Anda di halaman 1dari 15

KEDUDUKAN DAN SUSUNAN PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN

AGAMA DI INDONESIA

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Peradilan Islam dan Peradilan Agama di Indonesia
Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Hasan Sebyar, S.H.I., M.H

Disusun Oleh:
Kelompok III:
ZULFAHMI
NIM. 22200016

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
T.A. 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt. Atas limpahan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa kendala yang berarti dan tepat
waktu seperti yang diharapkan. Shalawat serta iringan salam semoga tercurahkan
selamanya kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita semua akan mendapat
syafa’at di hari akhir kelak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak
Dr. Muhammad Hasan Sebyar, S.H.I, M.H. sebagai dosen pengampu mata kuliah
Hukum Acara Pidana yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman
dalam penyusunan makalah dengan judul “Kedudukan dan Susunan Peradilan
Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan penulis. Maka dari itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang dituliskan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Mandailing Natal, 29 Februari


2024

Kelompok III

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3


A. Struktur Organisasi Peradilan Agama ....................................... 3
B. Kedudukan Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan Nasional . 5
C. Hubungan antara Peradilan Islam dengan Lembaga Peradilan Lain 7

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 13


A. Kesimpulan ................................................................................ 13
B. Saran .......................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia, susunan lembaga peradilan terdiri dari beberapa tingkatan,
dimulai dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah, Mulai dari Mahkamah
Agung (MA) yang merupakan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.
Kemudian Pengadilan Tinggi (PT) yang merupakan lembaga peradilan yang
berada di tingkat provinsi. Pengadilan Negeri (PN) yang merupakan lembaga
peradilan yang berada di tingkat kabupaten/kota. Lalu Pengadilan Agama (PA).
Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki yurisdiksi untuk
mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum agama, terutama Islam.
PA memiliki tingkatan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Pengadilan Agama
Negeri (PAN) yang menjalankan fungsi-fungsi peradilan agama di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan.
Peradilan Islam di Indonesia merupakan sistem peradilan yang mengacu
pada prinsip-prinsip hukum Islam dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
berkaitan dengan hukum keluarga, waris, zakat, dan beberapa perkara lainnya
sesuai dengan ajaran Islam. Sistem peradilan Islam ini berjalan seiring dengan
sistem peradilan umum yang berlaku di Indonesia. Peradilan Islam di Indonesia
memiliki kedudukan yang penting dalam menegakkan dan mengimplementasikan
hukum Islam dalam konteks hukum nasional.
Peradilan Agama berkaitan erat dengan pelaksanaan hukum Islam di
Indonesia. Peradilan Agama merupakan salah satu pranata hukum Islam yang
menjadi satu kesatuan dengan politik hukum Islam di Indonesia sejak kerajaan
Islam muncul di Indonesia. Undang-Undang Peradilan Agama baru menjadi
bagian integral dari kelengkapan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia pada
tahun 1989. Dalam perkembangannya, baik mengenai status, kedudukan dan
kewenangan Peradilan Agama mengalami dinamika yang sangat menarik untuk
dikaji.

1
Tujuan dilakukannya penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana kedudukan lembaga peradilan Islam dan lembaga peradilan agama
yang ada di Indonesia dengan lembaga peradilan nasioanal lainnya, bagaimana
susunannya, struktur organisasi lembaga peradilan Islam dan peradilan agama di
Indonesia, serta hubungan antara lembaga peradilan agama dengan lembaga-
lembaga peradilan lainnya yang ada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah, penulis menitikfokuskan pembahasan dalam
suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana struktur organisasi peradilan agama?
2. Bagaimana kedudukan peradilan Islam dalam sistem peradilan nasional?
3. Bagaimana hubungan antara peradilan Islam dengan lembaga peradilan lain?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Struktur Organisasi Peradilan Agama


Peradilan agama merupakan salah satu lembaga pemegang kekuasaan
kehakiman sebagaimana tercantum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, yang
berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum,
Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”(Republik
Indonesia, 1945).
Sebagai pelaksanaan dari amanat pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945
tersebut, maka lahirlah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana bunyi pasal 21 bahwa
Organisasi, Administrasi dan Finansial Mahkamah Agung dan peradilan
dibawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sehingga hal ini
menegaskan tentang posisi Peradilan Agama yang terintegrasi di lingkungan
Mahkamah Agung (Republik Indonesia, 2004).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama, dijelaskan mengenai pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi
dan finansial Pengadilan Agama dan mengenai penambahan tugas dan wewenang
Pengadilan Agama dalam hal mengadili perkara Zakat, Infaq, dan Ekonomi
Syari’ah (Republik Indonesia, 2006).
Dalam penyelenggaraan tugas dan wewenangnya, Pengadilan Agama
memegang teguh prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diantaranya
prinsip kemandirian, prinsip kebebasan hakim, dan prinsip transparansi
(keterbukaan) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Republik Indonesia, 2009).

3
Stniktur Organisasi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
sebagai berikut: 1) Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama yang
terdiri dari: Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris dan Juru Sita; 2)
Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding yang terdiri dari:
Pimpinan,Hakim Anggota, Panitera dan Sekretaris.
Pimpinan terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Banyaknya hakim baik pada
PTA maupun pada PA ditetapkan menurut kebutuhan. Pada setiap Pengadilan
Agama dan PengadilanTinggi Agama ada kepaniteraan dan Sekretaris yang
dipimpin oleh seorang Panitera dan Sekretaris (Pasal 26 dan 43 UU No. 7 Tahun
1989). Dalam melaksanakan tugasnya Panitera dibantu oleh seorang wakil
Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti dan
beberapa orang Juru sita. Di PTA tidak ada juru sita sedang dibidang Sekretariat
dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pengadilan Tinggi Agama karena tidak terbagi dalam kelas-kelas yang
berbeda maka baik kepaniteraan, maupun sekretariat semuanya sama sedang
Pengadilan Agama terdiri dari kelas-kelas yang berbeda maka baik Kepaniteraan
maupun Sekretariatnya juga berbeda. Mengenai tugas dan tanggung jawab serta
tata keija Kepaniteraan Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung
sebagaimana ditentukan di dalam pasal 102 UU nomor 7 tahun 1989 sedang
mengenai tugas dan tanggung jawab serta tata kerja sekretariat diatur lebih lanjut
oleh Menteri Agama sebagaimana ditentukan di dalam pasal 105 ayat (2) UU
Nomor 7 tahun 1989 (Bakar, 1992).

4
B. Kedudukan Peradilan Islam dalam Sistem Peradilan Nasional
Keberadaan dan kedudukan Peradilan Agama sudah diakui secara resmi
sejak dari zaman kolonial dengan terbitnya keputusan Raja Belanda (KB) No. 24
tanggal 19 Januari 1882 yang dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tetapi kondisinya
mengalami pasang surut namun secara umum citra Peradilan Agama hanya
sebagai “quasi pengadilan”. Namanya pengadilan, tetapi pada hakikatnya sama
sekali bukan pengadilan, melainkan sekedar badan administrasi mengenai nikah,
talak dan rujuk (NTR), yang tidak memiliki kukuasaan untuk melaksanakan
keputusan sendiri.
Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 merupakan momentum kebangkitan
dari keberadaan Peradilan Agama di Indonesia yang mengakhiri keanekaragaman
peraturan perundangundangan yang selama ini mengatur Pengadilan Agama dan
mencapai puncak kekokohannya dengan lahirnya UndangUndang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa semua lingkungan peradilan,
termasuk Peradilan Agama, pembinaan organisasi, administrasi dan finansialnya
dialihkan dari pemerintah kepada Mahkamah Agung.
Dan terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama
semakin diperkokoh lagi sehingga benar-benar sudah menjadi peradilan yang
mandiri. Eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memperluas kewenangan
Pengadilan Agama dengan penanganan perkara zakat, infak dan ekonomi syari’ah
dari pada yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
yakni perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadakah.
Kewenangan baru lainnya dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini
adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik antara sesama orang Islam dan
pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
hijriyah, serta pemberian keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan
arah kiblat dan penentuan waktu sholat (Martius, 2016).
Secara yuridis formal tentang kedudukan peradilan agama disebutkan
dalam UU.No.3 Tahun.2006 bahwa: “Pengadilan Agama berkedudukan di

5
ibukota/kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten /kota, dan
pengadilan tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi”
Hal tambahan lainnya terkait pembinaan. Dalam UU No.3 Tahun 2006
disebutkan bahwa pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan
finansial pengadilan dilakukan oleh mahkamah agung. Pembinaan teknis ini lebih
mengacu pada penerapan hukum acara peradilan yang bersangkutan dan
penerapan segala peraturan yang berlakumenyangkut suatu perkara tertentu
(Aripin, 2008).
Terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan Agama
semakin diperkokoh lagi dengan lahirnya UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009.
Perubahan/tambahan baru dalam undangundang ini di antaranya sebagai berikut:
1. Pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama
2. Hakim Adhoc di Peradilan Agama
3. Pengawasan Internal oleh MA dan eksternal oleh KY
4. Putusan bisa dijadikan dasar mutasi
5. Seleksi pengangkatan hakim dilakukan oleh MA dan KY
6. Pemberhentian hakim atas usulan MA dan atau KY via KMA
7. Tunjangan hakim sebagai pejabat negara
8. Usia pensiun hakim 65 bagi PA dan 67 bagi PTA. Panitera/PP, 60 PA dan
62 PTA
9. Pos Bantuan Hukum di setiap Pengadilan Agama
10. Jaminan akses masyarakat akan informasi pengadilan, dan
11. Ancaman pemberhentian tidak hormat bagi penarik pungli.
Dengan demikian, kedudukan Peradilan Agama di era reformasi, selain
sudah semakin kuat kedudukannya juga telah mengalami pengembangan
kelembagaan, tidak hanya menyangkut pengembangan Peradilan Agama di
Nanggroe Aceh Darussalam, juga pengembangan secara struktur seperti yang
terlihat pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Martius, 2016).
Dalam Undang-undang diatur susunan, kekuasaan hukum acara, dan
kedudukan hakim serta segi-segi administrasi pada peradilan agama dan

6
pengadilan tinggi agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama
dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Pengadilan
agama berkedudukan di ibukota kabupaten, kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi, peradilan agama berwenang memeriiksa, mengadili, memutus
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama islam sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengadilan tinggi agama
merupakan pengadilan tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan agama dan
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakir mengedai sengketa
kewenangan mengadili antar pengadilan agama di daerah hukumnya (L, 2021).

C. Hubungan antara Peradilan Islam dengan Lembaga Peradilan Lain


Pengadilan pada Umumnya dan khususnya Pengadilan Agama bukan
merupakan badan yang sepenuhnya otonom, melainkan senantiasa menjalankan
pertukaran dengan lingkungannya yang lebih besar. Dalam Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa : “Peradilan Negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasrkan Pancasila” (pertukaran pengadilan
dengan Pancasila), dan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat” (pertukaran antara pengadilan dengan dinamika masyarakat).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka bisa dikatakan, bahwa pengadilan
merupakan institusi yang dinamis. Dinamika itu bisa juga dibaca sebagai suatu
institusi yang menata kembali masyarakat dan menginterpretasikan teks-teks
undang-undang dalam konteks masyarakat serta perubahan-perubahannya (Amri,
2021).
Keberadaan Pengadilan Agama sebagai pengadilan Islam limitatif
mempengaruhi masyarakat Islam untuk mendapatkan keadilan. Dengan demikian,
adanya Undang-Undang 50 Tahun 2009 atas perubahan kedua Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Menjadi tongak supremasi hukum
peradilan Agama di Indonesia. Sumber hukum Pengadilan Agama secara garis
besar terdiri dari sumber hukum materil yang bersumber dari hukum Islam dan

7
hukum materil yang terikat dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 atas
perubahan kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang terdiri dari hukum
perundang-undangan, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, hukum agama dan
hukum adat yang dinyatakan sebagai hukum positif. Kewenangan memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikan Perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam merupakan tanggung jawab Pengadilan Agama yang
didasari atas kewenangan relatif dan kewenangan absolut.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-
jenis perkara yang boleh seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Tegasnya, Pengadilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang disesuaikan
dengan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Di sisi lain,
Pengadilan Agama adalah peradilan perdata sedangkan peradilan umum adalah
juga peradilan perdata di samping peradilan umum. Jika lihat dari aasas-asas
hukum acara, tentulah ada prinsip-prinsip kesamaannya secara umum di samping
secara khusus tentu ada pula perbedaan antara Hukum Acara Peradilan Umum dan
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Dengan kata lain, Peradilan Agama
merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang ikut berfungsi dan
berperan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum
mengenai perkara perdata Islam tertentu. Karenanya, Peradilan Agama ini disebut
peradilan khusus (Rasyid, 2016).
Kedudukan peradilan agama adalah sejajar dengan peradilan umum,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Semuanya dibawah dan atas
pengawasan Mahkamah Agung. Oleh karena itu peradilan agama hanya
mempunyai hubungan vertikal dengan Mahkamah Agung dalam proses
peradilannya dan tidak mempunyai hubungan horizontal dengan peradilan
lainnya.
Pada masa penjajahan Belanda, kedudukan peradilan agama dianggap
lebih rendah dari peradilan umum. Pemikiran Snock Hurgronye yang berusaha
membendung Islam, banyak menjadi policy pemerintah Belanda. Pemikiran ini
berdasarkan perhitungannya sendiri, bahwa Islam akan terus berkembang di

8
Indonesia, dan sifat universal yang ada padanya akan merugikan pemerintah
Belanda. Membendung fanatisma Islam tergantung pada kemampuan Belanda
untuk melunakkan pikiran Islam ke arah kebudayaan Belanda.
Salah satu akibatnya adalah timbulnya anggapan bahwa peradilan agama
dianggap rendah dan dibawah peradilan umum. Di dalam stb.1882 No.152 antara
lain dapat disimpulkan bahwa keputusan peradilan agama tidak mempunyai
kekuatan untuk dipaksanakan, sehingga untuk dapat mempunyai kekuatan untuk
dapat dipaksanakan, harus dimintakan Eksekutoir Verklaring dari pengadilan
Negeri
Terlalu amat disayangkan, bahwa faham yang dianggap rendahnya
peradilan agama masih mewarnai alam pemikiran sebagian besar ahli hukum. Ini
terbukti di dalam pasal 63 ayat (2) disebutkan: “Setiap keputusan pengadilan
Agama dikukuhkan oleh pengadilan Umum.”
Secara teoritis, ketentuan demikian adalah bertentangan dengan Undang-
Undang No. 14 tahun 1970, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, yang
menggariskan tidak adanya huhungan antara peradilan agama dengan peradilan
umum. Asas peradilan yang sederhana, cepat dan murah yang selalu didengung-
dengungkan tidak terwujud, sebab dengan pengukuhan oleh peradilan umum,
berarti proses peradilan akan berbelit-belit, waktunya lebih lama serta menambah
biaya (Muhyidin, 2020).
Di Indonesia, peradilan agama dan peradilan umum merupakan dua sistem
peradilan yang berbeda namun saling terkait dalam menjalankan fungsi hukum.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat menjelaskan hubungan antara peradilan
agama dan peradilan umum di Indonesia:
1. Kedudukan dalam Sistem Hukum: Peradilan agama dan peradilan umum
memiliki kedudukan yang sama-sama penting dalam sistem hukum
Indonesia. Peradilan agama berada di bawah Mahkamah Agung Republik
Indonesia, sedangkan peradilan umum berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung juga.
2. Yurisdiksi: Peradilan agama memiliki yurisdiksi atas perkara-perkara yang
berkaitan dengan hukum keluarga, seperti pernikahan, perceraian, warisan,

9
dan wakaf. Sementara peradilan umum memiliki yurisdiksi yang lebih luas,
termasuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, dan tata usaha
negara.
3. Koordinasi: Meskipun merupakan dua sistem yang berbeda, peradilan
agama dan peradilan umum harus bekerja secara terkoordinasi untuk
memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Terdapat
koordinasi antara dua sistem ini terutama dalam menangani kasus-kasus
yang bersinggungan, seperti perkara perceraian yang melibatkan aspek
hukum agama dan hukum sipil.
4. Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding: Baik peradilan agama maupun
peradilan umum memiliki tingkat pengadilan pertama dan tingkat banding.
Kasus-kasus yang diputus di tingkat pengadilan pertama dapat diajukan
banding ke tingkat yang lebih tinggi.
5. Asas Kepastian Hukum dan Keadilan: Meskipun terdapat perbedaan dalam
hukum yang diterapkan, baik peradilan agama maupun peradilan umum
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh
warga negara.
Dengan demikian, meskipun merupakan dua sistem yang terpisah,
peradilan agama dan peradilan umum memiliki hubungan yang erat dalam
menjalankan fungsi peradilan di Indonesia untuk mencapai tujuan hukum yang
sama, yaitu memberikan keadilan bagi masyarakat.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan. Stnuktur Organisasi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah sebagai berikut: 1) Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama
yang terdiri dari: Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris dan Juru Sita; 2)
Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding yang terdiri dari:
Pimpinan,Hakim Anggota, Panitera dan Sekretaris.
Kedudukan peradilan agama di Indonesia, pengadilan Agama
berkedudukan di ibukota/kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten /kota, dan pengadilan tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Di Indonesia, peradilan agama dan peradilan umum merupakan dua sistem
peradilan yang berbeda namun saling terkait dalam menjalankan fungsi hukum.
Dengan demikian, meskipun merupakan dua sistem yang terpisah, peradilan
agama dan peradilan umum memiliki hubungan yang erat dalam menjalankan
fungsi peradilan di Indonesia untuk mencapai tujuan hukum yang sama, yaitu
memberikan keadilan bagi masyarakat.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa
membangun dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Amri. (2021). Buku Ajar Hukum Acara Pengadilan Agama. Literasi Nusantara
Abadi.
Aripin, J. (2008). Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia. Kencana.
Bakar, Z. A. A. (1992). Kompetensi dan Struktur Organisasi Peradilan Agama.
Unisia: Journal of Social Sciences and Humanities, 13(16), 31.
L, S. (2021). Hukum Acara Peradilan Agama. IAIN Parepare Nusantara Press.
Martius, A. H. (2016). Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal
Hukum Diktum, 14(1), 63–64.
https://media.neliti.com/media/publications/285456-peradilan-agama-dalam-
sistem-hukum-indon-fd407c50.pdf
Muhyidin. (2020). Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Jurnal Gema
Keadilan, 7(1), 9–10.
Rasyid, R. A. (2016). Hukum Acara Peradilan Agama. RajaGrafindo Persada.
Republik Indonesia. (1945). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Republik Indonesia. (2004). Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Republik Indonesia. (2006). Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.
Republik Indonesia. (2009). Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.

12

Anda mungkin juga menyukai