Dosen Pengampu:
TASBIR SH., M.H.
KELOMPOK II:
JURUSAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warohmatullahiwabarokatuh.
Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmatdan
hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah HUKUM ACARA
PENGADILAN AGAMA dengan judul KEKUASAAN BADAN PERADILAN AGAMA.
Tidak lupa shalawat dan salam senantiasa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, semoga kelak mendapatkan syafaatnya di akhirat. Amiin.
Sebagai tim penyusun, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
memacu kreativitas, serta keterampilan para mahasiswa dalam menyusun makalah yang
berkualitas. Sehingga dapat mewariskan sebuah ilmu yang berguna bagi generasi mendatang dan
semoga pihak-pihak yang telah disebutkan di atas dapat menerima manfaat dari penyusunan
makalah ini.
Wassalamu’alaikum warohmatullohiwabarokatuh.
penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kata “kekuasaan” di sini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang kadandg-kadang
diterjemahkan juga dengan “wewenang”, sehimgga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Peradilan,
biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relatif” dan “kekuasaan absolut”.
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau
jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya misalnya, pengadilan agama berkuasa atas
perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi
kekuasaan peradilan umum. Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili
perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama atau di
mahkamah agung.
Berdasarkan uraian diatas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi
absolut) peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam pasal 49 UU
Nomor 50 Tahun 2009 (3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1989) dan berdasarkan
atas asas personalitas keislaman. Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum
perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari
orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu menurut bustanul arifin, peradilan agama
dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-orang yang beragama islam, seperti yang
terdapat di beberapa negara lain. Sebagai suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang
menangani perkara-perkara di bidang hukum keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda
dengan peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para hakim,
panitera, dan sekretaris harus disesuaikan dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.
Selanjutnya ditegaskan bahwa peradilan agama sebagai peradilan keluarga haruslah
dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya melaksanakan kekuasaan
kehakiman secara tradisional dan kaku dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan
kepadanya. Namum, peradilan agama haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan
kerusakan rohani dan sosial bagi para keluarga yang mencari keadilan. Disamping itu, peradilan
agama harus pula diarahkan sebagai keluarga yang akan menjurus kepada sengketa-sengketa
keluarga. Demikian pula pada saat akan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, harus dijaga
suasananya benar-benar mausiawi dan kekeluargaan.
Sesuai dengan kompetensi absolute pengadilan agama yaitu perkara bidang perkawinan,
kewarisan,wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam hal ini akan
saya jelaskan secara rinci.
a. Kewenangan mengadili perkara bidang perkawianan
Di atas telah dijelaskan bahwa kewenangan absolut peradilan agama meliputi bidang-bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak shadaqah, dan ekonomi syariah.
Mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, pasal 49
ayat (2) ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut ke dalam 22 butir, yaitu:
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Selanjutnya ditegaskan pula dalam pasal 52 ayat (1) UU No 7 Tahun 1989 yang
menentukan bahwa peradilan agama juga diberi tugas dan kewenangan lain yaitu”dapat memberi
keterangan, pertimbanagan dan nasehat tentang hukum Islam kepada institusi pemerintah di
daerah hukumnya, apalagi diminta. Pemberian keterangan, pertimbanagn dan nasehat tentang
hukum Islam itu, tidak dibenarkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan atau akan diperiksa
di pengadilan. Selain itu, juga diserahi tugas tambahan dan/ atau berdasarkan UU, misalnya
pengawasan terhadap pengacara/advokat yang berpraktek dilingkungan peradilan agama,
notaries, Pegawai Pencatat Ikrar Wakaf (PPIW), Nadzir, dan sebagainya.
2. Kekuasaan Relatif Badan Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kekuasaan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan
wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan
Pegadilan Agama Bogor.
Dalam contoh yang telah diberikan, Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan
Agama Bogor, keduanya adalah sama-sama berada di dalam lingkungan Peradilan Agama dan
sama-sama berada pada tingkat pertama. Persamaan ini adalah disebut dengan satu jenis.
Bagi pembagian kekuasaan relatif ini, Pasal 4 UU No. 7 1989 tentang Peradilan Agama
telah menetapkan:
“peradilan agama berkedudukan di kota madya atau kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kota madya atau kabupaten”.
Selanjutnya, pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) menetapkan:
“pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama ada dikodya atau kabupaten, yang daerah
hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkkinan
adanya pengecualian”.
Tiap pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu
kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin
lebih atau mungkin kurang, seperti di kabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan
Agama, karena kondisi transportasi yang sulit.
Cara mengetahui yuridiksi relatif agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau
permohonannya (yakni ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan hak
eksepsi tergugat), maka menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan Umum, apabila
penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri mana saja, diperbolehkan dan
pengadilan tersebut masing-masing boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak
ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (baik penggugat maupun
tergugat) memilih untuk berperkara di muka Pengadilan Negeri mana saja yang mereka sepakati.
Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal
ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut di samping boleh pula menolaknya. Namun
dalam praktiknya, Pengadilan Negeri sejak semula sudah tidak berkenan menerima
gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana
seharusnya gugatan atau permohonan itu diajukan.
Contoh-contoh ketentuan menentukan wilayah yuridiksi sebuah pengadilan adalah
sebagaimana berikut:
a) Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman
tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka pengadilan di mana tergugat
bertempat tinggal.
b) Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang
wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat.
c) Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak diketahui atau
jika tergugat tidak dikenal (tidak diketahui) maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat.
d) Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang
wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak.
e) Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada
pengadilan yang domisilinya terpilih.
Pada dasarnya untuk menentukan kekuasaan relatif Pengadilan Agama dalam perkara
permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif
dalam perkara-perkara tertentu seperti di dalam UU No. 7 Tahun 1989 sebagai berikut:
a) Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman permohon.
b) Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur
perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orang tuanya
yang bersangkutan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
pemohon.
c) Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya
meliputi tempat pelaksanaan perkawinan.
d) Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.
Sebagaimana yang diterangkan di atas, kewenangan relatif Pengadilan Agama tetap
terdapat beberapa pengecualian dibanding dengan Pegadilan Umum seperti dalam hal sebagai
berikut:
a. Permohonan Cerai Talak: Dalam hal cerai talak, Pengadilan Agama berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 66 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 7 Tahun
1989:
1) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
2) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
3) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dari ketetapan ini, maka dapat disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut:
a) Apabila suami atau pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak
memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri
atau termohon.
b) Suami atau pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi kediaman suami atau pemohon apabila istri atau termohon secara
sengaja menunggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami.
c) Apabila isti atau termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah
Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau pemohon.
d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b. Perkara Gugat Cerai: Dalam hal perkara gugat cerai, Pengadilan Agama berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutuskan perkara diatur dalam Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Dari ketetapan ini, maka dapat disimpulkan kepada 4 poin sebagai berikut:
a) Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi kediaman istri atau penggugat.
b) Apabila istri atau penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin suami,
maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi
kediaman suami atau tergugat.
c) Apabila istri atau penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah
Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami atau tergugat.
d) Apabila keduanya (suami istri) bertempat kediaman di luar negeri, maka yang berhak adalah
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
6. Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan
Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk daerah luar jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-
205 R.Bg.
b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang telah diubah dan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 terakhir
keduanya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dalam peraturan perundang-undangan ini memuat beberapa ketentuan
tentang Hukum Acara Perdata dalam praktik Peradilan di Indonesia.
c. Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara
Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di Mahkamah
Agung RI.
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-Undang ini diatur
tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur
beracara di lingkungan Peradilan Umum tersebut.
e. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut.
f. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 54 disebutkan bahwa
hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara
yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali hal-hal lain yang telah diatur secara khusus.
g. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri
dari 3 buku, yaitu Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Wakaf.
7. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockerna Andrea sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, bahwa
yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan
Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam
memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat dalam putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia
tidak menganut asas “the binding force of precedent’’, jadi bebas memilih antara meninggalkan
yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat keputusan
sebelumnya.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut hukum acara perdata
dan hukum perdata materiil dapat dijadikan hukum acara dalam praktik peradilan terhadap suatu
persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim.
Surat edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI ini banyak pakar hukum menganggap
bahwa Mahkamah Agung RI sudah mencampuri urusan hakim dalam menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur pada Pasal 195 HIR dan R.Bg sekaligus
tampaknya pendapat tersebut ada benarnya tetapi apabila dilihat Pasal 10 ayat (4) Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang baru, disebutkan dalam pasal 11 ayat (4) ditegaskan
bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan
yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan itulah Mahkamah Agung RI berwenang
memberikan petunjuk apabila dianggap perlu agar suatu masalah hukum tidak menyimpang dari
aturan yang telah ditentukan. Jadi, bukan mencampuri kemandirian hakim dalam menyelesaikan
suatu perkara yang dianjurkan kepadanya.
9. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 8), doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan
hukum acara guna, hakim dapat mengadili hukum acara perdatta. Doktrin itu bukan
hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin
atau ilmu pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa
dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab
fikih. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No.B/1/1735
Tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan peraturan pemerintahan No. 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk
mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim
Pengadilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang
bersumber dalam kitab fikih.
Dengan menunjukkan kepada 13 buah kitab fikih, diharapkan hakim Peradilan Agama
dapat mengambil atau menyerahkan tata cara beracara dalam Peradilan Islam untuk dijadikan
pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang dianjurkan kepadanya dilingkungan
Peradilan Agama.
Beberapa asas hukum acara peradilan agama, antara lain :
1. Pemeriksaan perkara dimulai setelah diajukan gugatan/permohonan,
2. Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih
hukum tidak ada atau tidak jelas,
3. Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA,
4. Putusan dan penetapan dimulai dengan kalimat ‘’Bismillahirrahmanirrahim’’,
5. Pengadilan mengadili dengan menurut hukum dan dengan tidak membeda-bedakan orang,
6. Pengadilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan,
7. Sidang pengadilan terbuka untuk umum kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau
jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian dilakukan sidang tertutup,
8. Rapat pemusyawaratan hakim bersifat rahasia,
9. Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwasannya didalam peradilan agama di Indonesia terdapat dua macam kekuasaan yaitu
kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif, selanjutnya terkait dengan kesimpulan sumber
pengadilan baik itu formil dan materil bahwasannya, sebelum Tahun 19991, yakni sebelum
lahirnya Kompilasi Hukum Islam, hukum materil Peradilan Agama merupakan hukum tidak
tertulis, karena masih berserakan diberbagai kitab-kitab fikik, malah pada tahun1958 sudah
diarahkan kepada hanya 13 kitab dan sebagaimana hukum materil, demikian pula hukum formil,
sebelum lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Hukum Acara Peradilan
Agama masih mengambil dari kitab-kitab fikih, karenanya kemungkinan adanya perbedaan
dalam penerapan antara satu pengadilan dengan pengadilan yang lain sangat besar. Hukum acara
yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara yang berlakudi Peradilan Umum (HIR
dan R.Bg) kecuali hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.