Anda di halaman 1dari 24

FILSAFAT HUKUM ISLAM

DAN
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM

PENDAHULUAN
Pada umumnya kita semua sudah tahu dan mengerti bahwa manusia dalam
kenyataan kongkret dikuasai oleh berbagai aturan hukum disamping oleh kaidah-
kaidah sosial lainnya. Keseluruhan aturan hukum yang menguasai atau mengatur
hidup manusia disebut tata hukum. Tiap anggota masyarakat berkewajiban untuk
mematuhi aturan-aturan hukum. Aturan-aturan hukum itu pada umumnya memuat
ketentuan tentang sanksi berupa imbalan dan atau ganjaran (hukuman). Adanya
sanksi ini lebih menguatkan kewajiban orang untuk mematuhi aturan hukum.
Bahwa aturan-aturan hukum harus dipatuhi berarti bahwa aturan-aturan hukum itu
mempunyai kekuatan berlaku[CITATION Ras89 \p 13 \l 1057 ].
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1
ayat (3) UUD 1945. Norma ini bermakna bahwa didalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan.
Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan
baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaanya dilengkapi
dalam kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu
diantara kewenangan-kewenangan itu adalah kejaksaan Republik
Indonesia[CITATION Eff05 \p xvii \l 1057 ].
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal
kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia,
karena ia dapat menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar
pertimbangan kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak
sebagaimana yang biasa dilakukan manusia (actus homini)[CITATION Mus06 \p
1 \l 1057 ].
Filsafat dapat mencakup segala hal yang dapat menjadikan objek
pemikiran. Kita dapat menyebut adanya filsafat ketuhanan jika objek pemikiran
adalah perihal Tuhan, filsafat alam kodrat jika yang menjadi objek perihal alam
kodrat (kosmos), filsafat pembangunan jika yang menjadi objek adalah perihal
pembangunan, filsafat keluarga berencana jika yang menjadi objek adalah perihal
keluarga berencana, filsafat administrasi jika yang menjadi objek adalah perihal
administrasi, filsafat adat minangkabau jika yang menjadi objek adalah perihal
adat minangkabau[CITATION Bas00 \p 3 \l 1057 ], filsafat hukum jika yang
menjadi objek adalah filsafat hukum dan sebagainya.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat, khususnya cabang filsafat moral
(etika). Posisi filsafat sebagai mater scientiarum menjadikan filsafat hukum juga
induk dari ilmu hukum. Filsafat hukum juga bagian dari disiplin ilmu, yang
menurut perkembangan terakhir, cukup dibedakan menjadi tiga saja, yaitu ilmu
hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Cabang disiplin ilmu hukum ini
membahas masalah-masalah hukum secara filosofis untuk mencari apa hakikat
hukum dan menentukan hukum yang benar dan adil bagi setiap masyarakat,
bangsa, dan negara.
Filsafat hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam,
sumber asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta manfaat hukum
Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya[CITATION Nas142 \p 4
\l 1057 ].
Pemikiran terhadap hukum Islam telah lahir sejak awal sejarah umat Islam
dikarenakan adanya dorongan Alqur’an dan Sunah Rasul agar manusia
menggunakan pikirannya dalam menghadapi persoalan hidup, lebih-lebih
mengenai persoalan yang fundamental, menyangkat akidah atau keyakinan
agama.[CITATION Bas00 \p 4-5 \l 1057 ].
Modalitas untuk membahas masalah-masalah filsafat hukum tersebut
adalah dengan memahami dasar-dasar, pengertian, sejarah, dan aliran-aliran
filsafat hukum. Dengan penguasaan aliran-aliran filsafat hukum inilah semua
permasalahan filsafat hukum mampu dianalisis dengan baik melalui pendekatan
integral-holistik. Apa yang dianggap hukum yang benar dan adil, terbukti tidak
selalu sama bagi tiap-tiap masyarakat, bangsa, dan negara dari waktu kewaktu.
Hal ini semua dapat dijelaskan mengetengahkan aliran-aliran utama filsafat
hukum, seperti Aliran Hukum Kodrat (sering pula disebut Aliran Hukum Alam),
positivisme Hukum, Ulititarianesme Hukum, Mazhab Sejarah, Sociological
Jurispudence, Realisme Hukum, dan Freierechtslehre. Setiap aliran filsafat hukum
menyajikan sudut pandang tersendiri dalam menjawab setiap permasalahan
filsafat hukum[CITATION Dar16 \p xii \l 1057 ].

PEMBAHASAN
Filsafat Hukum Islam
Filsafat pada awalnya dikenal pada kisaran tahun 700 SM, di Yunani.
Filsafat yang dalam bahasa Yunani disebut philoshopia, pada dasarnya
terkontruksi dari dua suku kata, philos atau philia dan sophos. Philos diartikan
sebagai cinta persahabatan. Sedangkan sophos berarti hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan inteligensi. Oleh karena itu,
philosophia dapat diartikan sebagai cinta kebijaksaan atau kebenaran.
Pengistilahan philosophia sendiri untuk pertama kali dalam sejarah
menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa philosopi
diperkenalkan pertama kali oleh Heraklitos (540-480 SM). Ada pula yang
mengatakan bahwa Phytagoras lah yang pertama kali [CITATION Abu \p 20 \l
1057 ]. Akan tetapi terlepas dari perdebatan siapa yang pertama kali
memperkenalkan nomenclature philosophia (filsafat), maka yang terpenting
bahwa filsafat telah menjadi bagian dari peradaban dunia[CITATION Abu1 \p
20 \l 1057 ].
Hatta mengemukakan pengertian filsafat itu lebih baik tidak dibicarakan
lebih dulu [CITATION Taf13 \p 9 \t \l 1057 ]. Nanti, bila orang telah banyak
membaca atau mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya
apa filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Langeveld juga
berpendapat begitu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum
apa filsafat itu, dan makin dalam ia berfilsafat, akan makin mengerti ia apa filsafat
itu[CITATION Taf131 \p 9 \t \l 1057 ].
Berikut ini hanya mengambil beberapa definisi dari filsuf dan ahli filsafat
1. Para filsuf pra-Socrates
Para filsuf pra-Socrates mempertanyakan tentang arche, yaitu awal mula
atau asal usul alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos
atau rasio tanpa percaya lagi pada jawaban mitos atau legenda. Oleh sebab itu
bagi mereka filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat
alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi.
2. Plato
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang
asli dan murni. Selain itu ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah
penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala
sesuatu yang ada.
3. Aristoteles
Dalam pandangannya, beliau memfokuskan bahwa filsafat berurusan
dengan penelitian sebab-sebab dan prinsip-prinsip segala sesuatu. Dalam hal
ini, filsafat nampak identik dengan totalitas pengetahuan manusia. Akan tetapi
menurutnya, pengaruh teologi atau filsafat pertama sangat menonjol
khususnya dalam mengambarkan bagaimana prinsip dan segala sebab
bermuara pada kemutlakan sesunggunya yaitu Allah dalam segala
kepemilikannya. Dalam konteks ini, maka Allah dengan absolusitasnya
mengatur dan mengerakkkan segala sesuatu yang ada didunia dengan tetap
berbasis pada prinsip-prinsip khususnya prinsip Allah dan pemilik dan
penentu segala sesuatu.[CITATION Abu \p 22 \l 1057 ]
Dari segi terminology, sebagaimana menurut Sultan Takdir Alisyahbana
yang dikutip oleh Fathurrohman Djamil, bahwa filsafat berarti alam berfikir.
Tetapi tidak semua kegiatan berfikir disebut berfilsafat. Berfikir berfilsafat adalah
berfikir dengan insaf, yaitu berfikir dengan teliti dan menurut suatu hal yang
pasti[CITATION Arf07 \p 3 \t \l 1057 ]. Sedangkan Harun Nasution mengatakan
bahwa intisari filsafat adalah berfikir dan menurut tata tertib (logika) dengan
bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-
dalamnya sehingga sampai kedasar persoalan[CITATION Arf071 \p 3 \t \l 1057 ].
Hasyimsyah Nasution dalam hal ini mengatakan bahwa secara sederhana dapat
dikatakan filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu
secara sistematis, radikal dan universal[CITATION Arf072 \p 3-4 \l 1057 ].
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Oleh sebab yang disebut benar berbeda bagi setiap individu, maka aktivitas
berfikir dalam menghasilkan pengetahuan akan berbeda pula. Oleh karena itu
setiap pemikiran mempunyai kriteria kebenaran yang merupakan landasan bagi
proses pencarian kebenaran.
Terkait dengan kebenaran, ada dua cirinya yang menonjol, yakni logis dan
analitis. Yang pertama adalah kegiatan berfikir berjalan menurut pola atau
kerangka (logika tertentu). Yang kedua adalah kegiatan analitis yang
menggunakan logika tersendiri pula yang merupakan konsekuensi adanya suatu
pola berfikir tertentu berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Untuk menghasilkan pengetahuan yang benar selain dua hal diatas ada
juga yang disebut intuisi dan wahyu. Intuisi sering dikaitkan dengan perasaan,
sedangkan wahyu berasal dari Tuhan yang disampaikan melalui perantara Rasul
sehingga manusia memperoleh pengetahuan melalui keyakinan dan kepercayaan.
Ada tiga masalah pokok yang dikemukakan dalam memperoleh
pengetahuan, yakni sebagai berikut:
1. Ontologi: apa yang ingin diketahui?
2. Epistemologi: bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu?
3. Aksiologi: apa nilai dan tujuan pengetahuan itu?
Yang pertama membahas tentang apa yang ingin diketahui, apa sasaran
yang dikaji oleh ilmu tersebut. Dalam hukum Islam kajian antologinya adalah
hukum apa yang ingin diketahui tentang perbuatan mukallaf yang berasal dari
sumber hukum Islam yaitu Alqur’an dan sunah. Hasilnya adalah ahkam khamsah
yaitu wajib sunah, mubah, makruf, dan haram. Perbuatan manusia tidak dapat
dilepaskan dari hukum tersebut.
Yang kedua memaparkan cara menyusun pengetahuan yang benar
(epistemology) dan landasannya adalah metode ilmiah. Dalam kaitan hukum
Islam adalah kerangka metode yang dilakukan untuk menemukan hukum bukan
menciptakan hukum. Kerangka metodologis yang ada hingga saat ini disebut
ushul fiqh yang mengkaji segi kaidah lughawiyah yang dipercaya dengan kaedah
ushul dan kaedah fiqhiyah. Ini menjadi matrik bagi para ahli hukum dalam
mengeluarkan hukum.
Yang ketiga aksiologi yang menjelaskan tujuan (maqashid al-syariah)
hukum [CITATION Arf073 \p 5-6 \l 1057 ].
Istilah filsafat hukum tampaknya merupakan istilah yang lazim digunakan
di lingkungan fakultas hukum di Indonesia. Pada zaman India Belanda dahulu
istilah yang dipergunakan di Rechtshoge School. Istilah ini sama artinya dengan
Recht Philoshofie, yang banyak digunakan penulis filsafat hukum Belanda. Para
pakar hukum Jerman menggunakan istilah Philosopie Des Recht[CITATION
Nas141 \p 11 \l 1057 ]. Adapun negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantarnya dikenal berbagai istilah, seperti Philosophy of Low,
Legal Philosophy, Legal Theory, Jurispudence of Right, dan Theory of Justice,
sedangkan di Perancis digunakan istilah Philoshopy du Droit[CITATION Juh \p
10 \l 1057 ].
Hukum disebut law dalam bahasa inggis, droit dalam bahasa perancis, ius
dalam bahasa latin, dalam bahasa Arab berasal dari kata hakama yang berarti
norma, kaidah yakni ukuran atau tolak ukur untuk menilai tingkah laku atau
perbuatan manusia dan benda serta recht dalam bahasa Belanda yang bisa
diartikan dengan hukum kedamaian, kebenaran, lurus, tegak dan jujur.
Filsafat hukum lebih dipahami sebagai bagian dari filsafat khususnya
filsafat moral atau etika, daripada bagian dari ilmu hukum. Karena itu, filsafat
hukum merupakan filsafat tentang kesusilaan yang baik dan yang buruk. Pada saat
bersamaan mengenai ketidakadilan. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis[CITATION Abu2 \p 34 \l 1057 ]. Kelsen
mendekati filsafat hukum dengan menggunakan pendekatan sebagai seorang
positivis yang kemudian dikenal lahirnya teori hukum murni atau Miguel Reale
yang menyajikan filsafat hukum yang kemudian dikenal dengan historisme
ontognoseologis krisis. Atau Hart yang menyajikan tradisi Wittgenstein atau
Austin yang menempatkan hukum sebagai suatu fungsi dua perangkat kaidah.
Pertama kaidah yang menetapkan kewajiban, dan kedua yang meyangkit
pengakuan dan penyesuaian kaidah pertama. Menurut Aristoteles, kedudukan
filsafat hukum dapat dilihat pada bagan berikut:

Filsafat

Logika Poetika

Filsafat Filsafat
Teoritik Praktis
Politik

Ekonomi
Fisika Matematika Metafisika Etika

Filsafat
Hukum

Berangkat pada bagan diatas dapat diuraikan sebagai berikut :


1. Logika, ilmu ini dianggap sebagai pendahuluan bagi filsafat
2. Filsafat teoritis, dalam cabang ini mencakup tiga macam ilmu, yaitu:
a. Ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini.
b. Matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam
kuantitasnya.
c. Metafisika, yang mempersoalkan tentang hakikat segala sesuatu
ilmu metafisika
3. Filsafat praktis, dalam ilmu ini tercangkup tiga macam ilmu, yakni:
a. Etika, yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup
perseorangan.
b. Ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam
keluarga
c. Politik, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam negara
4. Filsafat poetika, biasa disebut dengan filsafat estetika. Filsafat ini meliputi
kesenian dan sebagainya.
Uraian filsafat Aristoteles, menunjukkan bahwa filsafat hukum hadir
sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum dalam
membentuk dan menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu sistem
yang logis dan konseptual. Oleh karena itu, filsafat hukum merupakan alternatif
yang dipandang tepat untuk memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan
hukum[CITATION Abu1 \p 35-36 \l 1057 ].
Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar
dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-
dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan
yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa
dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan
hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama
sekali. Ilmu hukum positif hanya baerurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsisitensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang
serta sistem hukum sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum
mengambil hukum sebagai fenomena universal sebagai sasaran perhatiannya,
untuk kemudian dikupas dengan menggunakan analisa[CITATION Rah00 \p
358 \l 1057 ].
Keterkaitan filsafat hukum dan ilmu hukum dengan hukum adalah bahwa
filsafat hukum dan ilmu hukum dapat menjadi satu sumber hukum walaupun tidak
semuanya hasil filsafat hukum atau ilmu hukum dapat menjadi sumber hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan antara sumber hukum material dan
formal[CITATION Pra11 \p 14-15 \l 1057 ]. Sumber hukum material adalah
hukum bersumber pada isi, sedangkan sumber hukum formal adalah hukum
bersumber dari kekuatan dan validasinya. Jika filsafat hukum dan ilmu hukum
ditempatkan ke dalam kedua sumber tersebut, maka filsafat hukum merupakan
sumber material dan ilmu hukum sebagai sumber formal[CITATION Pra111 \p
15 \l 1057 ].
Bila hukum itu dihubungkan dengan hukum Islam maka hukum islam
adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua umat beragama Islam.
Istilah hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di Al-Qur’an, hadits dan
literatur hukum islam lainnya. Kata yang ada adalah syari’ah, fikih, hukum Allah,
dan yang seakar dengannya. Kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term
“islamic law” dari literatur Barat [CITATION Nas143 \p 19 \l 1057 ]. Ini
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu keseluruhan
bangunan dari peraturan agama Islam baik lewat syari’ah, fikih, dan
pengembangannya seperti fatwa, qanun, siyasah, dan lain-lain.
Filsafat hukum Islam atau filsafat al-tasyri’ al-islami, seperti halnya
hukum filsafat dalam pengertian yang dikenal dilingkungan fakultas hukum di
Indonesia. Filsafat hukum Islam dapat dinyatakan sebagai bagian dalam kajian
filsafat hukum secara umum atau dengan kata lain suatu ilmu yang mengkaji
hukum islam dengan pendekatan filsafat. Filsafat hukum islam adalah
pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum islam yang baik, yang
menyangkut materinya, maupun proses penetapannya[CITATION Nas14 \p 24 \l
1057 ], atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan
memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah
menetapkannya dimuka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat seluruhnya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan filsafat hukum Islam adalah
setiap kaidah, asas, atau mabda’, aturan-aturan pengendalian masyarakat: pemeluk
agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa ayat Alqur’an, hadis pendapat
sahabat dan tabi’in, ‘ijma ulama, fatwa lembaga keagamaan. Filsafat hukum Islam
diartikan pula dengan istilah hikmah as-tasyri’. Dalam sejarah pembinaan hukum
Islam dapat ditemukan bahwa para ahli ushul telah mewujudkan falsafah al-
tasyri’ sehingga hukum terus terbina dengan baik. Oleh karena itu filsafat hukum
Islam dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Falsafah Asy-syariah, yang mengungkapkan masalah ibadah, muamalah,
jinayah, dan uqubah dari materi hukum islam. Filsafat syari’ah mencakup
asrar al-ahkam, dan tawabi’ al-ahkam.
2. Falsafah tasyri’, yaitu filsafat yang memancarkan hukum Islam,
menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’ meliputi ushul al-ahkam,
maqashid al-ahkam, dan qawaid al-ahkam.
3. Hikmah at-tasyr’ iwa falsafahatuh yaitu kajian yang mendalam dan
radikal tentang perilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum islam sebagai
undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.
Filsafat hukum Islam merupakan pengetahuan tentang rahasia hukum yang
digali secara filosofis, baik dengan pendekatan antologis, maupun epistemologis.
Filsafat hukum islam dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang hukum
Islam dan asal-muasalnya, proses pencarian rahasia dan ‘illah hukum serta tujuan
diberlakukan sebagai prinsip-pronsip dasar untuk berperilaku. Usaha yang
diperlakukan dalam pemikiran mendalam tentang hakikat, sumber, dan tujuan
hukum Islam tidak sebatas menggunakan semata-mata rasio, tetapi memaksukkan
pendekatan kewahyuan dengan raasio, sehingga ada keseimbangan metodologis
untuk mencapai kebenaran tertinggi[CITATION Nas144 \p 4-20 \l 1057 ]
Aliran-aliran Filsafat Hukum
Pemikiran hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, ia
sering dilihat sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan
hukum atau menggungat suatu pikiran hukum yang dominan pada suatu waktu.
Oleh karena itu, sekalipun ia berkeinginan untuk mengutarakan suatu pikiran
secara universal, tetapi alangkah baiknya apabila teori itu mempunyai latar
belakang pemikiran yang mempunyai dasar teori hukum tertentu[CITATION
Pra111 \p 81 \l 1057 ].
Sejarah perkembangan filsafat memberikan sumbangsih yang sangat besar
dalam menjamurnya aliran-aliran filsafat itu sendiri. Aliran-aliran filsafat hukum
yang dimaksud meliputi, sebagai berikut:
1. Aliran hukum alam
Perkembangan aliran hukum alam telah dimulai sejak 2.500 tahun yang
lalu, yang berangkat pada pencarian cita-cita pada tingkatan yang lebih tinggi.
Dalam konteks lintas sejarah Friedman[CITATION Fri \p 78 \t \l 1057 ],
mengatakan bahwa aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam
mencari keadilan yang absolut. Hukum alam disini dipandang sebagai hukum
yang berhubungan universal dan abadi. Disadari bahwa aliran hukum alam
merupakan media untuk mentrasformasikan hukum sipil kuno pada zaman
romawi menuju pada zaman yang dianggap sebagai perkembangan dari
zaman kuno tersebut. Dalam hal ini gagasan mengenai hukum alam
didasarkan kepada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup
akan dapat diketahui, dengan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib
sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih
tinggi dari hukum yang segaja dibentuk oleh manusia[CITATION Soe \p 72 \t
\l 1057 ].
Hukum alam adalah hukum yang berakar pada batin manusia atau
masyarakat, dan hukum alam itu lepas dari konvensi, perundang-undangan,
atau lain-lain alat kelembagaan[CITATION Ras89 \p 18 \l 1057 ].
Aliran hukum alam pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Aliran hukum alam irasional
Aliran hukum alam irasional berpandangan bahwa segala bentuk
hukum yang bersifat universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara
langsung.
b. Aliran hukum alam rasional
Aliran hukum alam yang rasional berpendapat sumber dari hukum
yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.
Gagasan yang termaktub dalam kedua pandangan hukum alam
menggambarkan bagaimana hukum alam diwujudkan sebagai bagian organik
dan esensial dalam hirarki nilai-nilai hukum. Para pendukung aliran hukum
alam irasional antara lain Thomas Aquinas, Jhon Salisbury, Dante, Piere
Dubois, Marsilius Padua, dan Jhon Wycliffe. Tokoh-tokoh aliran hukum alam
rasional antara lain adalah Hugo de Groot (Grotius). Cristian Thomasius,
Immanuel Kant, dan Samuel von Pufendorf[CITATION Abu1 \p 72 \l 1057 ].
Tokoh-tokoh hukum alam dari masa ke masa, yaitu :
a. Tokoh-tokoh hukum alam Yunani, antara lain Socrates, Plato,
Aristoteles.
b. Tokoh-tokoh hukum alam Romawi, antara lain Cicero, Gaius.
c. Tokoh-tokoh hukum alam di Abad Pertengahan antara lain
Augustine, Isidore, Thomas Aquinas, William of Occam.
d. Tokoh-tokoh hukum alam diabad keenambelas hingga
kedelapanbelas antara lain John Locke, Montesquieu, Rousseau.
e. Tokoh-tokoh Idealisme Transendental antara lain Kant, Hegel.
f. Tokoh-tokoh kebangkitan kembali hukum alam antara lain Kohler,
Stammler, Leon Duguit, Geny, Dabin, Le Fur, Rommen, Maritain,
Renard, Gustaw, Radhbuch, Del Vecchio, Fuller, Recasens
Sinches[CITATION Pra111 \p 92-93 \l 1057 ].
2. Positivisme hukum
Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke 19.
Sistem ini didasarkan pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar
apabila ia tampil dalam bentuk pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh
dapat dipastikan sebagai kenyataan, atau apabila ia ditentukan melalui ilmu-
ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh
suatu kenyataan[CITATION The \p 82 \l 1057 ].
Dalam kaitannya dengan positivisme hukum (aliran hukum positif). Maka
dipandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum, yang seterusnya, antara lain das Sein dan
das sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah
penguasa (low is a command of the lewgivers).Bahkan, bagian aliran Hukum
Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa
hukum itu identik dengan undang-undang lebih tegas, bahwa hukum itu
identik dengan undang-undang[CITATION Ilm \p 82 \l 1057 ].
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu :
a. Aliran hukum positif analitis (analitical Jurisprudence) atau biasa
juga disebut positivisme sosiologis.
b. Aliran hukum murni (Reine Rectslehrea) atau dikenal juga
positivisme yuridis.
3. Ulutitarisme
Utilitarisme atau utulism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri matafisis
dan abstrak dari sifat filsafat hukum dan politik pada abad ke 18. Aliran ini
adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happinnes). Jadi, baik
buruk atau adil tidaknya suatu hukum. Bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme
Hukum, mengingat paham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
tujuan hukum menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang
terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pecerminan pemerintah perintah
penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio saja.[CITATION Abu1 \p 85
\t \l 1057 ].
Penganut utilitas ini adalah Jeremy Bentham, John Stuard Mill dan Rudolf
von Jhering. Namun demikian teramat perbedaan pandangan diantara
keduanaya. Jeremy Bentham dikenal sebagai bapak utilitarisme individual,
sedangkan Rudolf von Jhering adalah bapak ulititarisme
sosiologis[CITATION Pra111 \p 100 \l 1057 ].
4. Mazhab sejarah
Mazhab sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga
hal, yaitu :[CITATION Bas \p 91 \l 1057 ]
a. Rasianalisme abad ke 18 yang didasarkan hukum alam, kekuatan
akal, prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum,
dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa
memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.
b. Semangat revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi
dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya
kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), seruannya
kesegala penjuru dunia[CITATION Soe1 \p 91 \l 1057 ].
c. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim
menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan
semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif
dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan
dengan baik sebagai suatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan
yang murni.
Abad ke 18 adalah abad rasionalisme. Pemikiran rasionalisme
mengajarkan universalisme dalam cara berfikir. Cara pandang inilah yang
menjadi salah satu penyebab timbulnya mazhab sejarah, yang menentang
universalisme. Mazhab sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan
nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli ilmu hukum memfokuskan
perhatiannya pada individu, penganut mazhab sejarah sudah mengarah pada
bangsa, tepatnya jika dan bangsa (Volksgeist)[CITATION Pat \p 92 \t \l
1057 ].
5. Sosiological Juresundence
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton[CITATION
Pat1 \p 95 \t \l 1057 ], kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia
lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional” oleh karena itu, ada
pula yang menyebut sosciological Jurisprudence ini dengan Functional
Anthropogical. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional” seperti
diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kekacauan antara sosciological
Jurisprudence dan sosiologi hukum (the sosciologi of law).
Menurut lily Rasjidi, pearbedaan antara sosciological Jurisprudence dan
sosiologi hukum adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan
sosiologi hukum adalah sebagai berikut. Pertama, sosciological
Jurisprudense adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi
hukum adalah cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari
oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sosciological Jurisprudence
menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum
memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Menurut aliran sosciological Jurisprudence ini, hukum yang baik harusah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini
memisahkan secara tegas antara hukum positif (the living law). Aliran ini
timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme hukum dan (antitesis)
mazhab sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme hukum memandang
tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (low is command of
lawgivers), sebaliknya mazhab sejarah mengatakan hukum timbul dan
berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal,
sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman dan
sosciological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
6. Realisme hukum
Realitas hukum berkembang dalam waktu bersamaan dengan Sociological
Jurisprudence. Ada penulis yang memasukkan “aliran” ini sebagai bagian
dari Positivisme hukum, tetapi ada yang memasukkannnya sebagai bagian
dari Neopositivisme atau bahkan sebagai aliran tersendiri. Ada pula yang
mengidentikkan realisme dengan Progmatic Legal Realism. Dalam paparan
ini, penggolongan dan sebutan lain di atas tidak akan dibedakan secara
spesifik. Pragmatik Realism akan dimaksukkan kedalam Realisme Amerika
karena memang sikap pragmatisme yang terkandung dalam Reakisme itu
lebih banyak muncul di Amerika. Sebagaimana dapat dilihat dari uraian
dibawah, akar Realisme Hukum ini adalah empirisme, khususnya
pengalaman-pengalaman yang dapat diperoleh dari pengadilan.
Dalam hal ini, jelas sistem hukum Amerika Serikat sangat kondusif dan
terbukti memang kaya dengan putusan-putusan hakimnya. “Pragmatisme ini
memang merupakan suatu sistem filsafat akan tetapi lebih suatu sistem
filsafat akan tetapi lebih-lebih suatu sikap. Sikap pragmatis ini cukup di
Amerika dan dianggap realistis. Oleh karena itu mazhab hukum yang muncul
di Amerika berdasarkan prinsip-prinsip yang disebut tadi diberi nama mazhab
realisme hukum. Jadi di Skandinavia muncullah suatu mazhab realisme
hukum, tetapi mazhab ini mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi
tertentu dengan menggunakan ilmu psikologi.
Dalam pandangan penganut Realism (para realis), hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas, kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-
emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum
dalam kehidupan. Itulah sebabnya, sangat benar apa yang dikatakan oleh
seorang realis yang terkemuka (liewellyn), bahwa hal yang pokok dalam ilmu
hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Dalam rumusan lain, Lieewellyn menyebutkan formula dari realisme sebagai
berikut: Don’t get your law from rules, but get your rules from the law that is.
7. Freirechtslehre
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras
Positivisme hukum itu, Freirechtslehre sejalan dengan kaum realis di
Amerika. Hanya saja, jika aliran realisme menitikberatkan pada
penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, Freirechtslehre
tidak berhenti sampai disitu. Aliran ini muncul pertama di Jerman dan
merupakan sintetis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan ilmu
hukum sosiologis.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu hukum analitis Friedman adalah yang
dibwakan antara lain oleh Auwtin, sedangkan ilmu hukum sosiologis adalah
aliran dari Eirlich dan Pound. Aliran hukum bebas berpendapat bahwa Hakim
mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukuman yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan
penyelesaian yang tepat untuk peristiwa kongkret, sehingga peristiwa
berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh
Hakim. Tidak mustahil penggunaan metode-metode yang lain. Ini adalah
masalah titik tolak cara pendekatan problematik. Seorang yang menggunakan
penemuan hukum bebas tidak akan berpendirian, “saya harus memutuskan
demikian karena bunyi undang-undang demikian. “Ia harus mendasarkan
pada berbagai argumen, antara lain undang-undang.
Munculnya beragam aliran hukum baik dalam bingkai pemikiran hukum
Islam maupun pemikiran hukum barat banyak dipengaruhi oleh iklim sosial
dimana dan kapan pemikiran hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Pada
prinsipnya, hukum dikreasi bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk menebar
kemaslahatan dan keadilan ditingkat realitas masyarakat. Namun demikian, untuk
mengukur kadar kemaslahatan ditengah realitas yang terus bergerak dinamis,
perangkat analisis serta sumber-sumber hukum yang dipergunakan seringkali
menyebabkan terjadinya gesekan hukum yang kemudian memunculkan beberapa
madzhab dan aliran dengan berbagai karakteristik yang dimiliki.
Hukum dengan beragam madzhab pemikirn didalamnya bertujuan untuk
mengantarkan umat manusia menuju kehidupannya yang bermashlahah dan
berkeadilan. Dalam ilmu hukum Islam, tujuan hukum semacam ini dikenal dengan
sebutan maqashidus syari’ah, yakni tujuan akhir disyari’atkannya islam. Dengan
tujuan seperti ini maka dalam pembahasan hukum, unsur “manusia” menjadi
sangat strategis sebagai sasaran untuk diperhatikan aspek kebahagiaannya baik
didunia maupun diakhirat. Lantaran manusia hidup dalam sebuah ruang
komunitas dan lingkungan yang sangat dinamis maka proses pembentukan hukum
pun mengalami eskalasi perkembangan yang cukup pesat, bahkan cenderung
berskala sangat progresif.
Dalam konteks inilah munculnya madzhab-madzhab pemikiran hukum tak
dapat dielakkan. Dalam hukum Islam lahir pemikiran madzhab ahlur ra’yi
(rasionalis), ahlul hadits (tradisionalis) dan al-jama’i’ bainahuma (moderat).
Dalam sejarah pemikiran hukum barat demikian halnya, muncul beberapa school
of thought, misalnya kalangan positivisme, rasionalisme, dan normativisme
dengan berbagai sub-sub madzhab lagi didalamnya. Deferensiasi aliran hukum
seperti ini selain bisa disebut alamiyah juga tidak bisa lepas dari hasil pengamatan
para juris menyangkut pengelompokan ilmu hukum itu sendiri menurut perspektif
filsafat ilmu[CITATION Yas10 \p 590-593 \l 1057 ].
Sejak awal perkembanganngannya, hukum islam merupakan suatu
kekuatan dan sumber motivasi kreatif-dinamis untuk mengkreasi aturan yang
mengikat bagi perjalanan umat manusia. Munculnya sejumlah aliran hukum Islam
yang mempunyai corak beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sosio-
kultural dimana aliran itu tumbuh dan berkembang menunjukkan kecenderungan
diatas. Pada mulanya, hukum islam lahir secara natural dibawah bimbingan
wahyu yang diemban langsung oleh Rasulullah SAW. Begitu pula pada era
sahabat dan tabi’in, hukum Islam tumbuh dan berkembang secara alamiah melalui
instink dan naluri mereka dalam menyerap kalam ilahi maupun sabda Nabi.
Praktis pada kurun-kurun ini kelahiran hukum Islam tidak dilatari oleh perdebatan
sengit diantara para juris Islam baik dikalangan Sahabat maupun Tabi’in.
Baru pada era tabi’in al-tabi’in, tepatnya pada abad ke dua Hijriah, hukum
Islam mengalami perkembangan pesat seiring perluasan wilayah Islam dan ranah
penerapan hukum sebagai pengejawantahan wahyu Tuhan. Jika pada dua kurun
sebelumnya hukum Islam lahir secara natural melalui bimbingan wahyu maka
pada kurun ini kelahiran hukum Islam tidak lepas dari kegelisahan akademik yang
kemudian memunculkan paradigma hukum rasionalis (ahlur ra’yi) disatu pihak
dan paradigma hukum tradisionalis (ahl al-hadith) dipihak lain. Kenyataan seperti
ini sesungguhnya dilatari oleh semakin jauhnya bentangan jarak antara masa
pewahyuan dengan realitas masyarakat yang kian berkembang[CITATION Yas \p
594-593 \t \l 1057 ]
1. Aliran tradisionalisme
Aliran tradisionalisme atau aliran kalam ini dikembangkan oleh para
pengikut imam al-Syafi’i, seperti Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-
Ghazali (450-505 H). Karyanya al Mustasyfa dan al-Manhul. Kemudian Ali
ibn Abi Ali Muhammad ibn Salim, kelahiran Amid (551-631 H) yang populer
dengan nama Sayf al-Din al-Amidi. Karya besarnya dalam Ushul Fiqh al-
ihkam fi ushul al-ahkam.
Aliran kalam juga dikembangkan juga oleh Adb-Liah ibn Umar ibn
Muhammad ibn Ali al-Baydhawi (w.685 H) dengan karya lainnya yang
berjudul Minhaj al-Wushul ila ilm al-Ushul.
Para ahli kalam ini melahirkan rumusan kaidah-kaidah melalui kajian kulli
melalui kajian induktif terhadap ayat-ayat Alqur’an dan sunnah. Secara
deduktif kaidah tersebut diterapkan dalam pengkajian hukum, baik dalam
konteks ijtihad lafzhi atau ‘aqli.
Mereka banyak melakukan ta’lil untuk ayat-ayat non ubudiyah agar ayat-
ayat tersebut dapat menyerap furu’ sebanyak-banyaknya. Inilah cara utama
aliran kalam dan kajian-kajian itu lebih banyak diorientasikan pada ayat-ayat
Alqur’an dan as-Sunnah, selain itu sebagai implikasi dari dasar pemikiran
bahwa syar’i hanya Allah dan Rasul-Nya. Tugas mujtahid menurut aliran
kalam/ tradisionalisme bukan menciptakan hukum, tetapi menemukan hukum
yang telah dikemukakan oleh Syar’i, kemudian teori kajian hukum banyak
diserap oleh para ulama yang berlatar belakang memiliki ilmu kalam.
Contohnya al-Juwayni (419-467 H), al-Ghazali (450-505 H), dari kalangan
asy’ariyah, dan Husyan ibn Muhammad ibn Ali al-Bashri (w. 436 H).
Sedangkan dari kalangan mu’tazilah dengan karyanya, Al-Mu’tamad fi
al’Ushul. Dan karena dua hal inilah, maka aliran ini terkenal dengan nama
aliran kalam.
2. Aliran rasionalisme
Dikembangkan oleh pengikut Abu hanifah, berbeda dengan aliran kalam
yang sangat tradisional dan idealis, aliran ini melahirkan rumusan kaidah-
kaidah yang memperhatikan karakter-karakter furu’, dan memperhatikan
kepentingan kehidupan mukallaf dengan melihat pesan Alqur’an dan as-
Sunnah tentang masalah tersebut. Pendekatan ini memberikan peluang kepada
para ulama untuk melahirkan kaidah-kaidah baru, yang sebelumnya belum
diangkat oleh mazhabnya sendiri. Walaupun demikian, kaidah-kaidah baru
tersebut, faktanya tidak senantiasa terkait dengan kaidah-kaidah ulama
mazhabnya.
Para pengikut Abu Hanifah seperi Abd-Lian ibn Umar ibn Isa (w. 430 H)
karyanya yang berjudul al-ushul wa al-furu’ dan Ta’sis al-Nazhar. Sedangkan
Ali ibn Muhammad ibn Husayn (400-482) karyanya adalah Kanz al-Wushul
ila Ma’rifah al-Ushul dan Abd Lian ibn Muhammad al-Nasafi (w. 710 H)
dengan karyanya Manar al-Aanwar fi Ushul al-fiqh.
Abu Zahrah menyatakan bahwa ada perbedaan prinsipal antara aliran
kalam dengan aliran Hanafiyah, terletak pada posisi kaidah-kaidah umum
yang langsung dapat dikembangkan pada berbagai furu’. Sedangkan kaidah-
kaidah Abu Hanifah banyak dipergunakan sebagai rujukan dalam perumusan
kaidah-kaidah baru. Hal ini merupakan konsekuensi dari dasar pemikiran
dalam proses perumusan kaidah-kaidah yang memberikan perhatian pada
karakter furu’. Abu Zahrah mempergunakan kaidah-kaidah ulama mazhabnya
sejauh sesuai dengan kebutuhan mereka, dan mereka berpendapat lain mereka
akan merumuskan kaidah baru, sesuai dengan asas-asas yang dipegang oleh
ulama mazhabnya itu. Cara seperti ini, para ulama Hanabilah punya sikap
yang hampir sama dengan malikiyah.

PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat hukum lebih dipahami sebagai bagian dari filsafat khususnya
filsafat moral atau etika, daripada bagian dari ilmu hukum. Karena itu, filsafat
hukum merupakan filsafat tentang kesusilaan yang baik dan yang buruk. Pada saat
bersamaan mengenai ketidakadilan. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis[CITATION Abu2 \p 34 \l 1057 ].
Filsafat hukum Islam merupakan pengetahuan tentang rahasia hukum yang
digali secara filosofis, baik dengan pendekatan antologis, maupun epistemologis.
Filsafat hukum islam dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang hukum
Islam dan asal-muasalnya, proses pencarian rahasia dan ‘illah hukum serta tujuan
diberlakukan sebagai prinsip-pronsip dasar untuk berperilaku. Usaha yang
diperlakukan dalam pemikiran mendalam tentang hakikat, sumber, dan tujuan
hukum Islam tidak sebatas menggunakan semata-mata rasio, tetapi memaksukkan
pendekatan kewahyuan dengan raasio, sehingga ada keseimbangan metodologis
untuk mencapai kebenaran.
Munculnya beragam aliran hukum baik dalam bingkai pemikiran hukum
Islam maupun pemikiran hukum barat banyak dipengaruhi oleh iklim sosial
dimana dan kapan pemikiran hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Pada
prinsipnya, hukum dikreasi bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk menebar
kemaslahatan dan keadilan ditingkat realitas masyarakat. Namun demikian, untuk
mengukur kadar kemaslahatan ditengah realitas yang terus bergerak dinamis,
perangkat analisis serta sumber-sumber hukum yang dipergunakan seringkali
menyebabkan terjadinya gesekan hukum yang kemudian memunculkan beberapa
madzhab dan aliran dengan berbagai karakteristik yang dimiliki.
aliran-aliran utama filsafat hukum Barat, seperti Aliran Hukum Kodrat
(sering pula disebut Aliran Hukum Alam), positivisme Hukum, Ulititarianesme
Hukum, Mazhab Sejarah, Sociological Jurispudence, Realisme Hukum, dan
Freierechtslehre. Setiap aliran filsafat hukum menyajikan sudut pandang tersendiri
dalam menjawab setiap permasalahan filsafat hukum[CITATION Dar16 \p xii \l
1057 ]. Seperti halnya aliran hukum barat, Aliran hukum islam muncullah aliran
tradisionalitas dan rasionalitas.
DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, P. D. Filsafat Hukum. Teori dan Praktek. Dalam Basuki, 1989, “Mazhab Sejarah
dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan hukum Nasional Indonesia,” dalam :
Lili Rasjidi & B. Arief Idharta (Eds.). Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,
Remadja Karya, Bandung, hlm. 332. (hal. 91).

Aburaera, P. D . Filsafat Hukum. Teori dan Praktek.

Aburaera, P. D. Filsafat Hukum. Teori dan Praktek. Dalam Paton, 1951, hlm. 15. (hal. 92).

Aburaera, P. D. filsafatHukum. Teori dan Praktek. Dalam Paton, 1951, hlm. 17-21 (hal. 95).

Aburaera, P. D. Ilmu Hukum. Teori dan Praktek. Dalam Soekanto, 1979, Pengantar
Sejarah Hukum, Rajawali, Jakarta hlm. 26 (hal. 91).

Aburaera, S. P. Filsafat Hukum Teori dan Praktek. Dalam P. d. Purbacaraka, 1986, Sendi-
sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 2-4 (hal. 34).

Aburaera, S. P. Filsafat Hukum. Teori dan praktek. Dalam 1. Friedmann, 1990, Teori dan
Filsaat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 47. (hal. 78).

Aburaera, S. P. Filsafat Hukum. Teori dan Praktek. Dalam Soekanto, 1985,Perspektif


Teoritis Studi Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 5-6 (hal. 72).

Aburaera, S. P. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek. Dalam A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
RajaGrafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 22. (hal. 20).

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam H. Nasution, Filsafat agama, Cet. VI,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. 3 (hal. 3-4). Ruko Umum dan Perguruan
Tinggi: Cita Pustaka Media Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam H. Nasution, Filsafat agama, Cet. VI,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm 3 (hal. 3-4). Cita Pustaka Media Perintis: Ruko
Umum dan Perguruan Tinggi.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Ruko Umum dan perguruan tinggi: Cita Pustaka
Media Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam J. S. Praja, Filsafat, hlm. 17 (hal. 22-23).
Ruku Umum dan Perguruan tinggi: Cita Pustaka Media Perintis.
Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam A. Munawar, Kamus Almunawir,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 768 (hal. 58). Ruko Umum dan
Perguruan Tinggi: Cita Pustaka Media kreasi.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam A. Munawwir, Kamus Almunawwir,


(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 117 (hal. 59). Ruko Umum dan
Perguruan Tinggi: Cita Pustaka Media Kreasi.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam D. i. Az-Zuhaili, Lihat Wahbah Az-Zuhaili,
Ushul Fiqh Al-Islamy (Damsyq: Dar Al Fikr, 1986), hlm 117 (hal. 59). Ruko Umum
dan Perguruan Tinggi: Cita Pustaka Media Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam S. Usman, Hukum Islam, (Jakarta, GPM,
2004), 32 (hal. 59). Ruko Umum dan PErguruan Tinggi: Cita Pustaka Media
Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Dalam S. Usman, Hukum Islam, (Jakarta, GMP,
2004), 34 (hal. 59). Ruko Umum dan Perguruan Tinggi: Cita Pustaka Media
Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam. Ruko Umum dan Perguruan Tinggi: Cita Pustaka
Media Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukum Islam . Dalam F. Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:
Logos Ilmu, 1997, hlm 2 (hal. 3-4). Ruko Umum dan Perguruan tinggi: Cita
Pustaka Media Perintis.

Arfa, M. D. (2007). Filsafat Hukumm Islam. Dalam F. Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta:
Wacana Ilmu, 1997, hlml. 81. Lihat juga Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm. 20 (hal. 58). Ruko Umum dan Perguruan
tinggi: Cita Pustaka Media Perintis.

Basyir, K. A. (2000). Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. UII Press: Yogyakarta.

Darmodiharji, S. P. (2016). Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat


hukum di Indonesia. Cet. 6. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Effendy, S. D. (2005). Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dalam Perspektif Hukum. Dalam
L. Friedman, The Legal System, A Social Science Prespective, New York, Russel
Sage Foundation, 1975, hlm. 11 (hal. xvii). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

HAK, M. D. (2011). EKONOMI ISLAM BISNIS SYARI'AH, CET. 1. Dalam V. HOEVE,


ENSIKLOPEDIA ISLAM (JAKARTA: PT IKHTIAR BARU, 1994), HLM 48 (hal. 9).
YOGYAKARTA: TERAS.

(t.thn.). Ilmu Hukum. Teori dan Praktek. Dalam T. Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam
Lintas Sejarah, Kanisius, Jakarta, hlm. 122 (hal. 82).
Mustansyir, M. H. (2006). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasution, S. M. (2007). Filsafat Hukum Islam, Cet. 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, S. M. (2014). Filsafat Hukum Islam, Cet 2. Dalam J. Schaht, An Introduction to


Islamic Low, (London: Oxford University Press, 1964), hlm. 1 (hal. 19). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Nasution, S. M. (2014). fIlsafat Hukum Islam, Cet. 2. Dalam S. Amir, Pengertian dan
Sumber Hukum Islam (Dalam Falsafah Hukum Islam, (Jakarta Bumi Aksara dan
Departemen agama, 1992, hlm. 16) (hal. 24). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, S. M. (2014). Filsafat hukum Islam, Cet. 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, S. M. (2014). Filsafat Hukum Islam, cet. 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, S. M. (2014). Filsafat Hukum Islam, Cet. 2. Dalam Juhaya, Filsafat Hukum Islam,
(Bandung: Pusat Penerbitan LPMM-Universitas Islam, 1955), hlm. 14 (hal. 10).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nasution, S. M. (2014). Filsafat Hukum Islam, cet.2. Dalam Lilii, Dasar-dasar Filsafat
Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 1 (hal. 11). Jakarta: PT Grafindo
Persada.

Prasetyo, S. M. (2011). Ilmu hukum dan Filsafat Hukum. Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prasetyo, S. M. (2011). Ilmu Hukum dan Studi Hukum. Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, Cet. IV. Dalam C. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm 46 (hal. 14-15).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Raharjo, S. P. (2000). Ilmu Hukum, Cet. 5. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Rasjidi, L. (1989). Fisafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remadja Karya CV.

Tafsir, P. D. (2013). Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Dalam 1. 9.
Langeveld. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tafsir, P. D. (2013). Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Cet. 20.
Dalam Hatta. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yasid, A. (2010). paradigma tradisionalisme dan Rasionalisme Hukum dalam Perspektif


Filsafat Islam. Jurnal Hukum, No. 4, Vol. 17 Oktober, 590-593.

Yasid, A. Paradigma Rasionalisme dan Tradisionalisme Hukum dalam perspektif Filsafat


Ilmu, Jurnal Hukum, No.4, Vol. 17 Oktober 2010. Dalam A. Yasid, Memahami
Jurisprudensi Islam sebagai Mekanisme Istinbath Hukum, artikel dalam Jurnal
Akademika, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Vol. 17, No. 1 September
2015, hlm 184 (hal. 594-595).

Anda mungkin juga menyukai