Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUTANG PIUTANG MENURUT AL-QUR’AN


DOSEN PENGAMPU :
AHMAD SUBADUL AFIQ,S.H.I.,M.H

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD BASIR
REZA RAHMA DANIA
Moh. REZA HISBIL
SOFYAN ASSAURY
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas pertolongan, rahmat dan nikmat Allah swt, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hutang piutang menurut Al-Qur’an”.
Makalah ini membahas tentang sumber daya alam yang berlimpah dan bagaimana
mengoptimalkannya berdasarkan tuntunan Rasul. Dewasa ini sumberdaya alam yang
ada di bumi ini baik yang dapat di perbarui maupun yang tidak dapat diperbarui telah
dimanfaatkan oleh manusia, tapi belum sepenuhnya manusia menyadari untuk
memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam tersebut. Yang terjadi adalah
pengexploitasian sumberdaya alam yang tidak bertanggung jawab terhadap
lingkungan, karena tidak di dasari oleh keimanan dan ketaatan atas tuntunan
Rasulullah SAW.

Kajian makalah ini diharapkan dapat sedikit menyumbangkan bagi umat


islam, untuk melihat lebih dalam tentang perekonomian yang sesungguhnya dapat di
penuhi dengan mengoptimalkan sumber daya alam. Beberapa hadis yng membahas
tentang sumberdaya alam semoga mampu menyadarkan kita betapa benyak kekayaan
alam yang dapat kita olah yang secara Cuma-Cuma di peruntukkan untuk manusia di
bumi ini.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca semua. Dan dalam


penyusunan makalah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu
dan semua pihak yang telah membantu dan menyumbangkkan fikiran untuk
penyelesaian makalah ini. Semoga bermanfaat.

Jember,25 Juli 2019

Penyusunn
DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Hutang............................................................................................. 3
B.     Dasar Hukum Al-Qardh................................................................................ 3
C.     Rukun dan Syarat Al-Qardh......................................................................... 5
D.    Pembayaran Pinjaman................................................................................... 6
E.     Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya.................................................. 8
F.      Tanggung Jawab Peminjam........................................................................... 8
G.    Pengertian Hiwalah (pemindahan hutang) ................................................... 9
H.    Rukun dan Syarat Hiwalah.......................................................................... 10
I.       Beban Muhil Setelah Hiwalah..................................................................... 11       

BAB III PENUTUP


Kesimpulan.............................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA
...................................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

ii
A.      Latar Belakang

Didalam agama Islam untuk mengatur segala ibadah, baik ibadah Maqdoh
atauGhoiru Maqdoh, para ulama merujuk kepada suatu bidang ilmu yang kita sebut
dengan Ilmu Fiqh.Didalam Ilmu Fiqh banyak diatur tata cara dan segala aturan
tentang Muamalah, termasuk hutang piutang, yang hukum-hukum tersebut merujuk
juga kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang
dibutuhkan. Dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari
yang namanya hutang Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan,
ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang
dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-
orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi


diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa
mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan
seseorang ke dalam neraka. 

B.       Rumusan Masalah

1.        Apakah pengertian Hutang Piutang itu?

2.        Apakah Hukumnya?

3.        Apakah Rukun dan Syaratnya?

4.        Apakah hutang boleh di bebankan kepada orang lain?

 C. Tujuan

1.        Untuk memenuhi tugas perkuliahan  dan bahan diskusi.

2.        Untuk mengetahui Pengertian dan hukum dari  hutang piutang.

3.        Untuk lebih memahami tentang permasalahan tersebut dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.

BAB II

PEMBAHASAN

A.        Definisi Hutang

i
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-
Qath’uyang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang
disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan
hutang. (LihatFiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi.


Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunnah bila dalam keadaan normal.

B.   Dasar Hukum Al-Qardh

Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah.Sedangkan


menurut Arruyani, sebagaimana dikutip Taqiy Addin bahwa ‘Ariyah hukumnya
wajib. Memberikan hutang hukumnya sunnah, bahkan bisa menjadi wajib. Misalnya,
menghutangi orang yang terlantar atau yang sangat membutuhkannya. Tidak
diragukan lagi bahwa hal ini adalah suatu yang amat besar faedahnya terhadap
masyarakat, karena tiap-tiap orang dalam bermasyarakat biasanya memerlukan
pertolongan orang lain. Adapun landasan hukumnya dari Al-Qur’an ialah;

) K:‫وتعا ونوا على البر والتقوى والتعاونوا على االثم والعدوان( المئده‬

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah


tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al Maidah:2)

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-
Baqarah: 245)

ِ ‫ان هللاَ يَأ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تُ َؤ ُّدو ْاالَ َمانَا‬


)   :‫ت إلى إَ ْهلِهَا ( النساء‬ َّ

Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanah


kepada yang berhak menerimanya”. (Annisa:58)

Sebagaimana halnya bidang–bidang lainselain dari Al-Qur’an,landasan hukum yang


kedua ialah Al-Hadist,dalam landasan ini Al-Qardh dinyatakan sebagai berikut; 

ii
َ َ‫أَ ِّد األَ َمنَةَ إلى َم ِن ا ْئتَ َمن‬
)‫ك واَل تَ ُخ ْن َم ْن خَ انَكَ ( رواه ابوداود‬

Artinya: “Sampaikanlah amanah orang yang memberikan amanah kepadamu


janganlah khiyanah meskipun dia khiyanah kepadamu”.

)‫اريَةُ ُم َؤ َذاةٌ ( رواه ابوداود‬


ِ ‫ال َع‬
Artinya: “Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”.

ٌ ‫ض َم‬
)‫ان (أخرجه دارقطني‬ ِ ‫ان والالى ُم ْستَو ِد‬
َ ‫ع ِغي ِْر الى ُم ِغ ِّل‬ ُ ِّ‫ليس َعلَى الى ُم ْستَ ِع ِر َغي ِْر الى ُم ِغل‬
ٌ ‫ض َم‬

Artinya: “Pinjaman yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban mengganti kerugian


dan orang yang menerima titipan yang tidak berkhiyanat tidak berkewajiban
mengganti kerugian”.

)‫اس ي ُِر ْي ُد أَدَا َء هَااَ َّدى هللاُ عنه َو َم ْن أَ َخ َذ ي ُِر ْي ُد إِ ْتاَل فَهَا أَ ْتلَفَهُ هللاُ(رواه البخاري‬
ِ َّ‫َم ْن أَ َخ َذ أَ ْم َوا َل اللن‬
Artinya: “Siapa yang meminjam harta manusia dengan berkehendak ingin
mengembalikan maka Allah akan membayarnya dan barang siapa yang meminjam
hendak melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”.

Mempiutangkan sesuatu kepada seseorang berarti telah menolongnya,


sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui
Ibnu Mas’ud: “Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-
olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali.”[1]

Diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi SAW pernah meminjam seekor


unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari
sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki
tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang
kudapatkan hanyalah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja
kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam
mengembalikan hutang.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, bab istiqradh Al-
Ibil (no. 2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa
Qadha Khairan Minhu(no.1600)

Namun bagi orang yang berhutang, haruslah segera melunasinya jika ia telah
mampu membayarnya. Karena jika menunda-nunda pembayaran hutang padahal ia
telah mampu membayarnya maka sama saja ia telah berbuat zalim. Sebagaimana
hadis Nabi;  

) ‫ُم ِطلُّ ال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم (رواه البخارى ومسلم‬

Artinya: “Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) membayar kewajibannya


(utang)  adalah zalim (berbuat aniaya)”.

i
   C.  Rukun dan Syarat Al-Qardh

Menurut Hanafiah, rukunal-Qardh adalah satuyaitu  Ijab dan Kabul, tidak


wajib diucapkan tetapi cukup menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.

Menurut Syafi’iyah, rukun dari al-Qardh adalah sebagi berikut;

1.      Kalimat atau Lafazh “Saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima
berkata “Saya mengaku berutang benda tersebut kepada kamu”, syarat bendanya ialah
sama dengan syarat benda dalam jual-beli.[2]

2.      Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan dan Musta’ir yaitu orang yang menerima
utang, syarat dari Mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,sedangkan
syarat-syarat dari Mu’ir an Musta’ir adalah;

a)        Baligh, maka batal Ariyah yang dilakukan anak kecil.

b)        Berakal,maka batal Ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau gila.

c)        Orang tersebut tidak diMahjur (dibawah curatelle),maka tidak sah Ariyah yang
dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti
pemboros.

3.      Benda yang di utangkan  diisyaratkan yaitu;

a)        Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan,maka tidak sah ‘ariyah yang materinya
tidak dapat digunakan,seperti meminjam karung yang telah hancur sehingga tidak
dapat digunakan untuk menyimpan padi.

b)        Pemanfaatan itu dibolehkan,maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya


dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam benda-benda najis. 

D.  Pembayaran Pinjaman

Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam
memiliki hutang kepada yang meminjami. Setiap hutang wajib dibayarkan, sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayarkan utang bahkan melalaikan
pembayaran utang  juga termasuk aniaya dan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW.

(‫ُم ِطلُّ ال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم (رواه البخارى ومسلم‬

Artinya: “Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”

ii
Dari Abu Hurairah. RA bahwa Nabi SAW bersabda: "Ruh orang mati itu tergantung
dengan hutangnya sampai hutang itu dilunasi untuknya."Riwayat Ahmad dan
Tirmidzi.Hadits hasan menurut Tirmidzi.

Dalam hadis lain dinyatakan bahwa; Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan
kehormatannya dan siksanya."Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i.Hadits mu'allaq
menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.[3]

Dari hadits di atas telah dijlaskan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai
penangguhan pembayaran hutang orang kaya atau mampu untuk melunasi hutangnya,
orang seperti itu menurut Rasulullah termasuk orang yang zhalim bahkan lebih
tegasnya Rasulullah mengatakan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Nasa’i orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan
kehormatannya dan siksaannya.

Adapun jika melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan,


asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata dan tidak atas
dasar perjanjian sebelumnya. Hal ini merupakan nilai kebaikan bagi yang membayar
utang. Rasulallah bersabda; 

َ َ‫فَإ ِ َّن ِم ْن َخي ِْر ُك ْم أَحْ َسنَ ُك ْم ق‬


)‫ضا ًء (رواه البخاري ومسلم‬

Artinya: “Maka sesungguhnya orang yang terbaik diantara kamu adalah orang yang
sebaik-baiknya dalam membayar utang”

Diceritakan dalam suatu kisah Rasul pernah meminjam atau berutang


hewan,kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua
umurnya dari yang beliau pinjam. Lalu beliau bersabda;

َ َ‫ِخيَاُر ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم ق‬


)‫ضا ًء (رواه احمد‬

Artinya: “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik.

Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah
menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah bersabda;[4]

)‫ض َج َّر َم ْنفَ َع ٍة فهو َوجْ هٌ ِم ْن ُوجُو ِه ال ِّربَا (أخرجه بيهقى‬


ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬
Artinya: “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat,maka itu adalah salah satu
cara dari sekian cara riba”. 

i
  E.  Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjam


benda-benda pinjaman kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum
mengizinkannyajika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman.

Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman


atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung,
kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah
menyewakan barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang.

Jika peminjam suatu benda meminjamkan  benda pinjaman tersebut kepada


orang lainkemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan
kepada salah seorang diantara keduanya.Dalam keadaan seperti ini,lebih baik pemilik
barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika
barang itu rusak. 

F. Tanggung Jawab Peminjam          

Bila peminjam telah meminjam barang-barang pinjamankemudian barang


tersebut rusak,ia berkewajiban menjaminnyabaik karena pemakaian yang berlebihan
maupun karena yang lainnya.Demikian menurut Ibnu Abbas,Aisyah,Abu
Hurairah,Syafi’i dan Ishak dalam Hadist yang diriwaytkan oleh Samurah,Rasulallah
bersabda;
ْ ‫على اليَ ِد ما أَخَ د‬
َ ‫َت َحتَّى تُ َؤ ِّد‬
 ‫ي‬

Artinya: “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang dia terima,sehingga ia


mengembalikannya”

G. Pengertian Hiwalah (pemindahan hutang)

Menurut bahasa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah al-Intiqol dan at-


Tahwil artinya memindahkan. Maka menurut Abdurrahman al-Jaziri berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

‫النَ ْق ُل ِم ْن َم َح ِّل اِلَى َم َح ِّل‬

Artinya: Pemindahan dari satu tempat  ke tempat yang lain”

Sedangkan pengertian Hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam


mendefinikannya, antara lain sebagai berikut:

a)      Menurut Hanafiah yang dimaksud Hiwalah ialah:

ii
‫ن الى ِذ َّم ِة الى ُم ْلتَ َز ْم‬Kِ ‫نَ ْق ُل الى ُمطَالَبَ ٍة ِم ْن ِذ َّم ٍة الى َم ْديُو‬

Artinya: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang


lain yang  punya tanggung jawab kewajiban pula.”

b)      Al-Jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:   

‫نَ ْق ُل ال َد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ِة الى ِذ َّم ٍة‬

Artinya: “Perpindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi


tanggungjawab orang lain”.

c)      Syihab Addiin Al-Qalyubi berpendapat yang dimaksud dengan Hiwalah ialah:

ِ َ‫َع ْق ُد يَ ْقت‬
َ َ‫ضى اِ ْنتِق‬
‫ال َد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ٍة الى ِذ َّم ٍة‬

Artinya: “Aqad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada


orang lain”.

d)     Muhammad Syatha Ad-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah


ialah”

ِ ‫َع ْق ٌد يَ ْق‬
‫ضي تَحْ ِو ْي َل َد ْي ِن ِذ َّم ِة الى ِذ َّم ٍة‬

Artinya: “Aqad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi


beban orang lain”

H. Rukun dan Syarat Hiwalah

Menurut Hanafiah, rukun Hiwalah hanya satuyaitu Ijab dan kabul yang
dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Dan syarat-
syaratnya ialah:

1)        Orang yang memindahkan utang (muhil) adalah orang yang berakal, maka batal
hiwalah yang dilakukan Muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.

2)        Orang yang menerima hiwalah (rah Addayn) adalah orang yang berakal,maka
batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.

3)        Orang dihiwalahkan (mahal alaih) juga harus orang berakal dan disyaratkan juga dia
meridhoinya.

4)        Adanya utang Muhil kepada Muhal alaih.

Menurut Syafi’iyah, hiwalah itu ada empat yakni sebagai berikut:

1)        Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan utang.

i
2)        Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan yakni orang yang mempunyai utang kepada
muhil. Muhalalaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.

3)        Shighat hiwalah, yaitu ijab dari Muhil dengan kata-katanya”Aku hiwalahkan


utangku yang hak bagi engkau kepada sipulan”. Dan kabul dari muhtal dengan kata-
katanya“Aku terima hiwalah engkau.”.

Sementara itu syarat-syarat hiwalah menurut Sayid Sabiq adalah sebagai berikut:

1)      Relanya pihak Mihil dan Muhal tanpa Muhal alaih, bagi Muhal alaih rela maupun
tidak rela, tidak mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa
Muhal tidak diisyaratkan rela,yang harus rela adalah Muhil sebagaimana sabda Nabi ;

‫إذا أُ ِح ْي َل أَ َح ُد ُك ْم على َملِ ٍئ فَ ْليَتِّ ْع‬

Artinya: “Dan jika seseorang diantara kamu di hiwalahkan kepada orang yang kaya,
maka terimalah”

2)        Samanya kedua hakbaik jenis maupaun kadarnya,  penyelesaiannya, tempowaktu,


kualitas dan kuantitasnya.

3)        Setabilnya Muhal alaih, maka penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu
membayar utang adalah bata hak tersebut diketahui secara jelas.

I.  Beban Muhil Setelah Hiwalah

Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil


gugur.Andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau
meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah
pendapat Ulama Jumahur.[5]

Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih
orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu apapun untuk membayar maka muhal
boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan
utang kepada orang lain kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau
meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban maka muhal tidak boleh kembali
kepada muhil.

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Utang piutang adalah aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada
harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan

ii
dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang
sama. Hukum utang piutang adalah mubah (boleh). Adapun rukun Utang Piutang:
Lafaz (kalimat mengutangi), yang berpiutang dan yang berhutang, barang yang
dihutangkan

Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam utang piutang tentang nilai sopan
santun yang terkait didalamnya, sebagai berikut;

1.        Sesuai dengan QS; Al-Baqarah: 282,utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan


dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu laki-laki
dan dua orang wanita. Pada masa ini tulian tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau
bermatrei.

2.        Pinjaman hendaknya dilakukan  atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai
dalam hati akan membayarnya/mengembalikan

3.        Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak


berutang,bilapeminjam tidak mampu mengembalikan,maka yang berpiutang
hendaknyamembebaskannya.

4.        Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari
orang yang berhutang.

Hutang piutang dapat memberikan banyak manfaat / syafa’at kepada kedua


belah pihak. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara
umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong
dalam kebajikan. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang
dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak. Bagi
pihak yang berutang bila sudah mampu untuk mengembalikan, hendaknya
mempercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran hutang berarti berbuat
zalim bahkan lebih tegasnya Rasulullah mengatakan orang mampu yang
menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksaannya,
seperti yang dinyatakan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.H.Hendi Suhendi,M.Si,  Fiqih Muamalah, Jakarta; Raja Grapindo Persada, 2005.


H.Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005, cet. 38.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Buluqhul Maram Min Adillatil Ahkaam, Tasikmalaya; Pustaka Al-

i
Hidayah, 2008.

[1] 
H. Sulaiman Rasji, Fiqh Islam, ( Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005), cet 38, hal. 307
[2]
H. Sulaiman Rasji, Fiqh Islam, ( Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005), cet 38, hal. 307
[3]
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Bulqhul Maram Min adillatil Ahkam, Hadist no 563
[4]
Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Bulqhul Maram Min adillatil Ahkam, Hadist no 563
[5]
H. Sulaiman Rasji, Fiqh Islam, ( Bandung; Sinar Baru Algensindo, 2005), cet 38, hal. 308
[6]
 Dr.H. Hendi Sundi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta; Raja Gravindo Prasada, 2005

ii

Anda mungkin juga menyukai