MATAKULIAH
Dosen Pengampu :
Hatoli, S.Sy , M.H.
OLEH:
SILVIA NINGSIH
NIM. 301.2021.005
Semester : 4
Kelompok : 4
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berisikan tentang Peradilan agama.
Adapun tujuan dan maksud dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai salah
satu pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata Di Peradilan Agama .
Dengan harapan bahwa makalah ini dapat membantu serta memberikan tambahan
pengetahuan kepada pembacanya.
SILVIA NINGSIH
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan Masalah..................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
A. Kompetensi Absolut Peradilan Agama...............................................2
B. Kompetensi Relatif Peradilan Agama................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak
(Bahasa Belanda) , berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;
keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan , yaitu daya upaya mencari
keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan
bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan
Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau
menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam
melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kompetensi Absolut Peradilan Agama
2. Bagaimana Kompetensi Relatif Peradilan Agama
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Kompetensi Absolut Peradilan Agama
2. Menjelaskan Kompetensi Relatif Peradilan Agama
BAB II
PEMBAHASAN
1
Asasriwarni dan Nurhasnah,Peradilan Agama di Indonesia. (Padang: Hayfa Press.
2006),Hlm. 151
2
b. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c. dispensasi kawin;
d. pencegahan perkawinan;
e. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
f. pembatalan perkawinan;
g. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
h. perceraian karena talak;
i. gugatan perceraian;
j. penyelesian harta bersama;
k. penguasaan anak-anak;
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana
bapak yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p. Pencabutan kekuasaan wali;
q. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;
3
t. Penetapan asal usul seorang anak;
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal
memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa
perkara perkawinan, yaitu:
w. Penetapan Wali Adlal;
x. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.
2. Warisan
Yang dimaksud dengan “waris” adalah:
a. penentuan siapa yang menjadi ahli waris
b. penentuan mengenai harta peninggalan
c. penentuan bagian masing-masing ahli waris
d. melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
e. penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian
masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.
4
4. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. 2
5. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
6. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
7. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia),
atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8. Shodaqoh
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
2
M.Yahya Harahap,S.H,Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.(Jakarta :
Sinar Grafika 2005),hlm. 100
5
tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala
semata. 3
9. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi:
a. bank syari’ah
b. lembaga keuangan mikro syari’ah
c. asuransi syari’ah
d. reksa dana syari’ah
e. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f. sekuritas syari’ah
g. pembiayaan syari’ah
h. pegadaian syari’ah
i. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
j. bisnis syari’ah.
Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah.
Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
3
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama,(Bandung: Mandarmaju. 2014 ), Hlm 80
6
2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak
mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan
hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
4
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 98.
7
relatif mempunyai pengertian yang sama. Kompetensi relatif (relative
competentie) adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan mengadili antar
Pengadilan Agama. Atau dengan kata lain Pengadilan Agama mana yang
berwenang memeriksa dan memutus perkara. Pengertian lain dari kewenangan
relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam
perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.5
Misalnya antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Pengadilan
Agama Bandung. Kompetensi relatif adalah kekuasaan atau kewenangan yang
diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
kewenangan yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan
Agama.
Guna memudahkan pemahaman pengertian tentang kompentensi relatif
maka dibuatlah suatu kalimat pertanyaan, yaitu ke Pengadilan Agama mana
perkara itu akan diajukan? Dari pengertian di atas maka pengertian
kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada
pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang
berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat
tinggal/tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.
Pihak yang akan mengajukan perkaranya ke pengadilan pada umumnya
dan khususnya Pengadilan Agama haruslah memperhatikan tentang
kompetensi relatif ini apabila salah dalam menentukan kompetensi relatifnya
maka akibat hukumnya sangat jelas yaitu perkara yang diajukan akan diputus
dengan putusan yang tidak dapat diterima.Dikarenakan jenis perkara yang ada
di Peradilan Agama ada dua macam yaitu perkara permohonan (voluntaire) dan
perkara gugatan (contentius) maka kewenangan relatif masing-masing jenis
perkara ini juga berbeda.6
1. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
5
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2006), hlm.138.
6
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 131.
8
Perkara permohonan (voluntaire) adalah perkara yang hanya ada
satu pihak, karena hanya satu pihak dan tidak ada lawannya maka dalam
perkara permohonan ini tidak ada pihak yang bersengketa. Menurut
Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, perkara
permohonan adalah perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang
bersengketa.7Kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara
permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya
meliputi kediaman pemohon. Ketentuan ini adalah ketentuan berlaku
secara umum (general), baik berlaku di Pengadilan pada lingkungan
Peradilan Umum dalam perkara perdata maupun di Pengadilan pada
lingkungan Peradilan Agama. Kuncinya adalah permohonan diajukan ke
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman
pemohon atau orang yang mengajukan permohonan.
Namun dalam jenis perkara permohonan tertentu telah diatur
disebutkan langsung di dalam undang-undang ke Pengadilan Agama
mana perkara permohonan tersebut diajukan, perkara-perkara tersebut
adalah:
a. Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon.
b. Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri
yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki
dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang
bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi kediaman pemohon.
c. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan
perkawinan.
7
Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Preaktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm.10.
9
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya
pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.
Pengaturan kompetensi relatif dalam jenis perkara
permohonan tertentu di atas merupakan peraturan yang bersifat
khusus atau pengecualian dari peraturan yang bersifat umum
sehingga yang diberlakukan adalah peraturan yang bersifat khusus
dan mengesampingkan peraturan yang bersifat umum (lex specialis
derogat legi geralis).
10
e. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan,
gugatan diajukan kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut.
Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Kompetensi relatif (relative competentie) adalah pembagian kewenangan
atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Agama. Atau dengan kata lain
Pengadilan Agama mana yang berwenang memeriksa dan memutus perkara.
Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah kekuasaan peradilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
yang sama jenis dan tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA
12
Djalil, A. Basiq, 2006, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Wahyudi, Abdullah Tri, 2014, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh
Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung:
Mandar Maju
13