Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

JAMINAN DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi Islam

Dosen pengampu:
Masadah, M.HI.,M.Pd.I

Disusun Oleh:
Kartinningrum (G94217176)
Lutfi Tasriful K. (G94217181)

PRODI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang kami beri
judul “Jaminan Dalam Perspektif Hukum Islam” untuk memenuhi tugas mata kuliah “Aspek
Hukum Dalam Ekonomi Islam”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik
dalam segi susunan kalimat ataupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini. Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Terima
kasih.

Surabaya, 23 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan.................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Jaminan........................................................................................... 3
B. Konsep Jaminan Dalam Islam ......................................................................... 4
C. Kafalah ............................................................................................................... 5
D. Rahn (Gadai) ...................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 26
B. Saran .................................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam menjalani kehidupannya membutuhkan berbagai


hal untuk memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut
setiap individu harus mendapatkannya dengan melakukan pembelian,
meminjam atau pun dengan sistem barter. Seperti yang kita ketahui
manusia dalam usaha pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang
memiliki berbagai cara sesuai dengan perkembangan kehidupan saat ini,
misalnya pinjam-meminjam. Ketika terjadi hubungan pinjam meminjam
maka timbul hak dan kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka disinilah
timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan jaminan.

Berkaitan dengan keberadaan jaminan syariah dan aturan


hukumnya terutama dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sehari-hari,
keberadaan prinsip hukum merupakan syarat mutlak (conditio sine qua
non). Prinsip hukum jaminan syariah akan berfungsi sebagai tuntunan etis,
landasan dan pedoman, serta batu uji untuk memvalidasi aturan hukum
tentang jaminan syariah. Sampai saat ini, apa yang menjadi prinsip hukum
jaminan syariah (Kafalah dan Rahn) masih terdapat persoalan, karena sulit
sekali untuk mendapatkan kitab fiqih yang dapat digunakan sebagai
sumber rujukan untuk mengetahui apakah yang sesungguhnya menjadi
prinsip hukum Jaminan Syariah. Sementara prinsip hukum Perikatan
Syariah (Iltizam) tidaklah terlalu sulit untuk mengelaborasi, karena telah
ada kitab-kitab fiqih yang membahasnya. Akan tetapi, tidaklah demikian
dengan persoalan prinsip hukum Jaminan Syariah. Untuk itulah penulis
merasa perlu untuk membahas mengenai jaminan dalam perspektif islam.

B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian dari jaminan?
2. Bagaimana konsep jaminan dalam hukum islam?

1
3. Apa yang dimaksud dengan kafalah ?
4. Apa saja dasar hukum yang mendasari kafalah ?
5. Bagaimana konsep berlakunya kafalah ?
6. Apa yang dimaksud dengan rahn ?
7. Apa saja dasar hukum yang mendasari rahn ?
8. Bagaimana konsep berlakunya rahn ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari jaminan.
2. Untuk mengetahui konsep jaminan dalam hukum islam.
3. Untuk mengetahui definisi dari kafalah.
4. Untuk menegtahui dasar hukum dari kafalah.
5. Untuk mnegetahui konsep berlakunya kafalah.
6. Untuk mengetahui definisi dari rahn.
7. Untuk mengetahui dasar hukum dari rahn.
8. Untuk mengetahui konsep yang mendasari rahn.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian jaminan

Jaminan dalam nomeklatur hokum perdata di Indonesia ditemukan dalam


Pasal 1311 KHUPer Tentang Perikatan, yang berbunyi ““Jika perikatan pokok
dengan penetapan hukuman itu adalah mengenai suatu barang yang dapat
dibagi-bagi, maka hukuman hanya harus dibayar oleh ahli waris debitur yang
melanggar perikatan, dan hanya untuk jumlah yang tidak melebihi bagiannya
dalam perikatan pokok, tanpa ada tuntutan terhadap mereka yang telah
memenuhi perikatan. Peraturan ini dikecualikan, jika perjanjian hukuman
ditambah dengan maksud supaya pemenuhan tidak terjadi untuk sebagian, dan
salah satu ahli waris telah menghalangi pelaksanaan perikatan untuk seluruh
dan dari para ahli waris yang lain hanya untuk bagian mereka, tanpa
mengurangi hak mereka untuk menuntut ahli waris yang melanggar
perikatan”. Didalam peraturan tersebut tidak mendefinisikan secara jelas apa
yang dimaksud dengan jaminan, aturan ini menyatakan jaminan berkaitan erat
dengam masalah utang piutang. Sehingga, Jaminan dapat didefinisikan
sebagai suatu perjanjian antara kreditur dengan debitur, di mana debitur
memperjanjikan sejumlah hartanya untuk kepentingan pelunasan utang
menurut ketentuan peraturan yang berlaku, apabila dalam waktu yang telah
ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang debitur.1

Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank


Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tetntang Jaminan
Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud jaminan adalah suatu keyakinan
bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan. Defenisi tersebut hampir sama dengan defenisi yang
dikemukakan M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah “segala
sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu

1
Ifa Latifa Fitriani. Jaminan dan Agunan dalam Pembiayaan Bank Syariah dan Kredit Bank
Konvensional. Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol.47 No.1 (2017), hlm. 137

3
utang piutang dalam masyarakat.2 Sedangkan pengertian agunan diatur dalam
pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan,
yaitu “Jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia”.

Menurut Hasanuddin Jaminan merupakan tanggungan yang diberikan oleh


debitur atau pihak ketiga kreditur karena pihak debitur mempunyai
kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu
perikatan3. Sehingga pihak yang telah melaksanakan pemberian kredit kepada
pihak debitur, maka debitur harus mengembalikan atau memenuhi
kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati di awal , jika pihak debitur
tidak dapat memenuhi kewajibannya maka pihak kreditur dapat menahan
jaminan tersebut.
Secara umum, jaminan dalam hukum islam dibagi menjadi dua; jaminan
yang berupa orang dan jaminan yang berupa harta. Jaminan yang berupa orang
sering dikenal dengan istilah damman atau kafalah, sedangkan jaminan yang
berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn.

B. Konsep Jaminan dalam Islam


Seperti yang kita ketahui bahwa pinjaman/pembiayaan adalah sesuatu
yang harus dilunasi, pemberi pinjaman/pembiayaan dapat menuntut jaminan
dimana ia dapat mendapatkan pertolongan apabila terjadi kegagalan
pemenuhan kewajiban. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah meminjam dari
seorang Yahudi dengan jaminan berupa baju besi yang masih berada pada
orang Yahudi tersebut pada saat wafatnya beliau. Seperti yang sudah sedikit
disinggung sebelumnya, jaminan termasuk dalam istilah”Kafalah” dalam

2
M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta: Rezeki Agung, 2000).
hlm.148
3
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia.
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995). hlm. 175

4
hokum perniagaan Islami, dimana ada dua bentuk jaminan.4 Kafalah atau
penjaminan dan rahn atau janji/jaminan.
Secara harfiah, kafalah berarti mengambil tanggung jawab atas
pembayaran utang atau atas kehadiran seseorang di pengadilan. Secara hokum,
dalam kafalah seseorang dari pihak ketiga menjadi penjamin atas pembayaran
utang yang belum terlunasi oleh orang yang memiliki kewajiban pada
awalnya, tingkatan atau cakupan penjaminan harus diketahui dan tidak bisa
menjadi persyaratan : ia adalah jaminan yang diberikan kepada kreditur bahwa
debitur akan melunasi utang, denda, atau kewajiban lain yang ada. Rahn atau
janji juga merupakan jaminan pelunasan hutang jika debitur tidak mampu
melunasinya.5 Kafalah dan Rahn berhubungan dalam kasus hutang, tapi
memiliki fungsi yang berbeda. Dalam kontrak kafalah, seseorang dari pihak
ketiga menjadi jaminan atas pembayaran utang. kesepakatan/perjanjian
bersama adalah sifat dasar keabsahan kedua kontrak, seperti halnya dalam
transaksi bisnis lain. Sebagai tambahan, Rahn juga dianggap sebagai
penjaminan, kreditor harus menahan harta benda tersebut sebagai jaminan.

C. Kafalah
1. Pengertian Kafalah
Secara etimologi, kafalah berarti al-damanah, hamalah, dan
za‟lamah. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang sama yakni
menjamin atau menanggung.6 Sedangkan menurut terminology kafalah
didefinisikan sebagai jaminan yang diberikan oleh kafil (penanggung)
kepada pihak ketiga atas kewajiban yang harus ditunaikan pihak kedua
(tertanggung).7 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-
Imran ayat 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya
(Maryam).

4
Muljono, Teguh Pudjo. “Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil.” (Yogyakarta: BPF,
1996) Edisi.3 Cet.3 hal. 7
5
Rezki Syahri Rakhmadi, “Konsep dan Penerapan Sistem Jaminan pada Lembaga Keuangan
Syariah”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.3 No.1, 2013, hlm 24
6
Wahbah Zuhaili,” al-fiqh al-Islami wa adillatuhu”, (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 6, 2002), hlm 414
7
Dr. Mardani,” Hukum Perikatan di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Graika, 2013), hlm 189

5
Pada asalnya, kafalah memiliki arti sama dengan damman yang
berarti penjaminan sebagaimana penjelasan diatas. Namun seiring
berkembangnya zaman pengertian dari jaminan terus berkembang dalam
masyarakat. Kafalah identic dengan al-wajhi (jaminan diri), sedangkan
damman identic dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak8.
Menurut Syara‟ para ulama mendefinikan kafalah dengan redaksi yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya, diantaranya :
1) Menurut Mazhab Hanafi, bahwa kafalah memiliki dua
pengertian, yang pertama artu kafaah ialah menggabungkan
tanggungan kepada tanggungan yang lain dalam penagihan
dengan jiwa, utang, atau zat benda. Yang kedua, arti kafalah
ialah menggabungkan tanggungan kepada tannggungan yang
lain dalam pokok asal (utang).
2) Menurut Madzab Maliki kafalah adalah orang yang
mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta
bebannya sendiriyang disatukan, baik menenggung pekerjaan
yang sesuai maupun pekerjaan yang berbeda.
3) Menurut madzab Syafi‟I, kafalah adalah akad yang menetapkan
konsistensi hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain
atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau
menghadirkan beban oleh orang yang berhak
menghadirkannya.
4) Menurut madzab hambali, kafalah adalah iltizam (konsistensi)
sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan
benda tersebut yang dibebankan atau iltizam orang yang
mempunyai hak menghadirkan 2 harta (pemiliknya) kepada
orang yang mempunyai hak.

Dalam istilah Fiqh, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan


terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari
seseorang dimana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap

8
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontenporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
hlm. 10

6
orang lain dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal
tanggungjawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih
(utang).9 Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa
kafalah dapat diterapkan dalam beberapa bidang, menyangkut
jaminan atas harta benda atau jiwa manusia. Dengan demikian
kafalah dapat diterapkan dalam masalah jual beli, pinjam
meminjam, titipan atau wadi;ah dan lain sebagainya.

2. Dasar Hukum
Dasar hokum Kafalah terdapat dalam Al-Qur‟ann, Hadits dan
kesepakatan dari para ulama. Sebagai berikut :
a. Al-Qur‟an surat Yusuf ayat : 72

ِ ‫کَوَ ِلم ۡنَجآءَبِ ٖہ‬


‫َح ۡملَُب ِع ۡیرََ َّوَاناَبِ ٖہَز ِع ۡی َم‬ ۡ ‫صواع‬
ِ ‫َالم ِل‬ ُ َُ‫قَالُ ۡواَن ۡف ِقد‬
Artinya : “Penyeru-penyeru itu berkata : “Kami kehilangan
piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya””. 10

Penjelasan QS. Yusuf ayat 72 ini berawal dari ayat 69.


Dikisahkan setelah Nabi Yusuf bertemu dengan Bunyamin, Yusuf
berusaha menahan adiknya itu agar tidak pulang dengan saudara
lainnya. Yusuf memerintahkan pelayannya agar memasukkan piala
ke dalam karung Bunyamin dan menuduhnya sebagai pencuri,
yang kemudian ditahan di Negara tersebut. Penyeru itu berkata :
“Kami kehilangan takanan Raja (berbentuk piala) yang ada cap
padanya, dan memperoleh hadiah yaitu bahan makanan seberat
beban unta:. Kemudian penyeru itu juga menjelaskan pula bahwa
dia menjamin tetap akan memberi hadiah padaa orang yang
mengembalikannya. Berdasarkan ayat ini, yang menjadi landasan

9
M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),hlm. 148
10
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11 tahun 2000 tentang kafalah

7
hokum kafalah yaitu adanya kata za‟imun yang diberikan karena
suatu hal.
b. Hadits
Hadits Nabi riwayat Bukhari

ُ َ ‫صهًَّ هللاُ َعهَ ْي ِه َوآ ِن ِه َو‬


َ ‫ص ِّه‬
‫ ه َْم َعهَ ْي ِه ِم ْه دَي ٍْه؟‬:َ‫ فَقَال‬،‫ي َعهَ ْي َها‬ َ ‫سهَّ َم أ ِت‬
َ ُ‫ي ِب َجىَازَ ةٍ ِني‬ َّ ‫عه سهمت به األكىع أ َ َّن انىَّ ِب‬
َ ‫ي‬

،‫احبِ ُك ْم‬
ِ ‫ص‬ َ :َ‫ قَال‬،‫ وَعَ ْم‬:‫ ه َْم َعهَ ْي ِه ِم ْه دَي ٍْه؟ قَانُ ْىا‬:َ‫ فَقَال‬،‫ي بِ َجىَازَ ةٍ أ ُ ْخ َري‬
َ ًَ‫صه ْىا َعه‬ ُ
َ ِ‫ ث ُ َّم أت‬،‫صهًَّ َعهَ ْي ِه‬
َ َ‫ ف‬،َ‫ ال‬:‫قَانُ ْىا‬

َ ًَّ‫صه‬
.‫عهَ ْي ِه‬ َ َ‫ ف‬،ِ‫س ْى َل هللا‬ َّ َ‫ َعه‬:َ ‫قَا َل أَب ُْى قَت َادَة‬
َ ‫ي دَ ْيىُهُ َي‬
ُ ‫ار‬

Artinya : “telah ditetapkan pada Rosulullah SAW jenazah


seseorang laki-laki untuk disholatkan..
rasulullah SAW bertanya apakah ia mempunyai
utang? Sahabat menjawab, tidak, maka beliau
mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi
dengan sahabat lain, Rasulullah pun bertanya,
ya ,Rasulullah berkata Salatkanlah temanmu itu
(beliau sendiri tidak mau mensalatkannya).
Lalu Abu Qatadah berkata, saya menjamin
utangnya Rasulullah. Maka Rasulullah pun
mensalatkan jenazah tersebut. (HR. Bukhari
dari Salamah bin Akwa).11

Dalam al-hadits disebutkan bahwa rasulullah SAW


bersabda “Utang itu harus ditunaikan, dan orang yang
menanggung itu harus membayarnya” (HR.. Abu Daud dan
Tirmidzi dan disaksikan oleh Ibnu Hibban). Sementara itu,
menurut ijma‟ ulama bahwa para ulama dari berbagai
madzab/aliran hokum islam membolehkan akad kafalah ini.
Mereka menilai orang-orang islam generasi awal mempraktekkan
hal ini, bahkan sampai saat ini, tanpa adanya sanggahan dari
seorang ulamapun.
c. Ijma‟ Ulama
Adapun dasar hokum menurut ijma‟ para ulama bahwa
kaum muslimin telah beijma atau sepakat atas pembolehan kafalah
secara umum karena keperluan atau hajat manusia kepadanya

11
ibid

8
untuk saling menolong serta untuk menghindarkan atau menolak
bahaya dari orang-orang yang berhutang.12 Selain itu, ulama juga
sepakat membolehkan kegiatan kafalah karena umat Islam pada
masa Nabi Muhammad SAW masih hidup telah
melakukannya,bahkan sampai saat ini pun idak ada yang
menentang ini.

3. Rukun dan syarat Kafalah


Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat
kafalah yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah
ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan dilakukan.
Adapun rukun dan syarat Kafalah dikutip dari Fatwa DSN MUI no. 11
tentang Kafalah sebagi berikut :
a. Pihak penjamin (kafil)
1) Baligh (dewasa) dan berakal sehat
2) Berhak untuk melakukan tindakan hokum dalam urusan
hartanyan yang rela (ridho) dengan tanggungan kafalah
b. Pihak orang yang berutang (Ashiil, Makfuul „anhu)
1) Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada
penjamin
2) Dikenal oleh penjamin.
c. Pihak orang yang berpiutang (Makfuul Lahu)
1) Diketahui identitasnya
2) Dapat hadir pada wakytu akad atau memberikan kuasa
3) Berakal sehat
d. Objek penjaminan (Makfuul Bihi)
1) Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa
uang, benda maupun pekerjaan.
2) Bisa dilaksanakan oleh penjamin.

12
ibid

9
3) Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak
mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
4) Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
5) Tidak bertentangan dengan syari‟ah (diharamkan).13
Sedangkan menurut ulama lainnya, rukun dan syarat kafalah adalah
sebagai berikut :
a. Dhamin atau Kafil, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan
sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya dan
dilakukan dengan kehendak sendiri.
b. Madmunlah, yaitu orang yang berpiutang syaratny ialah bahwa yang
berpiutang diketahui oleh orang yang menjamin.
c. Orang yang berhutang, tidak disyaratkan baginya kerelaannya terhadap
penjamin karena pada prinsipnya hutang itu harus lunas, baik yang
berhutang itu rela atau tidak. Namun lebih baik dia rela.
d. Sighat, yaitu pernyataan yang diucapkan penjamin. Disyaratkan
keadaan sighat mengandung makna jaminan, tidak digantungkan
sesuatu.
e. Objek jaminan hutang, berupa uanhn, barang, atau orang. Objek
jaminan hutang disyaratkan bahwa keadaannya diketahui dan telah
ditetapkan. Oleh sebab itu tidak sah jika objek jaminan tidak diketahui
dan belum ditetpkan. Karena ada kemungkinan hal ini ada penipuan.14

4. Jenis- jenis Kafalah


Kafalah terdiri atas beberapa jenis, menurut Wahbab Al- Zulaihi
dan Sayyid Sabiq (ahli hokum Islam), jenis-jenis kafalah adalah
sebagai berikut :
a. Kafalah bil Mal, adalah jaminan pembayaran barang atau
pelunasan utang. bentuk kafalah ini merupakan sarana paling luas
bagi bank dalam memberikan jaminan (jaminan bank atau bank
guarantee) kepada para nasabahnya dengan imbalan fee tertentu.

13
Ibid
14
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
hlm 262.

10
b. Kafalah bin Nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal
ini bank dapat bertindak sebagai juridical personality, yang dapat
memberikan jaminan utuk tujuan tertentu.
c. Kafalah bit taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin
pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir.
Jaminan pembayaran bagi bank (dalam hal terpaksa merealisasikan
jaminan bank tersebut dapat berupa deposito/tabungan. Pihak bank
diperbolehkan memungut uang jasa (fee) kepada nasabah tersebut.

5. Pelaksanaan Kafalah
Kafalah dilaksanakan dalam 3 bentuk menurut (Badri, 2010), yaitu :
a. Munjaz (tanjiz) adalah anggungan yang ditunaikan seketika, seperti
seseorang berkata : saya tanggung si Fulan dan saya jamin si Fulan
sekarang”. Jika akad penanggungan terjadi, maka penanggungan
itu mengikuti akad utang, apakah harus dibayar ketika itu,
ditangguhkan atau dicicil kecuali disyaratkan pada penanggungan.
b. Mu‟alaq (ta‟liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada
sesuatu, seperti seseorang berkata “ jika kamu mengutangkan pada
anakku, maka aku yang akan membayarnya:, atau “ jika kamu
ditagih A, maka aku yang akan membayarnya”.
c. Mu‟aqqot (tauqit) adalah tanggungan yang harus dibayarkan
dengan dikaitkan pada suatu waktu, seperti diucapkan sesorang
“Bila ditagih pada bulan ramadhan, maka aku yang menanggung
utangmu”. Menurut Madzab Hanafi penanggungan seperti ini sah,
tetapi menurut Madzab Syafi‟I batal. Apakah akad telah
berlangsung, maka madhum lahu boleh menagih kepada kafil atau
kepada madhmun „anhu, hal ini dijelaskan oleh jumhur ulama.

6. Berakhirnya akad kafalah


Menurut yuni (2008), berakhirnya akad kafalah dilakukan dengan tiga
cara yaitu :
a. Jika kafalah dalam bentu harta :

11
1) Membayarkan kepada pemberi utang atau sesuatu yang sama
dengan makna membayar, baik pembayaran itu dilakukan oleh
penjamin atau orang yang dijamin, karena hak menagih adalah
cara untuk pembayaran utang. Jika telah dibayar, maka
tercapailah maksud dari kafalah dan selesailah akad tersebut.
2) Dibebaskan (pemutihan) atau cara yang sama dengannya.
Apabila pemberi utang membebaskan penjamin atau orang
yang dijamin, maka utangnya berarrti sudah lunas (selesai)
berdasarkan akad kafalah, kecuali yang dibebaskan itu adalah
penjamin saja, maka orang yang berutang tidak bebas dari
utangnya. Jika orang yang berutang dibebaskan.
b. Jika kafalah dengan badan (diri) dapat selesai dengan tiga cara,
yaitu :
1) penyerahan diri kepada orang yang menuntut kafalah, pada
tempat yang mungkin untuk menghadirkan di majelis hakim.
Karena penjamin telah menghadirkannya, maka tercapailah
maksud dari kafalah diri atau badan, yaitu hakim dapat
mengadilinya.
2) Pembebasan yaitu orang yang memberi utang ()yang berhak)
membebaskan penjamin dari jaminan badan, maka lunaslah
jaminan tersebut.
3) Meninggalkan orang yang menjamin jaminan. Jika orang yang
menjadi jaminan meninggal, maka penjamin bebas dari
kafalah, karena tidak mungkinm untuk menghadirkannya.
c. Jika kafalah dengan barang jaminan tertentu, akan selesai dengan
dua cara, yaitu :
1) Penyerahan barang jaminan kalau masih ada atau barang yang
serupa dengannya atau sama harganya, jika barang tersebut
musnah.
2) Pembebasan, yaitu pembebasan penjamin dari kafalah
(jaminan), kalau orang yang berhak berkata kepada penjamin,
“ saya bebaskan kamu dari kafalah”, maka dia bebas dari

12
kafalah karena kafalah adalah hak orang yang memberi hutang.
Kalaupun ia membebaskan penjamin maka penjamin jadi
bebas, seperti pembebasan utang atau juga pembebasan orang
yang berutang.15

7. Hikmah dan manfaat Kafalah


Ada beberapa hikmah dan manfaat dari kafalah (Hambali, 2013),
yaitu :
a. Sebagai salah satu akad dalam Fiqh muamalah yang mengatur
secara adil dan memiliki maqasid untuk terciptanya
keejahteraan dan kenyamanan sesame manusia dalam
melakukan transksi perdagangan (perbankan)
b. Dengan adanya kafalah, pihak yang dijamin atau disebut
madhmun anhu dapat menyelesaikan proyek atau usaha
bisnisnya dengan ditanggung pengerjaannya dan dapat selesai
dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga
yang menjamin pengerjaannya.
c. Adanya kafalah, pihak yang terjamin (fiqh muamalah) disebut
sebagai madhum lahu menerima jaminan oleh penjamin (bank),
bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah tadi dapat selesai
dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan sebelumnya.

8. Resiko Kafalah
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada kafalah apabila
diterapkan sebagai produk adalah:
a. Nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut
dalam kontrak perjanjian.
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja

15
Weni krismayati dkk,“Kajian Kafalah pada Koperasi Jasa Keuangan As-Sakinah Di Kamal
Bangkalan”, Jurnal InFestasi, Vol. 9 No. 2 Desember 2013, Hlm 150

13
c. Nasabah tidak jujur,16 tidak bertanggung jawab atas
kewajibannya atau kabur.
Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau
menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan
ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi
hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau
dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam
hal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan
diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu
haknya. Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful
lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak
menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang
ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui
tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya,
tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib
mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup
untuk keperluan tersebut.

D. Rahn (Gadai)
1. Pengertian Rahn
Secara etimologis al-rahn berarti tetap dan lama, sedangkan al-habs
berarti menahan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat
dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Makna gadai (rahn)
dalam bahasa hokum perundang-undangan disebut sebagai barang
jaminan, agunan, dan rungguhan.17
Akad rahn dalam istilah terminologi positif disebut dengan barang
jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn merupakan sarana
saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan.18
Sedangkan menurut istilah syara, yang dimaksud dengan rahn adalah
menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan

16
Abdullah Saeed, Mengenal Bank Syariah, (Pramadina: Jakarta, 2006) hlm 78.
17
Rahmat Syafii, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), Hal. 159.
18
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000), hal. 251

14
syara sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil
seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.19
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau
oleh orang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orangorang yang berpiutang lainnya dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
dikeluarkan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH
Perdata).20
Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut syari'at
Islam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum
adat yang mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu
menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara
tunai dengan ketentuan, si penjual (penggadai) tetap berhak atas
pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.21
Selain Pengertian rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga
pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli yaitu sebagai
berikut:
a. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah mengemukakan gadai (rahn)
adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang
tidak bisa membayar utangnya itu.
b. Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap ha (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya
maupun sebagian.

19
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia,(Yogyakarta : Gadja Mada, 2005), Hal. 88
20
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
2008), hlm. 297
21
Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z. Problematika Hukum Islam Kontemporer III,
(Jakarta: Pustaka firdaus, 2000), hlm. 140

15
c. Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang
bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan
untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap.22
d. Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai (rahn) menurut istilah ialah
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara‟
sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.23
e. Menurut Muhammad Syafi'i Antonio ar-rahn adalah menahan
salah satu harta salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai
barang jaminan (marhun) atas pinjaman yang diterimanya.
Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian
pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin)memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutang.24
Dari bebrapa pengertian rahn diatas , dapat disimpulkan bahwa
rahn adalah suatu bentuk akad utang piutang dengan menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta atau nilai jual menurut
pandangan syariat sebagai jaminan, sehingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil utang.
2. Dasar Hukum Rahn
a. Al Qur‟an
Para ulama menegmukakan bahwa akad rahn diperbolehkan
dalam islam yakni berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunah Rasul. Dalam
Al-Qur‟an surah Al-Baqarah ayat 283 Allah Berfirman :
َ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َ ِجدُوا كَاتِبًا فَ ِرهَانٌ َم ْقبُوضَةٌ ۖ فَ ِإ ْن أ َ ِمن‬ َ ‫علَ ٰى‬ َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
‫َّللا َربَّهُ ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُموا‬
َ َّ ‫ق‬ِ َّ ‫اؤت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَهُ َو ْلٌَت‬
ْ ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْلٌُ َؤ ِ ّد الَّذِي‬ُ ‫بَ ْع‬
‫ع ِلٌ ٌم‬ َّ ‫ش َها َدةَ ۚ َو َم ْن ٌَ ْكت ُ ْم َها فَ ِإنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َو‬
َ َ‫َّللاُ بِ َما ت َ ْع َملُون‬ َّ ‫ال‬

22
Anita Ritqi P, Aspek Risiko Produk Gadai Emas Pada Pegadaian Syariah Cabang Cinere,
(Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011), hal. 20
23
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai, (Bandung: al Ma‟arif,
1983), hal. 50.
24
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Pres, 2001), h. 128.

16
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang
tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak
percaya mempercayai.” (QS. Al-Baqarah : 283)

Dalam ayat diatas ditegaskan bahwa untuk memperkuat


perjanjian utangpiutang dalam gadai, maka dapat dilakukan dengan
tulisan yang dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau seorang
laiki-laki dan dua saksi perempuan.25 Adapun gadai menurut istilah
berarti suatu akad utang-piutang dengan jaminan suatubarang
sebagai penguat kepercayaan utang-piutang tersebut.
b. Hadist
Sebagaimana Hadist Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah
umul mu‟minin, beliau berkata :
‫ي ٍ إِلَى أ َ َج ٍل‬
ّ ‫شت َ َرى َطعَا ًما ِم ْن ٌَ ُهو ِد‬
ْ ‫سلَّ َم ا‬
َ ‫علَ ٌْ ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ً َّ ‫أَنَّ النَّ ِب‬
‫َو َر َه َنهُ د ِْرعًا ِم ْن َحدٌِ ٍد‬
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW membeli bahan makanan dari
seorang yahudi dengan cara berhutang dan beluai
menggadaikan baju besinya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Pada merujuk hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa


hukumnya gadai itu boleh, sebagaimana dikatakan oleh TM. Hasbi
Ash Shiddieqy, Bahwa menggadaikan barang boleh hukumnya

25
Ahmad Azhar Basir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, (Bandung: AlMa‟arif,
1993), hlm. 51

17
baik didalam hadlar (kampung) maupun didalam safar
26
(perjalanan). Hukum ini disepakati oleh umum mujtahidin.
c. Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh
dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang
tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak
ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan.
Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya. Di samping itu,
berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 25/DSN-
MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam
bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn
disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu
bepergian.27

3. Rukun dan syarat Rahn


Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat
gadai yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah
ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan dilakukan.
Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun,
sebagaimana yang dikutib oleh M. Abdul Majdid dkk., yaitu sebagai
berikut:
a. Aqid (orang yang melakukan akad) meliputi dua aspek:
1) Rahin, adalah orang yang menggadaikan barang
2) Murtahin adalah orang yang berpiutang yang menerima barang
gadai sebagai imbalan uang kepada yang dipinjamkan

26
5TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam,( Yogyakarta: PT. Rosda Karya,Cet.
2, 1990), hal. 419.
27
Muhammad Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), Cet.1, hal.
52.

18
b. Ma‟qud „alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal :
1) Marhun (barang yang digadaikan/barang gadai)
2) Dain marhun biih, (hutang yang karenanya diadakan gadai)
c. Sighat (akad gadai)

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi'iyah, barang


yang digadaikan itu memiliki tiga syarat:
a. Berupa hutang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan.
b. Menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti
jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan
yang dipinjamnya.
c. Barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran
yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam
kitabah.

Adapun syarat-syarat gadai di antaranya :


a. Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya
merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan
baligh.
b. Sighat
d. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga
dengan suatu waktu di masa depan.
e. Rahn mempunyai sisi melepaskan barang dan pemberian utang
seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan
syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
f. Marhun bih (utang) Menyangkut adanya utang, bahwa utang
tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata
lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-
tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya
utang tersebut merupakan utangyang berbunga maka perjanjian

19
tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur
riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan
ketentuan syari'at Islam.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa syarat dan rukun gadai
bagi orang yang menerima gadai masing-masing disyaratkan harus
orang yang mempunyai status sah atau berhak memerintahkannya,
yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat. Penggadaian sah jika
dilakukan orang si wali baik itu ayah atau kakek atau pemegang wasiat
atau pula hakim. Tidak boleh megadaikan harta anak kecil atau orang
gila, sebagaimana tidak boleh menerima gadai atas nama mereka
berdua, kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya darurat (terpaksa).

4. Prosedur Pemberian Pinjaman


Setelah barang yang diajaminkan dinilai berdasarkan harga atau
nilai taksiran, maka pinjaman dapat ditentukan sebesar persentase
tetentu dari nilai taksiran. Persentase ini juga merupakan kebijakan
Perum Pegadaian, dan besarnya berkisar antara 80% hingga 90 %.
Barang yang digadaikan nasabah akan diasuransikan oleh Perum
Pegadaian yang dibebankan pada nasabah yang bersangkutan. Biaya
asuransi ini kemudian dipotongkan dari besarnya pinjaman yang akan
diterima oleh si nasabah/rahin. Sebagai bukti pinjaman pihak nasabah
kepada pegadaian, Perum Pegadaian memberikan bukti beurpa Surat
Bukti Rahn (SBR) yang nantinya ditunjukkan pada saat pelunasan
dilakukan.

5. Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam


Beberapa hal yang perly diperhatikan dalam pelaksanaan rahn
antara lain :
a. Kedudukan barang gadai
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan
barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan
kepadanya oleh pihak penggadai.

20
b. Pemanfaatan barang gadai
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil
manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai.
Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan
utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat
izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang
tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam
perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau
penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai,
maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan
agar menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubadzir.
c. Resiko atas kerusakan barang gadai
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai
yang disebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab
Syafi‟i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima
gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang
minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang
gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
d. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama‟ Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggngan penggadai
dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan
tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama‟ Hanafiyah
berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan
memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan
penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima
amanat.
e. Kategori barang gadai
Jenis barang yang bias digadaikan sebagai jaminan adalah
semua
barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai
berikut:

21
1) Benda bernilai menurut hukum syara‟
2) Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
3) Benda diserahkan seketika kepada murtahin
f. Pembayaran atau pelunasan utang gadai
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin
belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat
dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan
kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.
g. Prosedur pelelangan gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang
menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang
gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang
tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak
dapat melunasi kewajibanya.28

6. Prosedur Berakhirnya Akad Rahn


Menurut ketentuan syaratian bahwa apabila masa yang telah
diperjanjikanuntuk membayar utang telah terlewati maka si berhutang
tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjaman hendaklah ia
memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual barang
gadaian. Dan seandaianya izin tidak diberikan oleh si pemberi gadai
untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada si penerima
gadai untuk menjual barang gadaian tersebut. 29
Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan
ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si penggadai,
maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada si penggadai.
Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum
melunasi hutang si penggadai, maka si penggadai masih punya
kewajiban untuk membayar kekurangannya.

28
Muhammad dan Sholikhul Hadi, Pegadaian syari‟ah, (Jakarta: Salemba diniyah. 2003),
hal. 54
29
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia,(Yogyakarta : Gadja Mada, 2005), Hal. 96

22
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal
sebagai berikut :
a. Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b. Rahin membayar hutangnya.
c. Dijual dengn perintah hakim atas perintah rahin.
d. Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada
persetujuan dari pihak rahin.30

7. Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat di ambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah:
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main
dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan.
b. memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang
deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika
nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang
(marhun) yang dipegang oleh bank.
c. jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka sudah
barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan
dana terutama di daerah-daerah.
d. Adapun manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya
konkrit yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan
keamanan asset tersebut. Jika penahanan asset berdasarkan fidusia
(penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), maka
nasabah juga harus membayar asuransi yang besarnya sesuai
dengan yang berlaku secara umum.

8. Risiko Rahn
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila
diterapkan sebagai produk adalah:
a. Resiko tak terbayarnya hutang nasabah (wanprestasi)
b. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

30
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung : Al Maarif, 1987), hal.145

23
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam ketentuan umum fatwa
DSNMUI No. 26/DSN-MUI/VI/2002 tentang rahn emas. Bahwa
murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan
marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan
barang) di lunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik
rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh di manfaatkan oleh
murtahin kecuali atas izin rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatanya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya. Pemeliharaan dan penyimpanan
marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin namun dapat
dilakukan oleh marhun sedangkan biaya pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. Besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh di tentukan
berdasarkan jumlah pinjaman. Adapun ketentuan mengenai
penjualan Marhun yaitu apabila jatuh tempo murtahin harus
memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya. Apabila
rahin tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun di jual paksa
atau di eksekusi melalui lelang sesuai syari‟ah. Hasil penjualan
marhun di gunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum di bayar serta biaya penjualan.
Kelebihan hasil penjualan menjadi milik
rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

9. Pendapat Ulama Tentang Rahn (Gadai)


Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nomor 25/DSN-MUI/VI/2002, tanggal 26 Juni 2002 Masehi/15 Rabiul
Akhir 1423 Hijriyah, tentang pegadaian syariah (rahn) sebagai salah
satu upaya untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat muslim
dalam bidang jasa keuangan lembaga non bank. pegadaian syariah
(rahn) ini dipandang sebagai salah satu bentuk pelayanan yang bisa
dioperasikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dalam segenap aspek
kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk
mendapatkan uang salah satunya dengan cara gadai/rahn .

24
Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak
termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya, akan tetapi
banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak
sedikit dari 9 mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa
mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syariat bermuamalah,
seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syariat tersebut
secara tunai dan lancar sesuai dengan syariat yang ditentukan, ada
kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali
ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan
selanjutnya, maka orang tersebut mengadaikan barang yang
dimilikinya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Praktek semacam
ini dalam khazanah fiqh disebut dengan praktek rahn/gadai, dalam
kehidupan bisnis baik klasik dan modern, masalah pegadaian tidak
terlepas dari masalah perekonomian. Selain alasan keinginan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya, juga dikarenakan kecenderungan
membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai
kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dan sebagainya, oleh
karena itu, dalam Islam diberlakukan syariat gadai.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan
kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang
memegang barang gadai seperti diatas, punya kewajiban tambahan.
Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila
barang gadaian itu berupa hewan. Harus memberikan bensin apabila
barang gadaian berupa kendaraan. Membersihkan dengan baik dan
memperbaikinya jika diperlukan, bila pemegang barang gadaian
berupa rumah. Jadi, yang dibolehkan disini adalah adanya upaya
pemeliharaan terhadap barang gadaian pada dirinya.

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur
untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan Secara umum,
jaminan dalam hukum islam dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa
orang dan jaminan yang berupa harta. Jaminan yang berupa orang
sering dikenal dengan istilah damman atau kafalah, sedangkan
jaminan yang berupa harta benda dikenal dengan istilah rahn.
Secara harfiah, kafalah berarti mengambil tanggung jawab atas
pembayaran utang atau atas kehadiran seseorang di pengadilan.
Kafalah dapat diterapkan dalam beberapa bidang, menyangkut
jaminan atas harta benda atau jiwa manusia. Dengan demikian kafalah
dapat diterapkan dalam masalah jual beli, pinjam meminjam, titipan
atau wadi;ah dan lain sebagainya. Rahn adalah suatu bentuk akad
utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta
atau nilai jual menurut pandangan syariat sebagai jaminan, sehingga
orang yang bersangkutan boleh mengambil utang. Dalam Islam kedua
akad tersebut telah diperbolehkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
seperti yang sudah dijelaskan diatas.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas kami dapat membuat saran sebagi berikut:
1. Bagi para generasi muda hendakya banyak-banyak belajar untuk
menambah pengetahuan.
2. Makalah ini hendaknya dikembangkan dengan perumusan dan
pemaparan yang lebih baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
Anshori, Abdul Ghofur. 2005. Gadai Syariah di Indonesia. Yogyakarta : Gadja
Mada.
Antonio, Muhammad Syafi'i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Pres.

Bahsan, Muhammad. 2000. Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia.


Jakarta: Rezeki Agung .

Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai.
Bandung: Al Ma‟arif.
Dr. Mardani. 2013. ” Hukum Perikatan di Indonesia”. Jakarta: Sinar Graika.

Hadi, Muhammad Sholekul. 2003. Pegadaian Syariah. Jakarta: Selemba Diniyah.

Haroen, Nasrun. 2000. Fiqih Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama.

Hasan, M Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Karim, Adiwarman A.. 2001. Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontenporer,


Jakarta: Gema Insani.

Mudjieb, M. Abdul. 1994. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Pudjo, Muljono Teguh. 1996. “Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil.”.


Yogyakarta: BPF

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Jakarta: PT. Pradnya Paramit.

Rahman , Hasanuddin. 1995. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan


di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Bandung : Al Maarif.

Saeed, Abdullah. 2006. Mengenal Bank Syariah. Pramadina: Jakarta.

27
Shiddieqy, TM. Hasbi Ash. 1990. Hukum-Hukum Fiqih Islam. Yogyakarta: PT.
Rosda Karya.

Syafii, Rahmat. 2000. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.

Yanggo, Chuzaimah T. 2000 . Problematika Hukum Islam Kontemporer III,.


Jakarta: Pustaka firdaus.

Zuhaili, Wahbah. 2002. ” al-fiqh al-Islami wa adillatuhu”. Beirut: Dar al-Fikr.

JURNAL :

Fitriani, Ifa Latifa. 2017. Jaminan dan Agunan dalam Pembiayaan Bank Syariah
dan Kredit Bank Konvensional. Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol.47
No.1.

Krismayati, Weni. 2013. “Kajian Kafalah pada Koperasi Jasa Keuangan As-
Sakinah Di Kamal Bangkalan”, Jurnal InFestasi, Vol. 9 No. 2 Desember.

Rakhmadi, Rezki Syahri. 2013. “Konsep dan Penerapan Sistem Jaminan pada
Lembaga Keuangan Syariah”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum
Islam, Vol.3 No.1.
Ritqi, Anita. 2011. Aspek Risiko Produk Gadai Emas Pada Pegadaian Syariah
Cabang Cinere. , Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah.

LAIN-LAIN :
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11 tahun 2000 tentang kafalah

28

Anda mungkin juga menyukai