Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
mengenai Perkembangan Hukum Keluarga di Indonesia di Tinjau Dari Hubungan
Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Dan juga penulis berterimakasih kepada Bapak Ibu dosen Hukum Keluarga
Universitas Padjadjaran yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai hukum keluarga di Indonesia. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Harapannya, laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Jatinangor, 23 september 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….…..... 1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…... 2

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….…… 3

A. Latar Belakang……………………….………………………………………….... 3

B. Identifikasi Masalah……………………………………………………………..…. 4
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………..…….. 5
BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………..……. 8

A. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak dengan Adanya Perkawinan……..…… 8


B. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak Akibat Adanya Perceraian……..…..…….. 11
C. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak………..………………….…… 15
BAB IV PENUTUP……………………………………….……………………… 20

A. Kesimpulan……………………………………………………………………….. 20
B. Saran………………………………………………………………………………. 21

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat bahwa dua orang manusia antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan, ada daya tarik menarik satu samalain untuk hidup bersama dalam
suatu perkawinan. Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama. 1
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam Pasal 26 tidak
memperinci arti dari perkawinan itu, karena KUHPerdata memandang soal perkawinan
hanya hubungan keperdataan. Pasal 26 KUHPerdata secara tegas menentukan bahwa
undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya dengan perdata.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bertujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan
itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan
karena sebab-sebab lain dari pada kematian, diberikan suatu pembatasan yang ketat.
Sehingga suatu pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan
terakhir, setelah jalan lain tidak ditempuh lagi. 2
Antara suami dengan isteri oleh Undang-undang Perkawinan diberikan hak dan
kedudukan yang seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat. Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dibarengi
dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga
yang diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat. Dalam pembinaan rumah
tangga itu, diperlukan saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan
bantuan lahir bathin. Suatu rumah tangga yang dibina haruslah ditentukan secara bersama.
Suatu perkawinan menghendaki kehadiran seorang anak. Karena anak dalam
masyarakat merupakan pembawa kebahagiaan, hal ini dapat dibuktikan dalam setiap
upacara pernikahan, terdapat doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua
mempelai dikaruniai anak.3 Dalam hukum adat hubungan orang tua dan anaknya sangat
ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut. Tidaklah penting bilamana anak
dilahirkan setelah berlangsungnya perkawinan, untuk menentukan sah tidaknya seorang
anak. Seorang anak yang lahir setelah putusnya perkawinan tetap mempunyai ayah bekas
suami, bila anak tersebut dilahirkan dalam jangka waktu kehamilan.

1
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2004, hlm. 23.
2
K.H. Ahmad, Hukum Perkawinan, UII Press, Jakarta, 2007, hlm. 37.
3
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Rafika Aditama, Bandung, 2014, hlm. 68.

3
Akibat-akibat hukum dari adanya hubungan orang tua dengan anaknya menurut
hukum adat adalah:
1. Kewajiban orang tua untuk mengurus anak-anaknya.
2. Pada perkawinan anak perempuan ayahnya menjadi wali.
3. Larangan perkawinan antara anak dengan orang tuanya. Dengan terjadinya suatu
perkawinan, maka timbullah hubungan hukum yang berupa hak dan kewajiban antara
suami dan istri.
Dengan lahirnya anak-anak dalam suatu perkawinan, maka terjadilah hubungan
hukum antara orang tua dan anak-anak juga berupa hak dan kewajiban.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 45 ayat
(1) mengatur bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus. Kekuasaan orang tua terhadap anak bukan hanya terbatas
pada diri anak itu sendiri, tetapi juga terhadap harta benda dari anak itu. Sebab dapat saja
seorang anak yang masih di bawah umur bahkan masih dalam kandungan sudah
memperoleh harta benda misalnya adanya pewarisan atau karena adanya hibah untuknya,
yang merupakan topik yang menarik untuk dibahas.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah kekuasaan orang tua terhadap anak akibat perkawinan yang sah?
2. Bagaimana kekuasaan orang tua terhadap anak akibat adanya perceraian?

4
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN

Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan agar dapat memiliki keturunan


yang akan mewarisi gen maupun harta bendanya. Untuk itu, perkawinan dibutuhkan
sebagai syarat sah dibentuknya sebuah keluarga. Awal mula terbentuknya hukum
keluarga di Indonesia tidak pernah bisa terlepas dari dialektika evolusi budaya hukum
yang terjadi dari waktu ke waktu. Pengertian hukum keluarga itu sendiri, menurut Ali
Affandi : “keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan,
kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir)”. Kajian tentang budaya
hukum keluarga mencakup keadaan keluarga di dalam masyarakat, sistem dan
susunannya yang mengandung budaya hukum. Hilman memberi batasan berupa
tanggapan yang bersifat penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum,
yang menunjukkan sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum
yang terbawa ke dalam masyarakat.
Dengan adanya hukum keluarga ini menyebabkan adanya aturan mengenai
hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga, yaitu peraturan perkawinan, peraturan
kekuasaan orang tua, peraturan perceraian, peraturan harta benda dalam perkawinan, dan
peraturan perwalian. Dalam sebuah keluarga orang tua pastinya memiliki kekuasaan
terhadap anaknya, seperti yang telah diatur dalam KUHPer Buku I Bab 14 bagian 1
mengenai Akibat-akibat Kekuasaan Orang tua Terhadap Pribadi Anak yang antara lain
menerangkan sebagai berikut :
Pasal 298
Setiap anak, berapa pun juga umurnya, wajib menghormati dan menghargai orang
tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di
bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan
mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapat mereka
guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu. Bagi yang sudah
dewasa berlaku ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bagian 3 bab ini.
Pasal 299
Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam
kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau
dipecat dari kekuasaan itu.
Pasal 300
Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan
mengenai pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu.

5
Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan
orang tua, kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh ibu, kecuali dalam hal
adanya pisah meja dan ranjang.
Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri
diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359.
Pasal 301
Tanpa mengurangi ketentuan dalam hal pembubaran perkawinan setelah pisah
meja dan ranjang, perceraian perkawinan, serta pisah meja dan ranjang, orang tua itu
wajib untuk tiap- tiap minggu, tiap-tiap bulan dan tiap-tiap tiga bulan, membayar kepada
dewan wali sebanyak yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri atas tuntutan dewan itu,
untuk kepentingan pemeliharaan dan pendidikan anak mereka yang di bawah umur, pun
sekiranya mereka tidak mempunyai kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu dan
tidak dibebaskan atau dipecat dari itu.
Pasal 302
Bila bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua mempunyai alasan-
alasan yang sungguh-sungguh untuk merasa tidak puas akan kelakuan anaknya, maka
Pengadilan Negeri, atas permohonannya atau atas permohonan dewan wali, asal dewan
ini diminta olehnya untuk itu dan melakukannya untuk kepentingannya, boleh
memerintahkan penampungan anak itu selama waktu tertentu dalam suatu lembaga
negara atau swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penampungan ini dibiayai
oleh anak itu; penampungan itu tidak boleh diperintahkan untuk lebih lama dari enam
bulan berturut-turut, bila pada waktu penetapan itu anak belum mencapai umur empat
belas tahun, atau bila pada waktu penetapan itu dicapai umur tersebut, paling lama satu
tahun dan sekali-kali tidak boleh melewati saat dia mencapai kedewasaan.
Pengadilan Negeri tidak boleh memerintahkan penampungan sebelum mendengar
dewan perwalian dan dengan tidak mengurangi ketentuan alinea pertama Pasal 303,
sebelum mendengar anak itu; bila orang tua yang satu lagi tidak kehilangan kekuasaan
orang tua, maka dia pun harus didengar lebih dahulu setidak-tidaknya dipanggil dengan
sah. Alinea keempat Pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan tersebut terakhir.
Pasal 303
Bila anak itu tidak menghadap untuk didengar pada hari yang ditentukan,
Pengadilan Negeri harus menunda pemeriksaan itu sampai hari yang kemudian
ditentukan, dan harus memerintahkan agar hari itu anak dibawa kehadapannya oleh juru
sita atau polisi; penetapan ini dilaksanakan atas perintah kejaksaan; bila ternyata hari itu
anak tidak menghadap, maka Pengadilan Negeri tanpa mendengar anak, boleh
memerintahkan penampungan atau menolaknya. Dalam hal ini tidak usah diindahkan
tertib acara selanjutnya, kecuali perintah untuk penampungan yang tidak usah dinyatakan
alasan-alasannya. Apabila Pengadilan dalam penetapannya memutuskan, bahwa orang
yang melakukan kekuasaan orang tua dan anak itu tidak mampu membiayai
penampungan itu, maka segala biaya dibebankan kepada negara. Penetapan yang

6
memerintahkan penampungan itu harus dilaksanakan atas perintah kejaksaan atas
permohonan orang yang melakukan kekuasaan orang tua.
Pasal 304
Dengan penetapan Menteri Kehakiman, anak itu sewaktu-waktu boleh dilepaskan
dan lembaga seperti yang dimaksud Pasal 302, bila alasan penampungan itu tidak ada lagi
atau bila keadaan jasmaninya atau keadaan rohaninya tidak mengizinkan untuk tinggal
lebih lama lagi di situ.
Orang yang menjalankan kekuasaan orang tua tetap bebas untuk memperpendek
waktu penampungan yang ditentukan dalam perintah. Untuk perpanjangan, harus
diindahkan lagi apa yang ditentukan dalam Pasal 302 dan 303.
Pengadilan Negeri hanya boleh memerintahkan perpanjangan itu setiap kali untuk
jangka waktu yang lebih dan enam bulan berturut-turut, perintah itu tidak boleh diberikan
sebelum kepala lembaga tempat anak tinggal waktu permohonan untuk perpanjangan
diajukan, atau orang yang menggantikannya didengar atas permohonan itu, jika perlu
secara tertulis.
Pasal 305
Dihapus dengan S. 1927- 31 jis. 390,421.
Pasal 306
Anak di luar kawin yang diakui sebagai sah sama sekali berada di bawah
perwalian.
Pasal 298 berlaku baginya.
Ketentuan Pasal 301 berlaku bagi orang yang telah mengakui anak luar kawin
yang belum dewasa, bila fa tidak melakukan kekuasaan perwalian atas anak itu tanpa
dibebaskan atau dipecat dari itu.

7
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak dengan Adanya Perkawinan

Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan dan merupakan takdir Tuhan


bahwa sepasang laki-laki dan perempuan memiliki keinginan yang sama untuk saling
mengenal, mencintai, hingga berkeinginan untuk hidup bersama dalam suatu ikatan
perkawinan. Keterikatan laki-laki dan perempuan dalam suatu hubungan hukum yang
disebut perkawinan, menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami-
isteri. Bahkan tanggung jawab ini akan bertambah apabila dari perkawinan tersebut
dilahirkan anak, dengan adanya hubungan hak dan kewajiban anatara orang tua dan anak
secara timbal balik.4

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dikenal mengenai definisi


perkawinan.5 Berdasarkan pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata. Dalam hal ini
Undang-undang hanya mengenal yang disebut “Perkawinan Perdata” yaitu, perkawinan
yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil.6 Berbeda dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam Pasal 1 menentukan definisi perkawinan:

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tujuan


perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya
perkawinan merupakan salah satu unsur dari keluarga. Dalam keluarga tidak hanya
terdapat hubungan hukum yang disebut perkawinan, akan tetapi juga terdapat hubungan

4
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008. hlm. 6.
5
Achmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Yogyakarta, 1978,
hlm. 11.
6
Vollmar, H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata, Diterjemahkan oleh IS. Adiwinata, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm.
50.

8
darah dalam hal ini adanya keturunan. Dalam Hukum Keluarga, terdapat dua prinsip
antara lain:

a. Hubungan darah
Pasal 290 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek.
b. Perkawinan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hubungan darah inilah yang erat kaitannya dengan lahirnya anak dari perkawinan. Antara
orang tua dan anak terdapat hubungan hak dan kewajiban secara timbal balik. Menurut
pasal 299 KUH Perdata, kekuasaan orang tua merupakan kekuasaan yang dilakukan oleh
ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang
belum dewasa Dalam hal terdapat kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua kepada
anaknya sebelum anak tersebut dewasa disebut sebagai kekuasaan orang tua. Menurut
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, dalam kekuasaan orang tua harus
mencerminkan kesadaran akan kewajiban mereka untuk bertindak atas kepentingan anak-
anaknya dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban mereka untuk
kesejahteraan anak-anaknya.

Kekuasaan orang tua terhadap anak diatur baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan dalam Buku I Title XIV Pasal 298 sampai
329, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam pasal 45 sampai 49.7

Melalui pasal 299 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga asas
kekuasaan orang tua:8

1. Kekuasaan orang tua tidak hanya berada pada Ayah, akan tetapi berada pada kedua orang
tua;
2. Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika
perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua juga berakhir;

7
Soetojo Prawirohamdidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya:
Airlangga University Press, 2002, hlm.200.
8
Ibid, hlm. 201

9
3. Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban terhadap
anak-anaknya dengan baik.

Menurut pasal 298 ayat (1) KUH Perdata jo. Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya. Meskipun
demikian, pelanggaran terhadap ketentuan yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa
dapat memberikan alasan bagi ayah atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua
untuk mengambil tindakan korektif. Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi anak sah,
tetapi juga anak di luar perkawinan dan berapapun umurnya di dalam kewajibannya
terhadap orang tua yang mengakuinya.9

Karena adanya hubungan antara orang tua dan anak akibat hubungan keturunan, pasal
45 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa orang tua wajib memelihara
dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum dewasa. Kewajiban-kewajiban
tersebut berupa kewajiban nafkah hal ini berkaitan dengan kewajibannya memelihara dan
mendidik anaknya. Menurut KUH Perdata, setiap anak yang belum dewasa yaitu: 1) bagi
mereka yang berusia kurang dari 21 tahun; dan 2) belum kawin. Bagi mereka dianggap
tidak cakap hukum, maka orang tuanya lah yang mewakilinya menyelenggarakan segala
kebutuhannya.

Berdasarkan KUH Perdata, terdapat kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan
anak, antara lain:10

1) Mengurus harta kekayaan anak (Pasal 307);


2) Bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan (Pasal 308);
3) Tidak memindahkan harta kekayaan anak tanpa izin anak atau pengadilan (Pasal 309 jo.
Pasal 48 Undang Undang Perkawinan).

Kekuasaan orang tua ini berlaku selama ayah dan ibunya masih hidup dalam perkawinan,
mereka memiliki hak menikmati hasil harta kekayaan anak-anaknya.

9
Soetojo Prawiromidjojo, Hukum Orang Tua dan Keluarganya, Surabaya: Airlangga University Press, 2005, hlm. 18.
10
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2004, hlm. 54.

10
Berbeda dengan KUH Perdata, kekuasaan orang tua terhadap anak dalam Undang-
Undang Perkawinan, bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dalam kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya. Maka kekuasaan orang tua dalam Undang-Undang
Perkawinan berlangsung sampai anaknya telah dewasa dalam hal ini sudah mencapai 18
tahun atau telah kawin. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dapat disimpulkan bahwa terdapat kekuasaan orang tua terhadap:

1. Kekuasaan terhadap diri anak, bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya
seperti memberikan nafkah, menyediakan tempat kediaman, perawatan/pengobatan, dan
pendidikan
2. Kekuasaan terhadap perbuatan hukum, anak yang belum dewasa dianggap tidak cakap
hukum sehingga orang tualah yang mewakilinya menyelenggarakan perbuatan hukum
baik dalam dan luar perkawinan
3. Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak, pengurusan dan tanggung jawab terhadap harta
kekayaan diwakili oleh orang tua akan tetapi orang tua dilarang memindahkan hak atau
menggadaikan segala barang tetap milik anaknya kecuali demi kepentingan anak yang
diwakilinya.

B. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak Akibat Adanya Perceraian

Seorang anak yang sah dan belum mencapai usia dewasa serta belum kawin
berada dibawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijk macht), kekuasaan ini tetap melekat
pada orang tua selama masih terikat dalam hubungan perkawinan, maka kekuasaan orang
tua berlaku dari mulai anak itu dilahirkan hingga dia dewasa atau kawin dan atau hingga
perkawinan orang tuanya diputuskan dan dihapuskan. Kekuasaan orang tua terutama
berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara anaknya, pemeliharaan meliputi
pemberian nafkah, pakaian, dan perumahan.11

Mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak akibat adanya perceraian jika di
tinjau dari ketentuan Burgerlijk Wetboek adalah jika terjadi perceraian maka kekuasaan
orang tua tersebut juga hilang atau dengan kata lain setelah terjadinya perceraian maka

11
Subekti, “pokok-pokok hukum perdata”, Jakarta : Intermasa, 2003, hlm.51.

11
kekuasaan orang tua itu berubah menjadi perwalian, wali punya tanggungjawab terhadap
pengurusan anak itu serta harta anak dan mengurusnya ke balai harta peninggalan,
walaupun kekuasaan orang tua setelah cerai otomatis menjadi perwalian orang tua yang
bersangkutan tidak lepas dari tanggungjawabnya sesuai dengan pasal 301 Burgerlijk
Wetboek yang menyatakan bahwa walaupun telah pisah meja dan ranjang, perceraian
perkawinan, orang tua wajib tiap minggu, tiap bulan, tiap tiga bulan, membayar kepada
dewan wali sebanyak yang ditetapkan oleh pengadilan negeri atas tuntutan dewan itu
untuk kepentingan pemeliharaan dan pendidikan san anak.

Berbeda halnya dengan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan No.1


Tahun 1974 yaitu jika terjadi perceraian kekuasaan orang tua tetap ada dan melekat hanya
saja yang berubah adalah hak asuh anak yang akan di putuskan oleh hakim dalam
persidangan kepada siapa hak asuh akan diberikan, tentunya dengan pertimbangan oleh
hakim secara tepat seperti hal yang menjadi pertimbangan penting hakim adalah perihal
moral dari orang tua misalnya ibunya bermoral sangat buruk sekalipun dia memiliki
kemampuan finansial yang baik dan stabil tetap saja hak asuh tidak akan dimenangkan
oleh ibunya karena anak harus dibesarkan dengan baik dan benar agar memiliki moral
yang baik pula. Maka dapat disimpulkan bahwa hakim dalam memutus perkara perebutan
hak asuh anak akan sangat mempertimbangkan hal-hal yang akan dialami dan dijalani
anak tersebut karena yang terpenting dalam memtuskan hak asuh anak diberikan kepada
salah satu pihak adalah mengutamakan prinsip yang terbaik untuk kepentingan anak, baik
itu dalam pendidikannya, perlindungannya, dan aspek lainnya.

Dalam pasal 45 Undang-undang No.1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa orang tua
wajib memelihara dan mendidik anaknya dengan baik hingga anak itu menikah atau dapat
berdiri sendiri sekalipun perkawinan antara kedua orangtuanya telah putus12. Tetapi
dalam kriteria dan peristiwa tertentu kekuasaan orang tua ini juga dapat dicabut oleh pihak
berwenang yaitu melalui pengadilan. Diantaranya adalah karena orang tuanya sangat
melalaikan kewajiban terhadap anak dan atau orang tuanya berkelakuan sangat buruk.

12
R. Abdoel Djamali, “pengantar hukum Indonesia”, Jakarta : Rajawali Pers, 2013,hlm.154

12
Permohonan yang diajukan untuk mencabut kekuasaan orang tua terhadap anak dapat
dilakukan atas permintaan:

1. Orang tua yang lain (dalam perceraian)


2. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas
3. Saudara kandung yang telah dewasa
4. Pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan13

jika terjadi perceraian dan apabila hak asuh dimenangkan oleh ibunya maka tidak
berarti sang ayah lepas dari tanggungjawabnya, ayah nya tetap memiliki kewajiban
menafkahi anaknya yang dibebankan oleh hakim kepada sang ayah dengan
mempertimbangkan kepatutan dan kemampuan sang ayah, kewajiban ini haruslah
dipenuhi.

Jika dalam hal dia tidak memenuhi kewajibannya maka dapat diupayakan dua hal
yaitu pertama, terhadap pihak yang dibebani biaya nafkah jika tidak melakukan
kewajibannya dapat dimintakan eksekusi, dan yang kedua terhadap pemegang kuasa asuh
jika tidak melaksanakan kewajibannya dapat diminta permohonan pencabutan hak asuh
walaupun hak asuh dicabut tidak menghilangkan kewajibannya sebagai orang tua kepada
anaknya, Pasal 49 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menegaskan bahwa meskipun kekuasaan orang tua telah dicabut, mereka masih
berkewajiban untuk memberikan pemeliharaan kepada anak tersebut.

Contoh kasus

Putusan perceraian Nomor: 842/pdt.G/2015/PA.SKA.

Pada putusan ini perceraian hakim mengabulkan gugatan perceraian karena para
pihak setiap hari bertengkar dan selalu cekcok dan sudah tidak ada lagi harapan untuk
menjadi rukun kembali. Alasan pertengkaran adalah suami yang berganti profesi menjadi
sopir taksi dan membuat sang istri cemburu karena suami sering bersama wanita lain, dan
suami mengatakan itu hal wajar dalam pekerjaannya karena wanita itu hanyalah

13
Loc.cit

13
penumpang pelanggan akan tetapi pihak istri tetap tidak percaya dan tetapi menginginkan
hubungan pernikahannya dihapuskan atau diputuskan.14

Dalam putusannya hak asuh anak diberikan kepada ibunya. Pertimbangan hakim
dalam memutus putusan perceraian tersebut mempertimbangkan dua hal yaitu tentang
hukumnya dan pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau peristiwanya. Sebab
terjadi perceraian yaitu atas dasar rasa cemburu dari tergugat yang terlalu berlebihan. Dari
putusnya perkawinan antara pemohon dengan termohon, keduanya tetap berkewajiban
untuk memberikan nafkah serta pemeliharaan kepada anak-anaknya. Pertimbangannya
adalah karena anak-anak dari hasil perkawinan tersebut masih berada dibawah umur atau
belum dewasa dan semuanya berada dalam asuhan ibunya, yang berarti bahwa ibu wajib
merawat dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya, wajib memberikan pendidikan bagi
anak-anaknya, mewakili segala perbuatan hukum untuk anak. Namun, demikian juga
dengan ayah mempunyai kewajiban yang sama untuk memenuhi segala hak-hak anaknya
termasuk memberikan biaya nafkah kepada anak-anaknya. Dari putusan perceraian itu
diputuskan juga mengenai biaya nafkah untuk anak-anaknya yang tinggal bersama
ibunya.

Beban biaya yang harus ditanggung oleh ayah si anak dari putusan Pengadilan
adalah sebesar Rp.1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) perbulan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 105 Huruf c Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Dalam hal
terjadinya perceraian biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya”. Hakim
menentukan nominal tersebut berdasarkan kepatutan dan kemampuan dari ayah si anak
tersebut. Kepatutan dan kemampuan disini artinya hakim menyesuaikan dengan
pekerjaan ayah dari anak tersebut, apakah ayah dari si anak tersebut berpenghasilan atau
tidak.

Sesuai dengan Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama juga menyatakan bahwa “Permohonan soal penguasaan anak, nafkah

14
Putusan Nomor 842/pdt.G/2015/PA.SKA.

14
anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan”.

Pertimbangan hakim lainnya adalah berdasarkan keterangan-keterangan saksi


yaitu saksi dari Pemohon konvensi atau dalam hal ini adalah sang ayah yang menjelaskan
ayah dari si anak tersebut bekerja sebagai sopir taksi dan mempunyai penghasilan atau
berpenghasilan. Untuk menentukan mengenai pembebanan nafkah yaitu baik nafkah
kepada anak ataupun pembebanan nafkah Iddah dan Mutah kepada mantan isteri yang
harus ditanggung oleh suami maka Majelis Hakim menggunakan pertimbangan lain yaitu
dengan pembuktian-pembuktian berupa surat atau slip gaji jika bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil atau surat-surat semacamnya yang menerangkan hasil pendapatan setiap
bulan dari pekerjaannya dan dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi.

Dari alasan-alasan diatas kemudian Hakim Pengadilan Agama Surakarta


mengabulkan permohonan pemohon. Bahwa hak asuh anah jatuh kepada ibunya dan
melalui putusan hakim mantan suami berkewajiban untuk membayar biaya nafkah setiap
bulannya kepada anak-anak yang tinggal bersama ibunya.

Beban nominal yang dibebankan oleh ayah yaitu sebesar 1.500.000 (satu juta lima
ratus ribu rupiah), pembebanan nafkah untuk anak tersebut oleh hakim diputus
berdasarkan atas kepatutan dan kemampuan si ayah.

C. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak

Dalam pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan pula bahwa:

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.


b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena
suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka

15
kewajiban dan tanggung jawab dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.15

Selanjutnya, dalam pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan


bahwa:

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang
tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.16

Perihal kekuasaan orang tua terhadap anak, juga dibahas lebih mendalam dalam
Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal
45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa:

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.17

Dalam hal demikian, kekuasaan tersebut dapat dicabut apabila ada alasan-alasan
yang kuat akan pencabutan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 Undang-
Undang Perkawinan:

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga

15
Undang-Undang tentang Perlindungan, Pengadilan dan Kesejahteraan Anak, Jakarta:
Tamita Utama, 2003, hlm. 14
16
Ibid., hlm. 63
17
Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 14

16
anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya


b. Ia berkelakuan buruk sekali

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.18

Kewajiban demikian dalam KUH Perdata disebutkan bahwa seorang anak yang sah
sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (ouderlijke macht), selama kedua orang tua itu terikat dalam hukum
perkawinan. Dengan demikian, kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak
atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau
kawin atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Ada pula kemungkinan
kekuasaan itu oleh hakim dicabut (ontzet) atau orang tua dibebaskan dari kekuasaannya
itu (ontheven), karena suatu alasan.19 Yang mana di antara kedua hal tersebut terdapat
perbedaan yang fundamentil. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas keduanya
secara mendetail, namun hanya akan membahas perihal pencabutan kekuasaan orang tua
terhadap anak.

Seorang ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua dapat dibebaskan oleh
hakim dari kekuasaannya itu. Syarat-syarat untuk pembebasan ini adalah:

1. Ketidakcakapan atau ketidakmampuan untuk menunaikan kewajibannya akan


memelihara dan mendidik anak-anaknya.
Misalnya: seorang ayah yang tidak dapat mengendalikan anaknya yang nakal, berarti dia
tidak cakap dan sekaligus tak mampu untuk mendidik anak itu.
2. Kepentingan anak-anak karena hal-hal lain tidak bertentangan dengan pembebasan itu.
Tindakan pembebasan diadakan untuk kepentingan si anak. Oleh karena itu si ayah atau
ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak boleh dibebaskan dari kekuasaan itu,
apabila kepentingan si anak bertentangan dengan pembebasan itu.

18
Ibid., hlm. 15
19
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1995, hlm. 51-52

17
3. Si ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak mengajukan perlawanan.
Menurut pasal 319 b ayat terakhir si ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua
tidak boleh dibebaskan dari kekuasaan itu, jika ia mengajukan perlawanan terhadap
permohonan itu. Perlu diingat bahwasanya orang gila harus dianggap tidak mampu untuk
mengutarakan kehendaknya dan demikian tak mungkin mengajukan perlawanan atau
keberatan. Orang gila tidak cakap dan tidak mampu untuk memelihara dan mendidik
anak-anaknya, dan demikian ia bolehdibebaskan dari kekuasaan tersebut.20
Pembebasan tersebut dapat dimohon kepada Hakim oleh Dewan Perwalian atau
dituntut oleh kejaksaan. Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau isteri atau
suaminya tidak boleh mengajukan permohonan demikian. Karena apabila hal tersebut
diperbolehkan akan ada ayah dan/atau ibu yang mengajukan permohonan demikian,
untuk melepaskan diri dari kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak- anaknya dan
tidak mau mengetahui tentang anak-anaknya, kecuali mungkin hanya bersedia membiaya
pemeliharaan dan pendidikannya saja.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, alasan-alasan tersebut dijabarkan


lebih luas lagi. Adapun alasan-alasan tersebut adalah:

1. Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara


dan mendidik seorang anak atau lebih
2. Berkelakuan buruk
3. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta dalam suatu
kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya
4. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan kejahatan yang
tercantum dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX. Buku kedua Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, terhadap seorang anak di bawah umur yang ada dalam
kekuasaannya
5. Dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih

Perlu diperhatikan, bahwa alasan-alasan tersebut belum cukup untuk mencabut


seorang ayah atau ibu dari kekuasaan orang tua terhadap sekalian anak-anaknya atau

20
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Semarang: Seksi Perdata Barat
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981, hlm. 470-471

18
seorang atau lebih dari anak-anak itu. Pencabutan hanya diperbolehkan, apabila ada satu
atau lebih alasan yang dimaksud di atas dan pencabutan itu sangat perlu untuk
kepentingan anakanak. Jadi yang diutamakan adalah kepentingan anak. Seorang ayah
atau ibu yang berkelakuan buruk (alasan no.2) atau yang mendapat hukuman badan 2
tahun (alasan 5), bisa sekali baik untuk anaknya. Dalam hal demikian kepentingan si anak
tak menghendaki pencabutan kekuasaan orang tuanya.

19
BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kekuasaan orang tua adalah suatu kewajiban yang harus di lakukan oleh orang tua
(kandung) kepada anaknya, semasa si anak tersebut belum dewasa. Dasar hukum
mengenai kekuasaan orang tua yang menjadi sumber utama, yakni:
a.Pasal 298-319 BW;
b.Pasal 45 s/d 49 UU No. 1/1974 3.

Macam-macam kekuasaan orang tua dibagi menjadi dua, yakni:

1) Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata


a. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Seorang Anak
b. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Harta Kekayaan si Anak
a) Kekuasaan Terhadap Harta Kekayaan
b) Hak Menikmati Hasil (het vruiht genot)
c) Tentang kewajiban timbal balik antara orang tua dan keluarga sedarah dengan anak.
2) Kekuasaan Orang Tua menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUP) No. 1 Tahun
1974 Isi kekuasaan orang tua terhadap anaknya menurut UUP meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Kekuasaan terhadap diri anak, bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, seperti memberi nafkah, menyediakan tempat
kediaman, perawatan dan pengobatan, dan pendidikan.
b. Kekuasaan terhadap perbuatan hukum, bahwa mengingat anak dianggap tidak cakap
melakukan perbuatan hukum, maka diwakili oleh orang tuanya mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
c. Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak, karena anak dianggap tidak cakap dalam
melakukan perbuatan hukum, maka pengurusan dan tangung jawab terhadap harta
kekayaan yang diwakili oleh orangtuanya.

20
Akibat kekuasaan orang tua terhadap anak

1) Terhadap Pribadi si Anak Menurut Pasal 298 Ayat 1 KUHPerdata jo. 46 ayat 1 UU No.
1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya. Menurut
soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, ketentuan ini lebih merupakan norma
kesusilaan dari pada norma hukum. Meskipun demikian, kewajiban anak tersebut tidak
hanya berlaku pada anak-anak yang sah, tetapi pada anak diluar kawin dan berapapun
umurnya didalam kewajibannya terhadap orang tua yang mengakuinya. Sebaliknya orang
tua wajib memelihara dan memberi bimbingan anak-anaknya yang belum cuckup umur
sesuai dengan kemampuannya masing-masing (Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974). Kewajiban ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan bukan
sebagai akibat dari kekuasaan orang tua. Hal berarti bahwa, setiap anak yang belum
dewasa, yaitu (1) bagi mereka yang berumur kurang dari 21 tahun; dan (2) belum kawin.
Kepada mererka ini dianggap tidak cakap bertindak (handelingson-bekwaam) dalam lalu
lintas hukum oleh undang-undang.
2) Terhadap Harta Kekayaan Anak Dengan tak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam
pasal 237 dan ayat terakhir pasal 319e, setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap
seorang anak belum dewasa harus mengurus harta kekayaan anak itu. Ketentuan ini tak
berlaku sekedar mengenai barang- barang yang mana, baik karena suatu perbuatan
perdata antara yang masih hidup, maupun karena suatu surat wasiat, telah dihibahkan atau
dihibahwasiatkan kepada anak-anak, dengan penegasan, bahwa pengurusan akan barang-
barang tadi hendaknya di selenggarakan oleh seorang pengurus atau lebih, lain dari pada
si pemangku kekeuasaan orang tua sendiri dan yang ditunjuk pula di dalamnya. Kendati
adanya pengangkatan pengurus-pengurus istimewa seperti diatas, namun berhaklah si
pemangku kekuasaan orang tua, selama anaknya belum dewasa, meminta perhitungan
anggung jawab dari pengurus tersebut (Pasal 307 KUHPerdata). Disamping mengurus
harta benda anak-anak maka orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua juga
mempunyai hak untuk menikmati hasil dari kekayaan anaknya (Pasal 311).

21
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada, terdapat beberapa sebagai berikut:

1. Saran yang diberikan ditujukan kepada Orang tua hendaknya memberikan contoh yang
baik bagi anak, karena anak yang belum dewasa pasti akan meniru/mencontoh perilaku
orang-orang yang berada disekitarnya terutama orang tua. Seorang anak pasti dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik apabila orang tuanya mampu memberikan contoh
yang baik kepada anak.

2. Saran yang ditujukan kepada Wali hendaknya bisa menjalankan kekuasaan wali dengan
baik, yaitu dengan cara memenuhi semua beban kewajiban yang harus dilakukan oleh
wali kepada anak walinya seperti mendidik, merawat dan memelihara, supaya hak dan
kepentingan anak dapat dilindungi, serta anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik

22

Anda mungkin juga menyukai