Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KEKUATAN ABSOLUT DALAM PERADILAN AGAMA

DOSEN PENGAMPUH:

Dr. Abdul Hamid, S.H, M.H

Disusun Oleh Kelompok 4:

Hasan Husin : 2108010620

Nandita Dwi Kesuma : 2108010487

Nabila Amalia : 2108010657

Siti Noor Ain’nah : 2108010533

M. Robby Irawan : 2108010593

FAKULTAS HUKUM UNISVERSITAS ISLAM KALIMANTAN


MUHAMMAD ARYSAD AL-BANJARY

BANJARMASIN 20233
KATA PENGANTAR

Dengan penuh syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas izin dan
kuasaNyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Ucapan
terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kami sampaikan kepada dosen
penanggungjawab matakuliah Hukum Pajak, yang telah memberikan penulis
berupa tugas dengan tujuan untuk memperkaya pengetahuan kami semua
khususnya berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama.

Semoga karya tulis ini dapat memberikan sudut pandang baru dan
pemahaman baru kepada kawan-kawan mengenai perkembangan pajak serta
perkembangan hukumnya di Indonesia agar kawan-kawan semua memiliki
kesadaran betapa pentingnya Hukum Acara Peradilan Agama untuk pembangunan
Negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Mungkin masih banyak kekurangan dari karya tulis yang telah kami buat
ini, taklupa penulis memohonkan kritik saran dan semua masukan agar
kedepannya bisa lebih baik lagi, dan bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua
sebagai pengetahuan wawasan baru di mata kuliah Acara Peradilan Agama.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i

DAFTAR ISI……… ………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................ 2
D. Sistematika Penulisan................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Kompetensi Peradilan Agama................................................... 3
B. Definisi Kekuasaan Absodut..................................................... 5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................ 20
B. Saran.......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan


kehakiman di Indonesia di samping tiga peradilan yang lain, yakni Peradilan
Negeri, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
KeberadaanPeradilan Agama di Indonesia sudah di mulai sejak Indonesia
belum merdeka.

Kemudian pada masa ordebaru, peradilan agama,berada di bawah


kekuasaan Departemen Agama, belum menjadi peradilan yang mandiri,
karena belum bisa secara langsung memutuskanperkara(incrach)melainkan
harus mendapatkan putusan Peradilan Umum (excecutoire Verklaring)
untukkasus-kasus tertentu,Terutama menyangkut persoalan harta benda,
termasukJuga adanya hak opsi untuk persoalan kewarisan (Moh Sutomo,
Syarifah Marwiyah, dan Nur Mawaddah Warohmah.

Setelah memasukiera reformasi, sesuaidengantuntutan reformasi di


bidanghukummakabadan peradilan agama sejajardengan badan-badan
peradilanlainnya yang ada di bawahkekuasaanMahkamah Agung.
KebijakaniniterjadisetelahdiundangkannyaUndag-undangNomor 35 Tahun
1999 tentangPerubahanatasUndang-UndangNomor14 Tahun 1970
tentangKetentuan-KetentuanPokokKekuasaanKehakiman.

Peradilan Agama merupakan proses pemberian keadilan berdasarkan


hukum Islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Keberadaan Peradilan Agama dalam
sistem peradilan nasional Indonesia sebagaimanadikemukakan oleh
MuhammadDaudAli, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
di Indonesia.Demikian ini, karenadi samping Peradilan Agama, di Indonesia
terdapattiga lembaga peradilan lain yang mempunyai kedudukan yang sama
dan sederajat dengan kekuasaan yang berbeda, yaitu Peradilan Umum
(Peradilan Negeri), Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan


Agama hanyalah dipandang sebagai peradilan semu, kemudianeksistensi
Peradilan Agama semakin menguat setelah lahirnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009.Dalam perjalanannya, Peradilan Agama di Indonesia

1
mememiliki peranan yang sangat penting bagi pemeluk agama Islam
di Indonesia dan memiliki kewenangan yang berbeda dengan peradilan yang
lain dalam sistem hukum di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, untuk memenuhi


tugas akhir PPC magang II maka pada makalah ini penulis berusaha
menjelaskan mengenai kompetensi absolutPeradilan Agama dan
permasalahannya di Indonesia.1

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan peradilan Agama?

2. Apa sajakah permasalahan dari kompetensi absolut Peradilan Agama


yang menjadi titik singgung dengan Peradilan Umum?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui tentang kompetensi Peradilan Agama

2. Mengetahui bagaimana permasalahan dari kompetensi absolut peradilan


agama.

D. Sitematika Penulisan

Karya tulis ini merupakan penelitian yang dipergunakan dalam


penelitian yang berasal dari bahan pustaka.Adapun metode pengumpulan
data melalui studi kepustakaan,yaitu meneliti dan menggali bahan hukum
melalui jurnal dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan diteliti

1
1http://organisasi.org/
tujuan_nasional_yang_termaktub_dalam_pembukaan_uud_45_alinea_ke_4_
republik_indoesia_ilmu_pendidikan_pmp_dan_p pkn diakses pada tanggal 23
April 2020.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kompetensi Peradilan Agama

Kompetensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti


kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutus sesuatu).Adapun
pengertian kompetensi Peradilan Agama menurut Undang-Undang
Kekuasaan kehakiman Pasal 25 ayat 3, “Peradilan Agama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kompetensi ini
merupakan implementasi dari tugas pokoknya, yaitu Pengadilan Agama
sebagai salah satu badan atau instansi resmi kekuasaan kehakiman di
bawah Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu
yang diatur oleh Undang-Undang.
Bicara mengenai kompetensi peradilan, tentunya tidak akan terlepas
dari dua hal yaitu, kewenangan kekuasaan absolut dan relatif. Namun,
pada paper ini penulis hanya akan mengungkap kekuasaan absolut
Peradilan Agama. Kekuasaan Absolute yang juga disebut kekuasaan
kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) adalah kewenangan mutlak
atau kompetensi absolut suatu pengadilan; kewenangan badan pengadilan
di dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan pengadilan lain (R. Soeroso, 1994: 6). Kekuasan
absolut haruslah dipahami dan dimengerti oleh seorang Hakim dan juga
oleh Panitera/Panitera Pengganti, karena dalam perkara tertentu ada
persinggungan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum meskipun
sudah diatur dalam undang-undang bahwa setiap peradilan mempunyai
kewenangan yang berbeda. Maka dari itu, misalnya, tanpa adanya eksepsi
sekalipun bila nyata-nyata objectumlitisnya bukan wewenang Peradilan
Agama melainkan wewenang peradilan negeri, maka Hakim karena
jabatannya (ex officio) wajib menyatakan diri tidak berwenang. Hal ini
dinyatakan dalam Pasal 134 HIR/169 RBG.
Kewenangan absolut setiap Peradilan berbeda-beda.Hal ini diatur
oleh Undang-Undang atau peraturan yang mengaturnya.Kompetensi
absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, diatur dalam Pasal
2Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dibangun atas azas Personalitas
Keislaman, sebagaimana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan
Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara
perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun
2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan ekonomi syari'ah. 2
Dalam bagian penjelasan pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “ekonomi syariah” adalah: perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: (a) bank
syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah; (c) asuransi syariah; (d)
reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h)
pembiayaan syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiun lembaga
keuangan syariah; dan (k) bisnis syariah.
Perubahan tersebut menyatakan bahwa kewenangan Pengadilan
Agama semakin diperluas dengan adanya ekonomi syariah. Hal ini
menjadikan eksistensi Pengadilan Agama menjadi lebih nyata dan
menyeluruh dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat diberbagai
bidang. Konsekuensi adanya penambahan kompetensi ini mengharuskan
Pengadilan Agama untuk mempersiapkan berbagai hal terkait perkara
ekonomi syariah, dengan tujuan agar perkara yang diajukan oleh
masyarakat dapat diproses dengan baik(Muhammad Zulhefni. 2017: 178).
Namun, pada praktiknya tidaklah demikian karena masih saja ada
perkara-perkara yang ditangani oleh PN. Berikut ini adalaha kenapa hal ini
bisa terjadi:
Akad yang diperkarakan merupakan akad lama yang mencantumkan
Pengadilan Negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa. Pada saat itu
Undang-Undang Perbankan Syariah masih memungkinkan penyelesaian
sengketa di Pengadilan Negeri hingga akhirnya ditetpkan oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Agustus 2013 bahwa hanya
Pengadilan Agama sajalah yang berwenang untuk menyelesaikan perkara
ekonomi syariah. Oleh karena itu, pencantuman Pengadilan Negeri sebagai
tempat penyelesaian sengketa perbankan syariah tidaklah menyalahi
aturan, karena pada saat itu penjelasan Pasal 55 ayat (2) yang menyatakan
perkara ekonomi syariah dapat diselesaikan di lingkungan

Peradilan Umum masih belum dibatalkan. Adapun setelah adanya


putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan penjelasan pasal tersebut
tidaklah serta-merta mengharuskan pihak perbankan syariah untuk
mengubah lokasi penyelesaian sengketanya pada transaksi-transaksi
sebelumnya. Kesepakatan akad harus didahulukan, namun jika akad itu
dilakukan setelah putusan Mahkamah Konstitusi disahkan dan tetap

2
Agustina, Enny. 2019. The Implementation of law Number 6 Year 2014 on Village
Government. International Journal of Innovation, Creativity, and Change. Vol 9 Issue 11. PP 104.
114 3 Tjip Ismail, M. NatsirAsnawi,2016:73

4
mencantumkan Pengadilan Negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa,
maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. (Muhammad Zulhefni. 2017:
185);
Pengadilan Negeri masih tetap menerima dan memproses pengajuan
perkara ekonomi syariah. Berdasarkan pengalamannya, pihak perbankan
syariah telah berupaya melalui eksepsinya menyampaikan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memutus perkara ini dan
memohon untuk diputus sela.Akan tetapi pemeriksaan perkara tetap
dilanjutkan oleh hakim Pengadilan Negeri sampai pada putusan akhir
(Muhammad Zulhefni. 2017:187).
Pada Tahun 2008 MA telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrse Syariah yang pada pokoknya menetapkan bahwa peradilan agama
adalah peradilan yang berwenang melakukan eksekusi atas putusan
Basyarnas atas permohonan Pemohon Eksekusi. SEMA tersebut bersandar
pada ketentuan dalam pasal 48 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan
agama yang menegaskan bahwa sengketa ekonomi syariah merupakan
kewenangan PA. Namun, SEMA tersebut kemudian dicabut dengan
SEMA 8 Tahun 2010 yang mencabut kewenangan PA dan mengembalikan
kewenangan eksekusi atas putusan arbitrase syariah kepada Peradilan
Umum dengan bersandar pada ketentuan dalam Pasal 59 ayat 3 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hukum(M.
NatsirAsnawi, 2016: 73).

B. Definisi Kekuasaan Absolut

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang


berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan Pengadilan.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertenutu
dikalangan golongan rakyat tertentu.3
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan
3
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004,
hlm.91.

5
dengan jenis perkara atau pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau tingkatan pengadilan lainnya,
misalnya:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan
peradilan umum. Terhadap kekuasaan absolut ini, pengadilan agama
diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah
termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau bukan kekuasaannya
maka pengadilan agama dilarang menerimanya.4
Fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditentukan
dua faktor, pertama faktor “perkara tertentu”, dan yang kedua faktor
golongan “rakyat tertentu”. Tentang siapa yang dimaksud dengan
golongan tertentu telah dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Pertama-
tama penegasannya tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat 1
kemudian dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum, angka 2 alinea ketiga,
yang berbunyi:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Begitu juga yang digariskan dalam pasal 49 ayat 1, berbunyi:


“Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan
perkara ditingkst pertama antara orang-orang yang beragama Islam,,,,,,”.5
1. Kekuasaan Absolut dalam Peradilan Agama
Dari berbagai ketentuan pasal dan penjelasan yang dikemukakan,
secara umum fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan
Agama telah ditentukan dalam Pasal 49 ayat 1, yang meliputi:
a. Perkawinan;
4
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013,
hlm. 27.
5
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
1997, hlm. 135.

6
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah;6

Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 dan 50


UU No. 7 Tahun 1989, yang berbunyi:

Pasal 49
(1) Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara- perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beraga Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) huruf b,
ialah penentuan siapa- siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing- masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dlaam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 maka khusus
mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan Pasal 50.
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti
memnghentikan proses Peradilan di pengadilan agama atas objek yang tidak
menjadi sengketa itu.7

6
Ibid., hlm. 136.
7
Opcit., Raihan A.Rasyid, hlm. 29.

7
a. Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, sebagai berikut:
- Izin beristri lebih dari seorang;
- Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21tahun
dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
- Dispensasi kawin ;
- Pencegahan perkawinan;
- Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- Pembatalan perkawinan;
- Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
- Perceraian karena talak;
- Gugatan perceraian;
- Penyelesaian harta bersama;
- Penguasaan anak-anak / hadlanah
- Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya ;
- Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bekas istri;
- Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
- Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- Pencabutan kekuassan wali;
- Penunjuk orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
- Menunjuk seorang wali dalam hal seorang yang belum cukup umur 18
Tahun yang ditinggsl kedus orsng tusnys padahal tidak ada penunjukan
wali oleh orang tuanya;
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telizin ah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;

8
- Penetapan asal usul seorang anak;
- Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campur;
- Pertanyaan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain;8
A. Izin Beristri Lebih Seorang
Untuk dapat mengajukan izin poligami ke pengadilan harus di penuhi
terlebih dahulu syarat-syarat yaitu:
- Adanya persetujuan istri/istri-istri
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri/istri dan anak- anak mereka
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri

dan anak-anak mereka Adapun alasan-alasan suami untuk dapat

beristri lebih dari seoang yaitu:

- Istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri


- Istri mendapat cacat badan dan penyakit yang tidak di sembuhkan
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan
B. Izin Melangsungkan Perkawinan Bagi Yang Belum Berusia 21 Tahun
dalam Hal Orang Tua atau Wali atau Keluarga dalm Garis Lurus Ada
Perbedaan Pendapat
Kalau terdapat perbedaan demikian maka orang yang akan
melakukan perkawinan dapt mengajukan permohonan izin kawin ke
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal pemohon.
Pengadilan dapat memberikan izin setelah mendengar keterangan dari
kedua orang tua atau wali atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas.
C. Dispensasi Kawin
8
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama ( Di Lengkapi Contoh
Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama), Mandar Maju, Bandung,
2018, hlm 37.

9
Pada dasarnya perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan wanita telah 16 tahun. Namun apabila belum
mencapai umur yang ditentukan maka dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan.
D. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan merupakan suatu upaya yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu yang diajukan sebelum terjadinya perkawinan.
Tujuannya adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melakukan perkawinan, yang diatur dalam BAB II
tentang syarat-syarat perkawinan pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1
Tahun 1974.
E. Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah
Pegawai Pencatat Nikah yang berpendapat bahwa terhadap
perkawinan yang akan dilangsungkan terdapat larangan menurut UU No. 1
Tahun 1974harus menolak melangsungkan perkawinan. Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah diberitahukan dengan keterangn
tertulis disertai alasan-alasan penolakannya.
Pihak yang di tolak dapat mengajukan pemohonan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
F. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah upaya yang di lakukan oleh pihak-pihak
tertentu setelah dilangsungkannya perkawinan karena tidak dipenuhinya
syarat-syarat perkawinan yang dapat mengakibatkan baatalnya perkawinan
atau dapat dibatalkannya perkawinan.
a) Alasan pembatalan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur
bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena:

10
- Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tidak
9
terpenuhi. Sebagaimana diatur dalam BAB II tentang syarat-syarat
perkawinan pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan KHI Bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan pasal 14
sampai dengan pasal 29 dan Bab VI tentang larangan perkawinan pasal 39
sampai dengan pasal 44.
- Perkawinan di langsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
- Perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri
b) Alasan pembatalan perkawinan dalam KHI
Berdasarkan KHI perkawinan batal karena:
- Suami lekakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat oramg istri, sekalipun salah satu
dari ke empat istrinya itu dalam iddah talak raj’i
- Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li’an nya
- Seseorang menikahi bekas istri yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba’da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah hanis
masa iddahnya
- Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:
1) Berhubungan darah dalam satu garis keturunan lurus kebawah atau ke atas.
2) Berhubungan darah dalam gais keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya.10
3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah
tiri
4) Berhubungan sesusuan yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.

9
Ibid., hlm. 50.
10
Ibid., hlm. 51.

11
e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari

istri atau istri-istrinya Perkawinan dapat dibatalkan karena:

(a) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama


(b) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri
pria lain yang mafqud.
(c) Perempuan yang di kawini ternyata masih dalam iddah suami lain.
(d) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
(e) Perkawinan di langsungkan tanpa wali atau di laksanakan oleh wali yang
tidak berhak Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pembatalan perkawinan juga dapat dilakukan apabila:

(a) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum


(b) Perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalahn perkawinan adalah:

(a) Keluarga dalam garis keturunan garis lurus ke atas dari suami dan istri.
(b) Suami atau istri.11
(c) Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum di putuskan.
(d) Pejabat yang ditunjuk sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (2)
dan setiap orang yang mempnyai perkawinan
(e) Dalam hal perkawinan di langsungkan di muka Pejabat Pencatat Nikah
yang tidak berwenang, wali nikah, tanpa dihadiri dua saksi dapat diajukan
oleh:
- Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
- Suami atau istri
- Jaksa
(f) Siapa saja yang karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru

11
Ibid., hlm. 52.

12
(g) Pembatalan perkawinan di lakukan oleh suami atau istri apabila:
- Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
- Perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami istri12

7) Gugatan Kelalaian Atas Kewajiban Suami atau Istri


Apabila salah satu pihak, suami atau istri, melalaikan kewajibannya
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Gugatan mengenai kelalaian suami istri dalam menjalankan
kewajibannya tidak mempunyai akibat putusnya perkawinan diantara
suami istri apabila tidak di ikuti gugaatan atau permohonan perceraian.
Gugatan kelalain atau kewajiban suami istri bertujuan untuk mengingatkan
suami atau istri agar menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isri
dengan baik.
Gugatan mengenai suami atau istri dapat di ajukan pada waktu masih
dalam ikatan perkawinan yang sah secara tersendiri atau bersamaan
dengan gugatan atau permohonan cerai dan dapat pula dilakukan setelah
perkawinan putus apabila gugatan tersebut mengenai kelalaian suami
dalam memberi nafkah kepada istri dan anak.
8) Perceraian Karena Talak dan Gugatan Perceraian
Perceraian karena talak atau disebut juga cerai talak adalah perceraian yang
diajukan kepada Pengadilan Agama yang dilakukan oleh suami atau
istrinya karena adanya alasan-alasan perceraian. Perkara cerai gugat adalah
perkara perceraian yang di ajukan oleh istri kepada suami karena adanya
alasan-alasan perceraian. Pihak yang mengajukan gugatan / istri di sebut
penggugat dan pihak lawan / suami adalah tergugat.13
9) Penyelesaian Harta Bersama
Pembagian harta bersama terbuka apabila perkawinan antara suami
istri putus karena kematian, perceraian, atau putusan pengadilan.
Bagian masing-masing janda atau duda cerai adalah ½ bagian dari

12
Ibid., hlm. 53.
13
Ibid., hlm. 58-59.

13
harta bersama. Apabila terjadi cerai mati adalah ½ bagian harta bersama
menjadi hak istri suami yang masih hidup.
10) Penguasaan Anak / hadlanah
Pada dasarnya anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun
berada dalam penguasaan ibunya. Setelah mumayyiz atau berumur 12
tahun anak berhak untuk menentukan pilihan.
Apabila dalam perceraian telah ditetapkan bahwa anak berada di
bawah pengasuhan suami atau istri maka pihak yang tidak memegang
penguasaan anak atau kerabat keluarga lain dapat mengajukan permohonan
untukmemindahkan kepada kerabat lain yang memmpunyai hak
penguasaan terhadap anak dengan alasan bahwa pemegang hak penguasaan
anak ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak.14
11) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak dapat memenuhi,
Mengenai biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang harus meruoakan
tanggung jawab bapak sampai anak berusia 21 tahun. Biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak ditanggung oleh bekas suami sesuai dengan
kemampuannya.
Apabila bapak tidak mampu pengadilan dapat menetapkan ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.
12) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu
perkawinan yang sah. KHI memperluas pengertian anak sah selain yang
tersebut diatas dengan menyatakan termasuh anak sah juga anak hasil
pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Apabila anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang menurut
suami anak itu bukan anaknya maka suami dapat mengingkarinya.15
13) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
Kekuasaan orang tua dapat di cabut oleh pengadilan karena adanya
14
Ibid., hlm. 60-61.
15
Ibid., hlm. 62-64.

14
permohonan pencabutan kekuasaan orang tua atas permintaan salah satu
orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua
dapat di cabut oleh pengadilan apabila ternyata orang tua:
- Sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya
- Berkelakuan buruk sekali
14) Perwalian
Dalam hal perwalian, Peradilan Agama berwenang memeriksa perkara:
- Pencabutan kekuasaan wali
Wali yang ditunjuk orang tua untuk perwalian anak dapat di cabut oleh
pengadilan atas permintaan kerabatnya karena wali tersebut telah
melalaikan kewajibannya terhadap anak dan wali berkelakuan buruk sekali.
- Penunjukan seorang wali dalam hal kekuasaan wali dicabut
Pengadilan Agama dapat menunjuk seorang wali apabila yang menjadi
wali terhadap anaknya telah dicabut kekuasaan perwaliannya oleh
pengadilan.
- Pengadilan Agama dapat menunjuk wali dalam hal anak yang belum
berumur 18 tahun yang di tinggal orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya.
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasannya.
15) Penetapan Asal Usul Anak
Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang
otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Yang berwenang
ialah dari kantor sipil. Apabila akta kelahiran tidak ada maka pengadilan
dapat menetapkan tentang asal usul anak setelah dilakukan pemeriksaan
yang t eliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
16) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran Dalam hal pejabat yang berwenang menolak
memberikan keterangan untuk melakukan perkawinan campuran maka

15
dapat di ajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.
17) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain16
a. Warisan
Yang dimaksud dengan waris dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun
2006 adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing- masing ahli waris, dan
melaksnakana pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
b. Wasiat
Yang dimaksud wasiat adalah perbuatan seseorang meberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga atau badan hukum
yang berlaku setelah yang memebri wasiat tersebut meninggal dunia.17
Mengenai wasiat UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU
No. 3 Tahun 2006 tidak mengatur secara jelas. Wasiat diatur secara jelas
dala KHI pada Buku II tentang Hukum Kewarisan Bab V tentang
wasiat(Pasal 19 s/d Pasal 209) dalam Bab ini diatur tentang:
- Syarat-syarat pihak dalam wasiat
- Harta benda yang diwasiatkan;
- Cara-cara wasiat;
- Batalnya wasiat;
- Pencabutan wasiat;
- Batas besarnya harta yang di wasiatkan;
- Cara pembukaan surat wasiat
- Wasiat anggota tentara pada waktu perang;
- Wasiat yang dalam perjalanan melalui laut;
- Pihak yang tidak dapat menerima wasiat;

16
Ibid., hlm. 65-68.
17
Soeroso, Hukum Acara Khusus (Kompilasi Ketentuan Hukum Acara Dalam
Undang-Undang), Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010, hlm. 264.

16
- Wasiat wajibah;
c. Hibah
Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk di miliki.
Pengaturan hibah diatur dalam KHI Buku II Bab VI tentang Hibah
(Pasal 210 s/d Pasal 214). Dalam bab ini diatur tentang:
- Syarat-syarat orang yang menghibahkan;
- Batas maksimal harta benda yang dihibahkan;
- Harta benda yang di hibahkan;
- Hibah orang tua kepada anak;
- Hibah tidak dapat di tarik kembali;
- Hibah yang di berikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang
dekat dengan kematian;
- Cara menghibahkan Warga Negara Indonesia yang berada di negeri asing;
d. Wakaf
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaur tentang
wakaf, yaitu:
- Peraturan pemerintah nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik;
- Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksana Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978;
- Komplisai Hukum Islam;
- UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf;
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksana UU No.
41 Tahun 2004 tentang wakaf;
- Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi
Pendaftaran Wakaf Uang;
e. Zakat
Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib di sisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.

17
f. Infaq
Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, meberikan rizki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah. Mengenai infaq tidak ada peraturan yang definitif diatur
dalam peraturan perundang-undangan sehingga pengaturan mengenai
shodaqah didasarkan pada dalil-dalil Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, qiyas,
serta kitab-kitab fiqih karangan ahli fiqih.
g. Shodaqah
Yang dimaksud dengan shadaqah adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu da jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah dan pahala semesta.
Mengenai shodaqah tidak ada peraturan yang definitif diatur dalam
peraturan perundang-undangan sehingga peraturan mengenai shadaqah
didasarkan pada dalil-dalil Al Quran Al Hadist, Ijma;, serta kitab-kitab
Fiqih karangan para ahli fiqih.
h. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi:
- Bank Syari’ah
- Lembaga keuangan mikro syariah
- Asuransi syari’ah
- Reksa dana syariah
- Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
- Sekuritas syariah
- Pembiayaan syariah
- Pegadaian syariah
- Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan

18
- Bisnis syariah

Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dlaam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan
Peraturan Mhkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.18

18
Opcit., Abdullah Tri Wahyudi, hlm. 70-79.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penghapusan kekuasaan absolut dalam peradilan agama sering
melibatkan reformasi sistem hukum untuk memastikan adanya
keseimbangan kekuasaan antara institusi agama dan otoritas sipil. Hal ini
bisa dilakukan melalui pembentukan undang-undang yang mengatur batasan
kekuasaan, memastikan perlindungan hak asasi manusia, serta
memungkinkan pengadilan sipil untuk mengawasi dan meninjau keputusan
peradilan agama.

Kekuasaan absolut dalam peradilan agama dapat menimbulkan


ketidakseimbangan kekuasaan dan mempengaruhi hak asasi manusia serta
keadilan. Menghilangkan kekuasaan absolut tersebut memerlukan reformasi
hukum yang menegakkan keseimbangan antara keputusan peradilan agama
dan kontrol hukum sipil untuk menjaga keadilan dan hak individu.

B. Saran

Dalam konteks kekuasaan absolut dalam peradilan agama, beberapa


saran yang mungkin berguna adalah:
1. *Reformasi Hukum* Mengkaji dan merevisi hukum yang
mengatur peradilan agama untuk memastikan ada keseimbangan
kekuasaan antara lembaga agama dan otoritas sipil.
2. *Perlindungan Hak Asasi Manusia* Memastikan bahwa
keputusan peradilan agama tidak bertentangan dengan hak asasi
individu, serta memastikan perlindungan hak-hak tersebut dijamin
dalam sistem hukum.
3. *Pengawasan Eksternal* Mempertimbangkan pengawasan atau
mekanisme peninjauan keputusan peradilan agama oleh lembaga atau
pengadilan sipil untuk menjamin keadilan dan keseimbangan
keputusan.
4. *Pendidikan dan Kesadaran* Meningkatkan pendidikan dan
kesadaran mengenai hak asasi manusia serta keterbukaan terhadap
variasi keyakinan dan agama, untuk mendorong penghormatan terhadap
hak individu dalam ranah agama.
Ini hanya beberapa saran umum yang bisa diterapkan untuk mengurangi
kekuasaan absolut dalam peradilan agama, dengan fokus pada aspek
keadilan, hak asasi, dan keseimbangan kekuasaan.
21
DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi Abdullah Tri, Kewenangan Absolut Peradilan Agama di


Indonesia pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi,
Yudisia, (Surakarta), vol.7, No. 2, 2016.

Wahyudi Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar,


Yogyakarta, 2004.

Wahyudi Abdullah Tri, Hukum Acara Peradilan Agama ( Di Lengkapi


Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama),
Mandar Maju, Bandung, 2018.

Rasyid Raihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2013. Harahap Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan

Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1997

Soeroso, Hukum Acara Khusus (Kompilasi Ketentuan Hukum Acara


Dalam Undang-Undang), Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010.

22

Anda mungkin juga menyukai