Disusun Oleh:
Sarah Lisfiza (0203222051)
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah swt. Yang maha esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada bapak dosen yang telah membimbing kami dalam
penyelesaian makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Kompetensi Absolut Peradilan Agama
di Indonesia”. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Kelompok 4
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ I
DAFTAR ISI.............................................................................................. II
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 1
Kesimpulan................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 16
II
BAB I
PENDAHULUAN
1
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. XX, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2022)
h. 27.
1
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama
adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau
menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam
melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kompetensi absolut di peradilan agama?
2. Apa saja pembagian kompetensi absolut?
3. Apa saja wewenang dalam kompetensi absolut di peradilan agama?
4. Bagaimana kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik atau
sengketa lain antar orang islam dengan non islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kompetensi absolut di peradilan agama.
2. Mengetahui pembagian kompetensi absolut.
3. Mengetahui wewenang dalam kompetensi absolut di peradilan agama.
4. Mengetahui kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik atau
sengketa lain antar orang islam dengan non islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990) h. 29.
3
I.P.H. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, cet. III, (Jakarta: SinarGrafika, 2003)
h. 148.
4
Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press, 2006) h. 151
3
atau ibukota kabupaten. Peradilan tingkat “banding” dilakukan oleh pengadilan
tinggi agama yang bertempat kedudukan di ibukota provinsi.5
– perkawinan;
– waris;
– wasiat;
– hibah;
5
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2005) h. 100
6
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) h. 26
7
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982) h.53
4
– wakaf;
– zakat;
– infaq;
– shadaqah; dan
– ekonomi syari’ah.8
8
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 98
9
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan
Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009) h. 27-28
5
2. Pembagian Kompetensi Absolut
a. Penetapan dispensasi kawin bagi anak dibawah umur (pasal 7 ayat (2)
UU No.1/1974);
b. Isbat nikah untuk perkawinan yang tidak dicatatkan(penjelasan pasal 49
angka 37 UU No. 3/2006);
c. wali adhal (Peraturan Menteri Agama No. 2/1987 Pasal 2 ayat 3;
d. Penentuan ahli waris (penjelasan pasal 49 angka 37 UU No. 3/2006);
e. kuasa/wali untuk menjual harta warisan, termasuk hak milik lainnya
yang dimiliki anak yang belum dewasa (Sarmin Syukur, 2018: 79);
f. Penetapan asal usul anak;
g. Penetapan pengangkatan anak;
h. Penetapan penunjukan seorang wali dalam hal anak yang belum cukup
umur 18 tahun yang ditinggal mati kedua orang tuanya, padahal tidak
ada penunjukan wali dari orang tuanya;
i. Perubahan biodata pada buku nikah (pasal 34 ayat 1 PMA No. 19/2018);
j. Mafqud (49 UU No. 3/2006);
k. Isbath rukyathilal (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006)
6
Dan berikut ini adalah macam-macam perkara contensius yang menjadi
kewenangan absolut peradilan agama berdasarkan UUNo.3 Tahun 2006Tentang
Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama:
7
• Perkembangan kewenangan absolut Peradilan Agama dari masa ke masa
Mulai Masa Kolonial Belanda sampai dengan Masa Pasca Reformasi semakin
bertambah atau luas, lebih banyak perkara yang bisa diperiksa oleh Peradilan
Agama, bertambahnya perkara yang bisa diperiksa oleh Peradilan Agama semakin
signifikan pada masa Orde Baru. Dan lompatan terbesar perkara yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama ada pada Masa Pasca Reformasi, kewenangan
Peradilan Agama bertambah dengan adanya kewenangan memeriksa perkara zakat,
infak, dan ekonomi syariah serta khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, kewenangan Peradilan Agama yang dijalankan oleh Mahkamah
Syar‟iyah semakin bertembah, tidak saja memeriksa perkara perdata Islam (ahwal
syahsiyah dan muamalah) tetapi juga memeriksa perkara pidana Islam (jinayah).10
1. Perkawinan
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada
perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
10 Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa
Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2018
11
Ibid. h. 99
8
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
9. Gugatan perceraian;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak yang
seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri
atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
(delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya;12
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
12
Ibid. h. 99
9
20. Penetapan asal usul seorang anak;
2. Warisan
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
13
Ibid. h. 99
10
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq
8. Shodaqoh
14
Ibid. h. 128
15
Ibid. h. 128
11
dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho
Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.16
9. Ekonomi Syari’ah
– bank syari’ah;
– asuransi syari’ah;
– sekuritas syari’ah;
– pembiayaan syari’ah;
– pegadaian syari’ah;
– bisnis syari’ah.
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
16
Ibid. h. 129
12
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah sebagai
berikut.
1. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara
orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan Peradilan
Umum untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan perkara di
Peradilan Agama terhadap objek sengketa yang masih terdapat sengketa milik
atau sengketa lain antara orang Islam dan selain orang Islam ditunda terlebih
dahulu sebelum mendapatkan putusan dari Peradilan Umum. Sebagaimana
diatur dalam pasal berikut. “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa
lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai
objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum.”
2. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara
orang Islam maka Peradilan Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang
17
Ibid. h. 130
13
menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam pasal berikut.
“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud ayat (1) yang subjek
hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut
diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 49.”18
18
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 133
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
15
DAFTAR PUSTAKA
16