DOSEN PENGAMPUH:
BANJARMASIN 20233
KATA PENGANTAR
Dengan penuh syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas izin dan
kuasaNyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Ucapan
terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kami sampaikan kepada dosen
penanggungjawab matakuliah Hukum Pajak, yang telah memberikan penulis
berupa tugas dengan tujuan untuk memperkaya pengetahuan kami semua
khususnya berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan sudut pandang baru dan
pemahaman baru kepada kawan-kawan mengenai perkembangan pajak serta
perkembangan hukumnya di Indonesia agar kawan-kawan semua memiliki
kesadaran betapa pentingnya Hukum Acara Peradilan Agama untuk pembangunan
Negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mungkin masih banyak kekurangan dari karya tulis yang telah kami buat
ini, taklupa penulis memohonkan kritik saran dan semua masukan agar
kedepannya bisa lebih baik lagi, dan bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua
sebagai pengetahuan wawasan baru di mata kuliah Acara Peradilan Agama.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................ 2
D. Sistematika Penulisan................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kompetensi Peradilan Agama................................................... 3
B. Definisi Kekuasaan Absodut..................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
mememiliki peranan yang sangat penting bagi pemeluk agama Islam
di Indonesia dan memiliki kewenangan yang berbeda dengan peradilan yang
lain dalam sistem hukum di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Sitematika Penulisan
1
1http://organisasi.org/
tujuan_nasional_yang_termaktub_dalam_pembukaan_uud_45_alinea_ke_4_
republik_indoesia_ilmu_pendidikan_pmp_dan_p pkn diakses pada tanggal 23
April 2020.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Agustina, Enny. 2019. The Implementation of law Number 6 Year 2014 on Village
Government. International Journal of Innovation, Creativity, and Change. Vol 9 Issue 11. PP 104.
114 3 Tjip Ismail, M. NatsirAsnawi,2016:73
4
mencantumkan Pengadilan Negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa,
maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. (Muhammad Zulhefni. 2017:
185);
Pengadilan Negeri masih tetap menerima dan memproses pengajuan
perkara ekonomi syariah. Berdasarkan pengalamannya, pihak perbankan
syariah telah berupaya melalui eksepsinya menyampaikan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memutus perkara ini dan
memohon untuk diputus sela.Akan tetapi pemeriksaan perkara tetap
dilanjutkan oleh hakim Pengadilan Negeri sampai pada putusan akhir
(Muhammad Zulhefni. 2017:187).
Pada Tahun 2008 MA telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrse Syariah yang pada pokoknya menetapkan bahwa peradilan agama
adalah peradilan yang berwenang melakukan eksekusi atas putusan
Basyarnas atas permohonan Pemohon Eksekusi. SEMA tersebut bersandar
pada ketentuan dalam pasal 48 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan
agama yang menegaskan bahwa sengketa ekonomi syariah merupakan
kewenangan PA. Namun, SEMA tersebut kemudian dicabut dengan
SEMA 8 Tahun 2010 yang mencabut kewenangan PA dan mengembalikan
kewenangan eksekusi atas putusan arbitrase syariah kepada Peradilan
Umum dengan bersandar pada ketentuan dalam Pasal 59 ayat 3 Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hukum(M.
NatsirAsnawi, 2016: 73).
5
dengan jenis perkara atau pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau tingkatan pengadilan lainnya,
misalnya:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan
peradilan umum. Terhadap kekuasaan absolut ini, pengadilan agama
diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah
termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau bukan kekuasaannya
maka pengadilan agama dilarang menerimanya.4
Fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditentukan
dua faktor, pertama faktor “perkara tertentu”, dan yang kedua faktor
golongan “rakyat tertentu”. Tentang siapa yang dimaksud dengan
golongan tertentu telah dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Pertama-
tama penegasannya tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat 1
kemudian dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum, angka 2 alinea ketiga,
yang berbunyi:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
6
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah;6
Pasal 49
(1) Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara- perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beraga Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Wakaf dan shadaqah
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang di maksud dalam ayat (1) huruf b,
ialah penentuan siapa- siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing- masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dlaam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49 maka khusus
mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Penjelasan Pasal 50.
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti
memnghentikan proses Peradilan di pengadilan agama atas objek yang tidak
menjadi sengketa itu.7
6
Ibid., hlm. 136.
7
Opcit., Raihan A.Rasyid, hlm. 29.
7
a. Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, sebagai berikut:
- Izin beristri lebih dari seorang;
- Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21tahun
dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
- Dispensasi kawin ;
- Pencegahan perkawinan;
- Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- Pembatalan perkawinan;
- Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
- Perceraian karena talak;
- Gugatan perceraian;
- Penyelesaian harta bersama;
- Penguasaan anak-anak / hadlanah
- Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya ;
- Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bekas istri;
- Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
- Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- Pencabutan kekuassan wali;
- Penunjuk orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
- Menunjuk seorang wali dalam hal seorang yang belum cukup umur 18
Tahun yang ditinggsl kedus orsng tusnys padahal tidak ada penunjukan
wali oleh orang tuanya;
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telizin ah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
8
- Penetapan asal usul seorang anak;
- Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campur;
- Pertanyaan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain;8
A. Izin Beristri Lebih Seorang
Untuk dapat mengajukan izin poligami ke pengadilan harus di penuhi
terlebih dahulu syarat-syarat yaitu:
- Adanya persetujuan istri/istri-istri
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri/istri dan anak- anak mereka
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
9
Pada dasarnya perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan wanita telah 16 tahun. Namun apabila belum
mencapai umur yang ditentukan maka dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan.
D. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan merupakan suatu upaya yang dilakukan
oleh pihak-pihak tertentu yang diajukan sebelum terjadinya perkawinan.
Tujuannya adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melakukan perkawinan, yang diatur dalam BAB II
tentang syarat-syarat perkawinan pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1
Tahun 1974.
E. Penolakan Perkawinan Oleh Pegawai Pencatat Nikah
Pegawai Pencatat Nikah yang berpendapat bahwa terhadap
perkawinan yang akan dilangsungkan terdapat larangan menurut UU No. 1
Tahun 1974harus menolak melangsungkan perkawinan. Penolakan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah diberitahukan dengan keterangn
tertulis disertai alasan-alasan penolakannya.
Pihak yang di tolak dapat mengajukan pemohonan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
F. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah upaya yang di lakukan oleh pihak-pihak
tertentu setelah dilangsungkannya perkawinan karena tidak dipenuhinya
syarat-syarat perkawinan yang dapat mengakibatkan baatalnya perkawinan
atau dapat dibatalkannya perkawinan.
a) Alasan pembatalan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur
bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena:
10
- Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tidak
9
terpenuhi. Sebagaimana diatur dalam BAB II tentang syarat-syarat
perkawinan pasal 6 sampai dengan pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan KHI Bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan pasal 14
sampai dengan pasal 29 dan Bab VI tentang larangan perkawinan pasal 39
sampai dengan pasal 44.
- Perkawinan di langsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
- Perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri
b) Alasan pembatalan perkawinan dalam KHI
Berdasarkan KHI perkawinan batal karena:
- Suami lekakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat oramg istri, sekalipun salah satu
dari ke empat istrinya itu dalam iddah talak raj’i
- Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li’an nya
- Seseorang menikahi bekas istri yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba’da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah hanis
masa iddahnya
- Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:
1) Berhubungan darah dalam satu garis keturunan lurus kebawah atau ke atas.
2) Berhubungan darah dalam gais keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya.10
3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah
tiri
4) Berhubungan sesusuan yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
9
Ibid., hlm. 50.
10
Ibid., hlm. 51.
11
e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
(a) Keluarga dalam garis keturunan garis lurus ke atas dari suami dan istri.
(b) Suami atau istri.11
(c) Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum di putuskan.
(d) Pejabat yang ditunjuk sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (2)
dan setiap orang yang mempnyai perkawinan
(e) Dalam hal perkawinan di langsungkan di muka Pejabat Pencatat Nikah
yang tidak berwenang, wali nikah, tanpa dihadiri dua saksi dapat diajukan
oleh:
- Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
- Suami atau istri
- Jaksa
(f) Siapa saja yang karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru
11
Ibid., hlm. 52.
12
(g) Pembatalan perkawinan di lakukan oleh suami atau istri apabila:
- Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
- Perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami istri12
12
Ibid., hlm. 53.
13
Ibid., hlm. 58-59.
13
harta bersama. Apabila terjadi cerai mati adalah ½ bagian harta bersama
menjadi hak istri suami yang masih hidup.
10) Penguasaan Anak / hadlanah
Pada dasarnya anak yang belum mumayyiz atau berumur 12 tahun
berada dalam penguasaan ibunya. Setelah mumayyiz atau berumur 12
tahun anak berhak untuk menentukan pilihan.
Apabila dalam perceraian telah ditetapkan bahwa anak berada di
bawah pengasuhan suami atau istri maka pihak yang tidak memegang
penguasaan anak atau kerabat keluarga lain dapat mengajukan permohonan
untukmemindahkan kepada kerabat lain yang memmpunyai hak
penguasaan terhadap anak dengan alasan bahwa pemegang hak penguasaan
anak ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak.14
11) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak dapat memenuhi,
Mengenai biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang harus meruoakan
tanggung jawab bapak sampai anak berusia 21 tahun. Biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak ditanggung oleh bekas suami sesuai dengan
kemampuannya.
Apabila bapak tidak mampu pengadilan dapat menetapkan ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.
12) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam suatu
perkawinan yang sah. KHI memperluas pengertian anak sah selain yang
tersebut diatas dengan menyatakan termasuh anak sah juga anak hasil
pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Apabila anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang menurut
suami anak itu bukan anaknya maka suami dapat mengingkarinya.15
13) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
Kekuasaan orang tua dapat di cabut oleh pengadilan karena adanya
14
Ibid., hlm. 60-61.
15
Ibid., hlm. 62-64.
14
permohonan pencabutan kekuasaan orang tua atas permintaan salah satu
orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua
dapat di cabut oleh pengadilan apabila ternyata orang tua:
- Sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya
- Berkelakuan buruk sekali
14) Perwalian
Dalam hal perwalian, Peradilan Agama berwenang memeriksa perkara:
- Pencabutan kekuasaan wali
Wali yang ditunjuk orang tua untuk perwalian anak dapat di cabut oleh
pengadilan atas permintaan kerabatnya karena wali tersebut telah
melalaikan kewajibannya terhadap anak dan wali berkelakuan buruk sekali.
- Penunjukan seorang wali dalam hal kekuasaan wali dicabut
Pengadilan Agama dapat menunjuk seorang wali apabila yang menjadi
wali terhadap anaknya telah dicabut kekuasaan perwaliannya oleh
pengadilan.
- Pengadilan Agama dapat menunjuk wali dalam hal anak yang belum
berumur 18 tahun yang di tinggal orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya.
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah
kekuasannya.
15) Penetapan Asal Usul Anak
Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang
otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Yang berwenang
ialah dari kantor sipil. Apabila akta kelahiran tidak ada maka pengadilan
dapat menetapkan tentang asal usul anak setelah dilakukan pemeriksaan
yang t eliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
16) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran Dalam hal pejabat yang berwenang menolak
memberikan keterangan untuk melakukan perkawinan campuran maka
15
dapat di ajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.
17) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain16
a. Warisan
Yang dimaksud dengan waris dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun
2006 adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing- masing ahli waris, dan
melaksnakana pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan
pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
b. Wasiat
Yang dimaksud wasiat adalah perbuatan seseorang meberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga atau badan hukum
yang berlaku setelah yang memebri wasiat tersebut meninggal dunia.17
Mengenai wasiat UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU
No. 3 Tahun 2006 tidak mengatur secara jelas. Wasiat diatur secara jelas
dala KHI pada Buku II tentang Hukum Kewarisan Bab V tentang
wasiat(Pasal 19 s/d Pasal 209) dalam Bab ini diatur tentang:
- Syarat-syarat pihak dalam wasiat
- Harta benda yang diwasiatkan;
- Cara-cara wasiat;
- Batalnya wasiat;
- Pencabutan wasiat;
- Batas besarnya harta yang di wasiatkan;
- Cara pembukaan surat wasiat
- Wasiat anggota tentara pada waktu perang;
- Wasiat yang dalam perjalanan melalui laut;
- Pihak yang tidak dapat menerima wasiat;
16
Ibid., hlm. 65-68.
17
Soeroso, Hukum Acara Khusus (Kompilasi Ketentuan Hukum Acara Dalam
Undang-Undang), Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010, hlm. 264.
16
- Wasiat wajibah;
c. Hibah
Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk di miliki.
Pengaturan hibah diatur dalam KHI Buku II Bab VI tentang Hibah
(Pasal 210 s/d Pasal 214). Dalam bab ini diatur tentang:
- Syarat-syarat orang yang menghibahkan;
- Batas maksimal harta benda yang dihibahkan;
- Harta benda yang di hibahkan;
- Hibah orang tua kepada anak;
- Hibah tidak dapat di tarik kembali;
- Hibah yang di berikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang
dekat dengan kematian;
- Cara menghibahkan Warga Negara Indonesia yang berada di negeri asing;
d. Wakaf
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaur tentang
wakaf, yaitu:
- Peraturan pemerintah nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik;
- Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksana Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978;
- Komplisai Hukum Islam;
- UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf;
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksana UU No.
41 Tahun 2004 tentang wakaf;
- Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi
Pendaftaran Wakaf Uang;
e. Zakat
Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib di sisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
17
f. Infaq
Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, meberikan rizki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah. Mengenai infaq tidak ada peraturan yang definitif diatur
dalam peraturan perundang-undangan sehingga pengaturan mengenai
shodaqah didasarkan pada dalil-dalil Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’, qiyas,
serta kitab-kitab fiqih karangan ahli fiqih.
g. Shodaqah
Yang dimaksud dengan shadaqah adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu da jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah dan pahala semesta.
Mengenai shodaqah tidak ada peraturan yang definitif diatur dalam
peraturan perundang-undangan sehingga peraturan mengenai shadaqah
didasarkan pada dalil-dalil Al Quran Al Hadist, Ijma;, serta kitab-kitab
Fiqih karangan para ahli fiqih.
h. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi:
- Bank Syari’ah
- Lembaga keuangan mikro syariah
- Asuransi syari’ah
- Reksa dana syariah
- Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
- Sekuritas syariah
- Pembiayaan syariah
- Pegadaian syariah
- Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
18
- Bisnis syariah
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dlaam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan
Peraturan Mhkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.18
18
Opcit., Abdullah Tri Wahyudi, hlm. 70-79.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penghapusan kekuasaan absolut dalam peradilan agama sering
melibatkan reformasi sistem hukum untuk memastikan adanya
keseimbangan kekuasaan antara institusi agama dan otoritas sipil. Hal ini
bisa dilakukan melalui pembentukan undang-undang yang mengatur batasan
kekuasaan, memastikan perlindungan hak asasi manusia, serta
memungkinkan pengadilan sipil untuk mengawasi dan meninjau keputusan
peradilan agama.
B. Saran
22