Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH HUKUM AGRARIA - SENGKETA TANAH

MAKALAH HUKUM AGRARIA - SENGKETA TANAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta
melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan
tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun
tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih
memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia,
maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal
tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa
tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak
melakukan wanprestasi.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar -
besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula
dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan
kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih
belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai
dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi
kepemilikan individual.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus
sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar
di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai
dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini. Perumusan masalah
menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau
kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana
dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini
berisikan antara lain :
1) Apa arti dari sengketa Tanah ?
2) Bagaimana penyelesaian kasus penyelesaian sengketa tanah antara militer dengan warga
masyarakat di jawa timur ?
3) Sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa tanah ?

C. TUJUAN
Adapun beberapa tujuan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan sertifikat sebagai alat bukti dalam penyelesaian
sengketa tanah.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian terbaik terhadap tanah yang dijadikan obyek
sengketa tersebut .
3. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai cara
menangani suatu sengketa atas tanah .
4. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi tentang bagaimana proses penguasaan tanah,
jaminan hukumnya, serta penyelesaian mengenai sengketa tanah bagi para mahasiswa.

BAB II
KERANGKA TEORI
A. DEFINISI SENGKETA TANAH
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di
media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah
sangat bervariasi yang antara lain :
© Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
© Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
© Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di
bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan
dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum
dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan
respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai
sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

B. PENYELESAIAN SENGKETA TANAH


Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat
(perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata
Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan
merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut,
mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi
serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
© mengenai masalah status tanah,
© masalah kepemilikan,
© masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data
terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan
sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila
data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas
atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai
dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan
dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum)
yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka
apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian
dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran
atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan
Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri
No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta
perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan.
(Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat
hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di
bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya
bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain
asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam
melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk
dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa,
maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali
Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak
atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan
dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus
pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita
acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang
bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1) Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3) Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya
dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi yang bersangkutan.
C. KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah
Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal
tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai
kekuatan pembuktian keluar.

BAB III
PEMBAHASAN
A. SERTIFIKAT
Sertifikat adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama
dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

B. HAL – HAL YANG MENYEBABKAN TERJADINYA SENGKETA TANAH


Menurut Kepala BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah:
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah yang
dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah
menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini,
masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat.
Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung
kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah
milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat),
tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi
banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka
telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan
begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata
persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di
carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya
konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.

C. KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT


1. Sistem Positif
Menurut sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku sebagai
tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya tanda bukti hak atas
tanah.
2. Sistem Negatif
Menurut sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat tanah
dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) dimuka
sidang pengadilan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang
berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

B. Saran
Sebagai saran, agar kita bias mempelajari hokum agraria di Indonesia terutama mengenai
pengertian dari sengketa tanah, bagaimana penyelesaiakan terhadap sengketa tanah, sertifikat
sebagai kekuatan alat nukti dalam penyelesaian sengketa tanah.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam
fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di
berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang
dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya
disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.”
Berdasarkanlatarbelakangdiatas Kami bermaksudmembuatMakalahdenganjudul“HakWarga
Negara AsingterhadapPenguasaan Tanah di Indonesia”.

B. Rumusan masalah

Untuk mendapat hasil yang sesuai dan tidak keluar dari judul pembahasan maka kami
merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Siapasaja yang bolehmemilikiHakAtas Tanah?
2. Apakah WNA bolehmemilikiHakAtas Tanah?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui siapa saja yang boleh memiliki Hak Atas Tanah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah WNA boleh memiliki Hak Atas Tanah atau tidak.

D. Sistematika Penulisan

Berikut dijelaskan sistematika yang dipakai oleh Kami dalam peyusunan makalah ini, yaitu:
Bab I berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Sistematika
Penulisan. Bab II berisi tentang dua sub pembahasan, yaitu poin pertama mengenai Subjek
Hak Milik Atas Tanah, dan poin kedua yaitu mengenai Hak Milik Atas Tanah Warga Negara
Asing. Dan bab terakhir yaitu Bab III berisi mengenai Kesimpulan dan Saran.

BAB II
Hak Warga Negara Asing Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia
A. Subjek Hak Milik Atas Tanah
Pada asasnya hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang (het natuurlijke persoon),
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Badan hukum tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak milik, kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan telah
dipenuhi syarat-syaratnya. Demikian pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.
Menurut hukum agraria yang lama setiap orang boleh mempunyai dengan hak eigendom,
baik ia warga negara maupun warga asing, baik bukan Indonesia asli maupun bukan
Indonesia asli. Bahkan badan hukum pun berhak mempunyai hak eigendom, baik badan
hukum Indonesia maupun badan hukum asing.
Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) UUPA, menurut pasal 21 ayat (1) UUPA hanya warga negara
Indonesia saja dapat mempunyai hak milik, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa larangan
tidak diadakan perbedaan antara orang-orang Indonesia asli dan keturunan asing. Meskipun,
menurut pasal 9 ayat (2) UUPA, tidak diadakan perbedaan antara sesama warga negara dalam
hal pemilikan tanah diadakan perbedaan antara mereka yang berkewarganegaraan tunggal
dan rangkap.
Berkewarganeragaan rangkap artinya, bahwa disamping kewarganegaraan Indonesia dipunyai
pula kewarganegaraan lain. Pasal 24 ayat (4) UUPA menentukan, bahwa selama seseorang
disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing, ia tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak tanah. Ini berarti, bahwa ia selama itu dalam hubungannya
dengan soal pemilikan tanah dipersamakan dengan orang asing.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa sudah selayaknya orang-orang yang
membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan lain
dalam hal pemilikan tanah dibedakan dari warga negara Indonesia lainnya. Dengan demikian,
maka yang boleh mempunyai tanah dengan hak milik itu hanyalah warga negara Indonesia
tunggal saja. Sekarang kedudukan anak tetap mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, juga
setelah ia menjadi dewasa.
Kalau orang tuanya telah melepaskan kewarganegaraan Indonesia, anaknya tetap
berkewarganegaraan Indonesia. Untuk menjadi warga negara Indonesia, harus ditempuh cara
pewarganegaraan, atau naturalisasi. Kita telah mengetahui, bahwa selain syarat
kewarganegaraan Indonesia tunggal, khusu untuk pemilikan tanah pertanian masih diperlukan
syarat-syarat lain. Syarat-syarat itu berkaitan dengan ketentuan mengenai maksimum luas
tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai seseorang (Pasal 1 jo. 6 UU Nomor 56
(Perpu Tahun 1960) mengenai pemilikan bersama tanah pertanian yang luasnya kurang dari
dua hektar (Pasal 9 ayat 2 dan 33 UUPA).
UU Nomor 56 (Perpu) 1960, dan mengenai larangan pemilikan tanah pertanian secara
absentee atau guntai (Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 jo. PP Nomor 41 Tahun 1964).
Kalau syarat yang disebutkan pada pasal 21 ayat 1 jo. Ayat 4 UUPA disebut syarat umum
bagi perorangan untuk mempunyai tanah dengan hak milik, artinya syarat tersebut wajib
dipenuhi oleh setiap pemilik. Karena itu, apa yang ditentukan oleh peraturan-peraturan
Landreform merupakan syarat-syarat khusus, artinya khusus untuk pemilikan tanah pertanian.
Bagi tanah pertanian, tidak disyaratkan bahwa pemiliknya harus seorang petani.
B. Hak Milik Atas Tanah Warga Negara Asing
Meskipun pada asasnya hanya orang-orang warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat
memiliki tanah, dalam hal-hal tertentu selama dalam waktu yang terbatas UUPA masih
memungkinkan orang-orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan
rangkap untuk mempunyai tanah dengan hak milik. Diberikannya kemungkinan itu adalah
atas dasar pertimbangan peri kemanusiaan.
Pasal 21 ayat 3 UUPA menentukan, bahwa orang asing yang sesudah tanggal 24 september
1960 memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut. Ketentuan itu berlaku juga terhadap seorang warga negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah tanggal 24 september 1960 kehilangan
kewarganegaraannya.
Jangka waktu satu tahun tersebut dihitung sejak hilangnya kewarganegaraan Indonesia itu.
Bagaimanakah ketentuannya jika yang menerima hak milik secara demikian seorang
Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap atau jika seorang pemilik semula
berkewarganegaraan Indonesia tunggal, menurut hemat penulis (Eddy Ruchiyat, S.H.), pasal
21 ayat 3 UUPA berlaku juga terhadap mereka berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 4 UUPA.
Cara-cara yang disebutkan dalam ayat 3 diatas adalah cara memperoleh hak tanpa melakukan
sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak yang
bersangkutan. Demikian penjelasan pasal 21 ayat 3 UUPA tersebut. Cara-cara lain tidak
diperbolehkan karena dilarang oleh pasal 26 ayat 2 UUPA, juga beli, tukar menukar, hibah,
dan pemberian dengan wasiat (legat).
Memperoleh hak milik dengan kedua cara tersebut diatas masih dimungkinkan bagi orang-
orang asing dan warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan rangkap, tetapi dalam
waktu satu tahun pemilikan itu harus diakhiri. Bagaimana cara mengakhirinya? Dikatakan
dalam ayat tersebut, bahwa di dalam waktu satu tahun hak miliknya itu harus dilepaskan.
Kalau hak miliknya itu tidak dilepaskan, hak tersebut menjadi hapus dan tanahnya menjadi
tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Maksudnya, setelah itu bekas
pemilik diberi kesempatan untuk meminta kembali tanah yang bersangkutan dengan hak
dapat dipunyainya, yaitu bagi orang asing hak pakai dan bagi orang Indonesia yang
berkewarganegaraan rangkap, HGU, HGB, atau hak pakai.

Anda mungkin juga menyukai