Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Seiring perkembangan kehidupan manusia di bidang perekonomian khususnya di


Negara kita, di dalam lapisan masyarakat yang semakin hari semakin beragam dan selalu
berkaitan dengan kegiatan Bank yang menjadi salah satu faktor pendukung dan penunjang
kegiatan ekonomi masyarakat. Perjanjian kredit merupakan salah satu kegiatan Bank yang
sangat penting dan utama sehingga pendapatan dan kredit yang berupa bunga merupakan
komponen pendapatan paling besar dibandingkan dengan jasa-jasa diluar bunga kredit yang
biasa disebut fee base income. Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama
dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat
diketahui bahwa hampir semua lapisan masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam-
meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan
kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi
pinjaman (debitur).

Lembaga perbankan memiliki peranan yang sangat besar terkait dengan kegiatan
pinjam-meminjam pada saat ini. Berbagai Lembaga keuangan, terutama bank konensional
telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan
memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk bank kredit perbankan. Kredit
perbankan merupakan salah satu usaha Bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan
oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana. Pemberian kredit oleh Bank idealnya
mendasarkan pada faktor financial, yang tercakup pada tiga pilar, yaitu prospek usaha,
kinerja dan kemampuan calon debitur. Namun demikian, dengan memperhatikan adanya
Prudential banking principle maka faktor financial saja belum cukup untuk memberikan
keyakinan fasilitas kredit tersebut akan kembali dengan aman dan menguntungkan. Oleh
karenanya, pihak bank membutuhkan suatu jaminan (agunan) dari debitur sehingga
pembayaran fasilitas kredit dapat terjamin kelancarannya. Sekalipun pada dasarnya agunan
merupakan second wayout, tetapi arah perkembangan kredit perbankan akhir-akhir ini diluar
kredit konsumtif telah mengarah pada faktor agunan sebagai variable dominan yang dapat
memberikan keyakinan yang baik.

1
Dalam proses kegiatan pemberian fasilitas kredit oleh bank yang terjadi dimasyarakat
dapat diperhatikan bahwa umumnya sering diikuti dengan persyaratan adanya penyerahan
jaminan (agunan) oleh pihak peminjam (debitur) kepada pihak pemberi pinjaman (kreditur).
Jaminan ini bertujuan untuk menjamin lancarnya pembayaran kewajiban berdasarkan fasilitas
kredit yang diberikan bank kepada pihak peminjam atau debitur. Jaminan dapat berupa
barang (benda) sehingga dapat disebut dengan jaminan kebendaan dan/atau berupa janji
penanggungan utang sehingga dapat disebut dengan jaminan perorangan atau jaminan
perusahaan. Jaminan kebendaan memberikan hak kepada pemegang jaminan. Kewajiban
untuk memberikan jaminan (agunan) oleh pihak peminjam dalam rangka pinjaman uang
sangat terkait dengan kesepakatan diantara pihak-pihak yang melakukan pinjam meminjam
uang. Pada umumnya pihak pemberi pinjaman atau kreditur, mensyaratkan adanya jaminan
utang sebelum memberikan pinjaman sejumlah dana kepada peminjam atau debitur.
Sementara itu, keharusanya penyerahan jaminan utang tersebut sering pula diatur dan
diisyaratkan oleh peraturan internal pihak pemberi pinjaman atau kreditur dan /atau oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. kegiatan pinjam meminjam dan yang diikuti
dengan penyerahan jaminan utang banyak dilakukan oleh perorangan dan berbagai badan
usaha. Bank pada umunya secara tegas mensyaratkan kepada pihak peminjam (debitur) untuk
menyerahkan suatu barang (benda) sebagai objek jaminan utang debitur tersebut. Benda atau
jaminan yang ditawarkan (diajukan) oleh debitur tersebut umumnya akan dinilai oleh bank,
sebelum diterima sebagai objek jaminan. Penilaian atau objek jaminan dilihat dari berbagai
macam aspek baik aspek hukum dan aspek ekonominya dan dinilai oleh penilai independent
(appraisal independent) yang ditunjuk oleh Bank.

Dalam Pasal 1 Angka 11 UU No. 10/1988, memberikan definisi secara khusus dari
kredit, yaitu sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang di persamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinajm-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”

Terkait dengan pinjam meminjam sendiri diatur dalam Buku III Bab ke tiga belas
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1754 KUHPerdata disebutkan bahwa
pinjam meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,

2
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula1. Selanjutnya dalam Pasal 1765 KUHPerdata
disebutkan bahwa diperbolehkan memperjanjikan, bunga atas peminjaman uang atau lain
barang yang menghabis karena pemakaian2. Dalam pemberian kredit, pihak bank wajib
memiliki keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan serta wajib untuk
menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang diperjanjikan serta wajib untuk
menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang dimanfaatkan dalam UU No. 7/1992
dan UU No. 10/1998.3 Pemberian jaminan utang dalam suatu dokumen terpisah sejatinya
bukan merupakan hal mutlak dalam setiap perjanjian kredit. Hal ini didasari pada ketentuan
Pasal 1131 juncto Pasal 1132 KUPerdata menyatakan bahwa ; “Segala kebendaan berutang
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka
nada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”. Ketentuan
dalam Pasal 1131 KUHPerdata memberikan pengertian bahwa jaminan yang timbul dari
ketentuan ini adalah jaminan yang terjadi atau timbul dari undang-undang, dimana setiap
barang bergerak ataupun tidak bergerak milik debitur menjadi tanggungan utangnya kepada
kreditur. Maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur dapat meminta pengadilan untuk
menyita dan melelang seluruh harta debitur. Jaminan ini merupakan jaminan umum, yaitu
jaminan yang timbul dari undang-undang, sehingga tidak perlu ada perjanjian jaminan
sebelumnya. Jaminan umum ini pada praktek perkreditan tidak memuaskan krediturnya,
karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan. Kreditur
tidak mengetahui persis berapa jumlah harta kekayaan debitur baik yang sekarang ada
maupun yang akan ada. Oleh karenanya, dibutuhkan jaminan tambahan atau jaminan khusus.
Jaminan khusus adalah bahwa setiap jaminan utang yang bersifta kotraktual, yaitu yang terbit
dari perjanjian tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun
orang tertentu4. Jaminan sendiri didefinisikan sebagai tanggungan yang diberikan oleh debitur
kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan, yaitu bahwa debitur
harus memenuhi kewajibannya 5. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hak
jaminan yang diberikan kepada kreditur adalah baik hak kebendaan maupun hak perorangan.
1
DR.Sentosa Sembiring,SH.,MH.,Hukum Perbankan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju,2008), hal.67.
2
Ibid.
3
M. Bahsan, SH.,SE., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT Raja
Grafindo Persada,2012). hal. 79.
4
Niken Prasetyawati, dan Tony Hanoraga, Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang, JSH Jurnal Sosial Humaniora, Vol 8, No. 1, Juni 2015, hal. 126
5
Dr.H. Budi Untung, SH., CH.,MM., Kredit Perbankan di Indonesia, Edisi II (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2011),
hal. 59.

3
Selain itu, jaminan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur dapat diberikan oleh debitur
sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. Hak jaminan
yang diberikan kepada kreditur tersebut untuk keamanan dan kepentingan kreditur, haruslah
diadakan dengan suatu perikatan, perikatan mana bersifat accesoir dari perjanjian kredit atau
pengakuan hutang yang diadakan oleh debitur dengan kreditur6. Dengan sifat accesoir
tersebut memberikan arti bahwa tidak ada jaminan yang diberikan oleh suatu pihak apabila
tidak ada perikatan utama yang mendasarinya dalam hal ini adalah perjanjian kredit.

Dalam setiap pemberian fasilitas kredit oleh Bank kepada nasabahnya khususnya
dalam bentuk badan usaha, selalu diisyaratkan untuk memberikan jaminan utang sebagai
jaminan lancarnya pembayaran kewajiban fasilitas kredit kepada bank. Pemberian jaminan
utang dapat berupa penyerahan barang yang dapat dikatakan sebagai jaminan kebendaan
berupa penyerahan barang yang dapat dikatakan sebagai jaminan kebendaan dan atau berupa
janji penanggungan utang tau yang dikenal dengan borgtocht. Menurut Sutarno S.H,M.M.
Jaminan penanggungan utang adalah jaminan yang bersifat perorangan yang menimbulkan
hubungan langsung dengan orang tertentu. Jaminan yang bersifat perorangan yang
menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu. Jaminan bersifat perorangan ini
mempunyai asas kesamaan sebagaimana tercermin dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata,
artinya tidak membedakan piutang mana yang lebih dahulu terjadi dan piutang yang terjadi
kemudian. Terdapat dua macam bentuk jaminan borgtocht yaitu jaminan perorangan
(personal guarantee) dan jaminan perusahaan (corporate guarantee)7. Jaminan perorangan
(personal guarantee) adalah jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga (guarantor)
meminjam pembayaran kembali suatu pinjaman sekira yang berhutang (debitur) tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban finansialnya terhadap kreditur (bank). Dalam pasal 1820
KUHPerdata dinyatakan bahwa sebagai berikut :

“Penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi
perikatannya.”

Dasar hukum pengaturan jaminan perorangan diatur dalam KUHPerdata buku III Bab
XVII Pasal 1820-1850. Jaminan perorangan (personal guarantee) sesuai dengan sifatnya
dikategorikan pula pada perjanjian turunan atau accesoir dimana perjanjian ini bersifat
tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Ketentuan ini tercermin dalam Pasal 1821
6
Ibid.
7
DR.Sentosa Sembiring.SH.,MH., Op.Cit. , 72

4
KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada perikatan pokok
yang sah. Dengan demikian penanggungan adalah batal demi hukum jika persetujuan
(perikatan utamanya) adalah batal demi hukum. Dalam prakteknya, jaminan perorangan
(personal guarantee) pada umumnya merupakan jaminan tambahan setelah pihak peminjam
(debitur) memberikan jaminan kebendaan. Hal ini umumnya dikarenakan dengan
pertimbangan dan analisa pihak kreditur (bank) bahwa untuk melakukan eksekusi jaminan
kebendaan cenderung lebih mudah dibandingkan dengan eksekusi jaminan perorangan
(personal guarantee). Jaminan perorangan menjadi jaminan tambahan setelah adanya
jaminan kebendaan juga tercermin dalam Pasal 1831 KUHPerdata, yang mengatur bahwa
“Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar
utangnya dalam hal itu barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu
untuk melunasi hutangnya”. Ketentuan ini memberikan hak istimewa bagi penjamin
(guarantor) untuk menuntut agar harta kekayaan debitur disita dan di eksekusi terlebih
dahulu untuk melunasi hutangnya. Lain halnya, apabila oenjamin (guarantor) melepaskan hak
istimewanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1831 KUHPerdata. Dengan melepaskan hak
keistimewaan ini, maka penjamin (guarantor) dapat dimintakan untuk membayar
kewajibannya kepada kreditur bersama dengan melakukan eksekusi atas jaminan kebendaan
yang diberikan oleh debitur berdasarkan perjanjian kredit.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apakah Lembaga Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) sudah efektif di dalam


penyelesaian kredit bermasalah di sebuah Bank?

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ketentuan diatas, suatu jaminan yang
berbentuk perorangan merupakan jenis jaminan yang diikat ke dalam suatu perjanjian yang
memberikan kedudukan bagi si penanggung perorangan sebagai debitur dari si kreditur pada
perjanjian pokonya. Dengan adanya kedudukan tersebut membuat penanggung perorangan
memiliki kewajiban-kewajiban secara spesifik memastikan agara debitur tetap menajalankan
kewajibannya sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian pokoknya tersebut. Para pihak
yang melakukan perjanjian antara Kreditur dengan debitur dan pihak ke tiga dari pihak

5
debitur sebagai penjamin (personal guarantee) yang saling mengikatkan dirinya lalu timbul
hak dan kewajiban bagi para pihak. Jika debitur cedera janji maka kreditur bisa meminta
pertanggung jawaban kepada penjamin dari si debitur. Dengan adanya personal guarantee,
yang menjadi salah satu usaha agar terciptanya suatu kepastian hukum bagi kreditor dalam
menjalankan kegiatan kredit dalam sebuah bank dengan debiturnya. Dan juga kita akan lihat
sejauh mana kefektifan Personal Guarantee ini dapat menyelesaikan kredit bermasalah pada
sebuah bank. Makalah ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu metode
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan Pustaka dan data-data yang
bersumber dari beberapa artikel terkait penerapan teori mengenai Personal guarantee pada
prakteknya.

6
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pranata Hukum di Indonesia

hukum jaminan merupakan suatu mekanisme yang secara tegas dapat menjamin
berjalannya suatu itikad baik. Secara peristilahannya, hukum jaminan terdiri dari dua kata,
yaitu hukum yang menurut Soedikno Mertokusumo merupakan kumpulan peraturan atau
kaidah-kaidah dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi,
sedangkan jaminan adalah rumusan atau definisi yang secara tegas digunakan agar debitur
menggunakan itikad baiknya secara penuh8. Jaminan itu sendiri, digunakan agar memberikan
rasa aman dan nyaman kepada kreditur sehingga mempunyai keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi segala bentuk kewajibannya. Jaminan tersebut, secara umumnya dapat dinilai
dengan uang yang timbul dari suatu perikatan 9. Lebih lanjut, secara tataran filosofisnya,
hukum jaminan ini digunakan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi lembaga-
lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga berjalannya hukum di
negara tersebut dapat tertib dan mencapai apa yang dicita-citakannya 10. Perjanjian jaminan
yang ada di Indonesia, kemudian dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat tambahan
(accesoir), yaitu perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, sehingga kedudukannya
adalah untuk memperkuat perjanjian pokoknya. Dengan sebab yang demikian, perjanjian
jaminan mempunyai akibat-akibat hukum, seperti:11

1. Adanya perjanjian pokoknya;


2. Berakhirnya perjanjian jaminan tergantung pada perjanjian pokoknya;
3. Jika perjanjian pokoknya batal, maka perjanjian jaminan akan ikut batal;
4. Jika perjanjian pokoknya beralih, maka perjanjian jaminannya akan ikut beralih; dan
5. Jika peruntangan pokoknya beralih karena cessi atau subrogasi, maka perjanjian jaminan
juga secara otomatis beralih tanpa adanya penyerahan khusus

Apabila dilihat dari sejarahnya, hukum jaminan di Indonesia diserap dari tata bahasa
Belanda, yaitu “zekerhaid” atau “coutie” yang mempunyai arti tentang cara-cara kreditur
menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping tanggung jawab umum si debitur terhadap

8
Soedikno Mertokusumo, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta Pers, 2007,
hlm. 10.
9
Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty, 1984,
hlm. 20.
10
Sri Soefewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, Op.Cit., hlm. 25.
11
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2007, hlm.
28.

7
barang-baranya. Pengaturan mengenai hukum jaminan di Indonesia kemudian dirumuskan ke
dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata yang membagi hukum jaminan
ini ke dalam dua bentuk jaminan, yaitu:

1. Jaminan Umum

Jaminan umum adalah jaminan-jaminan yang diberikan bagi kepentingan kreditur


yang menyangkut semua harta kekayaan si debitur.12 Dari definisi ini, benda-benda
jaminan tidak hanya diperuntukkan untuk kreditur tertentu saja, tetapi untuk semua
kreditur yang memiliki perjanjian terhadap debitur yang bersangkutan. Hasil dari
penjualan harta kekayaan benda yang menjadi jaminan tersebut kemudian dibagi secara
proposional untuk seluruh kreditur sesuai dengan jumlah hutang yang dimiliki oleh
debitur.

Secara umumnya, jaminan ini tidak akan menjadi masalah apabila penjualan benda
jaminan mencukupi seluruh hutang si debitur kepada para krediturnya, tetapi juka hasil
penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi keseluruhan hutang si debitur, maka hasil
penjualan benda jaminan akan dibagi berdasarkan presentase piutang yang dimiliki oleh
kreditur kepada debitur. Jadi jaminan umum masih belum memberikan keamanan bagi
kreditur untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya secara penuh. Untuk memberikan
keamanan terhadap pelunasan hutang kepada debitur dibutuhkan suatu bentuk jaminan
yang memberikan hak kepada kreditur untuk menjadi kreditur preferen, yaitu kreditur
yang harus didahulukan dalam pembayaran diantara kreditur-kreditur lainnya jika debitur
melakukan perbuatan ingkar janji, oleh sebab itu terciptalah bentuk jaminan lain, yaitu
jaminan khusus.

2. Jaminan Khusus

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, jaminan umum memiliki kelemahan untuk
dapat menjamin pemenuhan hak krediturnya sehingga Pasal 132 KUHPerdata
memberikan kesepakatan kepada para pihak di dalam perjanjian untuk membuat suatu
perjanjian khusus yang menyatakan bahwa para kreditur mempunyai hak untuk
didahulukan berdasarkan perjanjian jaminan yang telah disepakati. Namun demikian,
jaminan khusus pada dasarnya tidak memberikan jaminan yang pasti bahwa tagihan pasti

12
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberikan Jaminan, Jilid 2, Jakarta:
Hill-co, 2005, hlm. 8

8
akan dilunasi, tetapi hanya relatif lebih terjamin karena adanya hak untuk
didahulukan tersebut, sehingga memiliki derajat kreditur yang lebih tinggi daripada
kreditur yang berada di dalam jaminan umum.13

Hak untuk didahulukan di dalam jaminan khusus, kemudian mengenal pembagian ke


dalam dua macam jaminan, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan
kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur atas suatu kebendaan milik
debitur hak untuk memanfaatkan benda tersebut jika debitur melakukan wanprestasi.
Dalam jaminan kebendaan ini, benda milik debitur yang dapat dijaminkan dapat berupa
benda bergerak maupun benda tak bergerak. Untuk benda bergerak, dapat dijaminkan
dengan gadai dan fidusia. Sedangkan untuk benda yang tidak bergerak, dapat dijaminkan
dengan hak tanggungan.

Kemudian macam jaminan lainnnya adalah jaminan perorangan yang merupakan


perjanjian antara seorang yang berpiutang atau kreditur dengan pihak ketiga yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur. 14 Dasar hukum
dari jaminan perorangan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata yang
berbunyi:

“Suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang manakala orang ini sendiri
tidak memenuhinya”.

B. JAMINAN PERORANGAN (Personal guarantee)

Berdasarkan penafsiran gramatikal dari Pasal 1820 KUHPerdata, maka dapat


disimpulkan bahwa terdapat tiga pihak yang saling berkaitan dalam perjanjian penanggungan
perorangan, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan
sebagai pemberi kredit atau orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang
yang mendapat pinjaman uang atau kredit atau kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan
menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak memenuhi
prestasinya.15 Berdasarkan peristilahannya, jaminan perorangan berasal dari kata “Bortgtoch”

13
J. Satrio, Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002, hlm. 10.
14
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 1989, hlm. 15.
15
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 217.

9
atau jaminan immateril karena yang dijaminkan adalah personal atau kepribadian dari pihak
ketiga tersebut.

Maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang
dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si
penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan.16 Namun demikian, menurut J. Satrio, jaminan perorangan
adalah hak yang memberikan kepada kreditur suatu kedudukan yang lebih baik, karena
adanya lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih, sehingga dalam hal ini kreditur
mempunyai hak jaminan khusus atau lebih baik daripada kreditur yang memegang hak
jaminan umum.17 Kemudian kedudukan dari penanggung perorangnan ini adalah sebagai
cadangan yang baru dapat membayar sisa hutang si debitur apabila tidak memiliki
kemampuan lagi atau debitur sama sekali tidak memiliki harta benda yang dapat disita, oleh
sebab itu ia berhak untuk menuntut supaya dilakukan lelang sita lebih dahuluterhadap
kekayaan debitur18.

C. KEPASTIAN HUKUM

Kepastian hukum memiliki kosa kata dan definisinya masing-masing di dalam setiap
perkembangan ilmu hukum itu sendiri. Kepastian hukum ini berawal dari pertanyaan tentang
apa yang seharusnya ada di dalam sistem norma tersebut (das sollen). Secara umumnya,
menggunakan perpektif legisme, kepastian hukum itu kemudian dapat dijawab dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Peraturan-peraturan
tersebut berisi aturan-aturan yang bersifat umum dan menjadi pedoman bagi individu dalam
bertindak di dalam masyarakat, aturan-aturan tersebut-lah yang menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu lainnya. Adanya
aturan itu dan pelaksanaannya akan menimbulkan suatu kondisi yang disebut sebagai
kepastian hukum.19

Oleh sebab itulah, kepastian hukum adalah segala perbuatan yang dapat atau tidak dapat
dilakukan oleh seorang individu kepada individu lainnya, yang mana dituangkan kepada
suatu peraturan atau aturan-aturan yang telah dibuat oleh negara. Dengan demikian, apabila

16
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, hlm. 164.
17
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 13.
18
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2009, hlm. 239.
19
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 18.

10
terdapat suatu pelanggaran terhadap peraturan tersebut, maka negara dapat melakukan
beberapa tindakan tertentu kepada individu yang melakukan pelanggaran hukum tadi.
Kepastian hukum juga menjadi instrumen penting bagi berjalannya suatu negara, karena
tanpa adanya kepastianhukum, maka tujuan dari hukum yang diinginkan oleh negara yang
bersangkutan akan mengalami banyak kendala.

BAB III

DATA

11
Jaminan Perorangan merupakan salah satu tambahan atau accesoir yang berlaku di
Indonesia baik di bank konvensional maupun di bank syariah. Definisi dari jaminan ini yaitu
jaminan perorangan adalah jaminan yang hanya mempunyai hubungan langsung dengan
pihak pemberi jaminan, bukan terhadap benda tertentu. Jaminan perorangan ini hanya dapat
dipertahankan terhadap orang-orang tertentu. Jaminan perorangan (dalam arti yang luas)
dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) golongan yaitu:

1. Jaminan Pribadi (Personal Guarantee)


2. Jaminan Perusahaan (Corporate Guarantee)
3. Garansi Bank (Bank Guarantee)

Perjanjian hak jaminan perorangan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan


(accesoir) dari suatu perjanjian pinjam-meminjam yang merupakan perjanjian pokok.
Jaminan perorangan itu sendiri. Pembebanan hak jaminan perorangan harus dibuat melalui
akta jaminan perorangan. Biasanya pihak bank membuat akta tersebut melalui notaris atau
yang disebut sebagai akta autentik. Ketentuan ini dikmaksudkan untuk lebih
melindungi/menjamin dan memberikan kekuatan hukum bagi para pihak dan dapat digunakan
sebagai alat bukti yang sempurna dalam penyelesaian setiap masalah yang muncul
dikemudian hari. Membahas akses pembiayaan, tentu tidak terlepas dari keberadaan
perbankan. Bank merupakan salah satu Lembaga keuangan yang paling penting dan besar
peranannya dalam kehidupan masyarakat. sebagaimana arti luas dari pihak mempunyai
kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of fund) hal
tersebut sejalan dengan definisi bank dalam pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 jo Undangn-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebut Undang-
undang Perbankan, disebutkan bahwa “bank adalah badan usaha yang menghimpun dan dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Definisi ini menggambarkan bahwa bank diarahkan untuk dapat berperan dalam menunjang
kelancaran siklus perekonomian di Indonesia pada saat ini, sebagaimana disebutkan dalam
pasal 4 dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan yaitu:

“Perbankan Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional


dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah

12
peningkatan kesejahteraan rakyat”. Bank dalam kaitannya sebagai penunjang perekonomian
Negara, yakni pemberian kredit sebagai salah satu jasa perbankan yang dapat dilakukan oleh
Bank Konvensional dan Bank Syariah. Pasal angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 memberikan definisi kredit sebagai penyediaan uang atas tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Keberadaan kredit sebagai salah satu
jasa perbankan, tentu akan memberikan manfaat tersendiri bagi para pelaku usaha. Dengan
kredit para pelaku usaha, memilik peluang untuk mengembangkan usahanya, meskipun
secara pribadi dana yang dimilikinya sangatlah terbatas. Namun akses pembiayaan dari bank
selama ini tidak dapat menjadi solusi bagi para pelaku usaha di segala sektor. Rendahnya
penyaluran kredit menggunakan jaminan perorangan disebabkan karena risiko adanya
wanprestasi dari debitur maupun gurantor yang masih tinggi, sedang setiap pemberian kredit
ke setiap pelaku usaha dan masyarakat harus dilaksanakan dengan hati-hati karena dana-dana
yang disalurkan merupakan dana yang berasal dari nasabah yang menyimpan uangnya di
bank konvensional maupun Bank Syariah. Sehingga bank disini harus memastikan bahwa
dana yang disalurkan tersebut harus kembali sebagaimana mestinya. Adanya jaminan kredit
memiliki kegunaan salah satunya sebagai upaya terakhir apabila kreditur cedera janji, itu
berarti harus ada kepastian mengenai kedudukan bank selaku kreditur penerima hak jaminan
perorangan. Sekarang ini, keberadaan jaminan perorangan menjadikan jaminan perorangan
hanya sebagai jaminan tambahan setelah adanya jaminan kebendaan (fixed asset). Hal
dikarenakan jaminan perorangan ini belum menjadikan bank berada dalam posisi yang aman
karena rentan terhadap debitur ataupun guarantor yang wanprestasi apabila si guarantor
melepaskan hak jaminannya. Sehingga bank disini belum dapat memastikan mengenai risiko
yang akan ditanggung pada saat bank memberikan pembiayaan dengan jaminan perorangan.

Didalam praktek pemberian kredit sekarang ini Jaminan Perorangan atau Borgtocht
dipergunakan sebagai Lembaga jaminan, dengan alasan sebagai berikut:

1. Si penanggung mempunyai kepentingan ekonomi di dalam usaha dengan si


peminjam (ada hubungan kepentingan antara si peminjam dengan di penanggung),
misalnya :
a. Si penanggung sebagai direktur suatu perusahaan selaku pemegang saham
terbanyak dari perusahaan tersebut, secara pribadi ikut menjamin hutang-
hutang perusahaan;

13
b. Perusahaan induk ikut menjamin hutang-hutang perusahaan cabang/anak
cabang.

Lembaga jaminan perorangan dalam praktek banyak digunakan karena alasan bahwa
penanggung/penjamin mempunyai persamaan kepentingan ekonomi di dalam usaha debitur
(ada hubungan antara penjamin dan debitur) misalnya dalam keadaan di penjamin sebagai
direktur perusahaan selaku pemegang saham terbanyak dari perusahaan tersebut secara
pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dikutip dari Jurnal yang ditulis oleh Nur Intan
Yunianti Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret mengenai Jaminan
Perorangan Dalam Menunjang Penyelesaian Kredit Bermasalah di Bank BRI Cabang
Surakarta dan Bank BNI Syariah Cabang Surakarta, bahwa jaminan perorangan atau
penanggungan (borgtocht) sebenarnya masih diperlukan akan tetapi bersifat tambahan dan
dalam kondisi tertentu, oleh karena manfaat perjanjian jaminan penjamin penanggungan dala
perjanjian kredit adalah apabila pihak bank selaku kreditur ragu dengan karakter debitur
tetapi jaminan yang diberikan mencukupi dan/atau sebaliknya karakter debitur baik akan
tetapi jaminan kurang mencukupi dari nilai jaminan yang diinginkan oleh pihak bank, baik
dari bank BNI Syariah Cabang Surakarta maupun pihak Bank BRI Cabang Surakarta.
Prinsipnya jaminan perorangan akan efektif apabila debitur pada tahapan kredit macet dalam
memenuhi kewajibannya kepada kreditur yang dalam praktek perbankan dikategorikan dalam
klasifikasi “Collectibillity” yaitu apabila debitur tidak membayar kewajibannya kepada
kreditur selama 1 sampai 4 bulan. Dalam kondisi yang demikian, kreditur bersama dengan
penjamin melakukan upaya untuk menekan dan melakukan tindakan tertentu yang bertujuan
untuk mengembalikan posisi penjamin atau kreditur menjadi lancar. Namun demikian apabila
kondisi kredit sudah macet atau debitur wanprestasi, maka kreditur akan mengalami kesulitan
untuk mengeksekusi jaminan perorangan tersebut karena hambatan teknis yuridis perbankan,
seperti tidak terikatnya jaminan atau harta penjamin. Menurut Pasal 1820 KUH Perdata
menyatakan bahwa :

“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna
kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur manakala
orang itu sendiri tidak memenuhinya.”

Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan kenyataanya, karena dalam kenyataannya


ketika debitur membutuhkan dana maka debitur tersebut akan mencari kreditur yang bersedia

14
memberikan pinjaman asalkan ada jaminannya. Walaupun pada asasnya setiap perjanjian
obligatoir bisa dijamin dengan penanggungan akan tetapi dalam praktek bagian terbesar yang
dijamin adalah kewajiban debitur untuk membayar sejumlah uang tertentu. Debitur dalam
kepentingannya agar mendapatkan pinjaman dari kreditur, maka debitur membutuhkan
seorang penjamin sehingga kreditur bersedia memberikan pinjaman asalkan ada yang
memberikan penanggungan. Adanya penanggung (gurantor) tersebut maka kedudukan
kreditur menjadi lebih baik atau kuat. Dengan demikian pada dasarnya penanggungan
diadakan bukan untuk kepentingan debitur tetapi untuk kreditur. Setiap perjanjian kredit
maka posisi bank selaku kreditur selalu lebih tinggi atau kuat apabila dibandingkan dengan
posisi debitur, hal ini dalam kenyataan debiturlah yang membutuhkan dana atau modal
sedangkan kreditur yang menyediakannya. Secara psikologis apabil debitur membutuhkan
dana atau modal maka akan tunduk pada syarat yang telah ditentukan kreditur agar bisa
mendapatkan uang atau modal.

Sesuai dengan sifat daripada pemberi jaminan, pada dasarnya peranan penanggung
dalam perjanjian penanggungan baru akan tampak apabila debitur wanprestasi. Dalam
kondisi yang demikian maka kreditur pada asasnya berhak untuk menuntut antara lain ganti
rugi yang dinyatakan dalam sejumlah uang. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa perjanjian
penanggungan merupakan tindakan menjamin bahwa debitur akan memenuhi kewajiban
kepada kreditur dan kalau tidak maka penjamin akan memenuhi kewajiban tersebut yang
sebenarnya menjadi kewajiban debitur kepada kreditur. Dengan demikian dengan posisi
tersebut kepentingan kreditur menjadi lebih terlindungi. Sehingga modal yang dipinjamkan
kepada debitur dapat kembali.

BAB IV

15
ANALISA YURIDIS

A. Pengaturan Jaminan Perseorangan berupa Personal Guarantee.

Apa yang dimaksud dengan tinjauan yuridis adalah kegiatan untuk mencari dan
memecah komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih dalam serta
kemudian menghubungkannya dengan hukum, kaidah hukum serta norma hukum yang
berlaku sebagai pemecahan permasalahannya.20 Tujuan dari tinjauan yuridis yaitu untuk
membentuk pola pikir dalam penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan personal
guarantee, seperti tertera pada identifikasi masalah. Secara garis besar hukum jaminan di
Indonesia dapat dilihat melalui bagan di bawah ini:

JAMINAN

JAMINAN KHUSUS JAMINAN UMUM


(sebagai akibat dari perjanjian) (1131 DAN 1132 Kuhpdt)

JAMINAN JAMINAN
PERSEORANGAN KEBENDAAN

BORGTOCHT
a. PERSONAL GUARANTEE BERGERAK BENDA TETAP
b. COORPORATE GUARANTEE - Gadai (1108-1160 Kuhpdt) - Tanah (UU 4 tahun 1996
Hak Tanggungan)
c. BANK GUARANTEE - Fiducia (UU 42 Tahun 1999) - Bukan Tanah Hipotek(1162 KUHPdt)

Landasan hukumnya ada dalam Pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi

20
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, cetakan pertama, Bandung : Mandar Maju, 2008,
Hlm. 83-88.

16
perikatannya. Adapun yang menjadi dasar perbedaaan antara jaminan kebendaan dan
jaminan perorangan adalah sebagai berikut: 21

Jaminan Kebendaan Jaminan Perorangan

- Jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang Jaminan dalam bentuk jaminan perorangan
berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang (borgtocht) memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 22
mempuyai ciri-ciri: - Jaminan Borgtocht mempunyai sifat accessoir
a. mempunyai hubungan langsung atas benda (1821KUHPdt)
tertentu dari debitor. - Borgtocht tergolong jaminan perorangan
b. dapat dipertahankan terhadap siapapun, - Borgtocht tidak memberikan hak preverent

c. Droit de suit yang artinya hak itu akan (diutamakan) .

mengikuti bendanya dimanapun benda itu - Besarnya penjamin tidak melebihi atau syarat-

berada, syarat yang lebih berat dari perikatan pokok


- Penjamin memilik hak-hak istimewa dan
d. droit de preference adanya preferensi, Pihak
tangkisan-tangkisan
yang memiliki hak kebendaan ini dalam hal
- Kewajiban penjamin bersifat subsidier
pelunasannnya harus lebih didahulukan
- Perjanijan borgtocht bersifat tegas, tidak
pembayarannya.
dipersangkalan
- Penjamin beralih kepada ahli waris
- pengaturannya dalam pasal 1820-1863 KUHPdt.
- Wajib mendapatkan persetujuan pasangan bagi
pihak yang tidak memiliki perjanjian pemisahan
harta dengan pasangan (suami/istri)

Akibat hukum terhadap penjamin dalam pemberian kredit dengan jaminan personal
guarantee ialah timbulnya tanggung jawab penjamin dalam pemberian kredit apabila debitur
tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang, maka kewajiban pihak
penjamin untuk melunasinya (Pasal 1820 KUH Perdata). Sama halnya dengan debitur,
penjamin juga dapat mempunyai konsekuensi untuk dipailitkan apabila tidak melaksanakan
kewajibannya dalam membayar utang debitur kepada kreditur.

Subyek hukum Personal Guarantee dalam perjanjian penanggungan utang yaitu pihak
kreditor, debitor utama yaitu debitor yang berkedudukan sebagai peminjam dan pihak ketiga
21
Murlyta Nevi Sukmawarti, “Personal Guarante Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak
Tanggungan” , Airlangga Development journal, vol 1, Surabaya : Magister FH Airlangga, 2019, hlm 15.
22
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung : PT. ALFABETA, 2005, hlm 236.

17
(penanggung utang). Seorang personal guarantee kedudukannya akan menjadi sama dengan
debitor apabila dia melepaskan hak hak istimewanya.

Selain kewajiban pemegang personal guarantee juga tentu memiliki hak, berikut adalah
hak-hak istimewa yang dimiliki oleh pemegang personal guarantee23:

1. Hak menuntut supaya benda-benda debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi pinjaman debitur. (vooorrecht van uitwinning). Kecuali Penanggung/Penjamin
telah melepaskan hak istimewanya itu, hak istimewa dari Penanggung/Penjamin hilang
apabila ia telah melepaskannya dan hal itu dengan tegas dinyatakn dalam surat
jaminannya.

“Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar
utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih
dahulu untuk melunasi utangnya” (pasal 1831 KUHPerd).

2. Dalam hal terdapat beberapa orang/pihak sebagai penanggung/penjamin untuk seorang


debitur dan hutang yang sama, makan penjamin memiliki Hak untuk membagi-bagi
utang (voorrecht van schuldsplitsing). Masing-masing penanggung/penjamin pada
pertama kalinya ia digugat di muka hakim, dapat menuntut supaya kreditur lebuh dahulu
membagi piutangnya dan mengurangi hingga bagian masing-masing penggung/penjamin
yang terikat secara sah. Hak untuk membagi hutang ini hilang apabila
penanggung/penjamin telah melepaskannya.

“Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang
debitur yang sama dan untuk utang yang sama, maka masing-masing penanggung
terikat untuk seluruh utang itu” (pasal 1836 KUHPerd).

3. Hak untuk mengajukan eksepsi Penanggung/penjamin dapat menggunakan segala


tangkisan/eksepsi yang dapat dipakai oleh debitur utama terhadap kreditur dan mengenai
hutangnya yang ditanggung itu sendiri.

“Terhadap kreditur itu, penanggung utang dapat menggunakan segala tangkisan yang
dapat dipakai oleh debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri.
Akan tetapi, ia tidak boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai pribadi
debitur itu” (Pasal 1847KUHPerd).
23
Nurman Hidayat, “Tanggung Jawab Penanggung Dalam Perjanjian Kredit”, Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion, Edisi 4, Vol. 2, Juli 2014, hlm. 5

18
4. Hak untuk dibebaskan sebagai penanggung/penjamin dikarenakan salahnya
kreditur.
Perikatan yang timbul karena penanggungan. hapus karena sebab-sebab yang sama
dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya” (Pasal 1845
KUHPerd).

5. Atas permintaan penjamin, kreditur tidak diwajibkan menjual ataupun menyita


harta debitur (pasal 1833 KUHPerdata).
Hak utama seorang penanggung timbul karena perjanjian penanggungan bersifat
cadangan, artinya kewajiban penanggung timbul pada saat debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya kepada kreditur, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 1831 KUHPerdata.

B. Akibat Hukum Hapusnya Hak Istimewa

Berdasarkan pasal 1832 hak – hak istimewa yang dimiliki oleh pemegang jaminan
perseorangan tidak dapat dilakukan apabila:24

a. Ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda debitor utama
disita dan dijual .
b. Ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitor utama secara tanggung-
menanggung, yang terhadapnya akan berlaku ketentuan mengenai perikatan tanggung-
menanggung
c. Debitor dapat memajukan tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi
d. Debitor dalam keadaan pailit
e. Dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh hakim. Penjualan benda milik debitor
tidak akan dilakukan kecuali bila diminta oleh penanggung.

Seorang penjamin/guarantor melepaskan hak istimewa yang dimiliki olehnya


berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata, juga membawa akibat hukum yaitu dapat dimintakan
kepailitannya, tanpa harus dimintakan terlebih dahulu kepailitan dari debitornya. Sebab,
dengan melepaskan hak-hak istimewanya yang dimiliki oleh penjamin/guarantor itu
sebenarnya sama saja kedudukannya dengan seorang debitor, sekalipun secara formal ia tetap
dinamakan sebagai penjamin/guarantor.
24
Atik Indriyani, “Aspek Hukum Personal Guaranty”, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 1, Jakarta : Universitas
trisakti, 2006, hlm. 31

19
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Lembaga Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) hanya dapat digunakan oleh


Bank (kreditur) untuk memperkuat penilaian bank terhadap debitur saja, karena seperti yang

20
sudah di jelaskan pada materi di atas bahwa Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) hanya
bersifat moral obligation saja maksudnya perjanjian perorangan hanya sebagai perjanjian
jaminan tambahan setelah adanya pejanjian pokok antara Kreditur dan Debitur. Untuk lebih
jelas bisa kita lihat ke efektifan jaminan perorangan (personal guarantee) sebagai jaminan
khusus pada contoh kasus yang telah di uraikan di atas yaitu pada perjanjian bank BRI
cabang Surakarta dan bank BNI syariah cabang Surakarta, secara umum jaminan perorangan
(personal guarantee) sebenarnya kurang efektif, karena kurang dapat menjamin penyelesaian
kredit di kedua Bank tersebut mengingat pelaksanaan eksekusi yang terlalu rumit. Serta,bank
tersebut belum pernah melakukan gugatan eksekusi jaminan perorangan ke Pengadilan
Negeri. Penyelesaian kredit bermasalah yang pada akhirnya masih menggunakan jaminan
kebendaan (fuxed asset) ataupun Hak Tanggungan karena jaminan ini bisa langsung di
eksekusi oleh pihak bank itu sendiri. Adanya jaminan perorangan memiliki kegunaan salah
satunya sebagai upaya terakhir apabila debitur cedera janji, Sekarang ini, keberadaan jaminan
perorangan menjadikan jaminan perorangan hanya sebagai jaminan tambahan setelah adanya
jaminan kebendaan (fixed asset).

DAFTAR PUSTAKA

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, cetakan pertama, Bandung : Mandar
Maju, 2008

Dr.H. Budi Untung, SH., CH.,MM., Kredit Perbankan di Indonesia, Edisi II (Yogyakarta :
Penerbit Andi, 2011)

21
DR.Sentosa Sembiring,SH.,MH.,Hukum Perbankan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju,2008)
Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta:
Liberty, 1984

J. Satrio, Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2002

M. Bahsan, SH.,SE., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta:
Penerbit PT Raja Grafindo Persada,2012).

Murlyta Nevi Sukmawarti, “Personal Guarante Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan
Hak Tanggungan” Airlangga Development journal, vol 1, Surabaya : Magister FH Airlangga

Niken Prasetyawati, dan Tony Hanoraga, Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan
sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang, JSH Jurnal Sosial Humaniora, Vol
8, No. 1, Juni 2015

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008

R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung:


Citra Aditya Bhakti, 1989

Soedikno Mertokusumo, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit di Indonesia, Jakarta: Bina
Cipta Pers, 2007

Sri Soefewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum


Jaminan dan Jaminan Perorangan

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung : PT. ALFABETA,


2005

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2009

22

Anda mungkin juga menyukai