Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PERADILAN AGAMA

“ Kompetensi Absolut Peradilan Agama di Indonesia”

Dosen Pengampu: H. Alpun Khoir Nasution, S.Ag., M.H.

Disusun Oleh:
Sarah Lisfiza (0203222051)

Syafiq Alfiqri (0203222075)

M. Dimas Wirayuda (0203222082)

PROGRAM STUDI S-1 HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


MEDAN, 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah swt. Yang maha esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada bapak dosen yang telah membimbing kami dalam
penyelesaian makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Kompetensi Absolut Peradilan Agama
di Indonesia”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya.

Medan, 20 Maret 2024

Kelompok 4

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ I

DAFTAR ISI.............................................................................................. II

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

A. Latar belakang masalah................................................................... 1


B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 1

1. Pengertian Kompetensi Absolut Di Peradilan Agama..................... 1


2. Pembagian Kompetensi Absolut...................................................... 6
3. Wewenang Dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama.......... 7
4. Kewenangan Mengadili Tidak Meliputi Sengketa Hak Milik Atau Sengketa
Lain Antar Orang Islam Dengan Non Islam..................................... 13

BAB III PENUTUP..................................................................................... 15

Kesimpulan................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 16

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak


(Bahasa Belanda), berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;
keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan, yaitu daya upaya mencari
keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-
peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud Peradilan
Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan
bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Keberadaan Badan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana dari


Kekuasaan Kehakiman dalam Negara Hukum Republik Indonesia sangat
diperlukan akibat Islam sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai agama hukum
yang di dalamnya mengatur kehidupan penganutnya, di dunia maupun akhirat. Ada
bagian-bagian tertentu dalam kehidupan umat Islam khususnya di Indonesia yang
tidak dapat sama sekali dilepaskan dari aturan hukum agamanya. Bagi pemeluk
Islam dalam menjalankan syariat agama ada hal-hal yang menyangkut hubungan
hukum (perdata) antar mereka sendiri, perlu diatur dengan peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan keyakinan dan kesadaran hukum umat Islam; agar
mereka dalam melakukan hubungan hukum dapat terarah sehingga menumbuhkan
tertib hukum dan kepastian hukum.1

1
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. XX, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2022)
h. 27.

1
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama
adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau
menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam
melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kompetensi absolut di peradilan agama?
2. Apa saja pembagian kompetensi absolut?
3. Apa saja wewenang dalam kompetensi absolut di peradilan agama?
4. Bagaimana kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik atau
sengketa lain antar orang islam dengan non islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kompetensi absolut di peradilan agama.
2. Mengetahui pembagian kompetensi absolut.
3. Mengetahui wewenang dalam kompetensi absolut di peradilan agama.
4. Mengetahui kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik atau
sengketa lain antar orang islam dengan non islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kompetensi Absolut di Peradilan Agama


Kompetensi mengambil dari Kamus Terminologi Hukum berasal dari
competent yakni Berwenang secara hukum, Cakap dalam menangani perkara.
Dalam bidang kekuasaan kehakiman atau dunia peradilan kompetensi
(competentie) yang berasal dari bahasa Belanda artinya kekuasaan atau
kewenangan.2 Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan
hukum acara.

Kekuasan atau kompetensi terbagi menjadi kekuasaan absolut (kompetensi


absolut) berasal dari (absolute yaitu mutlak).3 Yang berarti mampu atau kompeten
dalam hal yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan.

Kompetensi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa


jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan
lain, baik dalam lingkungan Peradilan yang sama maupun dalam lingkungan
peradilan lain. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.4

Kewenangan peradilan agama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


bidang perdata dimaksud, sekaligus dikaitkan dengan asas personalita ke-islaman
yakni yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan peradilan agama,
hanya mereka yang beragama islam. Yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
dalam lingkungan peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama yang
bertindak sebagai peradilan tingakat pertama, bertempat kedudukan di kotamadya

2
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990) h. 29.
3
I.P.H. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, cet. III, (Jakarta: SinarGrafika, 2003)
h. 148.
4
Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press, 2006) h. 151

3
atau ibukota kabupaten. Peradilan tingkat “banding” dilakukan oleh pengadilan
tinggi agama yang bertempat kedudukan di ibukota provinsi.5

Menurut Roihan Rasyid, kompetensi seringkali juga dimaknai kewenangan,


dan juga dimaknai dengan kekuasaan.6 Adapun kompetensi yang dimaksud disini
adalah kewenangan mengadili oleh lembaga peradilan.

Kompetensi Absolut pengadilan dapat diartikan sebagai kewenangan


mutlak yang dimiliki oleh suatu pengadilan untuk menerima, mengadili dan
memutus suatu perkara tertentu berdasarkan kriteria objek perkara dan subjek
perkaranya.

Mengenai pengertian kompetensi absolut ini ada beberapa pendapat,


menurut Sudikno Mertokusumo, kewenangan mutlak diartikan sebagai berikut;
Wewenang mutlak atau wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan
yang sama lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam
lingkungan peradilan lain. Wewenang mutlak ini untuk menjawab pertanyaan:
apakah pengadilan tertentu itu (misalnya Pengadilan Negeri) berwenang memeriksa
jenis perkara tertentu yang diajukan, biasanya kompetensi absolut ini tergantung
pada isi gugatan, yaitu, nilai daripada gugatan, wewenang mutlak ini disebut juga
atribusi kekuasaan kehakiman.7

Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-


Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah sebagai berikut.

– perkawinan;
– waris;
– wasiat;
– hibah;

5
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005) h. 100
6
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) h. 26
7
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982) h.53

4
– wakaf;
– zakat;
– infaq;
– shadaqah; dan
– ekonomi syari’ah.8

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan agama yang berhubungan


dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan.
dalam perbedannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan lainnya, misalnya: Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan
bagi mereka yang beragama islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi
kekuasaan peradilan umum. Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan
mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di
pengadilan tinggi agama atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama
diajukan ke pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.9

Ditinjau dari hubungan antara satu pengadilan dengan pengadilan lainnya,


kompetensi absolut dapat dibedakan atas kompetensi absolut horizontal dan
vertikal. Kompetensi absolut horizontal wewenang mutlak mengadili dari suatu
pengadilan dibedakan dengan pengadilan lain yang sederajat tetapi dari lingkungan
peradilan yang berbeda, Misalnya kompetensi absolut Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama, ataupun Pengadilan Militer. Sedangkan kompetensi absolut
vertikal adalah wewenang mutlak mengadili dari suatu pengadilan yang dibedakan
dengan pengadilan tingkat atasnya secara berjang, mulai tingkat pertama, banding
dan kasasi, misalnya, kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
berbeda dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) dan Mahkamah
Agung.

8
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 98
9
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan
Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009) h. 27-28

5
2. Pembagian Kompetensi Absolut

Dalam lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolut


menangani perkara-perkara tertentu, dibagi berdasarkan wilayah dan kewenangan
mengadili perkara (kompetensi relatif). Pengadilan Tingkat Pertama dibagi
berdasarkan wilayah Kabupaten/Kota. Pengadilan Banding (Pengadilan Tinggi)
pada Tingkat Provinsi dan Pengadilan Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) pada
Mahkamah Agung RI.

Kewenangan absolut peradilan agama terbagi 2, yaitu volunter (bentuk


perkara permohonan tanpa adanya lawan dan produknya adalah penetapan) dan
contensius (bentuk perkara gugatan/ada sengketa didalamnya dan produk
putusannya adalah vonis).

Berikut ini adalah macam-macam perkara volunter dalam peradilan agama:

a. Penetapan dispensasi kawin bagi anak dibawah umur (pasal 7 ayat (2)
UU No.1/1974);
b. Isbat nikah untuk perkawinan yang tidak dicatatkan(penjelasan pasal 49
angka 37 UU No. 3/2006);
c. wali adhal (Peraturan Menteri Agama No. 2/1987 Pasal 2 ayat 3;
d. Penentuan ahli waris (penjelasan pasal 49 angka 37 UU No. 3/2006);
e. kuasa/wali untuk menjual harta warisan, termasuk hak milik lainnya
yang dimiliki anak yang belum dewasa (Sarmin Syukur, 2018: 79);
f. Penetapan asal usul anak;
g. Penetapan pengangkatan anak;
h. Penetapan penunjukan seorang wali dalam hal anak yang belum cukup
umur 18 tahun yang ditinggal mati kedua orang tuanya, padahal tidak
ada penunjukan wali dari orang tuanya;
i. Perubahan biodata pada buku nikah (pasal 34 ayat 1 PMA No. 19/2018);
j. Mafqud (49 UU No. 3/2006);
k. Isbath rukyathilal (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006)

6
Dan berikut ini adalah macam-macam perkara contensius yang menjadi
kewenangan absolut peradilan agama berdasarkan UUNo.3 Tahun 2006Tentang
Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama:

a. Perkawinan: sebagaimana tersebut dalam UU No. 1/1974 ditambah


Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
b. Kewarisan: sebagaimana tersebut dalam UU No.7/1989 Tentang PA
ditambah kewenangan “Penetapan ahli waris tanpa sengketa;
c. Wakaf: sebagaimana tersebut dalam UU No. 41/2004 Tentang Wakaf
dan PP No. 27 Tahun 1977 Tentang perwakafan tanah milik serta KHI;
d. Zakat;
e. Infaq
f. Shodaqoh
g. Hibah;
h. Wasiat;
i. Ekonomi Syariah

3. Wewenang dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama

Kewenangan absolut Peradilan Agama pada akhir Masa Kolonial Belanda,


Masa Jepang dan Masa Kemerdekaan adalah sama, diatur dalam Staatsblad Tahun
1882 Nomor 152, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610, Staatsblad Tahun
1937 Nomor 638 dan 639 dan PP No. 45 Tahun 1957. kewenangan absolut
Peradilan Agama pada Masa Orde Baru dan Masa Reformasi adalah sama
sebagaimana kewenangan yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan UU No. 7 Tahun 1989. Kewenangan absolut Peradilan Agama pada
Masa Pasca Reformasi diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun
2009.

7
• Perkembangan kewenangan absolut Peradilan Agama dari masa ke masa

Mulai Masa Kolonial Belanda sampai dengan Masa Pasca Reformasi semakin
bertambah atau luas, lebih banyak perkara yang bisa diperiksa oleh Peradilan
Agama, bertambahnya perkara yang bisa diperiksa oleh Peradilan Agama semakin
signifikan pada masa Orde Baru. Dan lompatan terbesar perkara yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama ada pada Masa Pasca Reformasi, kewenangan
Peradilan Agama bertambah dengan adanya kewenangan memeriksa perkara zakat,
infak, dan ekonomi syariah serta khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, kewenangan Peradilan Agama yang dijalankan oleh Mahkamah
Syar‟iyah semakin bertembah, tidak saja memeriksa perkara perdata Islam (ahwal
syahsiyah dan muamalah) tetapi juga memeriksa perkara pidana Islam (jinayah).10

Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan

Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau


berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari’ah, antara lain:11

1. Izin beristri lebih dari seorang;

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;

3. Dispensasi kawin;

4. Pencegahan perkawinan;

10 Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2018
11
Ibid. h. 99

8
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6. Pembatalan perkawinan;

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;

8. Perceraian karena talak;

9. Gugatan perceraian;

10. Penyelesian harta bersama;

11. Penguasaan anak-anak;

12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang
seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;

13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16. Pencabutan kekuasaan wali;

17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;

18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya;12

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

12
Ibid. h. 99

9
20. Penetapan asal usul seorang anak;

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan


perkawinan campuran;

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain.13

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan kewenangan


Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:

23. Penetapan Wali Adlal;

24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.

2. Warisan

Yang dimaksud dengan “waris” adalah:

1. penentuan siapa yang menjadi ahli waris


2. penentuan mengenai harta peninggalan
3. penentuan bagian masing-masing ahli waris
4. melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
5. penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.

3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

13
Ibid. h. 99

10
4. Hibah

Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara


sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.14

5. Wakaf

Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau


sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.15

6. Zakat

Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

7. Infaq

Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan


sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu
kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.

8. Shodaqoh

Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang


memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan

14
Ibid. h. 128
15
Ibid. h. 128

11
dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho
Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.16

9. Ekonomi Syari’ah

Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan


usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:

– bank syari’ah;

– lembaga keuangan mikro syari’ah.

– asuransi syari’ah;

– reksa dana syari’ah;

– obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;

– sekuritas syari’ah;

– pembiayaan syari’ah;

– pegadaian syari’ah;

– dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan

– bisnis syari’ah.

Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

16
Ibid. h. 129

12
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:

1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,


mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah.

2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi


Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi
tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk
menjamin putusan yang adil dan benar.17

4. Kewenangan Mengadili Tidak Meliputi Sengketa Hak Milik Atau Sengketa


Lain Antar Orang Islam dengan Non Islam

Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah sebagai
berikut.

1. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara
orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan Peradilan
Umum untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan perkara di
Peradilan Agama terhadap objek sengketa yang masih terdapat sengketa milik
atau sengketa lain antara orang Islam dan selain orang Islam ditunda terlebih
dahulu sebelum mendapatkan putusan dari Peradilan Umum. Sebagaimana
diatur dalam pasal berikut. “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa
lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai
objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.”
2. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara
orang Islam maka Peradilan Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang

17
Ibid. h. 130

13
menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal berikut.
“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud ayat (1) yang subjek
hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut
diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 49.”18

18
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 133

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan


jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya,
misalnya:

Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang


beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan
Umum.

Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara


dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi
Agama atau di Mahkamah Agung.

Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama,


tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.

Terhadap kekuasaan absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk


meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya
atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan
Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka
pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut “Eksepsi Absolut” dan
jenis eksepsi ini boleh diajukan kapan saja, malahan sampai di tingkat banding atau
di tingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk salah satu
diantara tiga alasan yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan
alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama
yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Asasriwarni dan Nurhasnah. (2006). Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa


Press.
Chatib Rasyid dan Syaifuddin. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik Pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press.
Harahap, M. (2005). Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.
Jakarta: Sinar Grafika.

Mertukusumo, S. (1982). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.


Ranuhandoko, I. (2003). Terminologi Hukum Inggris-Indonesia. Jakarta:
SinarGrafika.
Rasyid, R. A. (2022). Hukum Acara Peradilan Agama. Depok: Rajagrafindo
Persada.

Subekti dan R. Tjitrosoedibio. (1990). Kamus Hukum, . Jakarta: Pradnya Paramita.


Wahyudi, A. T. (2004). Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyudi, A. T. (2018). Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada


Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi. Yudisia, 7.

16

Anda mungkin juga menyukai