak sekali kekacauan yang terjadi dan tidak akan bisa dikondisikan
dengan waktu yang singkat. Dalam suatu perkara tentunya ada dua pihak
yang saling menggugat dan di gugat serta ada yang meminta haknya atau
pemohon yang sering kita dengar dengan istillah permohonan. Dalam
menghadapi masalah perdata seseorang yang menghadapi masalah bisa
mengajukan surat gugatan perdata kepada pengadilan setempat (Pengadilan
Agama).5
Gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau kuasanya
dan bagi yang buta huruf dapat mengajukan secara lesan. Surat gugatan
harus memuat diantaranya:
1. Identitas para pihak (nama lengkap, gelar, alias, julukan, bin atau binti,
umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai
penggugat atau tergugat),
2. Posita atau position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi
antara dua belah pihak) dan
3. petita atau petitum (isi tuntutan).6

4Dr. Sudirman L, M.H. 2021, Hukum Acara Peradilan Agama, Parepare, IAIN Parepare Nusantara
Pers, Hlm.32-34

5 Dr. Sudirman L, M.H. 2021, Hukum Acara Peradilan Agama, Parepare, IAIN Parepare Nusantara
Pers, Hlm. 28
6 Abdullah Tri Wahyuni, Op. Cit, Hlm. 93.

7
Sedangkan untuk surat permohonan tidak jauh beda dengan isi dari
surat gugatan yaitu identitas, petita, dan posita. Hanya saja pada surat
permohonan tidal dijumpai kalimat “berlawanan dengan”, “duduk
perkaranya”, dan “permintaan membayar biaya perkara kepada pihak lain”.
Kelengkapan dari surat gugatan atau surat permohonan diantaranya:
1. surat permohonan atau gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf
yang manamenyampaikan ke pada kuasanya atau pada pengadilan
agama ke ketua hakim seperti pada kasus gugatan cerai. Surat gugatan
atu surat permohonan yang di buat sendiri atau lewat kuasanya di
tunjukan ke pengadilan yang berwenang.
2. Foto copy identitas seperti KTP.
3. Vorschot biaya perkara dan bagi yang miskin dapat mengajukan
dispensasi biaya dengan membawa surat keterangan miskin dari
kelurahan atau kecamatan.
4. Surat keterangan kematian untuk perkara waris.
5. Surat izin dari komandan bagi TNI atau POLRI, surat izin atasan bagi PNS
(untuk perkara poligami)
6. Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara
poligami)
7. Surat keterangan penghasilan (untuk perkara poligami)
8. Salinan atau foto copy akta nikah (untuk perkara gugat cerai,
permohonan cerai, gugatan nafkah,istri, dan lain-lain).
9. Salinan atau foto copy akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan
tentang mut’ah).
10. Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan.

C. Prosedur Pengajuan Gugatan dan Permohonan


Gugatan atau permohonan di daftarkan ke kepanitraan pengadilan
agama yang berwenang memeriksa dan selanjutnya membayar pajak biaya
perkara. Dalam hukum acara Peradilan Agama yang mengenai perkara
perkawinanan biaya perkaranya dibebankan kepada Penggugat atau
pemohon. Biaya perkaranya diantaranya:
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.

8
2. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan
sumpah.
3. Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang diperlukan
pengadilan.
4. Biaya panggilan, pemberitahuan, dan lain-lain.
Panjar biaya perkara dibayar saat mendaftarkan perkara. Besarnya
biaya perkara berdasarkan penaksiran oleh petugas kepaniteraan yang
ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama. Dan hasilnya akan di tuangkan dalam
SKUM.7

D. Pengertian Pemeriksaan dan Sidang Pertama Peradilan Agama


Berdasarkan pasal 55 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama menyatakan bahwa: “Tiap pemeriksaan perkara di
Pengadilan dimuali sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan
dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang
berlaku.”
Dalam tahap pemeriksaan gugatan dan permohonan, pada hari
sidang telah ditentukan apabila satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir
maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada
yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan
yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi. Dalam praktek
pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila:
1. Penggugat tidak hadir maka gugatan gugur. Tergugat tidak hadir maka
pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa
hadirnya pihak tergugat.
2. Apabila terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir,
pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak
menggunakan haknya untuk membela diri.
3. Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai
dengan hukum yang berlaku.8

7Ibid, Hlm. 93
8H. A. Mukti Arto, 2008, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, hlm. 60

9
Oleh karena itu, sidang pertama harus jelas, apa maksud atau artinya,
supaya tidak salah, misalnya dalam 4 hal disebutkan di atas tadi. Sidang
pertama ialah sidang yang ditunjuk/ditetapkan menurut yang tertera dalam
penetapan hari sidang (PHS) yang ditetapkan oleh ketua majelis, atau dapat
juga diartikan sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat
panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat.

E. Prosedur dan Tahapan Pemeriksaan Peradilan Agama


1. Pencabutan dan perubahan gugatan
Pencabutan gugatn sendiri terjadi apabila pihak penggugat
mencabut gugatan sewaktu atau selama proses pemeriksaan
berlangsung. Pencabutan gugatan ini boleh dilakukan dengan sendiri
dalam perkara yang penggugatnya sendiri.9 Namun dengan catatan
apabila penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang mencabutnya
dan ada yang tidak mencabut maka pencabutan hanya berlaku pada yang
mencabutnya saja, sedangkan perkara masih tetap jalan.10
Perubahan gugatan menurut pasal 127 Rv perubahan gugatan
diperbolahkan sepanjang pemeriksaan perkara, asalkan tidak mengubah
atau menambah pokok tuntutan maupun petitumnya.11
2. Mediasi
Mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi,
yang menengahinya dinamakan mediator.
3. Pembacaan Gugatan
Setelah anjuran damai kepada para pihak yang bersengketa telah
dilaksanakan oleh Majelis Hakim, tetapi tidak berhasil maka langkah
selanjutnya adalah membacakan surat gugatan yang diajukan oleh
penggugat. Pembaca surat gugatan itu dilaksanakan dalam sidang

9 M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata(Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian


dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 81
10 Roihan A. Rasyid, 1991, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, CV. Rajawali, hlm.112
11 Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 76

10
terbuka untuk umum, kecuali dalam persidangan perceraian Majelis
Hakim harus membacanya dalam sidang tertutup untuk umum.12
Sebelum dibacakan gugatan, hakim menanyakan kepada
penggugat apakah ada perubahan gugatan atau tidak kalau ada maka
sidang ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau
perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan
yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil. Apabila
ternyata tidak ada perubahan gugatan maka persidangan dilanjutkan
dengan pembacaan gugatan.13
4. Jawaban Tergugat, Ekspesi, dan Rekonvensi
Setalah pembacaan gugatan maka kesempatan berikutnya
diberikan kepada tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Jawaban
tergugat sedapat mungkin menjawab seluruh dalil gugatan yang diajukan
penggugat dalam gugatannya.
a. Jawaban gugatan
Jawaban tergugat meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara disebut
ekspesi atau tangkisan
b) Jawaban yang mengenai pokok perkara, jawaban mengenai pokok
perkara berupa: Pengakuan, bantahan, dan referte.
b. Ekspesi
Ekspesi adalah jawaban tergugat yang tidak mengenai pokok perkara.
c. Rekovensi
Rekonvensi disebut juga gugat balik atau gugatan balasan. Yaitu
gugatan yang diajukan oleh tergugat kepada penggugat di dalam
proses pemeriksaan yang sedang berlangsung. Rekovensi diajukan
bersama-sama dengan jawaban, rekovensi yang diajukan setelah
jawaban maka rekovensinya tidak dapat diterima.14
5. Replik

12 Abdul Manan, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta, Kencana, hlm. 216
13 Abdullah Tri Wahyudi, 2014, Hukum Acara Peradilan Agama di Lengkapi Contoh Surat-surat

dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandar Maju, 2014 hlm. 123
14 Ibid, hlm. 127-130

11
Setelah tergugat mengajukan jawaban gugatan maka kesempatan
diberikan kepada penggugat untuk mengajukan replik. Dalam replik ini
penggugat menjawab dalil-dalil jawaban yang diberikan oleh tergugat
dalam jawabannya dan biasanya dalam replik penggugat berusaha
mempertahankan dalil-dalil gugatannya.15
6. Duplik
Setelah penggugat mengajukan replik maka kesempatan diberikan
kepada tergugat untuk mengajukan duplik. Dalam duplik ini penggugat
menjawab seluruh dalil-dalil jawaban yang diberikan oleh tergugat dalam
jawabannya dan biasanya dalam replik penggugat berusaha
mempertahankan dalil-dalil gugatannya.16
7. Pemeriksaan Bukti Surat
Setelah proses jawab-menjawab selesai maka pemeriksaan
perkara dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti surat. Penggugat diberikan
kesempatan terlebih dahulu untuk mengajukan bukti surat guna
mempertahankan dalil-dalil gugatannya dan mematahkan dalil-dalil
jawaban tergugat. Setelah penggugat sudah tidak mengajukan bukti
surat lagi, maka kesempatan diberikan kepada tergugat untuk
mengajukan bukti surat.17
8. Pemeriksaan Saksi
Setelah semua pemeriksaan bukti surat penggugat dan tergugat
selesai maka pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Dalam
pemeriksaan saksi, yang diberi kesempatan mengajukan saksi adalah
pihak penggugat. Selanjutnya apabila semua saksi dari penggugat sudah
diperiksa dan sudah tidak lagi mengajukan saksi maka kesempatan
diberikan kepada tergugat untuk mengajukan saksi-saksinya ke dalam
persidangan.18
9. Pemeriksaan Saksi Ahli
Keterangan ahli dapat diminta oleh para pihak yang berperkara
atau atas perintah hakim karena jabatannya. Keterangan ahli bertujuan

15Abdullah Tri Wahyudi, 2018, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat
dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung, Mandar Maju, hlm. 138
16 Ibid, hlm. 145
17 Ibid, hlm. 149
18 Ibid, hlm. 152

12
untuk dapat membuat jelas atau terang suatu perkara yang sedang
diperiksa. Keterangan ahli tidak mengikat pada hakim yang memeriksa
perkara kalau keterangannya berlawanan dengan keyakinan hakim.
10. Pemeriksaan setempat
Dalam suatu pemeriksaan perkara hakim karena jabatannya dapat
melakukan pemeriksaan diluar sidang terhadap keadaan barang atau
benda yang tidak dimungkinkan dibawa ke persidangan pengadilan.
Pemeriksaan setempat bertujuan untuk meyakinkan hakim terhadap
keterangan, keadaan, dan peristiwaa yang menjadi sengketa (Pasal 153
HIR)
11. Kesimpulan
Setelah proses persidangan seluruhnya selesai maka masing-
masing pihak diberi kesempatan untuk mengajukan kesimpulan.
Kesimpulan ini sifatnya tidak wajib, masing-masing pihak boleh
mengajukan kesimpulan dan diperbolehkan pula apabila tidak
mengajukan kesimpulan.
12. Penetapan/Putusan
a. Penetapan
Penetapan bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan
atau suatu status tertentu bagi diri pemohon. Amar
putusan dalam penetapan bersifat declaratoir yaitu
menetapkan atau menerangkan saja. Penetapan
mengikat pada diri pemohon dan penetapan tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial.19
b. Putusan
Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara
gugatan berdasarkan adanya sengeta. Putusan
mengikat kepada kedua belah pihak. Putusan
mempunyai kekuatan pembuktian sehingga putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
dilaksanakan eksekusi.20

19 M. Yahya Harapah, 1997, Kedudukan dan Kewenangan Acara Peradilan Agama:


Undang-undang No7-th 1989, Jakarta, Pustaka Terkini, hlm. 342
20 Abdullah Tri Wahyudi, Op. Cit, hlm. 161

13
Putusan harus diucapkan di dalam persidangan yang
terbuka untuk umum. Dengan adanya putusan yang
diucapkan oleh majelis hakim berarti telah mengakhiri
suatu perkara atau sengketa para pihak karena
ditetapkan hukumnya siapa yang benar dan siapa yang
tidak benar.21
13. Isi putusan
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal-
hal sebagai berikut:22
a. Kepala putusan
b. Nama Pengadilan dan jenis perkara
c. Identitas para pihak
d. Duduk perkara
e. Pertimbangan hukum
f. Amar putusan
g. Penutup

21 Ibid, hlm 163.


22 M. Yahya Harapah, Op. Cit, hlm. 350-353

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara
Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang
dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang islam di
Indonesia. Pengadilan agama berwenang memeriiksa, mengadili,
memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama
islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam proses pembuatannya, Gugatan harus diajukan secara
tertulis oleh penggugat atau kuasanya dan bagi yang buta huruf dapat
mengajukan secara lesan. Surat gugatan harus memuat identitas para
pihak, hubungan hukum yang terjadi antara dua belah pihak (posita), dan
isi tuntutan (petita). Sedangkan untuk surat permohonan tidak jauh beda
dengan isi dari surat gugatan yaitu identitas, petita, dan posita. Hanya
saja pada surat permohonan tidal dijumpai kalimat “berlawanan dengan”,
“duduk perkaranya”, dan “permintaan membayar biaya perkara kepada
pihak lain”
Dalama prosedur pengajuan gugatan atau permohonan, perlu di
daftarkan ke kepanitraan pengadilan agama yang berwenang memeriksa
dan selanjutnya membayar pajak biaya perkara. Dalam hukum acara
Peradilan Agama yang mengenai perkara perkawinanan biaya perkaranya
dibebankan kepada Penggugat atau pemohon.
Dalam tahap pemeriksaan gugatan dan permohonan, pada hari
sidang telah ditentukan apabila satu pihak atau kedua belah pihak tidak
hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya
kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa
dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi. Sidang
pertama yaitu sidang yang akan dimulai pertama kali menurut surat
panggilan yang disampaikan kepada penggugat/tergugat.
Prosedur dan tahapan pemeriksaan di peradilan agama dimulai
dari pencabutan dan perubabhan gugatan, kemudian mediasi,
pembacaan gugatan, jawaban tergugat, eksepsi, rekovensi, replik, duplik,

15
pemeriksaan bukti surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan saksi ahli,
pemeriksaan setempat, kesimpulan hingga penetapan/putusan serta isi
putusan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Arrto, H. A. Mukti. 2008. Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama.


Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Harapah, M. Yahya. 1997. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama:
Undang-undang No 7 –Th 1989. Jakarta: Pustaka Kartini.
Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika.
Hartono. 1997. Peradilan dan Pengadilan. Jakarta
Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana.
Mertokusumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
M. H., Sudirman L. 2021. Hukum Acara Peradilan Agama. Parepare. IAIN Parepare
Nusantara Pers.
Rasyid, Roihan A. 2013. Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru). Jakarta:
Rajawali Pers.
Wahyudi, Tri Abdullah. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh
Surat-surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. Bandung:
Mandar Maju
Wahyudi, Tri Abdullah. 2004. Hukum Acara Peradilan Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Wahyudi, Tri Abdullah. 2014. Peradilan Agama di Indonesia Dilengkapi Contoh Surat-
surat dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. Bandung: Mandar
Maju

17

Anda mungkin juga menyukai