DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD BASIR
REZA RAHMA DANIA
Moh. REZA HISBIL
SOFYAN ASSAURY
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas pertolongan, rahmat dan nikmat Allah swt, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hutang piutang menurut Al-Qur’an”.
Makalah ini membahas tentang sumber daya alam yang berlimpah dan bagaimana
mengoptimalkannya berdasarkan tuntunan Rasul. Dewasa ini sumberdaya alam yang
ada di bumi ini baik yang dapat di perbarui maupun yang tidak dapat diperbarui telah
dimanfaatkan oleh manusia, tapi belum sepenuhnya manusia menyadari untuk
memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam tersebut. Yang terjadi adalah
pengexploitasian sumberdaya alam yang tidak bertanggung jawab terhadap
lingkungan, karena tidak di dasari oleh keimanan dan ketaatan atas tuntunan
Rasulullah SAW.
Penyusunn
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hutang............................................................................................. 3
B. Dasar Hukum Al-Qardh................................................................................ 3
C. Rukun dan Syarat Al-Qardh......................................................................... 5
D. Pembayaran Pinjaman................................................................................... 6
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya.................................................. 8
F. Tanggung Jawab Peminjam........................................................................... 8
G. Pengertian Hiwalah (pemindahan hutang) ................................................... 9
H. Rukun dan Syarat Hiwalah.......................................................................... 10
I. Beban Muhil Setelah Hiwalah..................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
ii
A. Latar Belakang
Didalam agama Islam untuk mengatur segala ibadah, baik ibadah Maqdoh
atauGhoiru Maqdoh, para ulama merujuk kepada suatu bidang ilmu yang kita sebut
dengan Ilmu Fiqh.Didalam Ilmu Fiqh banyak diatur tata cara dan segala aturan
tentang Muamalah, termasuk hutang piutang, yang hukum-hukum tersebut merujuk
juga kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang
dibutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari
yang namanya hutang Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan,
ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang
dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-
orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
B. Rumusan Masalah
2. Apakah Hukumnya?
C. Tujuan
3. Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hutang
i
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-
Qath’uyang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang
disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan
hutang. (LihatFiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
) K:وتعا ونوا على البر والتقوى والتعاونوا على االثم والعدوان( المئده
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-
Baqarah: 245)
ii
َ َأَ ِّد األَ َمنَةَ إلى َم ِن ا ْئتَ َمن
)ك واَل تَ ُخ ْن َم ْن خَ انَكَ ( رواه ابوداود
ٌ ض َم
)ان (أخرجه دارقطني ِ ان والالى ُم ْستَو ِد
َ ع ِغي ِْر الى ُم ِغ ِّل ُ ِّليس َعلَى الى ُم ْستَ ِع ِر َغي ِْر الى ُم ِغل
ٌ ض َم
)اس ي ُِر ْي ُد أَدَا َء هَااَ َّدى هللاُ عنه َو َم ْن أَ َخ َذ ي ُِر ْي ُد إِ ْتاَل فَهَا أَ ْتلَفَهُ هللاُ(رواه البخاري
ِ ََّم ْن أَ َخ َذ أَ ْم َوا َل اللن
Artinya: “Siapa yang meminjam harta manusia dengan berkehendak ingin
mengembalikan maka Allah akan membayarnya dan barang siapa yang meminjam
hendak melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”.
Namun bagi orang yang berhutang, haruslah segera melunasinya jika ia telah
mampu membayarnya. Karena jika menunda-nunda pembayaran hutang padahal ia
telah mampu membayarnya maka sama saja ia telah berbuat zalim. Sebagaimana
hadis Nabi;
i
C. Rukun dan Syarat Al-Qardh
1. Kalimat atau Lafazh “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima
berkata “Saya mengaku berutang benda tersebut kepada kamu”, syarat bendanya ialah
sama dengan syarat benda dalam jual-beli.[2]
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan dan Musta’ir yaitu orang yang menerima
utang, syarat dari Mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,sedangkan
syarat-syarat dari Mu’ir an Musta’ir adalah;
b) Berakal,maka batal Ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau gila.
c) Orang tersebut tidak diMahjur (dibawah curatelle),maka tidak sah Ariyah yang
dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti
pemboros.
a) Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan,maka tidak sah ‘ariyah yang materinya
tidak dapat digunakan,seperti meminjam karung yang telah hancur sehingga tidak
dapat digunakan untuk menyimpan padi.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam
memiliki hutang kepada yang meminjami. Setiap hutang wajib dibayarkan, sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayarkan utang bahkan melalaikan
pembayaran utang juga termasuk aniaya dan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW.
ii
Dari Abu Hurairah. RA bahwa Nabi SAW bersabda: "Ruh orang mati itu tergantung
dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya."Riwayat Ahmad dan
Tirmidzi.Hadits hasan menurut Tirmidzi.
Dalam hadis lain dinyatakan bahwa; Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan
kehormatannya dan siksanya."Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i.Hadits mu'allaq
menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.[3]
Dari hadits di atas telah dijlaskan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai
penangguhan pembayaran hutang orang kaya atau mampu untuk melunasi hutangnya,
orang seperti itu menurut Rasulullah termasuk orang yang zhalim bahkan lebih
tegasnya Rasulullah mengatakan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Nasa’i orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan
kehormatannya dan siksaannya.
Artinya: “Maka sesungguhnya orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang
sebaik-baiknya dalam membayar utang”
Artinya: “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik.
Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah
menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah bersabda;[4]
i
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
ii
ن الى ِذ َّم ِة الى ُم ْلتَ َز ْمKِ نَ ْق ُل الى ُمطَالَبَ ٍة ِم ْن ِذ َّم ٍة الى َم ْديُو
ِ ََع ْق ُد يَ ْقت
َ َضى اِ ْنتِق
ال َد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ٍة الى ِذ َّم ٍة
ِ َع ْق ٌد يَ ْق
ضي تَحْ ِو ْي َل َد ْي ِن ِذ َّم ِة الى ِذ َّم ٍة
Menurut Hanafiah, rukun Hiwalah hanya satuyaitu Ijab dan kabul yang
dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Dan syarat-
syaratnya ialah:
1) Orang yang memindahkan utang (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal
hiwalah yang dilakukan Muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
2) Orang yang menerima hiwalah (rah Addayn) adalah orang yang berakal,maka
batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
3) Orang dihiwalahkan (mahal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan juga dia
meridhoinya.
1) Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.
i
2) Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan yakni orang yang mempunyai utang kepada
muhil. Muhalalaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
Sementara itu syarat-syarat hiwalah menurut Sayid Sabiq adalah sebagai berikut:
1) Relanya pihak Mihil dan Muhal tanpa Muhal alaih, bagi Muhal alaih rela maupun
tidak rela, tidak mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa
Muhal tidak diisyaratkan rela,yang harus rela adalah Muhil sebagaimana sabda Nabi ;
Artinya: “Dan jika seseorang diantara kamu di hiwalahkan kepada orang yang kaya,
maka terimalah”
3) Setabilnya Muhal alaih, maka penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu
membayar utang adalah bata hak tersebut diketahui secara jelas.
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih
orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu apapun untuk membayar maka muhal
boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan
utang kepada orang lain kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau
meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban maka muhal tidak boleh kembali
kepada muhil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Utang piutang adalah aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada
harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan
ii
dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang
sama. Hukum utang piutang adalah mubah (boleh). Adapun rukun Utang Piutang:
Lafaz (kalimat mengutangi), yang berpiutang dan yang berhutang, barang yang
dihutangkan
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam utang piutang tentang nilai sopan
santun yang terkait didalamnya, sebagai berikut;
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai
dalam hati akan membayarnya/mengembalikan
4. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari
orang yang berhutang.
DAFTAR PUSTAKA
i
Hidayah, 2008.
[1]
H. Sulaiman Rasji, Fiqh Islam, ( Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005), cet 38, hal. 307
[2]
H. Sulaiman Rasji, Fiqh Islam, ( Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005), cet 38, hal. 307
[3]
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Bulqhul Maram Min adillatil Ahkam, Hadist no 563
[4]
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Bulqhul Maram Min adillatil Ahkam, Hadist no 563
[5]
H. Sulaiman Rasji, Fiqh Islam, ( Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005), cet 38, hal. 308
[6]
Dr.H. Hendi Sundi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta; Raja Gravindo Prasada, 2005
ii