Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara hukum. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan
dalam rangka perwujudan masyarakat yang bernegara mengacu dan selalu
dihubungkan pada hukum. hukum yang sekarang ini berlaku di Indonesia adalah
hukum positif. Hukum positif ini dibagi ke dalam berbagai ranah hukum seperti
hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan
ranah hukum lainnya. Dari berbagai ranah hukum ini, Indonesia telah menghasilkan
berbagai macam produk hukum pula. Dimana produk hukum tersebut merupakan
suatu pengaturan berbagai aktifitas bernegara untuk masyarakat yang kita kenal denga
peraturan perundang-undangan.
Tetapi bukan di sana fokus penulis dalam makalah ini. Berbalik dengan apa
yang sudah penulis utarakan sebagai pengantar, titik pusat yang ingin penulis telisik
lebih dalam justru akan terlihat setelah penulis mengajak pembaca untuk menengok
ke belakang. Oleh karena itu marilah kita berbalik dan mengingat lagi. Jika
memikirkan berbagai peraturan yang sekarang ini mengatur dan mengikat kita sebagai
warga negara, apakah peraturan ini juga sudah ada dan berlaku sedari dulu bahkan
sebelum negara kita merdeka? Jawabannya pastilah tidak.
Perlu kita ketahui, walaupun dahulu belum dibuat peraturan-peraturan yang
sekarang kita kenal sebagai peraturan perundang-undangan, masyarakat kita tidak
berarti hidup dalam kesemrawutan tanpa adanya aturan. Masyarakat kita dulu tetap
hidup secra sistematis dengan adanya pedoman hukum mereka pada zaman itu yang
dikenal sebagai Hukum Adat. Bahkan setelah sekarang ini kita sudah tunduk pada
hukum positif pun, masih ada masyarakat yang berpegang pada Hukum Adat pada
aspek-aspek tertentu. Apalagi jika kita menelisik kehidupan masyarakat-masyarakat
yang masih tinggal di pedalaman, dimana kehidupan mereka masih murni dengan
kepercayaan-kepercayaan dan berbagai tradisi yang masih mereka anut. Kehidupan
masyarakat ini pun belum tersentuh oleh hukum positif sehingga segala bentuk
permasalahan dalam hidup bermasyarakat mereka akan bemuara kepada Hukum Adat.
Meski begitu, Hukum Adat tidak hanya masiih berlaku bagi masyarakat pedalaman
itu saja, tetapi sesungguhnya saat ini pun Hukum Adat masih berlaku yang mana
statusnya ditingkatkan menjadi hukum nasional karena hanya mengambil azas hukum
yang ada pada lokal dan masih sesuai dengan kehidupan sekarang ini dan itu pun juga
dibatasi dengan hukum positif yang mengatur secara khusus bidang-bidang terkait.
Hal ini juga karena mengingat Hukum Adat di Indonesia dahulu dapat dikatakan
sebagai hukum lokal yang artinya bahwa hukum yang berlaku di daerah tertentu
belum tentu berlaku di daerah lain.
Hukum Adat sebagai hukum, maka Hukum Adat merupakan suatu gabungan
unsur yang saling terkait secara sisematis. Sebagaimana hukum yang memiliki
beberapa unsur pokok, maka Hukum Adat juga memiliki unsur pokok tersebut.
Hukum Adat merupakan gabungan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
mengikat bagi masyarakat, dan juga memiliki sanksi bagi pelanggarnya. Hukum Adat
ini seperti halnya hukum positif, juga mengatur segala bidang kehidupan. Mulai dari
hal-hal yang menyangkut perkawinan, hubungan antara individu dalam masyarakat,
hubungan di dalam keluarga, pewarisan, sampai kepada jual beli misalnya jual beli
tanah. Hal terakhir inilah yang akan penulis usung dalam pembahasan selanjutnya.
Jual beli tanah sekarang ini diatur dengan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan peraturan pelaksana lainnya. Tetapi sesungguhnya dalam hal transaksi
jual beli tanah ini masih ada masyarakat yang berpedoman pada Hukum Adat, tentu
saja dengan pembatasan-pembatasan tertentu oleh hukum lain yang berlaku. Selain itu
juga ada Undang-undang Pokok Agraria (selanjutnya akan disebut dengan UUPA)
yang juga membatasi pengaturan Hukum Adat. Mengenai ketimpang tindihan hukum
yang digunakan ini, maka terkadang sering menimbulkan kebingungan atau
kerancuan yang bahkan sampai diperkarakan ke Mahkamah Agung. Oleh karena itu,
tergerak dari rasa ingin tahu secara lebih mendalam, maka penulis ingin menggali
lebih dalam hal terkait dengan jual beli tanah dalam ranah Hukum Adat serta
hubungannya dengan UUPA dan yurisprudensi Mahkamah Agung yang pernah
memutus perkara sejenis jual beli tanah ini.
Selain daripada hal di atas , penulis menyusun makalah ini juga untuk
memenuhi persyaratan dalam mata kuliah bidang Hukum Adat yang penulis tempuh
di Fakultas Hukum Gadjah Mada sepanjang semester tiga ini. Dengan adanya
persyaratan tersebut, penulis termotivasi untuk mengupas lebih dalam lagi mengenai
hal yang ternyata penulis belum ketahui. Sehingga dalam proses penyelesian makalah
ini, penulis juga banyak mengisi pengetahuan penulis dengan materi yang ternyata
masih asing dengan diri penulis. Oleh karena itu, penulis berharap agar melalui
makalah ini pembaca dapat meraup manfaat dan menangkap maksud yang penulis
sampaikan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya sudah penulis jabarkan, maka
makalah ini akan memaparkan materi berdasarkan rumusan-rumusan maslah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah teknis jual beli tanah dalam Hukum Adat?
2. Bagaimanakah jual beli tanah setelah adanya UUPA?
3. Adakah contoh perkara mengenai jual beli tanah terkait Hukum Adat yang
sampai ke Mahkamah Agung?












BAB II
PEMBAHASAN

A. JUAL BELI TANAH DALAM HUKUM ADAT
Jual beli tanah yang menyebabakan beralihnya hak milik tanah dari penjual
kepada pembeli untuk selama-lamanya dalam Hukum Adat sering disebut dengan
jual lepas. Di dalam bahasa Jawa untuk menyebutkan jual lepas ini sering
digunakan kata adol plas, adol jugil (Ngoko) atau sade plas, dan sade jugil
(Kromo). Mengenai jual lepas ini mendapat perhatian dari beberapa sarjana dengan
memberi penjelasan sebagai berikut :
a) Van Vollenhoven
Jual lepas dari sebidang tanah atau perairan ialah penyerahan dari benda itu
dihadapan petugas-petugas Hukum Adat dengan pembayaran sejumlah uang pada
saat itu atau kemudian
1
.
b) S.A. Hakim
Penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk selama-lamanya dengan
penerimaan uang tunai (atau dibayar dahulu untuk sebagian), uang mana disebut
uang pembelian
2
.
c) Iman Sudiyat
Menjual lepas (Indonesia); adol plas runtumuran, pati-bogor (Jawa); menjual jaja
(Kalimantan); yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah
seterusnya atau selamanya
3
.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
jual lepas adalah perbuatan penyerahan yang tidak sama maksudnya dengan
levering menurut hukum barat. Dengan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Hukum Adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan sebagaimana

1
VAN VOLLENHOVEN, "Het adatrecht van Ned. Indie, 24 Ontw, over Indisch Recht, halaman 241.

2
S.A.HAKIM S.H, Prof., Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan , Bulan Bintang Djakarta, 1965, halaman 5
dst.nya.

3
IMAN SUDIYAT S.H., Hukum Adat sketsa asas, Liberty Yogyakarta, 1978, halaman 32.
hukum barat yang juga dianut KUHPerdata, dimana penyerahan menjadi slah satu
pokok tersendiri dalam jual beli. Terkait dengan penyerahan di dalam Hukum
Adat, justru menjadi suatu hal pembeda. Jika penyerahan itu bertujuan
menyerhakan selama-lamanya, maka perjanjian iu dinamakan jual lepas (inilah
jual beli yang dimaksudkan dalam makalah ini). akan tetapi jika penyerahan itu
bertujuan menyerahkan untuuk dapat ditebus kembali, maka perjanjian itu
dinamakan jual gadai. Dan terakhir jika penyerahan itu bertujuan
menyerhakan untuk selama waktu tertentu (tahunan), maka perjanjian itu
dinamakan jual taunan.

1. Berlakunya Jual Beli
Perbuatan jual lepas adalah perbuatan tunai (kontante handeling) yang
berlaku dengan riel dan konkrit. Maksudnya adalah bahwa perbuatan itu nyata
dan jelas dapat ditangkap oleh pancaindera seseorang
4
. Mengenai penyerahan
benda dan pembayaran harga terjadi dengan tunai. Barang akan diserahkan
setelah dibayarkan harga yang sudah disepakati walaupun belum dilunasi
semua pembayaran. Jadi, singkatnya suatu jual beli baru dianggap terjadi jika
sudah ada kegiatan pembayaran dan penyerahan barang. Hal ini berbeda
dengan hukum barat (Belanda) yang sifatnya konsensuil dan abstrak, dimana
jual beli didasarkan pada sebuah kata sepakat. Jelasnya, perjanjian jual beli
sudah terjadi jika sudah keluar kata sepakat dari kedua belah pihak walaupun
belum ada pembayaran dan penyerahan barang. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1458 KUHPerdata.
Menurut Hukum Adat, kata sepakat di dalam suatu perjanjian
merupakan perbuatan pendahuluan untuk melaksanakan apa yang telah
disepakati itu. Jadi dengan kesepakatan (konsensus) itu saja belum mengikat,
karena kekuatan mengikat baru akan muncul jika sudah terjadi suatu
pemberian sebagai suatu tanda akn memenuhi janji, dan walaupun pemberian
itu belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Pemberian
sebagai tanda ini disebut panjer. Menurut Ter Haar, pada saat dinyatakan
dihadapan kepala persekutuan bahwa si penjual mengaku telah menyerahkan
tanah itu dan untuk itu telah menerima pembayaran atas harganya, maka mulai

4
ALI AFANDI S.H., Prof., Penyerahan benda menurut sistim BW, kuliah pentaran dosen Hukum Adat se-Ind,
Desember 1973.
saat itulah hak pembeli berlak
5
. Tetapi sekiranya, mengenai pernyataan
dihadapan kepala persekutuan yang berarti pula kepala adat atau Kepala
Kampung akan cukup jika serah terima hanya dilakukan dihadapan para saksi
yang bisa berasal dari tetangga, terutama yang penting ialah mereka yang
berbatasan tanah.

2. Tanda Ikatan dalam Jual Beli Tanah

2.1. Tanda Jadi (Panjer)
Tanda jadi atau lebih dikatakan tanda akan jadi adalah tanda
pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak, dimana kedua belah pihak berkewajiban memnuhi perjanjian
yang telah disepakati tersebut. sistilah yang sering digunakan adalah
istilah dalam bahasa Jawa yang menyebutkan tanda jadi ini sebagai
panjer. Di dalam perjanjian jual beli tanah, panjer merupakan tanda
pengikat untuk dapat terlaksanya perjanjianyang telah disepakati kedua
belah pihak. Selain daripada itu, panjer juga berfungsi untuk memberi
waktu agar salah satu pihak dapat mempersiapakan diri guna
memenuhi perjanjian yang dimaksud. Mengenai panjer ini, ada
konsekuensi yang harus ditangung masing-masing pihak jika
melanggar kesepakatanterkait jual beli tanah. Jika yang melanggar
adalah dari pihak penjual, maka penjual harus mengganti panjer itu dan
menyerahkannya kepada pembeli sebesar dua kali lipatnya. Hal ini
dikarenakan, misalnya saja penjual menjual tanahnya kepada orang lain
setelah sebelumnya mengadakan kesepakatan dan menerima panjer dari
pembeli. Sebaliknya jika yang melanggar adalah pihak pembeli, maka
panjer yang sudah diberikan pembeli kepada kepada penjual akan
menjadi milik penjual. Dalam hal ini, misalnya saja pemebeli tidak jadi
membeli tanah dari penjual yang telah diberinya panjer tetapi malah
membeli tanah pada penjual lain.
Apabila dibandingkan dengan isi Pasal 1464 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa apabila pembeli dibuat dengan pemberian uang

5
TER HAAR op. Cit. Halaman 89.
panjer, maka salah satu pihak tidak boleh membatal kanperjanjian itu
dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjernya, maka
ketentuan tersebut tidak sesuai dengan Hukum Adat. Dikarenakan
perjanjian yang dibuat itu tidak boleh mengandung sifat paksaan, tetapi
harus berlau atas dasar suka sama suka dan panjer itu bukanlah suatu
tanda pengikat yang memaksa yang bersifat mutlak harus berlaku.


2.2. Tanda Kesaksian
Jual beli tanah biasanya dilakukan dihadapan saksi-saksi. Di
lingkungan masyarakat yang hidup bertetangga atas dasar ikatan
tempat kediaman, biasanya yang diminatakan untuk menjadi saksi
selain saksi tetangga adalah Pamong Desa atau Kepala Kampung,
supaya perjanjian itu menjadi terang dan kuat terhadap pihak ketiga.
Kesaksian Pamong Desa atau Kepala Kampung ini bukan merupakan
syarat syahnya suatu perjanjian, oleh karrena itu ytanpa adanya tanda
kesaksian oleh Kepala Kampung, menurut Hukum Adat perjanjian
yang dilakukan adalah sah.
Dalam praktek perjanjian jual beli tanah seringkali perjanjian
dibuat dihadapan sakasi terlebih dahulu, baru setelah itu dibuat surat
perjanjian di bawah tangan atau tanpa surat perjanjian. Selanjutnya
barulah dilaporkan kepada Kepala Kampung atau meminta agar surat
itu diketahui oleh kepal kampung. Dengan demikian Kepala Kampung
dianggap ikut memberi tanda kesaksian terhadap perjanjian yang sudah
terjadi ikrarnya.
Selain kesaksian yang dilakukan oleh tetangga dan Kepala
Kampung, ada juga kesaksian yang dilakukan oleh anggota kerabat
dekat, orang tua, anak-anak yang telah dewasa, isteri, ipar dan
sebagainya. Hal ini terjadi di lingkungan masyarakat adat yang
kekerabatannya berdasarkan pertalian darah. Saksi-saksi tersebut
diperlukan untuk ikut seta memberikan tanda kesaksiannya di atas surat
perjanjian jual beli tanah. Kesaksian anggota kerabat dekat ini
diperlukan agar perjanjian itu tidak saja disepakati oleh kedua belah
pihak tetapi juga oleh para anggota kerabat dekat untu mencegah
gugatan-gugatan yang mungkin akan timbul di kemudian hari.
Singkatnya dapat disimpulkan bahwa tanda kesaksian adalah
kehadiran menyaksikan dengan melihat, mendengar acara terjadinya
suatu perjanjian (yang dimaksud di sini adalah perjanjian jual beli
tanah) itu degnan mata telinga sendiri, dengan atau tanpa memberikan
tanda tangan atau gambaran yang tertulis di atas kertas perjanjiannya.
Para saksi yang hadir pada waktu perjanjian dibuat biasanya diberi
tanda ikatan dalam arti ikut tersangkut menyaksikan kejadiannya
berupa uang lelah, pebasuh punguw (pencuci tangan, Lampung),
uang saksi atau turus (tersangkut urus, Dayak), ingot-ingot
(kenang-kenangan, Batak) dan sebagainya. Besarnya uang saksi ini
tidak tertentu, yang berarti diserahkan kepada keikhlasan pemberi.
Mengenai pemberinya dilihat apakah pihak penjual atau pihak pembeli
yang lebih berkepentingan.

3. Penyerahan Tanah
Penyerahan tanah dan pembayaran harga yang terjadi anatara penjual
dan pembeli menurut Hukum Adat berarti pemindahan hak milik secara tunai.
Jadi tidak lagi diperlukan adanya perbuatan levering atau penyerahan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1459 KUHPerdata. Tetapi walaupun
penyerahan benda di dalam jual lepas tidak merupakan perbuatan terpisah dari
perbuatan jualanya, namun menurut adat kebiasaan apabila si pemebeli akan
menguasai bidang tanah yang telah dibeli itu, adakalanya ia masih perlu
memberitahukan maksud kepemilikannya kepada si penjual. Hal ini bukan saja
karena sifat kekeluargaan antara satu dan yang lain, tetapi juga untuk
melengkapi hal-hal yang perlu mendapatkan penjelasan , misalnya tentang
batas tanah, ukuran tanah, isi tanah dan sebagainya. Tentunya pemeberithuan
tidak perlu sampai melakukan pemeriksaan atas bidang tanahnya jika sebelum
terjadinya pelaksanaan perjanjian jual beli sudah dilakukan pemeriksaan
terlebih dahulu.
Masih sering terjadi jual beli tanah yang berlaku tanpa surat menyurat
atau istilah rakyatnya tanpa segel. Artinya adalah tanpa surat bermeterai.
Dalam jual lepas yang sifatnya terbatas antara kerabat atau tetangga dekat
yang sering disebut jual kurung yang artinya dijual dengan saudara atau
kawan sekandang, maka jika si pemilik tanah bermaksud akan menjualkan lagi
tanahnya, maka penjual semula yang diprioritaskan dalam penawaran. Hal ini
agar bidang tanah tidak terlepas kepada orang lain yang bukan anggita kerabat
atau tetannga.dalam hal jual kurung inilah seringkali tidak dilaksanakan
dengan surat jual beli. Sebailiknya seringkali pula terjadi dikarenakan sesuatu
sebab, misalnya karena hutang piutang atau karena ingin mendapat
perlindungan dari seseorang yang disebut pembeli dan sebagainya, maka
dibuat perjanjian jual beli dengan tertulis tetapi sebenarnya jual beli itu tidak
terjadi.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apakah dengan menunjukkan surat
jual beli tanah telah terjadi penyerahan (pemindahan)? Yang terpenting
bukanlah apa yang tertulis di atas kertas, melainkan apa yang sebenarnya
berlaku, apa yang sebenar-benarnya merupakan kenyataan yang diakui oleh
kedua pihak di luar surat perjanjian yang tertulis itu. dalam keadaan seperti ini
jika terjadi suatu perkara, maka kita harus berhati-hati, terutama dalam rangka
melindungi anggota masyarakat yang kebanyakan masih buta huruf, buta
administras dan buta hukum. sekarang ini terkadang terjadi seorang pemiik
tanah yang tidak tahu menahu tanahnya telah diperjualbelikan, dan anehnya
Kepala Kampung ikut mengetahui dan menyetujuinya. Jika seperti ini, maka
benarlah keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keterangan
jual beli saja belum cukup untuk mengakibatka pemindahan atau penyerahan
hak milik, jadi seakan-akan keteranga tersebut harus diikuti pula dengan hal
semacam levering sebelum hal milik terebut berpindah.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa dengan surat notaris dan surat
di bawah tangan dan yang disimpan pada notarisyang dimaksud dalam
keputusan judexfacti (hakim yang berkuasa memimbang masalah peristiwa),
walaupun di dalamnya disebut bahwa pihak-pihak bersangkutan menerangkan
menerangkan menjual belikan tanahnya belum lagi dapat diterima bahwa
sebenarnya telah terjadi pemindahan atau penyerahan hak milik oleh penjual
kepada pembeli. Dengan demikian mengenai penyerahan di dalam Hukum
Adat terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada pihak yang berpendapat bahwa
penyerahan itu sudah dengan sendirinya terjadi setelah saat kedua pihak
menyatakan jual beli yang berarti melakukan penyerahan dan pembayaran di
waktu yang sama. Dan lain pihak, ada yang mengatakan bahwa masih
memerlukan adanya semacam levering (penyerahan) seperti dalam hukum
barat. Tetapi melihat pada Hukum Adat lebih tepat kiranya bahwa penyerahan
dalam jual beli tanah tidak dipersoalkan dan tidak dipisahkan dari perbuatan
jualnya oleh anggota masyarakat. Masyarakat Hukum Adat memandang
pebuatan jual dan serah terima itu merupakan satu rangkaian perbuatan, dan
perbuatan itu terang dihadapan saksi-saksi.

4. Sahnya Perjanjian Jual Beli Tanah
Tidak seperti Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa suatu
perjanjian sah apabila memenuhi empat syarat yaitu kesepakatan, kecakapan
untuk berbuat, hal yertentu yang menjadi pokok perjanjian dan kausa yang
halal, maka Hukum Adat tidak mengenal ketentuan tersebut. dalam Hukum
Adat, yang menjadi pokok penting adalah bukan unsur subjektif atau unsur
objektif suatu perjanjian tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu
didasarkan pada kesepakatan tunai dan tidak tercela. Yang dimaksud tidak
tercela di sini adalah bahwa masyarakat di lingkungan yang bersangkutan
tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang mersakan terjadinya perjanjian
itu mengakibatkan atau berdasarkan hal yang tidak baik. Walaupun perjanjian
itu dibuat dihadapan Kepala Kampung, jika masyarakat mempersoalkannya,
maka perjanjian itu dianggap tidak baik dan sebenarnya tidak sah.
Ter Haar mengemukakan, tanapa ikut sertanya kepala persekutuan atau
tanpa adanya bantuan dari kepala persekutuan tersebut maka perjanjian itu
tidak berlaku terhadap pihak ketiga
6
. Jadi jika kepala persekutuan menolak
untuk membantu (menyaksikan) perjanjian itu, maka perjanjian itu tidak sah.
Jika dikaitkan antara kepala persekutuan ini dengan masa sekarang yang harus
diperhatikan adalah siapa sebenarnya yang disebut kepala persekutuan.
Mengenai hal itu kiranya terdapat perbedaan penyebutan kepala persekutuan.
Di desa yang masyarakatnya bersendika ketetanggaan maka kepala
persekutuan adalah Kepala Kampung, tetapi di desa yang masyarakatnya
genealogis kekerabatan, maka kepala persekutuan harus dibedakan antara
Kepala Kampung dan kepala kerabat (adat). Perlunya mengetahui perbedaan

6
TER HAAR op.cit. halaman 87-88.
kedudukan kepal persekutuan ialah bahwa kesaksian Kepala Kampung
sesungguhnya diperlukan untuk pihak ketiga dan urusan pemerinthan.
Sedangkan kesaksian kepala adat diperlukan untuk tetap memelihara
kerukunan dan kedamaian di lingkungan masyarakat adat. Dilihat dari sudut
Hukum Adat, maka pengaruh kepala adat lebih besar dari Kepala Kampung
yang diangkat oleh penguasa pemerintahan daerah.
Prof. Soepomo menyatakan bahwa ikut sertanya pengurus desa dalam
pembelian anah adalah untuk mendapatkan lebih banyak jaminan hukum atau
kepastian hukum bagi pemebeli. Oleh karena itu pembeli memperoleh hak
untuk mendapat perlindungan hukum sepenuhnya
7
. Pendapat ini tidak
menandakan bahwa ikut sertanya Pamong Desa diperlukan untuk sahnya
transaksi jual beli tanah. Tetapi hanya untu lebh banyak adanya jaminan dan
perlindungan hukum. Ikut sertanya Pamong Desa semata-mata hanya untuk
menguatkan kedudukan pembeli. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
perjanjian jual beli tanah tanpa keikutsertaan Pamong Desa adalah sah. Di
beberapa daerah untuk sahnya perjanjian jual beli tanah diharuskan adanya
keikutsertaan Pamong Desa. Apabila suau pejanjian jual beli tanah itu tidak
dilakukan dihadapan kepala desa dan para saksi sebagaimana dikemukakan
Holleman
8
jual beli itu tidak sah dan dianggap batal. Tetapi jika sekarang kita
berpedoman pada keputusan Mahkamah Agung yang mengakui Hukum Adat,
maka keikutsertaan kepala desa dalam transaksi jual beli tanah bukanlah syarat
mutlak dalam perjanjian tersebut.

B. JUAL BELI TANAH SETELAH BERLAKUNYA UUPA
Berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 mengakibatkan penjualan
tanah atau peralihan hak atas tanah tetap bersifat tunai, tetapi peranan kepala desa
hanya sebagai saksi dan tidak dibenarkan untuk menguatkan perjanjian jual beli itu.
Oleh karena itu, setelah berlakunya UUPA maka setiap peralihan hak atas tanah harus
dilaksanakan dihadapan pejabat yang ditunjuk Menteri Agraria. Pasal 26 ayat (1)
UUPA menyatakan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian denag wasiat,
pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7
SOEPOMO, Het adatprivaatrecht van west-Java, halaman 188.
8
HOLLEMAN, op.cit. halaman 96.
Untuk melaksanakan pasal ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Nomor 10
Tahun 1961 yang diikuti pula oleh Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 10 Tahun
1961.
Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan
bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan
sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas
tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan
dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut pejabat). Bentuk akta tersebut ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 mengatur tentang penunjukan
pejabat yang dimaksudkan oleh Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
bahwa yang dapat diangkat sebagai pejabat adalah :
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkup-lingkup Departemen
Agaria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
peraturan-peraturan pendaftaran tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang
bersagkutan denngan persoalan peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan oleh Direktorat
Jenderal Agraria.

Pejabat-pejabat tersebut selanjutnya disebut Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT). PPAT adalah pejabat yang berwenang untuk membuat akta dari perjanjian
yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas
tanah, menggadaikan tanah atau meminjan uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan. Dengan Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 20 September 1960
Nomor SK/614/KA/61 maka semua notaris dan wakil ntotaris di Jawa dan Madura
serentak diangkat sebagai PPAT. Kemudian Camat karena jabatannya sebagai
pimpinan daerah kecamatan menjadi PPAT sementara. Di samping itu masih ada
PPAT dengan wewenang khusus berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria
tanggal 2 Marey 1966 Nomor SK/13/Depag/66 yang ditujukan atas pertimbangan
bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dibuat aktanya itu dapat berpengaruh luas
pada kehidupan masyarakat ataupun karena untuk itu diperlukan penelitian
mendalam
9
.
Menurut Pasal 43 dan Pasal 44 PP Nomor 10 tahun 1961, maka kepala desa
dilarang menguatkan perjanjian yang dimaksudkan oleh Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun
1961. Pelanggarn terhadap larangn ini dipidana dengan hukuman kurungan selam-
lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,-. Dengan demikian
timbul pertanyaan apakah suatu transaksi jual beli tanah yang dilaksanakan menurut
Hukum Adat (yang lama) masih dianggap sah. Dalam hal ini Ny. Indriarti Sugito,
S.H. memberikan gambaran dari Keputusan Pengadilan Tinggi Bandung dan
Mahkamah Agung sebagai contoh. Mahkamah Agung dalam keputusannya No. 123
K/Sip/1970 berpendapat bahwa dalam Hukum Adat, tindakan yang menyebabkan
pemindahan hak bersifat kontan, sedangkan pendaftaran sesuai dengan UUPA No. 5
Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya bersifat administratif belaka. Denagn
demikian jual beli tanah yang terjadi dengan itikad baik terang dan tunai yang berlaku
menurt Hukum Adat di desa tetap sah walaupun tidak atau belum dibuat akta resmi
sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961. Tentang akta dibawah
tangan sebagai alat bukti dapat dikatakan juga sah menurut adat kebiasaan setempat
tetapi belum sah menurut hukum perundang-undangan. Dengan kata lain, apa yang
dimaksud dan dikehendaki oleh Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 adalah bertujuan
baik untuk mewujudkan kepastian hukum yang kuat, tetapi pada kenyataannya masih
sukar untu diterapkan.

C. CONTOH PERKARA JUAL BELI TANAH TERKAIT HUKUM ADAT YANG
SAMPAI KE MAHKAMAH AGUNG

M.A. tgl. 4-12-1957 No. 27 K/Sip/1956
Sifat riil dari perjanjian jual beli meurut huku adat hanya berarti, bahwa dengan
diucapkannya kata-kata dengan mulut sajalah belumlah terjadi perjanjian jual beli.
Karena in casu sudah terjadi penulisan kontrak jual beli dimuka Kepala Kampung
serta penerimaan harga barangnya oleh penjual, dengan mana dinyatakan oleh penjual
secara riil pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli,
maka hak milik sudah berpindah.

9
Ny. INDIARTI SUGITO SH, FH.Unpad, Transaksi Tanah dalam hubungannya dengan UUPA, paper
penataran dosen Hk. Adat Des. 73 di UGM, Yogyakarta.
Duduk perkara :
Andulrachman menggugat Pak Amah alias Sartimun dimuka Pengadilan
Negeri Gresik dengan tuntutan supaya yang Sartimun dihukum mengosongkan tanah
dan rumah sengketa.
Gugatan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Gresik dengan putusannya tgl. 6
Agustus 1953 No. 19/1953, yang dalam tingkat banding dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi Surabaya dengan putusannya tanggal 10 April 1956 No. 334/1953 Pdt.
Dalam tingkat kasasi dikemukakan keberatan, antara lain :
Bahwa antara penggugat untuk kasasi dengan tergugat dalam kasasi tidak terjadi jual
beli menurut Hukum Adat, karena yang terjadi hanya peminjaman uang dengan tanah
sebagai jaminan, oleh sebab seperti dimaksudkan oleh penggugat kasasi-
walaupuntelah dipergunakan waktu itu istilah jual beli, tetapi jual beli ini belum
dilakukan dan yang dilakukan hanya pejanjian akan mengadakan jual beli, oleh sebab
tanah dan rumah bersangkutan tetap ditangan penggugat kasasi dan selama itu
pajaknya dibayar oleh penggugat kasasi.
Keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung dengn pertimbangannya sebagai
berikut :
Bahwa memang benar menurut hukum ada itu perjanjian jual beli bersifat riil, tetapi
ini hanya berarti, bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja, belumlah
terjadi suatu transaksi, tetapi in casu telah terjadi, seperti ditetapkan ole judex facti,
dimuka Kepala Kampung bersangkutan, tulis-menulis tentang jual beli dan
penerimaan harga barangnya oleh penjual, dengan mana dinyatakan oleh penjual
secara riil pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli,
walaupun pindah amanya belum dilaksanakan, yang hanya dapat dipandang disini -
berlainan halnya dengan peraturan B.W. mengenai pemindahan milik (eigendom)
tentang barang-barang tak bergerak, dimana pemindahan nama dalam daftarnya
merupakan, atas kehendak undang-undang yang positif satu unsur yang harus
dipenuhi- sebagai bukti dari pemindahan milik itu;
Bahwa dengan demikian nyata bahwa keberatan tersebut tidak beralasan.
Dengan demikian maka permohonan kasasi ditolak.

Kesimpulan :
Penggugat kasasi mencoba meniadakan jual beli yang telah dlakukannya,
dengan menonjolkan sifat riil dari jual beli menurut Hukum Adat. Karena barang
masih dikuasainya dan belum dipindahnamakan, maka yang terjadi hanyalah suatu
perjanjian untuk mengadakan jual beli, demikian kata penggugat kasasi. Penggugat
kasasi melupakan bahwa sudah ada perjanjian tertulis dihadapan Kepala Kampung
dan bahwa harga barang sudah diterimanya pula. Penerimaan harga barang ini adalah
satu segi dari sifat riil yang ditonjolkan itu. selain dari itu, baik nama yang juga
dikemukakan itu, adalah suatu pengertian dari BW tidak dikenal oleh Hukum Adat.
Kembali pada pokok perkara, sudahlah tepat pendapat Mahkamah Agung bahwa
dalam kasus ini, jual beli sudah terjadi secara sah dan barang sudah berpindah
miliknya kepada pembeli. Inilah adalah sesuai pula dengan sistim UUPA yang
menyatakan bahwa kita harus menetapkan saat berpindahnya hak milik pada saat
dibuatnya akte jual beli dimuka PPAT. Demikianlah menurut Budi Harsono, S.H.
dalam penjelasannya atas UUPA.

















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan materi yang sudah dijabarkan di atas guna menjawab perkara-
perkara yang telah penulis petakan sebelumnya dalam rumusan masalah, maka dapat
disimpulkan beberapa hal. Pertama, unsur-unsur jual beli dalam Hukum Adat
memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan hukum positif yang diberlakukan
sekarang, dimana perjanjian jual beli tanah sekarang ini didasarkan pada KUHPerdata
(BW). Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan jual beli tanah dengan
penyerahannya dalam artian jual beli dan penyerahan adalah satu rangkaian perbuatan.
Sedangkan jika berpedoman pada BW yang berasal dari hukum barat (Belanda), maka
terlihat bahwa berbeda antara perbuatan jual beli dan penyerahannya. Dimana
penyerahan dilakukan dalam tahapan lain yang dikenal dengan levering.
Jual beli dalam Hukum Adat mengenal tanda ikatan, yaitu tanda jadi (panjer) dan
tanda kesaksian. Tanda jadi (panjer) merupakan sebuah pemberian dari pembeli
kepada penjual sebagai tanda bahwa pembeli akan membeli tanah pada si penjual dan
panjer ini merupakan awalan perjanjian. Sedangkan tanda kesaksian adalah kehadiran
meyaksikan dengan melihat, mendengar acara terjadinya perjanjian itu dengan mata
telinga sendiri, dengan atau tanpa memberikan tanda tangan atau gambaran yang
tertulis di atas kertas perjanjiannya. Nantinya para saksi yang hadir ini biasanya akan
diberi tanda ikata berupa uang lelah yang akan diberikan oleh pihak pembeli atau
penjual tergantung pada besarnya kepentingan.
Kembali lagi jika berbicara mengenai penyerahan, maka dalam jual beli tanah
menurut Hukum Adat ini ada dua pendapat. Satu pihak berpendapat bahwa
penyerahan dengan sendirinya terjadi bersamaan dengan saat kedua belah pihak
menyatakan jual beli yang berarti melakukan penyerahan dan pembayaran harga yang
telah disepakati dalam waktu yang bersamaan. Pihak lain berpendapat bahwa
levering masih diperlukan sebagai proses penyerahan. Namun kiranya dalam
Hukum Adat tidak memisahkan antara perbuatan jual dan penyerahannya dalam
masyarakat. Kemudian mengenai sah atau tidaknya jual beli tanah yang
menitikberatkan pada keikutsertaan Pamong Desa, sesungguhnya dalam Hukum Adat
tidak memutlakkannya sebagai syarat. Dalam artian, walaupun Pamong Desa tidak
ikut serta dalam perjanjian jual beli tanah, transaksi tersebut tetap sah.
Kedua, setelah berlakunya UUPA maka segala bentuk perjanjian yang mengusung
tanah sebagai pokok perjanjian dimana di sini berarti pula jual beli tanah termasuk di
dalamnya, harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agaria. Pejabat ini kemudian disebut dengan Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT).
Ketiga, ada beberapa sengketa mengenai jual beli tanah yang berpedoman pada
Hukum Adat yang sampai pada Mahkamah Agung. Dengan hal ini maka dapat
dikatakan bahwa Hukum Adat masih eksis di dalam kehidupan masyarakat tentu saja
dengan dibatasi oleh peraturan-peraturan perundangan lainnya, contoh yang paling
dekat yang baru saja kita bahas adalah UUPA. Selain itu dapat dikatakan bahwa
Mahkamah Agung menerima Hukum Adat sebagai hukum yang masih berkembang di
dalam masyarakat, walaupun yang diterima itu adala pokok-pokok Hukum Adat yang
sudah dirumuskan menjadi hukum yang bersifat nasional.



















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1984. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria
Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo

Hadikusuma, H. Hilman. 1994. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti

Subekti, R. 2006. Hukum Adat Indonesa dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Bandung: P.T. Alumni























KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM









PENULISAN HUKUM
Jual Beli Tanah dalam Hukum Adat Serta Kaitannya dengan Undang-undang
Pokok Agrarian dan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan penugasan Semester Tiga pada Mata
Kuliah Hukum Adat
oleh
Nama : Novia Nur Annisa Nasution
NIM : 12/328567/HK/19043


YOGYAKARTA
2013

Anda mungkin juga menyukai